Review Manajemen Gereja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MANAJEMEN GEREJA



Nama



: Hardret Edinan Lule



Nim



: 1802166



KELAS/SEMESTER



: Sistematika D/V



Dosen pengampu



: Samuel Walian Leonard Wanget M.Th



REVIEW



: Gereja Dan Manajemen Gereja, Fungsi – Fungsi Manajemen Gereja



dan Prinsip-Prinsip Manajemen Gereja



A. Gereja dan Manajemen Gereja Istilah “manajemen” (management) berasal dari kata kerja “to manage” yang



berarti



“to



control”.



Dalam



bahasa



Indonesia



dapat



diartikan



mengendalikan, menangani, atau mengelola. Sebagai kata benda, manajemen mengandung arti: pengelolaan, pengendalian, atau penanganan; serta perlakuan secara terampil untuk menangani sesuatu (skillful treatment) dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Arti leksikalnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran/tujuan. Itu berarti bahwa manajemen pada dasarnya merupakan proses mencapai tujuan dengan cara kerja yang sistematik. Dalam konteks tertentu manajemen juga dapat berarti pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya perusahaan atau organisasi. Jadi Sebagai buah pekerjaan penyelamatan Allah dan sekaligus jawab manusia terhadap penyelamatan Allah, gereja memiliki sifat dinamis. Sifat dinamis tersebut disebabkan oleh adanya kekuatan yang menggerakkan gereja, yaitu Injil (yang adalah kekuatan Allah) dan iman gereja. Gerak dinamis tersebut bermula dari inisiatif Allah dengan tindakan penyelamatan-Nya yang kemudian mendapat respons dari manusia/orang-orang percaya sehingga terjadi gereja.



Inisiatif Allah dan response tersebut berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga membentuk pola kerja yang menandai terjadinya proses dan hasil. Maka terjadilah gerak inisiatif-respons dan proseshasil tersebut menunjukkan eksistensi gereja sebagai sebuah sistem. Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Gereja sebagai sebuah sistem memiliki empat tatanan dasar yang saling terkait, saling mempengaruhi, dan bersinergi pada proses tranformasi serta menghasilkan product (keluaran) yang dalam bahasa Alkitab disebut sebagai “manusia baru dan yang terus-menerus diperbarui” (Kol.3:10), yakni sebagai berikut: 1. Tatanan ajaran (doktrin), yaitu bagian dari sistem dalam gereja yang berupa penalaran secara konsisten tentang sesuatu kebenaran yang diyakini/diimani gereja dan segenap warganya, serta dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya di dunia. 2. Tatanan hukum (tata gereja), yaitu bagian dari sistem dalam gereja yang berupa ketentuan-ketentuan dasar tentang apa yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan oleh gereja/warga gereja agar dalam menjalani kehidupannya



di



dunia



sesuai



dengan



kebenaran



yang



diyakini/diimaninya. 3. Tatanan ibadat, yaitu bagian dari sistem dalam gereja yang berupa aneka bentuk peribadatan dengan segala tata caranya sebagai salah satu wujud bakti umat kepada Tuhan, karena karya penyelamatan-Nya ke atas manusia. 4. Tatanan keumatan, yaitu bagian dari sistem dalam gereja yang berupa komitmen



dan



perilaku



(etika)



kebersamaan



dalam



menjalani



kehidupannya sebagai umat Allah. Walaupun gereja merupakan buah pekerjaan penyelamatan Allah, yang oleh karenanya gereja digerakkan oleh sistem yang telah dibuat sebagai tuntunan hidup gereja.



Maka



cara



kerja



sistem



tidak



terlepas



dari



masalah-masalah



yang



mempengaruhinya. Sebagai sistem dengan keempat tatanan dasarnya, terjadi aktivitas



