Rihlah Ziarah Seri 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU SERI 1



RIHLAH ZIARAH AULIA 1. SYAIKH CILIWULUNG 2. SYAIKH HASAN BASRI 3. SYAIKH ASTARI 4. SYAIKH UMAR RENCALANG 5. SYAIKH NAWAWI MANDAYA 6. PANGERAN SUNYARARAS 7. KH. M. DAHLAN TANJAKAN



1



DAFTAR ISI 1.



Sejarah Kresek: Pelurusan dan Penyempurnaan …………………..



3



2.



Syeikh Ciliwulung ………………………………………………….



11



3.



Syaikh Hasan Basri Cakung ……………………………………….



15



Masjid Cukulan ……………………………………………………



18



4.



Syaikh Astari Cakung ……………………………………………...



21



5.



Syaikh Umar Rencalang ……………………………………………



37



Kh. Syanwani Sampang berguru kepada Syaikh Umar ……………



40



Menara unik buatan Syaikh Umar di Masjid Tanara ………………



41



6.



Syaikh Nawawi Mandaya ………………………………………….



42



7.



Pangeran Sunyararas datuk penghulu Ulama Hijaz ………………..



47



8.



Kh. Muhammad Dahlan Tanjakan …………………………………



48



2



SEJARAH KRESEK:PELURUSAN DAN PENYEMPURNAAN Oleh: Balai adat Tangerang Zaman dahulu nama Kresek lebih dikenal dengan nama Cakung. Data belanda tahun 1900 tentang tanah distrik Balaraja, bahwa distrik balaraja terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear), Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri), Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan Kresek). Seperti Pasilian yang berubah menjadi Kronjo begitu pula Cakung berubah menjadi Kresek. Sedangkan Cakung sendiri sekarang ini masuk wilayah dua Kabupaten, yaitu desa Cakung yang masuk kecamatan Binuang Kabupaten Serang. Dan Kampung Cakung yang masuk ke wilayah Desa Kandawati Kecamatan Gunungkaler. Gunungkaler sendiri adalah pemekaran dari Kecamatan Kresek pada tahun 2008. Letak geografis Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas ribu jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama. Bahasa Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang rekatif dekat, juga karena memang



3



sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan sultan Banten yang nanti akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek. Asal-Usul Masyarakat Kresek Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut. PANGERAN JAGA LAUTAN Dalam tulisan ini penulis juga ingin mencoba memberikan informasi tentang sosok Pangeran Jagalautan. Data tentang dirinya begitu banyak versi. Kebetulan tanpa sengaja penulis diberi kemudahan oleh Allah untuk mendapatkan data-data sejarah yang berupa manuskrip-manuskrip kuno dan tulisan-tulisan keluarga yang semula enggan dibuka namun sekarang sudah mau membukanya, mungkin juga yang demikian itu karena banyaknya kekeliruan serta asumsi juga cerita-cerita tutur tinular yang tanpa dasar yang beredar mengenai sosoknya. Penulis berharap tulisan ini (Agustus 2017) merupakan antitesis terhadap tulisantulisan penulis tentang Sejarah Cakung dan Kresek yang penulis tulis tahun 2012. Karena tulisan penulis pada tahun itu hanya berdasar kepada catatan-catatan silsilah keluarga dan cerita keluarga secara tutur tinular turun temurun, tanpa buku induk yang menjadi panduan. Waktu itu tujuan penulis adalah menjaga apa yang penulis ketahui agar tidak hilang dan dapat menjadi acuan dan informasi awal. Selain bahwa ajal manusia itu tidak ada yang tahu kapan datangnya. Penulis takut data ini akan terkubur lagi bersama penulis dan tidak diketahui oleh yang mestinya mengetahui. Karena tidak semua keluarga mempunyai catatan silsilah itu. Dan yang mengetahui begitu erat menjaga agar silsilah itu tidak tersebar. Data-data selanjutnya yang penulis dapatkan kemudian menjadi jawaban kenapa para leluhur menyembunyikan silsilah keluarga mereka bahkan ada keturunannya sekarang yang nyaris kepaten obor tidak mengetahui siapa dirinya dan darimana asalnya. Tekanan dan ancaman intimidasi dari penguasa VOC kepada para anak cucu pejuang yang antikompromi dengan belanda dan sebagian yang mulai ingin hidup normal seperti masarakat lainnya adalah alasan alasan yang dapat dimaklumi. Secara pribadi saya ucapkan terimaksih yang tak terhingga kepada Keluarga besar Babad Kesulthanan Banten terutama Kang Tubagus Mogy Nurfadhil dan Tubagus Sholeh yang telah membawa buku penting yang salinan aslinya ditulis tahun 1830 M dalam tulisan pegon (arab gundul) berbahasa Sunda. Buku itu berjudul 'Pararimbon ke-ariyaan Parahiyang'. Dalam Buku itu jelas



4



disebutkan siapa nama asli Syekh Ciliwulung, siapa ayah dan ibunya, siapa saudara-saudaranya?. Terimakasih juga kepada Kang Lutfi dan Kang Muklis dan seluruh keluarga Lengkong yang berkenan membuka data papakem Lengkong untuk disesuaikan dengan data kresek. Juga kepada Kang Bayu Yasin dan Kang yang telah membawakan data penting berumur 346 tahun tentang hari syahidnya Syekh Ciliwulung. Dan terimakasih kepada seluruh keluarga Nonoman Sumedang Larang yang membantu menemukan makam Pangeran Wiraraja ayah Raden Kenyep/Arya Wangsakara di Sumedang. Tidak lupa terimakasih kepada kakanda KH. Mustanjid dan KH. Maujud sebagai pemegang beberapa data penting keluarga besar Kresek-Cakung. Dari bukti-bukti sejarah berupa manuskrip, kitab, dan ranji silsilah yang disebutkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Silsilah Syekh Ciliwulung adalah Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja Sumedang bin Prabu Gesan Ulun. 2. Nama asli Syekh Ciliwulung yaitu Raden Wiranegara. Syekh Ciliwulung syahid dalam perang tirtayasa di Tanara pada hari Sabtu tanggal 26 haji 1093 hijriah atau tahun 1682. 3. Raden Kenyep mempunyai banyak nama lain yaitu: Raden Arya Wangsakara, Imam Haji Wangsaraja, Arya Tangerang I, Raden Wiraraja II, Kiayi Lenyep dan Kiayi Narantaka. 3. Nama Wiranegara untuk Syekh Ciliwulung ini adalah nama keluarga dari ibu Syekh Ciliwulung yang bernama Ratu Maemunah binti Tubagus Idham (RTb. Wiranegara 2) bin RTb. Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/Pangeran Jagalautan) bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin. 4. Pangeran Jagalautan pulo cangkir adalah nama yang dalam data silsilah KresekCakung disebut sebagai ayah raden Kenyep. Dalam dua versi silsilah yang jalur ke atas dari P. Jagalautan yang berbeda dapat dijelaskan bahwa betul Pangeran Jagalautan sebagai leluhur Syekh Ciliwulung, baik versi Banten maupun versi Sumedang. Masalah terjadi karena ada dua nama yang sama yaitu Pangeran Wiraraja Sumedang, nama asli ayah Raden Kenyep dan Pangeran Wiraraja Banten Kakek dari isteri Raden Kenyep. Lalu siapakah Pangeran Jagalautan, apakah P. Wiraraja Sumedang atau P. Wiraraja Banten? Menurut Tubagus Mogy Nurfadhil, Ketua Kekancingan Babad Kesulthanan Banten, bahwa pangeran Jagalautan yang disebut sebagai putra Maulana Hasanuddin itu sebenarnya adalah cucunya. Karena nama Jagalautan tidak ditemukan dalam data Banten sebagai anak Maulana Hasanudin. Hal ini terbantu



5



oleh data Tangerang bahwa ibu Syekh Ciliwulung adalah Ratu Maimunah bin Tubagus idham. Dan data dari buku Nasab Jayadiningrat bahwa P. Sunyararas mempunyai cucu bernama Wiranegara sama dengan nama Syekh Ciliwulung dalam data Tangerang tahun 1830 M. Dapat ditarik benang merah, menurut Tubagus Mogy, bahwa pencatatan keluarga itu terjadi distorsi antara cucu kepada anak dan antara menantu menjadi anak. Sebagaimana dimaklumi sebagian keturunan Syekh Ciliwulung menulis silsilah syekh Ciliwulung begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Jagalautan bin Maulana Hasanuddin. Sebagian lagi mencatat begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin P. Jagalautan bin...pangeran sumedang bin Prabugesan ulun. Pernah terjadi musyawarah para keturunan Syekh Ciliwulung di Pulau Cangkir pada tahun 2013 ditengahi oleh Tubagus Fathul Adzim dari kenadziran Banten yang menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan adalah sebagai anak dari Maulana Hasanudin, tetapi keputusan musyawarah itu tidak kemudian diikuti secara menyeluruh oleh para keturunan syekh Ciliwulung karena Tubagus FathulAdzim ketika menetapkan tidak bersumber kepada data apapun selain cerita orangtua dan kata hati. Menurut Tubagus Mogy data silsilah dua versi ini tidak mutlak salah dan tidak mutlak benar. Karena memang Syekh Ciliwulung adalah keturunan Maulana Hasanuddin dan juga Prabu Geusan Ulun. Yang salah dari dua versi penulisan silsilah ini hanyalah penempatan cucu menjadi anak dan menantu menjadi anak. Menurut Tubagus Mogy, silsilah Syekh Ciliwulung dari garis ayah yang benar yang sesuai dengan data kesulthanan Banten dan data Tangerang tahun 1830 adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun raja Sumedang. Adapun dari jalur ibu adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung (Raden Wiranegara) bin Ratu Maimunah bin Tubagus Idham(Rtb Wiranegara 2) bin Rtb Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/P.Jagalutan) bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin. Sebelumnya, Tubagus Mogy cenderung menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan ini adalah Pangeran Wiraraja Sumedang, ayah dari Raden Kenyep. Tetapi dibantu oleh Nonoman krathon Sumedang Larang dapat ditemukan bahwa ayah Raden Kenyep yaitu Pangeran Wiraraja dimakamkan disebuah bukit yang diitari oleh sungai didesa Darmawangi kecamatan Tomo Sumedang. Maka sebelumnya disimpulkan bahwa jika Pangeran Wirarja adalah Pangeran Jagalautan maka makam yang ada di Pulau Cangkir hanya petilasan saja. Tetapi ketika ditemukan data bahwa Syekh Ciliwulung adalah cicit Pangeran Wiraraja Banten bin Pangeran Sunyararas maka besar kemungkinan Pangeran Jagalautan Pulocangkir ini adalah Mas Wi atau Pangeran Wiraraja Banten.



6



Maka berdasar kepada teori ilmu sejarah nasab, kemungkinan Pangeran Jagalautan pulocangkir adalah pangeran wiraraja bin pangeran Sunyararas adalah 90% mendekati kesesuaian. Sepuluh persen lagi adalah kemungkinan ditemukannya data pembanding yang lebih kuat yang berbeda dengan penelitian ini. Tubagus Mogy berharap tulisan silsilah Syekh Ciliwulung dari para keturunannya ke depan agar menyesuaikan dengan penelitian Kekancingan Babad Kesulthanan Banten ini agar sesuai dengan buku induk nasab kesulthanan Banten. Dan agar tidak menjadi kebingungan dihari kemudian. Dengan hasil penelitian ini juga diharapkan pengurus makam karomah Pangeran Jagalautan Pulocangkir Kronjo mengikuti penulisan silsilah pangeran Jagalautan sebagaimana tadi telah disebutkan. Dan alangkah lebih bagus bila penulisan itu juga menyertakan alias. Jadi ditulis Pangeran Jagalautan alias Maswi alias Pangeran Wiraraja bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin. Penulisan alias dalam data sejarah sangatlah penting karena terkadang dalam buku sejarah pelaku sejarah ditulis dalam satu peristiwa sejarah dengan satu nama dan dalam peristiwa yang lain dengan nama lainnya. Kemudian dikira satu orang ini adalah dua orang karena tidak diketahui bahwa ia mempunyai nama yang lain. ANAK RADEN KENYEP Distorsi yang lain dari catatan-catatan Kresek-Cakung adalah bahwa Raden Kenyep mempunyai banyak anak yang semuanya menggunakan nama depan Cili. Dalam cerita-cerita yang kemudian ditulis bahwa Raden Kenyep mempunyai anak Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin, Cilimandira, Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred. Kisah mengenai nama anak Raden Kenyep di atas tidak berdasar data sejarah apapun. Yang demikian itu hanya berdasar pada asumsi dari kesamaan nama depan mereka yang menggunakan nama cili. Ada dua data yang bisa mebantah bahwa Raden Kenyep mempunyai anak yang semua bernama Cili. Yang perama buku Pararimbon keariyaan parahyang yang menyebutkan dengan jelas nama-nama isteri dan anak Raden Kenyep. Dalam data itu Raden Kenyep mempunyai tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan. Dari isteri Nyai Nurmala mempunyai anak Raden Yudanagara dan Raden Raksanagara. Dari isteri Ratu Maemunah mempunyai satu anak yaitu Raden Wiranegara atau Syekh Ciliwulung. Dari isteri Ratu Zakiyah mempunyai empat putri yaitu Raden Ratna sukaesih, Raden Wira Sukaesih, Raden Sukaedah dan Raden Karasupadmi. Yang kedua yang bisa menjelaskan bahwa nama Cili wangsa dsb itu bukan anak Raden Kenyep adalah bahwa nama Cili adalah nama pangkat senapati militer Kesulthanan Banten di bawah senapati utama atau ingalaga. Kemungkinan



7



besar nama ciliglebeg, Ciliwangsa dsb itu berbeda masa dengan Ciliwulung. Karena tidak mungkin ada Pangkat senapati yang begitu banyak dalam satu waktu. SYEKH CILIWULUNG Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya. Syekh Ciliwulung mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sauddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah. Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh (Arya Banten) pada masa pemerintahan sultan Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687) atau yang dikenal dengan sultan Haji. Dari pernikahan ini mempunyai putra bernama Raden Tubagus Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang. Syekh Hasan Bashri mempunyai tiga orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa. Syekh Ibrohim mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah mempunyai anak Ki mualim atau Syekh Alim. Syekh Alim adalah seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Kanisah. Dari Syekh Alim inilah banyak menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya. Selain dari keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya. Sultan Agung Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek Pada tahun 1659 Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.



8



Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de Sultan Ageng’ yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat rumah itu di Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek. Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang. Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC. VOC menganggap kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan dengan pendudukpenduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan berjumlah 100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang. Kraton Surasowan memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang ‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang jawa Mataram. Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa



9



Melayu sehingga kemudian melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi. Dari timur mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang, Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih menggunakan bahasa jawa-Banten. Kemudian di wilayah Selatan mulai dari Padarincang, sebagian Ciomas, Serang, Taktakan, kelapa dua, terus agak ke barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara, kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga siap untuk berperang bila diperintahkan sultan. Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian keturunan mereka berbahasa sunda. Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten. Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda Banten. Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang ‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk Banten mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen seperti yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten. Kini penduduk Banten berjumlah sekitar 10 juta jiwa yang sepertiga dari mereka masih setia menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.



