Reklamasi Teluk Jakarta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2016/2017 PL 4202 TEKNIK EVALUASI PERENCANAAN Critical Review (Studi Kasus : Reklamasi Teluk Jakarta) Dosen: Johnny Patta, Ir., MURP



Oleh: Shanada Julistiadi 15411098



PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2016 1



1.PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Rencana reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya bukan hal yang baru.. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an. PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda. Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU. Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara. Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Saat itu bertepatan dengan momentum “Indonesia Emas”, di mana Presiden Soeharto berkeinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai kota pantai modern atau waterfront city. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain. Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana 2



Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi. Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan. Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012, kegiatan reklamasi merupakan jenis rencana usaha dan/kegiatan bidang multisektor yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mutu dan Dampak Lingkungan (AMDAL). RTRW DKI Jakarta 2010-2030 pasal 104 ayat (1) menyebutkan bahwa pengembangan kawasan Pantura harus diawali dengan perencanaan reklamasi yang disusun secara cermat dan terpadu sekurang- kurangnya mencakup AMDAL. Beberapa kajian lingkungan hidup terkait dampak program ini terhadap wilayah perencanaan ini telah dilakukan, diantaranya adalah Kajian Lingkun- gan Hidup Strategis (KLHS) Pantura Teluk Jakarta pada tahun 2009. Namun dalam perjalanan implementasi, penerapan rekomendasi terkait lingkungan hidup menemui banyak kendala. Reklamasi pantai akan mengganggu salinitas dan pasang-surut laut yang berperan dalam pertumbuhan tanaman mangrove. Bila tidak ada pasang-surut maka populasi mangrove dan habitat fauna (ikan, burung pantai, monyet berekor panjang, reptil) yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove akan terancam. Jika terlanjur rusak, maka akan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove tersebut. Dampak lingkungan lainnya dari proyek reklamasi pantai adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi tersebut. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global. Selain itu, reklamasi Teluk Jakarta juga akan berdampak terhadap kondisi sosial yang relatif besar. Dilihat dari sisi sosial, dampak utama program ini adalah yang terkait dengan ketenagakerjaan, pengembangan masyarakat di wilayah pesisir, sektor perikanan dan komunitas terkait. Kegiatan masyarakat sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. 3



Selain dampak sosial dan lingkungan, tumpang-tindih maupun tarik-ulur kebijakan merupakan salah satu masalah yang mengakibatkan perdebatan terhadap keabsahan reklamasi. Pro-kontra reklamasi dijabarkan pada gambar di bawah ini. Pro-Kontra Reklamasi



Sumber: Litbang Kompas



Reklamasi yang diharapkan dapat mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, serta untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal, ternyata malah mengakibatkan masalahmasalah yang lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai reklamasi Teluk Jakarta dalam bab selanjutnya agar mendapatkan solusi terhadap tumpang-tindih maupun tarik-ulur kebijakan yang terjadi dalam proses reklamasi, serta dampak lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh reklamasi.



4



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, berikut adalah masalah-masalah yang akan kami bahas dalam makalah kali ini: a. Bagaimana upaya untuk menghentikan perdebatan yang diakibatkan oleh tumpang tindihmaupun tarik-ulur kebijakan ? b. Bagaimana upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi ? c. Bagaimana upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi ?



1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk menemukan solusi terhadap isu reklamasi Teluk Jakarta; sedangkan sasaran dari buatnya makalah ini meliputi: a. Mengidentifikasi upaya untuk menghentikan perdebatan yang diakibatkan oleh tumpang tindihmaupun tarik-ulur kebijakan. b. Mengidentifikasi upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi. c. Mengidentifikasi upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi.



1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari makalah ini terdiri atas ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah. 1.4.1 Ruang Lingkup Materi Teori yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah teori reklamasi. 1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah Wilayah yang diidentifikasi dalam makalah ini meliputi wilayah Teluk Jakarta atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara Jakarta.



1.5 Metodologi Penelitian Jenis data yang kami gunakan yaitu Data sekunder. Data sekunder kami peroleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara PDRB, Industri dan kesejahrteraan dilakukan dengan analisis deskriptif.



