Restoratif Justice [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PENEGAKAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN KEPOLISIAN



A. DASAR HUKUM 1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana; 2. Undang – Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3. Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4.



Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan



5.



Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana



6.



Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif



7.



Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.



B. PEMBAHASAN I.I



Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan sebagai langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan Keadilan Restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukum dalam masyarakat. Peraturan Polri tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan konsep baru dalam penegakan hukum pidana yang mengakomodir norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat, guna menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang memenuhui rasa keadilan semua pihak, yang merupakan wujud kewenangan Polri



sesuai dengan Pasal 16 dan Pasal 18 Undang-undang No.02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keadilan Restoratif adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula. (Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri No.8 / 2021). Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yaitu dengan membebani pelaku kejahatan dengan kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula, yang dapat memenuhi rasa keadilan korban. Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dilaksanakan pada kegiatan: a. penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal; b. penyelidikan; atau c. penyidikan. Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif harus memenuhi persyatan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku pada kegiatan Penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal, penyelidikan, atau penyidikan, sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan. Persyaratan umum, penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif tersebut meliputi materiil dan formil. Persyaratan materiil meliputi : 1. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; 2. tidak berdampak konflik sosial; 3. tidak berpotensi memecah belah bangsa; 4. tidak radikalisme dan sparatisme; 5. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan 6. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.



sedangkan pesyaratan umum yang berupa persyaratan formil meliputi : 1. perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika. 2. pemenuhan pengembalian



hak-hak



korban



barang,



dan



mengganti



tanggung kerugian,



jawab



pelaku,



mengganti



biaya



berupa yang



ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana narkotika)



Persyaratan Khusus, dalam penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif, merupakan persyaratan tambahan untuk tindak pidana lainnya, diantaranya : a. Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik; b. Tindak Pidana Narkoba c. Tindak Pidana Lalu Lintas Penyelesaian dan penanganan tindak pidana pada penyelenggaraan fungsi reserse criminal dapat dilakukan penyelesaian Tindak Pidana Ringan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan terhadap: a. laporan/pengaduan; atau b. menemukan langsung adanya dugaan Tindak Pidana. Laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud merupakan laporan/pengaduan sebelum adanya laporan polisi. Dan dilaksanakan oleh: a. anggota Polri yang mengemban fungsi Pembinaan Masyarakat; dan b. anggota Polri yang mengemban fungsi Samapta Polri. Penyelesaian perkara tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Resor dan Kepala Kepolisian Sektor yang dibuat oleh pelaku, korban, keluarga pelaku,



keluarga korban, atau pihak lain yang terkait. Dengan dilengkapi dengan dokumen berupa: a. surat pernyataan perdamaian; dan b. bukti telah dilakukan pemulihan hak korban. Berdasarkan surat permohonan tersebut, petugas fungsi pembinaan masyarakat wajib untuk: a. mengundang pihak-pihak yang berkonflik; b. memfasilitasi atau memediasi antar pihak; c. membuat laporan hasil pelaksanaan mediasi; dan d. mencatat dalam buku register Keadilan Restoratifpemecahan masalah dan penghentian penyidikan tipiring. Penghantian penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis, yang dibuat oleh pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak lain yang terkait dengan dilengkapi surat persyaratan perdamian dan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, ditujukan kepada Kabareskrim Polri pada tingkat Mabes, Kapolda pada tingkat Polda, sedangkan untuk tingkat Polres dan Polsek ditujukan kepada Kapolres. Berdasarkan surat permohonan pengentian penyelidikan dan penyidikan, penyidik dalam kegiatan penyelidikan akan melakukan penelitian kelengkapan dokumen, klarifikasi kepada para pihak yang dituangkan dalam berita acara, melaksanakan gelar khusus, dan apabila hasil terpenuhi maka akan diterbitkan surat perintah penghentian



penyelidikan



(SPP-Lidik)



dan



surat



ketetapan



penghantian



penyelidikan (SK.Lidik) dengan alasan demi hukum. Sedangkan penyidik dalam kegiatan penyidikan setelah menerima surat permohonan penghentian penyidikan akan melakukan pemeriksaan tambahan yang dituangkan dalam berita acara, klarifikasi terhadap para pihak yang dituangkan dalam berita acara, melaksanakan gelar khusus, dan apabila hasil terpenuhi maka akan diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan surat ketetapan penghantian penyidikan (SK.Sidik) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif, mengirim surat pemberitahuan penghentian dengan melampirkan surat ketetapan pengentian penyidikan kepada Jaksa penuntut umum.



I.II



Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana



Surat Edaran Kapolri sebagai bagian dari Peraturan Kebijakan tidak mengkategorikan sebagai peraturan perundang-undangan namun peraturan kebijakan ini berfungsi sebagai petunjuk serta menjadi pedoman bagi subjek dari peraturan ini yaitu polisi. Dalam



