Ringkasan Disertasi Lengkap Revisi Siap Promosi 2018-Muh Sjaiful PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Islam merupakan seperangkat aturan yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusannya Nabi Muhammad SAW, yang keberadaannya dipandang sebagai norma petunjuk untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, adalah memiliki makna sebagai ajaran yang secara otoritatif tidak hanya mengatur pergaulan hidup masyarakat muslim tetapi lebih dari itu juga aspek jangkauan pengaturan risalah Islam, mengatur bidang-bidang sosial kemasyarakatan yang didalamnya mencakup interaksi termasuk dengan orang-orang non-muslim. Ungkapan tersebut dapat diartikan dalam kerangka pemahaman bahwa kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam1, merupakan seperangkat aturan kehidupan yang datangnya dari Allah SWT Sang Maha Pencipta, yang dapat memberikan perlindungan, keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, dan perlakuan yang sama tanpa memandang ras, warna kulit, dan keyakinan spiritualnya, dalam konteks apabila itu menyangkut pengaturan sosial kemasyarakatan dan hukum (muamalah) antara sesama manusia2. Semua yang diatur oleh Islam tersebut, adalah untuk menunjukkan kesempurnaan serta universalitas3 risalah Islam sebagai aturan atau norma untuk mengatur interaksi pergaulan hidup manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Pengaturan demikian, oleh Islam itu sendiri, tentu saja harus berdasarkan kepada wahyu yang datangnya dari Allah SWT sebagai pencipta, serta Hadits Nabi Muhammad SAW4. Hukum Islam, secara pokok dalam konteks amaliah (implementasinya), dapat dikategorikan atas dua cabang hukum utama yaitu berkaitan dengan ibadah dan muamalah5. 1



Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, h. 4. 2 Yusuf Al-Qardhawi, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam, Cetakan I, Toha Putra, Semarang, 1992, h. 24. 3 Abdi Wijaya, “Eksistensi Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, Jurnal Al-Risalah, Volume 10, Nomor 2, November 2010, h. 250, 252. 4 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, 2009, h. 29. 5 Muhammad Syafi’I Antonio, Loc. Cit. Juga dikutip dari Reny Supriatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-Dasar dan Aktualisasinya dalam Hukum Positif), Widya Padjajaran, Bandung, 2011, h. 70.



2



Menurut Abdul Mutholib6 bahwa karakteristik hukum Islam, secara fundamental, memiliki karakteristik berbeda dengan sistem hukum lainnya. Karakteristik paling menonjol hukum Islam, yaitu bersifat kewahyuan yang telah diatur secara khas dalam al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, karena hukum Islam melekat karakter khas kewahyuan, sehingga beberapa literatur yang mengkaji Islam secara spesifik dari sudut pandang norma yang mengikat kehidupan seorang muslim, sebahagian pengkaji hukum Islam menyebut istilah hukum Islam dengan menggunakan istilah syariah. Untuk itu, keseluruhan analisis penelitian ini, peneliti berketetapan menggunakan istilah syariah daripada istilah hukum Islam. Alasan peneliti menggunakan istilah syariah daripada istilah hukum Islam, akan diuraikan selanjutnya. Syariah dan hukum Islam merupakan dua peristilahan yang sudah akrab dalam khasanah pemikiran kaum muslimin di Indonesia, yang merujuk kepada makna yang sama, yaitu seperangkat aturan dari Allah SWT. Pijakan prinsip seorang muslim tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan hubungan-hubungan hukumnya, merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan perintah Allah SWT yang sudah baku, sebagaimana al-Quran Surah al-Hasyr Ayat 7 menetapkan: “Apa-apa yang didatangkan oleh Rasulullah ambillah, dan apa-apa yang dilarang tinggalkanlah7”. Begitu pula, sabda Rasulullah SAW8 berkaitan dengan perbuatan seorang muslim yang seharusnya berlandaskan prinsip syariah, bahwa: Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu sehingga menjadikan (cara berpikirnya) hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa ini (HR. Imam Nawawi) Penjelasan tersebut, merupakan dalil normatif dalam perspektif syariah yang mempertegas bahwa seorang muslim dalam menjalankan aktivitas hubungan hukumnya mesti tidak boleh keluar dari apa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW9. Kedua yang disebutkan ini, merupakan sumber hukum utama yang sudah tetap dan permanen untuk menjadi rujukan 6



Ibid. Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya, Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006. 8 Edi Waluyo (Editor), Hadits Arba’in An-Nawawiyah Terjemahan Bahasa Indonesia, A.W. Publisher, Surabaya, 2014, h. 47. 9 Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002, h. 19. 7



3



bagi seorang muslim dalam melangsungkan hubungan hukum satu sama lain dalam dinamika pergaulan sosialnya. Bagi masyarakat muslim di Indonesia, ketundukan hukum mereka terhadap syariah terutama dalam kerangka hubungan hukum perikatan satu sama lain, tampaknya sudah mendapat tempat dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini dapat kita saksikan dengan kehadiran berbagai lembaga keuangan berbasis syariah yang mengakomodir kepentingan umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh untuk memperkuat argumentasi ini adalah dengan menyemaraknya kehadiran perbankan syariah, kemudian ada yang disebut lembaga asuransi syariah, dan terakhir yang dapat kita amati adalah kehadiran pegadaian syariah.10 Pada konteks hubungan hukum perjanjian yang berlangsung di beberapa lembaga keuangan syariah tersebut, tentu saja tidak boleh menyimpang dari asas-asas akad syariah yang menjadi dasar tegaknya hubungan hukum perjanjian tersebut. Semua asas akad syariah, menjadi keharusan untuk menjiwai semua pelaksanaan kontrak berbasis syariah mulai dari tahap pra kontrak, pelaksanaan kontrak, sampai berakhirnya kontrak. Di Indonesia, dasar hukumnya asas-asas kontrak syariah, telah ditetapkan secara normatif dalam Bab II Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma RI) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Satu hal terpenting yang seharusnya menjadi titik dasar bagi hubungan transaksi syariah, yang juga tidak boleh dilupakan, yaitu hubungan perjanjian atau akad syariah yang mestinya tegak berdasarkan pada sebuah asas yang dikenal dengan nama asas taawun, yakni suatu asas yang sebenarnya menjadi dasar keharusan bagi tegaknya hubungan hukum perjanjian syariah, yang secara spesifik yaitu pada perjanjian utang piutang yang merupakan nomenklatur utama dalam hubungan hukum yang terdeskripsi di lembaga pegadaian syariah. Asas taawun telah menjadi salah satu asas penting yang telah diletakkan secara mendasar dalam al-Qur’an, sebagaimana yang tercantum dalam Surah al-Maidah Ayat (2): “...Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”11 Pada ayat lain dalam al-Qur’an, penekanan asas tolong menolong dalam hubungan antara sesama muslim, kemudian dipertegas lagi melalui Firman Allah sebagai berikut:



10



Mohammad Rosyidi Azis (et.all), Pokok-Pokok Panduan Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah, Bogor, 2010, h. 52. 11 Departemen Agama RI, Loc. Cit.



4



...Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain (Qur’an Surah at-Taubah Ayat:71)... Pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang lain juga ditekankan asas taawun, antara lain: Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa membebaskan seorang muslim dari kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat…(HR. Bukhari-Muslim)12 Penukilan yang tercantum dalam al-Quran maupun Hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, sekaligus merupakan landasan filosofis bagi penempatan asas taawun dalam membangun kerangka hubungan hukum perjanjian utang piutang berbasis syariah, sebagaimana yang ditemukan di lembaga pegadaian syariah saat ini. Urgensitas peletakan asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, memang perlu dikaji secara serius dan mendalam, sebab hakikat yang mengkarakter dalam hubungan hukum utang piutang di pegadaian syariah, adalah hubungan hukum yang tidak boleh didasarkan kepada hubungan hukum yang mencari manfaat atau keuntungan komersial semata-mata. Titik penting hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, seyogyanya berbasis semata-mata dalam rangka kebaikan, tolong menolong, dan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), yaitu hanya untuk memperoleh kompensasi pahala dari Allah SWT, sehingga yang harus diwaspadai adalah tatkala hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, terjebak kepada orientasi untuk mencari keuntungan, yang dikhawatirkan dapat berimplikasi hukum yang dapat menjebak para pihak dalam jeratan riba. Hakikat riba dengan segala sifat, bentuk, dan implikasinya, telah ditetapkan Syariah Islam sebagai bentuk transaksi yang dilarang.13 12



Muhammad Luthfillah Habibi, dkk, “Membangun Integrated Takaful dan Wakaf Model Dalam Upaya Meningkatkan Kemanfaatan Pemegang Polis”, al-Uqud: Journal of Islamic Economics, Volume 1, Nomor 2, Juli 2017, h. 142. 13 Mawardi dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addilatuhu (Jaminan, Pengalihan Hutang, Gadai, Paksaan, dan Kepemilikan), Jilid 6, Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 308. Lihat juga Muhammad, Manajemen Bank



