Resume E-Learning KPK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME



Sesi 1. Dasar Pemberantasan Korupsi di Indonesia Sesi 2. Biaya Sosial dan Dampak Korupsi Sesi 3. Berpikir Kritis terhadap Korupsi: Peran dan Strategi Pemberantasan Korupsi Sesi 4. Nilai Antikorupsi Sesi 5. Teladan dari Tokoh Nasional



Erwita Nurika 199405202020122004 CPNS Kementerian PUPR 2021



Sesi 1



Apa yang terjadi di Indonesia saat tidak ada tindakan korupsi? Indonesia adalah negara yang kaya karena potensi geografis wilayahnya, kekayaan biodiversity dan SDA, serta manusia yang multikultural. Namun, warga Indonesia belum kunjung makmur karena adanya ketidakadilan yang disebabkan tindakan korupsi. Korupsi merampas hak-hak rakyat dan masyarakat luas seperti hak menikmati pembangunan, hak hidup layak karena dililit kemiskinan, hak mendapat pendidikan yang ideal, dan hak dasar lainnya. Korupsi merupakan permasalahan yang terjadi di seluruh negara. Karena dampaknya yang luar biasa, korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018. Dari hasil riset tersebut IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin ke 38 dari skala 0-100. Dengan nilai tersebut Indonesia berada di peringkat 89 dari 180 negara. Pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi agenda penting dan harus dilakukan secara strategis. Kebutuhan untuk membentuk lembaga khusus pemberantasan korupsi semakin diperkuat dengan adanya UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Meniru Denmark yang merupakan negara dengan angka korupsi terkecil, strategi pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara peningkatan transparansi sistem, pelatihan dan kampanye antikorupsi dan lembaga pengawasan di tiap instansi. Langkah ini telah dilakukan di Indonesia, namun korupsi masih umum terjadi karena budaya korupsi terlalu lama terjadi di Indonesia dan sebagian orang masih menoleransi tindakan tersebut.



Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka (Ong Hok Ham). Korupsi di Indonesia sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia (Benedict Anderson, 1972). Korupsi di “Peradaban Jawa,” dilakukan kelompok petugas pajak, mangilala drwya haji, yang menggelembungkan jumlah pajak. Di era kolonial Belanda, budaya feodal dan sistem upeti dipertahankan.



Upaya pemberantasan korupsi setelah pemerintahan Indonesia terbentuk pasca Kemerdekaan antara lain: 1957: Pemerintahan membentuk Badan Pemberantasan Korupsi yang bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dam adamya Daftar Kekayaan Pejabat Negara (DKPN). Selain itu terdapat Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang pembentukan badan untuk menggugat korupsi perdata yaitu Pemilik Harta Benda (PHB). 1963: Operasi Budhi. Berhasil menyelamatkan keuangan negara sekitar Rp11 miliar hanya dalam waktu tiga bulan. Kemudian membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR. 1967: Pemerintah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) 1970: Keppres No. 12 tahun 1970 tentang Komite Empat. Lalu, Keppres No 52 Tahun 1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. 1971: Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU. Dalam UU ini, ditetapkan bahwa korupsi sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. 1977: Presiden membentuk Tim Operasi Ketertiban (Opstib). 1980: UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. 1999: UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999. 2000: Pemerintah membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibubarkan MA. 2001: Lahir UU No, 20 Tahun 2001 sekaligus sebagai ganti dan pelengkap UU Nomor 31 tahun 1999. Dengan UU ini, ada amanat untu pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2002: UU No, 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 2009: UU No 46 2009 tentang pengadilan Tindak Pidana Korupso 2010: UU No 8 2010 tentang pencegahan dan pembertantasan Tindak Pindana Pencucian Uang



KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Secara lengkap, tugas KPK diatur dalam Pasal 6. Di dalamnya menyebutkan bahwa tugas KPK adalah: 1. Koordinasi



dengan



instansi



yang



berwenang



melakukan



berwenang



melakukan



pemberantasan indak pidana korupsi; 2. Supervisi



terhadap



instansi



yang



pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4. Melakukan tindakan–tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; 5. Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dasar Hukum Pendirian KPK 1. TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) 2. UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang 1. UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN 2. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Pemerintah 1. PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah



Dalam menjalankan tugas koordinasi, KPK berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan tugas pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Antara lain: Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Selain Koordinasi dan Supervisi (Korsup) terhadap penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan, KPK juga melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri.



