Rehabilitasi Napza [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA



Oleh : dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K)



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Dalam penyusunan penulisan ini, penulis banyak memperoleh masukan serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian kecil ini masih jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih. Denpasar, Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................



i



DAFTAR ISI ......................................................................................................



iii



DAFTAR SINGKATAN....................................................................................



v



BAB I.



PENDAHULUAN .............................................................................



1



1.1 Latar Belakang ...........................................................................



1



1.2 Batasan Pembahasan ..................................................................



3



1.3 Tujuan .......................................................................................



3



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................



5



2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA ................................................



5



2.2 Definisi Rehabilitasi...................................................................



7



2.3 Tahapan Terapi Rehabilitasi ......................................................



9



2.4 Metode Rehabilitasi ................................................................... 11 2.4.1 Terapi Substitusi Opioid ................................................... 13 2.4.2 Therapeutic community (TC)…………………………… 16 2.4.3. Metode 12 langkah .......................................................... 25 BAB III. RINGKASAN ................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30



i



DAFTAR SINGKATAN



Narkoba



: Narkotika dan bahan/obat yang berbahaya



NAPZA



: Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya



BNN



: Badan Narkotika Nasional



IPWL



: Institusi Penerima Wajib Lapor



CNS



: Central Nervose System



NIDA



: National Institut on Drug Abuse



TC



: Therapeutic Community



BI



: Brief Intervention



NA



: Narcotic Anonymous



AA



: Alcoholic Anonymus



MI



: Motivational Interviewing



CBT



: Cognitive Behavioral Therapy



RP



: Relaps Prevention



Kemenkes



: Kementerian Kesehatan



ii



BAB I PENDAHULUAN



I. LATAR BELAKANG Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan/obat berbahaya. Selain narkoba istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah merambah ke seluruh tanah air dan menyasar seluruh lapisan tanah air (Kemenkes, 2017). Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba (SIN) jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun 2012-2016 per tahun sebesar 76,53%. Kenaikan paling tinggi pada tahun 2013 ke tahun 2014 yaitu 161,22%. Yang paling banyak shabu 1867 kasus diikuti ganja 128 kasus dan ekstasi 98 kasus (Kemenkes, 2017). Delapan puluh enam persen penyalahguna Narkoba berada pada usia produktif. Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu atau penyalahguna, Undang-Undang telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Jumlah pecandu NAPZA yang menjalani rehabilitasi masih sangat rendah. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Pusat Terapi dan Rehabilitasi BNN, jumlah pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan maupun rawat inap pada tahun 2009 sebesar 0,5% sedangkan sekitar 99,5% pecandu lainnya berada di masyarakat (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan



1



komunitas lainnya). Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya rehabilitasi ketergantungan NAPZA di Indonesia di tengah-tengah terbatasnya sarana/fasilitas rehabilitasi bagi pecandu NAPZA (BNN, 2012). Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010). Pada tahun 2016 BNN telah memberi layanan rehabilitasi sebesar 22.485 pecandu dan layanan pasca rehabilitasi sebanyak 70182 mantan pecandu dan penyalahguna markotika (Kemenkes, 2017). Pengguna narkoba juga perlu diselamatkan agar dapat kembali menjalani hidup dalam keadaan sehat dan produktif. Pada tanggal 11 Maret 2014 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditandatangani oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional. Dengan terbitnya peraturan bersama ini maka para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dapat memperoleh layanan rehabilitasi yang diperlukan. Pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk menyelamatkan para pengguna Narkoba dan tidak lagi menempatkan para pengguna Narkoba sebagai pelaku tindak pidana atau pelaku tindak kriminal. Upaya ini diperkuat dengan penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pada tahun 2011 dan pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba. Seluruh



2



IPWL mampu melaksanakan rehabilitasi medis, baik terapi simtomatik maupun konseling adiksi Napza. Sedangkan, IPWL



berbasis rumah sakit mampu



memberikan rehabilitasi medis dalam bentuk rawat inap yang bersifat jangka pendek dan yang bersifat jangka panjang. Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Ada banyak metode yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sehingga penulis ingin mengetahui lebih lanjut apa saja metode yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi pasien-pasien gangguan penggunaan NAPZA, sehingga nantinya mereka dapat berfungsi kembali dengan baik di masyarakat. 1.2 Batasan Pembahasan Tinjauan pustaka ini membahas tentang gangguan penggunaan NAPZA, definisi rehabilitasi, tahapan dan metode rehabilitasi bagi pemakai narkoba. 1.3 Tujuan 1) Untuk mengetahui definisi gangguan penggunaan NAPZA 2) Untuk mengetahui definisi rehabilitasi 3) Untuk mengetahui tahapan rehabilitasi