saling mempengaruhi. Itulah sebabnya keberhasilan proses transformasi sangat tergantung pada kemampuan pengendalian atas faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem. Dalam konteks manajemen gereja, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja sistem tersebut yaitu, faktor eksterna dan faktor internal. F 1. Faktor Eksternal a. Roh Allah dan Firman-Nya Dalam rangka manajemen gereja, bagian terpenting dari pengetahuan dan kepercayaan yang memberikan dasar yang luas untuk menetapkan pemecahan masalah (dasar filofosi) sebagaimana dimaksud adalah injil/firman Allah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dan tujuan hidup, yang karenanya berharga untuk dikejar. Karena Injil diimani sebagai kekuatan Allah (power of God) turut bekerja mempengaruhi, membimbing, bahkan mengintervensi dan melindungi, serta memberkati gereja dalam melaksanakan tugas dan panggilannya. Oleh karena itu, kinerja sistem dalam gereja justru mendapat dasar dan pengaruhnya yang kuat dari faktor eksternal yang kita sebut sebagai “Roh Allah dan firman-Nya”. Hal itu sekaligus merupakan salah satu konsekuensi dari pemahaman eklesiologi tersebut ke dalam praksis manajemen gereja, yaitu keyakinan bahwa di dalam dan melalui gereja Allah turut bekerja dengan Roh dan firman-Nya. b. Lingkungan Kinerja sistem dalam gereja



juga



dipengaruhi oleh



faktor



lingkungan. Yang demikian karena gereja sebagai “yang diutus Allah untuk masuk ke dalam dunia” berada di tengah dunia. Itu berarti gereja hidup di tengah masyarakat dengan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat di mana gereja berada dan menjadi bagiannya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kinerja sistem dalam gereja tersebut meliputi baik lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, mapun geografi. 2. Faktor internal



Selain faktor eksternal, faktor Internal gereja juga sangat mempengaruhi kinerja sistem. Faktor internal dimaksud, pada dasarnya berhubungan dengan dua hal, yaitu : a. Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen Gereja Kemampuan gereja menjalankan fungsi-fungsi manajemen gereja sangat berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan kinerja sistem. Mengenai fungsi-fungsi manajemen, para ahli hampir sependapat, bahwa pada dasarnya terdapat empat fungsi dasar yaitu : 1) Perencanaan (planning) 2) Pengorganisasian (organizing) 3) Pelaksanaan (actuating); dan 4) Pengawasan/Pengendalian (controlling) Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen tersebut, perlu ditambahkan adanya evaluasi dan pertanggungjawaban sebagai kelanjutan dari pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang turut mempengaruhi kinerja sistem. b. Pengelolaan Sumber Daya Gereja Kemampuan gereja dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sangat menentukan keberhasilan kinerja sistem dalam gereja. Sumber daya dimaksud pada dasarnya meliputi enam hal, yaitu : 1) Man (warga negara) 2) Material (iman gereja) 3) Machine (sarana kerja, alat, dan teknologi) 4) Method (metode) 5) Money (uang dan harta benda gereja) 6) Market (masyarakat/lingkungan)  Kinerja Sistem dan Manajemen Gereja Memperhatikan



faktor-faktor



yang



mempengaruhi



kinerja



sistem,



keberhasilan proses transformasi sangat tergantung pada kemampuan



gereja



dalam



mengelola



dan



memanfaatkan



faktor-faktor



yang



mempengaruhi kinerja sistem tersebut untuk produktivitas gereja dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, manajemen gereja dalam keseluruhannya wajib memperhatikan pola kerja sistem dengan tatanan dasar yang ada di dalamnya serta proses transformasi dengan faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilannya.  Manajemen Gereja Sebagai Proses Mencapai Tujuan Gereja Agar dapat melihat visinya dengan jelas, mencapai tujuannya dengan berhasil, dan menjalani fungsinya dengan benar, serta melaksanakan tugas panggilannya dengan bertanggung jawab, gereja perlu dikelola dengan baik. Adapun pengelolaan gereja yang baik haruslah efektif untuk mendukung tercapainya tujuan gereja. Manajemen sebagai proses mencapai tujuan pada dasarnya menjalankan empat fungsi dasar, yaitu: 1) Planning (perencanaan) 2) Organizing (pengorganisasian) 3) Actuating (pelaksanaan) 4) Controlling (pengawasan dan pengendalian) B. Fungsi - Fungsi Manajemen Gereja Pada dasarnya manajemen gereja menjalankan empat fungsi dasar yaitu fungsi planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating aceh (pelaksanaan), dan contorolling (pengawasan, pengendalian). 1. Perencanaan, aktifitas merumuskan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan sesuai dengan maksut dan tujuan yang ditetapkan. Dalam proses perencanaan, menetapkan tujuan merupakan langkah dasar yang sangat penting karena tujuan inilah yang menjadi pegangan dalam melaksanakan aktifitas (kerja) dari semua elemen organisasi dikemudian hari.