Sesi 2



Dampak korupsi terhadap pembangunan disebabkan oleh pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat. Kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi wajib dikembalikan oleh pelaku. Namun hukuman atau sanksi korupsi saat ini hanya memperhitungkan besaran uang yang dikorupsi/disalahgunakan/ dinikmati oleh koruptor saja (biaya eksplisit), Kerugian negara yang ditimbulkan dari korupsi pun jauh lebih besar dari jumlah uang yang dikorupsi. Terdapat biaya implisit (opportunity cost) yang merupakan biaya dampak yang timbul karena korupsi yang dilakukan terutama pada kasus yang berdampak ke masyarakat seperti korupsi perizinan lahan dan pengelolaan SDA. Beban biaya sosial (social cost of



crime) pada akhirnya ditanggung oleh masyarakat sehingga masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dalam tindak pidana korupsi yang terjadi.



Untuk



kasus



kehutanan



yang



dihitung



dengan



metode



penghitungan Biaya Sosial Korupsi, dapat terjadi peningkatan sebesar 543 kali lipat dari tuntutan konvensional.



Perhitungan tersebut didasarkan pada teori biaya sosial. Komponen yang dihiting adalah:



Biaya antisipasi terdiri dari: a) Biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten; b) Reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi; dan c) Kegiatan pencegahan korupsi oleh KPK,



Biaya reaksi terdiri dari: a) Biaya proses penanganan perkara mulai dari pengaduan, penyelidikan, dan penyidikan. (Kepolisian, Kejaksaan, KPK, PPATK, BPKP dll); b )Biaya peradilan (panitera, jaksa, hakim, dll); c) Biaya proses perampasan aset di luar dan di dalam negeri. Biaya akibat korupsi (Eksplisit) adalah nilai uang yang dikorupsi atau kerugian keuangan negara. dan d) Biaya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, biaya pengumpulan denda, dll. Biaya akibat (implisit) adalah biaya finansial (kerugian negara), biaya ekonomi (sumber daya produktif), biaya privat (kerugian yang bisa ditelusuri) dan biaya sosial (secara finansial tidak terbukti karena tidak ada pasar, misalnya hilangnya fungsi ekologis hutan karena perizinan ilegal).



Penggantian kerugian tersebut tidak dapat dilakukan secara maksimal oleh pelaku karena UU yang ada disusun tanpa mempertimbangkan rasionalitas pelaku dan kurang mempunyai efek jera. Hal ini dapat dilihat dari penetapan denda maksimum bagi koruptor sebesar Rp 1 miliyar. Namun, tidak ada batasan jumlah nominal uang yang bisa dikorupsi. Ketidaksamaan besaran pidana denda bagi koruptor dengan jumlah yang dikorupsi di antaranya disebabkan karena terpidana korupsi dapat dijatuhi pidana kurungan dan/atau denda serta pidana tambahan berupa uang pengganti melalui penyitaan aset yang diduga merupakan hasil korupsi. Selain itu, terdapat berbagai usulan hukuman sosial seperti pengasingan dari komunitas, dipermalukan dan pemiskinan. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”



Sesi 3



Tindak Pidana Korupsi diindikasikan dengan kurangnya nilai integritas pada lembaga tersebut. Beberapa teori menyatakan penyebab korupsi: GONE (greed, opportunity, need, dan exposure) oleh Bologne, yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya individu, CDMA Theory (Corruption = Directionary + Monopoly – Accountability) oleh Klitgaard yang membahas akuntabilitas, Fraud Triangle Theory (kesempatan,



dorongan,



dan



rasionalisasi)



oleh



Cressey,



teori



Willingness and Opportunity to Corrupt dan teori Cost-Benefit Model (manfaat korupsi yang didapat lebih besar dari biaya/risikonya). Tindak pidana korupsi memang sangat beragam. Baik yang termasuk korupsi kecil atau petty corruption hingga korupsi kelas kakap (grand



corruption). Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999, mulanya korupsi dikelompokkan menjadi 30 jenis, namun saat ini diklasifikasikan menjadi tujuh kelompok, yaitu: 1. Merugikan keuangan negara 2. Suap-menyuap 3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan 5. Perbuatan curang 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Conflict of interest) 7. Gratifikasi



