Rhinitis Alergi - Claravania [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, BEDAH KEPALA-LEHER



RINITIS ALERGI



Disusun oleh: Claravania Ryahta Ginting 01073190117



Dibimbing oleh: dr. Billy Massie, SpTHT-KL



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, BEDAH KEPALA-LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE DESEMBER 2020-JANUARI 2021 TANGERANG



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..2 DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….3 BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………...5 2.1 Anatomi………………………………………………………………………………....5 2.1.1 Hidung bagian luar………………………...…………………………….......5 2.1.2 Hidung bagian dalam………………………...………………………….......7 2.1.3 Persarafan hidung…..………………………...………………………….....10 2.1.4 Vaskularisasi hidung ………………………...…………………………......10 2.1.5 Sistem vena dan Aliran Limfe ………………………......………………....12 2.1.6 Fisiologi hidung ………………………......………………............................12 2.2 Rinitis Alergi 2.2.1 Definisi………………………. ……………………….....………………......15 2.2.2 Epidemiologi………………………. ……..………….....………………......15 2.2.3 Faktor Resiko………………………. ……………….....………………......16 2.2.4 Etiologi………………………. ……………………….....………...……......16 2.2.5 Patofisiologi………………………. ……………...….....………………......16 2.2.6 Manifestasi Klinis………………………. ………….....……………….......19 2.2.7 Klasifikasi……………………….……………………....………………......20 2.2.8 Diagnosis………………………. ……………………….....……………......21 2.2.9 Diagnosis Banding………………………. ………….....………………......23 2.2.9.1 Rinitis Vasomotor………………………………………………….23 2.2.9.2 NARES…………………………………………………………….24 2.2.9.3 Rinitis Medikamentosa…………………………………………….24 2.2.9.4 Rhinosinusitis………………………..…………………………….25 2.2.10 Tatalaksana………………………. …………………....………………....25 2.2.10.1 Non Medikamentosa…...…………..…………………………….25 2.2.10.2 Medikamentosa…...………………..…………………………….26 2.2.10.1 Tatalaksana operatif …...…………..…………………………….25 2.2.11 Komplikasi………………………. …………………....………………....29 2.2.12 Prognosis………………………. …………………....……………….......30



2



BAB III KESIMPULAN………………………………………………………………...31 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………....32



3



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Anatomi nasal bagian luar………………………………………………………6 Gambar 2.2 Anatomi konka………………………………………………………………….9 Gambar 2.3 Epitel Kolumnar….…………………………………………………………….13 Gambar 2.4 Epitel Respiratori dan Epitel Olfaktorius…………………………………...….13 Gambar 2.5 Pleksus kiesselbach…………………………………………………………….15 Gambar 2.6 Pergerakan silia………………………………………………………………...18 Gambar 2.7 Patofisiologi RA……………………………………………………………….22 Gambar 2.8 Allergic shiners………………………………………………………………...24 Gambar 2.9 Dennie’s Morgan line………………………………………………………….24 Gambar 2.10 Allergic salute………………………………………………………….….….24 Gambar 2.11 Allergic crease…………………………………………………………..……24 Gambar 2.12 Geographic tongue…………………………………………………………...24 Gambar 2.13 Rinitis alergi pada rinoskopi anterior…………………………………………26 Gambar 2.14 Tes tusuk kulit………………………………………………………………...27 Gambar 2.15 Algoritma RA………………………………………………………………...29



4



BAB I PENDAHULUAN Rinitis yaitu inflamasi yang terjadi pada lapisan mukosa hidung. Rinitis terbagi menjadi rinitis alergi dan rinitis non alergi. Rinitis alergi yaitu reaksi inflamasi pada membrane mukosa hidung dari antibodi IgE yang disebabkan oleh eksposure terhadap alergen. Rinitis alergi memiliki prevalensi yang tinggi, yaitu sekitar 10-30% pada orang dewasa dan 40% pada populasi pediatrik. Penelitian dari European Community Respiratory Health melaporkan 41% kasus rinitis alergi pada orang dewasa. Gejala klasik rinitis alergi yaitu rinorea, rasa gatal pada hidung, bersin berulang serta hidung tersumbat. Namun dapat juga muncul gejala lain seperti gejala pada mata yaitu konjungtivitis, melibatkan telinga seperti disfungsi tuba dan otitis media. Post nasal drip, batuk serta rasa gatal pada langit-langit tenggorokan juga merupakan gejala yang sering dilaporkan. Berdasarkan durasi alergen, rinitis alergi terbagi menjadi perennial (terjadi sepanjang tahun) dan musiman, yang hanya terjadi pada waktu tertentu. Rhinitis alergi musiman lebih umum pada usia pediatrik, sedangkan rhinitis kronis lebih umum pada orang dewasa.4.5



Alergen yang dapat berperan sebagai pencetus seperti polen, serangga, debu, asap rokok, bulu binatang, atau obat-obatan. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan durasi dan tingkat keparahan. Berdasarkan durasi terbagi menjadi persisten dan intermiten, sedangkan berdasarkan severitas terbagi menjadi ringan dan sedang-berat, yang didefinisikan dengan terjadinya gangguan kualitas hidup. Presentasi klinis dari rinitis alergi sering sekali mirip dengan diagnosa lain, maka harus dilakukan anamnesis yang jelas untuk menegakkan diagnosis. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik, namun tanpa pemberian terapi yang tepat dapat mengganggu kualitas hidup, gangguan tidur, gangguan sosial serta produktivitas pada lingkungan pekerjaan atau sekolah.6.12



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Hidung Hidung terdiri dari hidung luar yang terdapat pada permukaan wajah, dan rongga hidung yang dimulai dari lubang hidung luar (nares anterior) sampai ke nasofaring. Pada tengah tulang-tulang yang membentuk struktur wajah terdapat aperture piriformis, yang terletak diantara os nasal dengan os maksila dan merupakan batas tulang pada hidung. Batas superiornya yaitu tepi inferior os nasal dan batas lateral inferior dibatasi oleh prosesus nasal os maksila.1 Menurut embriologinya, pada minggu ke delapan dari gestasi, mesemkin akan berkondendasi dan membentuk lima bagian yaitu dua mandibular, dua maksilar serta satu frontonasal. Frontonasal kemudian akan membentuk kapsul nasal yang akan berkembang menjadi dua massa terpisah sehingga menjadi kavitas nasal. Maxillar akan berkembang dan berfusi pada garis tengah sdan membentuk nasal bagian lateral. Tonjolan frontonasal akan regresi dan maxilar berkembang kearah medial, sehingga membentuk garis tengah hdung serta filtrum dari bibir atas.2



2.1.1 Hidung Bagian Luar Secara topografik, hidung bagian luar dapat terbagi menjadi tiga bagian, yaitu secara frontal, lateral dan basal.2 Hidung bagian luar terdiri dari kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi oleh otot dan kulit. Sepertiga atas dari kerangka hidung luar terdiri dari tulang. kerangka tulang terdiri dari satu pasang os nasal yang bertumpu pada prosesus nasalis os frontal. Pada bagian lateral, os nasal berbatasan dengan prosesus frontalis os maksila. Kartilago membentuk duapertiga bawah dari kerangka hidung. Terdapat tiga tulang rawan hidung, yaitu kartilago lateralis superior, kartilago lateralis inferior, serta kartilago septum. Kartilago lateralis superior yaitu sepasang tulang rawan yang berbentuk segitiga dan pada bagian inferiornya berbatasan dengan os nasal, yang memanjang sampai kartilago lateralis inferior. Sedangkan pada bagian medialnya kartilago lateralis superior akan menyatu dengan septum di garis tengah. Berikutnya yaitu kartilago lateralis inferior, yang juga disebut kartilago alar. Kartilago alar terdiri atas kartilago mayor dan minor. Kartilago alar mayor masing-masing berbentuk



6



menyerupai huruf U, yang terdiri atas krus lateral dan membentuk ala nasi, sedangkan krus medial membentuk kolumela. Kartilago alar minor (kartilago sesamoid) terdiri dari tulang rawan kecil yang berjumlah dua atau lebih. Kartilago sesamoid terletak pada bagian lateral atas dari kartilago alar mayor. Tulang-tulang ini terhubungkan oleh tulang yang terletak berdekatan dengan periosteum dan perikondrium. Kartilago septum bagian anterosuperior terletak pada tengah hidung, yaitu diantara os nasal sampai nasal tip dan merupakan penunjang dari dinding kartilago hidung. Otot-otot yang melapisi tulang dan kartilago hidung terdiri dari m.proserus, m.nasalis, m. levator labii superior, m. dilator nares anterior, m. dilator nares posterior dan m. depressor septi. Otot-otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis. M. proserus dan m. levator labii superior akan masuk ke kartilago alar dan berfungsi untuk mengelevasi dan memendekkan hidung, serta pelebaran katup hidung. M. nasalis yang terletak pada 2/3 tengah hidung memiliki fungsi untuk kompresi dan dilatasi lubang hidung, sedangkan m. depressor septi memasuki septum dan posterior dari alae sehingga dapat terjadi depresi pada hidung.1,2



Gambar 2.1 Anatomi Nasal Luar.