10



SYEKH CILIWULUNG Tidak banyak riwayat yang dapat digali dari tokoh ini, berkaitan dengan kisah-kisah kehidupannya. selain bahwa beliau sangat dihormati setelah wafatnya oleh masyarakat sekitar yang berziarah ke maqbarah beliau yang dianggap berkaromat. Setiap hari terutama malam jum'at para peziarah dari berbagai daerah mendatangi maqbarah beliau untuk mendoakan beliau dan memohon berkah kepada Allah dengan berziarah itu untuk melancarkan dan dikabulkannya hajat mereka. Banyak kisah mistis yang berkembang di tengah masyarakat mengenai Syekh Ciliwulung yang diyakini sebagai waliyullah ini justeru berkaitan dengan kejadian-kejadian sesudah wafatnya beliau. Kisah karamnya kapal angkutan menuju Jakarta yang kemudian menewaskan banyak penumpang menjadi mashur ketika salah seorang penumpang yang selamat mengatakan bahwa ia selamat karena memohon kepada Allah dengan menyebut nama Syekh Ciliwulung. Juga kisah Ki Astari Cakung (w.1985) yang terbawa arus sungai Cidurian dari Pendawa kemudian ia selamat tepat di pinggir sungai yang bersebelahan dengan makam Syekh Ciliwulung. Menurut keyakinan masyarakat Ki Astari selamat karena dibantu oleh Syekh Ciliwulung yang merupakan kakek buyut dari Ki Astari. MASA HIDUP SYEKH CILIWULUNG Berbagai kontroversi tentang siapakah beliau dan kapan beliau hidup berkembang di tengah masyarakat. Sebagian mengatakan beliau hidup pada masa Maulana Hasanuddin sulthan Banten pertama. Pendapat ini diperkuat oleh cerita rakyat Banten bahwa ketika Maulana Hasanuddin mengadu kesaktian dengan Pucuk Umun (Adipati Banten di bawah Pajajaran) Syekh Ciliwulung membantu Maulana Hasanuddin dengan menjadi ayam aduan untuk bertarung dengan ayam jago milik Pucuk Umun dan kemudian pertarungan ini dimenangkan oleh ayam jago milik Maulana Hasanuddin yang tak lain adalah Syekh Ciliwulung. Menurut versi ini, Syekh ciliwulung adalah salah seorang dari sembilan pengawal Maulana Hasanuddin bersama dengan sahabat-sahabatnya yaitu Cilikored (Raden Saleh Gunung Santri), Cilimede, Cilijohar, Ciliglebeg, Cilibadrin, Cilibred, Cilibayun dan Ciliwangsa. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kesembilan orang pengawal itu adalah sembilan bersaudara. Versi kedua mengatakan bahwa Syekh Ciliwulung adalah cucu buyut dari Maulana Hasanuddin. Versi ini dipegang oleh sebagian kecil mereka yang memiliki silsilah garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung. Menurut versi ini Syekh Ciliwulung adalah putra Raden Kenyep putra Pangeran Jaga Lautan putra Maulana



11



Hasanuddin. Namun versi ini kurang begitu kuat karena dalam silsilah keturunan Maulana Hasanuddin yang dimiliki oleh para keluarga keraton Surasowan nama Pangeran Jaga Lautan tidak termasuk salah seorang anak Maulana Hasanuddin. Sedangkan versi ketiga, dan inilah versi paling banyak dipegang mereka yang memiliki silsilah garis keturunan dengan Syekh Ciliwulung, bahwa Syekh Ciliwulung adalah keturunan dari raja-raja kerajaan Sumedang Larang. Dari urutan silsilah yang beredar ditangan para keturunan ini di antara mereka ada yang menempati mulai keturunan ketujuh sampai kesebelas. Dari versi ini dapat diperkirakan bahwa Syekh ciliwulung hidup sekitar 350 tahun silam yakni sekitar pertengahan abad 18 pada masa pemerintahan Banten di bawah Pangeran Syarif. Pada masa ini terjadi pemberontakan para kiyai yang dipimpin oleh Kiyai Tapa dan Tubagus Buang yang menuntut Pangeran Syarif turun tahta. Pangeran Syarif adalah keponakan Ratu Syarifah. Ia adalah wanita keturunan arab isteri Sulthan Zainul Arifin. Dengan licik perempuan ini meminta bantuan Belanda untuk menangkap suaminya, Sulthan Zainul Arifin dan mengangkat keponakannya sebagai sultan Banten. Inilah yang menggerakan Kiayi Tapa dan Tubagus Buang memberontak. Dengan semangat perang sabil, akhirnya wadyabala Banten di bawah pimpinan Kiayi Tapa dan Tubagus Buang dapat mengalahkan Belanda dan pasukan Pangeran Syarif. Pangeran Syarif kemudian turun tahta dan ia bersama Ratu Syarifah kemudian melarikan diri ke Batavia. Diperkirakan, selain sebagai penyebar agama Islam, Syekh Ciliwulung juga aktif dalam pergolakan itu dalam membantu Kiayi Tapa dan Tubagus Buang. SILSILAH SYEKH CILIWULUNG Dalam mengurut silsilah ini penulis akan menggunakan versi ketiga dari masa hidup Syekh Ciliwulung karena versi ketiga inilah yang nampaknya paling popular dari risalah silsilah yang dimiliki oleh para keturunannya. Penulis mendapatkan risalah silsilah dari salah seorang keturunannya. Dalam risalah ini silsilah keturunan syekh Ciliwulung sampai pada Nyai Raja Mantri Putri Sunan Tuakan raja Sumedang Keenam. Setelah penulis teliti dengan silsilah keturunan yang dimiliki oleh keraton sumedang Larang, maka terdapat perbedaan yang tajam. Sunan Tuakan memiliki tiga orang putri yaitu: Ratu Nyai Raja Mantri, Ratu Nyai Sintawati dan dan Ratu Nyai Sari Kencana. Keturunan Syekh Ciliwulung yang sampai pada Prabu Geusan Ulun, menurut urutan silsilah dari keraton sumedang Larang, bukan melalui Nyai Raja Mantri tetapi melalui adiknya yaitu Nyai Sintawati. Maka penulis akan mengurutkan silsilah Syekh Ciliwulung sampai ke Prabu geusan Ulun dengan menggunakan pendekatan risalah silsilah yang dimiliki



12



salah seorang keturunannya tadi, tapi ketika mengurut dari Prabu Geusan Ulun ke atas penulis menggunakan silsilah dari keraton Sumedang Larang, karena agaknya inilah yang bisa lebih dipertanggung jawabkan. Sedangkan ketika penulis mengurut silsilah Syekh Ciliwulung sampai kepada Rasulullah melalui Syekh Dzatul Kahfi, Kakek Buyut Prabu Geusan Ulun, penulis menggunakan buku Sejarah Banten yang ditulis oleh Drs. Yosef Iskandar yang membahas buku Pangeran Wangsakerta, pangeran Cirebon, yang berjudul Rajya-rajya I bumi Nusantara yang menerangkan tentang silsilah para raja nusantara dan para penyebar agama islam. SILSILAH DARI SYEKH DZATUL KAHFI CIREBON Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Lautan bin Raden Tohir bin Raden Kejaksan bin Raden Diwangsa bin Pangeran Jaga Lautan bin Raden Tajuwangsa bin Raden Danugasa bin Raden Fatah bin Pangeran Sumedang bin Prabu Geusan ulun/Pangeran Angkawijaya bin Pangeran Santri bin Maulana Muhammad/Pangeran Palakaran bin Maulana Abdurrahman/Pangeran Panjunan bin Syekh Dzatul Kahfi bin Maulana Isa (Malaka) bin syekh Abdul Qadir bin Abdullah Khanuddin (Al Amir Abdullah Khanuddin-India) bin sayyid Abdul Malik (Adzomat Khan) bin Alwi Amir Al Faqih bin Sayyid Muhammad bin Ali Al Ghayyam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Bashri bin Muhammad Al Naqib bin Ali Al Uraidli bin Imam Ja'far Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein Al Sibthi bin Sayidatina Fatimah binti Rasulullah Muhammad saw. SILSILAH DARI KERAJAAN SUMEDANG Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Lautan bin Raden Tohir bin Raden Kejaksan bin Raden Diwangsa bin Pangeran Jaga Lautan bin Raden Tajuwangsa bin Raden Danugasa bin Raden Fatah bin Pangeran Sumedang bin Prabu Geusan ulun/Pangeran Angkawijaya bin Ratu Inten/Ratu Pucuk Umun binti Ratu Sintawati binti Sunan Tuakan Tirtakusuma bin sunan Guling Mertalaya bin Prabu Pagulingan Wirajaya bin Prabu Gajah Agung bin Prabu Lembu Agung bin Prabu Tajimalela. SYEKH DZATUL KAHFI Syekh Dzatul Kahfi bernama asli Syekh Idhofi Mahdi, dikenal juga dengan sebutan Syekh Nurjati. adalah seorang ulama pedagang turunan hadramaut. Sekitar tahun 1420 M Syekh Dzatul Kahfi datang ke Muara Jati. Oleh Ki Surawijaya, rombongan Syekh Dzatul Kahfi diijinkan tingggal di Kampung Pasambangan di mana terletak gunung Jati.



13



Sejak itu mulailah ia berdakwah menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon. Itulah mengapa sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati telah banyak orang Cirebon yang beragama Islam. Raden Kian Santang dan adiknya Ratu Rara Santang anak Prabu Siliwangi Pajajaran masuk Islam dan berguru kepada Syekh Dzatul Kahfi. Rara Santang kemudian menikah dengan Syarif Abdullah dari Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. PANGERAN SANTRI DAN PRABU GEUSAN ULUN Pangeran Santri bernama asli Raden Sholih ia adalah penyebar agama Islam di Kerajaan Sumedang. Pangeran santri adalah putra Maulana Muhammad bin Maulana Abdurrahman bin Syekh Dzatul Kahfi. Pangeran Santri menikah dengan ratu penguasa Sumedang yang bernama Ratu Inten dewata dan memiliki anak Pangeran angkawijaya. Pangeran Santri kemudian bersama isterinya memerintah di kerajaan Sumedang. Setelah menjadi raja Pangeran Santri bergelar Pangeran Kusumadinata satu.. Pangeran Angkawijaya kemudian menggantikan ayah dan ibunya dan dinobatkan sebagai raja Sumedang pada tanggal 22 April 1578 dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Ia memerintah Kerajaan Sumedang sampai tahun 1601. Kerajaan Sumedang adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Pajajaran Bogor. Setelah Kerajaan Pajajaran sirna ing bumi ditaklukan wadyabala (tentara) Banten 8 mei 1579, Sumedang mewarisi wilayah bekas kerajaan Pajajaran. PANGERAN SUMEDANG Pangeran Sumedang bernama asli Pangeran Suradiwangsa adalah putra Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya/Marsabaya, putri dari Mataram. Karena ibunya asli Mataram ia memilih bergabung dengan Mataram pada tahun 1620 karena khawatir di serang kesultanan Surasowan Banten. Sejak itu Sumedang hanya menjadi sebuah kadipaten di bawah kerajaan Mataram. Pangeran Suradiwangsa kemudian menjadi Bupati pertama dengan gelar Pangeran Adipati Rangga Gempol I. Wallahu a'lamu bia al shawwab.



14



SYEKH HASAN BASHRI CAKUNG SYEKH HASAN BASHRI BANGSAWAN BANTEN DI ‘TANAH PARA WALI’ Oleh Imaduddin Utsman Pada sekitar tahun 1675, Pangeran Solih atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Arya Banten atau Kibuyut Peking (bukan Pekik, karena gelar Pekik adalah gelar kakaknya yaitu Pangeran Abul Ma'ali Ahmad atau Sultan Muda yang mendampingi ayahnya, Sultan Abul Mafakhir, ia meninggal sebelum ayahnya meninggal, maka tulisan para sejarawan yang mengatakan Pangeran Abul Ma'ali atau P. Pekik sebagai Sultan ke 5 adalah salah) putra Sultan Abul mufakhir Mahmud Abdul Qadir, menikahkan anaknya yang bernama Raden Mahmud dengan Ratu Fatimah putri seorang ulama besar di daerah Cakung, yaitu syekh Ciliwulung. Syekh ciliwulung adalah putra raden Kenyep bin Pangeran Arya Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun. Cakung adalah sebuah desa yang dahulu masuk wilayah kecamatan Kresek-Tangerang. Setelah Kecamatan Kresek di mekarkan menjadi dua, Cakung masuk ke kecamatan baru yaitu kecamatan Gunung Kaler. Setelah wafat Syekh Ciliwulung di makamkan di Cakung-Gegunung kecamatan Binuang-Serang, bersebrangan dengan Kresek dengan dibatasi kali cidurian. Pernikahan Cucu Sulthan Abul Mufakhir (Raden Mahmud) dengan putri syekh ciliwulung (Ratu Fatimah) ini menghasilkan seorang anak (yang diketahui, mungkin ada anak yang lain) bernama Raden Hasan Bashri. Yang kelak lebih dikenal dengan nama Syekh Hasan Bashri. Selaras dengan tradisi kesantrian Cakung yang kuat, Hasan Bashri kecil di didik ilmu-ilmu agama dengan ketat oleh orang tuanya. Setelah dianggap cukup umur untuk berkelana, Hasan Bashri kemudian pergi keberbagai daerah untuk menuntut ilmu. Ketika itu Banten di bawah pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa yang sedang campuh karena menghadapi peperangan dengan kompeni Belanda dan pemberontakan yang dilancarkan orang yang mirip dengan anaknya, sultan Maulana Mansur abdul Kohar atau sultan Haji. Namun Pangeran Soleh sengaja menjauhkan Hasan Bashri dari panasnya suhu politik di kraton dan lebih memilih Cakung sebagai tempat tinggalnya. Sejak dipesantren, Hasan bashri telah menampakan kekeramatannya. Setelah mengaji di Cakung ia melanjutkan pengelanaan ilmiyahnya ke Lempuyang untuk berguru kepada pamannya Syekh Sauddin bin Syekh Ciliwulung. Ia mengabdikan dirinya kepada Kiayi dengan mengasuh putra kiayi yang masih kecil.



15



Dihikayatkan gurunya ini merasa aneh karena putranya selalu pulang ke rumah dengan membawa buah korma yang masih muda. Kemudian ia menyelidiki dari mana anaknya ini mendapatkan buah korma muda itu. Setelah itu diketahui bahwa buah kurma muda itu adalah pemberian Hasan Bashri. Setelah beberapa tahun mesantren kebeberapa pesantren, Syekh Hasan Bashri mendarmabaktikan hidupnya untuk menyebarkan ilmunya di cakung. Namanya begitu harum sebagai seorang ulama yang mumpuni dan berkeramat. Di sela-sela waktunya mengajar santri ia juga berladang di sawah. Dihikayatkan bila tiba masanya untuk membajak sawah dengan kerbau Syekh Hasan Bashri membawa kerbau itu sampai pinggiran sawah. Lalu setelah itu kerbau itu pun ditiup oleh syekh hasan Bashri sehingga menjadi kecil dan kemudian diletakan di kantong bajunya. Barulah Syekh Hasan Bashri berjalan di galengan sawah untuk menuju sawahnya yang berada di tengah persawahan. Setelah ditanya kenapa Syekh melakukan yang demikian itu maka ia menjawab ia tak mau sawah orang lain terkena telapak kerbaunya tanpa ijin terlebih dahulu dari yang mempunyai sawah. Syekh Hasan Bashri mewarisi dua muara keulamaan yang deras. Pertama dari kakeknya melalui jalur ibu yaitu syekh Ciliwulung, seorang ulama besar yang juga mashur sebagai wali dan keramatnya menyebar. Dihikayatkan suatu hari syekh ciliwulung bergegas ke Kali cidurian kemudian ia menyiram-nyiramkan air kali ke udara beberapa lama, kemudian orang yang melihatnya merasa heran dan bertanya kenapa syekh melakukan hal tersebut?. Lalu syekh Ciliwulung berkata bahwa Masjid Cirebon kebakaran. Setelah beberapa lama ada orang dari Cirebon yang menghabarkan bahwa Masjid Cirebon kebakaran dan anehnya tiba-tiba ada hujan datang tepat hanya di sekeliling masjid itu saja, dan kemudian api itu pun padam. Dalam buku karya Djajadiningrat yang berjudul “Tinjauan Kritis tentang sejarah Banten” disebutkan Sulthan Abul Mufakhir bila malam tiba sering berkeliling kampung ditemani oleh penasihatnya yang bernama Ki Cili Duhung. Apakah Ciliduhung ini adalah orang yang sama dengan Ciliwulung. Muara yang kedua, Syekh hasan bashri mewarisi mustika keulamaan dari sulthan abul Mufakhir. Selain sebagai seorang sultan, Sulthan Abul mufakhir dikenal sebagai ulama yang banyak menulis kitab. Ia juga setiap hari setelah urusan kesultanan selesai selalu mengajar pengajian di majlisnya. Di keraton setiap ba’da maghrib ramai para pangeran dan putra-putra bangsawan mengaji al-Qur’an kepada para guru yang ditunjuk sultan. Kraton Banten pada masa sultan Abul Mufakhir bagai sebuah pondok pesantren pusat ilmu pengetahuan. Memang sebelum masa Sultan Abul Mufakhir pun keadaan keraton Surasowan selalu ramai oleh para ulama yang di panggil sultan untuk mengajar para pangeran dan putra bangsawan, tetapi pada masa Sultan abul Mufakhir yang demikian itu semakin terasa kental.