3



4) Untuk mengetahui metode rehabilitasi NAPZA termasuk Therapeutic Community, Metode 12 Langkah Narcotic Anonymus dan Terapi Substitusi Opioid



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA Gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah biopsikososiobudaya yang kompleks sehingga perlu ditangani secara multidisipliner dan lintas sektoral dalam suatu program yang menyeluruh (komprehensif) dan konsisten. Gangguan penggunaan NAPZA ditandai dengan penggunaan yang intensif disertai dengan perasaan nagih yang kuat yang seringkali sulit dikontrol dan menggiring penggunanya berupaya semaksimal mungkin untuk memperoleh NAPZA , tidak peduli resiko apapun yang harus dihadapinya (Departemen Kesehatan, 2008; Kemenkes 2010) . Dalam PPDGJ III gangguan ini disebut sebagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dengan tingkat keparahan berbeda-beda dari intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas. (Maslim, 2001) Zat psikoaktif khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan otak yaitu bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan) merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat menyebabkan perubahan perilaku manusia. Perubahan perilaku tergantung sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh (Husin & Siste, 2015).



5



Pengguna NAPZA apapun jenisnya selalu mengharapkan efek yang menyenangkan bagi dirinya (efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya tidak disukai (efek negatif) misalnya waham, halusinasi, berdebar-debar. Efek NAPZA terhadap pengguna dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depresant atau CNS stimulant), dosisnya (intoksikasi saja atau overdose) lamanya penggunaan (toleransi atau belum toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi (sendiri atau berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas kendali agar lebih berani atau ingin tenang) (Kemenkes, 2010). Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki beberapa cara yaitu disedot melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikkan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah vena, ditempelkan pada kulit (terutama lengan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan mengunyah kemudian ditelan. NAPZA memiliki neurotransmiter yang memiliki sifat khusus sehingga penggunaan sekaligus berbagai jenis NAPZA dapat mendatangkan kekacauan di dalam celah sinaptik. Beberapa jenis neurotransmiter itu adalah dopamin (amfetamin, kokain, alkohol), serotonin (LSD, alkohol), endorfin ( opiat, alkohol), GABA (benzodiazepine, alkohol), glutamat (alkohol) dan asetilkolin (nikotin, alkohol). Beberapa jenis NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia yaitu Amfetamin, Kanabis, Opioid, Benzodiazepin, Alkohol, Kokain dan Volatile Substance (senyawa yang mudah menguap) (Husin & Siste, 2015).



6



2.2 Definisi Rehabilitasi Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010). Rehabilitasi NAPZA juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap jangka pendek ataupun jangka panjang (Kemenkes, 2011). Definisi lain mengatakan bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkoba (Psychologymania, 2012). Tujuannya adalah untuk membantu klien mempertahankan kondisi bebas NAPZA (abstinensia) dan memulihkan fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kemenkes, 2011). Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika (Psychologymania, 2012). Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Merujuk pada Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, inilah dasar hukum untuk upaya dan langkah menyelamatkan pengguna narkoba. Rehabilitasi dibedakan menjadi 2 macam yaitu meliputi :



7



a. Rehabilitasi medis Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. b. Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis (Psychologymania, 2012).



Tindakan rehabilitasi ini merupakan tindakan yang bersifat represif yaitu penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan tersebut diharapkan nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat kembali normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat (Psychologymania, 2012).