Kulit yang melapisi os nasal dan kartilago lateralis superior sangat tipis sehingga dapat bergerak bebas, sedangkan kulit yang melapisi kartilago alar cukup tebal dan mengandung banyak kelenjar sebasea. Secara intranasal, dinding lateral hidung terdiri dari turbinat superior, inferior dan media. Turbinat-turbinat ini bertanggung jawab untuk melembabkan dan menghangatkan udara yang terinspirasi. 7



Turbinat media dan superior merupakan perpanjangan dari os ethmoid, sedangkan turbinat inferior merupakan tulang tunggal. Turbinat akan berkomunikasi dengan meatus untuk drainase sinus dan lakrimal.1,2



2.1.2 Hidung Bagian Dalam Hidung bagian dalam meliputi vestibulum nasi yang terletak pada bagian depan serta dilapisi kulit, dan kavum nasi (rongga hidung) yang dilapisi oleh mukosa. Vestibulum nasi merupakan bagian anterior inferior dari hidung, dindingnya merupakan kulit yang dilapisi oleh kelenjar sebasea, foliker rambut serta vibrissae. Batas atas dari vestibulum nasi merupakan tonjolan yaitu limen nasi, atau katup nasal. Limen nasi terletak pada bagian lateral dan dibatasi oleh kartilago lateralis superior serta bagian depan konka inferior. Batas medialnya merupakan kartialgo septum, sedangkan pada kaudalnya dibatasi oleh dasar dari aperture piriformis. Limen nasi merupakan daerah tersempit pada kavum nasi yang berfungsi untuk mengatur aliran udara, dan juga merupakan area yang resisten saat inspirasi. Bagian hidung dalam kanan dan kiri dilapisi oleh septum nasi. Vestibulum nasi serta kavum nasi berhubungan dengan lingkungan luar melalui lubang hidung, yaitu nares anterior atau nostril dan berhubungan dengan nasofaring melalui koana (nares posterior).



Kavum nasi akan berhubungan dengan fosa kranii anterior dan fosa kranii media, rongga orbita serta sinus-sinus paranasal. Palatum durum merupakan bagian yang memisahkan kavum nasi dengan rongga mulut. Dinding dari kavum nasi dilapisi oleh mukosa yang berupa epitel berlapis semu bersilia, namun pada bagian superior dari kavum nasi dilapisi oleh epitel penghidu. Atap dari kavum nasi bagian anterior terdiri dari os nasal dan os frontal, sedangkan bagian posterior dibentuk oleh korpus os sfenoid dan pada bagian tengah terdapat lamina kribrosa os etmoid yang merupakan tempat insersi serabut nervus olfaktorius. Bagian dasar dari kavum nasi terdiri dari prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatina.



8



Septum nasi merupakan dinding medial dari kavum nasi, bagian ini terdiri dari tiga bagian, 1. Kolumela Septum terdiri dari krus media kartilago alar dan menempel dengan jaringan ikat serta dilapisi oleh kulit. 2. Septum membranosa Terdiri dari dua lapisan kulit, dan tidak meliputi tulang ataupun kartilago. 3. Septum nasi sebenarnya terdiri dari kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi oleh selaput mukosa. Kerangka septum tersusun oleh kartilago kuadrangularis pada bagian anteroinferior, lamina perpendikularis os etmoid pada bagian posterior atas, os vomer pada posterior bawah serta krista nasalis os palatina, krista nasalis maksila dan spina nasalis maksila pada bagian bawah os vomer.



Pada umumnya, dinding lateral dari kavum nasi meliputi konka inferior, konka media serta konka superior, namun pada beberapa orang terdapat konka suprema atau turbinate yang merupakan tonjolan tulang yang terlapisi mukosa. Celah yang terdapat dibawah konka merupakan meatus. Konka inferior melekat pada bagian lateral kavum nasi dan dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia. Celah dibawah konka inferior disebut meatus inferior, ini merupakan muara dari duktus nasolakrimalis yang memiliki Hasner’s valve (katup mukosa). Sedangkan konka media merupakan bagian dari os etmoid. Pada konka media terdapat perlekatan dengan dinding lateral dari kavum nasi melalui lamella basalis. Perlekatan ini menyerupai huruf S dengan 1/3 bagian anterior terletak sagital dan melekat pada tepi lateral dari lamina kribrosa, 1/3 tengah terletak dengan posisi tegak dan melekat pada lamina papirasea. Sedangkan 1/3 bagian posterior dari perlekatan ini terletak horizontal dan mebentuk atap dari meatus medius, serta melekat pada lamina papirasea dan dinding dari medial sinus maksilaris. Diantara konka media serta konka inferior terletak meatus medius, meatus medius merupakan muara dari sinus maksilaris, sinus frontalis serta sel-sel dari sinus etmoidalis anterior. Pada meatus medius terdapat tonjolan yaitu prosesus unsinatus, pada bagian belakang prosesus unsinatus ini 9



terdapat infundibulum etmoid yang merupakan jalur perjalanan dari mukosa sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior serta sinus frontalis. Batas posterior dari infundibulum etmoid merupakan permukaan anterior bula etmoid, batas lateralnya yaitu lamina papirasea yang merupakan pemisah dari hidung dan rongga orbita. Konka superior merupakan bagian dari os etmoid bagian superior posterior konka media, konka superior adalah landmark untuk ostium sinus sfenoidalis yang tepat terletak dimedialnya. Sedangkan celah yang terdapat pada inferior konka superior disebut meatus superior, meatus ini merupakan tempat bermuara sel-sel etmoid. Sinus sfenoidalis akan bermuara pada resesus sfenoetmoidalis yang terdapat diantara konka superior, lamina kribrosa serta korpus os sfenoid. Konka suprema merupakan bagian anatomi yang tidak ditemukan pada setiap orang, konka ini terletak pada bagian atas konka superior.



Gambar 2.2 Konka Nasal.40



Epitel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium) melapisi dua pertiga dari bagian inferior kavum nasi. Epitel ini mengandung banyak sel goblet dan pada lapisan submucosa terdapat kelenjar yang menghasilkan sekret mucus dan serosa. Sedangkan pada sepertiga superior dari nasal yaitu dari konka superior keatas serta septum dan atap kavum nasi dilapisi oleh epitel olfaktorius yang memiliki warna lebih pucat.



10



2.1.3 Lapisan Mukosa pada Hidung Lapisan mukosa pada hidung terbagi menjadi 3, yaitu: 1. Daerah vestibular anterior memiliki epitel skuamosa berlapis, yang berakhir pada mucocutaneous junction 2. Bagian respiratori dari nasal mukosa dilapisi oleh lapisan epitel bersilia pseudostratified kolumnar. Mukosa ini melekat pada perikondrium dan periosteum. 3. Mukosa olfaktorius, yaitu bagian mukosa yang terletak pada bagian olfaktori dari nasal, yang melintang dari septum bagian superior hingga dinding lateral terdekat sampai ke turbinat superior. Mukosa ini berwarna kekuningan dan terdiri dari sel basal dan reseptor olfaktorius.41



2.1.4 Histologi Hidung Kavitas nasal secara sagittal terbagi oleh septum nasal, kavitas ini meliputi meatus dorsal, meatus medial serta meatus ventral. Pada bagian ini, 90% kavitas nasal dilapisi oleh epitel respiratori dan 10% oleh epitel skuamosa bertingkat. Vestibul nasal dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis keratin, yang merupakan lanjutan dari lapisan kulit hidung bagian luar. Pada bagian ini juga terdapat vibrissae yang berfungsi menyaring partikel besar dari udara yang terinspirasi. Transisi membrane dari epitel skuamosa berlapis keratin ke pitel bersilia kolumnar semu dengan sel goblet, yang juga disebut epitel respiratori, terletak pada titik limen nasi. Sel kuboid atau kolumnar tidak bersilia, sel goblet dan sel basal ditemukan pada jaringan meatus nasal dorsal dan folikel limfoid, terutama pada nasal konka inferior bagian dorsal. Sel basal umumnya ditemukan pada basal lamina, yaitu pada mukosa respiratori. Pada bagian septum nasal, nasal meatus media dan inferior, epitel skuamosa bertingkat sebagian telah transisi menjadi epitel bersilia pseudostratified kolumnar, kecuali pada dinding lateral dari meatus nasal superior yang dilapisi oleh epitel kolumnar non-bersilia. Namun tidak ada batas tegas antara kedua lapisan. Kelenjar mukosa, pembuluh darah dan folikel limfoid lebih banyak ditemukan pada lamina propria. Pada nasal terdapat dua jenis epitel, yaitu epitel respiratori dan epitel olfaktorius. Kedua epitel ini memiliki histologi yang sama yaitu epitel 11



bertingkat pseudostratified dengan silia. Diantara kedua epitel ini terdapat sel goblet yang berfungsi untuk produksi mukus. Pada kedua epitel ini juga terdapat sel basal yang akan berdiferensiasi menjadi sel epitel dan sel goblet. Epitel respiratori melapisi bagian dasar, medial serta lateral dari rongga hidung menuju choana, yang merupakan batas posterior dari rongga hidung. Pada lapisan ini juga terdapat kelenjar seromukosa yang tersebar pada seluruh membrane mukosa. Sekresi dari kelenjar ini membantu respirasi dengan melembabkan udara yang terinspirasi dan menahan partikel asing. Partikel asing akan didorong oleh silia menuju faring, yang akan dikeluarkan secara oral, baik ditelan atau dicerna.Atap rongga hidung pada cribiform plate dari tulang etmoid, konka superior dan bagian superior dari septum nasal dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified tanpa sel goblet dan tanpa silia (epitel olfaktori). Terdapat beberapa jenis sel pada epitel yang memungkinkan tejadinya penciuman, udara pertama kali akan diarahkan menuju epitel olfaktorius oleh turbinat. Kemudian pada lamina propria, kelenjar bowman (kelenjar olfaktorius) akan menghasilkan sekresi serosa yang dapat melarutkan partikel sehingga dapat berinteraksi dengan silia olfaktorius. Silia olfaktorius merupakan tonjolan seperti rambut yang meluas pada lapisan mukosa untuk mendeteksi dan mengirimkan bau melalui sel nervus olfaktorius. Sel sustentakular (sel pendukung) terdistribusi ke seluruh epitel bersamaan dengan sel nervus olfaktorius serta sel basal, proksimal dari cribriform dari tulang etmoid. Mukosa dari sinus paranasal juga merupakan epitel respiratori, perbedaannya yaitu epitel dari sinus paranasal memiliki sel goblet dan kelenjar serosa lebih sedikit, dan didominasi oleh jaringan limfoid.