5



Pelarangan riba sebagai bentuk transaksi yang diharamkan oleh Allah SWT, secara normatif, dinyatakan secara tegas dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 275: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Keharaman riba juga dinyatakan secara tegas dalam ayat lain seperti termaktub dalam al-Qur’an Surah an-Nisa Ayat 161: Dan disebabkan mereka memakan riba sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya



padahal



Dua ayat al-Qur’an tersebut, sudah cukup menjadi dalil bagi pelarangan riba itu sendiri yang tidak boleh dipraktikkan kaum muslimin apapun yang menjadi motivasinya. Berpijak kepada landasan berpikir ini juga, peneliti hendak melakukan analisis secara mendalam tentang kerangka bangun asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, yang berpijak dari asas dimaksud, semestinya para pihak yang terlibat dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, mewaspadai terjadinya hubungan kontraktual yang terjebak kepada mencari keuntungan sehingga berimplikasi kepada terjadinya riba. Perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok yang terdeskripsi di pegadaian syariah, adalah penting untuk dikaji menurut perspektif syariah, dengan konsentrasi isu hukum seputar batasan hak dan kewajiban antara para pihak, yaitu pihak pegadaian syariah (muqridh) dengan nasabah (muqtaridh), yang apabila dikaitkan dengan urgensitas asas taawun sebagai fondasi yang menjadi dasar tegaknya perjanjian utang piutang. Hak dan kewajiban Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2002, h. 30.



6



para pihak tersebut yang diwujudkan dalam bentuk akad tersendiri yang terpapar yang secara spesifik dalam akad tersendiri yang disebut sebagai akad rahn. Akad rahn pada perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sesungguhnya hanya merupakan perjanjian bersifat accessoir, yang berisi hak bagi penerima gadai (murtahin) untuk menahan barang berharga bernilai ekonomi milik pemberi gadai (rahin), sebagai jaminan untuk pelunasan hutang. Kedudukan akad rahn yang sifatnya accessoir, tentu saja sekedar pelengkap bagi perjanjian utang piutang yang merupakan perjanjian pokok dalam nomenklatur pegadaian syariah. Karakter khas perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, memang perlu dilakukan analisis mendalam dan terperinci menyangkut penegakan asas taawun sebagai kerangka dasar yang mendasarinya, terutama dalam konteks seputar kebolehan menarik keuntungan (profit) terhadap barang jaminan yang masih berada dalam penguasaan muqridh, sebab landasan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, haruslah tegak pada asas taawun sebagai landasan pokoknya. Hal ini dimaksudkan agar perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok dalam perspektif syariah tidak terjebak dalam riba14. 1. 2. Rumusan Masalah Penelitian ini mengangkat isu sentral pentingnya asas taawun sebagai kerangka dasar dalam membangun hubungan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Berpijak dari isu sentral ini, peneliti menetapkan tiga pokok rumusan masalah: a. Makna asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. b. Asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya. c. Penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya. 1. 3. Tujuan Penelitian dan Orisinalitas Penelitian 1. 3. 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan paparan pokok-pokok rumusan masalah penelitian ini, peneliti menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut: a. Untuk menemukan makna asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah.



14



Ahmad Ad-Daur, Riba dan Bunga Bank (terjemahan), Al Azhar Press, Bogor, 2014, h. 71-73.



7



b. Untuk menemukan asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah serta keterkaitannya dengan asas taawun sebagai landasan pokoknya. c. Untuk menemukan penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya. 1.3.2. Orisinalitas Penelitian Penelitian ini berjudul “Asas Taawun Dalam Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah”, memiliki orisinalitas (keaslian), yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebab penelitian ini, menurut hasil pelacakan peneliti, apabila dibandingkan dengan beberapa disertasi, yang juga menyentuh topik kajian tentang perjanjian syariah atau ekonomi syariah, secara substansi memiliki perbedaan sangat tajam dengan topik yang hendak ditelaah oleh peneliti, antara lain: 1. Asas Keadilan dalam Perjanjian Berdasar Akad Musyarakah Pada Pembentukan Perusahaan yang ditulis oleh Dyah Ochtarina Susanti, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang Tahun 2010, dalam disertasi ini lebih menganalisis aspek filosofis dari asas keadilan yang terbangun dalam akad musyarakah yaitu akad kemitraan usaha dan modal yang berlangsung di perbankan syariah. Perbedaan topik penelitiannya sangat jauh dengan apa yang hendak ditelaah oleh peneliti yang lebih fokus pada asas taawun yang terwujud pada perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah. 2. Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha Perbankan Syariah yang ditulis oleh Trisadini Prasastinah Usanti, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2010, isi disertasi ini menitikberatkan pada kajian filosofis eksistensi prinsip kehatihatian yang berlangsung pada akad utang piutang yang berlangsung di perbankan syariah di Indonesia, sedangkan isi disertasi ini lebih menitikberatkan pada penegakan asas taawun yang berlangsung di Lembaga Pegadaian Syariah. 3. Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia yang ditulis oleh Noor Hafidah, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2011, isi disertasi ini memang membahas tentang keberadaan lembaga jaminan yang harus ditinjau dalam perspektif syariah, tetapi isi disertasi yang peneliti kaji, lebih menitikberatkan pembahasan pada aspek filosofis keberadaan perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah.



8



4. Economic and Religious Significance of The Islamic and Concentional Pawnbroking In Malaysia: Behavioural and Perception Analysis, disertasi doktoral karya Azila Abdul Razak pada Universitas Durham Inggris Tahun 2011, isi disertasi ini terkonsentrasi kepada studi prilaku masyarakat muslim di Malaysia terhadap keberadaan Lembaga Pegadaian Syariah, sedangkan kajian peneliti ini sangat berbeda, yakni melakukan tinjauan hukum normatif terhadap nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan mengambil studi di Indonesia. 1. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini paling tidak memiliki dua manfaat penting, yakni: a. Manfaat teoritis, dapat menjadi bahan rujukan guna pengembangan lebih lanjut berkenaan dengan kajian asas taawun yang menjadi dasar bagi hubungan hukum perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Manfaat ini, sekaligus diharapkan menjadi tambahan teoritis baru dalam kerangka pengembangan lebih lanjut bagi perbaikan nomenklatur perjanjian utang piutang termasuk postur hukum jaminan syariah yang berlangsung di pegadaian syariah. b. Manfaat praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi para praktisi keuangan, terutama yang berkecimpung dalam kegiatan pegadaian syariah di Indonesia, sekaligus penelitian ini, akan menjadi rekomendasi penting yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, guna penyusunan produk undang-undang tertulis ataupun regulasi lainnya yang terkait erat dengan Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia. 1.5. Kerangka Konseptual 1.5.1. Konsep Asas Hukum dalam Kajian Ilmu Hukum Istilah asas menurut Gemala Dewi, dkk15 berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fondasi, sedangkan secara terminologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat16. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir,



15



Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, h. 30. 16 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 70



9



bertindak, dan sebagainya. Muhammad Daud Ali17, mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum dan prinsip hukum dari segi etimologis (peristilahan)18, pada dasarnya merujuk kepada pengertian yang sama. Kedua pengertian “asas” atau “prinsip” yang sering digunakan dalam Bahasa Belanda, disebut beginsel atau principle (Bahasa Inggeris) atau dalam Bahasa Latin disebut principum (primus artinya pertama dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Eddy O.S. Hiariej19 membedakan penggunaan istilah asas dengan prinsip, yaitu dari segi lingkup pengkajiannya. Menurutnya, kata prinsip lebih luas dari kata asas yang langsung menunjuk kepada pengertian dasar hukum, sedangkan istilah asas merupakan istilah yang merujuk kepada landasan bersifat operasional lebih sempit. Istilah prinsip memberikan pengertian lebih luas lagi yaitu mencakup hakikat atau filosofi hukum itu sendiri. Menurut pandangan Esser dan Lawrenz20, keduanya memiliki pandangan yang sama tentang definisi prinsip, yaitu sebagai instrumen fundamental bagi landasan tegaknya seperangkat norma hukum21. Prinsip adalah fondasi yang menjadi pijakan bagaimana norma hukum diinterpertasikan atau diterapkan. Pandangan beberapa pakar termasuk Henry Campbell Black22 dalam Black’s Law Dictionary, yang meletakkan makna prinsip sebagai as norms that set forth bases for a given commandment to be found atau sebagai A 17



Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8, RajaGrafindo Persada, 2000, h. 114. 18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 21. 19 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, h. viii-ix. 20 Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are they the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010, h. 109115. 21 Humberto Avila, Theory of Legal Principles, Springer, The Netherlands, 2007, h. 83-126. 22 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Definition of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn. West Publishing Co., 1968, h. 1357.