2.3 Tahapan Perubahan (Stage of Change) 8



Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak perubahan yang dapat dinilai dari motivasinya. Model Stage of Change dimulai dari fase prekontemplasi, kontemplasi, preparasi, aksi dan rumatan. Ciri-ciri spesifik dari tiap-tiap fase adalah sebagai berikut : a) Fase prekontemplasi Pasien sama sekali belum menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat menggunakan napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun keluarga atau orang-orang dekat dengannya telah mengingatkannya bahwa telah terjadi “masalah” akibat tingkah lakunya. Kalau mereka telah masuk ke sentrasentra rehabilitasi umumnya karena paksaan, ditipu atau karena pelanggaran hukum. b) Fase Kontemplasi Pasien telah mulai mengakui telah terjadi kesulitan akibat napza (mungkin telah ada keluhan fisik) tetapi menolak suatu komitmen untuk berubah. Pasien mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berubah, namun ada perasaan ragu-ragu, bimbang dan ambivalensi. Pasien telah mulai memiliki perasaan bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu problem akibat penggunaan napza. c) Fase Preparasi Tampaknya pasien telah secara sungguh-sungguh menunjukkan keinginan berubah atau kebutuhan untuk berhenti, namun belum siap. Pasien mengaku belum mau berubah kalau belum merasa betul-betul mantap. Pasien banyak bertanya pada teman pecandu lain dan mulai mencari- cari info tentang upaya-upaya



9



penyembuhan ketergantungan napza. Pasien telah memahami dan mengakui adanya “problem dalam keluarga”, sudah dapat mengambil keputusan untuk menetapkan mau berubah, untuk memulai upaya penyembuhan. d) Fase Aksi Pasien secara aktif mengambil langkah-langkah untuk berubah tetapi belum mencapai suatu kondisi stabil. Pasien berhasil menunjukkan beberapa perubahan perilaku yang berkait dengan napza misalnya bersedia mengikuti terapi dan menghadiri NA meeting. Pada tahap aksi, pasien sudah mulai melatih dan merubah tingkah lakunya. Pasien mulai mencari aktivitas alternatif diluar fokus problem ketergantungan napza (misalnya kursus-kursus sederhana, jogging, latihan futsal dan lain-lain). e) Fase Rumatan Pasien telah mencapai sasaran misalnya abstinensia dan sekarang sedang bekerja keras untuk mempertahankannya. Pasien mulai menghindari menggunakan napza apapun dan berhasil mengendalikan relaps yang datang serta mampu mengatasinya. Pasien bersedia secara aktif untuk membantu orang lain yang sependeritaan dengannya.



2.4Tahapan Terapi Rehabilitasi Tahapan terapi rehabilitasi umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut : 1) Fase Penilaian (assesment phase) Pada tahap ini perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komprehensif. Termasuk yang perlu dinilai adalah (Husin & Siste, 2015) :  Penilaian yang sistematis terhadap tingkat intoksikasi, keparahan-keparahan putus zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekwensi dan lama penggunaan, 10



efek subyektif dari semua jenis-jenis NAPZA yang digunakan termasuk jenis-jenis NAPZA lain selain yang menjadi pilihan utama pasien/klien. 



Riwayat medik dan psikiatri umum yang komprehensif







Riwayat gangguan penggunaan NAPZA dan terapi sebelumnya.







Riwayat keluarga dan sosial ekonomi







Pemeriksaan urin untuk jenis-jenis NAPZA yang disalahgunakan







Skrining penyakit infeksi seperti HIV, tuberculosis, hepatitis



2) Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi) Detoksifikasi NAPZA merupakan proses atau tindakan medis untuk membantu klien dalam mengatasi gejala putus NAPZA (Kemenkes, 2011). Tahap detoksifikasi sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi intoksikasi. Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut (Husin & Siste, 2015). Fase ini memiliki beberapa variasi : a) Rawat Inap dan Rawat Jalan b) Cold Turkey, artinya seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif, dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat tanpa memberikan obat-obatan. c) Terapi simptomatis



11



d) Rapid Detoxification, Ultra Rapid Detoxification e) Detoxifikasi dengan menggunakan : Kodein dan ibuprofen, Klontrex (klonidin dan naltrexon), Bufrenorfin, Metadon. Klien seringkali membutuhkan multimodal terapi yang beragam. Tergantung pada filosofi program yang mendasari, ada beberapa variasi : a) Program Terapi Substitusi, ada antagonis (naltrekson), agonis parsial (buprenorfin) atau dengan full agonist (metadon) b) Program terapi yang berorientasi abstinensia : Therapeutic Community, the 12 step recovery program narcotic anonymus Bila program terapi selanjutnya adalah terapi substitusi maka tidak perlu dilakukan program detoxifikasi, tetapi terapi withdrawal. Namun bila program terapi selanjutnya adalah terapi yang berorientasi abstinensia maka mutlak dilakukan detoxifikasi. 3) Tahap rehabilitasi nonmedis (sosial) Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain. 4) Tahap bina lanjut (after care)



12



Merupakan layanan pascarehab. Bisa bersifat reguler (rawat jalan), dimana pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah pengawasan atau bersifat intensif (rumah damping) dimana pecandu melanjutkan program TC, 12 langkah dan diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari.