12



Gambar 2.3 (D) Epitel kolumnar, (E) epitel skuamosa bertingkat.41



Gambar 2.4 Epitel Olfaktorius dan epitel respiratori.41



2.1.3 Persarafan Hidung Sensasi penciuman dari hidung berasa; dari nervus oftalmikus (V1) dan maksila (V2) yang merupakan percabangan dari saraf trigeminal. Nervus oftalmikus (V1) memiliki tiga cabang utama yaitu lakrimal, frontal dan nasosiliar. Nervus nasosiliar akan bercabang menjadi nervus infratroklear yang menginervasi bagian superior dari hidung bagian luar. Nervus ini akan keluar melalui batas antara os nasal dan kartilago bagian lateral superior, yang mempersarafi pada kulit dari ujung hidung, nasal alae bagian medial serta dorsum nasal. Nervus maksilari (V2) menginervasi bagian bilateral dari dorsum lateral dan alae. Cabang dari V1 dan V2 akan memberikan sensasi sampai ke mukosa nasal. Sedangkan nervus etmoidal anterior (cabang dari nervus



13



nasosiliari) akan menginervasi bagian anterosuperior hidung bagian dalam serta mukosa septum hidung anterior. Sedangkan bagian posterior dipersarafi oleh nervus nasopalatina sampai ke bagian septum. Saraf palatina mayor dan saraf etmoidalis anterior menginervasi mukosa dinding bagian lateral dari nasal. Persarafan penting lainnya pada hidung termasuk saraf wajah (VII) yang menginervasi otot hidung dan saraf olfaktorius (I), yang bertanggung jawab atas indera penciuman.1,2



Persarafan otonom dari nasal meliputi saraf simpatis dan parasimpatis yang menelusuri bersama dengan serabut saraf dari ganglion pterigopalatina. Serabut saraf parasimpatis preganglion akan keluar dari otak bersama dengan nervus fasialis. Sedangkan serabut saraf simpatis berasal dari medulla spinalis torakalis superior, dan selanjutnya berjalan bersamaan dengan nervus maksilaris dan arteri maksilaris sampai ke kavum nasi.1



2.1.4 Vaskularisasi Hidung Vaskularisasi utama dari hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna, yang memperdarahi septum nasi bagian dinding lateral dan medial. Dinding lateral dari kavum nasi akan diperdarahi oleh a. etmoidalis anterior dan a.etmoidalis posterior, yang merupakan cabang dari a. oftalmika (sistem a.karotis interna). Dinding lateral kavum nasi juga mendapatkan pendarahan dari a. nasalis posterior, a. palatina mayor, cabang nasalis dari a. dentalis anterior superior serta percabangan dari a.fasialis untuk vestibulum nasi.2



14



Septum nasi juga diperdarahi oleh a. karotis interna, yaitu dari percabangan a.oftalmika menjadi a. etmoidalis anterior dan a. etmoidalis posterior. Sedangkan dari a. karotis eksterna, septum nasi mendapatkan pendarahan dari a.sfenopalatina, cabang septalis dari a. palatina mayor serta cabang septalis dari a. labialis superior. Pada septum nasi bagian anteriorinferior terdapat pleksus kiesselbach, yang terdiri dari 4 arteri, yaitu a. etmoidalis anterior, cabang septal a. labialis superior, a. sfenopalatina dan a. palatina mayor.



Gambar 2.5 Pleksus kiesselbach.38



Pleksus kiesselbach terletak superfisial dan memiliki kepentingan klinis yaitu rentan terhadap pendarahan jika udara pernapasan kering serta dikorek. Pleksus ini merupakan penyebab tersering terjadinya epistaksis pada anak-anak. Sedangkan pada orang dewasa, sumber epistaksis posterior paling sering yaitu pleksus woodruff. Pleksus ini merupakan pleksus yang terdiri dari vena, yang terdapat pada ujung inferior posterior dari konka media dan meatus inferior. Pleksus woodruff terletak pada bagian latelar kavum nasi, posterior dari turbinate inferior dan media.1,2



Arteri fasialis bertanggung jawab atas vaskularisasi dari bagian hidung luar, arteri fasialis kemudian menjadi arteri angularis pada bagian superomedial, sedangkan cabang dari arteri maksilaris interna yaitu a. infraorbital serta cabang



15



dari arteri karotis interna yaitu a. oftalmilkus bertanggung jawab pada vaskularisasi bagial selar dan dorsal dari hidung.2



2.1.5 Sistem Vena dan Aliran Limfe Sistem vena pada mengikuti sistem arteri yang dipasangkan. Cabang maksilar akan berdrainase menuju sinus kavernosus atau pleksus pterygoid yang terletak pada fossa infratemporal. Vena dari anterior kavum nasi mengalirkan drainase menuju vena pada vena fasialis. Sebagai kepentingan klinis, infeksi yang terletak diantara komisura oral dan jembatan nasal dapat menyebabkan infeksi intrakranial, hal ini disebabkan karena sinus kavernosus pada otak yang tidak memiliki katup.1,2



Kavum nasi anterior akan mengalir secara anterior menuju fasialis yang kemudian menuju ke kelenjar getah bening submandibular pada level IB. Limfatik dari kavum nasi posterior dan sinus paranasal akan mengalir ke kelenjar getah bening servikal superior dan kelenjar getah bening retrofaringeal.1,3



2.1.6 Fisiologi Hidung Fungsi utama dari hidung yaitu respirasi, filter terhadap partikel benda asing dan alergen, serta sebagai indera penciuman. Saat udara dihirup pada respirasi, kavum nasi membantu proses ini dengan mempersiapkan udara untuk pertukaran oksigen. Udara akan masuk melalui bagian antara konka dan septum. Saat proses ekspirasi, udara keluar melalui jalur yang sama namun tidak semua dikeluarkan melalui nares anterior, udara akan tertahan pada daerah limen nasi sehingga sebagian udara kan masuk ke meatus medius, kemudian masuk ke dalam sinus melalui ostiumnya.



Kavum nasi berukuran sempit, sehingga udara yang dihirup akan masuk ke area permukaan mukosa yang kaya akan suplai darah pada suhu normal tubuh. Proses ini akan memfasilitasi adaptasi dari udara yang dihirup ke suhu yang sesuai untuk paru-paru. Hidung sebagai alat pengatur kondisi udara memiliki beberapa fungsi yang pertama yaitu filtrasi, pada nares anterior, hidung memiliki vibrissae atau bulu hidung yang berfungsi untuk filtrasi 16



terhadap partikel kasar. Sedangkan partikel halus seperti debu atau bekteri akan ditahan oleh mukosa yang terdapat pada seluruh kavum nasi. Berikutnya yaitu sebagai alat pengatur suhu dan melembabkan, yang dilakukan oleh mukosa hidung yang terletak pada konka inferior dan konka media, mukosa ini memiliki banyak pembuluh darah sehingga dapat mengatur suhu udara pernapasan menjadi suhu tubuh, yaitu 370C sebelum mencapai nasofaring. Kelenjar mukos dna serosa berperan penting untuk melembabkan rongga hidung, untuk menjaga fungsi dari epitel bersilia yang berfungsi menjaga hidung dari bakteri. Selain itu, keadaan lembab pada udara pernapasan sampai 75% juga penting untuk proses pertukaran gas didalam paru, kegagalan dalam kelembaban dapat menyebabkan meningkatnya kadar CO2 dan menurunnya O2 sehingga dapat mengakibatkan apnea.



Hidung sebagai pelindung saluran napas bawah memiliki mekanisme mukosiliar. Yaitu dimana mukosa hidung yang mengandung banyak sel goblet, kelenjar mukus dan kelenjar serosa akan menghasilkan mucous blanket yaitu sekret untuk menyelimuti mukosa. Mucous blanket memiliki dia lapis yaitu permukaan yang lebih kental disebut mukus dan permukaan yang lebih cair disebut serosa. Mucous blanket terletak diatas silia yang akan terus bergerak sehingga akan mengalir kearah nasofaring. Partikel halus seperti debu, vakteri dan virus akan tertangkap dan terlekat pada mukosa yang kemudian dialirkan dari nasofaring menuju faring dan akhirnya tertelan.



