Referat Sesak Nafas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT SESAK NAFAS



Pembimbing : dr. Indah Rahmawati, Sp.P



Oleh : Tika Indriati



G1A210089



SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011



1



HALAMAN PENGESAHAN



REFERAT SESAK NAFAS



Disusun oleh : Tika Indriati



G1A210089



Telah dipresentasikan dan disetujui pada : Hari



:



Tanggal :



Dokter Pembimbing,



dr. Indah Rahmawati, Sp.P



2



DAFTAR ISI



Daftar Tabel ............................................................................................................... 4 Daftar Gambar ........................................................................................................... 5 BAB I



PENDAHULUAN



A. Latar Belakang ............................................................................................... 6 B. Tujuan ........................................................................................................... 6 C. Manfaat .......................................................................................................... 6 BAB II



PEMBAHASAN



A. Anatomi Traktus Respiratorius ...................................................................... 7 B. Fisiologi Sistem Respirasi ............................................................................ 12 C. Sesak Nafas (Dispnea) ................................................................................. 14 D. Penatalaksanaan Sesak Nafas ....................................................................... 23 BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 25



3



DAFTAR TABEL



Tabel 1. Sebab sesak nafas .................................................................................... 15 Tabel 2. Skala dispnea ........................................................................................... 16 Tabel 3. Perbedaan sesak nafas atas dan bawah .................................................... 22



4



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1. Anatomi Sistem Respirasi ........................................................................ 8 Gambar 2. Anatomi Saluran Pernafasan Bagian Bawah ........................................... 9 Gambar 3. Anatomi Saluran Pernafasan bagian bawah ......................................... 10 Gambar 4. Bagan Anatomi dan Mekanisme Jalan Udara ....................................... 11 Gambar 5. Mekanisme Pernafasan Normal ............................................................ 13



5



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Sesak nafas merupakan suatu gejala yang dialami seseorang berupa sensasi ketidaknyamanan dalam bernafas dengan kualitas yang berbeda karena intensitasnya yang bervariasi dan bersifat subyektif. Keluhan sesak nafas dapat berasal berbagai sistim organ, yaitu sistim kardiovaskuler, pulmonal dan penyebab lainnya. Beberapa penyakit dari sistim pulmonal yang dapat dan paling sering menyebabkan sesak nafas adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Asma, Infeksi Saluran Pernafasan, Penyakit Parenkim Paru (misalnya, bronkopneumonia), Penyakit Paru Herediter dan sebagainya. Penyakit-penyakit ini memiliki prevalensi yang berbeda-beda. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia. (Davey,2006 ; Kusumosutoyo, 2009). Oleh karena prevalensi sesak nafas yang masih tinggi di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, maka penulis mengangkat judul ini sebagai topik penulisan referat.



B. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi saluran pernafasan 2. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, diferensial diagnosis dan penatalaksanaan sesak nafas.



C. Manfaat Penulisan Penulisan referat ini dapat menambah wawasan dan khasanah di bidang ilmu kedokteran serta menjadi sumber penulisan tugas-tugas bidang ilmu kedokteran khususnya bagian pulmonologi.



6



BAB II PEMBAHASAN



A. ANATOMI TRAKTUS RESPIRATORIUS Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus (Wilson, 2006). Saluran nafas terbagi secara berulang, masing-masing generasi yang berurutan jumlahnya menjadi dua kali lipat (Ward et al.,2008). Saluran pernafasan dibagi 2 menurut anatominya,yaitu : 1. Saluran nafas atas (Wilson, 2006) a. Rongga hidung : ketika masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel kolumner kompleks bersilia dan bergoblet b. Faring, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior di daalam sistem pernafasan bagian bawah menuju ke faring. c. Palatum mole (palatum lunak) : dapat menutup mulut dari pharinx dan hidung serta memungkinkan pernafasan saat mengunyah. d. Laring : katup yang rumit pada persimpangan antara lintasan makanan dan lintasan udara. Laring terangkat di bawah lidah saat menelan dan karenanya mencegah makanan masuk ke trakhea. e. Trakhea : dipertahankan terbuka oleh cincin kartilago berbentuk huruf C. Trakhea dibagi menjadi satu pasang bronkus utama yang terus bercabang lagi. Struktur trakhea dan bronkus dianalogikan dengan sebuah pohon, dan dinamakan pohon trakeobronkial. Cabang-cabang trakhea dilapisi dengan silia yaitu epitel yang menghasilkan lendir. Debu-debu tertangkap mukosa kemudian disapu ke laring oleh silia dan dibatukkan keluar. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan (generasi 2) disebut karina yang memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang.



