Rhinitis Alergi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ewin
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



RHINITIS ALERGI



Disusun oleh : Ewin Sadana Hutapea



160100016



PEMBIMBING: dr. Lia Restimulia, Sp.THT-KL



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020



KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tidak lupa pula penulis sampaikan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW, semoga kelak kita mendapatkan syafa’at Beliau di akhirat nanti. Aamiin Aamiin yaa Rabbal’Alamiin. Dengan selesainya penulisan makalah ini yang berjudul “Rhinitis Alergi” yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Lia Restimulia, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah.



Medan,



September 2020



Penulis



i



LEMBAR PENGESAHAN Telah dibacakan pada tanggal



:



Nilai



:



Penguji



dr. Lia Restimulia, Sp.THT-KL



ii



DAFTAR ISI



Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Tujuan ............................................................................................... 2 1.3 Manfaat ............................................................................................. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3 2.1 Definisi Rhinitis Alergi ................................................................... 3 2.2 Epidemiologi .................................................................................... 3 2.2.1 Global ...................................................................................... 3 2.2.2 Indonesia ................................................................................. 3 2.3 Klasifikasi ........................................................................................ 4 2.4 Etiologi ............................................................................................. 4 2.5 Patofisioloigi .................................................................................... 6 2.6 Diagnosis .......................................................................................... 8 2.6.1 Anamnesis ............................................................................... 8 2.6.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................... 9 2.6.3 Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 10 2.7 Diagnosa Banding ............................................................................ 11 2.8 Tatalaksana....................................................................................... 11 2.9 Komplikasi ....................................................................................... 14 2.10 Edukasi dan Prognosis ..................................................................... 14 BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 15 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 16



iii



DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Cara Masuk Alergen ................................................................. 5 Gambar 2.2 Patofisiologi Alergi.................................................................... 8 Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi ............................. 13



iv



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis merupakan masalah kesehatan global, walaupun tidak bersifat serius namun rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Peningkatan ini disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan (Husni et al, 2020). Menurut Brozek (2017), rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di rongga hidung yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan terhadap suatu alergen. Golongan alergen yang paling sering menimbulkan rhinitis alergi adalah alergen indoor seperti tungau debu rumah dan komponen sel epitel bulu peliharaan, serta alergen outdoor seperti serbuk sari dan bagian tumbuhan. Penegakan diagnosis rhinitis alergi dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Anamnesis penting untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dan frekuensi gejala. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda-tanda rhinitis alergi seperti nasal crease, sekret hidung, deviasi septum, serta manifestasi rhinitis alergi pada hidung, mata, dan orofaring. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa skin test dan pemeriksaan kadar IgE. Dibandingkan dengan beberapa kondisi medis yang lain, rhinitis alergi jarang sekali menimbulkan masalah yang berat karena penyakit ini tidak menimbulkan kejadian morbiditas dan mortalitas yang berat namun beban biaya menjadi suatu hal yang penting pada kasus ini. Rhinitis alergi akan menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan jumlah dan kualitas tidur, fungsi kognitif sehingga pasien menjadi semakin lelah dan tidak dapat menjalankan fungsinya, baik dalam pekerjaan atau sekolah.



1



2



1.2 Tujuan Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan Rhinitis Alergi serta untuk melengkapi tugas di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.3 Manfaat Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal tentang Rhinitis Alergi.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rhinitis Alergi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO-ARIA tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia. Rinitis alergi dapat mengganggu produktivitas kerja, prestasi di sekolah, aktivitas sehari-hari, bahkan dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. Keadaan seperti ini dapat menurunkan kualitas hidup (Adelien & Puspa Z., 2018). 2.2 Epidemiologi 2.2.1 Global Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika, prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena pada umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya dan penurunan kualitas hidup (Min, Y.G., 2010). Pada suatu survei di Amerika mengenai gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar 5-45% (Fauzi et al, 2015). 2.2.2 Indonesia Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di Indonesia. Suatu penelitian di Bandung menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS.



3



4



Hasan Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar 64.6% pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan sekitar 45.1% berprofesi sebagai pelajar (Fauzi et al, 2015). 2.3 Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala (Huriyati E. & Hafiz A., 2011) : 1. Intermitten, bila gejala terdapat: • Kurang dari 4 hari per minggu • Atau bila kurang dari 4 minggu 2. Persisten, bila gejala terdapat: • Lebih dari 4 hari per minggu • Dan bila lebih dari 4 minggu Berdasarkan beratnya gejala (Huriyati E. & Hafiz A., 2011): 1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut : • Gangguan tidur • Gangguan aktivitas harian • Gangguan pekerjaan atau sekolah 2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut diatas. 2.4 Etiologi Rhinitis Alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab alergi rinitis tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak yang mengalami gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab alergi rinitis dapat berbeda tergantung



dari



klasifikasi. Beberapa



pasien



sensitif



terhadap



beberapa



alergen. Alergen yang menyebabkan alergi rinitis makan biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Alergi rinitis perenial (sepanjang tahun), yaitu debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan



5



Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, bulu binatang peliharaan, serta kecoa dan binatang pengerat. Faktor risiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor faktor udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Snow, J B. et al, 2003) Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: a. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. b. Alergen injektan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang. c. Alergen injeksi, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau mukosa jaringan, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.



Gambar 2.1 Cara Masuk Alergen.