10



basic truth, law, or assumption, juga dalam pengertian A fundamental truth or doctrine, as of law. Begitu juga rumusan asas hukum dijelaskan oleh Bryan A Garner dalam Black’s Law Dictionary Edisi ke-1023, yaitu a basic rule, law, or doctrine; esp., one of the fundamental tenets of a system, yang semuanya merujuk kepada makna sama, yakni sebagai norma yang menderivasikan sebuah kebenaran hukum paling mendasar (a basic truth), sehingga apabila dikaitkan dengan pengertian asas secara etimologis merujuk istilah ini diserap dari bahasa Arab yaitu kata asasun yang berarti dasar, alas, atau fundamen24. Begitu juga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang memberikan pengertian asas yang meliputi, sebagai (1) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); (2) dasar cita-cita; (3) hukum dasar. Begitu pula, merujuk pengertian asas menurut Kamus Hukum yang disusun M. Soesilo25, adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Bruggink26 mengartikan asas atau prinsip hukum sebagai nilai-nilai yang melandasi norma hukum. Satjipto Rahardjo27 dengan menyitir pendapat Paul Scholten28 bahwa asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam serta dibelakang sistem hukum masing-masing, yang dirumuskan dalam peraturan perundangundangan serta putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan dan keputusan individual. Paton29 mengatakan bahwa a principle is the broad reason which lies at the base of rule of law. Asas hukum yang pada dasarnya mengandung sejumlah nilai serta tuntunan etis, maka menurut Agus Yudha Hernoko30, suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis atau prinsip sebagai ruhnya. Suatu norma apabila tidak memiliki dasar filosofis serta pijakan asas merupakan sebuah kejanggalan bahkan 23



Bryan A Garner (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Tenth Edition, West, A Thomson Business, USA, 2004, h. 1386. 24 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h. 60-61, dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), Pustaka Setia, Bandung, 2010, h. 146. 25 M. Soesilo, Kamus Hukum, Penerbit Gama, Jakarta, 2009, h. 56 26 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, h. 306. 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 3. 28 Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 33. 29 Paton dalam Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 36 30 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 21.



11



konyol terutama dalam konteks operasionalnya. Artinya, norma tanpa landasan filosofis serta pijakan asas, Agus Yudha Hernoko mengibaratkannya sebagai manusia yang “buta” dan “lumpuh”. Adapun kedudukan asas hukum dalam perspektif hukum Islam, sebagaimana yang terdapat pada sistem hukum lainnya, juga mempunyai kedudukan sangat penting terutama dalam hal pijakan penerapan aturan-aturan hukum yang tertuang dalam al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kedudukan asas hukum dalam konteks demikian, menurut Abd Shomad, dapat berimplikasi kepada struktur filsafat hukum Islam itu sendiri, baik menyangkut sumber, metode, tujuan, dan kaidah hukumnya. 1.5.2. Konsep tentang Syariah Terminologi syariah menurut bahasa, diadopsi dari bahasa Arab syara’a, yasyra’u, syar’an waa syari’atan, secara harfiah dapat berarti jalan menuju sumber kehidupan31, atau berjalan ke tempat air. Menurut Abd Shomad32, terminologi syariah yang juga diintrodusir dari istilah sharia atau syari’at, adalah bermakna way or path to the water source atau jalan ke sumber mata air, yang berarti juga sebagai jalan yang jelas yang harus diikuti menuju sumber mata air atau sumber kehidupan33, sehingga dari istilah ini, bangsa Arab biasanya memberikan arti sebagai jalan lurus yang harus ditempuh untuk menuju sumber kehidupan34. Para ahli mengungkap kata syariah sebagai kata Arab Kuno yang bermakna jalan yang harus diikuti atau bagian menuju lubang air. Pengertian syariah sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah SWT, juga didukung oleh pendapat Ali bin Muhammad al-Jurjani35 dalam at-Ta’rifat (definisi-definisi) dan al-Ghazali dalam kitabnya alMustafa min Ilm al-Usl (yang dapat dipetik dari ilmu Ushul Fiqih), bahwa jika dikatakan as-Syariah Islamiyah, maka maksudnya adalah setiap yang datang dari Muhammad Rasulullah SAW yang berasal dari Allah SWT, baik itu yang sifatnya menjelaskan persoalan aqidah 31



Muhammad Syukri Al-Bani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 51. 32 Syafaul Mudawam, “Syariah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer), Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Volume 46, Nomor II, Juli-Desember 2012, h. 406. 33 Juan El Campo, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase Publishing, United States of America, 2009, h. 620. 34 Abd Shomad, Rekonstruksi Akad Bank Syariah Untuk Mencapai Kemaslahatan Sebagai Wujud Rahmatan Lil Alamin dalam Moch. Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, Laksbang Grafika, Jogjakarta, 2013, h. 109-110. 35 Asep Usman Ismail, “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, AlAhkam, Volume XII, Nomor 1, Januari 2012, h. 30.



12



maupun yang menyangkut pengaturan kehidupan manusia secara pribadi, keluarga, dan dalam bermasyarakat, serta yang menyangkut akhlak. Nash al-Qur’an, juga menjelaskan kata syariah yang disepadankan dengan pengertian dien36, yakni jalan yang ditetapkan Allah SWT untuk semua manusia, sebagai jalan yang jelas ditunjukkan oleh Tuhan kepada manusia37. Pada masa Rasulullah SAW, istilah syarai’ sebagai bentuk jamak dari kata syariah digunakan dalam arti masalah-masalah pokok Islam38. Adapun dalam pandangan beberapa fuqaha seperti Imam Abu Hanifah (700-765 M), mendefinisikan syariah sebagai semua yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari wahyu, yakni semua bagian ajaran Islam. Para ulama memandangnya sebagai definisi yang luas39. Istilah syariah bila dikaitkan dengan dien, menurut Abu Hanifah, ia merupakan pokok-pokok iman sedangkan syariah adalah kewajiban yang harus dijalani. Menurut Imam Syafi’I, syariah pada hakekatnya adalah kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh setiap muslim. Begitu juga pandangan Syekh Mahmout Syaltout40, mendefinisikan syariah sebagai segenap aturan yang diturunkan oleh Allah SWT termasuk derivasi pokok-pokoknya supaya manusia berpegang teguh dengannya dalam berhubungan dengan Tuhan, saudara sesama muslim, sesama manusia, serta hubungannya dengan alam sekitar dan hubungannya dengan kehidupan. Orientalist Nicolas P Aghnides41, menjelaskan istilah syariah sebagai sebuah nama bersifat umum untuk peraturanperaturan atau kaidah-kaidah agama Islam dan para ahli hukum Islam tidak akan mampu merumuskannya apabila tidak ada wahyu Allah.



36



Ahmad Nur Hamid, Makna Al-Din Dalam Al-Qur’an (Studi Tematik Atas Tafsir Ibnu Katsir, Skripsi Pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2010, h. 97. 37 John L. Esposito (Editor), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford University Press, New York, 2003, h. 500. 38 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terjemahan Agah Garnadi, Pustaka Bandung, 1984, h. 7 dalam Abd Shomad, Op. Cit., h. 25 39 Ichtiar Baru Van Hoefe, Ensiklopedia Islam, Jakarta, 1997, h. 345. 40 Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muadz bin Jabal”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 46 Nomor 1 Januari Juni 2012, h. 162. Juga dikutip dalam Ahmad Syukron, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Historis Atas Urgensi Pelembagaan Wakaf Produktif di Indonesia, Jurnal Penulisan, Volume 8 Nomor 2, November 2011, h. 267. 41 Ibid.



13



Hukum Islam menurut Amir Syarifuddin42 merupakan rangkaian kata “hukum” dan “Islam”, yang secara terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu sendiri, yang berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Istilah “hukum” yang digabungkan dengan istilah “Islam”, maka hukum Islam bermakna sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad SAW tentang tingkah laku manusia yang sudah mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang muslim. Ada pendapat yang membedakan istilah hukum Islam dengan istilah syariah, misalnya pendapat Noor Hafidah43, yang menurutnya bahwa perbedaan kedua istilah tersebut dilihat dari perspektif lingkup pengaturannya. Istilah hukum Islam merujuk pada pengertian dogmatis ajaran Islam sebagai dien dalam arti luas, sedangkan istilah syariah merujuk kepada pengertian lebih spesifik berkenaan dengan hukum Islam dalam arti sempit yang terkait erat perbuatan mukallaf. Ringkasnya menurut Noor Hafidah, syariah spesifik mengatur perbuatan mukallaf yang berhubungan persoalan muamalah antara sesama manusia. Beberapa kajian hukum di barat memang ditemukan istilah Islamic law, tetapi tidak ditemukan fakta mana lebih dahulu penggunaan istilah tersebut digunakan44. Bila merujuk pada alQur’an Surah al-Maidah Ayat (48), maka yang digunakan adalah istilah syariah, yang pada ayat tersebut menggunakan kata likullin ja’alnaa mingkum syir’ataw wa min-haajaa…, artinya “…bagi tiaptiap umat Kami telah menjadikan diantara kamu peraturan dan jalan yang terang…”. Pada ayat tersebut kata syir’ataw diartikan peraturan, maka makna syariah sesungguhnya sangat berkaitan dengan pengertian hukum atau aturan. Peneliti mengutip pendapat Abd. Shomad45, mengenai definisi hukum Islam yang dapat diartikan sebagai segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang mengandung larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab, dan halangan untuk 42



Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2011, h. 6-7. 43 Noor Hafidah, Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Disertasi Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2011, h. 44-46. 44 Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 24. Dlam buku ini ditulis pandangan tentang penggunaan istilah hukum Islam dalam kajian hukum di Indonesia. 45 Abd. Shomad, Op.Cit, h. 29.