7



Gambar 1. Anatomi Sistem Respirasi (Seeley et al, 2008) 2. Saluran nafas bawah dimulai dari trakhea pada batas bawah kartilago krikoid setinggi vertebra servikal 6. Saluran ini bercabang menjadi bronkus kanan dan kiri. a. Bronkus : bercabang-cabang lagi dan selanjutnya menjadi semakin kecil, yang membentuk bronkiolus yang tidak memiliki penyokong kartilago tetapi memiliki dinding otot polos yang mampu berkontraksi. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis (generasi 3 dan 4). Generasi 5-11 adalah bronkus kecil dengan diameter terkecil 1 mm (Ward et al.,2008). b. Bronkiolus dimulai dari sekitar generasi 12 dan dimulai dari titik ini tidak terdapat kartilago. Bronkiolus melekat dalam jaringan paru yang menahannya agar tetap terbuka Ujung dari bronkiolus (bronkiolus terminalis generasi 16) akhirnya terbuka kedalam lintasan berdinding tipis dan pendek, yaitu bronkiolus respiratorius (Ward et al.,2008).



8



c. Setelah bronkiolus respiratorius yang merupakan generasi pertama ang memiliki alveoli pada dindingnya, terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis (generasi 23) (Wilson, 2006). d. Alveoli : dibungkus oleh anyaman kapiler yang sangat halus yang mengandung darah. Udara dan darah berhubungan lewat dinding tipis. Disinilah satu-satunya tempat terjadi pertukaran gas melalui proses difusi. Sel epitel pada dinding alveoli dan duktus alveolaris tidak bersilia, dan sebagian besar merupakan pneumosit alveolar tipe I yang sangat tipis. Sel tersebut membentuk permukaan pertukaran gas dengan endotel kapiler. Beberapa pneumosit tipe II menyekresi suatu protein yang dinamakan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan lapisan cairan di alveoli dan karenanya mencegah alveoli menjadi kempes. Bila tidak ada surfaktan jaringan paru akan menjadi cepat padat dan tidak mengandiung udara. Luas permukaan total dari alveoli adalah 50 m2 (Wilson, 2006).



Gambar 2. Anatomi Saluran Pernafasan Bagian Bawah (Seeley et al, 2008)



9



Bronkus dan jalan napas sampai bronkiolus terminal mendapatkan nutrisi dari arteri bronkialis yang berasal dari aorta desendens. Bronkiolus respiratrius, duktus dan sakus alveolaris disuplai oleh sirkulasi pulmonal (Ward et al.,2008). Sistem respirasi terdiri dari sepasang paru di dalam rongga toraks. Paru kanan dibagi oleh fisura transversa dan oblik menjadi tiga lobus : superior, media, inferior. Paru kiri memiliki fisura oblik dan dua lobus yaitu lobus superior dan infeerior. Pembuluh darah, saraf dan sistem limfatik memasuki paru pada permukaan medialnya di akar paru atau hilus. Setiap lobus dibagi menjadi beberapa segmen bronkopulmonal berbentuk baji dengan apeks pada hilus dan basal pada permukaan paru. Setiap segmen bronkopulmonal disuplai oleh bronkus segmental, arteri serta venanya sendiri. Pleksus nervus pulmonalis di belakang setiap hilus menerima serabut dari vagus dan ganglia torakalis kedua sampai keempat pada trunkus simpatikus. Setiap vagus mengandung aferen sensorik dari paru dan jalan nafas serta eferen sekremotorik dan bronkokonstriktor parasimpatis. Serabut–serabut simpatis merupakan bronkodilator tetapi relatif jarang (Ward et al.,2008).



Gambar 3. Anatomi Saluran Pernafasan bagian bawah (Seeley et al, 2008)



10



Setiap paru dilapisi oleh suatu lapisan tipis kontinyu yang mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura. Pleura melapisi dinding dada, diafragma perikardium dan mediastinum (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura visceralis). Ruang antara lapisan parietalis dan visceralis sangat tipis dan dilubrikasi oleh cairan pleura. Saluran limfatik menyertai pembuluh darah kecil yang membawa limfe menuju nodus bronkopulmonal hilus kemudian ke nodus trakeobronkial pada bifurkasio aorta. Sebagian limfe dari lobus bawah bermuara ke nodus mediastinal posterior (Wilson,2006). Udara Inspirasi



Hidung



Faring



Trakhea



Bercabang 23 kali



a. 16 Cabang Pertama



Sisa 7 Cabang



Zona Peralihan



Zona Konduksi



Bronki, Bronkiolus, Bronkiolus B. Terminalis C.