Dengan masuknya antigen ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari (Irawati et al. 2012) :



6



a. Primer respon Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi bertahan menjadi respon sekunder. b. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan kemungkinan



adalah



imunitas



seluler



atau



humoral



atau



keduanya



dibangkitkan.Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlangsung menjadi respon tersier . c. Respon lebih tersier Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. 2.5 Patofisiologi Menurut Irawati et al. (2012), Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi alergi fase langsung atau reaksi reaksi fase cepat (RAFC) yangberlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi fase akhir atau reaksi reaksi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6 -8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histo kompatibilitas Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan



7



akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka rantai kedua IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL 5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lainlain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan mengantisipasi mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Histamin juga akan mengantisipasi mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Histamin juga akan mengantisipasi mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini



8



tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan terus berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsiapa hidung adalah akibat perang dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala spertiasap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.



Gambar 2.2 Patofisiologi Alergi



2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan pasien.



9



Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik. Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan (Huriyati E. & Hafiz A., 2011). Gejala yang sering dikeluhkan pasien dengan rhinitis alergi antara lain, bersin, rasa gatal pada hidung, gatal pada mata, gatal pada telinga dan langit-langit mulut serta hidung yang terasa menyumbat. Dugaan adanya rhinitis alergi akan semakin besar jika pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala yang ada dan keluhan berlangsung lebih dari satu jam serta terjadi hampir setiap hari (Min Y.G., 2010). 2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) (Irawati et al. 2012).



10



2.6.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada (Huriyati E. & Hafiz A., 2011). 1.Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia. 2.IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik. 3.IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan



gejala



klinis



yang



positif.



Sejak



ditemukan



teknik



RAST



(Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja. 4.Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung. 5.Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test). Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif. 6.Foto polos sinus paranasal/CT Scan/Mri. Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi.



11



2.7 Diagnosa Banding Diagnosis banding rhinitis alergi adalah sebagai berikut: ▪



Rhinitis lain: rhinitis vasomotor, rhinitis nonalergi, non-allergic rhinitis with nasal



eosinophilia



syndrome (NARES),



rhinitis



gustatory,



rhinitis



medikamentosa, rhinitis anatomic, rhinitis granulomatosa, atau rhinitis viral. ▪



Penyakit hidung lain: diskinesia silier, polip hidung, sinusitis akut, sinusitis kronik.



2.8 Tatalaksana Menurut Irawati et al. (2012), tatalaksana rhinitis alergi sebagai berikut : • Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. • Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin



12



yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. • Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan



13



bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. • Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.



Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi.



14



2.9 Komplikasi Menurut Irawati et al. (2012), komplikasi rhinitis alergi sebagai berikut : •



Polip Hidung Beberapa penelitian mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidup.







Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak







Sinusitis paranasal



2.10 Edukasi dan Prognosis Edukasi terkait rhinitis alergi kepada pasien adalah dengan cara mengenali dan menghindari alergen pencetus, alergen yang bersifat nonspesifik. Karena alergen yang paling banyak menimbulkan rhinitis alergi adalah tungau debu rumah maka upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan membersihkan seluruh perlengkapan rumah dengan air bersuhu 60° C. Aspek edukasi lainnya adalah terkait pengobatan rhinitis alergi. Pasien harus berobat secara teratur dan kontrol rutin setiap 2-4 minggu untuk dapat dievaluasi respon terapinya sehingga dokter dapat menentukan apakah diperlukan step up atau step down. Prognosis rhinitis alergi cenderung baik karena jarang menyebabkan mortalitas tetapi penyakit ini memiliki risiko komplikasi dan komorbid yang cukup tinggi, serta penurunan kualitas hidup (Brozek, 2017), (Min Y.G., 2010).



BAB III KESIMPULAN Rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di rongga hidung yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan terhadap suatu alergen. Anamnesis penting untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dan frekuensi gejala. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda-tanda rhinitis alergi seperti nasal crease, sekret hidung, deviasi septum, serta manifestasi rhinitis alergi pada hidung, mata, dan orofaring. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa skin test dan pemeriksaan kadar IgE. Tatalaksana yang diberikan yaitu, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi.



15



16



DAFTAR PUSTAKA Adelien and Puspa, Z., 2018, ‘Pemeriksaan Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung pada Penderita Rinitis Alergi’, JK UNILA, vol. 2, no. 2, pp. 151-156. Brozek JL. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines-2016 revision. 2017. Fauzi, Sudiro, M., Lestari, B. W., 2015, ‘Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health Organization ( ARIA-WHO ) questionnaire among Batch 2010 Students of the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran’. Althea Medical Journal, vol. 2, no. 4, pp. 620-625. Huriyati E. & Hafiz A., 2011, ‘Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial’, Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, pp. 1-14. Husni, T., Yusni, Fadhila, 2018, ‘Perbandingan Kadar Immunoglobulin E Serum Pada Pasien



Rinitis Alergi Dengan Faktor Risiko Genetik’, Journal of



Medical Science, vol. 1, no. 1, pp 55-60. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2012. ‘Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher’ .Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI Min, Y., G. , 2010. ‘The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis’. Allergy, Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, p. 65-76. Snow, J B., Ballenger, J J. 2003. Allergi Rinitis.IN:Ballenger's Otorhinolaryngology Bedah Kepala dan Leher Edition 9 th .Spain: SM Decker; 708-731