(Referat) Preoperatif Visite, Preanestesi, Premedikasi Dan Recovery Room [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA REFERAT



Preoperative Visite, Premedikasi, dan Recovery Room



Pembimbing : dr. Soebagdja N.A., Sp.An



Penyusun : DM 03CD Maria Jessica R.



NRP. 1522316018



Maria Wilhelmina F.L



NRP. 1522316020



Yordani Sumomba



NRP. 1522316021



PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI RUMAH SAKIT DR. RAMELAN SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2018



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ................................................................................................................................ i BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3 1.



PRE-OPERATIVE VISITE................................................................................... 3



2.



PERSIAPAN ANESTESI ................................................................................... 13



3.



PREMEDIKASI .................................................................................................. 16



4.



RUANG PULIH SADAR.................................................................................... 22



BAB III KESIMPULAN ......................................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 30



i



BAB I PENDAHULUAN



Anestesi muncul sebagai salah satu ilmu yang paling berkembang di dunia kedokteran. Tindakan anestesia yang pertama kali dilakukan di dunia modern dan ditujukan untuk mengurangi rasa nyeri dipresentasikan di depan publik oleh William T. G. Morton (1819 – 1868) pada tahun 1846. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah anestesi dunia. Sejak tahun 1846 hingga saat ini dunia anestesia berkembang pesat. Perkembangan anestesi selalu selaras dengan perkembangan dunia bedah, keduanya saling mendukung tanpa bisa meninggalkan satu sama lain. Anestesi sendiri berasal dari bahasa Yunani “a” artinya tanpa dan“aesthesis” adalah rasa atau sensasi. Anestesia sendiri memiliki tiga komponen, yaitu hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot rangka. Menurut Oliver Wendell Holmes kata anestesia menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara oleh karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang awalnya untuk menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan dimana analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Menurut The American Board Of Anesthesiology tahun 1989, anestesi mencakup semua kegiatan profesi atau praktek sebagai berikut: 1. Menilai, merancang, dan menyiapkan pasien untuk anestesia. 2. Membantu pasien menghilangkan nyeri saat pembedahan, persalinan, atau pada saat dilakukan tindakan diagnostik–terapeutik. 3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan pasien yang dalam keadaan kritis. 4. Mendiagnosis dan mengobati sindrom nyeri. 5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 6. Membuat evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan pernafasan. 7. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi tentang penampilan personel paramedik dalam bidang anestesia, perawatan pernapasan, dan perawatan pasien kritis.



1



8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologis dan respon terhadap obat. 9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan kedokteran, dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk implementasi pertanggungjawaban. Pemberian anestesi pada pembedahan dapat menyebabkan keadaan yang mengancam jiwa oleh karena gangguan jalan nafas, sirkulasi, dan fungsi otak yang dapat disebabkan oleh obat dan teknik anestesi maupun oleh karena pembedahannya. Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan harus dipersiapkan dengan baik, karena apabila kurang memadai dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan anestesi. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum proses anestesi dimulai, yaitu pre operatif visite, persiapan anestesi, premedikasi, dan ruang pulih sadar. Dokter anestesi juga harus dapat menilai dan melakukan persiapan dalam waktu singkat pada operasi darurat karena penundaan operasi dapat berakibat buruk bagi pasien dan keluarganya. Untuk melakukan anestesi yang aman syarat yang harus diketahui adalah khasiat obat, efek samping obat, dan cara kerja obat anestesi.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1. PRE-OPERATIVE VISITE Kunjungan pra anestesi pada tindakan bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelum operasi dan waktu lebih singkat pada keadaan darurat. Tujuan utama kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.Tujuan lain dari kunjungan pra anestesi, seperti: 1.



Sarana perkenalan dokter spesialis anestesi agar dapat memberikan informed consent dan edukasi yang dapat diterima dengan baik oleh pasien maupun keluarganya.



2.



Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain.



3.



Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan operasi yang hendak dilakukan.



4.



Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.



5.



Menggali dan mengetahui riwayat anestesi, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit dahulu dan sekarang, serta riwayat pembedahan dan riwayat alergi obat.



6.



Melakukan pemeriksaan fisik mencakup : kepala dan leher, thorax, abdomen, ekstremitas dan neurologis.



7.



Melakukan pemeriksaan khusus



8.



Menentukan status fisik dan menilai resiko anestesi dan pembedahan, bila perlu menunda atau membatalkan operasi



9.



Mengadakan pengelolaan pre-operatif



10. Merencanakan dan menentukan obat premedikasi, obat anestesi dan pengelolaan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien.



3



1. Pemeriksaan pra anesthesia a. Identifikasi pasien 



Untuk memastikan identitas pasien seperti informasi data pribadi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status pernikahan, alamat)







Konfirmasi jenis operasi, serta bagian tubuh yang akan dibedah. Ketepatan identitas adalah hal dasar pertama yang harus dipastikan. Salah pasien atau salah metode operasi merupakan hal yang mungkin terjadi.



b. Anamnesis Anamnesis sebagai sarana pendekatan psikologis dan membina hubungan saling percaya antara dokter dengan pasien serta keluarga pasien dan bertujuan untuk memperoleh informasi dari pasien maupun keluarga pasien, seperti: - Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat sosial (penggunaan rokok, alkohol, atau obatobatan ilegal), dan obat-obatan yang sedang digunakan saat ini. - Berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi efektivitas anestesi antara lain diabetes mellitus, penyakit paru kronik (asma bronchiale, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi), penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang). - Riwayat Penyakit Keluarga: malignant hyperthermia adalah salah satu penyakit keturunan/herediter yang terkait bidang anestesi. - Riwayat



kemungkinan



adanya



kehamilan.



Hal



ini



perlu



diperhatikan karena pemilihan cara dan obat anestesi harus dilakukan secara hati-hati karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin. - Riwayat obat-obatan yang sedang digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.