Zona Pernafasan



Bronkiolus Respiratorius, duktus alveolaris, Sakus Alvelarois



Gambar 4. Bagan Anatomi dan Mekanisme Jalan Udara (Ward et al, 2008)



11



B. FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi 3 stadium. 1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat pada atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otototot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan



kosta



terangkat



akibat



kontraksi



beberapa



otot.



Otot



sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan m.seratus, scalenus dan intercostalis eksternus mengangkat kosta-kosta. Toraks membesar ke tiga arah yaitu vertikal, lateral dan anteroposterior. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal menurun pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer. Ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru. Relaksasi m.interkostalis eksternus, kosta turun dan diafragma naik ke atas menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan tekanan atmosfer menjadi sama pada akhir ekspirasi (Wilson, 2006). 2. Stadium kedua, transportasi yang ditinjau dari berbagai aspek yaitu: a. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi interna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan, b. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus, c. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah (Sherwood, 2001)



12



3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru (Sherwood, 2001). Mekanisme Pernafasan Normal



Inspirasi ( aktif )



Ekspirasi ( Pasif )



Kontraksi Otot inspirasi



Otot menurunkan vol.inratoraks



Meningkatkan Vol.Intratoraks



Pasif



Penurunan tekanan intraplura



Pada permulaan ekspirasi



Paru-paru mengembang



Beberapa otot ekspirasi kontraksi



Tekanan jalan udara menurun



udara mudah keluar karena tekanan diluar tubuh lebih rendah



Udara mengalir ke paru-paru



Untuk mengerem kekuatan recoil



Akhir inspirasi



Melambatkan ekspirasi



Recoil paru-paru menarik dada kembali



Posisi ekspirasi



Tekanan Recoil dan Dada seimbang Gambar 5. Mekanisme Pernafasan Normal (Wilson, 2006)



13



Kontrol pernafasan Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda yang keduanya dapat dipengaruhi oleh kontrol saraf (Sherwood, 2001): 1. Siklus ritmis antara inspirasi dan ekspirasi. Irama bernafas terutama ditentukan oleh aktivitas pemacu yang diperlihatkan oleh neuron-neuron inspirasi yang terletak di pusat kontrol pernafasan di medula batang otak. Sewaktu neuron-neuron inspirasi ini melepaskan muatan secara spontan, impuls akhirnya mencapai otot-otot inspirasi sehingga terjadi inspirasi. Apabila neuron inspirasi berhenti melepaskan muatan, otot inspirasi melemas dan terjadi ekspirasi. Otot-otot ekspirasi diaktifkan oleh keluaran dari neuronneuron ekspirasi di medula sehingga ekspirasi aktif terjadi. Irama dasar ini diperhalus oleh pusat apnustik dan pneumotaksik yang terletak lebih tinggi di batang otak di pons. Pusat apnustik memperpanjang inspirasi, sementara pusat pneumotaksik yang lebih kuat membatasi respirasi (Sherwood, 2001) 2. Pengaturan besarnya ventilasi yang bergantung pada kontrol frekuensi bernafas dan kedalaman tidal volume. Tiga faktor kimia yang berperan dalam penentuan besarnya ventilasi adalah PCO2, PO2 dan konsentrasi H+ dalam arteri. Perubahan PCO2 arteri mengubah ventilasi terutama dengan menimbulkan perubahan setara pada konsentrasi H+ CES otak, yang sangat peka di kemoreseptor sentral. Kemoreseptor perifer responsif terhadap peningkatan konsentrasi H+ arteri yang secara refleks meningkatkan ventilasi. Penurunan PO2 arteri menyebabkan kemoreseptor perifer merangsang pusat pernafasan (Sherwood, 2001).