2. DASAR TEORI 2.1 Pengertian Reklamasi Reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang 5



sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Ada beberapa sumber yang mendefinisikan arti dari reklamasi yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005), reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. 2. Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan. 3. Berdasarkan Pedoman Pengembangan Reklamasi Pantai dan Perencanaan Bangunan Pengamanannya (2004), reklamasi pantai adalah meningkatkan sumberdaya lahan dari yang kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat ditinjau dari sudut lingkungan, kebutuhan masyarakat dan nilai ekonomis. 4. Menurut Perencanaan Kota (2013), reklamasi sendiri mempunyai pengertian yaitu usaha pengembangan daerah yang tidak atau kurang produktif (seperti rawa, baik rawa pasang surut maupun rawa pasang surut gambut maupun pantai) menjadi daerah produktif (perkebunan, pertanian, permukiman, perluasan pelabuhan) dengan jalan menurunkan muka air genangan dengan membuat kanal – kanal, membuat tanggul/ polder dan memompa air keluar maupun dengan pengurugan. 5. Berdasarkan Modul Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi (2007) adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.



6



Tipologi Kawasan Reklamasi Menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007), kawasan reklamasi dibedakan menjadi beberapa tipologi berdasarkan fungsinya yakni : 1. Kawasan Perumahan dan Permukiman. 2. Kawasan Perdagangan dan Jasa. 3. Kawasan Industri. 4. Kawasan Pariwisata. 5. Kawasan Ruang Terbuka (Publik, RTH Lindung, RTH Binaan, Ruang Terbuka Tata Air). 6. Kawasan Pelabuhan Laut / Penyeberangan. 7. Kawasan Pelabuhan Udara. 8. Kawasan Mixed-Use. 9. Kawasan Pendidikan. Selain berdasarkan fungsinya, kawasan reklamasi juga dibagi menjadi beberapa tipologi berdasarkan luasan dan lingkupnya sebagai berikut : 1. Reklamasi Besar yaitu kawasan reklamasi dengan luasan > 500 Ha dan mempunyai lingkup pemanfaatan ruang yang sangat banyak dan bervariasi. Contoh : Kawasan reklamasi Jakarta. 2. Reklamasi Sedang merupakan kawasan reklamasi dengan luasan 100 sampai dengan 500 Ha dan lingkup pemanfaatan ruang yang tidak terlalu banyak ( ± 3 – 6 jenis ). Contoh : Kawasan Reklamasi Manado. 3. Reklamasi Kecil merupakan kawasan reklamasi dengan luasan kecil (dibawah 100 Ha) dan hanya memiliki beberapa variasi pemanfaatan ruang ( hanya 1-3 jenis ruang saja ). Contoh : Kawasan Reklamasi Makasar.



Tujuan dan Manfaat Reklamasi Tujuan dari adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007) yaitu untuk menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat. Kawasan daratan baru tersebut dapat dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian, jalur transportasi alternatif, reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan limbah dan lingkungan terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari ancaman abrasi serta untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu. Namun menurut Perencanaan Kota (2013), tujuan dari reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pengembangan kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan 7



semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Menurut Max Wagiu (2011), tujuan dari program reklamasi ditinjau dari aspek fisik dan lingkungan yaitu: A. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut. B. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk mendirikan bangunan yang akan difungsikan sebagai benteng perlindungan garis pantai. Adapun kebutuhan dan manfaat reklamasi dapat dilihat dari aspek tata guna lahan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari aspek tata ruang, suatu wilayah tertentu perlu direklamasi agar dapat berdaya dan memiliki hasil guna. Untuk pantai yang diorientasikan bagi pelabuhan, industri, wisata atau pemukiman yang perairan pantainya dangkal wajib untuk direklamasi agar bisa dimanfaatkan. Terlebih kalau di area pelabuhan, reklamasi menjadi kebutuhan mutlak untuk pengembangan fasilitas pelabuhan, tempat bersandar kapal, pelabuhan peti-peti kontainer, pergudangan dan sebagainya. Dalam perkembangannya pelabuhan ekspor – impor saat ini menjadi area yang sangat luas dan berkembangnya industri karena pabrik, moda angkutan, pergudangan yang memiliki pangsa ekspor–impor lebih memilih tempat yang berada di lokasi pelabuhan karena sangat ekonomis dan mampu memotong biaya transportasi. Aspek perekonomian adalah kebutuhan lahan akan pemukiman, semakin mahalnya daratan dan menipisnya daya dukung lingkungan di darat menjadikan reklamasi sebagai pilihan bagi negara maju atau kota metropolitan dalam memperluas lahannya guna memenuhi kebutuhan akan pemukiman. Dari aspek sosial, reklamasi bertujuan mengurangi kepadatan yang menumpuk dikota dan meciptakan wilayah yang bebas dari penggusuran karena berada di wilayah yang sudah disediakan oleh pemerintah dan pengembang, tidak berada di bantaran sungai maupun sempadan pantai. Aspek lingkungan berupa konservasi wilayah pantai, pada kasus tertentu di kawasan pantai karena perubahan pola arus air laut mengalami abrasi, akresi ataupun erosi. Reklamasi dilakukan diwilayah pantai ini guna untuk mengembalikan konfigurasi pantai yang terkena ketiga permasalahan tersebut ke bentuk semula.