4



- Riwayat alergi: perlu dicatat semua riwayat alergi yang pernah dialami pasien. Jika respon alergi muncul, maka pemberian agen penyebab dihentikan tanpa tes imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid - Riwayat operasi: tanyakan jenis anestesi apakah yang digunakan saat itu, apakah ada hal-hal yang memerlukan perhatian khusus (seperti alergi terhadap zat anestesi, mual, muntah, nyeri otot, gatal-gatal, kesulitan pulih sadar atau sesak napas pasca bedah). Sebaiknya jeli untuk membedakan reaksi alergi dengan efek samping dari obat anestesi. - Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. - Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesia khususnya golongan barbiturat sehingga dosis harus disesuaikan. Perlu dicurigai adanya penyakit hepar pada peminun alkohol. Melalui anamnesis, seorang dokter juga perlu untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan risiko tindakan anestesi dan operasi agar persiapan dan tindakan anestesi dapat disesuaikan dengan risiko tersebut. Risiko ini dapat dibagi menjadi: 1) Risiko yang dapat diketahui sebelum operasi melalui pemeriksaan sehingga dapat diantisipasi kemudian. -



Seorang pasien perokok berat dapat diramalkan akan mengalami gangguan pernafasan selama dan sesudah operasi.



-



Operasi yang luas dan lama dapat mengakibatkan perdarahan yang banyak.



2) Risiko yang tidak diketahui sebelumnya, yang datangnya tidak terduga. -



Reaksi berlebihan (anafilaksis) dapat saja terjadi pada pemberian suatu obat.



5



-



Pada suatu operasi kebidanan secara mendadak dapat timbul emboli air ketuban yang berakibat fatal.



c. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan secara legal artis membantu mendeteksi abnormalitas yang tak bisa diketahui melalui anamnesa, sementara anamnesa



riwayat



membantu



tenaga



medis



untuk



melakukan



pemeriksaan terhadap sistem organ tertentu secara terarah, dimulai dari: 



Tanda-tanda vital: Tekanan darah, nadi, pola dan frekuensi pernafasan, dan suhu.







Saluran pernafasan: Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi jalur nafas dan prosedur anestesi (pemakaian masker dan intubasi endotracheal).







Inspeksi susunan gigi pasien: Abnormalitas wajah dapat mempengaruhi pemakaian masker, seperti: micrognathia (jarak antara dagu dan tulang hyoid dekat), ukuran lidah yang relatif besar dan area gerak sendi temporomandibular atau spina cervical yang terbatas serta ukuran leher yang pendek.







Jantung -



Inspeksi



: Iktus kordis



-



Palpasi



: Iktus kordis



-



Perkusi



: Batas kanan dan kiri jantung untuk menentukan ada tidaknya pembesaran jantung



-



Aukultasi



: Suara Jantung (S1 dan S2) serta suara jantung tambahan (Mur-mur, Gallop)







Paru-paru -



Inspeksi



: Gerakan dada simetris atau tidak, ada tambahan otot bantu napas, ada tidaknya retraksi



dada



dan



bentuk



dada



(normochest/Barrel Chest) -



Palpasi



: Gerakan dada simetris atau tidak, fremitus raba



6



-



Perkusi



: Menilai ada tidaknya edema paru (redup), pneumothorax (hipersonor), efusi pleura (redup)



-



Aukultasi



: Suara napas vesikular, ada suara tambahan Rhonki atau Wheezing







Abdomen -



Inspeksi



: Datar/distended, ada massa/tidak



-



Auskulatasi



: Bising usus normal atau tidak



-



Palpasi



: Nyeri tekan sesuai dengan kuadran, ada tidaknya massa, perabaan hepar, lien dan ginjal (untuk menentukan ada tidaknya pembesaran).



-



Perkusi



:



Konfirmasi



ada



pembesaran



organ,



shifting dullness (untuk menentukan ada tidak cairan di rongga abdomen) 



Ekstremitas -



Akral hangat/dingin, merah/pucat dan CRT normal (< 2 detik) atau lambat (> 2 detik)







Ada tidaknya edema



Pemeriksaan neurologis -



Kesadaran



: GCS



-



Meningeal Sign



: Kaku kuduk, Brudzinski I-IV dan Kernig’s Sign



-



Nervus Kranialis



-



Kekuatan Motorik



-



Sensorik



-



Refleks Fisiologis



: BPR, TPR, APR dan KPR



-



Refleks Patologis



: Hoffman, Tromner, Babinski,



: I-XII



Chaddock 



Mallampati Dapat dilakukan evaluasi rongga mulut dengan menggunakan aturan Mallampati. Aturan Mallampati menyebutkan adanya



7



hubungan antara apa yang terlihat pada visualisasi faring secara langsung dengan apa yang terlihat pada laringoskopi (Gambar 1). Pemeriksaan Mallampati dibagi beberapa derajat, yaitu:



Gambar 1. Klasifikasi Mallampati -



Derajat 1 : uvula terlihat semua



-



Derajat 2 : uvula terlihat sebagian



-



Derajat 3: uvula tidak terlihat, hanya terlihat palatum molle







Derajat 4 : hanya terlihat palatum durum



Hipertensi Tekanan darah yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi respons kardiovaskular pada saat operasi, hipertensi diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan serta tindakan yang perlu dilakukan -



Mild (Sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa menunda operasi untuk perawatan mempegaruhi hasil/outcome.



-



Moderate (Sistolik 160-179 mmHg dan diastolik 100-109 mmHg). Perlu dipertimbangkan untuk pengobatan terlebih dahulu. Jika tidak berubah, dibutuhkan pemantauan ketat selama operasi untuk menghindari gangguan kardiovaskular selama operasi.