14



suatu perbuatan hukum, maka dari definisi ini, sudah cukup mendeskripsikan kepada kita bahwa yang dimaksud syariah adalah identik dengan hukum Islam itu sendiri. Syariah yang juga identik dengan hukum Islam, memiliki lingkup cakupan yang dapat dikategorikan atas dua, yaitu syariah dalam arti luas dan syariah dalam arti sempit. Syariah dalam pengertian luas berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang individual dan kolektif. Syariah dalam pengertian yang identik dengan din, adalah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya, sedangkan syariah dalam pengertian sempit, yaitu pembahasan seperangkat aturan dari Allah SWT yang dibatasi hanya meliputi ilmu fikih. Syari'ah dalam arti sempit (fikih) itu sendiri dapat dibagi menjadi empat bidang: ibadah, muamalah, uqubah, dan munakahat. Adapun terkait ilmu yang mempelajari syariah, disebut ilmu fiqh. Istilah fiqh menurut Nasruddin Razak, secara bahasa atau etimologi berarti pintar, cerdas, tahu dan paham, yang menurut asal mulanya paham terhadap tujuan seorang pembicara dari pembicaraannya, yakni paham secara mendalam. Menurut Abd. Shomad, istilah fiqh mengalami perkembangan sejak masa Rasulullah sampai dikenal sebagai istilah yang sudah baku pada masa sekarang. Pada masa Rasulullah istilah fiqh46 digunakan sebagai pemahaman terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang mencakup semua aspek yaitu aspek teologis, politis, ekonomi, dan hukum. Setelah wafatnya Rasulullah, kaum muslimin diperhadapkan kepada persoalanpersoalan baru, sehingga pada masa tersebut, ilmu fiqh digunakan sebagai pengetahuan yang dihasilkan dari sebuah kecerdasan dalam rangka penggalian hadits-hadits nabi, yaitu kecerdasan yang menghasilkan pengetahuan mendalam tentang rangkaian mata rantai periwayatan beberapa hadits nabi47. Pembahasan fiqh, jika ditinjau dari segi perkembangan fiqh itu sendiri, tidak bisa dipisahkan dari ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan sebuah metode tertentu yang digunakan untuk menggali hukum secara konkrit dengan tetap merujuk kepada nash-nash alQuran dan Hadits sebagai rujukan utamanya. Ushul fiqh bisa juga dikatakan sebagai metode tertentu yang dilakukan oleh para mujtahid atau fuqaha (ahli hukum Islam) untuk menggali dalil-dalil fiqh serta 46



Abdul Rokhim, Fiqh, Wahana Dinamika Karya, Semarang, 2004,



47



Ibid., h. 27.



h. 26.



15



tata cara penggunaan dalil untuk menarik kesimpulan dari dalil-dalil tertentu. Kesimpulan dari dalil-dalil tersebut kemudian menghasilkan kesimpulan hukum, yang diintrodusir menjadi fiqh. Fiqh adalah kodifikasi hukum Islam yang merupakan konkretisasi operasional pelaksanaan syariah. Asal mula ushul fiqh secara historis, maka Imam Asy-Syafi’I dapat diposisikan sebagai peletak dasar pertama ushul fiqh serta mensistematisasikannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh. Para fuqaha pendahulu sebelum Imam Asy-Syafi’I, memang telah rajin melakukan berbagai penggalian syariah, tetapi mereka melakukan ijtihad tanpa panduan istinbath (penggalian hukum) secara baku, mereka hanya melakukan istinbath berdasarkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum, dan tujuannya. Para fuqaha sebelum Imam Asy-Syafi’I mempelajari syariah termasuk melakukan penggalian hukum-syariah dengan bekal skill pemahaman Bahasa Arab yang cukup tinggi sehingga ketika mereka melakukan penggalian hukum biasanya mengkompromikan berbagai nash dengan sudut pandang pemahaman tertentu tanpa adanya panduan baku metodologis yang dikemas oleh mereka48. Imam Abu Hanifah, misalnya yang wafat pada saat Imam AsySyafi’I dilahirkan, belum terpikirkan untuk menyusun metode ushul fiqh secara baku dan terperinci yang sifatnya sistematis, termasuk murid-murid yang hidup sesudahnya seperti Abu Yusuf, Muhammad, dan Zafar. Imam Asy-Syafi’I kemudian hadir menggali ilmu ushul fiqh serta melakukan penyusunan secara sistematis panduan umum yang bisa dirujuk untuk mengetahui sistematika dalil-dalil syariah. Imam Asy-Syafi’I dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqh oleh khalayak fuqaha pada masanya dan sesudahnya. Buku karya Imam Asy-Syafi’I yang sangat dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqh yakni ar-Risalah. Beberapa kitab karya Imam Asy-Syafi’I yang juga dikenal berisi pembahasan ushul fiqh antara lain kitab Ibthal al-Ihtihsan dan Jamma al-ilm, bahkan dalam kitab al-Umm karya beliau sendiri, berisi beberapa pembahasan tentang ushul fiqh, didalamnya mengurai tentang beberapa kaidah umum (kulliyah) ketika membahas beberapa hukum cabang syariah. Beberapa imam mazhab telah menjelaskan pengertian fiqh antara lain, Imam Abu Hanifah49, memberikan batasan pengertian 48



Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh, Al-Azhar Press, Bogor, 2003,



h.17-18. 49



M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 211-213. Juga Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunah, Darul Haq, Jakarta, 2013, h. 194-195.



16



fiqh sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban, yakni ilmu yang menerangkan segala yang diwajbkan, disunahkan, dimakruhkan, diharamkan, dan dibolehkan. Akan tetapi Imam Abu Hanifah masih memasukkan bidang ilmu lain, yakni bidang kepercayaan kepada Khaliq, yang dinamakan fiqh akbar. Definisi yang diberikan Imam Abu Hanifah ini tidak berbeda maksudnya dengan takrif50 pada masa sahabat dan tabi’in, termasuk didalamnya urusan kepercayaan, urusan perangai budi pekerti, dan lain-lain. Bagi Imam Asy-Syafi’I, memberikan suatu batasan fiqih sebagai Suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Pada pertengahan abad II hijriah, selanjutnya, beberapa golongan ahli ushul dan ahli fiqh, diantaranya as Sayyid al Jurjani al Hanafi51, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum syara’ yang merupakan amaliah yang diambil dari dalil-dalil bersifat tafshily52. Fiqh merupakan ilmu yang digali melalui jalan ijtihad53 oleh karena itu tidak boleh dinamakan Allah dengan faqih karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi baginya. Bagi imam Abu Hamid alGhazali, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-syariah yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatanperbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya54. Imam Abu Zahrah menjelaskan pengertian fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukumhukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”. Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa fiqh adalah Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”. Al-Amidi, seorang ulama’ Syafi’iyah, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah dari dalil-dali yang 50



Sukriady Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Penerbit Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 2012, h. 6. Juga H. Mundiri, Logika, Penerbit Raja GrafindoPersada, 2012, h. 37. 51 Abd Shomad, “Dinamisasi Penormaan Hukum Islam”, Jurnal Perspektif, Volume XV, Nomor 2, Edisi April, Tahun 2010, h. 107. 52 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 272. 53 Toha Andika, “Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam Pembahuruan Hukum Islam”, Jurnal Nuansa, Edisi 1, Nomor 2, September 2010, h. 185. 54 Abdul Hayy ‘Al, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2006, h.5-6.



17



terinci. Sementara menurut fuqaha’ Malikiyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syariah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori istidlal atau pencarian hukum dengan dalil55. Pada perkembangan selanjutnya, menurut Mohammad Hasyim Kamali56, ilmu fiqh mengintrodusir pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci atau sejumlah koleksi syariah Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalilnya secara detail. Atas dasar itu, maka kedudukan fiqh sebagai cabang ilmu yang menerjemahkan dan mengintrodusir syariah pada lapangan praktis, maka secara bertahap istilah fiqh telah menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah hukum bahkan lebih sempit lagi, yaitu pada literatur hukum yakni kitab-kitab fiqh57. Konstruksi fiqh biasanya juga dibangun berdasarkan kaidahkaidah fiqh (qawaid fiqhiyah). Kaidah fiqih dapat disimpulkan sebagai kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalahmasalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedahkaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengeluarkan hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah. Apabila kaidah fiqih merupakan dasar-dasar yang bertalian dengan syariah yang bersifat mencakup sebagian besar bagian-bagiannya dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas tetapi padat yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya, maka berbeda dengan ushul fiqh, adalah kaidah-kaidah penggalian hukum (qa’idah istidlaliyah), yang menjadi cara bagi para mujtahid untuk melakukan penggalian hukum (istinbath). Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. 1.5.3. Konsep Akad Menurut Syariah Istilah perjanjian menurut syariah menggunakan istilah akad yang dalam al-Qur’an menggunakan istilah al-‘Aqdu58. Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al55



Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Risalah Gusti, Surabaya, 1995, h. 4. 56 Mohammad Hasyim Kamali, Foundations of Islam; Shari’ah Law An Introduction, One World Publication, Trivandrum, India, 2008, h. 41. 57 Abd. Shomad, Loc. Cit. 58 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, h. 126127.



