Retensio Plasenta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Data World Health Organization (WHO) menunjukkan sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara persemakmuran rasio kematian ibu di negaranegara berkembang merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup. Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Target global SDG’s (Sustainable Developmental Goals) adalah menurunkan angka kematian ibu sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Mengacu dari kondisi saat ini, potensi untuk mencapai target SDG’s untuk menurunkan AKI adalah off track, artinya diperlukan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk mencapainya. Terdapat berbagai penyebab penting yang dapat mempengaruhi AKI diantaranya pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah



1



peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami. Penyebab kematian ibu cukup kompleks, dapat digolongkan atas faktorfaktor reproduksi, komplikasi obstetrik, pelayanan kesehatan dan sosioekonomi. Penyebab komplikasi obstetrik langsung telah banyak diketahui dan dapat ditangani, meskipun pencegahannya terbukti sulit. Menurut Departemen Kesehatan RI, penyebab obstetrik langsung sebesar 90%, sebagian besar perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tak langsung kematian ibu berupa kondisi kesehatan yang dideritanya misalnya Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (Hb 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga



8



kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar (Wiknjosastro, 2007). Faktor resiko terjadinya retensio plasenta yang menyebabkan perdarahan post persalinan dan mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun dengan 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pasca persalinan meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Mochtar, 2010). Hal ini dapat terjadi karena pada usiadi bawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang secara sempurna. Sedangkan, pada wanita usia lebih dari 35 tahun fungsi reproduksinya mengalami penurunan atau kemunduran sehingga pada persalinan dapat terjadi komplikasi seperti perdarahan pasca persalinan yang diakibatkan retensio plasenta. Oleh karena itu pertimbangan usia dalam kehamilan atau persalinan menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan. Faktor usia ibu relatif tua yang berisiko tinggi dapat menyebabkan inkoordinasi kontraksi otot rahim sehingga dapat mengganggu proses pelepasan plasenta dari dinding rahim (Manuaba, 2010). Pelepasan plasenta adalah hasil penurunan mendadak ukuran kavum uterus selama dan setelah pelahiran bayi, sewaktu uterus berkontraksi mengurangi isi uterus (Varney, 2007). Makin tua usia ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasentaadhesiva sampai perkreta (Oxorn, 2010). Hasil penelitian memperoleh usia berisiko tinggi > 35 ibu bersalin yang mengalami retensio plasenta berjumlah 39,5% dari 38 ibu bersalin, namun usia < 20 tahun berjumlah 12 (100%) tidak ada yang mengalami retensio plasenta.



9



2. Paritas Ibu dengan paritas tinggi



terjadi kemunduran dan cacat pada



endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan janin, plasentaakan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasentaadhesiva sampai perkreta (Nikilah, 2009). Pada paritas tinggi juga mengalami peningkatan resiko kejadian retensio plasenta pada persalian berikutnya, hal ini karena pada setiap kehamilan jaringan fibrosa menggantikan serat otot di dalam uterus sehingga dapat menurunkan kontraktilitasnya dan pembuluh darah menjadi lebih sulit di kompresi dan menyebabkan perlengketan ditempat implantasi (Fraser & Coper, 2009). 3. Anemia Anemia pada ibu hamil dan bersalin dapat menyebabkan kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta menjadi lemah sehingga memperbesar resiko terjadinya retensio plasenta karena myometrium tidak dapat berkontraksi. Ibu dengan anemia dapat menimbulkan gangguan pada kala uri yang



diikuti



retensio



plasenta



dan



perdarahan



postpartum



(Wiknjosastro, 2007). Ibu yang memasuki persalinan dengan konsentrasi hemoglobin yang rendah (di bawah 10g/dl) dapat mengalami penurunan yang lebih cepat lagi jika terjadi perdarahan, bagaimanapun kecilnya. Anemia berkaitan dengan debilitas yang merupakan penyebab lebih langsung terjadinya retensio plasenta (Fraser & Coper, 2009).