8



-



Severe (Sistolik >180 mmHg dan diastolik > 109 mmHg). Pada operasi elektif harus ditunda karena risiko miokard infark dan perdarahan intraserebral. Pada operasi darurat dibutuhkan kontrol dan pemantauan ketat pada tensi.



Secara keseluruhan pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan metode pemeriksaan 6B, yaitu: 1. B1: Breath, meliputi pemeriksaan jalan napas, pola napas, suara napas, dan suara napas tambahan. 



Perhatikan jalan napas bagian atas dan pikirkan bagaimana penatalaksanaanya selama anestesi. Apakah jalan napas mudah tersumbat, apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu, apakah pasien mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, apakah ada pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran napas bagian atas. Jalan nafas disebut bebas apabila pasien dapat bernafas dengan baik atau diberi nafas dengan mudah, suara nafas bersih dan tidak ada suara nafas tambahan. Disebut tidak bebas apabila penderita memerlukan bantuan untuk bernafas baik bantuan manual (head tilt, chin lift, jaw thrust) ataupun bantuan dengan alat (laryngeal mask airway, cricothyrotomy/ trakeostomi).







Pola napas : menentukan apakah pola napasnya normal atau abnormal; Normal (teratur dan frekuensi 12-20 x/menit), Abnormal (Tachipneu, bradipneu, Kusmaull, Cheyne-Stokes dan Apneustik)







Suara napas : Dasar Vesikular/Vesikular







Suara napas tambahan : ada Rhonkii, Wheezing



2. B2: Blood, dilakukan pemeriksaan pada sistem kardiovaskuler meliputi tekanan darah, perfusi, suara jantung, suara tambahan, kelainan anatomis dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini dilakukan



9



untuk mengevaluasi adanya gangguan kardiovaskuler yang dapat meliputi hipertensi, gagal jantung, aritmia, dan penyakit terkait kardiovaskuler



lain.



Dapat



dilakukan



pemeriksaan



elektrokardiografi (EKG) untuk menilai adanya gangguan irama jantung. 3. B3: Brain, Penilaian kesadaran secara kualitatif (compos mentis, somnolen, sopor, coma) dan kuantitatif (Glasgow Coma Scale/GCS). Dapat pula dilakukan pemeriksaan neurologis untuk mengetahui adanya defisit atau gangguan sistem saraf. 4. B4: Bladder, Pemeriksaan faal ginjal secara umum akan menggambarkan hemodinamik penderita, status hidrasi dan hormonal. Pemeriksaan urine dilakukan dengan memeriksa : a. Produksi urine - Normal : 0,5-1 ml/kg BB/jam - Anuri : 20 ml/24jam - Oliguri : 25 ml/jam atau 400 ml/24jam - Poliuri : 2500 ml/24 jam b. Serum kreatinin c. BUN d. Sedimen urine 5. B5: Bowel 



Makan dan minum terakhir harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek muntah yang dapat mengakibatkan aspirasi muntah kedalam paru-paru.







Perut kembung dapat menyebabkan diafragma terdorong keatas sehingga pergerakan terganggu, kemudian paru-paru terbatas bergerak sehingga menimbulkan hipoventilasi.







Bising usus dan peristaltik usus, cairan bebas dalam perut atau massa abdominal.







Pembesaran hepar, dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat yang akan digunakan.



10







Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.



6. B6: Bone, Lakukan evaluasi adanya kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskular, ataupun fraktur. Kelainan postur dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi penyulit saat anastesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral sehingga mempersulit intubasi. Patah tulang leher terutama pada C2 dapat menyebabkan tetraplegi dan kelumpuhan otot diafragma sehingga penderita meninggal karena gangguan nafas.



Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dapat dilakukan klasifikasi status fisik pasien yang merujuk pada klasifikasi The American Society of Anesthesiologist (ASA) untuk menggambarkan status kebugaran fisik:



Tabel 1. Klasifikasi Status Fisik oleh ASA Status



Keadaan Penyakit



ASA kelas 1



Tidak ada gangguan organik, fisiologis, biokimia, atau psikiatri



ASA kelas 2



Gangguan sistemik ringan hingga sedang, bisa/tidak berpengaruh terhadap alasan dilakukannya tindakan operasi. Contoh: penyakit jantung yang membatasi aktivitas fisik sedikit saja, hipertensi esensial, DM, anemia, usia ekstrim, bronchitis kronis



ASA kelas 3



Gangguan sistemik berat yang bisa/tidak berpengaruh terhadap alasan dilakukannya operasi. Contoh: penyakit jantung yang membatasi aktivitas fisik, hipertensi esensial yang tidak terkontrol, DM dengan komplikasi vascular, penyakit paru kronis yang membatasi aktivitas, angina pectoris, riwayat infark miokard akut



ASA kelas 4



Gangguan sistemik berat yang membahayakan nyawa, dengan/tanpa operasi Contoh: gagal jantung kongestif, angina pectoris persisten, disfungsi



11



ASA kelas 5



Pasien dengan kemungkinan hidup yang kecil namun tetap dioperasi sebagai upaya terakhir (usaha resusitasi). Contoh: perdarahan yang tidak terkontrol pada aneurisma yang robek, trauma serebral, emboli paru



ASA kelas 6



Pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak dan organnya akan digunakan untuk tujuan donor



E



Huruf E ditambahkan pada nomer status pada operasi gawat darurat



2. Pemeriksaan Penunjang Uji laboratorium dan penunjang lain sebaiknya dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan keadaan/penyakit yang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien yang sehat dan tanpa gejala tidak dianjurkan. Pemeriksaan harus didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang pra operasi harus dapat membedakan: harus ada peningkatan risiko perioperatif saat hasilnya abnormal (dan tidak diketahui ketika tes tidak dilakukan), dan harus ada penurunan risiko ketika kelainan ini tidak terdeteksi (atau telah dikoreksi). Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan bila hasil anamnesis dan pemeriksan penunjang dirasa masih meragukan sehingga perlu adanya konfirmasi dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi, EKG, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat dikerjakan pada persiapan anestesi antara lain: 1. Darah lengkap 2. Tes fungsi hati (SGOT, SGPT) 3. Tes fungsi ginjal (Serum Kreatinin, BUN) 4. Serum elektrolit 5. Faal hemostasis. 6. Tes kehamilan 7. Skrining untuk infeksi HIV masih menjadi kontroversi



