Refleksi Kasus INTAN REHANA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFLEKSI KASUS Tugas Kepaniteraan Forensik



Oleh : INTAN REHANA 0718011017



Pembimbing : dr. Handayani, Sp.F



KEPANITRAAN KLINIK ILMU FORENSIK RSUD DR.H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG 2016



KATA PENGANTAR



Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan ”Refleksi Kasus Penganiayaan” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan refleksi kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Forensik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Handayani, Sp.F, sebagai pembimbing. Saya menyadari banyak sekali kekurangan dalam refleksi kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Semoga refleksi kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.



Bandar Lampung, Mei 2016



REFLEKSI KASUS



A. Identitas Pasien Nama/Inisial Umur Jenis Kelamin Diagnosiskasus



: Tn. SY : 23 tahun : Laki-laki : Diduga telah terjadi penganiayaan



B. Jenis Refleksi Medikolegal Etika Sosiokultural C. Form uraian 1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/kasus yangdiambil) Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke Instalasi Forensik RS Dr. H. Abdul Moeloek, ditemani oleh kakak korban dengan membawa surat pengantar dari Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dengan nomor surat: R/88/III/2016/SPK, tertanggal tiga puluh satu Januari tahun dua ribu enam belas untuk dibuatkan Visum et Repertum demi kepentingan peradilan. Korban datang dengan keadaan umum baik, mengaku telah dianiaya oleh tiga orang laki-laki (dua orang dikenal, satuorang tidak dikenal) dengan dipukuli, pada tanggal empat belas Maret



tahun dua ribu enam belas, pukul sepuluh waktu Indonesia barat, bertempat di gudang Indomaret di daerah Campang Hasil Pemeriksaan



Pakaian korban : a. kaos lengan panjang warna hitam tanpa kerah. b. Celana warna biru jeansLuka-luka / cedera : c. Pada dahi kiri, dua koma lima centimeter dari GPD terdapat luka lecet yang melewati alis berukuran lima centimeter kali nol koma satu centimeter, berwarna kemerahan a. Tepat pada pertengahan dahi terdapat luka memar berukuran enam centimeter kali empat centimeter, berwarna kemerahan 2. Alasan Pemilihan Kasus Masyarakat adalah sebuah potret kehidupan yang sarat dengan persoalan sengketa, perselisihan, pertengkaran, perseteruan, atau aneka ragam konflik antar individu, kelompok, keluarga, etnis, bahkan antar bangsa yang mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk tindak pidana termasuk tindak pidana penganiayaan baik ringan maupun berat sebagaimana dimaksud Pasal 351 sampai Pasal 355 KUHP. Penganiayaan oleh anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat yang lain bahkan terjadi dalam spektrum yang lebih masif.



Di tahun 2008 dari 75.378



desa/kelurahan di Indonesia, ada 5.080 desa yang masyarakatnya mengalami tindak penganiayaan. Angka ini menurun di tahun 2011,tetapi masih sangat tinggi, yaitu sebanyak 4.171 desa yang melaporkan ada anggota masyarakatnya yang mengalami tindak penganiayaan. Di Pulau Jawa terdapat 420 desa yang di tahun 2011 mengalami minimal satu kejadian tindak pembunuhan. Beberapa provinsi diluar Jawa seperti Sumatera Utara,Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua adalah beberapa provinsi dengan kejadian pembunuhan di desa-desa mereka dengan frekuensi yang cukup tinggi. Angka-angka yang dipaparkan merefleksikan bahwa Indonesia memang tengah menghadapi situasi degradasi moral yang memilukan. Bagaimana kita dapat menerangkan mengapa kejadian itu begitu masif dan menyebar secara relatif merata di seluruh wilayah Indonesia? Setidaknya ada dua hal utama yang dapat membantu menerangkan kecenderungan yang terjadi saat ini.



3. Refleksi dari Aspek Medikolegal



Menurut yurisprudensi, penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang. Yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan” menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal a. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya. b. Rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. c. Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain. d. Merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. Pengeroyokan merupakan suatu perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 358 KUHP yang berbunyi barang siapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari pada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan yang khusus, dihukum. Beberapa hukum yang berhubungan dengan tindak pidana penganiayaan di Indonesia sebagai berikut :



KUHP Pasal 351 Ayat 1 Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. Ayat 2 Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun. Ayat 3 Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.



Ayat 4 Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan.



Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP KUHP Pasal 351 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.



KUHP Pasal 352 ayat 1 Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.



Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana, yaitu: 1) Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. 2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.



3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian



dan dihukum dengan



hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun. Refleksi Kasus Dari penjabaran kasus diatas dapat disimpulkan bahwa: 1.



Korban telah dilakukan penganiayaan dengan jenis penganiayaan ringan.



2.



Penganiayaan dilakukan oleh beberapa orang yang di satu tempat yang sama merupakan pengeroyokan.