James A. F. Stoner merumuskan empat langkah, dasar dalam perencanaan, yaitu: menentukan tujuan, mendefinisikn situasi sekarang, melihat peluang dan tantangan, serta mengembangkan seperangkat tindakan. 1) Menentukan Tujuan, yaitu identifikasi pemahaman dan kesadaran jati diri, dalam hal ini yang dimaksut adalah jati diri gereja. Pemahaman dan kesadaran jati diri ini penting untuk menjawab pertayaan yang paling mendasar tentang eksitensi dan fungsi gereja ditengah masyarakat yang dengannya visi, misi, dan tujuan ideal gereja. 2) Mendefinisikan Situasi Sekarang, Yang dimaksut dengan "situasi sekarang" adalah keberadaan gereja pada saat ini, yaitu berekenan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki, dan kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsi manajamen termasuk iklim bergerejanya, serta situasi masyarakat. 3)



Melihat Peluang dan Tantangan, yaitu upaya mengidentifikasi hal-hal yang



berpeluang/potensial



membantu



dan



hal-hal



yang



menantang/potensial menghambat pencapaian tujuan. misalnya faktor internal berupa kemampuan sumber daya yang dimiliki dan kemampuan menjalankan fungsi-fungsi manajemen, serta iklim bergerejanya yang mendukung. 4) Mengembangkan Seperangkat Tindakan, sebagaimana dimaksut secara konkrit dinyatakan melalui :  Penyusunan rencana strategis (strategic plan), yaitu penentuan kebijakan mengenai langkah-langkah penting yang akan diambil, dan mencapai tujuan yang luas yang menggambarkan hakikat dan eksistensi organisasi.  Penyusunan rencana operasional (operational plan), yaitu deskripsi mengenai bagaimana rencana strategis hendak dilaksanakan. adapun rencana operasional tersebut pada dasarnya terdiri dari rencana tetap (standing plan), dan rencana sekali pakai (single use plan). Rencana tetap sebagaimana dimaksud berupa :Kebijakan (policy), prosedur standar (standard procedure), peraturan (rules),



Sedangkan rencana sekali pakai sebagaimana dimaksud berupa: Program (programs), Proyek (project), dan Anggaran (budget). 2. Pengorganisasian Sebagai sebuah kehidupan bersama, gereja menjalani hidupnya untuk bertumbuh, berkembang, dan berbuah sesuai dengan tujuan keberadaannya. dalam rangka itu gereja mengorganisasi diri sebagai sebuah institusi, oleh karenanya membutuhkan pengorganisasian yang baik agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai tujuan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan pengorganisasian gereja pada bagian ini perlu disampaikan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan : 1) Struktur Organisasi ialah alat untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagai alat/tool, struktur organisasi gereja semestinya mengabdi pada tujuan gereja. Hal ini tidak berarti bahwa struktur organisasi gereja sangat penting untuk mendukung kinerja yang sistematis, berdaya guna dan berhasil guna sehingga tujuan bergereja dapat diusahakan dengan baik. 2) Birokrasi dan Administrasi, birokrasi berkaitan erat dengan masalah administrasi. Penyelenggaraan administrasi yang baik sangat membantu kelancaran



dan



ketertiban



penyelenggaraan



organisasi



gereja.



Administrasi gereja yang baik juga menolong para penyelenggara gereja dan warga gereja untuk memperoleh informasi yang memadai disamping pembantuan yang diperlukan untuk kepentingan pelayanan, evaluasi, bahkan



penelitian



pengembangan.