12



3. Informed Consent Pemeriksaan pra operasi bertujuan memberikan pasien penjelasan yang berdasar terhadap pilihan penanganan tindakan anestesi yang tersedia. Apapun pilihan yang dipilih oleh pasien, pemberian informed consent sangatlah penting untuk dilaksanakan. Meski terkadang persetujuan lisan sudah mencukupi, tetapi persetujuan tertulis lebih disarankan untuk tujuan medikolegal. Sebelum memberikan persetujuan pasien dan wali/keluarga sebaiknya telah diberikan penjelasan sehingga dalam mengambil keputusan mereka telah terlebih dahulu paham akan prosedur yang akan dilakukan dan risikorisiko yang menyertai prosedur tersebut. Tujuan dari kunjungan preoperatif tidak hanya untuk memperoleh informasi penting dan informed consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan yang sehat antara dokter-pasien. Anamnesis dengan rasa empati dan menjawab pertanyaan pasien yang penting membuat pasien dapat memperkirakan kondisi yang akan dihadapi. Hal ini terbukti efektif dalam meredakan ketegangan seperti halnya pemberian obat premedikasi.



2. PERSIAPAN ANESTESI Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif maupun darurat, harus dipersiapkan dengan baik. Persiapan yang kurang memadai dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan anestesi. 



Persiapan psikis Perlu diberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga pasien dan keluarga bisa tenang.







Persiapan fisik 1. Pembersihan dan pengosongan saluran cerna, pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi. Pengosongan ini dilakukan dengan berpuasa. Pasien yang akan menjalani operasi diminta untuk puasa selama minimal 6–8 jam untuk orang dewasa, 4–6 jam untuk anak-anak, dan 3–4 jam untuk bayi.



13



Makanan tidak berlemak minimal 5 jam dan minuman bening 3 jam sebelum induksi. Sedangkan penggunaan air putih untuk minum obat dibolehkan secara terbatas hingga 1 jam sebelum induksi. Pada pembedahan darurat, pengosongan lambung dapat dilakukan secara aktif dengan cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik, atau memberi obat yang menyebabkan muntah namun cara ini jarang dilakukan karena tidak nyaman untuk pasien. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan pemberian antasida (magnesium trisiklat) atau antagonis reseptor H2 (cimetidine atau ranitidine). Puasa yang cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stress mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri, atau pada pasien DM. Obat pencahar umumnya diberikan pada laparotomi eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari karena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatri. 2. Melepaskan segala macam aksesoris yang menempel pada tubuh pasien seperti gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang, dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak mengganggu pemeriksaan selama anestesi. 3. Pencukuran rambut pada daerah operasi, bertujuan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bertumbuhnya mikroorganisme dan juga mengganggu proses penyembuhan dan perawatan luka. 4. Persiapan personal hygiene yang baik, karena kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi agar tidak terjadi infeksi pada daerah yang dioperasi. 5. Pengosongan kandung kemih harus, bila perlu dilakukan kateterisasi. 6. Pembersihan jalan nafas, pasien diminta untuk batuk sekuat-kuatnya dan mengeluarkan lendir jalan nafas. 7. Persiapan pakaian, pasien masuk ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Serta



14



dilakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed consent) atau belum. 8. Pemeriksaan fisik ulang dapat dilakukan terutama pemeriksaan fisik yang penting untuk menilai ada/tidaknya perubahan status pasien yang dapat menyulitkan perjalanan anestesia, misalnya hipertensi, dehidrasi, atau serangan asma akut. 



Persiapan lain 1. Pemberian obat sedatif pada pasien dapat diberikan pada pasien yang menderita stres yang berlebihan atau pada pasien yang tidak kooperatif seperti pada pasien pediatrik. Pemberian obat sedatif dapat dilakukan dengan oral pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari sebelum ke kamar operasi, ataupun secara rektal pada pasien pediatrik pada pagi hari sebelum ke kamar operasi. 2. Pemberian Proton pump inhibitor seperti omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol bekerja pada sel pariental lambung, berikatan dan menghambat pompa proton sehingga menghambat sekresi asam lambung. Inhibitor reseptor H2 menghambat pengikatan histamin pada reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan volum gaster serta menurunkan pH lambung sehingga lebih efektif mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai profilaksis dapat digunakan dosis ranitidin 50 mg i.v, ranitidin oral 150-300 mg diberikan malam hari dan waktu 1-2 jam praanestesia. Pemberian harus lebih berhati-hati pada pasien dengan kelainan ginjal dan hepar. 3. Perlu diberikan juga pemeliharaan atau pengganti puasa dengan cairan infus sesuai dengan indikasi dan usia pasien. Pada neonatus diberikan cairan dekstrosa 5% dalam NaCl 0,225, pada anak dengan usia 12 tahun tidak ada indikasi cairan yang pasti seperti dekstrosa 5% dalam NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Penderita dengan diabetes melitus dapat diberikan cairan maltosa 5% dalam ringer. Sedangkan jumlah cairan yang dibutuhkan dapat ditentukan dari lamanya puasa.