8



Daerah Pelaksanaan Reklamasi Perencanaan Kota (2013) memaparkan pelaksanaan reklamasi pantai dibedakan menjadi tiga yaitu: A. Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula Kawasan daratan lama berhubungan langsung dengan daratan baru dan garis pantai yang baru akan menjadi lebih jauh menjorok ke laut. Penerapan model ini pada kawasan yang tidak memiliki kawasan dengan penanganan khusus atau kawasan lindung seperti : 



kawasan permukiman nelayan







kawasan hutan mangrove







kawasan hutan pantai







kawasan perikanan tangkap







kawasan terumbu karang, padang lamun, biota laut yang dilindungi







kawasan larangan ( rawan bencana )







kawasan taman laut



B. Daerah reklamasi yang memiliki jarak tertentu terhadap garis pantai Model ini memisahkan (meng-“enclave”) daratan dengan kawasan daratan baru, tujuannya yaitu : 



Menjaga keseimbangan tata air yang ada







Menjaga kelestarian kawasan lindung (mangrove, pantai, hutan pantai, dll)







Mencegah terjadinya dampak/ konflik sosial







Menjaga dan menjauhkan kerusakan kawasan potensial (biota laut, perikanan, minyak )







Menghindari kawasan rawan bencana



C. Daerah reklamasi gabungan dua bentuk fisik (terpisah dan menyambung dengan daratan) Suatu kawasan reklamasi yang menggunakan gabungan dua model reklamasi. Kawasan reklamasi pada kawasan yang potensial menggunakan teknik terpisah dengan daratan dan pada bagian yang tidak memiliki potensi khusus menggunakan teknik menyambung dengan daratan yang lama.



Sistem pelaksanaan reklamasi Modul Penerapan Tata Pelaksanaan Reklamasi Pantai dan Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2007) menjelaskan bahwa pelaksanaan reklamasi dilihat berdasarkan dari sistem yang digunakan. Adapun sistem-sistem tersebut berupa : 1. Sistem Urugan Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut tinggi (high water level). Sistem ini berkembang didukung dengan berbagai jenis alat-alat besar seperti alat penggalian tanah, alat pengambilan dan pengeruk tanah, alat-alat transport, 9



perlengkapan penebaran bahan-bahan tanah urug, dan alat perlengkapan pemadatan tanah. Secara garis besar proses pelaksanaan reklamasi sistem ini adalah sebagai berikut: 



Pembangunan tanggul mengelilingi daerah yang akan direklamasi, dimana tanggul ini tidak perlu bersifat kedap air. Biasanya, apabila perlindungan lahan dilakukan setelah selesainya reklamasi, pembuatan tanggul tidak perlu dilakukan.







Material reklamasi diurug ke seluruh lahan yang akan direklamasi baik melalui daratan (dumptruck dan dozer) ataupun dipompakan melalui pipa (hydraulic fill), dan sand by passing.







Reklamasi dilakukan lapis demi lapis dan ketebalan tiap lapisnya berkisar antara 0,30-1,00 meter sesuai dengan jenis tanah dasar dan tanah timbunannya agar tidak terjadi mud explosion ataupun mud wave.







Perataan lahan hasil reklamasi.







Pematangan lahan reklamasi dengan pemasangan drainase vertikal (vertical drain ), pemadatan lahan reklamasi dan kegiatan perbaikan daya dukung tanah dengan cara dynamic compaction (teknik perbaikan tanah dengan memadatkann tanah bagian dalam dengan berulang-ulang menjatuhkan beban berat ke permukaan tanah), vibro floatation, dynamic consolidation dan dapat juga didiamkan saja dalam waktu tertentu sesuai dengan standar yang dibutuhkan.