C. SESAK NAFAS (Dispnea) 1. Definisi Dispnea atau sesak nafas adalah merasakan gerakan pernafasan (Davey, 2006) atau perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar (Wilson, 2006). Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh nafasnya menjadi pendek atau terasa tercekik. Sesak nafas tidak



14



selalu menunjukkan adanya penyakit, orang normal akan mengalami sesak nafas setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda (Wilson, 2006). Dispnea atau breathlessness adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri, yang membutuhkan bantuan nafas yang serius (severe air hunger) sampai yang fatal (Amin, 2006). Sesak nafas dapat dibedakan dari gejala dan tanda yang mungkin memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernafasan yang cepat, lebih cepat dari pernafasan normal (12-20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi merupakan ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan



pengeluaran



karbon



dioksida



normal,



yang



dapat



diindentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangan (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi pada seseorang yang sehat dengan keadaan stress emosional (Wilson, 2006). 2. Etiologi sesak nafas Tabel 1. Sebab Sesak Nafas No. Tempat 1. Penyakit dinding paru 2.



Penyakit vaskular paru



3.



Penyakit pleura



4.



Penyakit Parenkimal



5.



Penyakit saluran nafas



6.



Penyakit Kardiovaskular



7.



Penyebab lain



Diferensial Diagnosis Trauma. Penyakit neurologik Kelainan tulang Emboli paru, Kor pulmonale Hipertensi paru primer Penyakit veno-oklusi paru Pneumotoraks, Efusi pleura Hemotoraks, Fibrosis Pneumonia Gagal jantung kongestif ARDS Asma, Bronkhitis kronis Emfisema, Sumbatan laring Tertelan benda asing Gagal jantung kronis, stenosis mitral, sesak “angina ekuivalen” Demam, hiperventilasi psikogenik, Asidosis metabolik, anemia Obesitas, penyakit neurologis (Amin, 2006; Davey, 2006)



15



3. Patofisiologi Beberapa sumber penyebab dispnea adalah: a. Reseptor mekanik pada otot-otot pernafasan, paru, dan dinding dada. Dalam hal ini teori tegangan-panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot khususnya pada serat otot berperan penting dalam membandingkan antara tegangan dalam otot dan derajat elastisitasnya. Apabila terjadi dispnea, tegangan yang terjadi tidak akan mencukupi untuk satu gelondong otot (volume nafas yang terpenuhi). b. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) c. Peningkatan kerja otot pada saluran pernafasan sehingga mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak nafas. d. Ketidakseimbangan antara kerja otot pernafasan dan kapasitas ventilasi (Wilson, 2006). Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan itu. Dispnea yang terjadi pada seseorang



harus



dikaitkan



dengan



tingkat



aktivitas



minimal



yang



menyebabkan dispnea, untuk menentukan apakah dispnea terjadi setelah aktivitas sedang atau berat, atau terjadi saat istirahat (Wilson, 2006). Tabel 2. Skala Dispnea Tingkat Derajat 0 Normal 1



Ringan



2



Sedang



3



Berat



4



Sangat Berat



Kriteria Tidak ada kesulitan bernafas kecuali dengan aktivitas berat Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek-pendek ketika terburu-buru atau ketika berjalan melalui puncak landai Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan orang berusia sama karena sulit bernafas atau harus berhenti brjalan untuk bernafas Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernafas atau setelah berjalan beberapa menit Terlalu sulit untuk bernafas bila meninggalkan rumah atau sulit bernafas ketika memakai/membuka baju (Wilson, 2006)



16



Variasi gejala umum sesak nafas (Wilson, 2006): a. Ortopnea, adalah nafas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. b. Dispnea nokturna paroksismal, timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernafas. 4. Diagnosis a. Anamnesis Kecepatan onset dan pola dispnea bisa membantu menegakkan diagnosis. Riwayat khas pada berbagai penyakit penyebab sesak nafas adalah: 1) Gagal jantung a) Dispnea tidak berhubungan dengan mengi (wheezing), hal inilah yang membedakan dari PPOK kecuali bila terjadi asma kardiale (bronkospasme akibat edema paru). Ditemukan juga gejala penyakit jantung sebagai penyakit yang mendasari. b) Pada gagal jantung ringan sesak hanya terjadi saat aktivitas. c) Pada gagal jantung yang lebih berat sesak juga terjadi bila berbaring (ortopnea), langsung menghilang bila duduk atau berdiri. Bila gejala ini berat disebut dispnea nokturnal paroksismal. d) Sering disertai edema tungkai bawah, membaik pada pagi hari dan memburuk pada malam hari (Davey, 2006). 2) Asma Pada asma sesak disertai mengi. Pasien terlihat normal bila tidak sedang serangan. Mengi bisa terjadi akibat olahraga, menghirup serbuk sari, obatobatan terutama aspirin atau β bloker, atau emosi. Pada malam hari bisa timbul gejala yang lebih berat dapat disertai batuk kering. Gejala nokturnal pada asma tidak seperti pada gagal jantung, bila duduk atau berdiri akan membaik perlahan-lahan (>30 menit) atau tidak membaik sama sekali (Davey, 2006).