15



Cara mengganti cairan penderita puasa: Jumlah cairan : Pada pemberian cairan perlu diperhatikan komposisi kalium, natrium sesuai kebutuhan kalori untuk penderita. 1. Dewasa : 50cc / kgBB/ 24 jam Cairan yang diberikan terdiri dari RD5%, RL, Assering, D5%. Cairan elektrolit dan kalori dipakai sebagai pengganti defisit cairan. 2. Anak Maksimal pemberian cairan pada anak sebesar 20cc/kgBB/jam. Jenis cairan yang diberikan adalah D10%, NS, D51/4 salin, D5½ salin. Disesuaikan dengan kebuthan penderita (kalori, elektrolit, osmolalitas) Berat Badan



Kebutuhan Cairan 24 jam



Kebutuhan Cairan 1 jam



0 – 10 kg



100 cc/kgBB



4 cc/kgBB



10 – 20 kg



1000 cc + 50 cc/KgBB tiap > 10 kg



40 cc + 2 cc/ KgBB tiap > 10 kg



20-30 kg



1500 cc + 20 cc/KgBB tiap > 20 kg



40 cc + 2 cc/ KgBB tiap > 20 kg



3. PREMEDIKASI Dengan kemajuan teknik anestesi saat ini, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obatobatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri. Tujuan pemberian premedikasi antara lain :



16



1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, seperti mengurangi rasa takut, cemas, menghilangkan nyeri, dan mencegah mual-muntah. Kunjungan preanestesi dan pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam menghadapi operasi. 2. Memperlancar induksi anestesi. Pemberian obat sedasi dapat menurunkan aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap rangsangan berkurang. Obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa takut dan kecemasan pasien. 3. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Sekresi dapat terjadi selama tindakan pembedahan dan anestesi, dapat dirangsang oleh suctioning atau pemasangan pipa endotrakea. Obat golongan antikolinergik seperti atropin dan scopolamin dapat mengurangi sekresi sekret saluran nafas. 4. Mengurangi kebutuhan/dosis obat anestesi. Tujuan premedikasi untuk mengurangi metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat. 5. Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan, dan pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah, sehingga diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual, muntah seperti golongan antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine, atau alpha-2 agonis. 6. Menimbulkan amnesia, obat golongan benzodiazepin banyak digunakan karena efeknya di sistem saraf pusat pada sistem limbik dan ARAS sehingga mempunyai efek sedasi, anti cemas, dan menimbulkan amnesia anterograde. 7. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung; puasa dan kecemasan dapat meningkatkan sekresi asam lambung. Hal ini akan sangat berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonitis aspirasi atau sindrom mendelson. Oleh karena itu, pemberian obat yang dapat mengurangi isi cairan lambung serta menurunkan PH lambung dapat dipertimbangan pada pasien.



17



8. Mengurangi refleks yang tidak diinginkan. Trauma pembedahan dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak bila anestesi tidak adekuat sehingga pemberian obat analgesia dapat ditambahkan sebelum pembedahan.



Tidak semua pasien memerlukan premedikasi dan tidak semua pasien dapat diberi premedikasi. Dengan kata lain, premedikasi bukanlah keharusan dan sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia. Premedikasi juga tidak berarti pemberian obat jenis tertentu sebelum anestesia. Tergantung kepada tujuan dan sifat obatnya, premedikasi dapat diberikan malam sebelum operasi atau beberapa jam sebelum anastesia. Obat-obat yang diberikan oleh dokter lain dan tidak terkait dengan prosedur anastesia bukanlah premedikasi. Contohnya pemberian antibiotika oleh ahli penyakit dalam sejak tiga hari sebelumnya, antihipertensi oleh kardiologis dan sebagainya. Obat premedikasi diberikan oleh dokter anastesiologis.



Obat-obat yang sering digunakan untuk premedikasi: 1. Antikolinergik Antikolinergik adalah obat yang memblokade neurotransmiter asetilkolin dengan cara inhibisi kompetitif. Obat-obat ini menginhibisi tonus parasimpatis dengan konsekuensi menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih, dan sebagainya. Contoh obat golongan ini adalah atropin, glikopirolat, difenhidramin, dimenhidrinat, ipratropium bromida. Atropin adalah yang paling banyak digunakan. Selain relaksasi sfingter, atropin menyebabkan dilatasi pupil. Oleh karena itu penggunaan atropin perlu perhatian khusus pada glaukoma sudut sempit, hipertrofi prostat, dan obstruksi kandung kemih. Dosis atropin sebagai premedikasi adalah 0,01-0,02 mg/kgBB. Efek yang diinginkan dari obat ini adala antisialagog (mengurangi sekresi jalan nafas). Efek vagolitik terlihat nyata pada atropin, sehingga obat ini pun berguna untuk mengatasi refleks vagal. Pada pasien yang mengalami takikardia, tentu pemberian atropin sebagai obat premedikasi menjadi dilematis. Efek antikolinergik lain yang tidak diinginkan antara lain meningkatnya risiko refluks gastroesofagus akibat penurunan tonus sfingter esofagus, agitasi, konvulsi hingga koma, sikloplegia, demam akibat



18



hambatan sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh sebab itu pemberian atropin sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama sebelum anestesia dimulai karena akan menimbulkan sensasi tidak menyenangkan pada pasien.



2.



Sedatif Obat sedative/trankuilizer adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan memberikan efek kantuk dan tenang bagi pemakai. Pasien yang terpapar obat ini akan merasa tenang, mengantuk dan dapat tertidur, serta melupakan kejadian yang dialami selama tersedasi (amnesia anterograd). Contoh obat sedasi yang sering digunakan adalah derivat barbiturat, benzodiazepin, butirofenon. a. Golongan barbiturat 



Pentobarbital (nombutal), sekobarbital (sekonal) Pentobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk menimbulkan



sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intramuscular, pada dewasa dosis 100-200 mg dan pada bayi dan anak dosisnya 2mg/kgbb. Obat ini memiliki efek sedatif kuat sampai hipnotis, namun tidak memiliki efek analgesia. Depresi sirkulasi dan pernapasan yang ditimbulkannya minimal dan dapat melalui barier plasenta. Bila diberikan tanpa kombinasi dengan obat analgetik dapat menimbulkan rasa gelisah pada pasien. 