baik



untuk



penyelenggaraan



kepentingan administrasi



dokumentasi gereja



maupun



yang



baik,



khususnya administrasi keuangan dan harta milik gereja, juga sangat membantu untuk kepentingan auditing serta memungkinkan upaya trust building berlangsung konsisten dan optimal, sehingga dukungan segenap anggota gereja terhadap kinerja gereja juga berlangsung konsisten dan optimal. 3. Mekanisme/Tata Kerja, pada dasarnya menggambarkan cara kerja sistem dari organisasi tersebut. dengannya efektivitas dan efisiensi kerja, serta birokrasi dan administrasi yang diperlukan dapat dibaca dengan mudah. Mekanisme/tata kerja



organisasi sekaligus juga merupakan bagian alur yang menggambarkan bagaimana proses mencapai tujuan dijalankan dan kolaborasi dari semua bagian yang turut menentukan keberhasilan proses itu terjalin dalam sebuah sistem. Demikianlah mekanisme/tata kerja organisasi sekaligus merupakan panduan bagi semua orang yang ber kerinduan untuk mengambil bagian dalam pelayanan. 4. Pelaksanaan, jadi pelaksanaan dimulai dari pembentukan staf, melakukan pemotivasian, memberikan pengarahan, memobilisasi dan mengkoordinasikan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang telah direncanakan, serta usaha mempertahankan dan meningkatkan semangat kerja mereka. Untuk itu diperlukan



dukungan



kepemimpinan



oleh



orang-orang



yang



memahami



idealisme organisasi dan mampu menggerakkan orang lain untuk melakukan tugasnya dengan baik demi tercapainya tujuan organisasi. C. Prinsip-prinsip Manajemen Gereja Muncul beberapa perbedaan dari para ahli mengenai actuating. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa actuating merupakan pelaksanaan pekerjaan, yang berawal



dari



pembentukan



staf,



kemudian



pemotivasian,



selanjutnya



memberikan pengarahan, memobilisasi dan mengkoordinasikan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang telah direncanakan, serta usaha mempertahankan dan meningkatkan semangat kerja mereka. 1. Pembentukan staff, dalam manajemen gereja, staffing dilakukan oleh majelis gereja pada saat pemilihan pengurus komisi dan badan-badan pembantu majelis gereja lainnya. 2. Pemotivasian, dalam konteks manajemen gereja, pemotivasian ini bukan hanya berlaku kepada para pengurus komisi dan badan-badan pembantu majelis, melainkan secara umum juga dilakukan kepada segenap warga gereja melalui program pemeliharaan Iman warga gereja (PIWG). Agar tetap teguh dalam pendirian iman yang telah diajarkan. 3. Pengarahan, dalam konteks manajemen gereja, langkah pengarahan lebih dimaksudkan sebagai proses pembelajaran bersama mengenai berbagai hal



baik menyangkut pemahaman visi, misi, dan tujuan gereja, maupun Strategi atau cara untuk mencapainya sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Koordinasi, dalam konteks manajemen gereja, langkah koordinasi dimaksud merupakan tahap akhir dari persiapan pelaksanaan program atau kegiatan yang telah direncanakan. Pelaksanaan program atau



kegiatan



membutuhkan



kesediaan, kerelaan, dan kemampuan semua pihak yang turut bekerja untuk dapat bekerja sama dengan mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Untuk itu koordinasi diperlukan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai secara optimal. 5.



Kepemimpinan, dalam konteks manajemen dimaksudkan



sebagai



memberdayakan



orang



upaya lain



gereja, langkah



menggerakkan untuk



atau



melakukan



ini lebih



memobilisasi



pekerjaan



yang



dan telah



direncanakan. Tentu saja hal ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat idealisme kepemimpinan dalam gereja dengan sifat dan karakteristiknya yang khas. Terdapat dua bentuk kepemimpinan dalam gereja yaitu bentuk kepemimpinan tunggal dan bentuk kepemimpinan jamak. Bentuk kepemimpinan jamak dipandang lebih egaliter, demokratis, dan sesuai Imamat am orang percaya.



Jenis



kepemimpinan ini dalam bahasa gereja disebut dengan istilah kepemimpinan pelayan, yaitu kepemimpinan yang melayani dan yang memberi kesempatan kepada orang lain atau anggota gereja untuk berpartisipasi dalam pelayanan dan dalam menentukan kebijakan



penyelenggaraan



gereja.



