Referat Toxoplasmosis Serebri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik yang biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak. Penyakit ini bisa diobati dan sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien dengan HIVAIDS. Infeksi toxoplasma gondii biasanya bersifat laten dan dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/µL atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau malignansi. Reaktivasi toxoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.



Gambar 1. Toksoplasma gondii ekstra cerebral dengan pewarnaan H.A.



1



1.2 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang Toxoplasmosis cerebri meliputi etiologi, patofisiologi serta komplikasinya.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Epidemiologi Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda, di daerah rendah, prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik. Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting dalam penyebarannya. Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut: a. kucing 35-73 %, b. babi 11-36 %, c. kambing 11-61 % d. anjing 75 % e. ternak lain kurang dari 10 %



2.2 Etiologi Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging atau sayur mentah/kurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di dalam tubuh, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung kista. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.



3



Gambar 2. Siklus Hidup Toxoplasmosis.



Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk tachyzoite, kista, dan ookista: a. Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.



Gambar 3. Tachyzoit



4



b. Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.



Gambar 4. Kista c. Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus seksual atau gametogenidan sporogoni yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan pejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompok tachyzoit yang membelah secara aktif. Pada pejamu perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.



Gambar 5. Ookista 2.3 Patofisiologi Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. 5



Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive trofozoit (takizoit). Takizoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis. Ookista (Daging mentah)



Tachyzoit (usus)



Darah & Limfe



Imune Respon



Bradyzoit (otak, skeletal, myocard, retina)



Immunocompromized →reaktivasi



Patogenesis Toxoplasmosis Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular, dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat 6



menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii. Tachyzoit



Aktivasi CD4 sel T



ekspresi CD154



sel dendritik dan makrofag



IL-12 Sel T→INF-y



Respon antitoxoplasmik



Respon Imun



2.4 Gejala Klinis Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.



7



Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat. Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.



2.5 Prosedur Diagnostik a. Identifikasi dan Isolasi Parasit Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada spesimen. Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang disebabkan T. Gondii, parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS. Parasit dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun dengan atau tanpa bukti adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi T. Gondii yang didapatkan dari specimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan hasil yang didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang sedang diteliti adalah amplikasi selektif dengan PCR dari produksi khusus DNA specimen klinik T. Gondii. Karena keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang sangat senditif ini untu mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang predominan ensefalitis dibandingkan meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan.



8



b. Test Serologis Tes terhadap IgM digunakan untuk menentukan apakah suatu pasien telah terkena infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada kemungkinan dalam salah menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan, pengujian untuk konfirmasi harus dilakukan. a.



Toxoplasma Serological Profile (TSP) TSP telah secara klinis sangat menolong dalam mendiagnosis toxoplasmik limfadenitis, myocarditis, polyomiositis, chorioretinitis dan selama kehamilan. Karena pemeriksaan TSP



dengan



hasil



positif



pada



IgG



dan



IgM



dapat



membedakan



antara



infeksi/peradangan kronis atau infeksi yang didapat dan lebih baik daripada pemeriksaan serologi tunggal manapun. b.



Dye test Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-fieldman dye test (DT). Pemeriksaan ini merupakan tes netralisasi sensitif dan sangat spesifik, dimana organisme dilisiskan kemudian dipresentasikan dengan komplemen dan IgG antibodi spesifik T. Gondii. IgG biasanya timbul dalam 1-2 minggu infeksi, puncaknya dalam 1-2 bulan kemudian turun dengan rata-rata penurunan bervariasi dan biasanya tetap ada selama hidup. Tingginya titer tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit. Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar oleh parasit, sebaliknya DT yang negatif mempunyai arti penting dalam mengesampingkan kemungkinan terpapar T.gondii. Pada sebagian kecil pasien antibodi IgG mungkin saja tidak terdeteksi dalam 23 minggu setelah awal paparan terhadap parasit.



c.