18



rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung menjadi seperti seutas tali yang satu. Kata al‘aqdu terdapat dalam al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat 1 bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya59. Menurut Faturrahman Djamil dalam Ghufron60, istilah al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintennis dalam BW, sedangkan istilah al-ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Para pengkaji syariah memberikan definisi akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya61. Pelaksanaan akad itu sendiri, yang penting untuk diketahui, adalah unsur-unsur yang melekat bagi terpenuhinya akad. Menurut Rahmat Syafe’I62 bahwa dalam perikatan Islam, terkandung tiga unsur untuk dapat terpenuhinya sebuah akad yaitu: 1) Adanya para pihak yang berakad (al-‘aqidan); 2) Redaksi akad (Shighat al-‘aqd), yakni ijab dan qabul; dan 3) Objek Akad (al-ma‘qûd ‘alayhi) 63. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Yusuf as-Sabatin64, bahwa unsur akad atau yang disebut dengan istilah rukun akad ada tiga: (1). Dua pihak yang berakad (al-‘aqidaan); (2) Objek akad (mahaal al-‘aqad); (3) Redaksi akad (shighaath al- ‘aqad), namun menurut Yusuf as-Sabatin, ada beberapa jenis akad tertentu yang meskipun telah sempurna ketiga rukunnya tersebut, misalnya sudah terlaksana ijab-qabul, tetapi belum terlaksana sebelum berlangsungnya serah terima zat harta yang menjadi objek akad tersebut. Contoh akad-akad tersebut, akad hibah, al-qardh (hutang) dan ar-rahn (agunan), dan lain-lain. Apabila unsur akad sudah terpenuhi, maka ada beberapa aspek yang menjadi titik perhatian penting mengenai syarat-syarat sahnya akad. Ahmad Azhar Basyir65, 59



Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 1 60 Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 75. 61 Ahmad Azhar Bashir, Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press, Cetakan ke-2, Yogyakarta, 2004, h. 247. 62 Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2004, h. 45. 63 Ade Armando, dkk, Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, h. 77. 64 Yusuf as-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 37. 65 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., h. 78-82.



19



menjelaskan bahwa syarat terjadinya akad mencakupi segala sesuatu, yang dipenuhi persyaratannya untuk terbentuknya akad menurut standar syariah, jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada atau terpenuhi, sebelum mengerjakan sesuatu, kalau syarat-syarat sesuatu itu tidak sempurna maka sesuatu itu menjadi rusak (batal pekerjaan itu, atau tidak sah). 1.5.4. Konsep Perjanjian Utang Piutang Menurut Syariah Terminologi utang piutang berasal dari kata qardh yang menurut penjelasan Wahbah Az-Zuhaili66, berarti al-qath yaitu harta yang diberikan kepada orang yang meminjam (debitur), sehingga disebut qardh karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan pinjaman (kreditur). Ini termasuk penggunaan isim masdar (gerund-noun verbal) untuk menggantikan isim maf’ul. Menurut Yusuf As-Sabatin67, bahwa al-Qardh, yaitu harta yang diberikan kreditur kepada debitur untuk dikembalikan sama dengan yang diberikan pada saat debitur mampu mengembalikannya. Makna asalnya, secara bahasa, adalah al-qath’u (memutus). Harta yang diambil oleh debitur disebut hutang (al-Qardh) karena kreditur memotongnya dari hartanya. 1.5.5. Konsep Gadai Menurut Syariah Salah satu karakter khas yang melekat pada perjanjian utang piutang, sebagaimana yang berlangsung di lembaga pegadaian, yaitu dilekatkan perjanjian gadai sebagai perjanjian yang bersifat asesoris (tambahan). Istilah gadai dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Pengertian gadai sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1150 BW Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23 adalah: Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan 66



Wahbah Az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah (Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 373-374. 67 Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islami dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2009, h.365.



20



Pengertian gadai yang tercantum dalam Pasal 1150 BW Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23 telah memberikan rumusan pengertian gadai dalam konteks sangat luas, tidak hanya mengatur tentang pembebanan jaminan atas barang bergerak, tetapi juga mengatur tentang kewenangan kreditur untuk mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi barang gadai apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya, karena itu gadai dapat diartikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur, dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya. M Ali Hasan68 juga menguraikan bahwa gadai atau hak gadai merupakan hak atas benda terhadap benda bergerak milik siberhutang yang diserahkan kepada sipemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang siberhutang tadi. Istilah gadai, dalam syariah Islam, menggunakan istilah rahn yang secara etimologis berarti pengekang. Istilah rahn ini dalam Mohammed Riza Abdullah, et. all., juga diuraikan sebagai berikut69: “Literally, it means to pledge, pawn or retain”.



Uraian Mohammed Riza Abdullah lebih memperjelas peristilahan rahn yang digunakan, yang menurut dia istilah rahn atau dalam Bahasa Inggris menggunakan istilah pawn atau retain. Kalau merujuk istilah Bahasa Inggris tersebut, yang juga berarti “menahan” maka Mohammed Riza Abdullah menjelaskan bila istilah rahn adalah merujuk pada pengertian menahan hak milik. Kata rahn, secara etimologi, berarti “tetap”,”berlangsung”dan “menahan”, maka dari segi bahasa rahn dapat diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Peristilahan ar-Rahn, dengan demikian, berarti “menahan salah satu harta milik si peminjam, sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya”. Rahn dalam pengertian demikian, berarti model akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, sehingga pihak yang bersangkutan diperbolehkan mengambil utang, sedangkan dari segi terminologi berkenaan istilah rahn, terdapat beragam pendapat dari para ulama, misalnya ulama fiqih Mazhab Syafi’iyah memberikan pengertian rahn, yaitu menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang 68



M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 253. 69 Mohammed Riza Abdullah, Law and Practice of Islamic Banking And Finance, Second Edition, Sweet and Maxwell Asia, Selangor, Malaysia, 2010, h. 2000.



21



dapat dijadikan pembayaran ketika berhalangan dalam membayar hutang. Bagi ulama fiqih Mazhab Hanafiah memberikan pengertian rahn, yaitu: harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayaran harga atau nilai hutang ketika yang berhutang berhalangan atau tidak mampu membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat, sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu” 70. Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dasar hukum lainnya adalah Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan71. Pada hadits lain yang diriwayatkan dari Anas ra bahwasanya: “Ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah saw telah menggadaikan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. Hadits ini, oleh para ulama (ahli hukum Islam), ditetapkan sebagai dalil atau landasan syariah bagi kebolehan perjanjian gadai. Berdasarkan landasan hukum tersebut, para ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan. Para ulama, merinci bahwa ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari: (1). orang yang menggadaikan (ar-rahin); (2). barang-barang yang digadai (al-marhun); (3). orang yang menerima gadai (murtahin); (4). sesuatu yang karenanya diadakan gadai yakni harga. Untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang 70



Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004,



h. 20. 71



. Arif Efendi, “Gadai Syariah Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Tentang Layanan Syariah Rahn Pada PT Pegadaian Persero”, Wahana Akademika, Volume 15 Nomor 1, April 2013, h. 31.



22



oleh orang yang menerima gadai atau yang mewakilinya. Apabila syarat-syarat akad rahn tersebut sudah terpenuhi72. 1.5.6. Pengaturan Gadai Syariah Di Indonesia Praktik gadai syariah di Indonesia, secara spesifik belum ada undang-undang yang mengaturnya73, hanya beberapa produk hukum dibawah undang-undang yang menjadi payung pengaturan gadai syariah di Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian. Landasan konsep pegadaian syariah di Indonesia, bagaimanapun juga, tetap mengacu kepada al-Quran dan Hadist Nabi SAW, sebagaimana al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 283 serta Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dan Hadits Nabi dari Anas ra. Pengaturan gadai syariah di Indonesia, bermula dari lahirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, yang atas dasar itu setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Begitu juga landasan prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Beberapa aturan hukum pendukung lainnya yang menjadi landasan operasional pegadaian syariah di Indonesia, antara lain Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 111, dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. 1. 6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif, yang karakteristik penelitiannya merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum



72



Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,



h. 27-29. 73



Ade Sofyan Muzid, “Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah Innovatio, Volume XI, Nomor 2, Juli-Desember 2012, h. 293-322.