2.5Metode Rehabilitasi Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no 420/MENKES/SKIII/2010, rehabilitasi pecandu narkotika dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term) Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai dengan 3 bulan tergantung dari kondisi dan kebutuhan pasien. Pendekatan yang dapat dilakukan ke arah medik dan psikososial. Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medis.



Asesmen yang perlu



dilakukan pada model terapi ini antara lain :  Evaluasi masalah penggunaan NAPZA (jenis, jumlah, lama pemakaian, dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)  Evaluasi medis : riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakitpenyakit-penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA  Evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi  Evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan , pekerjaan dan hubungan sosial  Evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan kehidupan pribadi lainnya.



13



Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan untuk terapi selanjutnya. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan, dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi jangka panjang.



2) Rehabilitasi Jangka Panjang Lama perawatan rehabilitasi jangka panjang adalah 6 bulan atau lebih. Dalam hal ini modalitas terapi yang dimaksudkan adalah Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic Community (TC) direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA.



Berikut ini adalah program-program yang dapat diikuti oleh seorang pecandu selama menjalani program rehabilitasi yaitu : 2.51 Terapi substitusi opioda Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (maintenance). Terapi ini diigunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin (opioda). Untuk pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-tahun menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin



14



(narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obatobatan ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan. (Husin & Siste, 2015). Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan adalah :  Rendah potensi untuk didiversikan  Lamanya aksi cukup panjang  Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi  Toksisitas rendah untuk terjadinya overdose  Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala-gejala rebound withdrawal minimal  Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain  Pasien menerimanya dengan iklas dan baik Tidak ada satu obatpun yang memenuhi persyaratan ideal tersebut. Namun untuk ketergantungan opioid para pakar kedokteran menemukan beberapa jenis obat yang mendekati kriteria karakteristik tersebut seperti :  Agonis : metadon  Parsial agonis : buprenorphin  Antagonis : naltrekson 2.4.1.1 Program Terapi Rumatan Metadona Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin. Sebagian besar dari mereka menggunakan heroin dengan cara suntik yang tidak aman sehingga mereka sangat



15



mudah mendapat infeksi seperti hepatitis dan HIV. Guna mengurangi dampak buruk penggunaan opiat dengan cara suntik diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu intervensinya berupa program terapi rumatan dengan memberikan metadon cair yang dikenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM). Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang. Waktu paruh metadona pada umumnya 24 jam. Penggunaan berkesinambungan akan diakumulasi dalam tubuh khususnya di hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa toleransi atas penggunaan metadona berjalan lebih lambat daripada morfin atau heroin. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 57 tahun 2013, pada tahap inisiasi dosis awal metadona yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100 cc dengan larutan sirup. Pasien harus minum setiap hari dihadapan petugas PTRM. Tahap selanjutnya adalah tahap stabilisasi, untuk menaikkan dosis secara perlahan sehingga memasuki tahap rumatan. Dosis yang dianjurkan adalah menaikkan dosis awal 5-10 mg tiap 3-5 hari. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih dari 30 mg. Pada tahap rumatan, dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur



16



dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial. Metadona dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off). Penghentian metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut : pasien sudah dalam keadaan stabil, minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin, pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang memadai. PTRM tidak hanya memberikan metadona semata-mata melainkan juga intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien (Kemenkes 2013; Husin & Siste, 2015). Keberhasilan dalam proses terapi rumatan metadon yaitu bila pasien mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarga serta mampu berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya. 2.4.1.2 Buprenorphine-partial Agonist Buprenorphin merupakan parsial agonis heroin yang diminum secara sublingual dan memiliki memiliki metabolisme yang tinggi ketika diminum per oral. Terapi ini pertama kali dikenalkan di Perancis dan di evaluasi di beberapa negara lainnya. Hasil terapi secara garis besar dapat dibandingkan dengan terapi rumatan metadon, tapi masing-masing terapi memiliki keuntungan dan beberapa kelemahan. Buprenorphin dapat diminum berselang seling tidak setiap hari. Resiko overdosis minimal namun pada individu dengan dosis heroin yang tinggi sebelumnya akan menunjukkan beberapa gejala putus zat. Buprenorphin masih dapat menjadi pilihan terapi untuk detoksifikasi walaupun harganya lebih mahal dibandingkan dengan metadon (Wodak, 2001) 2.4.1.3 Naltrekson- opiat antagonist maintenance treatment program



17



Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan menggunakan naltrekson. Program terapinya dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist Maintenance Therapi). Naltrekson saat ini tidak lagi tersedia di Indonesia karena industri farmasi yang mendapat ijin edar naltrekson tidak meneruskan usahanya.



2.4.2 Therapeutic community (TC) Therapeutic community (TC) adalah bentuk umum dari rehabilitasi jangka panjang untuk gangguan penggunaan zat (NIDA, 2015). Metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help program. Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Program TC mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang sangat mengikat setiap residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan tersebut (pasien peserta TC lazim disebut residen). Gambaran dari TC adalah sebagai berikut : 



Program dengan struktur yang ketat







Umumnya pasien berada dalam program 6-12 bulan







Program pengobatan



18







Program pendidikan







Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya







Pasien mempunyai riwayat perilaku kriminal







Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien







Menstabilkan fungsi kehidupan pasien







Rehabilitasi vokasional



Di dalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan falsafah yang ditanamkan dalam TC tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budaya TC, yang didalamnya mencakup (Winanti, 2008) : 1. The Creed (Philosophy) Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam TC. Falsafah ini merupakan kerangka dasar berpikir dalam program TC yang harus dipahami dan dihayati oleh seluruh residen. 2. Cardinal Rules Cardinal Rules merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan ditaati dalam program TC, yaitu :  No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)  No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam bentuk apapun)  No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik) 3. Four Structure Five Pillars



19



Empat kategori struktur program : a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku) Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, normanorma kehidupan masyarakat. b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara emosional dan psikologis. c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, nilainilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tugastugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan sosial serta bertahan hidup) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya. Lima Pillars (5 tonggak dalam program) : a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan) Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas supaya bersama menjadi bagian dari sebuah keluarga. b. Peer pressure (Tekanan rekan sebaya) Proses dimana kelompok menekan seorang residen dengan menggunakan teknik yang ada dalam “TC”



20



c. Therapeutic session (Sesi terapi) Berbagai kerja kelompok untuk meningkatkan harga diri dan perkembangan pribadi dalam rangka membantu proses kepulihan . d. Religius session (Sesi agama) Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan pemahaman agama. e. Role modelling (Keteladanan) Proses pembelajaran dimana seorang residen belajar dan mengajar mengikuti mereka yang sudah sukses. Tahapan program TC yang harus dijalani setiap residen (pasien peserta TC) adalah sebagai berikut : 1) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu) Merupakan masa persiapan untuk residen untuk memasuki fase primary. Kegiatan yang dilakukan berupa wawancara awal,



pemberian Informed consent,



pemeriksaan fisik, pengisian formulir dan orientasi program (Winanti 2008; Kemenkes 2010). 2) Primary Stage (6-9 bulan) Tahap ini ditujukan bagi perkembangan sosial dan psikologis residen. Dalam tahap ini residen diharapkan melakukan sosialisasi, mengalami pengembangan diri, serta meningkatkan kepekaan psikologis dengan melakukan berbagai aktivitas dan sesi terapeutik yang telah ditetapkan. Dilaksanakan selama kurang lebih 6 sampai dengan 9 bulan. Primary terbagi dalam beberapa tahap, yaitu : younger member, middle member, older member.