Test differential aglutination (AC/HS) Test differential aglutination menggunakan dua preparat antigen yang dapat menggambarkan antigen penentu yang ditemukan pada awal infeksi akut (antigen AC) atau antigen pada tahap akhir infeksi (HS). Rasio titer menggunakan antigen AC dibandingkan antigen HS dapat menginterpretasikan sebagai akut.



d.



Avidity Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik tambahan pada TSP untuk pasien dengan IgM positif atau equivocal atau hasil tes AC/HS yang akut atau equivocal. Hasil antibody avidity IgG rendah atau equivocal jangan diinterpretasikan sebagai diagnostik infeksi yang didapat sekarang.



e.



Antibody IgM Antibodi IgM diukur dengan menggunakan metode double sandwich atau immune capture IgM-ELISA. Metode ini menghindari kesalahan false positive. 9



Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM T.gondii dideteksi pada awal penyakit dan titer ini akan negatif dalam beberapa bulan. IgM yang tetap persisten tidak menggambarkan relevansi klinis dan pada pasiennya harus dipertimbangkan infeksi kronis. f.



Antibody IgA Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut dalam serum penderita dewasa dan infan yang terinfeksi secara kongenital menggunakan ELISA atau metode ISAGA. Antibodi IgA dapat tetap ada untuk beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Berdasarakan hal ini, pemeriksaan antibodi ini mempunyai peranan yang sedikit untuk menegakkan infeksi akut pada orang dewasa, hal ini kontras dibandingkan apabila ada peningkatan sensitifitas dengan hasil pemeriksaan IgA yang melebihi IgM untuk mendiagnosis toxoplasmosis kongenital.



g.



Antibody IgE Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada serum penderita dewasa dengan infeksi akut, neonatus yang terinfeksi secara kongenital, anak-anak dengan chorioretinitis toxoplasmosis kongenital. Durasi seropositif IgE kurang dibandingkan antibodi IgM atay IgA. d. Neuroimaging Pada gambaran CT-scan di otak menunjukkan gambaran lesi noduler tunggal (30%)



atau multipel (70%). Lebih sering gambaran CT-scan menunjukkan lesi kavitasi dengan dinding yang tipis dan diikuti adanya ring enhancemen setelah pemberian kontras. Gambaran edema di sekeliling whit matter juga sering ditemukan. Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi dapat juga tersebar sampai ke bagian serebral lain pada gray matter- white matter. Toxoplasmosis mempunyai kecenderungan untuk melibatkan basal ganglia, lesi juga dapat timbul di sepanjang serebellum, batang otak dan medulla spinalis. Perdarahan dan kalsifikasi dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan kalsifikasi berupa cincin tergambar pada awal dilakukan CT-scan sebagai diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa kalsifikasi berupa cincin jarang terjadi pada penyakit yang diapat dibandingkan dengan kelainan kongenital. Tanda karakteristik dari toxoplasma di SSP adalah target yang asimetris yang dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan. Target asimetris yang timbul berupa abses ring enhancement yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya. Tanda target asimetri ini sebenarnya patognomonik untuk toxoplasmosis SSP tetapi hanya terlihat pada 30% penderita. 10



MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal infeksi. MRI dapat mendeteksi lesi pada penderita toxoplasmosis aktif yang pada CT-scan didapatkan hasil yang normal. Dengan demikian MRI direkomendasikan pada penderita yang dijumpai gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan gambaran CT-scan yang normal. Toxoplasmosis memperlihatkan area hipointens ringan pada T1W1 dan hiperintense pada T2W1. Kadang lesi dapat menunjukkan sedikit isointense sampai hipointense pada T2W1, dikelilingi oleh edema dengan intensitas lebih tinggi. Pada CECT dan CEMR, ring-like dan nodular enhancement dikelilingi edema white matter dengan berbagai tingkatan. Nodul atau ring enhancement fokal dijumpai sekitar 70% pendeita setelah pemberian gadolinium.



Gambar 6. CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang menunjang, selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon klinis pengobatan terhadap Toxoplasma.



2.6 Penatalaksanaan Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6 minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan. Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi karena adanya infeksi opportunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid ini. Pada kasus ini sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi immunitas penderita.