Pada sistem urugan, sistem ini menggunakan dua macam cara kerja yaitu: A. Hydraulic Fill dimana dibuat tanggul terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pengurugan. B. Blanket Fill: Tanah di urug lebih dahulu baru kemudian tanggul atau sistem perlindungan dibuat belakangan. 2. Sistem Polder Sistem ini dilakukan dengan melingkupi suatu lahan basah (genangan) dengan tanggul yang diusahakan kedap air, lalu menurunkan tinggi muka air tanah di dalam areal tersebut, mengendalikan tinggi muka air supaya selalu berada di bawah ambang batas yang dikehendaki, sehingga lahan cukup kering dan siap dimanfaatkan menjadi lahan untuk pertanian, perindustrian dan lain-lainnya. Pembangunan tanggul kedap air mengelilingi daerah yang akan direklamasi. Adapun pelaksanaan sistem polder ini dengan cara : 



Air di daerah yang akan direklamasi dipompa keluar sehingga kering.







Perbaikan tanah dasar agar dapat dipergunakan sesuai peruntukan. Perbaikan tanah dasar ini termasuk penimbunan tanah tambahan, pemadatan dan sebagainya.







Pembuatan jaringan drainase termasuk pompanisasi untuk menjamin bahwa lahan hasil reklamasi dapat kering baik pada musim kemarau maupun penghujan. Pemompaan juga perlu dilakukan untuk memberi jalan bagi aliran dari hulu. Saluran melingkari lahan reklamasi sangat 10



diperlukan untuk menampung rembesan air dari laut (air asin) yang dapat mengganggu pemanfaatan lahan. Sistem Polder ini diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: 



Polder Dalam Air yang disedot dari polder tidak langsung dibuang kelaut, melainkan ke waduk-waduk tampungan atau ke suatu saluran yang berada di luar polder. Langkah selanjutnya adalah dialirkan ke laut.







Polder Luar Air dari polder langsung dibuang ke laut.



3. Sistem Kombinasi antara Polder dan Urugan Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem urugan yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut cukup aman. Penimbunan dimaksudkan untuk perbaikan tanah karena tanah dasar pantai pada umumnya sangat lunak. 4. Sistem Drainase Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya harus lebih tinggi dari elevasi muka air laut. Wilayah ini bisa berupa daerah rawa pasang surut ataupun daerah rawa yang tidak dipengaruhi pasang surut. Dengan membuatkan sistem drainase yang baik beserta pintu-pintu pengatur, wilayah pesisir ini dapat dimanfaatkan untuk daerah pemukiman dan pertanian.



2.2 Teluk Jakarta, Jakarta Utara Wilayah Jakarta Utara sebagai bagian dari wilayah Ibukota Jakarta, ternyata pada abad ke 5 merupakan pusat pertumbuhan Kota Jakarta, tepatnya terletak di muara Sungai Ciliwung Angke. Pada masa tersebut, muara Sungai Ciliwung merupakan bandar pelabuhan Kerajaan Tarumanegara di bawah pimpinan Raja Mulawarman. Betapa pentingnya wilayah Jakarta Utara pada saat itu, dapat dilihat dari banyaknya situs peninggalan sejarah yang dapat ditemukan di beberapa tempat di Jakarta Utara, seperti Kelurahan Tugu, Pasar Ikan dan sebagainya.



Sepanjang sejarah berdirinya Jakarta, sejak 22 Juli 1527 hingga kini, sistem pemerintahan di kota ini telah beberapa kali mengalami perubahan, mencakup pergantian penguasa, nama serta pergantian luas wilayah administrasinya. Semula daerah ini bernama Jayakarta, yang terdiri dari tiga bentuk pemerintahan. Pertama, pemerintahan langsung yang dikendalikan oleh Penguasa Jayakarta dengan wilayahnya meliputi Pelabuhan Angke. Kedua, pemerintahan Negara Agung yang 11