16



Para pangeran-pangeran Banten harus mampu membaca Al-qur’an dan ahli dalam ilmu-ilmu agama Islam. Demikian itu kemudian menjadikan Banten menjadi sebuah Kesultanan yang sangat kuat memegang tradisi kesantrian sampai sekarang. Bahkan para ulama-ulama yang sekarang hidup di Banten sebagian besar mereka adalah para keturunan sultan Kembali kepada Syekh Hasan bashri. Di hikayatkan secara tutur tinular (dari penuturan orang tua kepada anaknya), bahwa suatu ketika di musim haji ada seorang yang tertinggal di Makkah ingin pulang ke Banten. Ia berdo’a kepada Allah untuk dapat pulang segera ke Banten. Kemudian ia mendapatkan isyarah bila engkau ingin pulang ke Banten, maka ia harus menemui seseorang yang bersorban hijau yang ada di suatu tempat di lingkungan masjidil haram. Akhirnya ia bergegas mencari orang yang di maksud di tempat yang ditunjukan itu. Benarlah di sana ada seseorang yang sedang tawajuh duduk dengan bersorban hijau. Kemudian ia mengutarakan maksudnya setelah berkenalan. Ternyata orang tersebut tak lain adalah syekh hasan bashri Cakung. Kemudian Syekh Hasan bashri meminta orang itu untuk memegang dengan erat sorban hijaunya dan memejamkan mata. Setelah beberapa lama kemudian Syekh hasan Bashri meminta orang itu membuka mata. Subhanallah, ternyata ia telah berada di atas sebuah bukit yang berada dekat kampungnya di Banten. Selang beberapa waktu, orang itu datang ke Cakung untuk menemui Syekh Hasan Bashri. Dengan membawa delman yang berisi buah-buahan, sayursayuran dan bermacam hadiah lainya ia datang menemui syekh hasan Bashri. Kemudian tersebarlah cerita keramat Syekh Hasan Bashri dengan lebih jelas dan ada saksi hidupnya yaitu orang yang dibantu sang Syekh pulang dari Makkah ke Banten hanya dalam beberapa saat memejamkan mata. Tak lama setelah kedatangan orang itu, syekh Hasan Bashri mengahadap Allah swt. Dihikayatkan setelah dikubur pada malam hari dari kubur Syekh Hasan Bashri memancar sinar terang ke langit yang berwarna biru selama tujuh malam. Syekh Hasan Bashri mempunyai anak tiga yaitu:Syekh Ibrohim kuranji, syekh hasan Mustafa Palembang, Nyai ratu syarifah Tirtayasa. Dari Syekh Ibrohim kuranji sampai sekarang menurunkan para ulama yang banyak berada di daerah Kresek dan gunung kaler. Di antaranya adalah Syekh Makmun bin Muhammad Ali Al Madinah (ayahnya wafat dan di makamkan di Madinah), Syekh Astari Cakung, Syekh Muhammad Amin Koper (ayah dari KH. Ma’ruf Amin, Ketua Dewan fatwa MUI pusat dan Wantimpres SBY) dan syekh Mufti bin Asnawi Srewu pengarang kitab Amtsilatul I’rab dll. Wallau a’lam bishowaab.



17



MASJID CUKULAN (MASJID SYAIKH HASAN BASRI)



Dua monumen sejarah Islam yang masih berdiri tegak di wilayah Tangerang, Banten. Pertama, Masjid Pintu Seribu (Nurul Yaqin) di Kampung Bayur, Kelurahan Priuk Jaya, Kecamatan Priuk, Kota Tangerang. Kedua, Masjid Cukulan Syaikh Hasan Basri di Balaraja, Kecamatan Kresek, Kampung Cakung, Desa Kandawati. Dua masjid itu memiliki keunikan tersendiri. Tapi hanya Masjid Pintu Seribu yang kerap menjadi objek kunjungan para peziarah spiritual. Sedang Masjid Cukulan, seakan tenggelam dalam hingar-bingar adab modern. Praktis tak banyak yang tahu, bahwa masjid ini memiliki keunggulan spiritual yang bahkan tak dimiliki oleh Masjid Demak sekali pun. Berdasar penuturan kuncen, Pak Achmad, masjid di Desa Kandawati ini, sejatinya adalah sebuah “segitiga imajiner.” Masingmasing di tiap sudutnya berdiri sebuah masjid yang dibangun oleh tiga guru besar pada saat itu. Semua bermula dari Syaikh Cirewulung, Cirebon. Ia memiliki tiga orang murid yang bernama, Hasyari bin Pangeran Kenyep Cirebon, Syaikh Astari bin Haji Iskaq, dan Syaikh Hasan Basri bin Waliullah Ki Mahmud. Dari ketiga murid Syaikh Cirewulung itu, Syaikh Hasan Basri yang kemudian jauh lebih menonjol tinimbang dua rekan seperguruannya. Semula beliau mukim di daerah alas (hutan) Bojong. Namun karena masih dihuni oleh sedikit penduduk, ia pun berniat untuk memindahkan lokasi dakwahnya ke Kampung Cakung. Sehari sebelum kedatangan beliau, di cikal bakal kampung barunya, tepat di lokasi berdiri Masjid Cukulan saat ini, ada sekelompok anak kecil yang sedang asyik bermain sambil menendangnendang sebuah batok kelapa. Saat petang merembang, malam menjelang, dan pagi menepati janjinya, Syaikh Hasan Basri pun tiba di lapangan tempat anak kecil bermain batok kelapa sehari lalu itu. Kini, di hadapannya sudah berdiri sebuah masjid (yang ternyata adalah masjidnya sendiri di



18



daerah Bojong). Menyaksikan pemandangan itu, warga sekitar hanya bisa terlongonglongong, sambil mengamini karomah yang dimiliki sang Syaikh. Hal itulah yang jadi alasan utama kenapa masjid ini dinamakan Cukulan. Secara etimologis, kata cukul berasal dari bahasa Jawa bercampur Sunda, yang artinya adalah, tumbuh. Meski sukar diterima akal sehat, tapi bukti “tumbuhnya” masjid ini dapat disaksikan langsung hingga sekarang, yaitu pada kubahnya yang memang berbentuk seperti batok kelapa. Keyakinan warga sekitar dengan tumbuhnya masjid itu kian diperkuat dengan raibnya masjid Syaikh Hasan Basri yang ada di daerah Bojong. Begitulah hikayat yang kami dapatkan dari Pak Achmad dan beberapa warga lain yang mukim di kitaran masjid. Sejak itulah, Syaikh Hasan Basri pun memulai misi dakwahnya dengan mengajar siapa saja yang datang padanya—termasuk Nyi Haditsah. Seorang perawan tua dan juga seorang wali, yang kemudian merawat Masjid Cukulan sepeninggal gurunya, Syaikh Hasan Basri. Lantas, kapan Masjid Cukulan berdiri? Pak Achmad yang tak begitu mahir berhitung, mengajak kami mendekati satu dari empat tiang masjid yang berbahan dasar kayu jati. Di tiang bagian kanan belakang jika kita menghadap mihrab, ada sebuah guritan angka Arab yang jika diterjemahkan dalam angka Romawi, berarti 1136 H. Kalender Hijriah sekarang sudah memasuki tahun ke 1432. Itu berarti masjid ini sudah berdiri pada 1715 M. Bila diperhatikan secara saksama, arsitektur dan ornamen di masjid ini, juga tak menyertakan gaya masjid yang lazim dibangun kala itu, yaitu perpaduan unsur Tiongkok, Arab, Hindu, dan Jawa. Luas aslinya tak lebih dari 10 x 10 m². Di dekat daun jendela yang sudah berganti, ada sembilan lubang angin (seperti mengisyaratkan adanya Wali Songo). Sedang di tembok bagian belakang, ada empat lubang kecil yang menurut penjelasan Pak Achmad, menjadi simbolisasi para sahabat Nabi Muhammad Saw. Masjid kecil sederhana ini, semakin mempertegas keimutannya dengan mihrab yang hanya setinggi 1,5 m. Sebuah bantuan ringkas untuk memahami bagaimana perawakan dari Syaikh Hasan Basri selaku imamnya. Mengetahui tarikh pendirian Masjid Cukulan yang misterius-mistis itu, kami pun berdecak kagum. Betapa tidak, Syaikh Hasan Basri dan masjid ini berdiri tegak sejajar dengan masa di mana terdapat sebuah kerajaan besar penerus Demak dan Pajang, yaitu Mataram, yang tengah dilanda perang saudara hingga kemudian terpecah dua pada 1830, menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Terkait dengan peran Syaikh Hasan Basri selaku ulama, masa hidupnya jauh lebih dulu timbang seorang ulama lain pengarang kitab fiqih Fath al-Qarîb, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi yang terlahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi pada pada 1230 H / 1813 M. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ia juga berasal dari daerah barat Jawa, tepatnya dari Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten (sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Masjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani).



19



Syaikh Nawawi yang hidup selama 69 tahun dan wafat pada 25 Syawal 1314 H / 1897 M, sempat didapuk sebagai mufti dan imam Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarrâmah, menggantikan Syaikh Khâtib al-Minangkabawi. Dari Syaikh Nawawi inilah rantai transmisi ulama besar Indonesia berasal. Dua diantaranya adalah Kiai Khalil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asj’ari pendiri Nahdlatul ‘Ulama. Saking berpengaruhnya, orientalis besar Belanda, Snouck Hurgronje, menyematkan gelar padanya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan cerdik pandai masa itu juga menggelari beliau sebagai al-Imam wa al-Fahm alMudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang tak tanggungtanggung, yaitu al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz  (Tokoh Ulama Hijaz: Jazirah Arab). Sementara para ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia karena ada kurang lebih 100 kitab yang telah beliau karang. Sesuai hukum sejarah, para pecinta ilmu pasti akan berguru pada pemilik ilmu yang sedang mumpuni di zamannya, maka bukan tidak mungkin jika Kiai Sahal di Banten, yang menjadi guru Syaikh Nawawi, pernah berguru pada Syaikh Hasan Basri. Sayang sekali, data sejarah yang kita miliki tak merekam dengan baik proses pentransferan ilmu para ulama di Banten dengan cukup baik. Padahal musykil kiranya ada seorang ulama dengan tingkat pencapaian spiritual seperti Syaikh Hasan Basri tidak disambangi oleh manusia-manusia cerdas di zaman itu, yang kelak menjadi guru manusia brilyan lain macam Syaikh Nawawi. Untuk membuktikan hal ini, dibutuhkan penelitian lanjutan—terkait dengan bentuk dan kecenderungan karya, rantai transmisi pengetahuan, dan apa saja yang sudah ditinggalkan Syaikh Hasan Basri secara sosial-kultural pada masyarakat Muslim di sekitar tempat ia mengajar. Bagaimana rahasia sejarah ini kemudian bisa tersingkap, bergantung pada i’tikad kita selaku al-warasat al-‘ulama (penerus para ulama), dan makhluk sejarah. Keislaman kita secara Indonesia, tak cukup hanya dengan diakui. Tapi juga dipahami, diresapi, disadari, diwujudkan. Secara spiritual dan material. Secara baik dan sebenarbenar kebaikan. Wallahu a’lam bisshawaf. [tepianCisadane, junisebelas ‘ribusebelas]



20



SYEKH ASTARI CAKUNG Penulis H. IMADUDDIN UTSMAN, SA.g. MA.



NAMA, SILSILAH KELAHIRAN



KELUARGA



DAN



Beliau bernama lengkap Syekh Astari bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin bin Nyi Hadisah binti Ki Alim bin Ki Bulus (Abdul Gani) bin Syekh Hasan Bashri bin Ki Mahmud bin Raden Saleh bin Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin (Kanjeng Ratu Banten surosowan) bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin. Dalam silsilah di atas ada seorang perempuan yang bernama Nyi Hadisah yang terselip dalam silisilah para ayah. Hal ini dikarenakan sosok Nyi Hadisah yang dalam tradisi lisan masyarakat cakung sangat di mulyakan. Ia adalah seorang perempuan yang diyakini sebagai Waliyatullah yang sampai sekarang tidak diketahui apakah sudah wafat atau belum. Tapi seseorang yang diberi penglihatan batin menyebutkan bahwa petilasan Nyi Hadisah berada di depan Masjid Syekh Hasan Bashri.Di hikayatkan bahwa Nyi Hadisah adalah perempuan wari’ah yang menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan mengabdi di masjid Syekh Hasan basri, masjid yang diberi nama dengan nama buyutnya yaitu Syekh Hasan Basri. Syekh Astari juga merupakan cucu dari Syekh Ciliwulung melalui ibu dari Syekh Hasan Bashri yaitu Nyi Fatimah binti syekh ciliwulung. Syekh Astari dilahirkan di kampung Cakung Kedung, sekarang kampung kedung masuk wilayah kecamatan Gunung Kaler. Tepatnya Kampung Cakung Kedung Ds. Kandawati Kecamatan Gunung kaler (Pemekaran Kecamatan kresek) Kabupaten Tangerang-Banten. Tidak ada yang mengetahui tahun berapa tepatnya Syekh Astari di lahirkan. Tetapi ketika kita menghitung umur syekh Astari yang ketika wafat pada tahun 1987 berusia 99 tahun, maka kita bisa mengurut angka tahun 1888 sebagai tahun kelahiran beliau berarti beliau dilahirkan kira-kira lima tahun setelah meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883. Dan berbarengan dengan terjadinya perang geger cilegon yang melibatkan para petani dan ulama Banten utara melawan pemerintahan colonial Belanda. Juga berarti beliau dilahirkan ketika Syekh Nawawi al-Bantani masih hidup di Makkah Al mukarromah. Syekh Nawawi al bantani wafat Sembilan tahun setelah angka kelahiran Syekh Astari Cakung, tepatnya pada tahun 1897.