Silia merupakan bagian dari hidung yang selalu bergerak dengan kecepatan 10-20 kali perdetik pada suhu ruangan. Gerakan silia ini terdiri dari gerakan efektif (effective stroke) dan gerakan pemulihan (recovery stroke). Gerakan efektif bersifat kuat dan cepat, sehingga silia bersifat tegang dan dapat menjangkau mukus yang terletak dipermukaan dan mendorong mukus kebelakang. Saat gerakan pemulihan, silia bersifat lemas dan kembali melambat sehingga hanya pada lapisan serosa saja. Sehingga, mukus kental yang terperangkap hanya berjalan satu arah kearah nasofaring dan mukosa di sinus paranasal akan menuju ostium sinus. Sekret hidung juga mengandung enzim lysozyme, immunoglobulin IgA dan IgE serta interferon, yang berfungsi untuk membunuh bakteri dan virus serta mempertahankan imunitas untuk mencegah 17



infeksi. Silia dan lysozyme bekerja baik pada pH 7, sehingga pH hidung harus dipertahankan pada pH 7. Refleks bersin juga untuk mempertahankan imunitas, yaitu dengan mengeluarkan partikel asing yang dapat mengganggu mukosa hidung.



Gambar 2.6 Pergerakan silia.1



Hidung juga memiliki fungsi resonansi suara untuk beberapa huruf yaitu M, N dan Ng. Saat mengucapkan huruf-huruf ini, suara akan keluar dari hidung melalui ismus nasofaring, sehingga saat ada obstruksi pada hidung pengucapan ke 3 konsonan tersebut menjadi denasal yaitu menjadi B/D/G. pada hidung dimulai berbagai refleks, seperti refleks sekresi saliva dan getah lambung yang akan teraktivasi saat mencium bau tertentu, serta refleks bersin yang terjadi saat adanya iritasi pada mukosa. Refleks berikutnya yaitu refleks nasobronkial dan nasopulmonar yang berhubungan erat dengan fungsi paru. Obstruksi pada hidung akan menyebabkan peningkatan tahanan dari paru. Saat pemasangan tampon



hidung



juga



akan



menyebabkan



penurunan



dari



pO 2.



Hidung sebagai fungsi organ penghidu memiliki reseptor untuk menerima rangsang odor. Saat udara memasuki rongga hidung, turbinat berfungsi untuk mengarahkan sebagian aliran udara kedaerah rongga superior.



18



Celah olfaktorius terletak pada atap rongga hidung, dekat dengan cribiform plate. Reseptor penghidu yang terletak pada 1/3 bagian atas ini akan mengikat bau yang dibawa kehidung serta mengirim sinyal pada korteks olfaktori di korteks serebri.1,2



2.2 Rinitis Alergi



2.2.1



Definisi Rhinitis alergi adalah gangguan simtomatis pada hidung yang terinduksi setelah



adanya eksposure terhadap alergen yang disebabkan oleh reaksi inflamasi pada membran mukosa hidung dari antibodi IgE. Secara klinis, rhinitis alergi didefinisikan sebagai kondisi simtomatis dengan empat gejala utama yaitu anterior atau posterior rinorea, bersin, rasa gatal dihidung serta kongesti nasal. Gejala lain yang dapat mengikuti seperti gangguan tidur, fatigue, melibatkan mata seperti konjungtivitis, gejala telinga termasuk disfungsi tuba serta otitis media. Alergen yang dapat berperan sebagai pencetus seperti polen, serangga, debu, asap rokok, bulu binatang, atau obatobatan.4



2.2.2



Epidemiologi Prevalensi dari rhinitis alergi berdasarkan gejala yang dialami pasien



diperkirakan mencapai 30%. Rhinitis alergi umumnya mencapai puncak pada dekade kedua sampai keempat kehidupan, kemudian menurun. Insidens dari rhinitis alergi pada populasi pediatric juga termasuk tinggi, menurut International Study for Asthma and Allergies in Choldhood, 14.6% pada usia 13-14 tahun dan 8.5% pada usia 6-7 tahun menunjukkan gejala rhinitis alergi. Rhinitis alergi musiman lebih umum pada usia pediatrik, sedangkan rhinitis kronis lebih umum pada orang dewasa. 1/5 individual dengan rhinitis alergi akan mengalami asma di kemudian hari. Individu yang sensitif akan perennial alergen (seperti tungau debu) lebih rentan terkena asma dibandingkan dengan individu yang sensitif terhadap alergen musiman, seperti polen.5,6



2.2.3 Faktor Resiko Faktor resiko dari rhinitis alergi termasuk riwayat atopi pada keluarga, laki-laki, adanya alergen spesifik IgE, serta serum IgE > 100 IU/mL sebelum umur 6 tahun. Penelitian pada populasi pediatrik menunjukkan bahwa anak-anak yang diperkenalkan 19



pada makanan lebih awal atau eksposure terhadap asap rokok pada tahun pertama kehidupan memiliki resiko terjadinya rhinitis alergi lebih tinggi.



2.2.4 Etiologi Rhinitis alergi dicetuskan oleh alergen, baik alergen perennial maupun musiman. Alergen perennial termasuk alergi dalam ruangan seperti bulu hewan peliharaan, debu, kecoa dan tungau serta alergi luar ruangan seperti polen, spora jamur, rumput-rumputan.7 Alergen perennial merupakan jenis alergen yang menimbulkan gejala persisten, sedangkan alergen seasonal hanya terjadi pada musim atau saat tertentu saja serbuk bunga, rumput atau spora jamur, yang umumnya banyak pada musim semi. Asthma and Allergy Foundation of America membagi tipe alergen menjadi beberapa kelompok, yaitu alergi akan makanan, alergi akan serangga dimana yang paling umum yaitu kecoak dan tungau, alergi akan latex seperti handschoen, alergi akan jamur, alergi akan hewan peliharaan serta alergi akan polen.



2.2.5 Patofisiologi Rhinitis Alergi merupakan penyakit yang dipicu oleh alergen sehingga tubuh akan menghasilkan respon imun. Tahapan pertama yaitu tahap sensitisasi, pada tahap ini, Antigen Presenting Cells (APCs) seperti sel dendritik pada permukaan mukosa akan memproses alergen dan mempresentasikan peptide dari alergen ke major histocompatibility complex (MHC) class II molecule. Molekul kelas II MHC dan antigen kompleks akan berperan sebagai ligan dari reseptor sel T pada sel T CD4 sehingga memicu diferensiasi sel T CD4 menjadi sel sel Th2.



Respon imun terbagi menjadi dua reaksi, yaitu reaksi cepat dan reaksi lambat. Reaksi cepat terjadi 5-15 menit setelah eksposure terhadap antigen, yang menghasilkan degranulasi dari sel mast. Sedangkan reaksi lambat terjadi 6 jam setelah eksposure terhadap alergen yang menimbulkan gejala nasal obstruksi. Reaksi cepat merupakan respon dari sel mast terhadap alergen (tipe I hipersensitivitas) dan dimediasi oleh immunoglobulin IgE, Sedangkan mekanisme utama pada reaksi lambat yaitu kemotaksis dari eusinofil yang disebabkan oleh mediator yang diproduksi pada reaksi cepat.



20



Reaksi cepat berperan sebagai respon terhadap alergen yang terhirup, yang kemudian dipresentasikan kepada sel limfosit T helper tipe 2 (Th2). IgE kemudian akan mengikat pemaparan alergen berikutnya pada dinding sel mast dan memicu proses degranulasi yaitu runtuhnya dinding sel mast/ basofil. Proses degranulasi ini diikuti oleh pelepasan mediator baru. Mediator baru yang dilepaskan termasuk histamin, yang merupakan salah satu mediator utama pada rhinitis alergi. Histamin merupakan mediator yang memicu reaksi alergi fase cepat, dan menimbulkan respons simtomatik beberapa menit setelah terpapar oleh alergen. Histamin akan menginduksi bersin dan rasa gatal melalui nervus trigeminal dan nervus vidianus, dan berperan untuk merangsang kelenjar mukosa sehingga menghasilkan rinore. Selain itu histamin juga akan merangsang reseptor H1 pada pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi sinusoid serta peningkatan sekresi kelenjar. Histamin merupakan mediator yang memicu reaksi alergi fase cepat, dan menimbulkan respons simtomatik beberapa menit setelah terpapar oleh alergen.1,8



Mediator lainnya yaitu leukotrienes dan prostaglandin yang berperan dalam nasal kongesti. Mediator ini bersifat kemo-aktraktan yaitu mengundang sel inflamasi lainnya seperti eusinofil, neutrophil, basofil dan mastosit untuk berkumpul pada mukosa hidung. Pelepasan mediator ini mengakhiri fase cepat dan mulainya fase lambat. 4-6 jam setelah respon awal, terjadi influx pada sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin ini akan memfasilitasi infiltrasi dari eusinofil, limfosit T dan basofil kedalam nasal mukosa serta memproduksi nasal edema sehingga menyebabkan kongesti.8,9