17



3) PPOK Sesak saat aktivitas meningkat secara progresif dalam beberapa tahun seringkali lebih dari 5 tahun. Biasanya disertai bronkhitis kronis yaitu batuk produktif di pagi hari >3 bulan per tahun selama 2 tahun berturutturut (Davey, 2006). Serangan sesak nafas berlangsung berkepanjangan selama berjam-jam atau berhari-hari (Amin, 2006). 4) Infeksi saluran nafas Ditandai oleh demam dan batuk produktif. Pada infeksi saluran pernafasan atas bisa disertai nyeri tenggorokan, pada pneumonia sering disertai gejala konstitusional yaitu demam dan malaise juga nyeri pleuritik (Davey, 2006). 5) Emboli paru Onset mendadak, pasien tiba-tiba sesak. Terjadi pada orang yang memiliki faktor predisposisi (imobilisasi, obesitas, menggunakan pil kontrasepsi oral, pascaoperasi, kanker). Bisa disertai nyeri pleuritik (Davey, 2006). 6) Pneumotoraks Ditandai oleh nyeri dada mendadak, sering pleuritik, disertai sesak. Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisis dan foto toraks (Davey, 2006). 7) Penyakit parenkim paru: pneumonia Ditandai adanya sesak saat aktivitas, dan bila berat terjadi saat istirahat, tanpa mengi.



Sesak tidak berhubungan dengan posisi tubuh (Davey,



2006). 8) Sesak angina ekuivalen Angina kadang dirasakan sebagai sesak napas, bukan nyeri dada (Davey, 2006). b. Pemeriksaan Fisik 1) Tampilan umum Seorang pasien yang mengantuk dengan nafas yang lambat dan pendek bisa disebabkan obat tertentu, retensi CO2 atau gangguan sistem saraf



18



pusat (misal stroke, edema serebral, pendarahan subarachnoid). Pasien yang gelisah dengan nafas yang cepat dan dalam dapat disebabkan hipoksemia berat karena primer penyakit paru atau saluran nafas, jantung atau bisa juga serangan cemas (anxiety attack), histerical attack (Amin, 2006). 2) Kehangatan kulit Pada dispnea jantung (gagal ventrikel kiri, emboli paru besar, efusi perikardial) kulit terasa dingin dan mungkin berkeringat. Sebagian besar pasien PPOK datang dengan kulit hangat dengan denyut nadi kuat (Davey, 2006). Demam dapat menunjukkan adanya infeksi saluran pernafasan. Suhu di bawah 35°C atau di atas 41°C atau tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg menandakan keadaan gawat darurat (Amin, 2006). 3) Denyut jantung Sesak nafas berat dengan penyebab apapun dapat meningkatkan denyut jantung. Pada kegagalan ventrikel kiri maupun asma, denyut jantung dapat dijadikan pedoman untuk melihat keparahan penyakit dan efek terapi (Davey, 2006). 4) Tekanan darah Tekanan darah jarang bisa membantu diagnosis, tetapi adanya paradoks (perbedaan antara TD sistolik saat inspirasi dan ekspirasi: normal 20 mmHg) (Davey, 2006). 5) Membran mukosa, untuk melihat adanya anemia dan sianosis. Pasien yang mengalami sesak berat akibat penyakit organik biasanya mengalami sianosis sentral saat mengambil nafas. Jika tidak, dapat dipertimbangkan efusi pleura, ansietas, atau asidosis metabolik (Davey, 2006). 6) Tekanan vena jugularis (JVP) adalah tanda yang penting. JVP meningkat pada gagal jantung, PPOK stadium akhir (kor pulmonal) dimana telah