23



guna menjawab isu hukum yang dihadapi74.Tipe penelitian hukum normatif, menurut Peter Mahmud Marzuki, merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari ciri ilmu hukum yang bersifat preskriptif, yang menurutnya bahwa ilmu hukum sebagai ilmu bersifat preskriptif, maka ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, keabsahan aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Relevan dengan yang ditulis Peter Mahmud Marzuki, menurut Mark Van Hoecke75, penelitian hukum normatif juga dapat dikategorikan sebagai penelitian doktrinal. 1.6.2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah penelitian meliputi: Pertama, pendekatan perundang-undangan, digunakan sebagai analisis untuk menemukan makna asas taawun yang menjadi landasan pokok perjanjian utang piutang di pegadaian syariah serta semua unsur yang terkait dengannya, yang terderivasi pada berbagai peraturan hukum, baik dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan juga produk hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang pegadaian syariah di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian, termasuk peraturan hukum tertulis terkait lainnya. Kedua, pendekatan Konseptual, melalui pendekatan ini, peneliti menggali, menemukan, serta memformulasikan konsep filosofis asas taawun dalam perjanjian utang piutang yang di pegadaian syariah, yang tentu saja peneliti harus merujuk kepada doktrin-doktrin yang berkembang dalam hukum Islam, karena dari sinilah konsepsi ini beranjak. Ketiga, pendekatan sejarah (historis), melalui pendekatan ini, peneliti mengkaji latar belakang historis keberadaan lembaga gadai syariah di Indonesia, yang diregulasi dalam tatanan hukum Indonesia, dengan penekanan pada perkembangan nomenklatur beberapa kontrak yang terkait dengan perjanjian utang piutang bila dikaitkan dengan penegakan asas taawun sebagai sesuatu yang sangat signifikan yang mendasari hubungan hukum para pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. 74



Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h.93 75 Mark van Hoecke, Legal Doctrine: Which Method(s) for Whati Kind of Disicipline?, dalam Mark Van Hoecke, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h. 13.



24



Keempat, pendekatan perbandingan hukum, melalui pendekatan ini, peneliti melakukan analisis perbandingan nomenklatur perjanjian utang piutang yang terdapat pada lembaga pegadaian syariah beberapa negara tetangga dengan Indonesia, yakni Malaysia, Brunei Darussalam,dan Thailand. Pendekatan perbandingan ini yang lebih utama, adalah penjelasan tentang alasan hukum yang melandasi beberapa lembaga pegadaian syariah dibeberapa negara tetangga yang meletakkan barang gadai dalam konteks sebagai wadiah dibandingkan di negara Indonesia yang meletakkan barang gadai dalam konteks sebagai ijarah. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Agus Yudha Hernoko76 menulis bahwa penelitian hukum tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi untuk menguji hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum tidak dikenal hipotesis, demikian pula halnya dengan istilah “data”. Penelitian hukum yang normatif, hanya menggunakan istilah bahan hukum atau source of law77, bukan istilah data sebagaimana lazim digunakan dalam bidangbidang penelitian ilmu sosial lainnya. Henry Campbell Black78 dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan bahwa sumber hukum lebih menitikberatkan pada sumber-sumber yang merupakan dokumen tertulis. Pandangan ini juga didukung oleh Kent C. Olson79 bahwa bahan-bahan hukum tertulis memiliki kedudukan penting dalam penelitian hukum normatif, hanya dapat diperoleh di perpustakaan, karena itu, menurut Miles O Price80, dkk, bagi para penstudi hukum yang sedang merancang sebuah penelitian hukum, tidak boleh mengabaikan perpustakaan sebagai tempat dimana bahan-bahan hukum dapat ditemukan. Relevan dengan pandangan Miles O Price, juga diperkuat Kent C. Olson bahwa bahan hukum ada dua jenis, yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder81. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum sebagai berikut:



76



Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 40. 77 Beau Steenken dan Tina M. Brooks, Source of American (An Introduction to Legal Research), Elangdell Press, Kentucky, 2015, h. 23-24. 78 Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1400. 79 Kent C. Olson, Principle of Legal Research (Successor to How to Find the Law, 9th Edition), Thomson Reuters, USA, 2009, h. 1-2. 80 Miles O Price, dkk., Effective Legal Research, Fourth Edition, Little, Brown and Company, Boston Toronto, 1979, h. 1. 81 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 183-187.



25



1) Bahan Hukum Primer, merupakan sumber bahan hukum utama,mencakup: al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, serta semua regulasi hukum tertulis di Indonesia, yang mengatur tentang pegadaian syariah dengan segala derivasinya. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu berbagai buku teks hukum, jurnal ilmiah, disertasi, tesis, dan skripsi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. 1.6.4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum baik primer maupun sekunder yang diperoleh dengan menggunakan metode bola salju (snow ball theory)82, akan diinventarisasi dan diidentifikasi, yang untuk selanjutnya digunakan dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.6.5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Pengolahan bahan hukum penelitian disertasi ini, dimulai dengan melakukan analisis secara sistematis terhadap keseluruhan bahan hukum yang ada. Proses sistematisasi ini juga diberlakukan terhadap asas hukum, teori, konsep, doktrin, serta bahan rujukan lainnya, yang terkait permasalahan penelitian.



82



Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, h. 392.



26



BAB II MAKNA ASAS TAAWUN DALAM KONTEKS PERJANJIAN UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH 2.1. Makna Filosofis Asas Taawun Perspektif Syariah M. Muzaki83, menjelaskan istilah yang taawun secara etimologis diambil dari bahasa Arab yaitu dari kata ta’awana, yata’awana, yang berarti saling membantu, saling gotong royong, atau saling tolong menolong antara sesama manusia. Makna taawun dalam Kamus Bahasa Arab al-Munawir84, menggunakan istilah at taawun dan at taawuniy, yaitu “tolong menolong”, “kerja sama”, atau yang bermakna “sesuatu yang bersifat kerja sama”. Pada konteks pemaknaan secara etimologis, hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Muzaki85 dalam “Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia” yaitu kata ta’awanu, yu’inu yang berarti “tolong-menolong”. Istilah taawun juga digunakan dalam al-Qur’an yang terutama secara tegas kata ini disebutkan dalam Surah al-Maidah Ayat (2), yaitu kata wata'âwanû yang merupakan bentuk kata kerja aktif bentuk lampau (fi’il madhi/the past continous tense). Kata wata'âwanû tersebut, dapat berarti “bantuan”, “pertolongan”, “penolong”, “keringanan”, sedangkan bila merupakan kata kerja dapat diartikan dengan kata-kata seperti menghibur, menawarkan hati, mengangkat, angkat, mencabut, mencopet, mencuri, mengumpil, mengambil, mendakikan, menyingsing, menjadi terang, mendorong, menaikkan, menyokong, mendorongkan, menolong, memberi pertolongan, membantu. Dari pengertian taawun menurut peristilahan yang merujuk kepada kamus yang peneliti gunakan, maka secara terminologis pengertian taawun yang dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan dengan kata “tolong-menolong”, yang berarti “membantu untuk meringankan bebas (penderitaan, kesukaran, dan sebagainya; membantu supaya dapat melakukan sesuatu”. Pengertian “tolong menolong” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lalu dielaborasikan maknanya secara terminologis, oleh beberapa peneliti dengan beberapa pendekatan, antara lain Srijanti86 mendefinisikan tolong menolong yang berarti saling membantu, meminta bantuan, dan memberikan bantuan. Srijanti, memberikan pengertian “tolongmenolong” dengan basis pendekatan sosial kemasyarakatan, yang menurut pendapatnya bahwa perbuatan tolong menolong merupakan 83



M. Muzaki, Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia, Gama Press, Jakarta, 2000, h. 315. 84 AW Munawir, Op. Cit., h. 988. 85 M. Muzaki, Loc.Cit. 86 Srijanti, dkk, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen, Graha Ilmu, Jogjakarta, 2007, h. 118.



27



bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Kehidupan bersosial dan masyarakat, akan dapat mandiri dan kuat bila disertai dengan terwujudnya hubungan kerja sama dan tolong menolong diantara anggota masyarakat87. Makna “tolong-menolong” secara terminologis, juga dirumuskan oleh Malinowski88 bahwa tolong-menolong sesungguhnya merupakan sebuah realitas sosial dari interaksi kehidupan manusia yang saling timbal balik dari sebuah pertukaran kewajiban dengan konsekuensi logis masing-masing pihak yang saling berinteraksi itu berharap akan mendapatkan balasan secara timbal balik (principle of reciprocity). Menurut Koentjaraningrat, tolong menolong tidak sekedar sebagai sebuah budaya dalam konteks kehidupan kolektif masyarakat tetapi ia juga dapat mewujud sebagai suatu kristalisasi nilai-nilai yang terkonstruksi menjadi pranata. Pranata tolong menolong menurut Koentjaraningrat memiliki variasi (keragaman) sesuai tingkat budaya masyarakat tertentu. Sebagai contoh, pranata tolong menolong yang berlangsung pada kehidupan tradisional masyarakat Indonesia dahulu. Pada masyarakat tradisional Indonesia, menurut ungkapan Koentjaraningrat bahwa pranata tolong menolong sering diterjemahkan dengan istilah “gotong royong”. Tingkatan tolong menolong dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagaimana yang dikualifisir Koentjaraningrat, tampaknya hingga kini masih eksis meskipun kehidupan kota masyarakat Indonesia telah tergerus oleh modernisasi89. Keberadaan pranata tolong menolong yang mewujud dalam kehidupan sosial masyarakat, dalam pandangan Mattulada90 adalah lahir sebagai konsekuensi logis dari keterbatasan masing-masing anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Pranata tolong menolong berfungsi mengatur anggota masyarakat dalam berinteraksi guna memenuhi kebutuhan hidupnya.