21



ORANG TUA SYEKH ASTARI Syekh Astari berasal dari keluarga yang sangat kuat memegang tradisi kesantrian. Ayahnya, Maulana Ishaq, walaupun seorang pedagang adalah seorang yang taat menjalankan nilai-nilai agama. Di tengah kesibukannya berdagang, ia juga mengajar ngaji kepada para anak-anak di kampungnya. Kedermawanan adalah sifatnya yang sangat menonjol. Berdagang, mungkin, hanya dijadikan sebagai suatu media bagaimana ia dapat berbuat sesuatu untuk orang lain. Dikisahkan setiap datang dari pasar ia selalu membawa berbagai oleh-oleh. Dan oleh-oleh yang ia bawa bukan hanya untuk keluarganya di rumah, tapi juga untuk para tetangga. Iapun rajin mendatangi rumah-rumah tetangga dan menanyakan apakah para tetangga itu mempunyai beras atau tidak. Akhlak para sahabat seperti Umar bin Khatab dan Sayyidina Ali Zainal Abidin bin sayyidina husein ra., seperti di atas yang dimiliki Maulana Ishaq kemudian diwarisi oleh putranya yaitu Syekh Astari Cakung yang akan dijelaskan kemudian. Syekh Astari mempunyai ibu bernama Nyi Ratu Nasiah. Sama seperti suaminya ia juga berdagang pakaian, ragi dan boreh. Boreh adalah sejenis bedak yang terbuat dari tepung beras dan rempah-rempah yang sangat masyhur dipakai oleh para gadis dan ibu-ibu di Banten untuk mempercantik diri dan Nampak awet muda. Sifat suaminya yang dermawan juga dimiliki oleh Nyi Ratu nasiah. Ia juga dikenal begitu dermawan. PENGEMBARAAN ILMIYAH SYEKH ASTARI CAKUNG Selain kepada ayahnya maulana Ishaq, Syekh Astari kecil mula-mula belajar ngaji di kampungnya kepada Ki Muhammad Zen, seorang ulama yang juga mempunyai garis keturunan kepada Syekh ciliwulung. Kalau Syekh astari mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui anak perempuannya yang bernama Nyai Ratu Fatimah,ibu Syekh Hasan Basri, maka Ki Muhammad Zein melalui anak laki-laki Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Cinding. Memang Syekh Ciliwulung kemudian mempunyai banyak keturunan yang menjadi para kiayi khususnya di wilayah Kresek, Binuang dan Gunung Kaler dan umumnya di Banten Utara. Di daerah Tanara, Tirtayasa dan Carenang banyak para ulama yang juga mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui putra Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Sauddin. Kita bisa menyebutkan beberapa contoh para kiayi yang mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung. Ki Adung seorang kiayi dari laban Tirtayasa adalah seorang kiayi yang memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Sauddin. Begitu juga Kiayi soleh dan kiayi Fathoni Lempuyang. Ki Syafei bin Makiyya dari Kebon Jeruk memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Cinding. Ki Amran Bugel juga keturunan Syekh Ciliwulung melalui Nyi Ratu Fatimah. Sedangkan di Kresek Abuya Amin koper bersambung



22



silsilahnya melalui Nyai Ratu Fatimah. KH. Mufti bin Asnawi seorang ahli fiqh dari Cakung srewu memiliki garis keturunan kepada Syekh ciliwulung melalui Ki Syueb. Syekh Asnawi Caringin melaui ibunya juga keturunan Sekh Ciliwulung dari Ki Cinding. KH. Makmun, Ki Busyra dan Ki Salim yang kesemuanya anak Ki Muhammad zen Cakung guru Syekh Astari memiliki garis silsilah kepada Syekh Ciliwulung melalui Ki Cinding. Dan masih banyak kiayi yang masih hidup yang memiliki garis keturunan dengan syekh Ciliwulung. Garis nasab para ulama Banten Utara bisa dikatakan didominasi oleh dua garis silsilah yaitu garis silsilah Pangeran Sunyararas tajul arsy Tanara dan syekh Ciliwulung Cakung. Dari garis Pangeran Sunyararas tajul arsy, kita bisa menyebutkan beberapa ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Umar Rancalang, SYekh Nawawi Mandaya dan syekh Abdul Karim yang merupakan khalifah toriqoh Al Qodiriyah wa al Naqsyabandiyah. Kembali kepada pembahasan masa belajar Syekh Astari. Dikisahkan Syekh Astari kecil ketika mulai mengaji kepada Ki Muhammad zen selalu datang sebelum teman-temannya datang dan pulang setelah semuanya pulang. Walaupun datang pertama kali, syekh astari tidak langsung mengaji tapi dia menyimak pengajian teman-temannya satu persatu. Ia membuka halaman al Qur’annya teman. Inilah yang membuat Syekh Astari sekali mengaji dapat berpuluh kali lipat pelajaran daripada teman-temannya dalam semalam. Suatu ketika Ki Muhammad zen ketiduran ketika Syekh astari sedang mengaji karena Syekh Astari mengaji terakhir dan waktu sudah larut. Walaupun mengetahui gurunya tertidur Syekh Astari tetap terus membaca al Qur’an. Karena murid hanya boleh berhenti mengaji apabila gurunya memerintahkan berhenti. Rupanya karena lelah Ki Muhammad zen tidur cukup lama. Walaupun syekh Astari merasa lelah karena terus membaca al Qur’an ia tetap tak mau berhenti sampai gurunya bangun dan menyuruhnya berhenti. Ketika Ki Muhammad Zen terbangun alangkah kagumnya ia kepada Syekh Astari ketika mendapatinya masih terus mengaji di hadapannya. Ki Muhammad yakin suatu saat nanti Syekh Astari kecil akan menjadi ulama besar yang akan menjadi tumpuan umat. Setelah menganjak remaja, syekh Astari diserahkan orang tuanya untuk mesantren kepada syekh Jaliman di Bunar-Pematang. SANTRI SANGA DI SATU PESANTREN Ketika mesantren di pesantren Bunar asuhan Syekh Jaliman, Syekh Astari satu qurun bersama delapan orang sahabat yang kemudian kesembilan orang ini menjadi para ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi mandaya, Syekh umar rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, syekh Jamhari (kemudian dijadikan menantu syekh



23



Jaliman), Syekh Mustaya Binuang dan Syekh astari sendiri. Selain delapan teman itu syekh Astari juga sequrun dengan Ki Kharis Cisimut. Syekh Nawawi Mandaya berusia paling dewasa dibanding dengan delapan sahabat lainnya. Perbedaan umur antara Sekh Nawawi mandaya dan Syekh astari sekitar tigabelas tahun. Hal ini dapat disimpulkan karena pada saat ayah Syekh nawawi Mandaya yang bernama Syekh Muhammad Ali (pengarang kitab Murad Awamil) di buang ke Digul-Papua Barat atau irian Jaya pada tahun 1888 karena terlibat pemberontakan pada perang Geger cilegon, syekh Nawawi Mandaya sudah berumur duabelas tahun. Perang Geger Cilegon walaupun terjadi di cilegon tetapi lebih banyak melibatkan para ulama di daerah Banten Utara bagian timur seperti Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Asnawi Bendung, Ki Marzuki, Syekh Muhammad Ali Mandaya, Ki Arsyad towil (kemudian wafat di manado) dll. Ketika Syekh Muhammad Ali yang dibuang ke Digul bersama isteri dan anaknya (Syekh Nawawi mandaya) pulang dari digul dengan perahu layar. Terjadi sesuatu yang mengharuskan mereka menepi ke timur Kupang. Akhirnya Syekh Muhammad Ali memutuskan untuk menyebarkan agama di Timur Kupang dan menetap di sana sampai wafatnya. Sedangkan isteri dan anaknya kembali pulang ke Banten dan menetap di Mandaya. BERTAPA DI GOA UMBUL Di dekat pesantren yang diasuh syekh Jaliman di Pematang terdapat sebuah goa yang bernama Goa Umbul. Menurut kepercayaan masyarakat dahulu ketika sedang berkelana Maulana hasanuddin, sultan Banten yang pertama, pernah bertafakur di goa tersebut. Menurut penuturan syekh Jamhari, dulu waktu sama-sama nyantri dengan Syekh Astari di Pesantren Bunar, ia melihat Syekh Astari memasuki Goa umbul, ia perhatikan sudah satu hari syekh Astari tidak keluar goa. Kemudian ia membawa makanan kedalam goa. Ia mendapati syekh astari sedang duduk dengan khusyu. Ia meninggalkan makanan itu di hadapan syekh Astari. Lalu keesokannya lagi syekh Jamhari kembali membawa makanan ke dalam goa. Namun ia mendapati makanan yang kemarin dibawanya masih utuh. Tahulah ia bahwa syekh astari sedang berpuasa wishal. Lalu ia membawa makanan yang dibawanya kemarin dan meletakan makanan yang baru di hadapan Syekh astari. Mungkin saja makanan yang baru ini akan dimakan. Keesokannya lagi, Syekh jamhari mendatangi kembali Syekh Astari ke dalam goa umbul. Ia mendapatinya tetap duduk penuh khusyu. Kembali ia melihat makanan yang dibawanya kemarin masih utuh. Namun ia tetap meletakan makanan yang baru di hadapan Syekh Astari yang masih khusyu duduk tanpa sepatah kata. Syekh jamhari tidak bosan membawa makanan untuk syekh astari selama satu jum’at. Setelah tujuh hari didapatinya Syekh Astari tak memakan makanan



24



secuilpun, barulah ia tahu bahwa mungkin Syekh Astari sudah berniat bertapa di goa umbul ini untuk waktu yang lama. Kemudian untuk hari-hari selanjutnya ia tak membawa makanan untuk Syekh Astari, ia hanya sesekali menengoknya untuk memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah beberapa lama waktu berjalan syekh Astari keluar dari Goa Umbul. Syekh jamhari yang selalu menghitung hari pertapaan Syekh astari mengatakan bahwa Syekh astari berada dalam Goa Umbul itu selama empatpuluh hari empatpuluh malam. Sama seperti dulu Sultan Banten yang pertama Maulana hasanuddin bertapa di sana. Masih menurut penuturan syekh jamhari, bahwa pertapaan Syekh Astari di dalam goa Umbul bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali yang kesemuanya konsisten selama empatpuluh hari empatpuluh malam. KISAH PERTARUNGAN BIAWAK DAN ULAR DI GOA UMBUL Goa Umbul selain dikenal sebagai tempat pertapaan Maulana Hasanuddin, juga sangat mashur dengan kisah pertarungan Sembilan biawak besar penunggu goa Umbul melawan ular besar yang mnyerang goa. Ukuran besarnya ular itu kirakira sepohon kelapa sedangkan panjangnya memanjang cukup panjang. Bahkan beberapa kepercayaan menyebutkan kepala ular itu berada di depan mulut goa sedangkan ekornya masih ada di Merak-Cilegon. Peristiwa pertarungan antara biawak besar penunggu goa dengan ular besar itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Karena yang bertarung adalah makhluk-makhluk besar maka menimbulkan suara kegaduhan yang cukup menarik perhatian warga. Pertarungan itu berlangsung kira-kira selama limabelas hari mulai dari ba’da ashar sampai maghrib datang. Anehnya ular itu datang dan pergi dari satu jalan. Artinya ia pulang dari bekas jalan yang dilaluinya ketika datang sehingga tidak merusak pohon padi yang lain selain yang ia lalui ketika pertama datang. Peristiwa itu terjadi secara dzahir dapat disaksikan oleh siapapun yang hadir. Anakanak, remaja, orang dewasa, laki-laki dan perempuan dapat menyaksikan peristiwa itu. Suara menggelegar bagai petir kadangkala terdengar dari benturan akibat pertarungan. Tiga biawak menjaga pintu goa. Sedangkan enam lainnya bertarung menghadapi ular. Apabila di antara enam biawak ini ada yang terluka, maka salah satu dari tiga penjaga pintu goa ini maju ke depan. Sedangkan yang terluka ini kemudian memasuki goa untuk minum dan menyelam dalam air yang terdapat dalam goa. Anehnya setelah meminum dan menyelam dalam air yang terdapat dalam goa luka-luka biawak ini segera sembuh. Kemudian setelah sembuh ia bergantian menjaga goa dan apa bila ada yang terluka dari enam biawak yang bertarung maka salah satu di antara tiga penjaga goa itu maju ke depan dan terus demikian. Sampai akhirnya ular besar itu kalah dalam pertarungan.



25



Menurut keyakinan sebagian orang, kekalahan ular itu menjadi isyarat akan kekalahan PKI yang berusaha memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia. Walaupun PKI telah berhasil membunuh tujuh jenderal tapi secara umum pemberontakanya gagal. Jika ular itu sampai bisa masuk dan menduduki goa niscaya PKI akan menguasai Indonesia. KH. Maujud Astari yang mendengar cerita itu dari Syekh Jamhari mulanya hanya menganggap kisah biawak itu hanya sebuah cerita. Tetapi ketika ia berkunjung ke goa Umbul pada tahun 2007 beserta jamaah majlis Dzikir Al-Hudro perumahan Korem Serang dengan dua mobil dan diiringi motor pada hari jum’at jam 11 siang, ternyata memang biawak itu ada di depan mulut goa. Jumlah biawak yang dapat dilihat H. maujud dan rombongan berjumlah 5 biawak. Di antara 5 biawak itu ada yang berwarna putih. Kebetulan H. Maujud membawa Handycam dan kamera seraya ia memotret biawak tersebut namun aneh biawak tersebut tidak kena di foto begitu pula dengan handycam. Menurut cerita KH. Maujud, kemudian ia berdo’a: “Ya Allah perkenankanlah Saya masuk ke dalam goa ini, karena saya ingin berdo’a untuk Negara Indonesia agar seluruh rakyatnya betul-betul menikmati kemerdekaan dalam kemakmuran.” Akhirnya ia diberi ilham untuk masuk melalui atas goa. Ia pun menaiki bebatuan di atas goa untuk menghindari biawak yang menunggu mulut goa. Setelah sampai atas goa ia melihat sebuah lobang yang menuju ke dalam goa. Aneh, walaupun lobang ini cukup besar tapi rerontokan daunpun nampaknya tidak bisa masuk ke dalam goa. Sepertinya goa ini ditunggu makhluk gaib yang senantiasa menjaga kebersihan goa. Kemudian KH Maujud datang kembali ke goa Umbul bersama jamaah majlis dzikir Bunut di antaranya H. bauti, Mahfudz dan H. Mansur. Kembali KH. Maujud dan jamaah dapat melihat biawak-biawak itu. Pak Adam Malik, salah seorang wakil presiden pak harto, beliau pernah membawa biawak-biawak ini beserta kotoran kelalawar sekitar goa dalam karung-karung untuk pupuk. Namun setelah sampai tujuan yang tersisa hanya karung-karungnya saja, sedangkan biawak dan kotoran kelalawar itu hilang. KISAH PERTAPAAN SYEKH NAWAWI MANDAYA Syekh Astari seperti dikisahkan di atas, ketika mesantren di Syekh Jaliman berbarengan dengan delapan santri yang kelak mereka menjadi para ulama besar. Di antara mereka adalah Syekh Nawawi bin Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh Nawawi bisa dikatakan paling dewasa. Suatu ketika Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk membantu mengajar ngaji kepada para santri karena memang Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya yaitu Syekh Muhammad Ali. Bahkan dikisahkan ketika mesantren di Syekh Jaliman Syekh Nawawi telah hafal kitab-kitab nadzam dan matan. Ketika pulang dari Digul pada usia duabelas tahun bersama ibunya, Syekh Nawawi telah hafal



26



kitab Murad awamil karangan ayahnya. Maka tak heran kalau banyak orang yang mengira bahwa kitab tersebut karangan Syekh Nawawi. Ketika mendapat perintah gurunya untuk mengajar para santri Syekh Nawawi bingung, bukan tidak mampu tapi apakah ia pantas, itu fikirnya. Maka ia kemudian memohon kepada teman-teman sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan sendiri di dalam kamar. Kebetulan beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang disebutkan di atas. Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah keluar dari kobong dalam waktu yang cukup lama. Kemudian hal itu di laporkan kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh Jaliman para teman-temannya jangan mengganggu Nawawi, biarkan saja ia dalam kobong sampai keluar dengan sendirinya. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Syekh Nawawi keluar dari kobong setelah genap empat puluh hari ampat puluh malam. Setelah itu Syekh jaliman mempersiapkan kenduri atau selametan untuk Syekh Nawawi karena bahagia mempunyai murid seperti Syekh nawawi dan sebagai takriman wa ta’dziman kepada ayahnya seorang ulama pejuang yang rela meninggalkan Nagari Banten yang di cintainya demi tugas dakwah di negeri yang jauh di ujung Barat Nusantara. Setelah tahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh Nawawi mau membantu mengajar para adik-adik santrinya. SYEKH NAWAWI MANDAYA DIPERINTAHKAN BIKIN PESANTREN Setelah beberapa tahun Syekh Astari mesantren di Syekh Jaliman, tibalah saat Syekh Astari untuk meninggalkan pesantren Bunar. Yaitu saat Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain memerintahkan Syekh nawawi pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya. Walaupun sebenarnya Syekh astari masih merasa betah tinggal di Bunar mengaji dengan Syekh jaliman, tetapi karena ini perintah guru, syekh Astari tak pernah bertanya mengapa ia langsung sam’an watoatan mentaati perintah gurunya. Dalam dunia pesantren diajarkan ketaatan murid kepada guru adalah ibarat mayit ditangan gosil (orang yang memandikan mayit). Ketaatan murid kepada guru adalah ketaatan dzohir dan batin. Jiwa raga seorang santri dihadapan kiayinya adalah jiwa raga kepasrahan yang sempurna. Keberkahan dan futuh dalam dunia pesantren adalah kunci kemanfaatan. Dan kunci kemanfaatan itu bisa diraih hanyalah dengan kepasrahan yang sempurna kepada guru. Bahkan bila kiayi memerintahkan muridnya untuk masuk ke dalam kobaran api yang menyala-nyala maka seorang santri al-shodiq tidak akan bertanya mengapa ia harus masuk ke dalam api tetapi ia akan langsung memasuki api itu dan tak akan bertanya mengapa.



