Ringkasan Disertasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN DISERTASI RED TAPE DALAM PELAYANAN BIROKRASI: STUDI KASUS PADA PELAYANAN IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KOTA MAKASSAR BUREAUCRATIC RED TAPE IN PUBLIC SERVICES: A CASE STUDY IN SERVICE OF TRADE BUSINESS LICENSE OF MAKASSAR CITY



OLEH



LUKMAN



PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR



2012 Ringkasan Disertasi/2012|



i



RED TAPE DALAM PELAYANAN BIROKRASI: STUDI KASUS PADA PELAYANAN IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KOTA MAKASSAR BUREAUCRATIC RED TAPE IN PUBLIC SERVICES: A CASE STUDY IN SERVICE OF TRADE BUSINESS LICENSE OF MAKASSAR CITY



Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor



Program Studi Ilmu Administrasi Publik



Disusun dan Diajukan Oleh



LUKMAN



Kepada PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012



Ringkasan Disertasi/2012|



ii



LEMBAR PENGESAHAN



DISERTASI RED TAPE DALAM PELAYANAN BIROKRASI: STUDI KASUS PADA PELAYANAN IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KOTA MAKASSAR



Disusun dan Diajukan Oleh



LUKMAN Nomor Pokok P0900307009 Menyetujui Komisi Penasihat,



Prof. Dr. Sangkala, MA. Promotor



Prof. Dr. Suratman, M.Si. Ko-promotor 1



Dr. Hasniati, M.Si. Ko-promotor 2



Mengetahui Ketua Program Studi S3 Ilmu Administrasi Pubik,



Prof. Dr. Suratman, M.Si.



Ringkasan Disertasi/2012|



iii



PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhaana Wataalaa atas segala rahmat dan kasih sayangNya yang senantiasa dilimpahkan kepada kami sekeluarga sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Syalawat dan tahmid atas junjungan Nabi Muhammad s.a.w. yang telah diutus oleh Allah untuk membimbing umat ke jalan yang rahmati dan diridhoiNya. Gagasan disertasi ini muncul atas pengamatan dan hasil bacaan penulis terhadap pelayanan birokrasi yang selama ini senantiasa mendapat sorotan yang cenderung negatif. Kritikan dan keluhan terhadap pelayanan birokrasi bukanlah hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu dan bahkan muncul bersamaan dengan lahirnya birokrasi itu sendiri, yang dikenal dengan konsep bureaucracy pathology, yang salah satu variannya adalah red tape. Red tape sebagai salah satu bureau pathology mempunyai efek negatif terhadap pelayanan birokrasi. Untuk itu penulis bermaksud menyumbangkan konsep dan model guna mengurangi red tape dalam pelayanan birokrasi. Berbagai kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan disertasi ini, hanya atas berkah dan hidayahNya, serta bantuan berbagai pihak sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Sangkala, MA. sebagai promotor, Prof. Dr. Suratman, M.Si dan Dr. Hasniati, M.Si. selaku ko-promotor atas bimbingan dan bantuannya yang telah diberikan mulai dari pengembangan gagasan awal, pelaksanaan penelitian sampai dengan rampungnya penulisan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Lembaga Administrasi Negara, Sekretaris Utama LAN (Drs. Panani, M.Si.), Rektor Universitas Hasanuddin (Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi), Direktur Pascasarjana Unhas (Prof. Dr. Ir. Mursalim). Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unhas (Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA.). Ketua Program Studi S3 Ilmu Administrasi Publik (Prof. Dr. Suratman Nur, M.Si.). Prof. Dr. Irfan Maksum, M.Si. selaku penguji ekternal, Dr. Alwi, M.Si., Dr. Hamsinah, M.Si. dan Dr. H. Baharuddin, M.Si. masing-masing selaku penguji. Kepala Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Makassar (Dr. Muh. Idris, MA.), Ketua STIA LAN Makassar (Prof. Dr. Makmur, M.Si.) yang telah memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang doktor. Terkhusus kepada keluarga saya Hj. Rulinawaty Kasmad, S.Sos., M.Si. (isteri), Muhammad Mufarrij Lukman (anak), bapak dan ibu kandung saya H. Lattawe Asang dan I Samboteng (almarhum dan almarhumah), Hj. Ringkasan Disertasi/2012|



iv



Nani Baba (ibu tiri), adik saya H. Pemassery Lattawe dan Hj. Gusnah Lattawe, bapak dan ibu mertua Prof. Dr. H. Kasmad Yahya (almarhum) dan Hj. Bau Nurliawati, paman kami Prof. Dr. Sulaeman Asang, M.Si., serta kedua ipar saya Hj. Lina Herlina dan Andi Arwan Saleh yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan serta semangat dalam rangka penyelesaian studi pada jenjang doktor. Ucapan terimah kasih disampaikan pula kepada seluruh dosen dan segenap sivitas akademik Pascasarjana Program Studi Administrasi Publik (S3) Fisip Unhas. Begitu pula kepada teman-teman angkatan pertama Program Studi Administrasi Publik Pascasarjana (S3) Fisip Unhas, terutama kepada Dr. Abd. Kadir (Untad Kendari), Dr. Anwar Parawangi (BKKBN Sulsel), Dr. Yunus Namsa (Universitas Muhammadyah Ternate), serta kepada seluruh pegawai STIA LAN dan PKP2A II LAN Makassar yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang juga telah banyak membantu penulis dalam merampungkan disertasi ini. Makassar, 14 Juni 2012 Lukman



Ringkasan Disertasi/2012|



v



ABSTRAK LUKMAN. Red Tape dalam Pelayanan Birokrasi: Studi Kasus pada Pelayanan Izin Usaha Perdagangan di Kota Makassar, yang dibimbing oleh Sangkala selaku promotor, dan Suratman serta Hasniati selaku kopromotor. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkap bentuk-bentuk red tape yang terjadi dalam pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pada pemerintah Kota Makassar, (2) menjelaskan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape yang terjadi dalam pelayanan penerbitan SIUP pada pemerintah Kota Makassar, (3) merumuskan model untuk mengurangi red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP pada pemerintah Kota Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif-eksploratif, dengan metode case study. Informannya adalah masyarakat wirausaha yang mengurus dan telah memperoleh SIUP pada tahun 2011. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan. Teknik analisis yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan terhadap bentukbentuk red tape dan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape, serta perumusan atau menemukan model untuk mengurangi red tape. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis bentuk red tape yang dijumpai dalam proses pelayanan penerbitan SIUP, meliputi: persyaratan yang banyak, kurang relevan dan ketat; struktur dan hierarki yang panjang, ketat dan berlebihan; prosedur atau tahapan yang rigid atau rinci, kompleks, panjang dan ketaatan secara berlebihan, serta berbelitbelit; waktu yang lebih lama dari ketentuan, biaya yang lebih tinggi dari standar yang telah ditetapkan; dan sikap dan perilaku petugas yang mengharapakan imbalan dari pelayanan yang diberikan, suka menunda dan acuh tak acuh, mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, kurang menghargai masyarakat yang dilayani. Adapun perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape adalah dengan cara atau metode short cut behaviour dan bribery behaviour. Untuk itu penulis menawarkan model cutting red tape with downsizing agencies and simplifying procedures, dengan melalui tiga jenjang atau hierarki pelayanan, atau tiga tahapan prosedur pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar.



Ringkasan Disertasi/2012|



vi



ABSTRACT LUKMAN. Bureaucratic Red Tape in Public Services: A Case Study in Services of Trade Business License of Makassar City, guided by Sangkala as promotor, Suratman and Hasniati as well as co-promotor. This study aimed to: (1) explain the forms of red tape that occurs in the service of issuing trade license (SIUP) the government of Makassar, (2) explain the behavior of the entrepreneur to avoid the red tape that occurs in the service of the issuance of business license the government of Makassar, (3) formulate a model to reduce red tape in the process of publishing services to the government of Makassar city business license. The research was conducted in the city of Makassar. The approach used is qualitative-explanative, the case study method. Informant is a community of entrepreneurs who take care and have obtained the business license in 2011. Data obtained through interviews with informants. Analytical techniques used are data reduction, presentation of data and inferences against the forms of red tape and entrepreneurial behavior in the community to avoid red tape, as well as the formulation of the model to reduce red tape. The results showed that there are five kinds of red tape form found in the issuance of business license, include: the requirement that many, less relevant and tight hierarchical structure and a long, rigorous and redundant; procedures or steps that rigid or detailed, complex, long and obedience excessively, and convoluted; longer than the terms, the higher cost of established standards, and attitudes and behavior of officers who like to defer and indifferent, put the family, friends and cronies, lack of respect for the community served. The behavior of the entrepreneur to avoid red tape is a way or a short-cut methods of behavior and bribery behavior. To the authors offer a model of cutting red tape with agencies downsizing and simplifying procedures, with over three levels or hierarchies of service, or three-stage procedure SIUP publishing services in the city of Makassar.



Ringkasan Disertasi/2012|



vii



DAFTAR ISI Halaman



PRAKATA ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI



i iii iv v



BAB I



PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian



1 1 2 3



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Birokrasi dan Red Tape 2.2. Kebijakan Pelayanan Publik 2.3. Kerangka Pikir



4 4 9 9



BAB III



METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian 3.2. Lokasi dan Informan 3.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data



12 12 12 13



BAB IV



HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Izin Pelayanan Usaha Perdagangan 4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.2.1. Betuk-bentuk Red Tape dalam Penerbitan SIUP 4.2.2. Perilaku Masyarakat Wirausaha Menghindari Red Tape 4.2.3. Model dan Proposisi Hasil Penelitian



14 14 15 15



KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Implikasi Penelitian



28 28 30



BAB V



21 22



Ringkasan Disertasi/2012|



viii



BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu dan bahkan muncul bersamaan dengan lahirnya birokrasi itu sendiri. Kondisi empirik birokrasi menunjukkan berbagai penyakit (bureau pathology), seperti big bureaucracy (Parkinson), peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat (Orwell), dan bureaucratic polity (Jacksonian), yang berjalan seiring dengan konsep bureau rationality and efficiency sebagaimana diperkenalkan dan dikembangkan oleh Weber dan Hegel. Reed dan Crozier (Sangkala, 2010) birokrasi cenderung lamban dan tidak responsif, tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan-kesalahan (maladaptations), bahkan cenderung berpotensi tidak efektif (potentially ineffective) terutama terhadap masalahmasalah sosial yang dihadapinya. Thoha (1999) mengemukakan bahwa banyak virus yang terus menggerogoti birokrasi, seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, red tape atau terlalu birokratis dan berteletele dan sebagainya. Akibatnya birokrasi merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Pada akhirnya, kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan kelas tampil menjadi kekuatan dominan untuk kemudian menghegemoni birokrasi. Wallis (Hasniati, 2009) mengemukakan bahwa administrasi negara di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin red tape (birokratik). Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan atau gaji mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan atau tugasnya sebagai pegawai. Sebagai contoh “menambah-nambah” persyaratan dan prosedur pelayanan dengan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Laporan dari Political and Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong, pada tahun 2009 Indonesia masih menunjukan angka yang buruk terutama dalam red tape barriers. Di Asia, Indonesia adalah negara yang paling lama untuk memproses permohonan investasi dengan waktu selama 76 hari, dibanding Malaysia 13 hari, dan bahkan hanya 4 hari di Singapura. (Bappenas, 2010). Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi 2010 tentang integritas pelayanan publik di Indonesia yang salah satu fokusnya adalah pelayanan surat izin usaha Ringkasan Disertasi/2012|



1



perdagangan (SIUP), menunjukkan bahwa Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan 17 (tujuh belas) dari 20 (dua puluh) kota yang disurvei, dengan nilai indeks pelayanan publik 4,46. Bahkan jika dibanding dengan sejumlah kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia, Kota Makassar menempati urutan terendah, dimana peringkat pertama ditempati oleh Kota Ambon dengan nilai indeks 5,60; Kota Mataram 5,41; Kota Manado 4,51; dan Kota Jayapura dengan nilai indeks 4,51 (Kompas, Nopember 2010). Maladministrasi yang saat ini dipertontonkan oleh sejumlah birokrasi baik pada tingkat pusat sampai pada tingkat daerah bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kesalahan sistematik dari organisasi birokrasi. Caiden (1991) mendefinisikan maladministrasi sebagai administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut. Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quity of malpractices. Bahkan Caiden menyebutkan terdapat 175 penyakit birokrasi yang seringkali terjadi dan dilakukan birokrasi. Prasojo mensinyalir dalam tulisannya ‘Gayus dan Patologi Birokrasi’ bahwa semua penyakit yang disebutkan oleh Caiden terjadi dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Menderita satu macam penyakit saja seringkali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit secara bersamaan. Bahkan lebih lanjut Prasojo mengemukakan bahwa jumlah patologi birokrasi di Indonesia kemungkinan lebih banyak mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden. Dengan mengacu pada sejumlah pendapat atau pandangan para pakar dan hasil kajian atau penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa red tape telah menjadi persoalan yang mendasar dan cukup serius sehingga memotivasi peneliti untuk memilih tema tersebut sebagai fokus penelitian disertasi. 1.2. Rumusan Masalah Pengakuan terhadap red tape sebagai sebuah masalah organisasional adalah relatif baru. Early scholarly attempts conceptualized red tape at the individual level as in Merton’s classic thesis (1940) about goal displacement or Gouldner’s notion (1952) that red tape is intimately tied to an individual‘s perspective. Waldo (1946) mengungkapkan bahwa “one man’s red tape is another man’s system”. Tiga dekade kemudian digaungkan oleh Kaufman (1977) “one person’s red tepe may be another’s treasured safeguard” (dalam Pandey dan Moynihan, 2006). Para pakar tersebut mempunyai asumsi atau pandangan yang sama bahwa red tape Ringkasan Disertasi/2012|



2



sebagai sebuat teori merupakan hambatan terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Oleh karena itu, baik masyarakat maupun aparat birokrasi cenderung berusaha untuk menghindari red tape yang terjadi dalam pelayanan birokrasi. Untuk itu, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk red tape apa saja yang ditemukan dalam pelayanan penerbitan surat izin usaha perdagangan pada Pemerintah Kota Makassar? 2. Bagaimana perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam pelayanan penerbitan surat izin usaha perdagangan pada Pemerintah Kota Makassar? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengungkapkan bentuk-bentuk red tape yang terjadi dalam pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan pada Pemerintah Kota Makassar; (2) Menjelaskan perilaku masyarakat wirausaha dalam menghindari red tape yang terjadi dalam pelayanan penerbitan surat izin usaha perdagangan pada Pemerintah Kota Makassar.



Ringkasan Disertasi/2012|



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Birokrasi dan Red Tape Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik Indonesia, yang tidak menutup kehadiran partai politik dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional. Mewujudkan birokrasi yang profesional bukanlah hal yang muda, namun terkadang birokrasi justru melahirkan bureaupathology. Merton (1940) bureaucratic structure and personality menandaskan bahwa penekanan pada ketepatan dan keajegan atau reliabilitas dalam administrasi dapat mengakibatkan gagal dengan sendirinya. Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan dapat menjadi tujuan itu sendiri. Struktur karier birokrat yang bertingkat-tingkat dapat mendorongnya untuk memperbesar kebaikan-kebaikan yang mungkin akan terwujud; seperti kebijakan, disiplin dan metode. Merton memberikan penekanan bahwa suatu struktur yang rasional dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan menganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Merton menekankan kecenderungan disfungsional-patologis dalam perilaku birokrat yang menyebabkan terjadinya frustrasi dalam mewujudkan sasaran-sasaran organisasi, termasuk kekakuan, keengganan mendelagasikan otorita, penuh dengan rahasia dan menutup diri. Strauss (1961) the ruling servant memberikan istilah birokrasi terhadap kebanyakan ketidaksempurnaan dalam struktur dan pemungsian organisasi-organisasi besar. Gejala-gejala birokrasi meliputi: terlalu percaya kepada preseden, kurang inisiatif, penundaan atau lamban dalam berbagai urusan, berkembangbiaknya formulir atau terlalu banyak formalitas, duplikasi tugas dan departementalisme. Crozier (1964) the bureaucratic phenomenon melihat birokrasi sebagai suatu organisasi yang tidak dapat memperbaiki tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Crozier menunjukkan bagaimana peraturan-peraturan organisasi dapat digunakan oleh para individu yang ada di dalamnya demi Ringkasan Disertasi/2012|



4



kepentingan mereka sendiri, dan akibatnya, interes atau kepentingan yang memiliki strata berbeda-beda itu mempertahankan keadaan statusquo yang menghasilkan kekakuan struktur. Riggs (1989) menstatir bahwa birokrasi mengingatkan akan kebiadaban negara yang wujudnya berbentuk kelambanan, kelemahan, kerutinan, dan kerumitan prosedur yang secara terus menerus mengecewakan karena peraturan birokratik atau kelalaian. Thompson menyebutnya sebagai biro-patologi, menegaskan bahwa sejumlah karakteristik yang tidak dapat diterima mengenai birokrasi dapat dibuktikan tidak esensial bagi konsep tersebut, tetapi memberikan isyarat tentang kemacetan (tidak berfungsi, atau berfungsi tapi jelek), dan keadaan itu merupakan gejala malaise, sebagai sifat yang selalu ada tetapi tidak seharusnya diasosiasikan dengan organisasi birokrasi. Dimock (Albrow, 1989) memandang konsep birokrasi sebagai antitesis vitalitas administratif dan kreativitas manajerial. Birokrasi didefinisikan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas atau ketidakluwesan dan depersonalisasi. Birokrasi dihubungkan dengan ukuran organisasi yang besar, proliferasi peraturan, introversi (ketertutupan kelompok) dan terlalu menekankan pada senioritas dan keamanan. Menurut Bozeman (1993) salah satu bureaucratic pathology tertua dalam birokrasi ada red tape. Pada awalnya red tape dikonseptualisasikan pada tingkat individual sebagaimana dalam tesis klasik Merton (1940) tentang goal displacement, Gouldner (1952) red tape is intimately tied to an individual’s perspective (terkait erat dengan perspektif individu). Perspektif administrasi publik klasik, yang berakar dalam pluralisme kelompok kepentingan, berhubungan erat dengan perspektif Gouldner seperti yang diungkapkan oleh Waldo (1946): “one man’s red tape is another man’s system” (red tape satu orang merupakan sistem bagi orang lain) dan digaungkan tiga dekade kemudian oleh Kaufman (1977): “one person’s red tape may be another’s treasured safeguard”, red tape satu orang bisa merupakan perlindungan berharga bagi orang lain (dalam Pandey dan Moynihan, 2006). Kemudian berkembang pemikiran ke arah red tape sebagai sebuah variabel tingkat sistem, sebagimana ungkapan Gore (1993), Osborne dan Gaebler (1992) ‘good people trapped in bad systems’ (individu-individu yang baik terperangkap dalam sistem yang buruk). Pergeseran pemikiran tersebut diilustrasikan dengan baik dalam kata-kata Osborne dan Gaebler (1992) “the glue that holds public bureaucracies together, in the other words, is like epoxy: it comes in two separate tube. One holds rule, the other line items. Mix them together and you get cement”. Kini red tape birokratis adalah sebuah konsep yang telah meluas dan populer dalam birokrasi publik. Perkembangan dalam mengkonsepRingkasan Disertasi/2012|



5



tualisasi dan mengukur red tape (misalnya Pandey dan Scott, 2002) telah memberikan sumbangan langsung terhadap pemikiran reformis yang berusaha menghentikan red tape (Gore, 1993; Osborne dan Gaebler, 1992). Bahkan umumnya ilmuwan telah menerima argumen bahwa red tape berpengaruh terhadap kinerja birokrasi. Bahkan lebih lanjut diakui oleh para ilmuan dan praktisi bahwa red tape memiliki hubungan dan pengaruh negatif terhadap kinerja birokrasi. Salah satu karya yang paling menonjol yang mencermati red tape sebagai sebuah hambatan terhadap kinerja sektor publik adalah karya Bozeman (1993), while some rules are functional, others in the form of red tape exert a compliance burden and can therefore be expected to have a negative effect on performance (meskipun beberapa aturan bersifat fungsional, namun aturan-aturan lain dalam bentuk red tape menggunakan beban kepatuhan dan oleh karena itu bisa diduga memiliki efek negatif pada kinerja). Bentuk-bentuk red tape. Pey (Dwiyanto, 2011) menjelaskan bahwa salah satu penyebab red tape adalah hierarki, pada tingkat tertentu keberadaan hierarki dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena hierarki membantu pimpinan melakukan supervisi dan kontrol. Hierarki juga dapat membuat arus perintah dan informasi menjadi lebih jelas sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarki menjadi semakin panjang maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarki yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin panjang dan cenderung mengalami distorsi. Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan fragmented (terkotak-kotak). Bahkan, hierarki juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan. Dwiyanto (2011) prosedur yang berlebihan merupakan bentuk red tape lainnya yang menonjol dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan, tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan, prosedur sudah menjadi tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik secara profesional dan bermartabat. Selanjutnya Dwiyanto menjelaskan bahwa jenis atau bentuk red tape yang lain adalah sikap dan perilaku pemberi layanan yang suka menunda dan acuh tak acuh dalam melaksanakan dan atau menyelesaian tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selain itu, sikap dan perilaku yang senantiasa mendahulukan keluarga, sahabat dan kronikroninya, atau dengan kata lain tidak menggunakan sistem antrian dalam Ringkasan Disertasi/2012|



6



pemberian pelayanan publik juga telah umum terjadi dalam proses pemberian pelayanan publik di Indonesia. Dan ironisnya, masyarakat yang mendapat pelayanan khusus, tidak sesuai dengan prosedur, dan bahkan mungkin persyaratan kurang terpenuhi, tetapi tetap didahulukan oleh pemberi pelayanan, merasa hebat dan bangga karena mendapatkan prioritas dan didahulukan proses penyelesaian urusannya dalam pemberian pelayanan publik. Keynes menggunakan konsep red tape dalam kaitannya dengan government spending untuk menjelaskan biaya atau pengeluaran yang dilakukan oleh semua tingkat pemerintahan atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh pemerintah. Dengan demikian penggunaan konsep red tape dalam hubungannya dengan biaya dapat dimaknai meningkatnya atau bertambahnya biaya yang harus ditanggung dan dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh suatu pelayanan dari pemerintah. Biaya atas suatu jenis pelayanan tertentu sering kali lebih tinggi dari standar biaya yang telah ditetapkan, bahkan cenderung berlipat ganda. Penelitian sebelumnya tentang red tape. Penelitian dan kajian tentang red tape berkembang pesat setelah memasuki tahun 1993. Bozeman (1993) conceptualized two related forms of red tape. First, organizational red tape, was defined as “rules, regulations, and procedures that remain in force and entail a compliance burden for the organization but have no efficacy for the rules’ functional object”. Stakeholder red tape, on the other hand, accounts for variation in role-specific, individual-level perceptions of red tape. Bozeman defined stakeholder red tape as “organizational rules, regulations, and procedures that remain in force and entail a compliance burden, but serve no object valued by a given stakeholder group”. Pandey dan Moynihan (2006) dalam karyanya yang berjudul Bureaucratic Red Tape and Organizational Performance: Testing the moderating role of culture and political support. Penelitiannya bertujuan untuk menguji variabel moderat role of culture and political support untuk mereduksi atau mengurangi bureaucratic red tape untuk meningkatkan performance organizational. Teori yang digunakan adalah red tape sebagai salah satu patologi birokrasi dipandang sebagai suatu hambatan terhadap kinerja birokrasi. Atau dengan kata lain red tape mempunyai efek negatif dan senantiasa menghambat dan mengurangi kinerja birokrasi. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, dengan metode survey yang melibatkan sebanyak 274 responden yang merupakan manajer-manajer yang bekerja pada lembaga-lembaga layanan primer yang tersebar pada sejumlah nagara bagain di USA. Penelitian ini disponsori oleh National Administrative Studies Project-II. Unit analisisnya adalah organisasi. Teknik analisis yang digunakan adalah pengujian hipotesis, yang dilanjutkan dengan analisis statistik regresi berganda. Hasil Ringkasan Disertasi/2012|



7



uji hipotesis menunjukkan bahwa: (a) Red tape berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi atau birokrasi; (b) Organisasi dengan budaya perkembangan akan mampu secara lebih baik untuk mengurangi efek negatif dari red tape pada kinerja organisasi; (c) Organisasi dengan tingkat dukungan politik yang tinggi dari pejabat-pejabat terpilih akan mampu secara lebih baik untuk mengurangi efek negatif dari red tape pada kinerja organisasi. Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa pada budaya perkembangan yang rendah, keefektivan misi menurun tajam ketika red tape sumberdaya manusia meningkat. Pada budaya perkembangan yang menengah, kemiringan penurunan ini kurang curam secara dramatis dan pada tingkat budaya perkembangan yang tinggi, terdapat kenaikan kecil dalam keefektivan misi pada tingkat red tape sumberdaya manusia yang tinggi. Selanjutnya terungkap pula bahwa dibawah tingkat dukungan politik yang rendah, keefektivan misi menunjukkan penurunan curam ketika red tape meningkat. Pada tingkat dukungan politik yang menengah, penurunan ini kurang curam dan dibawah tingkat dukungan politik yang tinggi, terdapat kenaikan sedang dalam keefektivan misi bahkan ketika red tape meningkat. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa ketiga komponen dasar dari teori yang diusulkan: bahwa red tape berpengaruh negatif pada kinerja; bahwa dukungan politik dan budaya itu penting bagi kinerja; dan bahwa dukungan politik dan budaya memiliki efek moderasi pada hubungan antara red tape dan kinerja. Temuan mereka menambah literatur manajemen kinerja dengan memberikan bukti untuk efek negatif dari jenisjenis red tape yang berbeda pada kinerja dan juga menegaskan wawasan tentang bagaimana efek negatif red tape dapat dikurangi. Penelitian lainnya tentang red tape dan perilaku antara lain: (1) Moyhinan (2007) yang berjudul A Theory of Culture-Switching: Leadership and Red Tape during Hurricane Katrina. Penelitian tersebut mengacu pada studi tentang budaya organisasi untuk mengembangkan teori cultureswitching; (2) Hasniati (2008) “Perilaku Pelayanan Birokrat Garis-Depan: Studi tentang Interaksi Birokrasi Kepolisian dengan Warga Masyarakat dalam Pelayanan Surat Izin Mengemudi di Kota Makassar”, bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi antara birokrat garis-depan dengan warga masyarakat. Disamping itu, penelitian tersebut juga berusaha menganalisis pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan dari setiap bentuk perilaku dalam interaksi tersebut, serta aktor dominan penentu perilaku dalam pelayanan SIM di Kota Makassar; (3) Brewer dan Walker (2009) Managerial Perceptions of Red Tape in English Local Government; (4) Devis, Pandey dan Wright (2010) “Measures of Bureaucratic Red Tape Register: Individual Perceptions or Organizational Property”, this study explores the degree to Ringkasan Disertasi/2012|



8



which commonly used red tape measures tap organizational reality. Using two scales developed to measure human resources and procurement red tape, we assess the level of agreement between individuals within the same organization on red tape. 2.2. Kebijakan Pelayanan Publik Teridentifikasi sebanyak 24 (dua puluh empat) kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat terkait dengan upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pemberian pelayanan publik kepada masyarakat. Diantaranya: Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; KepmenPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; KepmenPan Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah; dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Khusus pada pemerintah Kota Makassar tercatat sebanyak 6 (enam) kebijakan yang mengatur mengenai pelayanan perizinan termasuk pelayanan penerbitan surat izin usaha perdagangan. Kebijakan tersebut meliputi: (1) Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pada Pemerintahan Kota Makassar; (2) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Gangguan; (3) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pengaturan dan Pemungutan Retribusi Usaha dibidang Perindustrian dan Perdagangan di Kota Makassar; (4) Keputusan Walikota Makassar Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penetapan Kembali Tata Cara Pemberian Izin dalam Kota Makassar; (5) Keputusan Walikota Makassar Nomor 40 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Izin dibidang Perindustrian dan Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Izin Operasional Perfileman, Percetakan dan Grafika; (6) Keputusan Walikota Makassar Nomor 32 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pemberian Izin Dalam Kota Makassar yang mengariskan bahwa pemberian izin dalam Kota Makassar berawal pada Kantor Pesat dan penandatanganan izin masih berada pada Bapak Walikota. 2.3. Kerangka Pikir Proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) di Kota Makassar melalui beberapa tahapan hingga terbitnya SIUP. Pertama, masyarakat wirausaha atau pemohon mengajukan permohonan Ringkasan Disertasi/2012|



9



penerbitan SIUP kepada Kepala KPAP Kota Makassar atas nama Walikota. Pada tahapan pertama ini pemohon menyerahkan berkas atau persyaratan yang harus dipenuhi, dan mengambil serta mengisi formulir yang telah disedialan oleh petugas. Kedua, kajian teknis oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (DP3M) untuk penerbitan rekomendasi kelayakan, surat keterangan retribusi daerah, surat tanda setoran dan berita acara pemeriksaan. Ketiga, pemohon melakukan pembayaran retribusi daerah sesuai yang tertera pada surat keterangan retribusi daerah (SKRD) dan surat tanda setoran (STS) pada loket pembayaran kas daerah yang telah disediakan pada KPAP. Keempat, proses penginputan data sesuai formulir ke dalam format SIUP oleh Seksi Penerbitan Izin. Kelima, penandatangan oleh kepada kepala KPAP, dan terakhir adalah penyerahan SIUP kepada pemohon. Pada setiap langkah atau tahapan sebagaimana diuraikan di atas dimungkinkan terjadi red tape. Adapun bentuk-bentuk red tape yang dapat dijumpai dalam proses pemberian pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) meliputi: persyaratan yang banyak, ketat dan berlebihan; stuktur atau hierarki pelayanan yaitu formalitas dan organisasi yang panjang, ketat, berlebihan dan berbelit-belit; prosedur yang rigid atau rinci, kompleks, panjang dan ketaatan secara berlebihan serta berbelit-belit; waktu dan biaya, waktu yang lebih lama dari stándar waktu yang telah ditentukan; biaya yang lebih tinggi dari standar biaya yang telah ditetapkan; sikap dan perilaku petugas yang cenderung kurang sesuai dengan standar sikap dan perilaku atau etika yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar dalam memberikan pelayanan perizinan, seperti suka menunda dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan, termasuk mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, kurang transparan dalam memberikan pelayanan. Adapun kerangka pikir penelitian disertasi disajikan pada gambar 1.



Ringkasan Disertasi/2012|



10



Gambar: 1 Kerangka Pikir



PENYERAHAN BERKAS & PENGISIAN FORMULIR BENTUKBENTUK



RED TAPE: PERSYARATAN



PEMBAYARAN PADA KAS DAERAH



STRUKTUR/ HIERARKI



PROSES PENGINPUTAN & VERIFIKASI SIUP



WAKTU & BIAYA



PENANDATANGANAN SIUP



PROSEDUR



SIKAP & PERILAKU



PELAYANAN PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN



MASYARAKAT WIRAUSAHA/ PEMOHON



KAJIAN TEKNIS OLEH DP3M (REKOMENDASI, SKRD, STS, & BAP)



PENYERAHAN SIUP



Ringkasan Disertasi/2012|



11



BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan pertimbangan bahwa pendekatan tersebut lebih tepat untuk menggungkapkan bentuk-bentuk red tape yang terjadi dalam proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, termasuk menjelaskan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Jenis penelitian tergolong ke dalam case study. Kasus dimaksud adalah red tape yang terjadi dalam proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan di Kota Makassar. Dilihat dari tujuannya maka penelitian ini tergolong ke dalam exploratory research yaitu untuk mengeksplor atau mengungkapkan bentuk-bentuk red tape yang terjadi dalam pelayanan penerbitan SIUP, dan menjelaskan perialku masyarakat menghindari red tape. Perbedaan atau khasan penelitian ini dengan penelitian terdahulu mengenai red tape adalah justru tidak menyoroti peran birokrasi dalam mengurangi red tape, tetapi berusaha mengungkap perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan di Kota Makassar. Dengan demikian apabila dilihat dari aspek tujuan penelitian, maka tujuan penelitian yang ingin diwujudkan adalah mengembangkan atau memperkaya teori red tape, dimana red tape sebagai salah satu patologi dalam birokrasi memberikan efek atau pengaruh negatif terhadap pelayanan birokrasi, oleh karena itu senantiasa diupayakan untuk mengurangi atau menghilangkan red tape dalam pelayanan birokrasi, baik oleh birokrasi itu sendiri maupun masyarakat yang menjadi target dari red tape. 3.2. Lokasi dan Informan Lokasi penelitian adalah Kota Makassar. Informannya adalah masyarakat wirausaha yang telah mengurus dan memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan pada tahun 2011 di wilayah Kota Makassar. Selain itu, juga ditetapkan sejumlah informan yang bersumber dari Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan, dan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Makassar.



Ringkasan Disertasi/2012|



12



3.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur, dan studi atau telaah dokumen. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara terstruktur, sehingga informan dalam memberikan data dan informasi secara lebih fokus dan terarah. Selain itu juga digunakan pedoman telah dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif berupa mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan data, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dari apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat dipaparkan kepada pembaca. Adapun aktivitas analisis data kualitatif meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verification).



Ringkasan Disertasi/2012|



13



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Izin Pelayanan Usaha Perdagangan Sebelum tahun 2001, pelayanan pemberian izin di Kota Makassar berada pada instansi teknis masing-masing, kecuali Surat Izin Tempat Usaha (SITU) berada pada Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Makassar. Memasuki tahun 2001 dibentuk Kantor Pelayanan Satu Atap (Pesat), pemberian izin dalam Kota Makassar berawal pada Kantor Pesat dan penandatanganan izin masih berada pada Walikota. Pada tahun 2002 melalui Perda No. 15 Tahun 2002 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dibentuk Kantor Pelayanan Perizinan. Melalui Keputusan Walikota Nomor 40 Tahun 2002, telah dilakukan pendelegasian penandatanganan izin dari Walikota kepada Kepala Kantor Pelayanan Perizinan. Memasuki tahun 2005, dengan Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan maka Kantor Pelayanan Perizinan berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP). Perubahan tersebut untuk mendukung posisi Kota Makassar yang sangat strategis sebagai pusat dan lintas perdagang regional dan internasional. Pelayanan izin usaha perdagangan tidak hanya melibatkan KPAP, tetapi juga melibatkan instansi teknis (Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal) dalam rangka pelaksanaan kajian teknis sebelum diterbitkannya surat izin usaha perdagangan. Kinerja Pelayanan SIUP. Data yang diperoleh dari KPAP Kota Makassar menunjukkan bahwa kinerja pelayanan perizinan selama 5 (lima) tahun terakhir khususnya pelayanan SIUP cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 jumlah SIUP yang diterbitkan oleh KPAP Kota Makassar mencapai 3.673. Mengalami peningkatan sebesar 13,78 persen di tahun 2008 menjadi 4.179. Di tahun 2009 menjadi 4.491 atau mengalami peningkatan hanya sebesar 7,47 persen. Namun pada tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup signifikan yakni mencapai 21,87 persen atau menjadi 5.473. Meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2011, namun peningkatannya relatif rendah yakni hampir sama dengan peningkatan yang terjadi pada tahun 2009 yaitu hanya mencapai 7,49 persen atau menjadi 5.883. Khusus mengenai kinerja penerbitan SIUP selama tahun 2011 menunjukkan bahwa rata-rata SIUP yang diterbitkan setiap bulannya mencapai 490 unit SIUP. Tercatat paling banyak diterbitkan pada bulan Mei yakni mencapai 666 unit, menyusul bulan Januari sebanyak 589 unit, Ringkasan Disertasi/2012|



14



dan paling sedikit pada bulan Agustus yakni hanya tercatat sebanyak 324 unit SIUP. Januari 589



Pebruari 587



Juli



Agustus



485



324



Maret 572 Septemb er



April 494 Oktober



374



461



Mei 666



Juni 404



Nopembe r



Desember



461



466



Sumber: KPAP Kota Makassar, 2012 4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan Uraian mengenai hasil penelitian terutama difokuskan pada bentukbentuk red tape yang dijumpai dalam pelayanan penerbitan SIUP, dan perilaku masyarakat wirausaha atau pemohon untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Sementara pada bagian pembahasan akan dijelaskan model empirik dan alternatif yang ditawarkan oleh penulis untuk mengurangi red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar, dan diakhiri dengan penyusunan proposisi hasil penelitian. 4.2.1. Bentuk-bentuk Red Tape dalam Penerbitan SIUP Bentuk-bentuk red tape sebagaimana diuraikan sebelumnya, dimana red tape dikelompokkan ke dalam empat bentuk, meliputi: persyaratan yang mutlak dipenuhi oleh pemohon guna mendapatkan SIUP; struktur dan hierarki yang harus dilalui oleh pemohon untuk memperoleh SIUP; prosedur dan tahapan yang harus dilalui atau dijalani oleh pemohon; waktu dan biaya yang harus ditempuh dan dibayarkan atau ditanggung oleh pemohon; serta sikap dan perilaku yang ditampilkan petugas dalam melayani pemohon. Berikut ini dijelaskan masing-masing bentuk red tape tersebut. Red Tape dalam Persyaratan Penerbitan SIUP. Setiap usaha perdagangan wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Surat izin usaha perdagangan terbagi dalam tiga kategori yakni pendaftaran izin usaha perdagangan baru, pendaftaran ulang izin usaha perdagangan, dan pendaftaran izin usaha pedagangan cabang atau perwakilan. Guna memperoleh izin usaha perdagangan tersebut, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Izin pada Pemerintahan Kota Makassar. Ringkasan Disertasi/2012|



15



Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon guna memperoleh izin usaha perdagangan pendaftaran baru meliputi: (1) Foto copy akte pendirian perusahaan bagi yang berbadan hukum; (2) Foto copy KTP pemilik atau direktur utama atau penanggung jawab; (3) Foto copy nomor pokok wajib pajak; (4) Foto copy surat izin gangguan; (5) Foto copy neraca perusahaan; (6) Materai Rp. 6.000,- sebanyak dua lembar; dan (7) Pas foto 3x4 sebanyak dua lembar. Dari wawancara dengan sejumlah informan tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk penerbitan SIUP terungkap bahwa terdapat perbedaan persyaratan antara informan yang satu dengan informan lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa kurang ada kejelasan mengenai persyaratan yang harus dipersiapkan oleh pemohon guna penerbitan SIUP. Bahkan pemohon kurang dapat membedakan antara persyaratan yang harus disiapkan untuk penerbitan SIUP dan persyaratan yang harus dilengkapi untuk peneribitan SIG. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena pengurusan penerbitan SIUP dan SIG dipaketkan atau dapat diurus secara bersamaan. Bahkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar untuk pengurusan penerbitan SIUP dapat dipaketkan dengan dua jenis pelayanan lainnya yaitu SIG dan TDP, sehingga dalam satu kali pengurusan pemohon dapat mengurus tiga jenis perizinan secara bersamaan, yang dalam istilah KPAP disebut satu paket. Selain itu, terungkap pula bahwa terdapat sejumlah persyaratan yang semestinya tidak dipersyaratan untuk pengurusan penerbitan SIUP, seperti surat keterangan domisili perusahaan, bukti pembayaran pajak perusahaan, dan struktur organisasi. Lain hanya NPWP yang mestinya menjadi persyaratan, namun terdapat informan yang mengakui bahwa tidak menjadi persyaratan yang mutlak, karena justru SIUPnya lebih dahulu terbit dibanding NPWPnya. Red tape dalam bentuk persyaratan yang dijumpai adalah lebih karena ketidaktahuan atau ketidakpahaman para pemohon atau informan tentang persyaratan yang harus mereka lengkapi atau penuhi untuk memperoleh SIUP. Dari sejumlah persyaratan yang disebutkan oleh informan, terdapat sejumlah persyaratan yang sebenarnya tidak termasuk persyaratan yang harus dilengkapi sesuai dengan Peraturan Walikota Nomor 14 Tahun 2005, maupun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2007. Adapun persyaratan dimaksud meliputi: sertifikat rumah, bukti pembayaran rekening listrik, bukti rekening telepon, akte nikah, surat pengantar dari RT dan RW, surat keterangan domisili perusahaan, bukti pembayaran pajak perusahaan, dan struktur organisasi. Pada lampiran 1 disajikan perbandingan persyaratan untuk penerbitan SIUP-Baru, menurut Peraturan Walikota Nomor 14 Tahun 2005, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/2007, dan persyaratan yang disebutkan oleh sejumlah informan. Penyajian table Ringkasan Disertasi/2012|



16



tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dari aspek kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur persyaratan yang harus dipenuhi pemohon untuk proses pelayanan penerbitan SIUP, sesungguhnya terdapat red tape yang berpotensi membingunkan atau tidak memberikan kejelasan dan kemudahan kepada masyarakat wirausaha untuk mengurus proses penerbitan SIUP usahanya. Red Tape dalam Hierarki Penerbitan SIUP. Hierarki atau struktur proses pemberian pelayanan izin usaha perdagangan di Kota Makassar sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005, menetapkan bahwa untuk mendapatkan izin usaha perdagangan, pemohon mengajukan permohonan kepada Walikota melalui kepala Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan yang beralamat di Kompleks Perkantoran Gabungan Dinas Jalan Jenderal Urip Sumoharjo Nomor 8 Makassar. Pertama-tama, pemohon mengajukan permohonannya kepada Seksi Penelitian Administrasi KPAP sekaligus mengambil formulir dan melengkapi persyaratan atau berkas yang dipersyaratkan sesuai dengan Perda Kota Makassar Nomor 14 Tahun 2005. Selanjutnya dinas teknis dalam hal ini DP3M melakukan kajian teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), surat keterangan retribusi daerah (SKRD), dan surat tanda setoran (STS). Rekomendasi dan SKRD diserahkan kepada Seksi Penerbitan Izin KPAP untuk diproses penerbitan surat izin usaha perdagangannya. Sebelum surat izin usaha perdagangan tersebut diterbitkan terlebih dahulu pemohon menyelesaikan kewajibannya berupa membayar retribusi sebagaimana tercantum dalam SKRD dan STS. Proses pembayaran dilakukan pada loket pembayaran kas daerah yang dikoordinir oleh Seksi Penerimaan dan Pembukuan KPAP. Setelah pemohon menyelesaikan kewajibannya berupa membayar retribusi daerah, kemudian Seksi Penerbitan Izin KPAP menyampaikan surat izin usaha perdagangan kepada kepala KPAP untuk ditandatangani. Penandatangan izin usaha perdagangan yang asli merupakan kewenangan Walikota yang didelegasikan kepada Kepala KPAP bertindak untuk atas nama Walikota. Kepala KPAP secara berkala wajib melaporkan dalam bentuk tertulis pelaksanaan kewenangan pendelegasian penandatangan izin usaha perdagangan kepada Walikota sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, dan tembusan disampaikan kepada masing-masing Asisten Pemerintahan, Asisten Ekonomi Pembangunan, dan Kepala Badan Pengawasan. Setelah ditandatangani oleh kepala KPAP, surat izin usaha perdagangan dikembalkan kepada Seksi Penerbitan Izin untuk diserahkan kepada pemohon. Adapun struktur,



Ringkasan Disertasi/2012|



17



hierarki dan prosedur proses pengurusan penerbitan surat izin usaha perdagangan dapat dilihat pada lampiran 2. Dari wawancara dengan sejumlah informan, dapat dijelaskan bahwa struktur dan hierarki pelayanan SIUP dan SIG harus melalui Kantor Kelurahan dan Kecamatan, bahkan kadang-kadang informan diminta berurusan dengan RT dan RW guna pengurusan surat keterangan atau rekomendasi dari lurah setempat, dimana surat pengantar tersebut juga harus ditandatangani oleh camat setempat. Pada tingkat KPAP ataupun DP2M umumnya informan tidak lagi melalui struktur dan hierarki yang telah ditetapkan oleh kedua instansi pemerintah tersebut. Hal ini terjadi karena pada setiap struktur atau hierarki baik itu pada tingkat Kelurahan, Kecamatan, KPAP maupun DP2M umumnya informan ditawari untuk diuruskan proses penerbitan SIUP dan SIGnya. Bahkan pengakuan dari beberapa informan terutama dari informan keturunan tinghoa mengatakan bahwa malahan ada oknum petugas dari keempat instansi tersebut (kelurahan, kecamatan, KPAP dan DP3M) yang memata-matai kegiatan usaha perdagangan yang baru buka, dan oknum pegawai tersebut mencoba menawarkan diri untuk menguruskan penerbitan SIUP dan SIGnya. Red Tape dalam Prosedur Penerbitan SIUP. Prosedur dan tahapan proses pemberian pelayanan izin usaha perdagangan di Kota Makassar seperti diatur dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 mengariskan bahwa untuk mendapatkan izin usaha perdagangan, pemohon mengajukan permohonan kepada Walikota melalui kepala Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan (KPAP), dengan mengisi formulir yang telah disiapkan oleh KPAP, serta melampirkan persyaratan sesuai dengan kategori izin usaha perdagangan yang akan diurus atau diterbitkan. Selanjutnya KPAP melakukan verifikasi dan validasi berkas dan/atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon. Apabila telah memenuhi persyaratan maka paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima permohonan pemohon, KPAP melanjutkan berkas permohonan kepada DP3M untuk mendapatkan rekomendasi dengan menggunakan formulir yang telah disediakan oleh KPAP. DP3M melakukan peninjauan lapangan atas permohonan pemohon yang telah memenuhi syarat-syarat.. Hasil pelaksanaan peninjauan lapangan dituangkan dalam berita acara peninjauan lapangan yang merupakan salah satu lampiran rekomendasi. DP3M mengeluarkan rekomendasi selambat-lambatnya 4 (empat) hari kerja, kemudian disampaikan kepada KPAP yang berisi mengenai terpenuhinya syarat teknis untuk selanjutnya diproses pemberian izinnya. Ditetapkan pula besarnya pungutan dan dasar pengenaan retribusi daerah. Apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak dapat dikeluarkan rekomendasi, maka kepala DP3M wajib menyampaikan secara Ringkasan Disertasi/2012|



18



tertulis alasan-alasan sehingga rekomendasi tidak dikeluarkan. Rekomendasi dimaksud bukan izin tetapi merupakan persyaratan untuk penerbitan izin usaha perdagangan, rekomendasi tersebut berisi pula mengenai data dasar dan pengenaan retribusi daerah kepada yang bersangkutan atau pemohon. Kemudian KPAP menerima rekomendasi, surat ketetapan retribusi daerah (SKRD) dan pengantar surat tanda setoran (STS) dari DP3M dalam rangkap 3 (tiga) yang terdiri dari: (1) Rekomendasi asli sebagai arsip KPAP; (2) Salinan rekomendasi pertama disampaikan kepada pemohon; (3) Salinan rekomendasi kedua sebagai arsip pada DP3M. Selanjutnya KPAP menyampaikan kepada pemohon melalui jasa kantor pos atau melalui telepon bahwa berkas pemohon telah memenuhi syarat-syarat untuk diterbitkan izinya dan yang bersangkutan atau pemohon diundang untuk memenuhi kewajibannya. Berdasarkan penyampaian tersebut pemohon memenuhi kewajibannya dengan membayar izin dan menyetorkannya kedalam rekening pemegang kas daerah Kota Makassar melalui loket yang tersedia pada KPAP. Bukti pembayaran izin dalam STS disampaikan kepada DP3M secara berkala. Setelah pemohon menyelesaikan kewajibannya dengan membayar retribusi atau biaya izin, maka izin asli disampaikan kepada pemohon dalam tempo 1x24 jam (satu hari) dari tanggal penerimaan pelunasan pembayaran kewajiban pemohon. Surat izin usaha perdagangan diterbitkan dalam rangkap 4 (empat) untuk kepentingan: (a) Asli untuk pemohon yang bersangkutan; (b) Salinan satu untuk DP3M; (c) Salinan dua untuk camat/lurah yang bersangkutan; (d) Salinan tiga sebagai arsip pada KPAP Kota Makassar. Prosedur pelayanan penerbitan SIUP dapat dilihat pada lampiran 2. Dari seluruh masyarakat wirausaha atau informan yang berhasil diwawancai terungkap bahwa tidak satu pun mereka mengikuti atau melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar dalam hal ini KPAP Kota Makassar. Umumnya informan meminta bantuan kepada aparat pemerintahan atau notaris. Fakta atau temuan ini jelas bertentangan dengan prinsip pelayanan yang digariskan dalam Undangundang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik: a) tidak menyimpang dari prosedur; b) tidak mempersulit; c) cermat; d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut; dan e) professional. Red Tape terhadap Waktu dan Biaya Penerbitan SIUP.. Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pada Pemerintahan Kota Makassar, pasal 42 disebutkan bahwa proses pengurusan atau penyelesaian izin usaha perdagangan secara keseluruhan adalah 6 (enam) hari kerja, dimana KPAP paling Ringkasan Disertasi/2012|



19



lambat 2 (dua) hari setelah menerima permohonan pemohon harus melakukan penelitian berkas atau persyaratan, dan termasuk melanjutkan berkas permohonan kepada DP3M untuk mendapatkan rekomendasi dengan menggunakan format yang disediakan oleh KPAP. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan terungkap bahwa waktu yang diperlukan untuk pengurusan penerbitan SIUP bisa satu bulan bahkan terdapat informan yang membutuhkan waktu selama 3 bulan. Waktu yang dibutuhkan untuk penerbitan SIUP sebagaimana diungkapkan oleh masyarakat wirausaha atau informan nampaknya tidak sesuai dengan ketetapan waktu yang telah buat oleh KPAP, dan hal tersebut tidak sejalan dengan asas ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, keterjangkauan dan keterbukaan seperti telah digariskan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Red Tape dalam Sikap dan Perilaku Petugas. Sikap dan perilaku merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam proses pemberian pelayanan izin usaha perdagangan di Kota Makassar. Untuk itu KPAP menetapkan pedoman atau nilai-nilai yang mengatur tentang sikap dan perilaku para petugas pelayanan dalam pemberian layanan izin usaha perdagangan yang berawal dan berakhir pada KPAP. Adapun kode etik yang telah ditetapkan oleh KPAP dalam memberikan pelayanan meliputi: (1) Taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas; (2) Membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja KPAP; (3) Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, tranparan, adil serta tidak diskriminatif; (4) Menghindari konflik kepentingan, pribadi, kelompok dan golongan; dan (5) Memelihara persatuan dan kesatuan sesama pegawai. Kode etik tersebut ditunjang dengan motto pelayanan adalah “mudah, cepat, tepat dan transparan dalam pelayanan”. Dari wawancara dengan sejumlah informan terungkap bahwa sikap dan perilaku petugas pelayanan jauh dari standar etika yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Makassar. Petugas pelayanan pada semua level dapat dimintai bantuan untuk mengurus proses penerbitan SIUP dengan sejumlah bayaran tertentu sesuai dengan kesepakatan pemohon dan petugas pelayanan. Sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh aparat pemberi pelayanan atau petugas penerbitan SIUP mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, KPAP dan DP3M kota Makassar nampaknya bertentangan dengan asas persarnaan perlakuan atau tidak diskriminatif seperti telah digariskan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku: a) adil dan tidak diskriminatif; b) santun dan ramah; d) tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut; e) profesional; dan f) tidak mempersulit. Ringkasan Disertasi/2012|



20



4.2.2. Perilaku Masyarakat Wirausaha Menghindari Red Tape Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa terdapat empat cara atau variasi pemohon untuk memperoleh SIUP. Pertama, masyarakat wirausaha atau pemohon datang ke KPAP menyerahkan berkas, mengambil dan mengisi formulir. Dengan cara seperti ini jarang pemohon dapat dilayani langsung untuk proses penerbitan SIUPnya karena umumnya berkas pemohon kurang lengkap, terutama persyaratan berupa surat keterangan dari kelurahan dan kecamatan setempat. Kedua, masyarakat wirausaha atau pemohon mendatangi kelurahan setempat untuk mengurus surat keterangan, kadang-kadang diminta oleh lurah setempat untuk mengurus surat pengantar dari RT dan RW, kemudian baru dapat melanjutkan ke kantor kecamatan untuk memperoleh tanda tangan camat. Setelah memperoleh surat keterangan dari lurah setempat yang diketahui oleh camat, selanjutnya dapat berurusan atau mengurus penerbitan SIUP pada tingkat KPAP. Ketiga, masyarakat wirausaha atau pemohon datang ke DP3M, instansi ini berkewajiban memberikan rekomendasi, menetapkan surat keterangan retribusi daerah (SKRD), dan surat tanda setoran (STS) kepada pemohon, dengan terlebih dahulu melakukan survei terhadap unit usaha pemohon. Keempat, masyarakat wirausaha atau pemohon meminta bantuan notaris yang telah dikenal dengan baik sebelumnya. Dari seluruh masyarakat wirausaha yang mengajukan permohonan atau informan yang diwawancarai terungkap bahwa secara keseluruhan informan menghindari red tape melalui dua model perilaku, yakni short cut behavior (perilaku mencari gampang), dan bribery behavior (perilaku menyogok). Pertama, short cut behavior ditempuh oleh masyarakat untuk menghindari red tape, terutama oleh masyarakat wirausaha yang memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari, sehingga tidak ingin mengikuti hierarki dan prosedur penerbitan SIUP usahanya. Mereka umumnya hanya menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan sesuai permintaan petugas yang bersedia membantu (dalam istilah popular disebut calo). Dari wawancara dengan informan terungkap bahwa short cut behavior merupakan perilaku yang ditempuh oleh seluruh informan untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Adapun metode atau cara yang mereka tempuh untuk mendapatkan SIUP adalah dengan cara: (1) Meminta bantuan kepada aparat kelurahan ketika pertama kali datang ke kelurahn untuk mengurus surat keterangan, bahkan aparat kelurahan langsung menawarkan diri untuk menguruskan peneribitan SIUP pemohon; (2) Meminta bantuan kepada aparat KPAP, ketika dating pertama kali untuk mengurus proses penerbitan SIUP usahanya; (3) Meminta bantuan kepada aparat DP3M, ketika datang untuk mengurus rekomendasi yang harus diterbitkan oleh DP3M, karena rekomendasi ini yang merupakan persyaratan yang paling Ringkasan Disertasi/2012|



21



berat dan menyusahkan masyarakat; dan (4) Meminta bantuan notaris untuk proses penerbitan SIUP usahanya. Kedua, bribery behavior pada dasarnya berkaitan erat dengan short cut behavior. Masyarakat wirausaha yang tidak ingin direpotkan dengan persyaratan pelayanan yang banyak dan menyusahkan, struktur dan hierarki yang panjang, prosedur dan tahapan pelayanan yang berbelt-belit, waktu yang lama dan biaya yang tidak pasti, serta sikap petugas pelayanan yang tidak ramah, sering menunda pekerjaan dan mendahulukan keluarga dan kroninya adalah merupakan faktor pendorong utama sehingga masyarakat wirausaha mengambil atau menempuh bribery behavior dalam proses pelayanan penerbitan SIUP usahanya. Bribery behavior ditempuh oleh masyarakat wirausaha atau pemohon dengan jalan melakukan penyogokan atau membayar dengan sejumlah uang yang tentu saja lebih besar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar. Perilaku informan tersebut dijumpai pada keempat cara atau metode yang mereka tempuh untuk memperoleh pelayanan peneritan SIUP usahanya. 4.2.3. Model dan Proposisi Hasil Penelitian Model dan proposisi yang disumbangkan dari kajian disertasi ini tentunya berkaitan dengan bentuk-bentuk red tape dan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP. Model empirik merupakan temuan lapangan terkait dengan bentuk-bentuk red tape yang dijumpai dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Sedangkan model alternatif merupakan model yang dirumuskan dan ditawarkan oleh peneliti sebagai hasil dari telaah kritis yang dilakukan oleh peneliti untuk mengurangi red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Dan pada bagian akhir akan disajikan proposisi hasil penelitian. Model Empirik Red Tape dalam Penerbitan SIUP. Model empirik proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar nampaknya menyimpang jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar dalam hal ini KPAP Kota Makassar. Pada bagian kerangka pikir dijelaskan bahwa untuk memperoleh SIUP maka masyarakat wirausaha atau pemohon harus melalui beberapa tahapan hingga terbitnya SIUP. Pada setiap langkah atau tahapan sebagaimana tertuang dalam gambar 2 dimungkinkan terjadi red tape. Adapun bentuk-bentuk red tape yang dapat dijumpai dalam pemberian proses pelayanan penerbitan SIUP meliputi: persyaratan yang banyak, ketat, dan cenderung memberatkan dan menyusahkan masyarakat wirausaha; stuktur atau hierarki yaitu formalitas dan organisasi yang panjang, ketat dan berlebihan; prosedur yang rigid atau rinci, kompleks, panjang dan ketaatan secara berlebihan, Ringkasan Disertasi/2012|



22



Gambar: 2 Model Empirik Proses Pelayanan Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan



Ringkasan Disertasi/2012|



23



dan berbelit-belit; waktu dan biaya, waktu yang lebih lama dari stándar waktu yang telah ditentukan; biaya yang lebih tinggi dari standar biaya yang telah ditetapkan; sikap dan perilaku petugas yang suka menunda dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan, termasuk mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, dimana sikap dan perilaku tersebut kurang selaras dengan standar sikap dan perilaku atau kode etik yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar dalam melayani penerbitan perizinan. Model Alternatif Mengurangi Red Tape dalam Penerbitan SIUP. Dengan memperhatikan kerangka pikir, model empirik, dan perilaku masyarakat wirausaha atau pemohon yang cenderung melakukan short cut behavior dan bribery behavior guna menghindari red tape dalam proses penerbitan SIUP di Kota Makassar, maka ditawarkan model alternatif melalui tiga hierarki dan prosedur pelayanan. Pertama masyarakat wirausaha atau pemohon mengajukan permohonan penerbitan SIUP usahanya kepada Walikota Makassar melalui Kepala KPAP Kota Makassar. Pada prosedur pertama ini, pemohon datang pada KPAP dan berurusan dengan Seksi Penelitian Administrasi untuk menyerahkan berkas atau persyaratan, mengambil dan mengisi formulir yang telah disediakan. Adapun persyaratan inti bagi penerbitan SIUP baru adalah pemohon harus memenuhi atau melampirkan persyaratan berupa pas foto 3x4cm dan materai Rp.6.000 masing-masing sebanyak 3 (tiga) lembar karena kedua jenis persyaratan tersebut akan ditempelkan pada SIUP, SIG dan TDP yang nantinya akan diserahkan kepada pemohon. Persyaratan lainnya hanya merupakan pelengkap seperti foto copy KTP, NPWP, dan akte pendirian perusahaan (khusus yang berbadan hukum). Persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/MDAG/PER/2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009, dan persyaratan lainnya yang disebutkan oleh sejumlah informan dipandang dapat ditiadakan karena sifatnya hanya memperbanyak persyaratan, dan memperpanjang stuktur atau hierarki serta prosedur pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Sedangkan persyaratan yang harus dilampirkan oleh masyarakat wirausaha yang bermohon untuk penerbitan perpanjangan SIUP usahanya cukup menyerahkan SIUP aslinya yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tegaskan bahwa SIUP hanya berlaku selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat diperpanjang kembali. Menurut hemat penulis perpanjangan SIUP hanya menambah beban pekerjaan KPAP, dan tidak mempunyai esensi atau kepentingan yang mendasar, kecuali jika terjadi perubahan atas usaha masyarakat wirausaha. Ringkasan Disertasi/2012|



24



Terhadap usaha perorangan tidak perlu dipersyaratkan surat izin gangguan. Surat izin gangguan hanya dipersyaratkan bagi usaha yang berbadan hukum dengan kategori usaha menengah dan besar, itu pun harus selektif sifatnya terutama kepada usaha atau perusahaan yang memang terdapat indikasi menganggu atau mencemari lingkungan sekitarnya. Tidak seperti sekarang surat izin gangguan dipersyaratkan bagi semua jenis usaha yang sesungguhnya tidak perlu mengurus surat izin gangguan, sebagai contoh, toko yang menjual sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat juga diwajibkan mengurus dan memperoleh surat izin gangguan. Bahkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar mempersyaratkan surat izin gangguan untuk penerbitan surat izin usaha perdagangan, walaupun dapat diurus atau diproses secara bersamaan oleh masyarakat wirausaha atau pemohon, bahkan satu paket dengan surat tanda daftar perusahaan. Dengan demikian untuk satu kali pengurusan dapat diproses tiga surat sekaligus yakni surat izin gangguan (SIG), surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan surat tanda daftar perusahaan (STDP). Tahap kedua, proses penerbitan SIUP. Pada tahap ini sebenarnya tidak memerlukan keterlibatan pemohon lagi karena berkas dan formulir yang telah diserahkan dan diisi oleh pemohon pada Seksi Penelitian Administrasi dapat diteruskan oleh seksi tersebut kepada Seksi Penerbitan untuk proses selanjutnya. Pada tahapan ini Seksi Penerbitan memproses penerbitan SIUP dengan cara mengisi atau menginput data dan informasi yang terterah pada formulir yang telah diisi oleh pemohon ke dalam blangko SIUP yang telah disiapkan oleh KPAP. Prosedur ketiga adalah penandatanganan SIUP oleh kepala KPAP. Pada prosedur yang ketiga ini, blangko SIUP yang telah diinput dan diisi lengkap oleh Seksi Penerbitan dapat disampaikan kepada Kepala KPAP untuk ditandatangani. Setelah ditandatangani oleh kepala KPAP, selanjutnya Seksi Penerbitan dapat menyerahkan SIUP kepada masyarakat wirausaha atau pemohon. Dengan model alternatif yang ditawarkan, proses penerbitan SIUP yang selama ini diliputi oleh red tape dapat dihindari dengan melakukan pengurangan struktur atau hierarki, dan penyederhanaan prosedur pelayanan penerbitan SIUP pada KPAP Kota Makassar. Melalui model alternatif tersebut waktu penerbitan SIUP juga dapat dipersingkat menjadi 2 (dua) hari kerja dengan catatan permohonan sudah diterima sebelum jam 12.00 siang, dan paling lama 3 (tiga) hari kerja.



Ringkasan Disertasi/2012|



25



Gambar: 3 Model Alternatif Proses Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan



PENYERAHAN BERKAS & PENGISIAN FORMULIR



MASYARAKAT WIRAUSAHA/ PEMOHON



PELAYANAN PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN



KAJIAN TEKNIS (REKOMENDASI, SKRD, STS & BAP)



PENGINPUTAN & VERIFIKASI SIUP PENANDATANGAN SIUP PENYERAHAN SIUP



Sumber: Hasil olahan data primer dan sekunder, 2012 Model alternative yang ditawarkan senada dengan temuan atau hasil penelitian OECD (2006) yang memberikan rincian laporan yang diadopsi oleh beberapa reformasi populer, melalui rancangan pengurangan dan menyederhanakan persyaratan, hierarki dan prosedur pelayanan, penyederhanaan izin dan prosedur lisensi, batasan waktu untuk Ringkasan Disertasi/2012|



26



pengambilan keputusan dan penerbitan izin, kebijakan yang memberikan kemudahan terutama kepada usaha atau perusahaan kecil dan menengah, serta peningkatan penggunaan teknologi informasi berbasis intranet atau website. Bahkan sesuai dengan amanah UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan kebijakan atau peraturan yang lebih teknis mewajibkan kepada pemerintah daerah Kabupaten dan Kota untuk segera membentuk satuan pelayanan pemberian perizinan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dimana pelayanan bermula dan berakhir pada PTSP dan semua unit teknis terkait dengan pemberian perizinan tertentu ditempatkan dalam satu unit pelayanan terpadu. Proposisi Hasil Penelitian. Dengan mengacu pada temuan atau hasil penelitian, dalam hal ini bentuk-bentuk red tape yang dijumpai dalam proses pelayanan penerbitan SIUP, perilaku masyarakat untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP, model empirik yang merupakan hasil temuan lapangan dan model alternatif yang ditawarkan sebagai hasil dari analisis kritis, maka dapat disusun proposisi sebagai berikut: Masyarakat wirausaha yang diperhadapkan dengan red tape dalam bentuk persyaratan yang banyak, ketat, dan menyusahkan; hierarki yang panjang, formalitas, ketat dan berlebihan; prosedur yang berbelit-belit, panjang dan ketaatan secara berlebihan; waktu yang lama dan tidak pasti, dan biaya yang kurang jelas serta lebih tinggi dari standar biaya yang telah ditetapkan; sikap dan perilaku aparat yang mengharapkan imbalan, tidak transparan, kurang menghargai masyarakat yang dilayani, suka menunda dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan, mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, cenderung akan dihindari dan menyebabkan masyarakat wirausaha mengambil atau menempuh short cut behavior dan bribery behavior untuk mendapatkan SIUP usahanya.



Ringkasan Disertasi/2012|



27



BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 5.1. Kesimpulan Bentuk-bentuk Red Tape. Dari hasil penelitian lapangan terungkap atau ditemukan bentuk-bentuk red tape dalam proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan pada pemerintah Kota Makassar adalah sebagai berikut: Pertama, persyaratan yang banyak dan ketat. Hasil wawancara dengan sejumlah informan terungkap bahwa bukan hanya persyaratan sebagaimana diatur dalam Perwako No. 14 Tahun 2005, tetapi beberapa informan menyampaikan bahwa juga harus melampirkan: sertifikat rumah, IMB dan gambar rumah, bukti pelunasan PBB, bukti pembayaran rekening listrik, bukti rekening telepon, akte nikah, surat keterangan dari RT dan RW, surat pengantar dari lurah dan camat, surat keterangan domisili perusahaan, bukti pembayaran pajak perusahaan, struktur organisasi. Bahkan terdapat informan yang juga membawa persyaratan bukti pembayaran rekening listrik, bukti rekening telepon, dan akte nikah. Kedua, stuktur atau hierarki yaitu formalitas dan organisasi yang panjang, ketat dan berlebihan. Proses pelayanan penerbitan SIUP harus melalui hierarku yang panjang, dimana pemohon harus mengambil surat pengantar dari RT dan RW, kemudian berurusan dengan kantor kelurahan dan kecamatan untuk pengurusan surat keterangan. Selanjutnya berurusan KPAP untuk proses penerbitan SIUP. Pada tingkat KPAP pemohon harus melalui enam tingkatan hierarki hingga diserahkannya SIUP. Bahkan proses penerbitan SIUP mempersyaratkan adanya rekomendsi dari instansi teknis dalam hal ini DP3M. Ketiga, prosedur yang panjang, rigid atau rinci, kompleks, ketaatan secara berlebihan, dan berbelit-belit. Sesuai dengan Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005, menggariskan bahwa prosedur yang harus dilalui oleh pemohon untuk memperoleh SIUP adalah: pertama-tama adalah mengurus surat keterangan dan surat pengantar pada tingkat kelurahan dan kecamatan. Kemudian melengkapi dan menyerahkan berkas pada loket yang telah disiapkan di KPAP, apabila berkasnya kurang lengkap maka pemohon tidak dapat dilayani. Mengambil dan mengisi formulir pada loket di KPAP. Selanjutnya, mengurus rekomendasi, SKRD, dan STS pada DP3M, pada tahapan ini aparat DP3M harus melakukan survei lokasi tempat usaha. Kemudian pemohon menyerahkan rekomendasi, SKRD dan STS tersebut kepada KPAP. Pemohon melakukan pembayaran pada loket kas daerah. Setelah itu, pemohon Ringkasan Disertasi/2012|



28



menyerahkan bukti pembayaran retribusi. Kemudian, Seksi Penerbitan Izin memproses penerbitan SIUP. Selanjutnya, Seksi Penerbitan Izin menyampaikan konsep SIUP kepada kepala KPAP untuk ditandatangani. Terakhir, SIUP dapat diserahkan kepada pemohon oleh Seksi Penerbitan Izin melalui loket yang tersedia. Keempat, waktu dan biaya: waktu yang lebih lama dari stándar waktu yang telah ditentukan. Waktu penerbitan SIUP yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar adalah 6 (enam) hari kerja sudah termasuk penerbitan rekomendasi, SKRD dan STS dari DP3M, dengan catatan berkas pemohon telah dilengkapi. Namun dari hasil penelitian in sejumlah informan mengungkapkan waktu yang lebih lama bahkan terdapat informan yang SIUP baru selesai setelah dua sampai tiga bulan. Biaya yang lebih tinggi dari standar biaya yang telah ditetapkan. Sesuai dengan ketentuannya sebenarnya tidak dipungut biaya lagi untuk pengurusan penerbitan SIUP. Kebijakan tersebut mulai berlaku tahun 2011, namun dari wawancara dengan informan terungkap bahwa seluruh informan mengakui membayar dengan jumlah tidak sedikit. Pembayaran paling sedikit adalah sebesar Rp.850 ribu, bahkan terdapat sejumlah informan yang membayar sebanyak Rp.15 juta. Kelima, sikap dan perilaku petugas yang mengharapkan imbalan, tidak transparan, kurang menghargai pemohon, suka menunda dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan, termasuk mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya. Red tape dalam bentuk sikap dan perilaku petugas dijumpai pada semua tingkatan struktur dan hierarki, mulai pada tingkat Kelurahan, Kecamatan, KPAP dan DP3M Kota Makassar. Perilaku Masyarakat Wirausaha Menghindari Red Tape. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan pada pemerintah Kota Makassar adalah melalui dua model perilaku, yaitu short cut behavior (perilaku mencari gampang), dan bribery behavior (perilaku menyogok). Pertama, short cut behavior ditempuh oleh masyarakat untuk menghindari red tape, terutama oleh masyarakat wirausaha yang memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari, sehingga tidak ingin mengikuti hierarki dan prosedur pelayanan penerbitan SIUP. Mereka umumnya hanya menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan sesuai permintaan petugas yang bersedia membantu alias calo. Short cut behavior merupakan perilaku yang ditempuh oleh seluruh masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam proses pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Kedua, bribery behavior pada dasarnya berkaitan erat dengan short cut behavior. Masyarakat wirausaha yang tidak ingin direpotkan dengan persyaratan pelayanan yang banyak dan menyusahkan, struktur dan hierarki yang panjang, prosedur dan tahapan pelayanan yang berbelt-belit, Ringkasan Disertasi/2012|



29



waktu yang lama dan biaya yang tidak pasti, serta sikap petugas pelayanan yang tidak ramah, sering menunda pekerjaan dan mendahulukan keluarga dan kroninya adalah merupakan faktor pendorong utama sehingga masyarakat wirausaha mengambil atau menempuh bribery behavior dalam proses pelayanan penerbitan SIUP usahanya. Bribery behavior ditempuh oleh masyarakat wirausaha atau pemohon dengan jalan melakukan penyogokan atau membayar dengan sejumlah uang yang tentu saja lebih besar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Makassar. Adapun metode atau cara yang mereka tempuh untuk mendapatkan SIUP dengan dua model perilaku tersebut adalah: (1) Meminta bantuan kepada aparat kelurahan; (2) Meminta bantuan kepada aparat KPAP; (3) Meminta bantuan kepada aparat DP3M; dan (4) Meminta bantuan notaris untuk proses penerbitan SIUP usahanya. 5.2. Implikasi Penelitian Pertama, implikasi penelitian secara teoritis adalah terungkapnya bentuk-bentuk red tape dan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Melalui pengungkapan bentuk-bentuk red tape dan perialku masyarakat wirausaha dalam menghindari red tape, dimungkinkan terjadinya penkayaan teori dan konsep patologi birokrasi, khususnya konsep red tape sebagai salah satu patologi birokrasi. Kedua, implikasi penelitian secara metodologis tercermin dari penggunaan pendekatan kualitatif dalam mengungkap bentuk-bentuk red tape dan perilaku masyarakat wirausaha untuk menghindari red tape dalam pelayanan birokrasi, khususnya pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar. Diharapkan kepada peneliti lainnya yang mempunyai minat dan keinginan untuk mengkaji patologi birokrasi secara umum, maupun secara khusus terhadap red tape, dapat menggunakan pedekatan kualitatif sebagaimana telah kami gunakan. Ketiga, implikasi penelitian secara praktis adalah kemanfaatan atau sumbangan penelitian ini terhadap penyempurnaan dan perbaikan pelayanan birokrasi, khususnya pelayanan penerbitan SIUP di Kota Makassar, agar terhindar dari bentuk-bentuk red tape yang dijumpai dalam pelayanan penerbitan SIUP selama ini. Implikasi penelitian secara praktis dapat disimak pada model alternatif yang direkomendasikan.



Ringkasan Disertasi/2012|



30



DAFTAR PUSTAKA Buku Test: Blau, Peter Michael and Meyer, Marshall W. 1971. Bureaucracy in Modern Society. Random House. New York. Al Gore and National Performance Review. 1993. From Red Tape to Results: Creating a Government that Works Better and Costs Less. Fredonia Books. Amsterdam, The Netherlands. Bozeman, Barry and Feeney, Mary K. 2011. Rules and Red Tape: A Prism for Public Administration Theory and Research. M.E.Sharpe,Inc. New York. Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Hasniati. 2008. Perilaku Pelayanan Birokrat Garis-Depan: Studi tentang Interaksi Birokrasi Kepolisian dengan Warga Masyarakat dalam Pelayanan Surat Izin Mengemudi di Kota Makassar. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang. Kaufman, Herbert. 1977. Red Tape: Its Origins, Uses, and Abuses. The Brookings Institution. Washington D.C. Lipsky, Michael. 1980. Street Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Russell Sage Foundation. New York. Merton, Robert K. 1957. Social Theory and Social Structure, Revised edition. Free Press. Glencoe, IL. Miles, M. B. and Huberman, A. M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Sage Publications. California. Neuman, W. Lawrence. 2009. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (7th Edition). Allyn & Bacon. BostonUSA. OECD. 2006. 'Cutting Red Tape; National Strategies for Administrative Simplification'. OECD Editions, Paris. Rosenbloom, D.H., et all. 2005. Public Administration: Undertanding Management, Politics and Law in The Public Sector. McGrawHill. New York. Thoha, Miftah. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi; Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jilid II. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Weber, M. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. Talcott Parson (ed). The Free Press. New York. Ringkasan Disertasi/2012|



31



Jurnal: Bozeman, Barry, 1993. A Theory of Government ‘Red Tape’. Journal of Public Administration Research and Theory. Volume 3. Nomor 3. Brewer, Gene. A. and Walker, Richard M. 2009. Managerial Perceptions of Red Tape in English Local Government. Public Management Research Conference, School of Policy, Planning, and Development, University of Southern California-Los Angeles. Devis, Randall S. Pandey, Sanjay K. and Wright, Bradley E. 2010. Measures of Bureaucratic Red Tape Register: Individual Perceptions or Organizational Property. University of North Carolina – Charlotte Caiden, Gerald E. 1991. What Really Is Public Maladministration?. Public Administration Review. Volume 51. Nomor 6. Moynihan, Donald P. 2007. A Theory of Culture-Switching: Leadership and Red Tape during Hurricane Katrina. La Follette School, Working Paper Series Nomor 018. University of WisconsinMadison. Pandey, Sanjay K. and Moynihan, Donald P. 2006. Bureaucratic Red Tape and Organizational Performance: Testing the moderating role of culture and political support. In George A. Boyne, Kenneth J. Meier, Laurence J. O’Toole Jr. and Richard M. Walker (Eds.), Public Services Performance: Perspectives on Measurement and Management. Cambridge University Press. Cambridge. Sangkala. 2010. Perubahan Paradigma Administrasi Negara dan Implikasinya terhadap Karakter dan Desain Birokrasi dalam Pelayanan Publik. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Administrasi Publik. Unhas. Kebijakan: Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah. Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pada Pemerintahan Kota Makassar. Lain-lain: Harian Kompas, Nopember 2010



Ringkasan Disertasi/2012|



32



Lampiran: 1 Perbandingan Persyaratan yang Harus Dipenuhi untuk Pengurusan Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) NO



PERWAKO NO 14 THN 2005 Foto copy akte pendirian perusahaan bagi yang berbadan hokum Foto copy KTP pemilik atau direktur utama atau penanggung jawab Foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak Pas foto 3x4 sebanyak 2 lembar



VERSI INFORMAN Foto copy akte pendirian perusahaan (khusus bagi yang berbadan hukum)



PERMENDAG NO 36 THN 2007 Foto copy akte pendirian perusahaan bagi yang berbadan hokum



Foto copy KTP



Foto copy KTP pemilik atau penanggung jawab perusahaan



Materai Rp. 6.000,sebanyak 2 lembar Foto copy neraca perusahaan



Materai Rp. 6.000,- 3 lembar Struktur Organisasi



7



Foto copy Surat Izin Gangguan



SIUP dan SIG Asli (khusus perpanjangan)



8



Foto copy akte pendirian perusahaan atau koperasi yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang (khusus perpanjangan) Surat Izin Usaha Perdagangan (khusus perpanjangan) Foto copy Tanda Daftar Perusahaan (khusus perpanjangan)



Surat Pengantar dari RT dan RW



1



2 3 4



5 6



9 10



Foto copy NPWP Pas foto 3x4, sebanyak 3 s.d 4 lembar



Surat Keterangan Domisili Perusahaan dari Lurah setempat Bukti Pembayaran Pajak Perusahaan



Pas foto pemilik atau penanggung jawab perusahaan ukuran 3x4 cm sebanyak 2 lembar Surat pernyataan dari pemohon SIUP tentang lokasi usaha perusahaan Surat Izin Usaha Perdagangan Asli (khusus perpanjangan) Foto copy surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan terbatas dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (khusus PT) Foto copy akta notaris pendirian perusahaan (khusus PT)



Sumber: Olahan data sekunder dan primer, 2012



Ringkasan Disertasi/2012|



33



Lampiran: 2 Bagan Hierarki dan Prosedur (HP) Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan pada Kota Makassar, 2012



HP-1 PEMOHON SIUP



HP-3



HP-2



PENGURUSAN SURAT PENGANTAR (KELURAHAN)



PENGAMBILAN FORMULIR & PENERIMAAN BERKAS



TANDA TANGAN CAMAT



HP-4



BERKAS & PERSYARATAN TIDAK LENGKAP



KAJIAN TEKNIS OLEH DP3M (REKOMENDASI, SKRD, STS & BAP)



HP-9



HP-8



HP-5



PENYERAHAN SIUP



PENANDATANGAN SIUP (KEPALA KPAP)



PENYERAHAN REKOMENDASI, SKRD & STS OLEH PEMOHON



HP-6



HP-7



PEMBAYARAN RETRIBUSI DAERAH PADA LOKET PEMBAYARAN KAS DAERAH



PROSES PENERBITAN SIUP



Sumber: Hasil olahan data primer dan sekunder, 2012 Ringkasan Disertasi/2012|



34



Gambar: 3 Model Empirik Proses Pelayanan Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan



SURAT KETERANGAN DARI RT & RW SURAT PENGANTAR DARI LURAH & CAMAT



MASYARAKAT WIRAUSAHA/ PEMOHON



KAJIAN TEKNIS OLEH DP3M (REKOMENDASI, SKRD, STS, & BAP) PEMBAYARAN PADA KAS DAERAH PROSES PENGINPUTAN & VERIFIKASI SIUP



BENTUKBENTUK



PELAYANAN PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN



PENYERAHAN BERKAS & PENGISIAN FORMULIR



RED TAPE: PERSYARATAN STRUKTUR/ HIERARKI PROSEDUR WAKTU & BIAYA SIKAP & PERILAKU



PENANDATANGANAN SIUP PENYERAHAN SIUP



PERILAKU MASYARAKAT WIRAUSAHA ATAU PEMOHON: SHORT CUT BEHAVIOR BRIBERY BEHAVIOR KELURAHAN KANTOR PAP DINAS P3M NOTARIS



Ringkasan Disertasi/2012|



35



Sumber: Hasil olahan data primer dan sekunder, 2012



Ringkasan Disertasi/2012|



36