11



Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan CD4 yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan seropositif dari Toxoplasma. Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal 200mg peroral yang kemudian dilanjutkan dengan dosis 75-100mg/hari ditambah dengan sulfadiazin 1-1,5 gram yang diberikan setiap 6 jam atau 100mg/kg/hari (maksimum dosis 8 gr/hari) dan ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan klindamisin dengan dosis 600-1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini dapat pula diberikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu trimetoprim sulfametoksazol 5mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20 mg/kg/hari), azitromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan per oral setiap 12 jam atau atovaquone 1,5mg per oral setiap 12 jam, minocyclin 150-200 mg diberikan setiap 12 jam atau doksisiklin diberikan 300-400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimetamin dengan sulfadiazin dibandingkan kombinasi pyrimetamin dengan klindamisin tidak memberikan hasil yang berbeda. Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimetamin 25-50 mg/hari ditambah dengan sulfadiazin 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali perhari dan juga diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan atau alergi terhadap sulfadiazin dapat diganti dengan klindamisin 1200 mg diberikan 3 kali perhari. Pada penderita yang mendapat terapi HAART (Highly Active Anti-Retroviral Therapy) terapi perawatan dapat diberikan apabila kadar CD4 lebih 200/dl selama 3 bulan pada pencegahan primer dan selama 6 bulan pada pencegahan sekunder.



2.7 Diagnosis Banding Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous system lesion (PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase, tuberkuloma, abses otak. Toxoplasmosis Lokasi



Basal



ganglia,



PCNSL perbatasan Periventricular



white matter-gray matter Jumlah lesi



Banyak (multipel)



Tunggal > multipel



Gambaran enhancement



Cincin



Heterogen atau homogen



Edema



Sedang sampai berat



Bervariasi



T2 weighted image (lesion Hiperintense



Isontense sampai hipointense



12



relatif to white matter) Diffusion weighted image



Biasanya hipointense



Seringkali hiperintense



MR perfusion



Menurun



Meningkat



MR spectroscopy



Kadar laktat meningkat



Kadar choline meningkat



Lain-lain



Antibodi IgG Toxoplasma EBV DNA amplified by PCR positif (90% penderita)



in



CSF



(hampir



seluruh



penderita) Tabel 1. Diagnosis banding ensefalitis toxoplasma dengan PCNSL



2.8 Pencegahan a. Non Farmakologi Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100/mm3 untuk melihat apakah telah terjadi serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu 74-77 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayursayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia. b. Farmakologi Pencegahan primer diberikan pada penderita HIV dengan seropositif toxoplasma gondii dan kadar CD4 < 100/mm3. Untuk pencegahan primer ini dapat diberikan pyrimetamin dengan sulfadiazin dan apabila penderita mengalami alergi terhadap sulfadiazin, maka dapat digunakan pyrimetamin dengan klindamisin. Pilihan kedua dapat menggunakan trimetoprim sulfametoksazol atau dapat juga menggunakan pyrimetamin dengan dapson, pilihan yang lain adalah pyrimetamin dengan atovaquone. Profilaksis monoterapi dengan menggunakan pyrimetamin atau dapson atau azitromicin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis monoterapi tidak memberikan



13



hasil yang memadai untuk pencegahannya. Pencegahan primer dihentikan apabila penderita telah memberikan respon terhadap antiretroviral dan kadar CD4 > 200/mm3 selama 3 bulan. Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak menampakkan gejala dan kadar CD4 > 200/mm3 selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral.



2.9 Prognosis Pada umumnya ensefalitis toksoplasma dapat diterapi dengan baik sehingga prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang mendapat penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan.



14



DAFTAR PUSTAKA



1. Suroto, Soedomo A, Addinar I, Budianto P. Neurology update dalam PIN 2014 Solo. UNS Press: Solo; 2014.h.123-37. 2. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf. Airlangga University Press: Surabaya; 2011.h.91-102. 3. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24. 4. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to Toxoplasma in the Food Chain. 5. Chahaya I. Epidemiologi “Toxoplasma gondii”. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Sumatera Utara. 6. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.



15