27



Demikianlah jiwa raga syekh astari telah dipasrahkan seluruhnya tanpa tersisa kepada Syekh jaliman. Ketika Syekh Jaliman memerintahkan untuk mengikuti Syekh Nawawi ke mandaya, syekh Astari dan tujuh sahabat lainnya taat. Akhirnya pengelanaan syekh astari dalam dunia ilmiyah sampai di Mandaya. Orang yang dulu adalah teman sekobong, kini menjadi guru. Walaupun ia berguru kepada teman mesantren, tetapi ketaatan dan hormat Syekh Astari kepada Syekh Nawawi tidak berkurang. Dulu ia memasrahkan jiwa raganya kepada syekh jaliman, kini ia memasrahkan jiwa raganya kepada Syekh Nawawi mandaya. SYEKH ASTARI DAN SYEKH MUSTAYA BINUANG Seperti dikisahkan sebelumnya, bahwa Syekh Astari satu qurun dengan delapan sahabat yang kemudian menjadi ulama besar. Di antara delapan sahabat itu adalah syekh Mustaya Binuang. Ia adalah teman Syekh Astari sejak di pesantren Bunar asuhan Syekh jaliman. Kemudian keduanya menjadi murid dari Syekh Nawawi Mandaya yang juga adalah satu pesantren ketika di pesantren Bunar. KH. Maujud bin Syekh Astari mengkisahkan pertemuannya dengan Syekh Mustaya untuk pertama kalinya. Ketika itu KH. Maujud masih mesantren di KH. Suhaimi Sasak. KH. Maujud datang ke Binuang bersama seorang temannya untuk bersilaturahmi dan memohon do’a. ia melihat Syekh mustaya sedang duduk dengan mata ke langit-langit rumah. KH. Maujud mengucapkan salam. Tapi Syekh Mustaya masih diam terpaku dengan mata masih menatap kosong ke langit-langit. Terpaksa KH. Maujud dan temannya duduk tanpa dipersilahkan setelah mencium tangan Sang syekh. Lama terjadi keheningan di antara mereka. Setelah beberapa saat terdiam KH maujud kikuk melihat Syekh Mustaya tetap terdiam, akhirnya ia mengawali pembicaraan: “Yai, saya kesini mau memohon do’a”. mendengar KH Maujud berkata demikian Syekh Mustaya menggebrak meja sambil mengatakan: “Kamu juga kan bisa berdo’a, ngapain minta-minta doa.pada saya, Abahmu Syekh astari itu mesantrennya bareng ama saya”. KH maujud dan temannya kaget karena gebrakan meja itu, dan heran karena Syekh Mustaya mengetahui bahwa ia adalah putra Syekh Astari padahal ia belum pernah silaturahmi kepada Syekh mustaya. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama. Syekh Mustaya adalah kiayi yang kharismatik dan penuh karomah. Selain mengajar santri ia juga sering berceramah di berbagai tempat. Zaman itu masih banyak masyarakat yang bila mengadakan hajat menanggap ubrug, jaipong, golek dan kemaksiatan lain. Tak jarang waktunya berbarengan dengan ceramah Syekh mustaya. Para jawara telenges sering merasa gerah dengan adanya ceramah syekh Mustaya yang sering menyinggung orang menanggap jaipongan dan sebagainya. Akhirnya para jawara mengadakan berbagai macam upaya untuk menggagalkan ceramah Syekh Mustaya.



28



Di suatu ceramah tiba-tiba speker yang dipakai Syekh mustaya ceramah mati karena kabelnya ada yang memotong. Akhirnya Syekh Mustaya mengambil sandalnya untuk dijadikan sebagai mix, akhirnya suara Syekh mustaya menggema di loudspeaker seperti menggunakan mix sungguhan. Dilain acara ceramah yang barungan dengan tanggapan ubrug, syekh Mustaya menggerakan teko yang berisi kopi kepada para hadirin dari kejauhan. Teko ini menuangkan kopi kepada para hadirin satu persatu tanpa ada orang yang memegangnya. Sehingga orang-orang yang semula menonton ubrug jadi penasaran untuk menghadiri ceramah Syekh Mustaya. Kembali kepada kisah kunjungan KH. Maujud kepada Syekh mustaya. Syekh Mustaya menceritakan kepada KH. Maujud kisah tentang waktu ia dipesantren bersama Syekh Astari. Menurut Syekh Mustaya, Syekh astari adalah sosok yang sukar dicari tandingnya akan akhlak dan lain sebagainya. Syekh astari adalah orang yang mempunyai akhlak yang sangat sempurna ketika di pesantren. Ketawaduannya kepada teman tidak ada bandingnya. Setiap mengaji di hadapan guru ia selalu datang sebelum guru datang. Dan di dalam pengajian ia duduk bersama teman ketika berdesakan selalu menaikan paha temannya di atas pahanya. Ia hanya mau memberi tak mengharap diberi. Ia hanya mau memangku tak berharap di pangku. Ia hanya mau membahagiakan tak mengharap balasan. Teman yang sering di sandinginya adalah syekh Mustaya, maka Syekh Mustayalah yang sering pahanya ditumpangkan di atas paha Syekh astari. Suatu ketika ketika Syekh Astari tidak ada Syekh Nawawi mengatakan kepada seluruh para santri bahwa ia melihat cahaya terang dari wajah Astari dan menganjurkan kepada para santri untuk tidak berbuat yang kurang baik kepada Syekh Astari. Ketika mendengar penuturan Syekh Nawawi itu, syekh Mustaya tidak mau lagi menumpangkan pahanya di atas paha Syekh Astari walaupun Syekh Astari memaksa. Tapi tetap saja sepanjang pengajian keduanya hanya sibuk menumpangkan paha temannya kepada yang lainnya. Sehingga Syekh Mustaya akhirnya mengalah. Ketika tiba giliran mengaji berikutnya, Syekh Mustaya sengaja datang terlambat agar bisa menjauhi syekh astari. Ia tahu pasti syekh Astari akan masuk majlis sebelum syekh Nawawi datang. Setelah ia memastikan syekh Astari duduk di majlis, barula ia masuk majlis dan sengaja ia duduk jauh dari tempat Syekh astari. Ketika Syekh mustaya sedang asik mengaji betapa kagetnya ia karena Syekh Astari telah berada di sampingnya dan telah menumpangkan paha syekh Mustaya di atas pahanya sendiri. Syekh Mustaya menceritakan bahwa Sekh Astari hanya mempunyai satu pakaian untuk dikenakan. Bukan karena ia tak punya. Keluarganya adalah keluarga yang berkecukupan. Tapi karena bila ia mempunyai dua baju atau lebih, maka ia



29



akan segera memberikannya kepada orang lain. Ia hanya mau mempunyai baju satu saja yaitu yang menempel di badannya. Ketika satu baju ini di cuci ia berendam di dalam air sampai bajunya kering. Begitu juga bila ia pulang dari rumah membawa beras, lauk pauk dan sebagainya maka sesampainya di pesantren semua beras dan yang lainnya ia bagikan kepad teman-temannya. Sementara ia melalui hari-hari berikutnya dengan kepasrahan kepada Allah Swt. SEMBILAN SAHABAT BERPISAH Setelah beberapa tahun mendapat bimbingan dari Syekh Nawawi Mandaya, akhirnya Syekh Nawawi mempersilahkan delapan orang ini untuk pulang ke kampungnya masing-masing guna mengamalkan ilmu di masyarakat. Sebelum pulang delapan sahabat ini bersepakat untuk membantu pembangunan rumah Syekh Nawawi yang kebetulan baru saja bersiap-siap akan membangun rumah. Kebetulan mereka selain sebagai santri juga cakap dalam pertukangan. Syekh mustaya menceritakan bahwa Syekh astari yang berbadan kurus sangat cekatan dalam mengerjakan apapun. Apalagi ketika sampai mengerjakan bagian kuda-kuda di atas. Tubuh Syekh astari begitu lentur bergelayutan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Syekh Mustaya rupanya agak takut ketinggian. Ia ingin membantu syekh Astari di atas tapi ia takut ketinggian. Rupanya Syekh Astari mengetahui gerentes hati Syekh mustaya, akhirnya ia mengulurkan tangan kepada Syekh Mustaya untuk ikut naik. Mulanya Syekh Mustaya ragu-ragu. Tapi akhirnya Syekh Mustaya menyambut tangan Syekh Astari dan aneh ketika tangan syekh mustaya menyentuh tangan Syekh astari, seluruh rasa takut itu hilang. Rumah itupun setelah beberapa hari hamper rampung kecuali ketika hendak membikin undak paling atas. Delapan sahabat ini berbeda pendapat. Ada yang mengusulkan begini, ada yang begitu. Akhirnya syekh Nawawi turun tangan sendiri untuk menentukan model yang ia inginkan. Kejadian undak itu adalah isyarat bahwa sejadug-jadugnya murid tetap saja ujung penyelesaiannya adalah sang guru. Setelah rumah selesai dibangun, Syekh nawawi memerintahkan delapan sahabat ini untuk bertahannus selama empatpuluh hari empat puluh malam di payon rumah barunya itu. Setelah selesai bertahannus, delapan sahabat ini dipersilahkan pulang kembali ke kampungnya masing-masing untuk mengamalkan ilmu di tengah masyarakat. Akhirnya setelah sekian tahun bersama mulai dari pesantren Bunar asuhan syekh jaliman sampai di Mandaya kesembilan sahabat ini berpisah. KEHAUSAN ILMU



30



Setelah pulang dari Mandaya, Syekh Astari pulang ke cakung. Sesuai amanat gurunya ia mengamalkan ilmu semampunya di tengah masyarakat cakung. Umurnya waktu itu sekitar tigapuluhan. Tidak ada riwayat yang jelas apakah ketika itu ia sudah menikah ataukah belum. Pada zaman dahulu sudah lazim santri yang telah layak menikah mempunyai isteri di sekitar tempat ia mesantren sambil terus mengaji. Walaupun telah diam di Cakung, syekh Astari tidak menghentikan kehausannya akan ilmu agama. Kadangkala ia ke luar cakung untuk mengaji pasaran. Tercatat Syekh astari kemudian mesantren kepada Syekh Piyan di Laes. Juga kepada Syekh Misbah dan syekh Toyib di Koper. Termasuk kepada Ki romli di Cideng Kresek. Juga kepada beberapa kiayi yang lain. Sekitar tahun 1920 Syekh astari mendirikan pesantren di cakung. Berdatanganlah para murid dari berbagai daerah.Syekh astari menekuni pesantren sampai kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. SEMANGAT SYEKH ASTARI UNTUK INDONESIA MERDEKA Di masa perang, Syekh Astari gigih memberikan semangat kepada para pejuang untuk siap berperang merebut kemerdekaan. Ki Busyro mengisahkan bila saatnya tiba para tentara berperang, maka Syekh Astari mempersiapkan gentong yang berisi air kemudian para tentara itu satu persatu diberi minum dan di mandikan oleh Syekh astari agar hatinya bersih dan penuh keikhlasan dalam berperang. Selain itu untuk menambah keberanian tentara. Karena sebagian dari keistimewaan putra-putra Banten adalah memiliki bakat keberanian yang turun temurun. Air yang diberikan syekh astari itu hanya menambah dan mengasah keberanian yang telah melekat ada di dada putra Banten. Takut, adalah kata yang tak diajarkan bagi putra Banten sejati. Keberanian adalah jiwa, dan akhlak adalah hiasanya. Sebelum kemerdekaan, Sukarno mendatangi Syekh astari untuk bersilaturahmi dan memusyawarahkan bagaimana supaya Indonesia cepat merdeka. Ketika itu Syekh Astari sedang bikin sebuah sumur, Sukarno pun ikut bersama syekh astari memperhatikan para tukang penggali sumur. Sukarno memang sering berziarah ke Cakung sejak muda. Disela-sela kesibukannya menggalang para pejuang kemerdekaan, Sukarno menyempatkan waktunya untuk memenuhi hasrat batinnya berziarah ke para wali termasuk kepada para wali di Cakung. Ki Hamzah dari Talaga cisoka mengisahkan bagaimana pertemuannya dengan syekh Astari di serang. Syekh astari menyatakan Indonesia bisa merebut kemerdekaan dengan perjuangan dan do’a. Syekh Astari menyarankan kepada orang-orang yang mampu untuk pergi haji ke Makkah dan berdo’a di hadapan ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.