Ketika epitel respiratori rusak dan serabut saraf terpapar oleh protein sitoktoksik dari eusinofil, serabut saraf sensorik akan tereksitasi oleh stimulus sehingga aferen sensorik dan serabut eferen disekitarnya akan aktif, ini merupakan refleks retrograde aksonal. Refleks ini menyebabkan serabut saraf sensorik mensekresi neuropeptide seperti substansi P dan neurokinin A, yang akan meninduksi kontraksi dari otot polos, sekresi mukosa sel goblet dan eksudasi plasma dari kapiler. Proses ini secara keseluruhan mengakibatkan inflamasi neurogenik. Hiper responsif non spesifik merupakan salah satu ciri klinis dari inflamasi alergi, hal ini disebabkan oleh infiltrasi eusinofil dan kerusakan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi hiperaktif terhadap rangsangan normal dan menyebabkan gejala seperti bersin, rinorea, hidung gatal dan obstruksi. Umumnya hipersensitivitas terhadap rangsangan non spesifik seperti 21



tembakau atau udaradingin dan kering serta pada alergen spesifik meningkat pada pasien dengan rhinitis alergi.9



Gambar 2.7 Patofisiologi rinitis alergi.37



Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sebagian besar pasien asma memiliki gejala dari rhinitis alergi berupa inflamasi eusinofil dari nasal mukosa. Prevalensi dari asma pada pasien dengan rhinitis alergi mencapai 10-40%. Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi alergen pada nasal mukosa pada pasien rhinitis alergi akan menginduksi hiper-responsitifitas pada bronkial. Konsep one airway, one disease diperkenalkan dengan adanya bukti kumulatif secara structural dan persamaan antara sel inflamasi alergi, mediator inflamasi dan sitokin antara saluran napas atas dan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa rhinitis alergi dan asma bukanlah penyakit yang terpisah seluruhnya dan harus diidentifikasi serta ditangani secara bersamaan. ARIA merekomendasikan bahwa asma harus dievaluasi pada pasien rhinitis alergi kategori persisten sedang-berat. Remodeling jalan napas pada asma disebabkan oleh inflamasi kronis, namun konsep remodeling pada rhinitis alergi masih kotnroversial karena beberapa penelitian melaporkan temuan yang bertentangan pada kerusakan epitel atau penebalan membrane basal retikuler. Growth factors yang terlibat dalam remodeling dari saluran napas bagian bawah juga terlihat pada mukosa hidung pasien rhinitis alergi. Perubahan struktural mukosa jauh lebih luas pada mukosa hidung dibandingkan dengan 22



mukosa pada saluran udara bagian bawah, walaupun mukosa hidung lebih terpapar alergen.



2.2.6 Manifestasi Klinis



Allergic Rhinitis and Its Impacts on Asthma (ARIA) mendefinisikan rhinitis alergi sebagai gejala dengan bersin, rasa gatal pada hidung, rinorea dan hidung tersumbat.12 Nasal kongesti, post nasal drip, bersin berulang dan sekret merupakan gejala paling umum. Dapat pula terlihat tanda khas alergi yaitu1: •



Pembengkakan konjungtiva dan eritema







Pembengkakan kelopak mata







Allergic shiners: bayangan gelap kebiruan dibawah mata yang diakibatkan oleh stasis dari vena.







Dennie morgan line: garis kerut tambahan pada kelopak mata bawah







Allergic salute: kebiasaan mengusap hidung keatas dengan telapak tangan sehingga menimbulkan garis melintang pada bagian dorsum hidung (allergic crease).







Geographic tongue: pada lidah pasien terdapat adanya bercak dengan gambaran pulau-pulau berwarna putih atau kemerahan dengan batas berwarna putih







Telinga: pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya tanda efusi telinga tengah



Post nasal drip merupakan gejala umum lainnya pada rhinitis alergi, hal ini terjadi karena produksi mukus berlebih yang terakumulasi pada faring posterior dan mencetus batuk, atau halisotis. Pada anak-anak yang belum dapat membuang sekretnya, mereka akan sering mengendus atau batuk untuk membersihkan mukus. Beberapa pasien juga dapat menunjukkan palatal click yaitu suara klik yang dihasilkan karena rasa gatal pada langit-langit mulut.13



Polip hidung terjadi pada sekitar 5% individu dengan rhinitis alergi. Polip merupakan mukosa yang mengandung cairan edema dengan peningkatan jumlah eusinofil dan dapat memperparah gejala obstruktif. Pasien dengan polip hidung umumnya mengalami hidung tersumbat kronis yang disertai dengan hiponosmia atau anosmia.13



23



Gambar 2.8 Allergic shiners.32 Gambar 2.9 Dennie morgan’s line.33.



Gambar 2.11 Allergic crease.32



Gambar 2.10 allergic salute.34



Gambar 2.12 geographic tongue.35



2.2.7 Klasifikasi



Sebelumnya, rhinitis alergi dikategorikan sebagai musiman (kondisi yang terjadi hanya pada saat tertentu) dan perennial (terjadi sepanjang tahun). namun, tidak semua pasien memenuhi kategori ini, sehingga ARIA membagi rhinitis alergi berdasarkan frekuensi terjadinya gejala serta tingkat severitas.



Berdasarkan frekuensi gejala, rhinitis alergi terbagi menjadi: 1. Rhinitis alergi intermittent: gejala muncul kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu selama berturut-turut.



24



2. Rhinitis alergi persisten: gejala muncul lebih dari 4 hari dalam seminggu atau lebih dari 4 minggu berturut-turut.



Berdasarkan tingkat severitas: 1. Ringan: tidak ada gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan atau sekolah, dan tidak ada gejala yang cukup mengganggu. 2. Sedang-berat: terdapat satu atau lebih dari gangguan diatas.



2.2.8 Diagnosis



Diagnosis rhinitis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Sedangkan untuk pemeriksaan baku emas rhinitis alergi yaitu skin prick test atau tes tusuk kulit terhadap alergi inhalan. Anamnesis pada pasien berfokus pada jenis gejala, waktu, durasi dan frekuensi gejala, dugaan alergen, serta faktor yang memperburuk atau memperringan. Umumnya pasien akan mengeluhkan kongesti nasal, rasa gatal pada hidung, rinorea dan bersin berulang. Pasien dengan rhinitis alergi musiman atau intermiten umumnya memiliki gejala bersin, rinore dan mata berair sedangkan pasien rhinitis alergi kronis sering mengeluhkan postnasal drip dan hidung tersumbat. Riwayat dalam keluarga serta riwayat alergi seperti asma juga harus ditanyakan saat anamnesis. Pasien rhinitis alergi intermiten dapat melaporkan potensi alergen seperti serbuk sari, bulu binatang, karpet, parfum atau asap tembakau. Sehingga evaluasi terhadap alergen perlu ditanyakan.4,16



Pada pemeriksaan fisik pada bagian luar dapat ditemukan pernapasan melalui mulut, lipatan pada hidung melintang yang jelas, sering mengendus, dan allergic shiners. Pada rinoskopi anterior terlihat edema konka berwarna pucat serta sekret serosa pada dasar hidung. Turbinate inferior berwarna kebiruian serta adanya cobblestone pada mukosa nasal. Pemeriksaan endoskopi pada kavum nasi juga dapat dilakukan untuk melihat polip atau kelainan struktural. Pemeriksaan sinus melalui palpasi dapat dilakukan untuk melihat adanya nyeri tekan dapat dilihat melalui pemeriksaan orofaring posterior. Telinga pada pasien rhinitis alergi umumnya normal, namun pemeriksaan untuk disfungsi tuba eustachius dengan otoskop serta maneuver valsava dapat dipertimbangkan untuk menilai cairan dibelakang membran timpani. Inspeksi



25



dan auskultasi pada dada dan kulit sekitar untuk melihat tanda asma ataupun dermatitis atopik.15,16



Gambar 2.13 Rinitis alergi pada rinoskopi anterior.36



Melalui riwayat pasien, diagnosis dari rhinitis alergi dapat ditegakkan tanpa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan jika masih ragu untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti tes tusuk kulit, yang juga merupakan pemeriksaan baku emas dari rhinitis alergi. Tes tusuk kulit diindikasikan pada pasien dengan alergi tipe I berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, tes ini dapat mengidentifikasikan sensitivitas terhadap alergen inhalan, makanan, obat atau okupasional.17 Lokasi dari setiap alergen dapat ditandai dengan pena untuk mengidentifikasi hasil uji. Tes dilakukan pada lengan bawah, 2-3 cm dari pergelangan tangan dan fossa antekubitus. Pada bayi, melakukan tes pada bagian punggung lebh disarankan, karena kulit punggung lebih sensitif dibandingkan dengan lengan bawah sehingga dapat menghasilkan simtom lebih besar. Jarak antara dua uji tusuk kulit disarankan > 2cm, untuk menghindari hasil positif palsu dari uji terdekat atau akibat sekunder dari refleks akson. Setetes larutan uji ditempatkan pada kulit dengan urutan yang sama untuk setiap subjek yang diuji dan segera ditusuk. Lancet ditusuk dan ditahan dikulit selama 1 detik, lapisan epitel kulit harus ditembus tanpa menyebabkan perdarahan, yang dapat menyebabkan hasil positif palsu. Lancet baru harus digunakan untuk setiap alergen untuk menghindari kontaminasi. Dalam 15-20 menit, apabila positif akan muncul respon wheal and flare (warna pucat tidak teratur yang dikelilingi dengan kemerahan.17



26



Gambar 2.14 Skin prick test



Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan imunogolobulin E spesifik pada serum, sitologi sekret/mukosa pada hidung atau tes provokasi hidung lebih diindikasikan untuk keperluan penelitian. Pencitraan dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit penyerta, seperti rhinosinusitis.1