dikendalikan pembantu penguasa Jayakarta dengan wilayah meliputi Pasar Ikan Kali Ciliwung dan Jakarta Kota (saat ini). Ketiga, pemerintahan Mancanegara dengan cakupan wilayah Tanjung Priok. Memasuki tahun 1960, di sekitar Jakarta Kota dan wilayah lainnya yang dikuasai pribumi maupun etnis Tionghoa harus tunduk dan membayar upeti kepada Pemerintah Hindia Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compaigne), dengan sistem pemerintahan pada saat itu diatur dalam UU Comptabuliteit 1854 yang menetapkan pusat pemerintahan berada di Weltevreden. GEOGRAFIS JAKARTA UTARA Wilayah kota Administrasi Jakarta Utara mempunyai luas 174,560 Km2 terdiri dari luas lautan 35 Km2 dan luas daratan 139,560Km2. Daratan Jakarta Utara membentang dari Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4 s/d 10 km. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 s/d 20 meter, dari tempat tertentu ada yang dibawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa/empang air payau. Wilayah Jakarta Utara merupakan pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata 270 C, curah hujan setiap tahun rata-rata 142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut. Batas Wilayah Wilayah Kotamadya Jakarta Utara dibatasi dengan batas sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Jawa Koordinat 1060 29-00 BT 150 10-00 LS 1060 07-00 BT 050 10-00 LS Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Dati II Tangerang, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kab. Dati II Tangerang dan Jakarta Pusat. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kab. Dati II Bekasi. Penggunaan Tanah Luas tanah daratan di Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km2. Dirinci berdasarkan penggunaan 47,58% untuk perumahan, 15,87% untuk areal industri, 8,89% digunakansebagai perkantoran dan pergudangan dan sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut : status hak milik 13,28%, Hak Guna Bangunan (HGB) sekitar 29,04%, lainnya masih berstatus Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan non sertifikat. Jumlah Penduduk : 1.182.749 Jiwa Kepadatan Penduduk : 8.475 Jiwa/KM Pertumbuhan Penduduk : 0,46% Terdiri Dari : 6 Kecamatn, 31 Kelurahan, 409 RW dan 4.746 RT.



12



Teluk Jakarta Teluk Jakarta pada umumnya merupakan perairan dangkal yang memiliki kedalaman rata-rata 15 meter dengan luas sekitar 514 km2. Teluk ini merupakan muara 13 sungai yang melintasi kawasan metropolitan Jakarta dan daerah penyangga Bodetabek yang saat ini berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Wilayah di Teluk Jakarta termasuk dalam 3 kategori, yaitu wilayah Vorsteden (kota depan), Regentschap Batavia serta sebagian wilayah partikelir di bawah pengawasan Afdeling I (keamanan) yang membawahi Tanjung Priok serta pengawasan Resident Batavia melalui aparat Asisten Resident Batavia, Asisten Resident Meester Cornelis, serta aparat kontrolir Tanjung Priok, Penjaringan dan Bekasi. Sedangkan penguasa pribumi masa VOC adalah Bupati Tangerang, Bupati Bekasi, Batavia dan Meester Cornelis yang membawahi beberapa wedana. Sistem pemerintahan berubah kembali pada tahun 1905, setelah dibentuk Gemeente Batavia, dimana wilayah di sekitar Teluk Jakarta ini berubah menjadi Distrik Batavia yang meliputi Onder Distrik Penjaringan, Tanjung Priok, Meester Cornelis dan Bekasi. Sedangkan Tanjung Priok berada di bawah pemerintahan Haven Directie KPM. Ketika Jepang masuk ke wilayah ini, bentuk pemerintahan berubah menjadi shiku (setingkat kecamatan) dengan wilayah sekitar Teluk Jakarta, seperti Shiku Penjaringan, Tanjung Priok dan Bekasi. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Teluk Jakarta terbagi atas beberapa wilayah administratif, yaitu Kewedanan Penjaringan, Tanjung Priok dan Bekasi. Ketiga daerah kawedanan ini berada di bawah walikota Jakarta Raya dan termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Kemudian, wilayah di Teluk Jakarta ini berubah menjadi wilayah administratif Kotamadya Jakarta Utara pada tahun 1957, setelah terbentuknya Kotapraja Jakarta Raya.



3. Pembahasan 3.1 Tarik ulur kebijakan Sejak 1995 terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan. Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan 13



Revitalisasi Pantai Utara. Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal. Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi. Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta. Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil di Teluk Jakarta. Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.



3.2 Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) Dipandang dari sudut tata ruang terkait arahan pembangunan perkotaan (urban develo- ment) pesisir ibukota negara, maka berikut ini adalah pertimbangan utama mengapa pro- gram seperti PTPIN cukup dibutuhkan: 



Diperlukan upaya mengintegrasikan solusi tata air dengan reklamasi lahan, pengem- bangan transportasi dan kebutuhan pengembangan ruang kota dalam kerangka pengembangan kawasan pesisir, untuk menghasilkan pendapatan dalam membiayai tindakan perlindungan banjir.