Fenobarbital (luminal) Obat ini mempunyai kerja depresan yang lemah terhadap pernafasan dan



sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah. Diberikan per oral atau intramuskular dengan dosis1,5mg/kgBB. Untuk menimbulkan efek hipnosis diberikan dosis 100mg. Pasien yang mendapat barbiturate sebagai premedikasi biasanya bangun lebih cepat daripada bila menggunakan narkotika.



19



b. Golongan benzodiazepine Benzodiazepin memiliki beberapa efek yaitu ansiolitik, sedatif, dan amnesia. Benzodiazepin dapat menimbulkan efek ansiolitik pada dosis yang tidak menimbulkan efek sedasi. 



Midazolam (dormicum) Memiliki efek antiansietas, sedasi, amnesia dan antikonvulsi, namun



tidak memiliki efek analgesik. Obat ini tidak mendepresi nafas dan sirkulasi. Obat ini larut air dan tidak memberikan rasa nyeri sehingga dapat diberikan secara intramuskular maupun intravena. Midazolam oral paling sering digunakan pada anak-anak. Midazolam sirup efektif sebagai sedatif dan ansiolitik pada dosis 0,2-0,4 mg/kgBB. Beberapa penelitian membuktikan obat ini juga efektif diberikan intranasal dan pada mukosa bukal. Pada pasien sehat yang mendapat midazolam dosis rendah efek depresi kardiovaskular sangat minimal. Efek signifikan kardiovaskular dari midazolam terjadi berhubungan dengan benzodiazepine induced peripheral vasodilatation. Waktu pulih dari midazolam meningkat pada usia lanjut, obesitas, dan penyakit hati berat. 



Diazepam (valium) Diazepam bekerja pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek



anti-anxietas yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi nafas, mual atau muntah. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini adalah kadang-kadang pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Obat ini lebih sukar untuk larut air sehingga menimbulkan rasa nyeri.



c. Golongan Butyrophenon (Dehidrobenzperidrol (dbp) = Droperidol) Obat ini memiliki efek neuroleptik, transquilizer dan antiemetik. Droperidol dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah tepi sehingga seringkali menimbulkan hipotensi bila diberikan secara intravena, sehingga pasien harus diberikan infus terlebih dahulu. Obat ini digunakan pada pasien dengan resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan



20



obesitas. Dosis 2,5-5mg im digunakan sebagai obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Pada dosis besar dapat menumbulkan gejala Parkinson. 3. Analgesik Opioid Analgesik opioid memiliki sifat analgesik yang sangat kuat, sehingga dipakai untuk menghilangkan nyeri selama operasi atau untuk menumpulkan respons terhadap tindakan menipulasi saluran napas seperti intubasi. Contoh golongan opioid adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl dan sufenta. Fentanyl meupakan analgesik yang sangat kuat, kurang menyebabkan pelepasan histamine dan onset serta durasinya lebih singkat dibandingkan morfin dan petidin. Efek samping opioid berupa nausea, pruritus dan sedasi. Semua opioid memiliki efek depresi pernapasan. Biasanya pasien akan mengalami apneu beberapa saat, kemudian kadang berlanjut sehingga diperlukan bantuan pernapasan. Dosis morfin premedikasi adalah 0,05-0,2 mg/kgBB i.m. Dosis petidin untuk premedikasi adalah 0,5-1mg/kgBB i.m. Dosis Fentanyl 1-2 µg/kgBB. Pemberian opioid dapat menimbulkan sedasi, bukan karena efek ansiolitik melainkan karena depresi susunan saraf pusat. Opioid dengan waktu paruh yang panjang dapat pula memberikan efek analgesia pascaoperasi. Opioid dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat secara luas termasuk depresi napas. Hipoventilasi dapat mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia yang tentu saja dapat berbahaya sehingga opioid jarang digunakan sebagai premedikasi di ruangan, kecuali jika tanda-tanda vital diawasi dengan ketat. Penggunaan opioid juga sebaiknya dihindari pada pasien yang akan melahirkan, pasien dengan kesadaran tidak baik, dan pasien dengan gangguan fungsi pernapasan. Opioid merangsang CTZ (chemoreceptor trigger zone) di ventrikel IV otak, mencetuskan mual muntah. Oleh sebab itu penggunaan opioid seringkali disertai antiemetik. Morfin dan opioid dapat menimbulkan spasme sfinkter Oddi pasien dengan obstruksi traktus biliaris yang dapat menimbulkan nyeri abdomen kuadran atas. Perlu dicermati jenis operasi yang akan dijalani pasien, agar penggunaan opioid ini tidak justru merugikan. Efek lain yang sering timbul setelah pemberian opioid adalah pelepasan histamin.



21



4. RUANG PULIH SADAR Pulih sadar merupakan periode di mana pasien masih mendapatkan pengawasan dari ahli anestesi setelah pasien meninggalkan meja operasi. Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat terjadi setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan. Pengawasan tersebut ditangani di Recovery Room. Ruang pulih sadar (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan umum pasien stabil. Pasien operasi yang ditempatkan di ruang pulih sadar secara terus menerus dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan ruang operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli bedah sehingga mudah dibawa kembalikan ke ruang operasi bila diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi atau ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman aliran listrik. Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum kembali normal, kemungkinan terjadi aspirasi yang sangat dirasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma pasca operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak diinginkan. Tujuan dari pemeriksaan waktu pulih sadar adalah untuk memulihkan kesehatan fisiologi dan psikologi dari pasien, antara lain: 1. Mempertahankan jalan napas 2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi 3. Mempertahankan sirkulasi darah 4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase



22



5. Keseimbangan cairan input dan output juga perlu diperhatikan 6. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah risiko luka.