31



Ketika Ki Hamzah hendak mesantren ke Rangkas Bitung bersama sekitar lima orang temannya melalui stasiun tenjo, ia bertemu dengan dua orang yang berpakaian rapi. Kedua orang itu bertanya “mau kemana, dik?”. Ki Hamzah dan teman-temannya menjawab “Kami mau mesantren di rangkas Bitung dengan kreta, pak”. “O, kebetulan Kami juga mau ke Rangkas, biarlah adik semua bareng dengan Kami saja!”. Tanpa menolak Ki hamzah dan teman-teman menuruti ajakan dua orang tersebut. Mereka satu gerbong dengan keduanya. Semua ongkos Ki Hamzah dan teman-teman di tanggung keduanya, bahkan seluruh penumpang di gerbong itu biayanya ditanggung mereka berdua. Rupanya tanpa disangka, tujuan Ki Hamzah dan teman-teman sama dengan kedua orang yang berpakaian rapih itu, yaitu pesantren di daerah rangkas. Setelah tiba di pesantern itu, rupanya di pesantern itu sedang ada acara pertemuan akbar. kedua orang ini memang sedang ditunggu. Ki Hamzah dan teman-teman heran, siapakah kedua orang yang bersama mereka di kreta itu. Mengapa mereka berdua begitu ditunggu dan dielu-elukan. Ketika memasuki pintu gerbang ada orang berseru “Selamat datang kepada IR. Sukarno pejuang kemerdekaan Indonesia”!.barulah Ki Hamzah dan teman-teman tahu bahwa orang yang bersamanya adalah Ir. Sukarno seorang pemuda yang selama ini menjadi buah bibir anak bangsa akan kesemangatnya memperjuangkan Indonesia merdeka. Dalam pidatonya Ir. Sukarno mengatakan Indonesia harus merdeka pada tanggal 17 agustus 1945. Setelah beberapa tahun mesantren di Rangkas, ketika Ki Hamzah telah berada di Cisoka. KH. Ahmad Khatib pidato di cisoka bahwa Indonesia akan merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, sama dengan pidato Ir. Sikarno di Rangkas. Kemudian Ki Hamzah pergi Ke Makkah Al Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ia bertemu dengan Syekh Astari cakung di rumah Syekh Nawawi di Syib Ali. Kemudian mereka berdo’a di depan ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam kisahnya Ki Hamzah meriwayatkan bahwa selain bertemu dengan Syekh Astari ia juga bertemu dengan Syekh Nawawi Tanara.dan Syekh hasan bashri. Padahal Syekh Nawawi Tanara dan Syekh Hasan Bashri telah wafat ketika itu. Apalagi syekh hasan Bashri telah wafat sekitar tigaratus tahun. Pertemua dengan para ulama yang wafat adalah hal yang lumrah dalam dunia pesantren. Karena orang-orang mulia itu sebenarnya tidak mati. Menurut Ki Hamzah, setelah berdo’a bersama Syekh astari, Syekh Hasan Bashri dan Syekh Nawawi, Syekh Hasan Bashri Cakung mengatakan “Kalau sudah berdoa semuanya harus segera pulang ke Jawa untuk mengawal kemerdekaan Indonesia!”. Akhirnya semuanya sepakat untuk segera pulang, namun kapal yang mengangkut mereka tidak ada. Kemudian Syekh Hasan bashri bertanya “siapa yang bisa menyiapkan kapal?. Kemudian Syekh Hasan Bombay mengatakan saya siap menyiapkan lima kapal” kata Syekh Hasan bahsri “ kalau Cuma lima masih kurang,



32



siapa lagi yang bisa menyiapkan sisanya?” kemudian ada seorang janda kaya namanya Nyi ratu Juriah yang sanggup menyiapkan tiga kapal. Akhirnya mereka dan para orang-orang Banten dan nusantara yang berada di makkah pulang ke Indonesia. Akhirnya sampailah rombongan kapal dari makkah ini di Tanjung Priuk. Kemudian Ki Hamzah pulang ke Cisoka. Di sepanjang jalan dari tangerang sampai Cisoka dia melihat rombongan bebek yang digiring orang. Panjangnya iringan bebek ini tidak putus-putus sampai Cengkudu. Menurut Ki Hamzah ini pertanda bahwa belanda pergi dari Indonesia dengan hina seperti bebek-bebek itu. LEBUR BERSAMA TUHAN Setelah kemerdekaan Indonesia Syekh Astari di sapa Tuhan dengan cintanya. Ia majdzub terserat cahaya rabbani. Yaitu keadaan di mana seorang hamba lebur membaur bersama kasih sayang tuhan atau dalam dunia sufi di sebut fana fillah. Keadaan di mana dunia beserta segala isinya tiadalah menarik hatinya kecuali hanya mengharap cinta dan keridoannya. Keadaan di mana hati ini sudah tiada memperdulikan lagi segala apa pendapat makhluk kepadanya kecuali hanya pandangan Allah. Keadaan di mana asa dan rasa telah terbakar hangus oleh api cinta yang membara kepada Allah. Hakikat terasa begitu Nampak tak berselimut gerhana basyariyah. Yang ada hanya Tuhan, tiada yang lain lagi. Hati terasa begitu ringan tanpa beban. Bersinar sejuk putih mempesona tiada tara. Tiada lagi hiqid terselip. Tiada lagi luka akibat benci. Tiada noda hasad. Berkemilau bagai berlian. Dan anggun bagai mutiara tanah Lombok. Demikianlah jalan hidup Syekh astari. Allah memilihnya untuk menjadi bagian dari kekasihNya, wali-Nya yang menjadi oase bagi hamba-hambaNya di tengah gersangnya kehidupan rohani. Syekh astari kemudian mewaqafkan hidupnya hanya untuk kebahagiaan sesame. Ia berkeliling membangun masjid-masjid dan majlis taklim. Ia buka jalanjalan baru untuk dapat dilalui manusia. Ia membuat irigasi untuk pemandian masarakat dan pertanian. Ia buat danau-danau kecil di depan masjid dan di tengah perkampungan. KELUARGA SYEKH ASTARI Syekh Astari menikah beberapa kali. Di cakung beliau menikah dengan Nyi Aisah mempunyai anak satu yaitu Ratu Asiroh. Kemudian menikah dengan putri Ki Misbah Koper mempunyai anak Syekh Bakri. Dengan Nyi Dewi mempunyai anak Muhammad Gaosul alam. Dengan Nyi Sabnah Koja mempunyai anak 5 yaitu: Muhammad nawawi, Nyi suaroh, Maulana Yaudin (Badong), KH. Maujud dan Anwar Kamil.



33



RIWAYAT-RIWAYAT TENTANG SYEKH ASTARI Kehidupan yang indah. Itulah kesimpulan bila kita mengenang tokoh syekh Astari cakung. Ketika masa hidup beliau setiap hari Kampung cakung ramai oleh para peziarah yang ingin memohon do’a dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petani, pedagang, nelayan, pejabat tinggi sampai rendahan, anak-anak semuanya ingin bertemu dengan syekh astari dan memohon petunjuk akan masalah yang merek hadapi. Setiap orang yang pernah berkunjung kepada beliau mendapatkan kesan yang begitu dalam. Bahkan tak jarang mereka mendapatkan hal-hal gaib dan aneh yang berada di luar aqal. Bisa dikatakan Syekh astari adalah Wali yang banyak Allah dzahirkan keramatnya kepada manusia pada zamanya. Buku kecil ini bukanlah buku penelitian juga bukan buku pencakup seluruh keramat-keramatnya karena waktu yang tidak cukup untuk mendatangi para orang-orang yang memiliki kisah-kisah indah bersama Syekh astari. Buku kecil ini hanyalah setetes embun dari segara kisah tentang beliau. Penulis akan memberikan beberapa kisah tentang syekh astari yang penulis dapatkan dari orang-orang yang berada di lingkungan penulis saja. Ustad Karman dari talok menyebutkan ada seorang pedagang minyak wangi dari Balaraja mengaku selalu berdagang sepi dan rugi. Suatu ketika minyak wanginya ini di ambil tanpa permisi oleh Syekh Astari. Sang pedagang ini membiarkan saja. Lalu Syekh Astari menyemprotkan minyak wangi itu kepada orang-orang yang ditemuainya. Setelah kejadian itu, dagangannya menjadi laris dan maju. Ia juga meriwayatkan, ada dua orang dari bekasi meminta Ki Karsam (mertuanya) untuk mengantar mereka ke Syekh astari. Setelah sampai rumah beliau, beliau berkata sambil menghadap kiblat “ada orang yang ditunggu kuburan tigahari lagi!” singkat cerita, dua orang dari bekasi ini pulang. Kebetulan tujuan ke rumah mereka melewati kali, dan harus naik perahu bila mau samapai. Ternyata perahu ini terbalik dan salah seorang di antara mereka meninggal tepat di hari yang ketiga seperti yang dikatakan Syekh Astari. Ia juga meriwayatkan pertemuan pertamanya dengan syekh astari. Setelah sampai di hadapan syekh Astari, beliau berkata: “Alhamdulillah, saya kedatangan tamu dari Petir, Rembang dan Cianjur”. Ustad Karman kaget, nama-nama daerah yang disebutkan syekh astari itu adalah nama-nama tempat ia mesantren padahal ia belum pernah bercerita di mana ia dulu mesantren. ia juga mengkisahkan tentang rencana kondangan H. Abdul ghani dan rombongan ke Petir. Karena mobil sudah penuh akhirnya Syekh astari yang berencana ikut di tinggal karena tempat yang kosong hanya di belakang. Menurut H. Abdul Gani tidak pantas syekh Astari duduk di belakang sedangkan di depan



34



juga sudah ada kiayi lain yang sudah duduk. Kebetulan syekh Astari belum datang. Akhirnya mobil ini berangkat tanpa Syekh astari. Sampai renged tepatnya di ki buyut Ketul mobil ini mogok. Para mekanik berusaha menservis mobil ini agar jalan, tetap saja mobil ini mogok. Akhirnya setelah lama barulah H. abdul ghani ingat bahwa ia telah meninggalkan Syekh astari, akhirnya Syekh astari disusul. Setelah Syekh Astari duduk, mobil ini langsung menyala setelah di engkol. Mang Udin dari cakung menyebutkan, dulu ia adalah seorang supir. Ketika ia mau berangkat ke Jakarta di kandaggede ia diberhentikan oleh syekh Astari dan memintanya untuk mengantarkan ke Koja-Bolang. Dia mengatakan tidak bisa karena sedang buru-buru berangkat ke Jakarta. Secara tiba-tiba mobilnya mogok. Orang-orang yang ada di sekitar jalan membantu mang udin mendorong mobil, tapi tetap mogok. Akhirnya mang udin mempersilahkan Syekh astari duduk dalam mobil. Kemudian mobil didorong lagi dan langsung menyala. Mang Buang mengkisahkan, di Pesantren syekh astari ada sebuah pohon kelapa tumbang. Para santri berusaha mengangkatnya. Karena kelapa ini besar mereka tidak kuat. Pada waktu malam kemudian Syekh Astari keluar dari rumah. Mang buang memperhatikan kemana Syekh astari malam-malam begini mengenakan kaos dan celana komprang. Ternyata ia mendekati pohon kelapa yang tumbang itu. Kemudian Syekh astari mendekatkan jempol kakinya ke pohon kelapa itu. Dan kemudian menjungkitkan jempol kakinya. Subhanallah hanya dengan menjungkitkan jempol kakinya akhirnya pohon kelapa ini terangkat sampai ketempat pembuangan. ILMU LADUNI SYEKH ASTARI KH. Maujud bin Syekh Astari semasa hidup ayahnya diijahkan ilmu laduni. Sekarang beliau berkenan mengijajahkan ilmu itu untuk di amalkan oleh kaum muslimin dan muslimat. KH. Maujud berkata: “agar semua orang seneng belajar mengaji, kami senang sekali kalau wiridan ini diamalkan oleh kaum muslimin dan muslimat agar mendapatkan rido dari Allah swt. Saya ikhlas dan ridlo mengijajahkan wirid ini kepada muslimin dan muslimat”. Wiridan itu seperti di bawah ini: ‫اللهم زدنى علما نافعا لدنيا وفهما واسعا يا كاشف المشكالت و يا عالم السر والخفية اكشف ع نى وج وه ه ذه‬ ‫ ب ا فت اح‬,×3 ‫المعانى حتى اطلع الى حقيقة المسائل واحفظنى انت الموفق ألمرى وانت عالم الغي وب ي ا اهلل‬ ‫ اللهما علمنى من لدنك علما مخزونا‬... ×3 ‫ يا عليم‬... ×3 Lafadz terahir Allahuma allimni ilman makhzuna dibaca sebanyak-banyaknya. UANG BARU SYEKH ASTARI



35



Semasa hidup Syekh Astari beliau sering membikin coretan dikertas untuk para tamu yang mendatangi beliau. Beliau menyebut coretan kertas ini dengan uang baru. Di dalamnya terdapat coretan berupa hurup-hurup dan angka-angka serta beberapa kalimat. Setelah wafatnya beliau uang baru ini banyak dicari orang. Beberapa keramat uang baru ini dirasakan oleh masyarakat karena uang baru ini di tulis oleh seorang waliyullah. Ketika penulis berangkat haji banyak para jamaah yang memfoto copy uang baru Syekh Astari ini untuk diletakan dalam koper haji. Kata penulis kepada mereka walaupun memang uang baru ini diberikan keramat oleh Allah, tapi kalau hanya fotocopy mungkin tidak akan manjur. Setelah sampai bandara Jeddah, semua koper para jamaah yang ada fotocopy uang baru Syekh astari ini selamat tidak mendapat pemeriksaan dari petugas bandara, sedangkan koper penulis sampai dua kali dibongkar. WAFATNYA SYEKH ASTARI BIN MAULANA ISHAQ Setelah perjalanan yang cukup panjang dalam kehidupan yang penuh keindahan, Syekh Astari bin Maulana Ishaq kembali ke hadirat Al Rafiiq Al-a’la pada hari jum’at jam 05 subuh taggal 28 Dzulqo’dah berbarengan dengan 24 juli tahun 1987 dalam usia 99 tahun. Sebelum meninggal KH. Maujud pada jam 04 subuh bertanya kepada Syekh Astari dalam bahasa jawa: “Bah, isun ayun diwasiati napa?” (Ayah, saya mau diwasiati apa?). kemudian syekh astari mengatakan:”Siramah kan wis diwasiati nang abah sing dinginkah!” (Kamu kan sudah Ayah wasiati yang dulu itu). KH Maujud berusaha mengingat-ingat apa yang pernah Syekh astari wasiatkan. Akhirnya Syekh Astari mengingatkan bahwa yang ia wasiatkan adalah ayat: ‫فإن اهلل لغني عن العالمين‬ Dibaca sebelas kali setiap setelah solat lima waktu. http://syamsoelmuin.blogspot.com/2013/02/syekh-astari-cakung-seri-sejarahkiyai_9133.html http://suhaedialvhega.blogspot.com/…/syekh-astari-cakung-se… https://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH



36



SYAIKH UMAR RENCALANG Catatan Kehidupan Ulama Sufi di Serang Utara Th. 1950 Penulis M. Hamdan Suhaemi Figur Sufi Suatu hari di masa normalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara tahun 1956 setelah satu tahun usainya Pemilu 1955. Kehidupan umumnya bangsa Indonesia merasakan aman dan terjaganya ketertiban. Di tahun itu (1956) ada peristiwa yang menjadi catatan khusus buat kita simak dan kita maknai sebagai perjalanan spiritual (rihlah bathiniyah), bermula pada sosok tua yang punya kebiasaan aneh, sering dikatakan “khoriqu al ‘adat” (di luar kemampuan dan nalar biasa), satu waktu ia menghilang entah di mana, namun tiba-tiba muncul tanpa diduga, sungguh memang kebiasaan sufi umumnya yang sudah meninggalkan dunia (uzlah). Pada saat yang bersamaan sosok tua itu ditemani anak muda yang jadi muridnya, anak muda yang tampak cerdas, pemberani, namun tubuhnya kurang begitu kekar, hanya sedikit kencang (kengkeng), tinggi badannya sedang (dampak). Anak muda yang masih berumur 30 tahun itu rupanya adalah santri orang tua tersebut, meski tak tampak ada bilik-bilik pesantren yang mengelilingi, cuman ada satu joglo yang dipakai untuk pengajian umum masyarakat seputar Rancalang dan Tanara. Sosok tua yang mukim di Rancalang itu adalah figur ulama yang wara’ dan sufi yang nyentrik, masyarakat Rencalang memanggilnya Yai Umar dan masyarakat luas mengenalnya dengan Kiai Umar Rencalang. Ia adalah guru sufi tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiah yang pernah menerima kedatangan Menteri Agama RI KH Wahid Hasyim tahun 1951. Kekaguman sang Menteri Agama ini terhadap orang tua ini begitu luar biasa. Bahkan seringnya Residen Banten berkunjung ke orang tua yang kharismatik ini meskipun tampilannya tak layak disebut ulama besar, karena kesehariannya yang mengenakan baju hitam dengan celana setengah lutut (celana komprang) tanpa ada simbol sorban dan jubah ulama, percisnya memakai pakaian petani yang hendak menggarap sawah. Hari itu pula di tahun 1956, Kiai Umar mengajak muridnya yang tengah mengisi pengajian kepada santri-santrinya di Joglo untuk pergi ke Mandaya Carenang menemui sahabat Kiai Umar yang kebetulan ia juga seorang sufi yaitu Kiai Nawawi Mandaya yang tenar sebagai penulis kitab Murod ‘Awamil al-Jurjani dan Murod al-Jurumiyah Imam Sonhaji. Konon Kiai Nawawi Mandaya ini sering didatangi Presiden Soekarno di tahun 60-an. Beberapa catatan bahwa era itu Bung Karno cenderung lebih dekat dengan Kiai-kiai NU.