10



2.4 Pencegahan retensio plasenta 1. Usia Upaya pencegahan terjadinya retensio plasenta penting dilakukan terkait umur ibu bersalin tertalu tua (> 35 tahun) dengan memberikan pertolongan persalinan menerapkan manajemen aktif kala III persalinan yang tepat. Manajemen aktif kala tiga persalinan dapat mempercepat kelahiran plasenta, sehigga kejadian retensio plasenta yang sebenarnya dapat dicegah (Wiknjosastro, dkk, 2008). Selain itu, bagi ibu agar hamil pada usia reproduktif (20-35 tahun) untuk melakukan ANC minimal 4 kali selama hamil, sehingga komplikasi kehamilan dan persalinan dapat dicegah atau diminimalkan dan retensio plasenta tidak terjadi. 2. Paritas Upaya mencegah retensio plasenta dengan paritas tinggi pada ibu hamil dapat pemenuhan asuhan nutrisi yang seimbang dengan tinggi kalori untuk mencegah komplikasi kehamilan, terutama KEK dan anemia. Selain itu, pentingnya ibu hamil ANC secara teratur minimal 4 kali dan mendapatkan konseling bila mengalami anemia atau KEK 3. Anemia Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kejadian retensio plasenta adalah pemberian tablet Fe kepada ibu hamil saat ANC dengan dikonsumsi secara teratur dan memberikan konseling tentang penanganan anemia. Selain itu, petugas Rumah sakit bila mendapatkan ibu hamil dengan anemia untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya asupan nutrisi seimbang kehamilan dan merujuk ke Puskesmas untuk penanganan lebih lanjut sehingga kejadian anemia pada ibu hamil dapat dicegah dan retensio plasenta saat hamil tidak terjadi atau dapat dicegah.



11



2.5 Penatalaksaan retensio plasenta 1. Separasi Parsial a. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil. b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk meneran. Bila ekspulsi tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat. c. Pasang infuse dan masukkan oksitosin 20 unit dalam 500 cc NC/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, dikombinasikan dengan misoprostol 400 mg rectal )sebaiknya tidak menggunakan ergometrin



karena



kontraksi



tonik



yang



timbul



dapat



mengakibatkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri. d. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus (melahirkan plasenta yang melekat erat secara paksa dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi). e. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia. f. Lakukan tranfusi darah bila diperlukan. g. Beri antibiotik profilaksis (ampicilin 2 g IV/ peroral + metronidazole 1 g peroral). h. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi , dan syok neurogenik). 2. Plasenta Inkarserata a. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik, dan pemeriksaaan. b. Siapkan



peralatan



dan



bahan



yang



dibutuhkan



untuk



menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta. c. Pilih fluothane atau eter untuk kontsriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infuse oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan tetesan 40 tetesan



permenit untuk mengantisipasi gangguan



kontraksi yang disebabkan bahan anastesi tesebut.



12



d. Bila prosedur anastesi tidak tersedia, tetapi serviks dapat dilalui oleh cunam ovum, lakukan maneuver skrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur tersebut, berikan analgetik (tramadol 100 mg IV atau pethidine 50 mg IV) dan sedative (diazepam 5mgIV) pada tabung terpisah. 3. Plasenta Akreta Tanda penting untuk di diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus/korpus apabila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam. upaya yang dpat dilakuakn pada fasilitas pelayanan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien, dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif (Rohani.2011.hlm.218). 2.6 Prosedur Manual Plasenta Menurut Rukiyah, dkk (2010), Prosedur manual plasenta terdiri dari : 1. Pasang set dan cairan infuse, jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan, lanjutkan anastesia verbal atau analgesia per rectal, siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi. 2. Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri : pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong , jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai. 3. Secara obstetrik masukan tangan lainnya (punggung tangan menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat. Setelah menacapai bukaan serviks, kemudian minta seorang asisten / penolong lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri. 4. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan ke dalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta, bentangkan tangan obstetric menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari telunjuk dan jari-jari lainnya merapat). 13



Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah. Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan mengahadap ke bawah (posterior ibu). 5. Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara placenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke atas (anterior ibu). 6. Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan menggeser plasenta ke tangan (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus. 7. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal. 8. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simpisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten / penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta keluar (hindari adanya percikan darah). 9. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan supra simpisis) uterus ke arah dorso cranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah disediakan. 10. Lakukan tindakan pencegahan infeksi dengan cara: dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan . lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan clorin 0,5% selama 10 menit. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. 11. Lakukan pemantauan pasca tindakan : periksa kembali tanda vital ibu, catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan, tuliskan rencan pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan.