2.2.9 Diagnosis Banding 2.2.9.1 Rinitis Vasomotor Merupakan sindrom dari gejala kronis berupa kongesti nasal dan rinorea yang tidak disebabkan oleh alergen spesifik. Patofisiologi dari rhinitis vasomotor yaitu adanya ketidakseimbangan antara input parasimpatis dan simpatis pada mukosa hidung. Manifestasi klinis menyerupai rhinitis alergi, yaitu berupa nyeri kepala, nyeri pada wajah, post nasal drip, batuk dan bersin. Umumnya terjadi sepanjang tahun, namun eksaserbasi dapat terjadi secara musiman, yang disebabkan karena gangguan tekanan barometrik, suhu lingkungan serta humiditas. Pemeriksaan fisik akan menunjukkan mukosa boggy dengan sekresi mukoid yang jernih, injeksi mukosal serta hyperplasia limfoid pada tonsil atau adenoid. Rinitis vasomotor dapat disingkirkan apabila pada pemeriksaan endoskopi nasal ditemuka adanya drainase purulent dari meatus media. Pada tes tusuk kulit, akan ditemukan hasil negatif dan tidak adanya peningkatan IgE.18



27



2.2.9.2 Rinitis Non Alergi dengan Sindrom Eosinofil (NARES) NARES merupakan kelompok dari rhinitis non alergi. Memiliki karakteristik yaitu pasien non atopik (dengan tes tusuk kulit) dengan gejala seperti bersin yang terjadi terus menerus, rinore berair, pruritis hidung, obstruksi hidung serta hyposmia, dan pada pemeriksaan laboratorium ditemukan lebih dari 20% sel pada apusan hidung yaitu eosinofil. Patofisiologi NARES belum sepenuhnya diketahui, namun penelitian menunjukkan adanya pelepasan histamin kronis dan tidak spesifik yang berlangsung terus menerus. Ditemukan tiga tahap dari NARES yaitu migrasi dari eosinophil dari pembuluh darah ke sekresi hidung, retensi eosinophil pada mukosa serta perkembangan dari nasal mikropoliposis. Gejala dan pemeriksaan akan menunjukkan karakteristik yang serupa seperti bengkak pada turbinat hidung dengan mukus, cobblestoning pada faring posterior dari drainase post nasal kronis, serta nasal kongesti yang ditunjukkan dengan retraksi membran timpani. Perbedaan antara rhinitis non alergi dengan sindrom eosinophilia dan subtype NAR lainnya ditentukan oleh adanya eosinophilia pada kavum nasal.18,19



2.2.9.3 Rinitis Medikamentosa Rinitis medikamentosa merupakan inflamasi dari nasal mukosa yang disebabkan oleh penggunaan nasal dekongestan topikal. Dekongestan topikal umumnya digunakan pada rhinitis alergi, rhinosinusitis, nasal polip atau infeksi saluran pernapasan atas. Beberapa hipotesis yang menunjukkan patofisiologi rhinitis medikamentosa seperti vasokonstriksi yang terjadi terus menerus sehingga terjadi iskemia dari nasal mukosa yang menjadi predisposisi edema interstisial dan alterasi dari tonus vasomotor yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan edema. Gejala yang ditunjukkan berupa rekurensi kongesti nasal, terutama tanpa rinorea serta adanya penggunaan dekongestan intranasal. Kongesti nasal dapat menyebabkan pernapasan oral, mulut kering dan mendengkur. Pemeriksaan klinis akan menunjukkan pembengkakan pada mukosa hidung, eritematosa serta gambaran granular.20



2.2.9.4 Rhinosinusitis European Position paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) mendefinisikan rhinosinusitis sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih dari gejala yaitu hidung tersumbat atau nasal discharge serta nyeri pada wajah dan hyposmia yang disertai dengan tanda obyektif pada 28



endoskopi atau CT scan. Umumnya rhinosinusitis disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Berdasarkan durasinya, rhinosinusitis terbagi menjadi akut (12 minggu). Gejala lain yang dapat timbul seperti odinofagia, disfonia, batuk, telinga terasa penuh dan gejala sistemik seperti astenia, malaise serta demam. Gejala yang terjadi umumnya mendadak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sekret purulent pada orofaring, pada rinoskopi anterior terlihat pus di meatus medius, serta mukosa di daerah meatus medius hiperemis dan edema. Pada pemeriksaan laboratorium, kenaikan laju endap darah dan protein C reaktif umumnya mengarah pada rhinosinusitis bakteri.21



2.2.10 Tatalaksana



Gambar 2.13 Algoritma Rinitis Alergi (ARIA).29



Tatalaksana utama pada rhinitis alergi yaitu penghindaran alergen pencetus, farmakoterapi serta imunoterapi. Farmakoterapi berupa anti histamin, glukokortikoid topikal, antagonis reseptor leukotriene, dekongestan serta kromolin. Imunoterapi yang dapat berupa imunoterapi spesifik (subkutan atau sublingual) atau imunoterapi non spesifik seperti anti Ig-E.



29



2.2.10.1 Non medikamentosa Setelah diagnosis rhinitis alergi ditegakkan, pasien diharapkan mengetahui alergen pencetus alerginya sehingga pasien akan berusaha untuk menghindarinya. Umumnya pencetus utama yaitu faktor inhalan seperti debu rumah, tungau atau bulu binatang. Untuk menghindari alergen ini yang dapat dilakukan yaitu rumah dan kamar tidur bebas debu, tidak menggunakan karpet, hindari tempat-tempat berdebu seperti gudang atau menggunakan masker saat ke tempat berdebu, mencuci tirai dan seprei seminggu sekali, penggunaan air conditioner sekitar 240C, tidak memelihara binatang berbulu serta menghindari asap rokok.1



2.2.10.2 Medikamentosa 2.2.10.2.1 Irigasi Hidung Irigasi hidung dapat direkomendasikan sebagai tatalaksana rhinitis alergi, mekanismenya masih belum diketahui namun dipikirkan bahwa fungsi mucosal mengalami perbaikan karena adanya pembersihan langsung dengan pembuangan lendir, debris, alergen, serta polusi udara, pembuangan mediator inflamasi, serta clearance dari mukosiliar yang lebih baik. Larutan yang digunakan uncuk irigasi hidung yaitu NaCl 0,9% steril untuk cairan infus. Langkah cuci hidung yaitu mengambil cairan NaCl dengan spuit 10cc, miringkan kepala ke kiri, memasukkan spuit kehidung kanan, mulut dibuka dan tahan napas, kemudian semprot cairan tersebut, setelah air keluar bersihkan hidung dan proses ini diulang selama 3x pada masing-masing hidung.1,22



2.2.10.2.2 Anti Histamin Medikamentosa awal umumnya dimulai dengan antihistamin, histamin merupakan amine yang diproduksi oleh L-histidine, dan memiliki 4 reseptor, yang berperan dalam neurotransmisi, kontraksi otot halus, serta permeabilitas vaskular. Reseptor H1, yang umumnya terikat pada pemberian antihistamin terdistribusi pada banyak sel seperti sel saraf pusat, sel otot polos (pembuluh darah dan sistem respiratori), sel endotel, monosit, dendrosit, neutrofil dan limfosit. Anti histamin H1 memiliki efek sedative, hal ini disebabkan oleh inhibisi dari fungsi neuron histamin pusat. Antihistamin yang saat ini direkomendasikan yaitu antihistamin H-1 generasi 2, karena bersifat non30



sedative dan tidak memiliki efek antikolinergik serta relatif aman diberikan penderita penyakit hati, ginjal, dan usia lanjut. Sedangkan penggunaan antihistamin H-1 generasi 1 seperti diphenydyramine, chlorpheniramine dan promethazine tidak direkomendasikan karena memiliki efek sedative dan antikolinergik. Antihistamin generasi 2 yang dapat diberikan seperti terfenadine, cetirizine dan loratadine.23



2.2.10.2.3 Steroid Intranasal Glukokortikoid (steroid) intranasal merupakan farmakoterapi paling efektif sebagai anti inflamasi pada rinitis alergi musiman. Efek dari glukokortikoid mulai saat melewati membrane sel dan mengikat pada reseptor glukokortikoid intraselular. Glukokortikoid akan menginhibisi fungsi dari sel inflamatori dan penarikannya ke mukosa nasal, serta inhibisi dari maturasi, produksi sitokin dan pelepasan sel mast. Glukokortikoid juga memiliki efek anti inflamasi pada sel hidung seperti sel epitel, fibroblast, sel endotel vaskular dan kelenjar. Sediaan yang dapat digunakan yaitu beclomethasone propionate, fluticasone propionate, mometasone furate, serta fluticasone furoate. Onset dari steroid intranasal cukup rapid dengan keberhasilan dalam satu hari. Terapi ini efektif pada tatalaksana obstruksi nasal yang tidak respons terhadap reseptor H 1 antagonis. Glukokortikoid oral dapat digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap steroid intranasal (terutama pada rinitis alergi berat).23



2.2.10.2.4 Antagonis Reseptor Leukotriene Antagonis reseptor leukotriene memiliki efek yang hampir sana dengan antihistamin oral. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa menambahkan antagonis reseptor leukotreiene dapat memberikan hasil lebih baik, dan diindikasikan untuk pasien dengan asma bronkial sebagai komorbid. Obat yang dapat digunakan yaitu Montelukast atau zafirlukast. Antagonis reseptor leukotriene bekerja pada inhibisi leukotriene yang dilepaskan oleh sel mast dan eosinophil. Apabila digunakan sebagai agen tunggal, dapat mengurangi gejala dari rinitis alergi musiman, serupa dengan loratadine.24,25



31



2.2.10.2.5 Dekongestan Dekongestan dapat digunakan sebagai terapi simtomatik, untuk mengatasi keluhan hidung tersumbat. Mekanisme dari dekongestan yaitu melalui vasokonstriksi, dan bekerja mengatasi reaksi vasodilatasi sinusoid mukosa hidung yang terjadi akibat pelepasan histamin. Dekongestan tersedia dalam bentuk sistemik atau topikal. Dekongestan topikal memiliki efek vasokonstriksi lebih cepat dibandingkan dengan sediaan oral dengan onset 15 sampai 30 menit, namun penggunaan sediaan topikal lebih dari 10 hari dapat menyebabkan rebound phenomenon yang mencetuskan terjadinya rinitis medikamentosa. Contoh sediaan dekongestan topikal yaitu ephedrine dan oxymetazoline.