19



terjadi gagal jantung kanan), dan emboli paru besar. Bila JVP tidak meningkat kemungkinan bukan gagal jantung. JVP normal belum menyingkirkan kegagalan ventrikel kiri murni (Davey, 2006). 7) Pemeriksaan jantung prekordial, dapat menunjukkan adanya pembesaran jantung atau impuls ventrikel kiri yang abnormal pada sebagian besar kasus gagal jantung, kor pulmonal, dan emboli paru (Davey, 2006). 8) Kontraksi otot bantu nafas Gejala objektif sesak nafas termasuk juga penggunaan otot-otot pernafasan tambahan yaitu sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor; pernafasan cuping hidung, takipnea dan hiperventilasi (Wilson, 2006). Kontraksi otot bantu nafas dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran nafas. Otot bantu pernafasan di leher dan otot-otot interkostal akan berkontraksi pada keadaan adanya obstruksi saluran nafas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau deviasi trakhea dapat pula dideteksi



selama pemeriksaan otot-otot nafas. Pada



pneumotoraks tension, sisi yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong ke sisi kontralateral lesi (Amin, 2006). 9) Pemeriksaan paru a) Inspeksi Frekuensi nafas meningkat pada sebagian besar pasien yang mengalami sesak saat istirahat (Davey, 2006). Hiperinflasi : keadaan menurunnya jarak antara insisura sternalis ke trakea (barrel chest) menunjukkan terperangkapnya udara dalam paru, biasanya terjadi akibat penyakit saluran nafas (PPOK, asma akut) (Davey, 2006). b) Palpasi Tertinggalnya pengembangan suatu hemitoraks yang dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau



20



efusi pleura. Menurunnya fremitus taktil yang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflasi (Amin, 2006). c) Perkusi Pada perkusi dijumpai resonansi pekak seperti batu pada efusi pleura (Davey, 2006). Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi selama serangan asma akut, emfisema, juga pada pneumotoraks. Redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura (Amin, 2006). d) Auskultasi Berkurangnya intensitas suara nafas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau pneumotoraks (Amin, 2006) Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan (Amin, 2006); sering disebabkan oleh infeksi, biasanya pneumonia (Davey, 2006). Ronki kering sering menunjukkan adanya fibrosis paru (Davey, 2006). Ronki kasar dan kering (coarse rales and wheezing) sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan saluran nafas. Ronki bilateral disertai irama gallop sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat sesuai lesi, pernafasan bronkial, adanya egofoni (diucapkan huruf i seperti e datar) menunjukkan adanya konsolidasi paru, biasanya pada pneumonia (Amin, 2006). Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis (Amin, 2006).



21



Tabel 3. Perbedaan sesak nafas atas dan bawah No. 1. 2. 3. 4. 5.



Beda Retraksi Stridor Akibat Keadaan alveoli Terapi Oksigen



Sesak Nafas Atas (+) Inspirasi Sianosis / tidak Kadar Oksigen Sedikit Perlu



Sesak Nafas Bawah (-) Ekspirasi Sianosis / tidak Kadar Oksigen Normal Jika Diperlukan (Davey, 2006)



1) Retraksi Retraksi adalah cekungan otot-otot dinding dada sewaktu melakukan inspirasi. a) Pada Sesak Nafas Atas  Terjadi sumbatan di pernafasan bagian atas lalu masuk ke alveolus, terjadi usaha bernafas semaksimal mungkin, otot-otot dinding dada retraksi. b) Pada Sesak Nafas Bawah  Tidak terjadi retraksi karena pernafasan bagian bawah hanya berfungsi untuk difusi. Contoh pada kasus bronkopneumoni dimana terjadi udema yang mengakibatkan gangguan difusi (Davey, 2006). 2) Sianosis Sianosis dapat terlihat dari akibat yang ditimbulkan tersumbatnya saluran nafas atas atau bawah karena kedua jenis sumbatan tersebut akan menimbulkan sianosis (kekurangan O2 dalam jaringan) tergantung pada beratnya dan lamanya sumbatan terjadi (Davey, 2006). 3) Terapi oksigen Terapi oksigen adalah suatu usaha pemberian O2 secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh, a) Pada Sesak Nafas Atas  Terjadi sumbatan di pernafasan bagian atas lalu masuk ke alveolus, sehingga diperlukan asupan O2 yang adekuat untuk mencapai alveolus dan memenuhi kebutuhan tubuh b) Pada Sesak Nafas Bawah  terapi O2 tidak begitu diperlukan karena pernafasan bagian bawah hanya berfungsi untuk difusi, sehingga walaupun