87



Rahayu Salam, “Assitulengeng: Bentuk Tolong Menolong Dalam Upacara Aqiqah Di Pulau Salemo”, Jurnal Walasuji, Volume 5 Nomor 2, Desember 2014, h. 330. 88 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984, h. 57. 89 Muhammad Basir, “Hubungan Sosial dan Akses Sosial Masyarakat Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh Di Kota Makassar”, Jurnal Perkotaan, Juni 2012 Volume 4 Nomor 1, h. 53. 90 Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1995.



28



Pemaknaan istilah “tolong menolong” secara etimologis dengan pendekatan budaya (antropologis) menurut sudut pandang Malinowski, dalam konteks kehidupan masyarakat tertentu, tidak hanya mewujud sebagai sebuah kebiasaan, tetapi tolong menolong juga mengkristal dalam wujud hukum kebiasaan. Seperti dengan mengambil contoh kehidupan gotong royong masyarakat Indonesia, yang menurut studi Koentjaraningrat bahwa nilai-nilai kegotongroyongan masyarakat Indonesia telah mewujud sedemikian rupa sebagai tatanan nilai normatif yang mengikat. Bahkan menurut studi Collete91, nilai-nilai gotong royong telah mengaktualisasi sebagai prinsip-prinsip moral bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi common identity dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia dengan keragaman budaya serta adat istiadatnya. Pemaknaan tolong menolong, secara terminologis menurut pendekatan budaya tersebut, tentu saja berbeda pemaknaannya dari sudut pandang syariah dengan mengacu doktrin dari para fuqaha (ahli hukum Islam) atau dari para mufassirin (ahli tafsir al-Qur’an). Para pakar hukum Islam memaknai istilah taawun dalam konteks menurut koridor yang tidak melanggar norma-norma dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Mayoritas pakar hukum Islam, selalu mengkaitkan makna taawun dengan merujuk al-Quran Surah alMaidah Ayat (2). Imam Ibnu Katsir92, antara lain, yang dalam penjelasan tafsirnya, mengkaitkan istilah taawun dengan al-birr. Kata al-birr dalam ayat tersebut, menurut Imam Ibnu Katsir bermakna perbuatan yang baik, sedangkan kata at taqwa bermakna meninggalkan kemungkaran. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah az Zuhaili93 dalam tafsir al-Munir bahwa makna al-birr merujuk kepada pengertian kebaikan yang diperintahkan Allah SWT bukan kepada hal-hal maksiat yang dilarang oleh Allah SWT. Kedua pakar hukum Islam ini, mengkaitkan pengertian taawun dengan perbuatan baik yang tidak melanggar syariah, yaitu bersandarkan perintah Allah SWT dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Perbuatan baik dengan perintah Allah SWT merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan, ia terpaut sebagai satu koneksitisitas. Kata al-birr yang berarti kebaikan, apabila merujuk Hadits Nabi SAW, melalui sabdanya: 91



Nat J Collete, Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan Ilmu Pengetahuan Sosial Di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 1987, h. 3. 92 Sumardiono, Tolonglah Saudaramu Pasti Allah Menolongmu, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2014, h. 120. 93 Wahbah az Zuhaili, Tafsir Al Munir, Gema Insani (Juz 5-Juz 6), Gema Insani, 2015, h. 300.



29



Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227228),94 Kebaikan atau al-birr menurut kutipan hadits tersebut, bagi seorang muslim, yang menjadi standarnya adalah hati nurani. Kebaikan menurut Nabi SAW, senantiasa parallel dengan ketenangan hati seorang muslim. Perbuatan dosa akan menyebabkan hati tidak tenang atau merasa bimbang. Hadits ini meskipun memerintahkan seorang muslim untuk menakar setiap perbuatan baik menurut pertimbangan hati nuraninya, tetapi menurut Al-Munawi dalam kitab yang ditulis Faidhul Qadir Jilid I halaman 495, hati nurani yang dimaksud adalah hati nurani yang bersih yang senantiasa diliputi cahaya keimanan dan mengikuti tuntunan ilmu dan pengetahuan syariah, bukan hati nurani yang diliputi kemaksiatan serta senantiasa cenderung kepada kejahatan dan perbuatan dosa95. Imam Ibnu Katsir dan Wahbah Az Zuhaili memberikan batasan tentang makna taawun dalam pengertian tolong menolong untuk kebaikan yang dibenarkan oleh syariah, bukan tolong menolong untuk tindakan-tindakan yang berpotensi menuju kemaksiatan. Imam al-Jalalain dan Ibnu Abbas secara spesifik menjelaskan bahwa konteks tolong menolong menurut wahyu adalah tolong menolong untuk ketaatan kepada Allah SWT bukan tolong menolong dalam rangka untuk berbuat kemungkaran (tarku al mungkaroot). Begitupun pandangan Imam Nawawi, mempertegas makna taawun yang dimaksud dalam al-Quran Surah Al-Maidah Ayat (2) bahwa tolong menolong dalam konteks ayat ini, hanya berlandaskan kepada perintah Allah SWT bukan berdasarkan kepada prasangka yang dilandasi hawa nafsu manusia. Makna taawun secara terminologis yang diletakkan dalam kerangka syariah menurut para pakar hukum Islam, sebagaimana yang telah peneliti uraikan, sesungguhnya dapat disimpulkan melalui makna kalimat wata’︢awan︢u ‘alal-birri wat-taqwa wa la ta’awanu ‘alal istmi wal-‘udwan(i), dengan perincian sebagai berikut:



94



Ummu Sa’id, “Tanyakan Pada Hatimu” (20 Oktober 2012), https://muslimah.or.id/3281-tanyakan-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017. 95 Yulian Purnama, “Penjelasan Hadits Mintalah Fatwa Pada Hatimu” (9 Februari 2017), https://muslim.or.id/29444-penjelasan-haditsmintalah-fatwa-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017.



30



1. Taawun bermakna sebagai tolong menolong merupakan salah satu bentuk perbuatan yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT, yaitu pelaksanaannya hanya berdasarkan perintah Allah SWT serta meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Tolong menolong yang mendorong kepada perbuatan maksiat, tidaklah termasuk makna taawun dalam konteks ini; 2. Taawun bermakna tolong menolong untuk saling mentaati perintah Allah SWT serta meninggalkan segala larangan Allah SWT yang dapat menjerumuskan kedalam perbuatan mungkar. Tolong menolong dalam konteks ini semata-mata dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT bukan juga tolong menolong yang berlandaskan kepada hawa nafsu manusia. Berdasarkan kesimpulan makna taawun yang dikutip dari pendapat beberapa fuqaha, maka taawun dalam perspektif syariah tidak boleh dielaborasi pemaknaannya yang mengarah kepada perbuatan dosa serta pelanggaran terhadap aturan-aturan Allah SWT. Apabila kita mencermati sambungan ayat dari al-Quran Surah alMaidah Ayat (2) pada kalimat…”Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya”, maka kalimat ayat ini merupakan proteksi makna taawun yang tidak boleh melanggar batasan koridor yang dilarang oleh syariah. Ibnu Katsir96 menjelaskan makna ayat ini, dengan batasan pengertian bahwa Allah SWT melarang setiap muslim terlibat tolong menolong terhadap semua perbuatan yang menuju kebatilan dan perbatan dosa yang diharamkan oleh Allah SWT. Menurut Ibnu Katsir, kata itsm (dosa) adalah meninggalkan apa saja yang Allah larang. Ibnu Katsir dengan mengutip Ibnu Jarir bahwa dosa merupakan bentuk pelanggaran yang melampaui apa yang digariskan oleh Allah SWT serta melupakan apa yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap diri kita dan orang lain, sedangkan pengertian al-‘Udwan (melampaui batas), yang berarti melampaui batas apa yang Allah berikan sebagai batasan dalam Agama Islam. Kata al-‘Udwan juga bermakna melampaui batas kepada apa saja yang diwajibkan kepada setiap muslim yang berdasarkan syariah bukan berdasarkan kepada apa yang menurut keinginan hawa nafsu manusia. Begitu juga menurut tafsir Ibnu Abbas, makna taawun yang ditunjukkan ayat tersebut sebagai proteksi makna dari tolong menolong yang tidak boleh dielaborasikan kepada perbuatan maksiat, perbuatan yang melampaui batas, dan perbuatan zholim. Proteksi makna taawun tersebut, menurut Imam Nawawi terdapat batasan 96



Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (terjemahan), Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2007, h. 173-174.