37



Hasil percakapan dua guru sufi tersebut memutuskan untuk menemui seorang sufi, sahabat dari keduanya yang bermukim di Kp. Ketiban Pontang, masyarakat sering memanggilnya Abah Ibrahim atau Kiai Ibrahim. Dari Mandaya rombongan itu menaiki Delman hingga sampailah ke rumah yang dituju, rupanya kiai sufi yang dituju sudah menantinya dengan pakaian yang bersih dan rapi. Beberapa jam kemudian rombongan Delman sudah memasuki tempat tinggal sang mantan Residen Banten yang mukim di Banten Lama, masyarakat Banten mengenalnya Abah Entus KH. Tb. Akhmad Hatib. Dari Banten Lama, rombongan guru-guru sufi itu telah melewati jalanan Cilegon menuju Anyer, dan telah memasuki Jalan Raya Deandles grote posweg. Hingga pada saat jelang Ashar mereka tiba di kediaman Ajengan KH. Khadim Asnawai. Mereka pula sejenak beristirahat di pondokan dekat kediaman Ajengan. Ijazah Tarekat Ajengan Khadim Asnawi adalah ulama besar yang tenar di masyarakat Banten sebagai Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah, Ia adalah anak pertama Kiai Agung Asnawi seorang ulama besar Banten musryid dari Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah yang wafat tahun 1937. Kiai Asnawi satu angkatan dengan Hadrotus Syaikh KH. Hasyim As’ari Tebuireng Jombang Jawa Timur sama-sama sebagai santri Syaikh Nawawi Al Bantani. Ajengan Khadim pulalah yang meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah sebagai al-Mursyid, dan menggantikan Kiai Agung Asnawi Caringin. Murid-muridnya tersebar ke seluruh pelosok penjuru Nusantara. Pada kesempatan yang telah diatur oleh orang tua dari Rancalang, anak muda yang jadi muridnya itu diperintahkan untuk menghadap Ajengan Khadim Asnawi untuk menerima ijazah tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah. Tak lama anak muda tersebut telah berhadapan dengan Ajengan Khadim Asnawi. Ajengan telah memastikan bahwasannya yang akan diberi ijazah adalah orang yang betulbetul telah siap lahir batin. Butiran-butiran ucap dan kata-kata Ajengan Kahdim Asnawi mulai mengheningkan suasana, maka rangkaian kalimat-kalimat tarekat terucap lirih dengan sambil memegangi tangan kanan murid Rencalang yang telah duduk bersimpuh, Ajengan menghentakkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan hentakan keras lafadz “Allah” disertai tangan Ajengan yang menempeli tangan sang murid semakin kuat memegangi. Dan ia pun mengikuti kalimat tahlil tersebut yang dituturkan oleh Ajengan, maka spontan tubuhnya mendadak mau roboh, namun dari sampingnya duduknya sudah ada orang tua dari Rencalang dan sang Residen Banten yang mendampinginya hingga kedua ulama besar ini memegangi tubuh sang murid itu dengan sekuat tenaga karena kondisinya dalam keadaan tak stabil. Situasi tersebut disebutkan sebagai pengijazahan tarekat Qodiriyyah Wa Naqsabandiyah.



38



Generasi Sufi Beberapa tahun setelah wafatnya para kiai sufi tersebut seperti Kiai Umar yang wafat sekitar tahun 1964, disusul kemudian Kiai Akhmad Khatib, Kiai Gafar Lempuyang dan seterusnya Kiai Nawawi Mandaya, Kiai Ibrahim Ketiban, dan Kiai Daud Teras, terdapat pula beberapa figur ulama sufi sebagai generasi setelah Kiai Umar dan Kiai Khatib, antara lain Kiai Fakhri Aslam, Kiai Payumi Thowil, Kiai Syanwani Kalapian, Kiai Maulud Lempuyang, Kiai Zuhri Pontang, Kiai Mas Sulaiman, Kiai Alqomah Lebak Bojong dan tak ketinggalan sang murid dari 4 kiai sufi yaitu Kiai Syanwani Sampang. Kiai-kiai sufi yang rerata meninggal di tahun 80-an sebagai pelanjut dari generasi era 60-an, tak banyak mengader generasi kiai sufi berikutnya, meski kita dapati Kiai Sufi seperti Kiai Marsyad Singarajan, Kiai Nabhani Syanwani Dukuh, Kiai Mufti Asnawi Cakung, Kiai Jarnudi Laban dan yang masih hidup seperti Kiai Humed Endol, Kiai Asy’ari Jamplaon, Kiai Ahmad Royani Lebak Bojong. Awal abad 21 generasi kiai-kiai sufi sulit kita jumpai. Putusnya generasi tersebut akibat dari keengganan kiai-kiai generasi berikutnya untuk mau menjalankan tradisi sufisme yang kental dengan praktik tarekat, ini patut menjadi perhatian bahwa putusnya sanad tarekat ini justru akan semakin mudahnya arus paham baru yang terus menggerus ajaran dan tradisi yang telah diwariskan para kiai sufi terdahulu. Catatan ini menjadi tolak ukur betapa pentingnya mata rantai sufisme itu tetap terjaga, sebab keberlangsungan kehidupan beragama masyarakat Serang Utara tanpa adanya figur-figur kiai sufi sulit diikat oleh kekuatan (haibah) secara batiniyah, sebagai hikmah dari keberkahan doa kiai sufi yang kesehariannya hanya zikir, untuk kemudian keberkahan tersebut menaburi kehidupan masyarakat. Sumber Tulisan Wawancara dengan Hj. Afifah Afifah puteri Kiai Syanwani Sampang di kediamanya di Bolang Lebak Wangi, tahun 2013. Wawancara dengan Kiai Abdul Aziz Muin, cucu Kiai Umar Rancalang di kediamannya di Rancalang Tanara, tahun 2013. Wawancara dengan Kiai Syakirin ( santri Kiai Syanwani Sampang ) di kediamanya di Puyuh Koneng Kenacana Harapan, Lebak Wangi, tahun 2013. Wawancara dengan Kiai Ahmad Royani di kediamannya di Lebak Bojong, Lebak Wangi tahun 2016.



39



KH. SYANWANI BERGURU KEPADA SYAIKH UMAR RANCALANG Mamat, nama panggilan KH. Syanwani waktu kecil, berkelana bersama saudarasaudaranya menuntut ilmu keberbagai pesantren. Pesantren-pesantren yang ia pernah berguru kepadanya di antaranya pesantren Cengkudu yang diasuh oleh kiayi besar KH. Muhammad Sidik. Kemudian Pesantren Gentur di Purwakarta dan lainlain. Setelah mumpuni dalam bidang ilmu pesantren ia pulang ke Sampang untuk membantu ayahnya mengasuh pesantren. Ketika beliau pulang di daerah Banten utara sedang digegerkan dengan munculnya fenomena Ki Umar Rancalang. Ki Umar di kabarkan sebagai waliyullah yang dapat mengetahui hal-hal gaib dan mempunyai berbagai macam karomah yang luar biasa. Mamat, sebagi pemuda yang berilmu pesantren yang mumpuni tidak begitu saja mempercayai Ki Umar sebagai waliyullah. Apalagi dikabarkan Ki Umar mempunyai kelakuan yang tidak biasa dilakukan para kiayi. Atau bisa dikatakan Ki Umar bertingkah layaknya orang gila. Dihikayatkan, kemudian Mamat pergi menemui Ki Umar di Rencalang dekat Tanara dengan maksud untuk menguji keilmuan Ki Umar dan ingin membuktikan apakah benar yang dikatakan orang bahwa Ki Umar adalah waliyullah. Sesampainya di pintu rumah Ki Umar, Mamat di kejutkan oleh suara dari dalam rumah: “Kamu datang mau menjajal ilmu, anak muda. Sesungguhnya ilmu itu bukanlah dari apa yang dipelajari tapi apa yang diamalkan.” Atau dengan kalimat dalam bahasa jawa yang maknanya hampir serupa itu. Setelah membuktikan keluarbiasaan Ki Umar akhirnya Mamat berkeinginan untuk berguru kepada Ki Umar. Akhirnya Mamat berguru ilmu al ahwal atau ilmu tasawuf kepada Ki Umar sekitar empat tahun. Dalam sejarah belajarnya Mamat di Ki Umar bukan seperti menuntut ilmu dipesantren dengan mengaji kitab kuning. Tapi Mamat mendapatkan bimbingan batin untuk mencapai derajat kesufian yang paripurna. Setiap hari Mamat diharuskan berpuasa selama ia berguru kepada Ki Umar. Dan ia berbuka dengan apa yang ada diwaktu adzan. Kadangkala mamat hanya berbuka dengan air yang mengalir di dalam selokan. Setelah jiwa mamat dirasa cukup siap untuk terjun ke masyarakat, Ki Umar memerintahkan Mamat untuk kembali ke Sampang. Akhirnya kemudian mamat membantu ayahnya mengajar di Pesantren. Setelah mamat pulang, Pesantren Ashhabul Maimanah maju pesat. Santri dari berbagai daerah datang. Dari Serang, Tangerang, pandeglang, Jakarta, Lampung, palembang, Demak, bogor dan lainlain.



40



MENARA UNIK DI TANARA BUATAN SYAIKH UMAR Mungkin dari kita pernah melihat bangunan yg berbentuk menara namun bentuk nya tidak biasa, bangunan menara tersebut pas ada di depan masjid agung tanara, Samping kanan gedung maulid(tempat lahir ulama hijaz syech nawawi albantani). Menara ini di buat oleh ulama tasawuf yang berasal dari kampung tidak jauh dari kampung tanara yaitu nama kampung nya Rancalang, jarak dari tanara ke Rancalang ±3 kilo an, beliau bernama SYECH UMAR BIN KANU RANCALANG. beliau mendirikan bangunan di tanara bukan itu aja namun ada lagi yaitu Pendopo sebelah kiri(kalau kita menghadap masjid), Sumur. Kami pribumi atau keturunan dari tanara menyebut menara tersebut dengan "MENARA KI UMAR RANCALANG" atau "MENARA MASJID AGUNG TANARA" Di saat pembangunan menara ini, Ki umar Rancalang memerintahkan santri nya 8 orang untuk membangun menara, 8 orang ini bertugas membangun. Setiap orang di bagi per pintu menara, Singkat cerita Setelah bangunan sudah selesai, salah satu dari 8 santri nya iseng-iseng menghitung pintu menara tersebut... Al hasil di temukan keanehan & keajaiban yg tak terduga Pintu yg di bangun lebih 1, yg di targetkan hanya 8 pintu... Salah satu orang tersebut memberitahu kan ke teman nya yg lain, "Lebih siji, lebih siji, sapa sing nykel sing siji lawang iku?" Yg lain hnya geleng2 kepala, pertanda tidak ada. Ke 7 org tersebut yg pnasaran ikut menghitung nya Ternyata benar ada 9. Masih penasaran. Salah satu dari 8 santri ki umar Rancalang meminta ambil posisi masing2 pintu sesuai pekerjaan nya yg tadi. ALHASIL 1 pintu tak ada petukang nya Dan salah satu laporanlah ke guru nya yaitu ki umar rancalang. Namun di jawab dengan Senyuman saja Sumber cerita dari santri ki umar rancalang yg ikut langsung dalam pembangunan nya,



41



SYECH NAWAWI MANDAYA “Muallif Murod Kitab Awwamil” By AIS BANTEN



Syech Nawawi bin Syech Muhamad Ali bin Akhmad bin Abu Bakar rohimakumullah, dilahirkan di Mandaya – Carenang Serang Banten, pada tahun 1847M 1295H. Di jaman penjajahan Belanda, dari seorang ulama besar yang bernama Syech Muhamad Ali, beliau putra paling di sayang karena kepintaran dan kecerdasan akalnya serta sudah terlihat oleh ayahandanya semenjak usia kanak – kanak, dengan sebab di sayangnya beliau, maka kemana saja pergi ayahanda ke Dighul Timur Kupang, berkali – kali beliau selalu di bawa, waktu itu beliau berusia 6 tahun. Riwayat dibuangnya ayahanda ke Timur Kupang dan sejumlah tokoh – tokoh ulama lainnya termasuk Ki Akhmad Towil/Ki Wasid, karena memang mereka –mereka inilah yang bersi keras menentang para colonial Belanda. Menurut salah satu sumber, pada waktu itu ada sebuah pohon besar yang menjadi pemujaan Belanda dan pengikutnya, karena syech Muhamad Ali seorang tokoh ulama maka sangat tidak senang dengan prilaku penyembahan terhadap selain Allah, akhirnya pada suatu malam di ikatlah pohon itu dengan benang merah, hingga pada akhirnya tumbanglah pohon itu, dan marahlah para pemuja – pemuja syetan itu hingga pada akhirnya di tangkaplah para alim ulama termasuk diantaranya syech Muhamad Ali beserta putra tersayangnya. Setelah syech Muhamad Ali dibuang pertama ketika Belanda pulang Ki syech sudah ada di rumah sampai tiga kali kejadian, tapi pada akhirnya Ki syech menyadari, bahwa ini mungkain slah satu suratan takdir harus dibuang oleh Belanda, maka beliau Ki syech menerimanya denga ikhlas dan rela, ditempat pembuangan para tokoh dan ulama ini selalu di siksa dan di perlakukan yang tidak menyanangkan, hingga suatu waktu colonial Belada memberikan tugas sayembara yang sangat sulit kalu dinilai oleh manusia biasa, yaitu di suruh menebang pohon yang batabgnya condong ke air, tapi kalau sudah ditebang jangan roboh ke air, dan diundilah satu persatu ulama tersebut sampai pada akhirnya syech Muhamad Ali mendapat urutan ke 7 (tujuh) dari mulai satu, dua, dan tiga. Semua gagal dalam melaksanakan tugas dan dibunuh dengan cara ditembak di temapt, pada waktu itu beliau Ki syech Muhamad Ali mengusulkan supaya jangan tambah korban lagi,