21



Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan) diharapkan aktif mengikuti program, adanya penerapan sanksi (reward and punishment), dapat dikunjungi keluarga, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok. Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan) : mulai bertanggung jawab terhadap sebagian operasional fasilitas/rumah, menjadi buddy bagi younger member, sudah boleh keluar fasilitas TC dengan pendamping, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok. Untuk older member (anggota lama 6-9 bulan) : sudah bertangguang jawab penuh terhadap rumah/fasilitas, pelaksanaan reward dan punishment secara penuh, boleh meninggalkan fasilitas /rumah, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok. Dinyatakan graduate/lulus (Winanti 2008; Kemenkes 2010). 3) Tahapan Re-Entry (3-6 bulan) Re-entry merupakan program lanjutan setelah Primary. Program Re-entry memiliki tujuan untuk memfasilitasi residen agar dapat bersosialisasi dengan kehidupan luar setelah menjalani perawatan di Primary. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai dengan 6 bulan. Fase orientasi (2 minggu) 



Pengenalan program re-entry







Didampingi buddy







Tidak boleh dikunjungi keluarga







Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC



22







Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas







Mengikuti kegiatan kelompok



Fase A (1,5-2 bulan) 



Mengikuti kegiatan kelompok







Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu







Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali







Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur







Boleh melakukan aktivitas di luar fasilitas TC



Fase B (2 bulan) 



Mengikuti kegiatan kelompok







Dapat dikunjungi setiap waktu







Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu







Boleh meminta tambahan uang jajan







Boleh melakukan aktivitas diluar fasilitas TC



Fase C (2 bulan) 



Mengikuti kegiatan kelompok







Dapat dikunjungi setiap waktu







Diberi ijin pulang







Boleh meminta tambahan uang jajan







Boleh melakukan kegiatan diluar fasilitas TC







Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan pulang



Dukungan



keluarga sangat diperlukan pada pelaksanaan TC, keluarga juga



diberikan psikoedukasi tentang NAPZA dan perkembangan pasien sehingga ikut



23



mendukung keberhasilan terapi residen. Pendampingan keluarga yang tak pernah putus dapat membantu pecandu narkoba untuk benar-benar berhenti menggunakan obat-obatan terlarang itu. 4). Aftercare Program Merupakan program yang ditujukan bagi mantan residen /alumni TC, yang dilaksanakan di luar fasilitas TC dan diikuti oleh semua angkatan dibawah supervisi staf re-entry. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi, meminta anggota untuk menanggapi suatu topik, waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama. Bentuk aftercare program bisa berupa rumah damping salah satunya yang disediakan oleh BNN Provinsi Bali. 5). Intervensi Psikososial Suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh. Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan pengobatan gangguan penggunaan Napza antara lain : a. Brief Intervention (BI) Brief Intervention (BI) dipertimbangkan untuk berbagai kondisi yang melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak klien berpikir ulang mengenai pola



24



penggunaan NAPZA-nya. Waktu yang dibutuhkan untuk intervensi singkat biasanya antara 5 menit sampai 2 jam. Brief Intervention (BI) dapat direkomendasikan pada kondisi seperti penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan, ketergantungan



alkohol



ringan



sampai



sedang,



ketergantungan



nikotin,



ketergantungan ringan sampai dengan sedang kanabis. Brief Intervention (BI) dapat mengambil berbagai bentuk format termasuk asesmen singkat, materi self help (materi yang membantu pemahaman NAPZA pada pasien contohnya leaflet, cara menyuntik yang benar pada program harm reduction), informasi penggunaan yang aman serta pencegahan kekambuhan. b. Konseling Dasar Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus dan tujuan yang jelas, memberikan waktu, perhatian dan keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi mereka, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan mereka. Fungsi utama konseling : a) Menyampaikan informasi penting b) Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan masalah c) Membantu pasien memilih dan mengambil tindakan realistik d) Memberi dukungan psikomotor melalui ketrampilan komunikasi. c. Motivational Interviewing (MI) Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi yang



25



lain. Dasar pemikiran melakukan wawancara motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari dalam dirinya sendiri daripada dipaksakan oleh konselor atau terapis. Motivational Interviewing sering dilakukan menyerupai Brief Intervention dengan prinsip berorientasi pada klien. Berdasarkan prinsip ini, MI mempunyai pendekatan sama seperti konseling pada umumnya, seperti reflecting listening, summarizing dan paraphrasing (Recoveryresearch, 2012). Motivational Interviewing adalah sebuah wawancara yang bertujuan untuk membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang penggunaan NAPZA melalui tahapan perubahan. Ini sangat berguna bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat penting pada semua tahap (Kemenkes, 2010). Saran hanya diberikan bila ada permintaan dan atas ijin pasien. Motivational Interviewing juga kadang-kadang dikombinasikan dengan Cognitive Behavioral Therapy. Lima prinsip Motivational Interviewing yaitu (Rockville, 1999): -