14







Diperlukan adanya arahan pengembangan kota baru pada lahan reklamasi dan memposisikannya kedalam pengembangan kawasan strategis Jabodetabekpunjur dan ren- cana tata ruang daerah



Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek- punjur telah ditetapkan pada 12 Agustus 2008. Perpres ini merupakan payung hukum bagi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur sebagai suatu kesatuan ekologis. Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air tanah, upaya menjamin terse- dianya air tanah dan air Perpres No. 54 Tahun 2008 juga menetapkan arahan pemanfaatan ruang kawasan pesisir utara DKI Jakarta sebagai Zona Penyangga: 



Zona P1 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut. Pemanfaatan diarahkan un- tuk menjaga fungsi zona N1.







Zona P2 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk referensi banjir mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut. Peman- faatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona N1 dan zona P5.







Zona P3 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mendukung zona dengan intensitas pemanfaatan yang tinggi dan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona B1.



15







Zona P4 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung rendah. Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona B2 dan zona B4.







Zona P5 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, retensi air, intrusi air laut, dan konservasi hutan bakau dengan daya dukung lingkungan rendah. Pemanfaatan diarahkan sebagai penyangga zona N1 dan zona B1.



Berdasarkan Perda No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030, kawasan Pantura Jakarta di kembangkan sebagai pusat kegiatan primer yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala nasional atau beberapa provinsi dan internasional. Dalam skala regional struktur ruang kawasan pantai utara ibukota negara berfungsi : 



Bagian dari sistem pusat kegiatan dalam Propinsi DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi.







Arahan pembentuk keterpaduan sistem pusat kegiatan antar wilayah Propinsi DKI Ja- karta , Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.



16



Reklamasi Pantai Utara Pendekatan Pengembangan Kawasan Strategis Pantura



17



Program PTPIN kerap dikaitkan dengan reklamasi 17 pulau di pesisir utara Jakarta terse- but, padahal keduanya merupakan proses yang terpisah walaupun tujuannya relatif sama, yaitu melindungi kawasan pesisir pantai utara Jakarta sekaligus mengakomodasi keperluan pengembangan kota di masa depan. Namun demikian, kedua upaya tersebut perlu saling bersinergi untuk dapat memberi manfaat bagi ibukota negara. Dampak dan Pencegahan Lingkungan Mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012, kegiatan reklamasi merupakan jenis rencana usaha dan/kegiatan bidang multisektor yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mutu dan Dampak Lingkungan (AMDAL). RTRW DKI Jakarta 2010-2030 pasal 104 ayat (1) menyebutkan bahwa pengembangan kawasan Pantura harus diawali dengan perencanaan reklamasi yang disusun secara cermat dan terpadu sekurang- kurangnya mencakup AMDAL. Beberapa kajian lingkungan hidup terkait dampak program ini terhadap wilayah perencanaan ini telah dilakukan, diantaranya adalah Kajian Lingkun- gan Hidup Strategis (KLHS) Pantura Teluk Jakarta pada tahun 2009. Namun dalam perjalanan implementasi, penerapan rekomendasi terkait lingkungan hidup menemui banyak kendala. Walaupun demikian, selayaknya upaya-upaya kajian terkait dampak lingkungan harus tetap dilakukan dengan sungguh-sungguh di masa mendatang. Perencanaan lebih lanjut sebaiknya dibuat tidak parsial sehingga tidak mengganggu kepentingan atau fungsi lain baik kegiatan sektoral—termasuk di dalamnya isu lingkungan hidup—maupun Pemerintah Daerah termasuk dampak kumulatif lingkungan hidup dari perencanaan reklamasi antar pengembang dan reklamasi yang akan menggunakan hutan lindung. Penutupan teluk diperkirakan akan menciptakan dampak ekologis yang signifikan. Beberapa dampak utama lingkungan akibat pembangunan telah diteliti dan dikompilasikan dalam dokumen ‘building block’ untuk analisa lingkungan strategis. Penelitian baru-baru ini mengidentifikasi dampak yang akan terjadi dan merekomendasikan upaya-upaya mitigasi yang memungkinkan, serta mengidentifikasi upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Hutan bakau/mangrove: Di wilayah pesisir di Teluk Jakarta, hutan mangrove berada pada Taman Wisata Alam Kamal dan Kebun Pembibitan Angke Kapok (55.06 ha), Cagar Alam Muara Angke (25.02 ha), Hutan Lindung Angke Kapok (44.76 ha), juga di sekitar Cilincing Marunda dengan luas total sekitar 118.11 ha di tahun 2011. Pembangunan tanggul laut, tanggul sungai, dan reklamasi pantai akan mengganggu salinitas dan pasang-surut laut yang berperan dalam pertumbuhan tanaman mangrove. Bila tidak ada pasangsurut maka populasi mangrove dan habitat fauna (ikan, burung pantai, monyet berekor panjang, reptil) yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove akan terancam. Jika terlanjur 18