Dalam ruang pulih sadar perlu untuk disiapkan peralatan alat bantu napas, oksigen dan masker oksigen, pulse oxymeter, cairan infus, tensimeter dan stetoskop, EKG, termometer, peralatan resusitasi jantung-paru, obat yang dibutuhkan untuk keadaan gawat. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laryngoscope, dan tracheostomy dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% hingga 100%. Untuk pemberian oksigen dibutuhkan pula kanula nasal, masker oksigen dan masker dengan kantung udara untuk pemberian nafas buatan. Pulse oxymeter (SpO2), fiberoptic laryngoscope dan ventilator harus disediakan, apabila tidak disediakan maka pasien yang membutuhkan alat tersebut dapat melanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif. Untuk menanggulangi sirkulasi harus disiapkan cairan NaCl 0,9%, dextrose 5%, infus, dan set jarum infus. Untuk monitor sistem sirkulasi dibutuhkan tensimeter dengan stetoskop, EKG, dan tekanan vena sentral. Monitor suhu pasca bedah sangat penting sehingga dapat diketahui secara dini adanya hipotermi atau hipertermi yang harus segera diatasi. Untuk penyimpanan darah dan obat yang harus ada di tempat dingin maka disediakan refrigerator. Fasilitas untuk pemasangan pipa lambung, kateter, dan vena seksi harus disediakan pengelolaan pembuangan cairan gaster, urine, dan cairan lain di ruang pulih sadar. Obat-obatan yang disediakan di ruang pulih sadar merupakan obat untuk mengatasi keadaan gawat. Masalah yang dapat terjadi di ruang pulih sadar antara lain: 1. Gangguan pernapasan a. Obstruksi saluran napas parsial atau total, tak ada ekspirasi paling sering dialami karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Penyebab lain adalah kejang laring pada pasien menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret, atau sebelumnya kesulitan intubasi trakea, tampon yang tertinggal.



23



b. Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 lebih dari 45 mm Hg. Tanda dapat bervariasi termasuk kondisi somnolen yang lama, obstruksi saluran napas, rendahnya nilai respirasi, takipnea dengan nafas dalam. atau sesak napas. 2. Gangguan kardiovaskular a. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru dan perdarahan otak. Terapi hipertensi diarahkan pada faktor penyebabnya dan kalau perlu dapat diberikan klonidin dan nitroprusid 0,5 ± 1,0 µg/kg/menit. b. Hipotensi harus segera dilatasi, karena dapat menyebabkan hipoksemi dan kerusakan



jaringan.



Terapi



hipotensi



disesuaikan



dengan



faktor



penyebabnya.Berikan O2 100% dan infus kristaloid RL atau Asering 200500 mL. c. Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asisdosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau memang pasien penderita sakit jantung. 3. Gelisah, dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan, efek samping



obat



(ketamin)



atau



buli-buli



penuh.



Setelah



disingkirkan



penyebabnya, pasien dapat diberi penenang midazolam 0.05-0.1 mg/kg BB. 4. Nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan. sedang, berat. a. Untuk meredam nyeri pasca bedah pada analgesia regional pasien dewasa, sering ditambahkan morfin 0,05-0,1 mg saat memasukan anestetik lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat meredam nyeri selama 10-16 jam. b. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diberikan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID misalnya ketorolac 10-30 mg iv atau im. 5. Mual-muntah, mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada penggunaan opioid bedah intra abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianastesia adalah: a. Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/KgBB (amp 5 mg/mL) im atau iv



24



b. Metokloporamid (primperan) 0,1 mg/kg, supp 20 mg c. Ondansetron (zofran,narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB iv d. Cyclizine 25-50 mg 6. Menggigil, sering terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. a. Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Selain akibat turunnya suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu dan biasanya akibat obat anestetik inhalasi. b. Terapi peptidin 10-20 mg i.v. pada dewasa, selimut hangat, infus, hangat,lampu penghangat digunakan untuk menaikkan suhu tubuh.



University of Pittsburgh Medical Center (UPMC) mengatakan bahwa kriteria pasien dapat dipulangkan tergantung pada jenis operasi dan prosedurnya, sehingga dapat dinilai apakah pasien dapat keluar dari Recovery Room ke ruang rawat inap yang sesuai atau kembali ke Unit Bedah Harian. Berikut merupakan beberapa kondisi yang dapat mendasari keputusan tersebut di atas: 1. Pemulihan dari anestesi a. Pada anestesi umum, pasien harus terjaga dan keadaan mentalnya kembali normal. b. Pada anestesi spinal, pasien harus mampu merasakan dan menggerakkan kaki sebagaimana pasien dapat menggerakkan kakinya sebelum operasi. 2. Tanda-tanda vital harus stabil dan suhu dasar harus normal. 3. Rasa nyeri harus terkontrol. 4. Jika terjadi mual atau muntah, maka pasien butuh untuk tinggal lebih lama di Recovery Room. 5. Menggigil berlebihan dan hilangnya panas tubuh karena anestesi juga membutuhkan waktu untuk tinggal lebih lama di Recovery Room. 6. Tergantung



pada



operasi



dan



jenis



anestesinya,



pasien



mungkin



membutuhkan obat yang membantu mengontrol detak jantung, tekanan darah, pernapasan, atau gangguan seperti diabetes, dan membutuhkan waktu tinggal lebih lama di Recovery Room.



25



Jika semua kriteria terpenuhi, pasien dapat ke Ruang Rawat Inap atau Unit Bedah Harian. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama pemantauan sebelum pengiriman pasien ke ruangan adalah: 1. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat penawarnya secara intravena. 2. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau narkotik secara intramuskular. 3. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan. 4. Observasi 60 menit setelah ekstubasi. 5. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh oleh Dokter Spesialis Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.