42



karena mereka adalah ulama. Jadi sayang kalau mereka harus mati karena Belanda, inilah sikap bijak seorang ulama. Ketika beliau syech Muhamad Ali mengajukan usul diterimalah usulnya itu oleh colonial Belanda. Beliau melangkah maju, seraya berdoa denga sekujur tubuhnya dengan darah – darah yang mengalir semua sudah terserap dengan Latoif Toriqot Qodiriyah dan Naksabandiyah. Dengan izin Allah SWT dipeganglah satu daun dari pohon itu dan terangkat roboh kedaratan bukan kesungai tanpa menyentuh air sedikitpun, akhirnya dibebaskanlah sisa ulama itu dan pulang ke Banten. Dalam perjalanan pulang ketika samapi di pulau NTB Ki syech juga melihat kegiatan masyarakat sekitar, dalam pemujaan pemusyrikan penyembahan selain Allah. Akhirnya beliau singgah dan menetap hinga menikah dengan salah seorang wanita salihah dan mendapatkan keturunan disanayang sampai sekarang masih meneruskan menylurkan ajaran – ajaran Islam disana dan kramatnyapun di rawat, di jaga, di bangun quba untuk para peziarah. Setelah beliau istiqomah ± 6 tahun dan sebelum wafat beliau memanggil putra kesayangannya syech Nawawi untuk menghadap, lalu memberi amanat 2 buah kitab yaitu Awamil dan jurumiah yang pada waktu itu belum disempurnakan lagi dari lafadz maupun murod dan dijampilah beliau syech Nawawi oleh ayahandanya, Ki syech Muhamad Ali memerintahkan kepada putranya untuk pulang ke Banten menemui ibundanya tercinta nyiSiti Fatimah yang wafat di Mekah dan di kubur di Mekah dan punya peninggalan merupakan rumah di Mekah di daerah Jabal Qubes yang sekarang sudah terbongkar untuk peluasan Masjidil Kharom. Syech Nawawi pulang dijemput oleh Ki Hasan atas panggilan ayahandanya, ki Hasan Ba’du Khodim syech Muhamad Ali, seperti halnya Ki Bajang waliallah Ba’du Khodim Ki syech Nawawi Tanara. Perjalanan pulang ke Banten syech Nawawi yang didampingi Ki Hasan tanpa dibekali uang sepeserpun tapi anehnya setiap kali perlu pasti ada temasuk setiap kali mau nyebrang laut selalu ada perahu/kapal yang sudah menunggu, subhanallah !!! Sesampainya di Banten beliau Syech Nawawi sebelum melaksanakan amanat / pesan ayahandanya untuk menyempurnakan 2 kitab tersebut, beliau kebingungan bagaimana menyempurnakannya, hingga pada akhirnya kitab – kitab tersebut direndam di air kali/sungai, seraya beliau berkata “ ya Allah kalau memang kitab – kitab ini akan membawa manfaat dan barokah bagi umat, maka kitab ini jangan hancur lebur”, akhirnya berangkatlah beliau ke pesantren. Diantaranya, Bakung Gorda, Kenari Kesemen, Cangkudu Baros, dan lain – lain. Sampai pada akhirnya dari Cengkudu Baros mendapat jodoh putri pungut Abuya Siddiq, dan diiring pulang ke Mandaya untuk Istiqomah. Membangun pondok pesantren, dalam satu riwayat waktu ponpes Mandaya adalah satu – satunya pondok yang



43



menghatamkan Fathul Mu’in dan memadukan pelajaran 2 pan sekaligus, yaitu Fiqih dan Nahwu. Dan disempurnakanlah kitab Awamil dan Jurumiah tersebut secara keseluruhan lafadz maupun murod, dan diajarkan kepada santri sampai sekarang, sudah ribuan Kyai dan Ulama yang tercetak melalui didikan beliau, turun temurun sampai saat inipun masih banyak yang mempelajari/belajar Awamil dan Jurumiah.



Diantaranya Abuya Rasam sang mertua tokoh legendaris Fathul Mu’in Almarhum wal Maghfuroh syechuna wamualimuna wamu’adibuna KH. Yusuf Caringin / Abah Ucu dan KH. Abuya Mustaya Binuang, termasuk minantu tersayang KH. Wasi’ul Hasan Sohibu Warad Tariqot Qodiriyah guru KH. Akhmad Munfasir Padarincang Barugbug Rohimakumullahta’ala Wanafaana Bi’ulumihim fidaroeni Waja’ala Janata Ma’ahum Amiin !!! di dalam mengajarkan ilmu beliau penuh dengan Khowariqul Adat, karena disamping prilaku beliau semenjak kecil jarang tidur malam, jarang makan siang disamping itu pula beliau seorang putra ulama besar yang tersayang. Santri – santri beliau semua jadi orang berpengaruh baik ilmu dohir sariat, maupun batin thoriqot. Bahkan dalam satu riwayat santri beliau bukan sekedar manusia biasa tapi bangsa Jin pun ada yang mengaku guru dan belajar ( sumber dipertanggung jawabkan ). Maka tidak aneh dengan ibadah yang sangat luar biasa dapat dibuktikan sekarang melalui karangannya Al Awamil murod dan Jurumiah murod dapat membawa kita semua para santri dapat terangsang dan terlena untuk mengaji dan menggali ilmu yang lain yang lebih dalam dan kitab – kitab yang lebih besar, sehingga dengan demikian yang awalnya bukan apa – apa dan bukan siapa – siapa, akhirnya dengan sebab berilmu jadi tanda tanya (?), ibu – ibu, bapak – bapak, “oh,,, siapa,,, oh,,, siapa,,,, pintar sekali ngajinya, ceramahnya,, rajin lagi ibadahnya”. Ichwan santri rohimakumullah, akhirnya kemanfaatan dan kebarokahan tersebut semua dapt dirasakan oleh semua pihak umat muslimin khususnya umat manusia umumnya, dengan sebab ilmu dan ajaran beliau syech Nawawi turun temurun sampai kepada masa kita sekarang Insya Allah sampai dekat hari Qiyamah. Beliau mengajarkan ilmu dibarengi dengan keikhlasan. Bukti keikhlasannya itu adalah bergelarnya ilmunya di jaziroh Banten khususnya di dunia umumnya sampai pada akhirnya wafat pada tahun 1949M/1370H di Mandaya, dikebumikan di Mandaya. Yang sedang dibangun Quba keramat dan Majlis Talim. Intaha. KISAH PERTAPAAN SYEKH NAWAWI MANDAYA



44



Ketika mesantren di Syekh Jaliman berbarengan dengan delapan santri yang kelak mereka menjadi para ulama besar. Di antara mereka adalah Syekh Nawawi bin Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh Nawawi bisa dikatakan paling dewasa. Suatu ketika Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk membantu mengajar ngaji kepada para santri karena memang Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya yaitu Syekh Muhammad Ali. Bahkan dikisahkan ketika mesantren di Syekh Jaliman Syekh Nawawi telah hafal kitab-kitab nadzam dan matan. Ketika pulang dari Digul pada usia duabelas tahun bersama ibunya, Syekh Nawawi telah hafal kitab Murad awamil karangan ayahnya. Maka tak heran kalau banyak orang yang mengira bahwa kitab tersebut karangan Syekh Nawawi. Ketika mendapat perintah gurunya untuk mengajar para santri Syekh Nawawi bingung, bukan tidak mampu tapi apakah ia pantas, itu fikirnya. Maka ia kemudian memohon kepada teman-teman sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan sendiri di dalam kamar. Kebetulan beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang disebutkan di atas. Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah keluar dari kobong dalam waktu yang cukup lama. Kemudian hal itu di laporkan kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh Jaliman para teman-temannya jangan mengganggu Nawawi, biarkan saja ia dalam kobong sampai keluar dengan sendirinya. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Syekh Nawawi keluar dari kobong setelah genap empat puluh hari ampat puluh malam. Setelah itu Syekh jaliman mempersiapkan kenduri atau selametan untuk Syekh Nawawi karena bahagia mempunyai murid seperti Syekh nawawi dan sebagai takriman wa ta’dziman kepada ayahnya seorang ulama pejuang yang rela meninggalkan Nagari Banten yang di cintainya demi tugas dakwah di negeri yang jauh di ujung Barat Nusantara. Setelah tahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh Nawawi mau membantu mengajar para adik-adik santrinya. SYEKH NAWAWI MANDAYA DIPERINTAHKAN BIKIN PESANTREN Setelah beberapa tahun Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain memerintahkan Syekh nawawi pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya. SEMBILAN SAHABAT BERPISAH Setelah beberapa tahun mendapat bimbingan dari Syekh Nawawi Mandaya, akhirnya Syekh Nawawi mempersilahkan delapan orang ini untuk pulang ke kampungnya masing-masing guna mengamalkan ilmu di masyarakat. Sebelum pulang delapan sahabat ini bersepakat untuk membantu pembangunan



45



rumah Syekh Nawawi yang kebetulan baru saja bersiap-siap akan membangun rumah. Kebetulan mereka selain sebagai santri juga cakap dalam pertukangan. Syekh mustaya menceritakan bahwa Syekh astari yang berbadan kurus sangat cekatan dalam mengerjakan apapun. Apalagi ketika sampai mengerjakan bagian kuda-kuda di atas. Tubuh Syekh astari begitu lentur bergelayutan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Syekh Mustaya rupanya agak takut ketinggian. Ia ingin membantu syekh Astari di atas tapi ia takut ketinggian. Rupanya Syekh Astari mengetahui gerentes hati Syekh mustaya, akhirnya ia mengulurkan tangan kepada Syekh Mustaya untuk ikut naik. Mulanya Syekh Mustaya ragu-ragu. Tapi akhirnya Syekh Mustaya menyambut tangan Syekh Astari dan aneh ketika tangan syekh mustaya menyentuh tangan Syekh astari, seluruh rasa takut itu hilang. Rumah itupun setelah beberapa hari hamper rampung kecuali ketika hendak membikin undak paling atas. Delapan sahabat ini berbeda pendapat. Ada yang mengusulkan begini, ada yang begitu. Akhirnya syekh Nawawi turun tangan sendiri untuk menentukan model yang ia inginkan. Kejadian undak itu adalah isyarat bahwa sejadug-jadugnya murid tetap saja ujung penyelesaiannya adalah sang guru. Setelah rumah selesai dibangun, Syekh nawawi memerintahkan delapan sahabat ini untuk bertahannus selama empatpuluh hari empat puluh malam di payon rumah barunya itu. Setelah selesai bertahannus, delapan sahabat ini dipersilahkan pulang kembali ke kampungnya masing-masing untuk mengamalkan ilmu di tengah masyarakat. Akhirnya setelah sekian tahun bersama mulai dari pesantren Bunar asuhan syekh jaliman sampai di Mandaya kesembilan sahabat ini berpisah.



46



PANGERAN SUNYARARAS DATUK PENGHULU ULAMA HIJAZ Oleh: Imaduddin Utsman Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanudin memang tidak menggantikan ayahnya menjadi Sultan Banten. Yang menggantikan ayahnya menjadi sulthan Banten adalah kakak kandungnya yang satu ibu yang bernama Maulana Yusuf. Tetapi kemudian disuatu masa nanti akan ada keturunannya yang akan mengharumkan nama Banten ke seluruh penjuru dunia. Pangeran Sunyararas dikenal juga dengan nama Pangeran Tajul Arasy. Ibunya adalah Nyai Ratu Kirana Purnamasidi putri Raden Fatah, raja Demak Bintoro. Jadi dalam diri Pangeran Sunyararas mengalir pula darah raja-raja Majapahit karena Raden Fatah adalah putra Brawijaya, raja Majapahit terahir. Pangeran Sunyararas pula keturunan Syekh Abdulqodir Al-Jailani, karena isteri Raden Fatah, Syarifah Siu Ban Ci cucu Syekh Quro Karawang, seorang Syarifah beribu cina adalah keturunan Syekh Abdul Qodir Al Jailani. Isteri Pangeran Sunyararas tidak tercatat dalam buku induk nasab Banten, yang disebutkan bahwa Pangeran Sunyararas mempunyai lima orang anak yaitu: Pangeran Wiraraja atau yang dikenal dalam pencatatan nasab berikutnya dengan nama Mas Wi, Pangeran Warung, Ratu Tanjung, Ratu Wadon dan Ratu Panggung. Dari Pangeran Wiraraja atau Mas Wi atau Pangeran Jagalautan inilah kemudian menurunkan tokoh ulama besar Syekh Muhammad Nawawi Al Bantanie, penghulu ulama hijaz. Pangeran Wiraraja mempunyai isteri Ratu Jepara dan dikaruniai tiga orang anak Tubagus Wiranegara 1 atau Mas Nun, Tubagus.Wiraraja 2 dan Tubagus Maja. Tubagus Wiranegara 1 mempunyai lima anak yaitu Tubagus Idham atau Tubagus Wiranegara 2, Tubagus Mahmud alias Tubagus Mas Kun, Ratu Kusuma, Ratu Hadijah, Ratu Panggung. Tubagus Wiranegara 2 atau Tuabagus Idham mempunyai seorang putri bernama Ratu Maimunah yang dinikahkan dengan Penguasa Tanggerang, Raden Arya Wangsakara atau Raden Kenyep atau Imam Haji Wangsareja bin Pangeran Wiraraja Sumedang bin Prabu Geusan Ulun. Dari pernikahan ini mempunyai seorang putra bernama Raden Wiranegara 3 atau Syekh Ciliwulung. Keturunan Tubagus Maskun dan Syekh Ciliwulung kemudian yang tersebar di Banten Utara. Bermunculanlah tokoh tokoh ulama lain selain Syekh Nawawi.Al-



47



Bantani seperti Syekh Abdul Karim al Bantani, Mursyid Tarekat Alqodiriyah wannaqsyabandiyah, Syekh Arsyad Towil, Syekh Arsyad Qoshir, Syekh Hasan Bashri, Syekh Astari, Syekh Syanwani Kelapiyan, Syekh Sahal Lopang, Ki Adung Lempuyang, KH. Mufti Asnawi, KH. Maruf Amin dll. Pangeran Sunyararas dimakamkan di Tanara dan selalu ramai diziarahi masyarakat dari berbagai daerah.



KH MUHAMMAD DAHLAN Bila menengok sejarah masa silam bahwa sosok KH.Mohammad Dahlan bin Arja'i bin Sobri, Desa Tanjakan, Kecamatan Rajeg adalah salah satu ulama kharismatik, berwibawa, santun, dan berkaromah merupakan tokoh yang disegani yang patut dijadikan suri tauladan khususnya oleh cucu dan keturunan beliau, juga telah berhasil mendidik santri santrinya yang sanget luar biasa diantaranya Kh.Muhidin Kosambi, Kh Dimyati Cilongok pasar kemis, Kh Dimyati Ketapang, Kh Kurtubi Rajeg, Kh Umar Ranca Labu, Kh Musa Kedung Dalem Mauk, Kh Saadullah Pakuhaji, dan Kh Turmuji Pasir Awi. Kh. Muhammad Dahlan adalah anak dari KH Arja'i, asal pandeglang banten yang merupakan cucu dari Pangeran Sunyalaras Tanara,,beliau adalah seorang perantau, dari pandeglang yang merantau ke Desa Tanjaka. Tanjakan merupakan desa yang sangat terkenal dengan jawaranya dan pukulannya, pukulannya adalah sering di sebut Hongol (perpaduan cimande bogor dan beksi jakarta) beliau menikahi gadis asal tanjakan tersebut. Pada suatu hari beliau mimpi agar segera berangkat ke pesantren dan langsung meminta izin kepada sang istri, pesantren tersebut adalah pesantren yang di asuh oleh KH.Najihun yakni Katib Syekh Nawawi al bantani. Ketika beliau datang ke pesantren beliau langsung di tunjukan mana kamarnya, setelah beberapa hari di pesantren beliau terkena penyakit kulit yang mana beliau di usir dari kamar dan tidur di kandang ayam selama beberapa bulan. Padasuatu hari beliau di Perintahkan oleh kiyai untuk mencangkul di sawah beliau bertemu ular yang ukurannya sebesar drum dan mendekati beliau, tidak seperti ular kebanyakan tetapi seperti memuterkan badan (si ular) , langsung beliau mengucapakan ,," kita sama sama makhluk allah , jangan saling mengganggu pergilah.... " . tanpa basa basi si ularpun pergi mungkin di sinilah tanda tanda beliau akan menjadi wali allah. Ketika dalam satu forum pengajian beliau di suruh baca tapi tidak bisa sampai kiyai mengatakannya 3 x ,, dengan sebutan (di Rahasiakan ) setelah ke empat kalinya, kiyai menyebutnya Ki Dahlan, langsunglah beliau meminjam kitab temannya dan langsung membacanya.



48



49