rusak, maka akan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove tersebut. Alternatif mitigasi terhadap dampak rusaknya hutan mangrove yang di rekomendasikan dalam PTPIN adalah relokasi hutan mangrove. Rancangan dalam implementasi tahap B dalam program PTPIN akan menggabungkan pengembangan hutan mangrove di sayap barat Garuda Megah. Pada kawasan ini diusulkan sebagai tempat pengembangan taman hutan bakau dan Discovery Center. Kesempatan untuk mengembangkan kawasan hutan mangrove ini dilakukan melalui rancangan Tahap C dengan menggunakan penambahan stuktur di bagian timur untuk menciptakan sistem muara dengan kondisi intertidal di bagian utara mulut Sungai Cikarang. Kehidupan Laut. Penutupan teluk ini akan mengubah teluk Jakarta menjadi danau retensi air tawar, yang akan menciptakan dampak besar terhadap keadaan ekologis di teluk Jakarta. Hasilnya, spesies ikan laut yang menetap di wilayah itu dan benthos akan musnah. Dampak Hidrodinamis: Penutupan teluk Jakarta akan menimbulkan perubahan signifikan terhadap pola di teluk. Perubahan tersebut diperkirakan akan menimbulkan erosi baru dan risiko sedimentasi. Dampak dan Pencegahan Sosial Selayaknya sebuah proyek berskala besar, implementasi pembangunan tanggul laut, tanggul sungai, dan reklamasi pesisir utara Jakarta akan berdampak terhadap kondisi sosial yang relatif besar. Dampak ini dapat bisa bersifat positif maupun negatif. Dilihat dari sisi sosial, dampak utama program ini adalah yang terkait dengan ketenagakerjaan, pengembangan masyarakat di wilayah pesisir, sektor perikanan dan komunitas terkait. Secara tradisional, kawasan pantai Jakarta−terutama di lahan-lahan kosong yang ditempati oleh masyarakat pendatang, kecuali kawasan Luar Batang, Cilincing dan sedikit Marunda yang dihuni penduduk “asli” masyarakat Betawi. Kawasan – kawasan kosong itu adalah lahan yang terletak di muara Kali Kamal, muara dan bantaran Kali Angke, kawasan Rumah Pompa Pluit, bantaran Waduk Pluit, Sunda Kelapa, kawasan Kali Baru, dan muara Kali Landak. Penghuninya sudah bercampur baur dan mencirikan masyarakat pesisir. Selama bertahun-tahun, mereka turun temurun menempati lahan-lahan kosong tersebut. Ada beberapa kelompok masyarakat yang teridentifikasi yang berada di pesisir utara Jakarta, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari pembangunan Giant Sea Wall, yaitu: masyarakat di Muara Kamal (peternak kerang hijau), Nelayan Kali Angke, Pasar Ikan Muara Angke, Kali Baru, Cilincing, Marunda Pulo dan Marunda Kongsi (kawasan cagar budaya Betawi) Pengembangan Masyarakat dan Relokasi. Penguatan tanggul laut pada PTIN Tahap A akan memberikan dampak langsung dan besar kepada penghuni pada masyarakat pesisir pada semua 19