Selain dengan hukuman yang menimbulkan efek jera, pemberantasan korupsi harus dimulai dengan menghilangkan permisifme dan toleransi terhadap budaya korupsi, tindakan kecil yang koruptif seperti menyontek, mengambil/meminta keuntungan yang bukan miliknya,



meminta/memberi hadiah berlebihan dsb.. Berdasar teori, korupsi berikut strategi yang dilakukan untuk menghilangkan korupsi: 1. Strategi Represif Represif dilakukan dengan menghukum dan memproses kasus korupsi. KPK menindak koruptor ke proses pengadilan. Dalam strategi ini, tahapan yang dilakukan adalah penanganan laporan pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. 2. Strategi Perbaikan Sistem Meminimalisir kesempatan korupsi dengan birokrasi yang transparan, teratur, dan dengan prosedur sederhana. Berkaitan dengan pelayanan publik, perizinan, pengadaan barang dan jasa, administrasi dan sebagainya. 3. Edukasi dan Kampanye Melalui edukasi dan kampanye, KPK melakukan pengenalan dampak dan keburukan korupsi ke masyarakat. Masyarakat yang jujur dan baik hatinya juga akan berkontribusi dengan tidak melakukan korupsi, menjadi pengawas di lingkungannya, mengkampayekan kejujuran dan integritas.



Peran ASN dalam pemberantasan korupsi ada pada strategi represif dan perbaikan sistem sebab korupsi rentan



terjadi di lingkungan



pemerintahan. Selain menjauhkan diri dan tegas tidak melakukan korupsi, ASN dapat berperan dengan melaporkan LHKPN, melaporkan jika ada indikasi di unit kerja, dan melaporkan gratifikasi. Adapun untuk mencegah korupsi, ASN harus berintegritas, berakhlak baik, hidup sederhana secukupnya, dan mandiri secara finansial.



Sesi 4 Pencegahan korupsi dilakukan dengan menanamkan integritas yang merupakan nilai antikorupsi. Nilai ini harus ditanamkan di lingkungan keluarga, orang tua dapat menanamkan kejujuran dan kasih sayang agar kelak sang anak memiliki tanggung jawab dan hati yang bersih. Menurut KPK, terdapat sembilan nilai antikorupsi yang hendaknya diberikan sejak dini. Kesembilan nilai tersebut adalah:



Tanggung jawab sikap melaksanakan tugas seusai amanah, dikerjakan dengan tepat, siap menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan



Disiplin



Sederhana bersahaja, bijaksana, cukup, tidak berlebihan, efisien



Kerja keras



Kebiasaan dan tindakan konsisten terhadap aturan dan tata tertib baik yang tertulis maupun tidak tertulis



totalitas mengerjakan tugas, gigih dan fokus dalam melakukan sesuatu, tidak asalasalan, no illegal shortcut



Jujur



Mandiri



Lurus hati, tidak curang, sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan pengetahuan, perkataan dan perbuatan



tidak bergantun pada orang lain, memiliki kemampuan dan daya untuk hidup, bersifat resilience



Adil Tidak memihak pada salah satu, Berlaku sepatutnya, tidak sewenang-wenang



Berani hati yang mantap dan percaya diri, tidak takut dan gentar selama itu benar



Peduli Sikap memperhatikan orang lain yang membutuhan, menyayangi hidup



Sesi 5



Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah saat ini memang sangat kecil karena masih adanya kasus korupsi dalam berbagai skala. Padahal, negara ini dibangun oleh banyak tokoh pemerintahan yang tulus melayani negara dan menjunjung tinggi integritas. ASN seharusnya lebih banyak belajar sejarah dan mengambil nilai-nilai integritas yang dilakukan beberapa tokoh nasional ini. Mohammad Hatta Tidak membocorkan rencana meski kepada keluarga. Saat kebijakan diumumkan, uang beliau tidak cukup untuk membeli mesin jahit idaman beliau karena adanya senering (pemotongan nilai uang). Ki Hadjar Dewantara Hidup sederhana. Setelah ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, tak ada pesta atau makan besar, hanya makan mi godhok. Beli au juga memilih membeli perabotan bekas yang lebih murah dan masih layak pakai. Hoegeng Iman Santoso Tidak menerima pemberian saat menjabat sebagai pejabat Polri, salah satunya barang mewah di rumah dinas. Rumah dinas itu dipenuhi barang-barang mewah. Hoegeng tak bisa menerima hal itu. Ia dan keluarganya berkeras teta p tinggal di hotel jika barang-barang mewah itu masih ada di sana.