Karakteristik



utama



yang



membedakan



kepemimpinan pelayan dengan jenis kepemimpinan yang lain adalah, bahwa keinginan untuk melayani ada sebelum keinginan untuk memimpin. Pemimpin yang seperti ini lebih banyak melakukan fungsi pendampingan, pembimbingan, dan pemberdayaan, dari pada memberikan perintah atau komando.  Pengawasan dan Pengendalian Robert J. Mokler, memberikan pengertian mengenai management control sebagai, “usaha sistematik untuk menetapkan standar kinerja dengan sasaran perencanaan, mendesain sistem umpan balik informasi, membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditetapkan, menentukan apakah terdapat



penyimpangan



dan



mengukur



ketepatan



penyimpangan



tersebut,



serta



mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi yang dipergunakan sungguh-sungguh efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.” Berdasarkan pengertian tersebut, secara teoritik terdapat tiga langkah penting dalam pelaksanaan fungsi controlling: 1. Menetapkan standar untuk mengukur kinerja beserta hasilnya. 2. Mengukur dan membandingkan kinerja beserta hasilnya dengan standar yang telah ditetapkan. 3. Mengambil tindakan perbaikan apabila hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang direncanakan. Memperhatikan ketiga hal tersebut, tampak jelas bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fungsi perencanaan (planning) dengan fungsi pengawasan dan pengendalian (controlling). Artinya, sebaik-baiknya sebuah perencanaan dibuat, tetapi jika pengawasan dan pengendaliannya tidak dilakukan dengan baik, kinerja dan hasil yang diperoleh tentu tidak optimal. Dalam korteks manajemen gereja, berdasarkan pengalaman dan pendalaman atas dokumen-dokumen gereja (baik beripa notula rapat dan buku-buku laporan tahunan gereja, maupun laporan kerja badan-badan pelaksana), terindikasikan bahwa fungsi controlling pada umumnya kurang memperoleh perhatian. Kondisi tersebut mudah dimengerti mengingat beberapa alasan: 1. Secara umum orang memahami bahwa pekerjaan di gereja bersifat “pelayanan”. Artinya dilakukan dengan sukarela oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk melayani. Untuk itu mereka tidak digaji atau dibayar dengan uang (kecuali tenaga/pegawai gereja) dan hal itu semata-mata dilakukan karena dorongan iman. Oleh karena itu, dalam praktik pelaksanaannya tidak mungkin diatur dengan ketat sebagaimana dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga pemerintah. 2. Meskipun sistem dan mekanisme kerja dapat dibuat dan dimengerti dengan jelas, dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan situasi dan kondisi gereja secara umum maupun situasi dan kondisi orang-orang yang bertugas



melaksanakannya. Dalam hal ini aspek budaya “ngemong rasa” (melihat, memperhatikan perasaan) bahkan budaya “pekewuh” (sungkan) sebagaimana telah dikemukakan, banyak berpengaruh. 3. Meskipun telah dibuat perencanaan yang baik disertai: program kerja dan anggaran yang jelas, dalam praktik hal itu belum tentu dapat dilaksanakan. Yang demikian karena sesungguhnya uangnya belum tentu ada, dalam arti tergantung pada realisasi penerimaan persembahan dari jemaat. Oleh karena itu, bagi yang akan melakukannya juga harus mengingat situasi dan kondisi keuangan jemaat. Untuk melaksanakan fungsi controlling dengan baik, demi atas tanggung jawab di samping efektivitas dan efensiensi dalam mengupayakan tercapainya visi, misi, dan tujuan gereja ditetapkan ada 4 cara dalam melaksanakannya. 1) Menetapkan Standar Untuk Mengukur Kinerja Beserta Hasilnya Untuk melakukan fungsi controlling dengan baik, pertama-tama gereja perlu menetapkan standar untuk mengukur kinerja gereja beserta hasilnya. Standar dimaksud berfungsi sebagai alat untuk menilai apakah sebuah pekerjaan dilakukan dengan cara yang benar dan memberi hasil yang optimal sesuai dengan yang diharapkan. Memperhatikan fungsinya yang demikian, standar tersebut pada dasarnya berupa semua peraturan/kebijakan gereja. Dari antara semua peraturan/kebijakan gereja tersebut yang paling berperan adalah: deskripsi tugas (job description), Standar Operasional (procedure) Pelayan (SOP), dan ketetapan mengenai tujuan (goal), sasaran (target), dan indikatorindikator yang menandai tingkat keberhasilannya. 2.