Mengekspresikan Empati melalui reflective listening



-



Memaparkan ketidakcocokan (perbedaan) antara tujuan dan perilaku klien saat ini



-



Menghindari argumentasi dan konfrontasi langsung



-



Menyesuaikan resistensi klien daripada menentangnya secara langsung



-



Mendukung self efficacy dan optimisme



26



Motivational Interviewing dilaksanakan dengan menggunakan 4 keterampilan dasar, yang sering dikenal dengan singkatan OARS : Open ended question (pertanyaan terbuka), Affirmation (penegasan), reflective listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising (menyimpulkan). Nasihat biasanya hanya diberikan berdasarkan permintaan dan atas ijin pasien.. (Hall, et al., 2012) Ada empat proses dalam melakukan Motivational Interviewing untuk mendapatkan perubahan (Levounis, et al., 2017) yaitu : a) Engaging Engaging mengacu pada menjalin dan membangun rapport serta belajar mengenai pasien. Proses ini sangat diperlukan dalam MI dan beberapa jenis intervensi yang lain untuk mewujudkan perubahan. b) Focusing Proses dari “focusing” melibatkan pengembangan agenda khusus, mengembangkan tujuan untuk perubahan perilaku dan mengarahkan wawancara. c) Evoking Evoking merupakan suatu proses untuk mengexplorasi dan memunculkan motivasi seseorang untuk berubah. Dokter yang terampil mengasah dalam aspek ambilivalen klien untuk perubahan tertentu dan menghentikan pendapat yang tidak menyebabkan perubahan. d) Planning Pada beberapa waktu selama proses motivational, pasien mungkin menunjukkan tanda kesiapannya untuk berubah misalnya ditunjukkan dengan pertanyaan-



27



pertanyaan tentang perubahan atau bagaimana mereka di lingkuangan agar mereka bisa berubah. Jika klinisi sudah mengenali tanda ini maka proses planning bisa dimulai. Rencana perubahan mencakup empat elemen penting yaitu menetapkan tujuan yang jelas untuk perubahan perilaku, menggali cara-cara untuk berubah, memutuskan rencana, dan melakukan rencana. d. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) CBT adalah pendekatan yang terfokus dan jangka pendek untuk mengarahkan klien agar dapat mengenali situasi berisiko terhadap relaps kemudian menghindari situasi tersebut dan melakukan adaptasi perilaku yang efektif berkenaan dengan masalah dan perilaku yang berhubungan dengan penyalahgunaan zat (BNN, 2009). Teknik CBT dipergunakan untuk membantu klien memodifikasi pikiran, harapan dan perilaku mereka yang terkait penggunaan NAPZA e. Relaps Prevention (RP) Relaps prevention adalah program kendali diri yang didesain untuk mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya dan mengatasi problem relaps. Relaps prevention merupakan suatu program psikoedukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social learning theory. RP bertujuan mendidik seseorang bagaimana mencapai lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak sehat. Klien dibimbing untuk mengenali High Risk Situation atau situasi tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat menigkatkan risiko relaps (Purnomo & Hardjanto, 2016).



28



2.4.3 Metode 12 langkah Metode 12 langkah berasal dari Model perawatan adiksi Minnesota (juga dikenal sebagai model abstinen), pertama kali dibuat di rumah sakit Minnesota pada 1950. Di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan NAPZA, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 langkah.



Pecandu



yang



mengikuti



program



ini



dimotivasi



untuk



mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari. (Kelly, 2011) Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini penggunaan istilah Falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina perjalanan spiritualnya. Dengan pengamalan dari langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya.. Setiap langkah ditargetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit kecanduan (Kemenkes, 2010). Berikut adalah contoh 12 (Dua Belas) langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic Anonymous (NA) yaitu : 1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali. 2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan



29



3. Kita membuat keputusan menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya 4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, memyeluruh dan tanpa rasa gentar 5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita 6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita. 7. Kita dengan rendah hati memohon padaNya untuk menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita 8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada merka semua 9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain 10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman kita bersalah segera mengakui kesalahan kita 11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya



30



12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah ini kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.