22



kadar O2 begitu tinggi di alveolus tidak akan memperbaiki keadaan pasien karena gangguan terjadi pada proses pertukaran gas. Contoh pada kasus bronkopneumoni dimana terjadi udema yang mengakibatkan gangguan difusi (Davey, 2006). c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan dahak, harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram untuk membuktikan adanya radang saluran nafas bawah dan penentuan jenis gram patogen (Amin, 2006). 2) Analisis gas darah arterial, biasanya saat istirahat, kadang-kadang saat aktivitas. Dilakukan pada evaluasi awal seluruh pasien sesak dengan tekanan darah sistolik 35 kali/menit atau < 10 kali/menit atau sianosis. Nilai ini berguna sebagai petunjuk penggunaan oksigen dan keputusan untuk penggunaan ventilasi mekanis (Amin, 2006). 3) Spirometri sederhana, pada pasien dengan eksaserabsi asma atau PPOK berguna untuk menentukan beratnya obstruksi jalan nafas (Amin, 2006). 4) Pencitraan Foto thoraks postero-anterior dan lateral diperlukan apabila dicurigai ada kelainan pada pleura, parenkim paru, atau jantung. Adanya bula, kista, paru emfisematus atau diafragma yang mendatar mendukung diagnosis PPOK. Adanya kardiomegali mendukung kemungkinan penyebab sesak yang berkaitan dengan jantung (Amin, 2006). CT scan, CT spiral dapat membantu pada emboli paru, CT irisan tipis resolusi tinggi digunakan pada berbagai jenis penyakit paru interstitial (Davey, 2006). D. PENATALAKSANAAN SESAK NAFAS Penanganan sesak nafas pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas penyakit yang melatarbelakanginya, yaitu dengan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya. Misalnya, apabila penyebabnya pneumonia maka diberikan



23



antibiotik, bila asma diberi bronkodilator dan pengontrol. Terapi simtomatis terhadap sesak nafas juga diperlukan (Rasmin, 2006). Pada kondisi pasien yang memburuk hingga mungkin terjadi gagal nafas akut, maka lebih baik perhatian ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatarbelakanginya. Diagnosis gagal nafas akut dengan analisis gas darah ditentukan ketika PaO2 kurang dari 50 mmHg atau PaCO2 lebih besar dari 50 mmHg dengan pH di bawah normal (Amin, 2006). 1. Saluran nafas Periksa orofaring untuk memastikan saluran nafas tidak tersumbat karena pembengkakan (edema) atau benda asing. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti nafas atau mengarah pada gagal nafas progresif. 2. Oksigen Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa retensi CO2 yang akan memburuk karena tingginya oksigen yang diberikan. Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mmHg dengan kenaikan minimal pada PaCO2. 3. Ventilasi mekanis Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberi oksigen melalui ambu bag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai kelanjutannya (Amin, 2006).



24



BAB III KESIMPULAN



1. Sistem respirasi teridiri dari paru dan saluran nafas. Saluran nafas terbagi menjadi saluran nafas atas dan bawah. 2. Fisiologi pernafasan terdiri dari ventilasi, transportasi dan respirasi. 3. Sesak nafas merupakan perasaan sulit bernafas yang dapat disebabkan penyakit pada saluran nafas, parenkim, vaskular paru, pleura dan dinding paru. 4. Penatalaksanaan sesak nafas disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan secara umum adalah pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen dan ventilasi mekanis.



25



DAFTAR PUSTAKA



Amin, Zulkifli. 2006. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Respirasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta:EMS. Kusumosutoyo, Diniati. 2009. Patofisiologi Sesak Nafas. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/cffe7232706516749e4881e867fd 3ef0c7a9b5d2.pdf Rasmin, Menaldi & Wahju Aniwidyaningsih. 2009. Pendekatan Khusus Sesak Nafas. http://staff.ui.ac.id/internal/140133349/material/PENDEKATANKHUSUSSE SAKNAPAS05.pdf Seeley, R. R., Stephens, T. D., & Tate, P. 2008. Anatomy & physiology (8th ed.). New York: McGraw-Hill. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta:EGC. Ward, Jeremy, Jane Ward, Richard M. Leach, Charles M. Weiner. 2008. At a Glance Sistem Respirasi. Jakarta:EMS. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:EGC.



26