Mengukur dan Membandingkan Kinerja Beserta Hasilnya Dengan Standar



yang Telah Ditetapkan Mengenai aktivitas mengukur kinerja dan hasilnya, pertama-tama perlu jelas siapa yang berkewajiban untuk melakukannya. Dalam konteks manajemen umum, aktivitas ini merupakan kewajiban para manajer, baik top manager, middle manager, maupun first line manager. Oleh karena dalam manajemen gereja tidak mengenal istilah/jabatan-jabatan tersebut, sesuai dengan struktur organisasi gereja yang ada, fungsi tersebut dilaksanakan oleh dan menjadi



kewajiban/tanggung jawab majelis gereja, para konvokator komisi, dan para konvokator bidang dalam tiap komisi yang bersangkutan. Aktivitas selanjutnya adalah membandingkan kinerja dengan standar yang telah ditetapkan beserta hasilnya. Aktivitas ini pada dasarnya merupakan cara yang diperlukan untuk melihat apakah proses dan hasil yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan. Untuk itu kemampuan meletakan keduanya dengan tepat akan memberi manfaat yang besar bagi upaya optimalisasi. Dalam praktik manajemen gereja hal ini dapat dilakukan dengan baik melalui rapat-rapat koordinasi komisi, bidang-bidang dalam komisi dan pokja/tim. Sedangkan pada tingkat majelis gereja hal ini justru sulit dilakukan mengingat pada umumnya majelis gereja hanya menyelenggarakan rapat sekali dalam satu bulan dengan agenda dan materi pembahasan yang banyak. Untuk itu dibutuhkan kerelaan dari segenap anggota majelis untuk menyelenggarakan rapat majelis istimewa untuk tujuan evaluasi program kerja dan anggaran, atau sekurangkurangnya melalui rapat koordinasi antara Majelis Pekerja Harian (MPH) dengan para ketua/konvokator komisi, bidang-bidang, dan pokja/tim. 3.



Mengambil Tindakan Perbaikan Apabila Hasil yang Diperoleh Tidak



Sesuai Dengan yang Direncanakan Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perencanaan pada dasarnya merupakan proses yang terus-menerus dilakukan sepanjang perjalanan organisasi. Sebagai proses, ia terkait dengan dan dipengaruhi oleh keberadaan dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Oleh karena itu, sesuai dengan sifatnya yang dinamis, jika dalam perjalanan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan yang direncanakan perlu dilakukan tindakan penyesuaian atau perbaikan. Tindakan penyesuaian atau perbaikan dimaksud antara lain dapat berupa



perubahan



terhadap



satu



átau



beberapa



aktivitas



yang



telah



direncanakan, atau terhadap standar yang telah ditetapkan sebelumnya. 4.



Evaluasi dan Pertanggungjawaban Dua hal yang sering diabaikan oleh gereja dalam pelaksanaan



pekerjaannya adalah menyangkut masalah evaluasi dan pertanggungiawaban.



Beberapa alasan yang biasanya diajukan adalah berkaitan dengan pemahaman yang kurang tepat atas kalimat liturgis yang dibacakan pada saat pengutusan atau pelantikan para penyelenggara gereja, yaitu bahwa dalam pelaksanaan tugas pelayanannya mereka bertanggung jawab kepada Tuhan (dan bukan kepada manusia). Padahal kalimat liturgis tersebut semestinya dipahami sebagai lebih dari sekedar bertenggung jawab kepada manusia. Belum lagi ditambah dengan penafsiran terhadap istilah "pelayanan" yang dipahami sebagai kerja sukarela dan penuh pengorbanan. Sebab lainnya adalah bahwa di gereja sering kali terdapat budaya "pekewuh" (sungkan), termasuk sungkan membicarakan secara terus terang hal-hal yang berkaitan dengan masalah keuangan. Semuanya itu menyebabkan aspek pertanggungjawaban kerja sulit dilakukan. Bahkan bukan hanya pertanggungjawaban kerja, evaluasi kerja betapa pun hal itu disadari sebagai sesuatu yang perlu dan penting untuk dilakukan, dalam praktik sering diabaikan.