Surat



Edaran



tersebut,



tidak



disebutkan



secara



spesifik



Jenis Tindak pidana yang dapat ditangani/diselesaikan polisi/penyidik dengan mengimplementasikan pendekatan Restorative Justice, Jenis-Jenis Tindak pidana yang dapat ditangani/diselesaikan secara spesifik disampaikan oleh Zulkarnaen Koto sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yaitu selain perkara anak atau anak yang bermasalah dengan hukum yang penerapan Restorative Justice sudah diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain : a. Tindak pidana yang berhubungan dengan harta benda, seperti: pencurian, penipuan, pemalsuan, penggelapan , perusakan barang, dan pemalsuan surat. b. Tindak pidana terhadap badan, seperti penganiayaan. c. Tindak pidana kesusilaan , seperti perbuatan cabul dan perzinahan. d. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). e. Tindak pidana dengan nilai kerugian yang kecil dan/atau tindak pidana ringan . f. Tindak pidana yang berpotensi menimbulkan/berkaitan dengan konflik sosial. g. Tindak pidana yang bersintuhan dengan delik adat. h. Tindak pidana di bidang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) seperti merek dan hak cipta. Demikian juga dalam Prinsip pembatas pada jenis tindak pidana yang dapat dilakukan dengan Restorative Justice, disebutkan juga oleh Zulkarnaen Koto, Penerapan Restorative Justice berdasarkan tindak pidana adalah pada semua tindak pidana, kecuali: a. Tindak pidana pembunuhan ;



b. Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak; c. Tindak pidana narkoba; d. Tindak pidana yang menimbulkan keresahan yang meluas di masyarakat, seperti penistaan agama; e. Tindak pidana terhadap negara, seperti korupsi, terorisme, terhadap Sumber Daya Alam; f. Tindak pidana pengulang an (recidive). Surat Edaran ini mengatur prinsip keadilan restoratif tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator. Pelaksanaan kewenangan penyelidikan dan/atau penyidikan tindak pidana oleh Penyidik Polri yang menerapkan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam metode penyidikannya dapat didasarkan pada ketentuan sebagai berikut : 1. Pasal 7 ayat (1) huruf J Undang Undang No.08 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; 2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) angka 4 Undang Undang No.08 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) Selaras dengan hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; 3) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; 4) Harus masuk akal, patut, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, dan ;



5) Menghormati hak asasi manusia (HAM). 3. Pasal 18 Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) hanya



dapat



dilakukan



dalam



keadaan



sangat



perlu



dengan



memperhatikan undang-undang serta Kode Etik Profesi Polri. 4. Pasal 22 ayat (2) huruf b dan c Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang



Administrasi



Pemerintahan



dinyatakan



bahwa



setiap



penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan memberikan kepastian hukum. Surat edaran kapolri tersebut telah menetapkan pedoman dan petunjuk dalam pelaksanaan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dengan syarat sebagai berikut: 1. Terpenuhi syarat materil, yaitu :



1) Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat; 2) Tidak berdampak konflik sosial; 3) Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya dihadapan hukum; 4) Prinsip pembatas; 



Pada pelaku : Tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (schuld) atau mensrea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk); dan Pelaku buka residivis.







Pada tindak pidana dalam proses: Penyelidikan; dan Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.



2. Terpenuhi syarat formil, yaitu :



1) Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan pelapor); 2) Surat



Pernyataan



Perdamaian



(akte



dading)



dan



penyelesaian



perselisiahan para pihak yang berperkara (pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atas penyidik; 3) Berita Acara Pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadailan restoratif (restorative justice); 4) Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadailan restoratif (restorative justice); 5) Pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab, ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela; 6) Semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia;  Mekanisme penerapan keadailan restoratif (restorative justice): 1. Setelah menerima permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapir dan terlapor)



yang



ditandatangani



diatas



meterai,



lakukan



penelitian



administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui keadailan restoratif (restorative justice). 2. Permohonan perdamaian setelah memenuhi persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atas penyidik untuk mendapat persetujuan; 3.



Setelah



permohonan



disetujui



oleh



atasan



penyidik



(Kabareskrim/Kapolda/Kapolres), kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian; 4. Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak terlibat; 5. Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau kasatker perihal permohonan dilaksanakan gelar perkara khusus untuk pengentian perkara;



6. Melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, dan perwakilan dari tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintah bila diperlukan; 7. Menyusun kelangkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara; 8. Menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan restorative justice; 9. Untuk perkara pada tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dan surat Ketetapan Pengentian Penyelidikan yang ditanda tangani oleh : a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri; b. Direktur Reserse Kriminal pada tingkap Polda; c. Kapolres pada tingkat Polres dan Polsek; 10. Untuk perkara pada tahap penyidikan, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, yang ditanda tangani oleh : a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri; b. Direktur Reserse Kriminal pada tingkap Polda; c. Kapolres pada tingkat Polres dan Polsek; 11. Mencatat pada buku register B-19 sebagai perkara keadailan restoratif (restorative justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara.



I.III



PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA NO. 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA



Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Dalam menghadapi suatu perkara pidana pada tahap kepolisian, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah melaporkan atau mengadukan bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana kepada kepolisian terdekat baik Polda, Polres maupun polsek dengan mendatangi unit SPKT atau SPK dan dijamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan polisi; serta akan dilakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan memberikan pelayanan yang optimal bagi



warga



masyarakat



yang



melaporkan



atau



mengadu



kepada



Polri. Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat: a. materiel, meliputi: 1. tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat; 2. tidak berdampak konflik sosial; 3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum; 4. prinsip pembatas:



a) pada pelaku: 1) tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan 2) pelaku bukan residivis; b) pada tindak pidana dalam proses: 1) penyelidikan; dan 2) penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum; b. formil, meliputi: 1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor); 2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik; 3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif; 4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan 5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi. Secara teknis, substansi dari peraturan ini bertujuan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan proses penyidikan pada tingkat kepolisian dengan ketentuan formil yang menghadirkan konsep alternatif penyelesaian sengketa diluar persidangan (Non-Litigation).