Dari kesimpulan kasus tersebut, kita dapat memperkirakan tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku merupakan tindak pidana penganiayaan menghubungkan dengan beberapa pasal KUHP yang telah disebutkan diatas. 4. Refleksi dari Aspek Etika Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut : a. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. · Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan



pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau selflegislation dari manusia. · Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi. · Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat). · Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi. · Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting. · Erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk untuk kepentingan



peradilan),



penggunaan



teknologi



baru,



dampak



yang



dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die. b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. Tindakan berbuat baik (beneficence) 



General beneficence :



o



melindungi & mempertahankan hak yang lain



o



mencegah terjadi kerugian pada yang lain,



o



menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,







Specific beneficence :



o



menolong orang cacat,



o



menyelamatkan orang dari bahaya.



· Mengutamakan kepentingan pasien · Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain · Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)



· Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).



c. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. · Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti : · Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien · Minimalisasi akibat buruk · Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal : - Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting - Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut - Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal). · Norma tunggal, isinya larangan. d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. · Treat similar cases in a similar way = justice within morality. · Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagaifairness) yakni : a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan



sumbangan



sesuai



kebutuhan



pasien



yang



memerlukan/membahagiakannya) b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien). 



Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya : yang-hak dan yang-baik



· Jenis keadilan : a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima) b. Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada : · Setiap orang andil yang sama · Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya · Setiap orang sesuai upayanya. · Setiap orang sesuai kontribusinya · Setiap orang sesuai jasanya · Setiap orang sesuai bursa pasar bebas c. Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama : · Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien. · Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil). · Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu · Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan). Prima Facie : dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang dokter harus melakukan pemilihan 1 kaidah dasar etik ter-”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah (dalam bahasa fiqh ’ilat yang sesuai). Inilah yang disebut pemilihan berdasarkan asas prima facie. Norma dalam etika kedokteran (EK) : · Merupakan norma moral yang hirarkinya lebih tinggi dari norma hukum dan norma sopan santun (pergaulan) · Fakta fundamental hidup bersusila :



Etika mewajibkan dokter secara mutlak, namun sekaligus tidak memaksa. Jadi dokter tetap bebas,. Bisa menaati atau masa bodoh. Bila melanggar : insan kamil (kesadaran moral = suara hati)nya akan menegur sehingga timbul rasa bersalah, menyesal, tidak tenang. Sifat Etika Kedokteran : 1. Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum) 2. Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien). 3. Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri = selfimposed, zelfoplegging) 4. Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat khusus lainnya) 5. Etika profesi (biasa): · bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi · bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, norma-norma/kewajibankewajiban dan keutamaan-keutamaan moral · Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht) · Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi kedokteran. · Untuk menjawab masalah yang dihadapi (bukan etika apriori); karena telah berabadabad, yang-baik & yang-buruk tadi dituangkan dalam kode etik (sebagai kumpulan norma atau moralitas profesi) · Isi : 2 norma pokok : · sikap bertanggungjawab atas hasil pekerjaan dan dampak praktek profesi bagi orang lain; · bersikap adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). 6. Etika profesi luhur/mulia : Isi : 2 norma etika profesi biasa ditambah dengan : · Bebas pamrih (kepentingan pribadi dokter) · Ada idealisme : tekad untuk mempertahankan cita-cita luhur/etos profesi = l’esprit de corpse pour officium nobile 7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran.



5. Refleksi dari Aspek Sosiokultural dan Ekonomi Kriminologi sebagai ilmu social terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan



dan



peningkatan



ini



di



sebabkan



pola



kehidupan



social



masyarakatyang terus mengalami perubaghan dan berbeda tempat yang ssatu dengan yang lain serta berbeda pula antara jaman satu dengan lainnya. Ada beberapa teori tentang sosiokultur dalam membahas kejahatan dan kondisi ekonomi, teorianomi, teori sub kebudayaan, teori konflik dan lainnya: a. Teori differential opportunity structure Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan Lioyd E. mengatakan bahwa suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti meraih kekayaan cara-cara yang tidak sah. Kebudayaan terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan – tujuan yang dikehendaki secara cultural di antara kaum muda golon bawah.dengan kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan b. Teori mengenai Krisis Ekonomi dan kejahatan Bebagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam bagian – bagian yang terpisah: krisis- krisis yangparah termasuk yang disebabkan bencana alam, krisis gradual dan kekurangan bahan dan tekanan – tekanan ekonomi yang kronis. Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari diskusi – diskusi antara lain: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara positif,berbeda-beda secara positif, berbeda – beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori kejahatankejahatan yang dilaporkan. Kedua, melalui pengukuran indicator-indikator ekonomi pada tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari besagian besar kategori kejahatan yang dilaporkan. Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan nagka laju kejahatan berbeda-beda sesuai engan jenisnya, masyarakat dan waktu



Keempat, kejahatan-kejahatan pri er yaitu kejahatan yang secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta harapan-harapan yang mengalami frustasi. Dkejahatan yang menyimpang: 1. Kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan penipuan 2. Pelanggaran norma non criminal 3. Pelanggaran lain seperti: alkoholisme, dll



DAFTAR PUSTAKA



Afandi D. 2010. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60, No.4. Hal 188-95. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kanter RM, Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil EdisiKedua, Sinar Grafika, Jakarta Soeparmono, R, 2002, Keterangan Ahli dan Visum et Refertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung