Referat Radiologi Limfoma Hodgkin Dan Non Hodgkin [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT LIMFOMA HODGKIN DAN NON-HODGKIN



Disusun oleh : Dandy Abdi Cita Gemilang NPM 1102015051



Pembimbing : dr. Kesuma Mulya, Sp.Rad



KEPANITRAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI PERIODE 2 SEPTEMBER - 5 OKTOBER 2019 RSUD CILEGON



i



DAFTAR ISI Daftar isi.......................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN............................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................2 2.1 Definisi .............................................................................................2 2.2 Klasifikasi.........................................................................................2 2.3 Etiologi..............................................................................................9 2.4 Anatomi Sistem Limfatik.................................................................12 2.5 Patofisiologi.....................................................................................13 2.6 Gejala Klinis Umum........................................................................15 2.7 Diagnosis ........................................................................................16 2.8 Penatalaksanaan...............................................................................23 2.9 Komplikasi.......................................................................................27 2.10 Prognosis..........................................................................................27 BAB III KESIMPULAN............................................................................29 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................30



ii



BAB I PENDAHULUAN



Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya. Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg. Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Limfoma atau limfoma maligna adalah sekelompok kanker di mana sel-sel limfatik menjadi abnormal dan mulai tumbuh secara tidak terkontrol. Karena jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka pertumbuhan limfoma dapat dimulai dari organ apapun.



2.2 Klasifikasi Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Limfoma Hodgkin (LH) Diagnosis LH berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin. Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat subtipe menurut Rye, antara lain:



2



Gambar 1 Sel Reed-Stenberg 1. LH tipe nodular sclerosis LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling sering dijumpai, baik pada penderita pria ataupun wanita, terutama pada para remaja dan dewasa muda. LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di supraklavikula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari LH tipe nodular sclerosing adalah (1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu sel lakuna yang merupakan sebuah sel besar yang memiliki sebuah inti multilobus, anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplasma yang melimpah dan pucat dan (2) adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang membagi jaringan limfoid ke dalam



3



nodul-nodul berbatas dengan infiltrat seluler yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel lakuna.



Gambar 2 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Nodular Sclerosis 2. LH tipe mixed cellularity LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi pada anakanak dan penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 50. Pria lebih dominan untuk menjadi penderita dibandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen dan limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah sel Reed Sternberg yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi heterogen yang mengandung limfosit berukuran kecil, eosinofil, sel plasma dan makrofag. LH tipe ini juga yang paling sering menunjukkan manifestasi sistemik dibandingkan dengan tipe-tipe lainnya.



4



Gambar 3 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Mixed Cellularity 3. LH tipe lymphocyte depleted LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang paling jarang dijumpai dan hanya mencangkup kurang dari 1% dari keseluruhan kasus LH namun merupakan tipe LH yang paling agresif dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini paling sering terjadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali dihubungkan dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe ini lebih sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed Stern- berg hadir dalam jumlah yang besar dan bentuk yang bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel Reed Sternberg yang dominan dan sedikit limfosit serta subtipe fibrosis difus di mana kelenjar getah bening digantikan oleh jaringan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit dan sel Reed Sternberg. 
 4. LH tipe lymphocyte predominant LH tipe nodular lymphocyte predominant mencangkup sekitar 5% dari keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologik dari LH tipe ini yaitu adanya variasi sel Reed Sternberg limfohistiositik yang memiliki inti besar multilobus yang halus dan menyerupai gambaran berondong jagung (pop-corn). Sel Reed Sternberg biasanya



5



ditemukan di dalam nodul besar yang sebagian besar dipenuhi oleh sel B limfosit kecil yang bercampur dengan makrofag sedangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil, neutrophil dan sel plasma jarang ditemukan.



Gambar 4 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Lymphocyte Predominant b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH) Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen dengan spektrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.



6



Tabel 2: Klasifikasi Revised American European Lymphoma (REAL)



Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-Sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.



7



(a)



(b)



Gambar 5 Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg dan (b) Limfoma Non Hodgkin



Gambar 6. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor



8



Tabel 3: Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell Keterlibatan/Penampakan Stadium I



Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik (IE)



II



Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)



III



Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)



IV



Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik



Suffix A



Tanpa gejala B



B



Terdapat salah satu gejala di bawah ini: 



Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya



X







Demam intermitten > 38° C







Berkeringat di malam hari



Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA



2.3 Etiologi Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab penyakit ini antara lain:



9



a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori) b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida, bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi. c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun d. Faktor genetik Epidemiologi LH menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama LH juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi sosial yang lebih tinggi) insidensi LH relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis LH. Dengan menggunakan teknik biologi molekular pada persentase yang cukup tinggi kasus LH (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas. Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t (8; 14), yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.



10



HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi kongenital, seperti misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t (8; 14) tersebut di atas, dimana satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t (8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi. Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t (14; 18) yang terdapat dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa



11



onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik. 2.4 Anatomi Sistem Limfatik Sistem limfatik terdapat di seluruh bagian tubuh manusia, kecuali sistem saraf pusat. Bagian terbesarnya terdapat di sumsum tulang, lien, kelenjar timus, limfonodi dan tonsil. Organ-organ lain termasuk hepar, paru-paru, usus, jantung, dan kulit juga mengandung jaringan limfatik.



Gambar 7 Anatomi Sistem Limfatik



12



Limfonodi berbentuk seperti ginjal atau bulat, dengan diameter sangat kecil sampai dengan 1 inch. Limfonodi biasanya membentuk suatu kumpulan (yang terdiri dari beberapa kelenjar) di beberapa bagian tubuh yang berbeda termasuk leher, axilla, thorax, abdomen, pelvis, dan inguinal. Kurang lebih dua per tiga dari seluruh kelenjar limfe dan jaringan limfatik berada di sekitar dan di dalam tractus gastrointestinal. Pembuluh limfe besar adalah ductus thoracicus, yang berasal dari sekitar bagian terendah vertebrae dan mengumpulkan cairan limfe dari extremitas inferior, pelvis, abdomen, dan thorax bagian inferior. Pembuluh limfe ini berjalan melewati thorax dan bersatu dengan vena besar di leher sebelah kiri. Ductus limfatikus dextra mengumpulkan cairan limfe dari leher sebelah kanan, thorax, dan extremitas bagian superior kemudian menyatu dengan vena besar pada leher kanan. 2.5 Patofisiologi Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA. Proto-onkogen



merupakan



gen



seluler



normal



yang



mempengaruhi



pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya, kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi tanpa henti. Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati



13



menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker. Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan



gambaran dasar



yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem



klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.



Gambar 8 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan



14



2.6 Gejala Klinis Umum Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4 Manifestasi Klinis dari Limfoma



Anamnesis



Limfoma Hodgkin



Limfoma Non-Hodgkin



 Asimtomatik limfadenopati



 Asimtomatik limfadenopati



 Gejala sistemik (demam



 Gejala sistemik (demam



intermitten, keringat



intermitten, keringat



malam, BB turun)



malam, BB turun)



 Nyeri dada, batuk, napas pendek  Pruritus



 Mudah lelah  Gejala obstruksi GI tract dan Urinary tract.



 Nyeri tulang atau nyeri punggung  Teraba pembesaran limonodi pada satu kelompok kelenjar (cervix, axilla, inguinal)  Cincin Waldeyer & kelenjar mesenterik jarang Pemeriksaan Fisik



terkena  Hepatomegali & Splenomegali



 Melibatkan banyak kelenjar perifer  Cincin Waldeyer dan kelenjar mesenterik sering terkena  Hepatomegali & Splenomegali  Massa di abdomen dan testis



 Sindrom Vena Cava Superior  Gejala susunan saraf pusat (degenerasi serebral dan neuropati)



15



2.7 Diagnosis Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Untuk anamnesis, bisa ditanyakan kepada pasien apakah mengalami keluhan-keluhan yang telah disebutkan di bagian manifestasi klinis sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik dalam pemeriksaan palpasi bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri di leher terutama supraklavikuler, aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Perlu dilakukan pemeriksaan THT secara menyeluruh untuk mencari keterlibatan tonsil dalam penyakit limfoma malignum pada penderita. Bisa ditemukan pembesaran tonsil unilateral atau bilateral, dan ulserasi pada palatum, tonsil, nasofaring dan laring. Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien HL serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan. Juga dijumpai monositosis absolut limfositopenia absolut ( 15,000/mm3







Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih



Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya hanya 59%.6 Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain: 



usia (>60 tahun)



27







Ann Arbor stage (III-IV)







hemoglobin (4) dan







serum LDH (meningkat)



yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).



28



BAB III KESIMPULAN



Limfoma malignum merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid yang dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma nonHodgkin. Limfoma malignum dapat mengenai tonsil, yang juga merupakan salah satu dari jaringan limfoid di tubuh manusia. Limfoma Hodgkin bercirikan adanya sel malignum khusus, yang disebut dengan sel Reed-Sternberg, pada limfonodus atau jaringan limfatik lainnya. Limfoma malignum non-Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Limfoma malignum, ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat badan menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan limfoma malignum pada tonsil bisa kesulitan dalam menelan, nyeri menelan dan merasa adanya massa di tenggorok. Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Setelah diagnosis ditegakkan maka ditentukan stadium dari penyakitnya, lalu dilakukan terapi yang terdiri dari radioterapi dan kemoterapi. Operasi biasanya hanya dilakukan jika akan dilakukan pemeriksaan biopsi histopatologi, stabilisasi jalan nafas dan jika terapi radioterapi dan kemoterapi tidak berhasil.



29



DAFTAR PUSTAKA 1.



Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss Med Wkly (134) : 472-480.



2.



Dessain,



S.K.



2009.



Hodgkin



http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview



Disease.



(diakses



tanggal



18



September 2019). 3.



Ford-Martin,



Paula.



2005.



Malignant



Lymphoma.



[serial



online].



http://www.healthline.com /malignant-lymphoma/ (diakses tanggal 18 September 2019). 4.



Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition. Philadelphia: Elsevier & Saunders



5.



Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC



6.



Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



7.



The National Institute for Health and Care Excellence, 2016. Non-Hodgkin’s lymphoma: diagnosis and management. bit.ly/2Ag6q4M (diakses pada tanggal 18 September 2019).



8.



Vinjamaram,



S.



2010.



Lymphoma,



http://emedicine.medscape.com/article/20339-overview



(diakses



Non-Hodgkin. tanggal



18



September 2019).



30