14



12. Beritahu pada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu harus masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan. Lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan sebelum pindah ke ruang gawat gabung. 2.7 Penanganan Retensio Plasenta Menurut Tingkatan Sebelum melakukan penanganan sebaiknya menegetahui beberapa hal dan tindakan retensio plasenta yaitu : retensio plasenta dengan perdarahan langsung melakuan manual plasenta, retensio plasenta tanpa perdarahan. 1. Di tempat bidan : setelah dapat memastikan keadaan umum pasien segera memasang infuse dan memberikan cairan, merujuk penderita ke pusat dengan fasilitas cukup untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik. Memeberikan tranfusi proteksi dengan antibiotik. Memepersiapkan plasenta manual dengan legeartis dalam pengaruh narkosa. 2. Tingkat Polindes : penanganan retensio plasenta dari tingkatan desa sebelumnya persiapan donor darah yang tersedia dari warga setempat yang telah di pilih dan dicocokkan dengan donor darah pasien. Diagnosis yanglakukan stabilisasi dan kemudian lakukan plasenta manual untuk kasus adhesive simpleks berikan uterotonika antibiotika serta rujuk untuk kasus berat. 3. Tingkat Puskesmas : diagnosis lakukan stabilisasi kemudian lakukan plasenta manual untuk kasus risiko rendah rujuk kasus berat dan berikan uterotonika antibiotika. 4. Tingkat Rumah Sakit : diagnosis stabilisasi plasenta manual histerektomi



transfusi



uterotonika



antibiotika



kedaruratan



komplikasi. 2.8 Pengertian anemia Anemia adalah keadaan dimana terjadi penrunan kadar eritrosit atau konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi hemoglobin dapat ditentukan secara akurat menggunakan pemerikasaan laboratorium.



15



2.9 Penyebab anemia Anemia dapat disebabkan oleh keturunan (herediter) maupun didapat. Anemia yang didapat terjadi karena sebab nutrisi (zat besi, asam folat, vitamin B12). Sedangkan anemia yang diturunkan terjadi karena adanya hemoglobin dan anemia hemolitik kongenital. 2.10



Klasifikasi anemia Anemia dapat diklasifikasikan berdaarkan pemeriksaan sel darah



merah dan etiologinya. Pemeriksaan sel darah merah yang dimaksud meliputi pengukuran ukuran sel darah merah (mean cell volume atau MCV) dan konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah (mean cell haemoglobin (MCH)). Anemia dengan MCV yang meningkat disebut dengan makrositik, MCV normal disebut dengan normositik, dan MCV yang menurunkan disebut mikrositik. Sedangkan anemia dengan menurunan konsentrasi MCH disebut hipokronik. Indian council of medical research (ICMR) menyebutkan bahwa anemia dapat dikategorikan menjadi berbagai tingkatan berdasarkan kadar hemoglobinnya, yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. a. Anemia ringan : kadar hemoglobin 10,0-10,9 g/dl b. Anemia sedang : kadar hemoglobin 7,0-9,9 g/dl c. Anemia berat : kadar hemoglobin 10,0-10,9 g/dl



Anemia ringan bila kadar hemoglobin 10,0-10,9 g/dl



Anemia sedang bila kadar hemoglobin 7,0 – 9,9 g/dl



Anemia berat bila kadar hemoglobin >7,0 g/dl



3.3 Hipotesis penelitian Ada hubungan antara tingkat anemia ibu hamil dengan angka kejadian retensio plasenta.



19



3.4 Desain penelitian Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional analitik yang di lakukan secara case control penelitian ini menganalisis hubungan tingkat anemia ibu hamil dengan angka kejadian retensio plasenta 3.5 Tempat dan waktu penelitian Studi kasus ini dilakukan di RSUD Sayang Cianjur pada 06 Juli 2020 3.6 Populasi dan sempel Variabel



Kategori



n= 176



Presentase



Retensio



Ya



34



19,3 %



plasenta



Tidak



142



80,7 %



Anemia



Ya



62



35,2 %



Tidak



114



64,8 %



Retensio Plasenta Vaiabel



Ya n=34



Jumlah



Tidak %



n=142



%



n=176



P-



POR-CI 95%



% Value



Anemia Ya



18



29,0 44



71,0



44



100



Tidak



22



14,0 98



86,0



114



100



2,506 0,027



(1,1705,366)



20