Dekongestan



oral



seperti



ephedrine,



phenylephrine,



phenylpropanolamine dan pseudoephedrine umumnya dikombinasikan dengan anti histamin, namun harus diperhatikan penyakit komorbid pasien seperti hipertensi, infark miokard, galukoma, dan dalam keadaan hamil. Efek samping yang dapat timbul yaitu bersin berkelanjutan serta hidung kering.1,26



2.2.10.2.6 Anti Histamin Golongan kromolin memiliki efek inhibisi degranulasi dari sel mast. Kromolin baik digunakan untuk mengatasi gejala rinorea yang menetap dan dapat digunakan pada anak-anak serta ibu hamil. Walaupun terapi ini aman untuk penggunaan umum, namun tidak dianggap sebagai lini pertama untuk rinitis alergi karena efektivitasnya yang menurun dalam meredakan gejala dibandingkan dengan antihistamin atau kortikosteroid intranasal.26



2.2.10.2.7 Imunoterapi Imunoterapi harus dipertimbangkan bagi pasien rinitis alergi persisten derajat sedang atau parah yang tidak responsif terhadap pengobatan biasa. Imunoterapi merupakan satu-satunya terapi yang dapat mengubah perjalanan alami dari patofisiologi rinitis alergi sehingga mencegah eksaserbasi. Imunoterapi terdiri dari ekstrak alergen yang diberikan secara sublingual atau subkutan selama beberapa tahun, dengan periode maintenance umumnya tiga sampai lima tahun.26,28 Mekanisme kerja dari imunoterapi adalah mengatur aktivitas sel T regulator untuk menjaga toleransi sel T perifer (rasio Th1/Th2).1 Bentuk sediaan dari imunoterapi yaitu injeksi subkutan, tetes sublingual, tablet 32



atau intranasal. Imunoterapi sediaan injeksi subkutan merupakan bentuk paling umum. Indikasi untuk imunoterapi meliputi respon gagal dari pemerian farmakoterapi, untuk mengurangi morbiditas dari rinitis alergi atau asma, efek samping yang tidak diinginkan dari farmakoterapi, serta ketika tatalaksana penghindaran tidak memungkinkan. Sedangkan kontraindikasinya yaitu pasien dalam penggunaan betablockers, usia < 5 tahun, pasien dengan penyakit imun lainnya, serta kondisi hamil.1,27



2.2.10.3 Tatalaksana Operatif Pada pasien dengan rinitis alergi kronis, dapat terjadi hipertrofi turbinat inferior yang resistan terhadap obat, sehingga menyebabkan penyumbatan hidung terus menerus dan sekret karena peningkatan struktur glandular. Indikasi dari intervensi operatif yaitu: •



Hipertrofi turbinat inferior yang resistan terhadap obat







Abnormalitas anatomi dengan gangguan fungsi septum







Variasi anatomi dari piramida tulang dengan relevansi fungsional







Sinusitis kronik sekunder







Polyposis unilateral nasal







Fungal sinus (misetoma bentuk invasif) atau patologi lainnya seperti kebocoran cairan serebrospinal, papilloma, tumor).29



Tindakan yang dapat dilakukan yaitu, •



konkoplasti inferior parsial. Tindakan pembedahan ini dengan pemotongan sebagian turbinat inferior, sehingga gejala seperti obstruksi dan rinorea diharapkan berkurang







Neurektomi nasal posterior, namun vidian neurektomi tidak disarankan karena memiliki efek samping pada fungsi lakrimasi jangka panjang serta efek paralisis pada nervus kranialis VI.







Ablasi frekuensi radio dari turbinat inferior menurut sebuah studi menunjukkan dapat menurunkan resistensi hidung memperbaiki penyumbatan, dibandingkan dengan intranasal steroid.30



33



2.2.11 Komplikasi Komplikasi dari rinitis alergi termasuk asma, sinusitis, otitis media, apnea, masalah dental yang diakibatkan oleh pernapasan mulit, abnormalitas palatal serta disfungsi tuba eustasius. Konsep jalan napas menggambarkan bahwa saluran pernapasan berfungsi secara menyatu, sehingga inflamasi pada saluran pernapasan atas akan menjadi faktor predisposisi inflamasi pada saluran pernapasan bawah, karena mukosa saluran pernapasan atas dan bawah memiliki struktur yang mirip, terdapat respons inflamasi yang serupa pada rinitis dan asma. Stimulasi dari saluran hidung dengan antigen dapat menginduksi inflamasi bronkial. Rhinosinusitis kronis juga merupakan salah satu komplikasi dari rinitis alergi, yang ditandai dengan gejala hidung tersumbat yang disertai sekret dan berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Polip hidung juga dapat ditemukan sebagai akibat dari inflamasi kronis pada mukosa sinus paranasap, polip ini umumnya bersifat jinak dan muncul secara bilateral. Insidens polip terestimasi 4% pada pasien dengan rinitis alergi dan lebih sering terjadi pada laki-laki.31,32



Gangguan tidur pada rinitis alergi merupakan akibat dari peningkatan mediator inflamatori dan sitokin. Histamin dan reseptor histamin H1 berperan dalam menjaga arousal dan siklus tidur. Cysteinyl leukotrienes juga memegang peran melalui kaskade inflamatori. Obstruksi nasal dapat menyebabkan penurunan diameter hidung dan meningkatkan resistensi saluran napas yang dapat menyebabkan OSA. Hidung tersumbat juga sering kali disertai dengan pernapasan mulut, sehingga lidah bergeser kebawah dan mengurangi diameter faring yang juga merupakan faktor resiko untuk OSA.31



Otitis media ditandai sebagai adanya cairan pada kavitas telinga dibelakang membrane timpani yang utuh tanpa adanya tanda infeksi. Inflamasi alergi berkontribusi pada pathogenesis otitis media dengan adanya pembengkakan serta blokade dari tuba eustasius yang menyebabkan inflamasi sekunder pada telinga tengah. Mengecilnya ukuran lumen dari tuba eustasius yang inflamasi juga dapat menghambat mukosiliar sehingga menyebabkan efusi telinga tengah dan menjadi otitis media.31



2.2.12 Prognosis Umumnya prevalensi rinitis alergi memuncak pada masa remaja dan secara bertahap menurun seiring bertambahnya usia. Pada sebuah penelitian, pada follow up tahun ke 23, 54.9% pasien menunjukkan perbaikan gejala dan 41.6% diantaranya bebas gejala. Pasien yang mulai mengalami gejala pada usia muda cenderung menunjukkan perbaikan. Tingkat 34



keparahan rinitis alergi bervariasi dari berbagai faktor seperti lokasi dan musim. Sekitar 50% pasien yang menerima terapi imunoterapi alergen ditemukan perbaikan gejala yang berlanjut tiga tahun setelah penghentian terapi.4



35



BAB III KESIMPULAN



Rinitis alergi merupakan diagnosis yang dapat ditegakkan melalui temuan klinis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan baku emas untuk rinitis alergi yaitu tes tusuk kulit, yang dilakukan untuk menentukan alergen spesifik yang memicu reaksi alergi. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan IgE spesifik, sitologi sekret atau mukosa pada hidung, serta tes provokasi hidung. Pemeriksaan darah lengkap juga dapat dilakukan untuk melihat reaksi inflamasi. Pencitraan dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit penyerta seperti rhinosinusitis atau polip nasal.1



Tatalaksana terbagi menjadi non-medika mentosa, medikamentosa, imunoterapi serta tindakan pembedahan. Tatalaksana non-medikamentosa meliputi penghindaran terhadap alergen serta terapi cuci hidung, untuk pembersihan mukosa hidung. Medikamentosa diberikan untuk mengatasi reaksi inflamasi pada rinitis alergi, obat yang diberikan berupa antihistamine H1 reseptor, glukokortikoid intranasar, dekongestan intranasal, Antagonis reseptor leukotriene atau golongan kromolin. ARIA telah menerbitkan logaritma untuk tatalaksana rinitis alergi. Tindakan pembedahan seperti konkotomi inferior parsial serta posterior nasal neurektomi diindikasikan apabila terapi medikamentosa tidak memberikan hasil, serta adanya abnormalitas anatomis.26,29



Prognosis pada rinitis alergi cenderung baik, namun penting halnya untuk mengetahui alergen yang menjadi penyebab reaksi inflamasi. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan gejala pada tahun pertama setelah diberikan terapi. Umumnya pasien dapat melanjutkan kehidupannya dengan perbaikan gejala, apabila terus menghindari faktor pemicu dan tatalaksana yang tepat.