Umumnya rumah sakit menggunakan penilaiannya dengan sistem penilaian Aldrete Score dalam menentukan kondisi umum, tingkat kesadaran dan kesiapan pasien setelah anestesi untuk bisa keluar dengan aman dari Recovery Room. 1. Aldrete Score a. Aldrete score adalah skor pemulihan paska anestesi yang dikembangkan oleh J. Antonio Aldrete, MD dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 dan diperbaharui pada tahun 1995. Aldrete score merupakan kriteria yang menyatakan stabil atau tidaknya pasien setelah anestesi yang diukur meliputi pengukuran kesadaran, aktivitas, respirasi, sirkulasi (tekanan darah, laju pernafasan), dan warna kulit. Penggunaannya didukung oleh Joint Commision on Accredition of Healthcare Organizations



(JCAHO),



khususnya



untuk



menilai



kemampuan



mengevaluasi kondisi pasien yang telah menjalani anestesi umum. b. Skor yang diperoleh dari kriteria Aldrete score ini berkisar 1- 10. Pasien akan dinilai saat masuk ke Recovery Room, setelah itu dinilai kembali setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4 kali kemudian skor total akan dihitung dan dicatat pada catatan penilaian. c. Pasien dengan skor kurang dari 7 harus tetap berada di Recovery Room sampai kondisi membaik atau bisa juga dipindahkan ke bagian perawatan intensif, tergantung pada nilai dasar pra-operasi pasien.



26



d. International Anestesia Research Society (2010) menyebutkan apabila pasien yang mendapatkan nilai skor 8 atau lebih dapat dibawa pulang ke rumah. Lamanya pasien tinggal di Recovery Room tergantung dari teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim keIntensive Care Unit (ICU) apabila hemodinamik tidak stabil perlu bantuan inotropik dan membutuhkan ventilator (Mechanical Respiratory Support). 2. Steward Score Bila pasien adalah anak-anak, kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward. Bila nilai total skor di atas 5 maka pasien boleh dipindahkan ke ruangan. Untuk menilai masa pulih sadar skor Steward membagi dalam tiga tahap, yaitu: a. Immediate recovery: kembalinya kesadaran, kembalinya refleks-refleks protektif jalan nafas dan aktivitas motor yang singkat. b. Intermediate recovery: kembalinya fungsi koordinasi dan hilangnya perasaan pusing subyektif. Tahap ini terjadi kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu dalam. c. Longterm recovery: tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung dari lama anestesi. 3. Bromage Score Untuk pasien dengan dilakukan anestesi regional dapat digunakan skor Bromage, yang menilai pergerakan kaki, lutut, dan tungkai. Apabila total skor 0, maka pasin dapat dipindahkan ke ruangan.



27



28



BAB III KESIMPULAN



Anestesi muncul sebagai salah satu ilmu yang paling berkembang di dunia kedokteran. Tindakan anesthesia yang pertama kali dilakukan di dunia modern dan ditujukan untuk mengurangi rasa nyeri dipresentasikan di depan publik oleh William T. G. Morton (1819 – 1868) pada tahun 1846. Menurut Oliver Wendell Holmes kata anestesia menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara oleh karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum proses anestesi dimulai, yaitu pre operatif visite, persiapan anestesi, premedikasi dan ruang pulih sadar. Kunjungan pra anestesi / Pre-Operatif visite pada tindakan bedah elektif umumnya dilakukan 1 – 2 hari sebelum operasi dan waktu lebih singkat pada keadaan darurat. Pada kunjungan ini dilakukan pemeriksaan oleh dokter mulai dari pengenalan identitas pasien, pemeriksaan fisik hingga menentukan status fisik pasien dan bila perlu merencanakan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Selain itu dilakukan juga pemberian informed consent kepada pasien beserta keluarganya mengenai tindakan yang akan diterima oleh pasien selama proses anestesi dan pembedahan. Pada persiapan anestesi, pasien menjalani puasa preoperatif dan persiapan pada hari operasi. Persiapan pada hari operasi meliputi pengosongan isi lambung, membersihkan daerah yang akan dioperasi, melepas segala bentuk aksesoris hingga pemeriksaan fisik ulang yang penting untuk memastikan prosedur operasi yang akan dilakukan sudah benar. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Sedangkan pada tahap setelah operasi, pasien akan dimonitoring di dalam ruang pulih sadar hingga seluruh efek obat anestesi yang diberikan hilang dan kondisi serta kesadaran pasien telah stabil baru kemudian pasien boleh dipindahkan kembali ke ruang rawat inap.



29



DAFTAR PUSTAKA



Arief, Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014. Hartanto, H. 2016. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia Ed.4. Penerbit Buku Keodkteran EGC: Jakarta. Latief, Said, Kartini, Dahlan. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. Mangku, IG & Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks, 2010. Morgan, GE & Mikhail, M. Clinical Anesthesiology. New York: Mc Graw-Hill Companies, 2013. Pramono, A. 2017. Buku Kuliah: Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Soenarto, RF & Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia, 2012. Universitas



Diponegoro



Semarang.



Ruang



Pemulihan.



Available



at



http://eprints.undip.ac.id/43913/3/BAB_II.pdf diakses pada 12 Juni 2018 pukul 13.00 Universitas



Udayana



Bali.



Premedikasi.



Available



at



http://erepo.unud.ac.id/9999/3/4cc2e71f28ee2aa2d438258f8f008281.pdf diakses pada 12 Juni 2018 pukul 13.00 Universitas



Sebelas



Maret



Surakarta.



Waktu



Pulih



Sadar,



Available



at



file:///C:/Users/RIKA/Downloads/BAB%20II.pdf diakses pada 12 Juni 2018 pukul 13.00 Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan Reanimasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.



30