31



BAB III RINGKASAN



Rehabilitasi pecandu NAPZA adalah suatu program yang ditujukan kepada pecandu yang bersifat terpadu mencakup aspek biopsikososiokultural spiritual agar para pecandu dapat berfungsi kembali secara fisik, medis, dan sosial serta dalam pekerjaan sehari-hari. Rehabilitasi selain bertujuan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika juga agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi pecandu NAPZA dapat berupa rehabilitasi medis yang mengutamakan perbaikan kondisi medis pecandu dan juga rehabilitasi non medis yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial, pekerjaan, agama, dan memberikan hiburan bagi para pecandu agar dapat lepas dari NAPZA. Tahapan rehabilitasi terdiri dari fase pertama untuk assesment awal, lanjut rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan aftercare. Beberapa program rehabilitasi yang dapat dijalankan pecantu NAPZA yaitu terapi detoksifikasi, terapi substitusi opioid, Therapeutic community dan program terapi 12 langkah narcotic anonimus. Pada setiap metode rehabilitasi juga dapat disertai intervensi psikososial seperti brief intervention, konseling dasar, Motivational interviewing, CBT atau relaps prevention. Tidak ada satupun bentuk terapi serupa yang sesuai untuk semua individu sehingga assesment awal disertai pendekatan personal memegang peranan yang cukup penting untuk menentukan metode rehabilitasi yang tepat untuk pasien gangguan penggunaan NAPZA. Terapi



32



yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu tersebut, tidak semata-mata hanya untuk memutus menggunakan NAPZA.



33



DAFTAR PUSTAKA



BNN, 2009. Panduan Pelayanan Psikologi di OSC-ORC-CBU. Jakarta: Pusat Terapi dan



Rehabilitasi BNN RI.



BNN, 2012. Bimbingan Teknis Rehabilitasi Berbasis Masyarakat. Jakarta: Direktorat Deputi Bidang



Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat, Rehabilitasi BNN.



Hall, K., Gibbie, T. & Lubman, D. I., 2012. Motivational interviewing techniques: Facilitating behaviour change in the general practice setting. Australian Family Physician, pp. 660-666. Husin, A. B. & Siste, K., 2015. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G. Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 143-171. Kemenkes, 2010. Pedoman layanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada penggunaan Napza berbasis rumah sakit. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan



Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina pElayanan Medik



Kementerian kesehatan RI. Kelly, J. F., 2011. Addiction Recovery Management. British: Humana Pres. Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA.



Jakarta:



Direktorat



Bina



Kesehatan



Jiwa



Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes, 2017. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi.



34



Kesehatan, D., 2008. Pedoman Pelayanan Medik Gangguan Penggunaan Napza. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Medik. Levounis, P., Arnaout, B. & Marienfeld, C., 2017. Motivational Interviewing for Clinical Practise. 1st penyunt. USA: American Psychiatric Association Publishing. Maslim, R.,2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta. NIDA,



2015.



Therapeutic



community.



[Online]



Available



at:



https://www.drugabuse.gov [Accessed 27 Maret 2018]. Psychologymania,



2012.



Pengertian



Rehabilitasi



Narkoba.



[Online]



Available at: www.psychologymania.com [Accessed 9 april 2018]. Purnomo, I. D. & Hardjanto, G., 2016. Terapi dengan pendekatan konsep kognitif perilaku untuk mencegah relap pada pengguna Narkoba. pp. 152-172. Recoveryresearch,



2012.



Motivational



Enhancement Therapies.[Online]



Interviewing Available



dan



Motivational at:



https



://www.recoveryanswers.org [Accessed 13 April 2018]. Rockville, 1999. Motivational Interviewing as a Counseling Style Chapter 3. US: Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Sekarmawar, n.d. Therapeutic Community. [Online]. Vanderplasschen, W., Colpaert, K. & Vandevelde, S., 2013. Therapeutic Communities for Addiction : A Review of Their Effectiveness from a Recovery-Oriented Perspective. Scientificworld.



35



Wodak, A. (2001). Drug treatment for opioid dependence. Sydney: Australian prescriber.



36



37