36



DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo E. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : EGC,2019. 2. Galarza-Paez L, Marston G, Downs BW. Anatomy, Head and Neck, Nose. [Updated 2020 Aug 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/ 3. Creighton F, Bergmark R, Emerick K. Drainage Patterns to Nontraditional Nodal Regions and Level IIB in Cutaneous Head and Neck Malignancy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2016 Dec;155(6):1005-1011. [PubMed] [Reference list] 4. Akhouri S, House SA. Allergic Rhinitis. [Updated 2020 Nov 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/ 5. Varshney J, Varshney H. Allergic Rhinitis: an Overview. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2015 Jun;67(2):143-9. 6. Varshney, J., & Varshney, H. (2015). Allergic Rhinitis: an Overview. Indian journal of otolaryngology and head and neck surgery : official publication of the Association of Otolaryngologists of India, 67(2), 143–149. https://doi.org/10.1007/s12070-015-08285 7. Wheatley, L. M., & Togias, A. (2015). Clinical practice. Allergic rhinitis. The New England



Journal



of



Medicine,



372(5),



456-463.



http://doi.



org/10.1056/NEJMcp1412282 8. Akhouri S, House SA. Allergic Rhinitis. [Updated 2020 Nov 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/ 9. Min Y. G. (2010). The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy,



asthma



&



immunology



research, 2(2),



65–76.



https://doi.org/10.4168/aair.2010.2.2.65 10. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Proceedings of the American Thoracic Society [Internet]. 2015 [cited 15 December 2020];8(1). Available from: https://www.atsjournals.org/doi/full/10.1513/pats.201008-057RN 11. Bousquet J, Jacquot W, Vignola A, Bachert C, van Cauwenberge P. Allergic rhinitis: a disease remodeling the upper airways? J Allergy Clin Immunol 2004;113:43–49.



37



12. Wheatley, L. M., & Togias, A. (2015). Clinical practice. Allergic rhinitis. The New England



Journal



of



Medicine,



372(5),



456-463.



http://doi.org/10.1056/NEJMcp1412282 13. Lakhani N, North M, K. Ellis A. Clinical Manifestations of Allergic Rhinitis. Journal of Allergy & Therapy. 2016;01(S5). 14. Small, P., Keith, P.K. & Kim, H. Allergic rhinitis. Allergy Asthma Clin Immunol 14, 51 (2018). https://doi.org/10.1186/s13223-018-0280-7 15. Wise SK, Lin SY, Toskala E, Orlandi RR, Akdis CA, Alt JA, Azar A, Baroody FM, Bachert C, Canonica GW, Chacko T, Cingi C, Wickman M, Zacharek M. International Consensus Statement on Allergy and Rhinology: Allergic Rhinitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2018 Feb;8(2):108-352. 16. Small P, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011 Nov 10;7 Suppl 1:S3. 17. Heinzerling, L., Mari, A., Bergmann, K. C., Bresciani, M., Burbach, G., Darsow, U., Durham, S., Fokkens, W., Gjomarkaj, M., Haahtela, T., Bom, A. T., Wöhrl, S., Maibach, H., & Lockey, R. (2013). The skin prick test - European standards. Clinical and translational allergy, 3(1), 3. https://doi.org/10.1186/2045-7022-3-3 18. Leader P, Geiger Z. Vasomotor Rhinitis. [Updated 2020 Aug 16]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK547704/ 19. A. Bernstein J. Non-allergic rhinitis. [Internet]. 2019 [cited 14 December 2020];. Available from: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/231 20. Wahid NWB, Shermetaro C. Rhinitis Medicamentosa. [Updated 2020 Sep 11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538318/ 21. Ah-See K. (2015). Sinusitis (acute rhinosinusitis). BMJ Clinical Evidence, 2015, 0511 22. Hermelingmeier, K. E., Weber, R. K., Hellmich, M., Heubach, C. P., & Mösges, R. (2012). Nasal irrigation as an adjunctive treatment in allergic rhinitis: a systematic review and meta-analysis. American journal of rhinology & allergy, 26(5), e119–e125. https://doi.org/10.2500/ajra.2012.26.3787 23. Okano M. (2017). Mechanisms and clinical implications of glucocorticosteroids in the treatment of allergic rhinitis. Clinical and experimental immunology, 158(2), 164–173. https://doi.org/10.1111/j.1365-2249.2009.04010.x



38



24. A novel intranasal therapy of azelastine with fluticasone for the treatment of allergic rhinitis. Carr W, Bernstein J, Lieberman P, Meltzer E, Bachert C, Price D, Munzel U, Bousquet JJ. Allergy Clin Immunol. 2012 May; 129(5):1282-1289.e10. 25. Sarvis K. Advancements in the Management of Allergic Rhinitis. US Pharmacist [Internet].



2012



[cited



15



August



2019];33(7).



Available



from:



https://www.uspharmacist.com/article/advancements-in-the-management-of-allergicRinitis 26. K. SUR D, SCANDALE S. Treatment of Allergic Rhinitis. American Family Physician Journal. 15;81(12):1440-1446. [Internet]. 2016 [cited 15 December 2020];. Available from: https://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.html#afp20100615p1440-b30 27. Georgy MS, Saltoun CA. Chapter 3: Allergen immunotherapy: definition, indication, and reactions. Allergy Asthma Proc. 2012 May-Jun;33 Suppl 1:9-11. doi: 10.2500/aap.2012.33.3533. PMID: 22794676. 28. Bergmann KC, Demoly P, Worm M, Fokkens WJ, Carrillo T, Tabar AI, et al. Efficacy and safety of sublingual tablets of house dust mite allergen extracts in adults with allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2014;133:1608-14. 29. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, Zuberbier T, Baena-Cagnani CE,; World Health Organization. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update (in collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen). Allergy. 2008 Apr;63 Suppl 86:8-160. doi: 10.1111/j.13989995.2007.01620.x. 30. Settipane RA. Complications of allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc. 2014 JulAug;20(4):209-13. doi: 10.2500/108854199778339053. PMID: 10476318. 31. Kakli HA, Riley TD. Allergic Rhinitis. Prim Care. 2016 Sep;43(3):465-75. 32. D A. Allegric Rhinitis: Pearls of Wisdom. Scholarly Journal of Otolaryngology. 2019;3(2). 33. Blanc S, Bourrier T, Albertini M, Chiaverini C, Giovannini-Chami L (June 2015). "Dennie-Morgan fold plus dark circles: suspect atopy at first sight". The Journal of Pediatrics. 166 (6): 1541. doi:10.1016/j.jpeds.2015.03.033. PMID 25890677. 34. de Groot H, Brand PL, Fokkens WF, Berger MY. Allergic rhinoconjunctivitis in children. BMJ (Clinical Research ed.). 2007 Nov;335(7627):985-988. DOI: 10.1136/bmj.39365.617905.be.



39



35. Minciullo, PL; Paolino, G; Vacca, M; Gangemi, S; Nettis, E (1 September 2016). "Unmet diagnostic needs in contact oral mucosal allergies". Clinical and Molecular Allergy. 14 (1): 10. doi:10.1186/s12948-016-0047-y. PMC 5007719. PMID 27587983. 36. Mucci T, Govindaraj S, Tversky J. Allergic Rhinitis. Mount Sinai Journal of Medicine: A Journal of Translational and Personalized Medicine. 2011;78(5):634-644. 37. Bjermer, L., Westman, M., Holmström, M. et al. The complex pathophysiology of allergic rhinitis: scientific rationale for the development of an alternative treatment option.Allergy Asthma Clin Immunol 15, 24 (2019). https://doi.org/10.1186/s13223018-0314-1. 38. Mahon B.M., Desai B.K. (2016) Epistaxis Control. In: Ganti L. (eds) Atlas of Emergency



Medicine



Procedures.



Springer,



New



York,



NY.



https://doi.org/10.1007/978-1-4939-2507-0_53. 39. Perry M., Holmes S. (2014) Nasal Fractures. In: Perry M., Holmes S. (eds) Atlas of Operative



Maxillofacial



Trauma



Surgery.



Springer,



London.



https://doi.org/10.1007/978-1-4471-2855-7_10 40. Shemul A. Anatomy Physiology of Nose, Nasal and Paranasal Sinus. Otolaryngology [Internet].



2014



[cited



13



December



2020];.



Available



from:



https://pedimedicine.org/anatomy-nose-nasal-paranasal-sinus/ 41. Maqbool M, Maqbool S, House F. Anatomy of Nose and Paranasal Sinus. Textbook of Ear Nose and Throat Diseases. Eleven edition. India, Jaypee Brothers Medical Publisher;2007. p. 147–62. 42. Yang J, Dai L, Yu Q, Yang Q. Histological and anatomical structure of the nasal cavity of Bama minipigs. PLOS ONE. 2017;12(3):e0173902.



40