penghuni di pesisir Jakarta, termasuk 1,5 juta jiwa penduduk yang bermukim di pemukiman kumuh. Banyak rumah-rumah yang dibangun di atas tanggul laut. Di beberapa tempat, tanggul laut langsung melalui daerah perumahan dan daerah pemukiman kumuh. Kegiatan galangan pembuatan kapal dan galangan perbaikan kapal yang mengandalkan hubungan langsung dengan laut akan terganggu oleh pembangunan tanggul. Mengu- rangi dampak pada masyarakat/komunitas dan kegiatan perekonomian ini merupakan hal yang sangat penting dari segi sosio-ekonomi. Titik awal perancangan konseptual Tahap A sedapat mungkin berusaha membatasi relokasi akibat penguatan tanggul. Garuda Megah direncanakan akan dapat menyediakan ruang untuk perumahan sosial (sebanyak 17 pers- en) dan kebutuhan lahan untuk menampung relokasi. Perikanan dan Masyarakat Nelayan: Garuda Megah dan tanggul laut akan menutup jalan masuk ke pelabuhan pelabuhan ikan yang ada. Tempat penang kapan ikan dan budidaya air asin akan hilang di waduk retensi air tawar. Mengingat pentingnya sektor perikanan bagi ma- syarakat yang bergantung kepada sektor ini, maka perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengurangi dampak ini ketika teluk ditutup. Salah satu usulan dari PTPIN ini adalah merelokasi masyarakat nelayan dan pelabuhan perikanan ke kedua ujung luar barat dan timur dari sayap Garuda Megah. Selain mendapatkan tempat baru, program ini diharapkan juga dapat menciptakan kemungkinan bagi mereka untuk menjual produk-produk mereka langsung di pasar, toko sementara maupun permanen, restoran dan warung makanan. Untuk jangka panjang, waduk retensi air tawar ini dapat menciptakan alternatif kegiatan baru bagi nelayan. Dengan catatan: bila kualitas air cukup layak untuk mendukung kegiatan tersebut. Namun demikian upaya untuk mengurangi dampak proyek ini terhadadap masyarakat nelayan, antara lain merelokasi mereka ke tempat yang lebih aman dan layak sekaligus juga untuk meningkatkan pendapatan mereka, harus dilakukan dan dipikirkan dengan hati-hati. PTPIN diharapkan dapat menciptakan banyak peluang kerja, melalui kegiatan reklamansi diperki- rakan akan menciptakan lebih dari 550.000 lapangan kerja baru. Pekerjaan konstruksi Ga- ruda Megah diperkirakan akan menyediakan 4.250 lapangan pekerjaan sementara.



4. KESIMPULAN Untuk menghentikan perdebatan yang diakibatkan oleh tumpang tindih-maupun tarik-ulur kebijakan, reklamasi sebaiknya dipersiapkan dengan baik. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adanya program PTPIN yang kerap dikaitkan dengan reklamasi teluk Jakarta dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam melindungi kawasan Teluk Jakarta dari dampak-dampak negatif reklamasi. Salah satu upaya penanggulangan dampak negatif reklamasi yang dijabarkan dalam PTPIN yaitu sebagai alternatif mitigasi terhadap dampak rusaknya hutan mangrove yang di rekomendasikan dalam PTPIN 20



adalah relokasi hutan mangrove. Rancangan dalam implementasi tahap B dalam program PTPIN akan menggabungkan pengembangan hutan mangrove di sayap barat Garuda Megah. Pada kawasan ini diusulkan sebagai tempat pengembangan taman hutan bakau dan Discovery Center. Kesempatan untuk mengembangkan kawasan hutan mangrove ini dilakukan melalui rancangan Tahap C dengan menggunakan penambahan stuktur di bagian timur untuk menciptakan sistem muara dengan kondisi intertidal di bagian utara mulut Sungai Cikarang. Sedangkan dalam bidang sosial, untuk mengurangi dampak pada masyarakat/komunitas dan kegiatan perekonomian ini beru[a Garuda Megah yang direncanakan akan dapat menyediakan ruang untuk perumahan sosial (sebanyak 17 persen) dan kebutuhan lahan untuk menampung relokasi. Selain mendapatkan tempat baru, program ini diharapkan juga dapat menciptakan kemungkinan bagi mereka untuk menjual produk-produk mereka langsung di pasar, toko sementara maupun permanen, restoran dan warung makanan. Untuk jangka panjang, waduk retensi air tawar ini dapat menciptakan alternatif kegiatan baru bagi nelayan. Dengan catatan: bila kualitas air cukup layak untuk mendukung kegiatan tersebut. Namun demikian upaya untuk mengurangi dampak proyek ini terhadadap masyarakat nelayan, antara lain merelokasi mereka ke tempat yang lebih aman dan layak sekaligus juga untuk meningkatkan pendapatan mereka, harus dilakukan dan dipikirkan dengan hati-hati. PTPIN diharapkan dapat menciptakan banyak peluang kerja, melalui kegiatan reklamansi diperkirakan akan menciptakan lebih dari 550.000 lapangan kerja baru. Pekerjaan konstruksi Garuda Megah diperkirakan akan menyediakan 4.250 lapangan pekerjaan sementara.



DAFTAR PUSAKA -



http://ncicd.com/wp-content/uploads/2015/02/Laporan-PTPIN_181114_LowRes.pdf



-



http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/10050401/Jalan.Panjang.Reklamasi.di.Telu k.Jakarta.dari.era.Soeharto.sampai.Ahok



-



http://beritajakartautara.blogspot.co.id/2011/11/sejarah-dan-geografis-jakarta-utara.html



21