31



yang memberikan pengertian tidak boleh tolong menolong dalam kemaksiatan karena akan mendapat balasan dari Allah SWT yaitu berupa sanksi azab Allah di hari akhir, serta larangan kepada perbuatan tolong menolong yang melampaui batas hukum-hukum Allah SWT97. Penegasan makna taawun menurut pandangan para pakar hukum Islam tersebut, sekaligus menjadi karakter bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, yaitu gemar tolong menolong. Artinya, setiap muslim akan menjadikan salah satu karakter kepribadiannya dengan sifat-sifat tolong menolong sebagai bagian integral dari akhlak yang baik. Firman Allah SWT, mendeskripsikan tentang karakteristik seorang muslim yang gemar saling tolong menolong karena untuk kebajikan bukan untuk kemungkaran, sebagai berikut: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar…”98. Dari sini pula, dimensi tolong menolong menurut pemaknaan wata’︢awan︢u ‘alal-birri wat-taqwa wa la ta’awanu ‘alal istmi wal‘udwan(i) yang tertulis dalam al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat (2), adalah mengandung dimensi transendental, yang berarti pula tolong menolong bukan sekadar mencakup dimensi kemanusiaan, tetapi jangkauan pemaknaannya secara hakiki menyentuh kepada aspek keakhiratan. 2.2. Makna Asas Taawun dalam Kerangka Hubungan Hukum Antara Muqridh dan Muqtaridh di Pegadaian Syariah Pada hakikatnya, kontrak atau perjanjian selalu memuat hubungan hukum antara para pihak, yang menetapkan beban hak dan kewajiban. Apapun bentuk perjanjian itu, meski dalam bentuk perjanjian yang sederhana, klausula yang tertuang di dalamnya, selalu merupakan perjanjian yang menghasilkan kesepakatan yang melahirkan pengakuan hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk dilaksanakan. W.T Major99 memberi penjelasan teoritis mengenai keberadaan perjanjian atau kontrak sebagai salah satu dokumen hukum yang isinya mereflesikan pernyataan kehendak tertulis untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan apa yang telah disepakati. Pandangan W.T Major, juga diperkuat oleh 97



Sumardiono, Op. Cit., h.128. Imam Ghazali Masykur, dkk, Al-Mumayyaz (Al-Qur’an Tajwid Warna Transliterasi Per Kata Terjemahan Perkata, Cipta Bagus Segara, Bekasi, 2014, h. 198. 99 W.T. Major, The Law of Contract, Macdonald &Evans, London, 1974, h. 1. 98



32



pendapat P.S. Atiyah, yang menjelaskan bahwa perjanjian pada dasarnya melahirkan hubungan kontraktual dari para pihak sebagai sebuah hubungan hukum yang menisbatkan beban kewajiban antara para pihak yang saling bersepakat. Arthur S Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema100 memberikan penjelasan tentang kedudukan kontrak sebagai pranata hukum yang membingkai kemanfaatan yang hendak diperoleh para pihak. Konteks perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, juga mewujudkan ikatan hubungan hukum bersifat kontraktual antara muqridh dengan muqtaridh. Kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh tentu saja, pada sisi lain dapat memberikan manfaat antara keduanya melalui ikatan perjanjian itu sendiri, namun yang perlu untuk diperhatikan dalam konteks pembahasan ini, bahwa manfaat yang hendak diperoleh para pihak (muqridh dan muqtaridh), bukanlah didasarkan kepada manfaat yang bersifat profit (bersifat finansial), terutama dari sisi kepentingan pihak muqridh (pegadaian syariah). Untuk menegaskan hubungan hukum antara muqridh, yang dalam hal ini adalah pihak pegadaian syariah dengan muqtaridh yang dalam hal ini pihak nasabah dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, yang tidak dalam kerangka menarik keuntungan profit (bersifat finansial), maka keberadaan asas taawun menjadi begitu sangat penting sebagai landasannya. Asas taawun dapat menerjemahkan keberadaan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, yang terutama dilihat dari sudut kepentingan muqridh, yang seharusnya adalah didorong oleh kepentingan memberikan pertolongan kepada muqtaridh yang sedang berada dalam kesulitan keuangan. Penempatan asas taawun yang melandasi hubungan kontraktual antara muqridh dengan muqtaridh sesungguhnya juga untuk memberikan makna bahwa perjanjian utang piutang yang terbentuk antara keduanya merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada muqridh dan muqtaridh itu sendiri, namun hubungan hukum keduanya bukanlah karena motivasi mutualisme untuk saling bertukar kepentingan yang berorientasi kepada profit tetapi hubungan hukumnya memang atas dasar tolong menolong. Inilah yang menjadi karakteristik dasar perjanjian utang piutang berbasis syariah yang tidak dikenal dalam perjanjian utang piutang dalam sistem hukum barat, baik yang tunduk menurut sistem hukum common law maupun civil law (Eropa Kontinental).



100



Arthur S Hartkamp dan Marianne Tilemma MM, op.cit., h. 5.



33



Keberadaan asas taawun dalam bingkai perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, adalah untuk mempertegas kedudukan pegadaian syariah sebagai salah satu lembaga keuangan berbasis syariah yang pada dasarnya didirikan dalam kerangka untuk memberikan bantuan pinjaman modal keuangan kepada masyarakat yang memang sangat membutuhkan, yang semata-mata bertujuan sosial. Keberadaan lembaga pegadaian syariah dalam perspektif syariah, seharusnya bukan didorong oleh motivasi komersial tetapi memang motivasinya adalah non-komersial. Mendudukkan lembaga pegadaian syariah sebagai lembaga nirlaba, memang sangat tepat, terutama apabila kita mencermati kembali nomenklatur perjanjian utama yang mengikat antara lembaga pegadaian syariah dengan nasabah, adalah berbasis perjanjian utang piutang. Syariah sudah menetapkan bahwa perjanjian utang piutang adalah bentuk perjanjian yang didalam klausulanya sangat tidak dibenarkan untuk menarik manfaat, terutama yang terkait dengan manfaat materil atau bersifat finansial. Para ulama dan fuqaha telah sepakat bahwa menarik manfaat dalam perjanjian utang piutang sudah dapat dikategorikan ke dalam perbuatan memungut riba, sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat (275) bahwa “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Selain itu, syariah juga telah menetapkan bahwa perjanjian utang piutang sesungguhnya merupakan bentuk perjanjian yang berkarakteristik tolong menolong, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bahwa: …Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa membebaskan seorang muslim dari kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat... Karakteristik perjanjian utang piutang sebagai perjanjian yang menitikberatkan kepada dimensi kemanusiaan, bukan untuk mencari keuntungan komersial, maka keberadaan asas taawun adalah untuk memperjelas hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh sebagai hubungan hukum yang semata-mata didasari kepada kepentingan bersifat transendental bukan dengan membangun hubungan hukum itu, melalui celah yang memungkinkan pihak muqridh (pegadaian syariah) untuk menarik keuntungan komersial dari pihak muqtaridh, mengingat kedudukan muqtaridh berada dalam kedudukan yang lemah, yaitu berada pada posisi yang sangat menggantungkan harapan kebutuhan ekonominya yang sangat mendesak kepada pihak muqridh.



34



Hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, secara mendasar, memang mengekspresikan hubungan mutualisme antara keduanya, sebagaimana layaknya perjanjian pada umumnya, namun hubungan mutualisme itu bukanlah berdasarkan benefit in profit-oriented, yaitu mutualisme berbasis orientasi profit. Mutualisme antara muqridh dengan muqtaridh tidaklah dalam hitungan kalkulasi keuntungan finasial, seperti yang tampak pada hubungan mutualisme dalam perjanjian komersil lainnya, semisal perjanjian mudharabah, perjanjian musyarakah, perjanjian ijarah, perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain. Hubungan mutualisme dalam kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh tetap terjaga dalam batasan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan spiritual. Asas taawun akan menjadi landasan yang menjaga kerangka hubungan mutualisme antara muqridh dengan muqtaridh tersebut. Asas tawun tetap menjaga bahwa hubungan mutualisme antara muqridh dengan muqtaridh adalah atas dasar tolong menolong, sehingga ketika muqridh memberikan pinjaman modal dalam bentuk uang adalah didorong oleh motivasi kemanusiaan. Bantuan keuangan oleh muqridh tidak boleh ditafsirkan apalagi dicari celah sedemikian rupa untuk mendapatkan kompensasi dalam bentuk kemanfaatan finasial atau kemanfaatan material lainnya yang dapat ditakar berdasarkan hitung-hitungan komersial. Kemanfaatan yang dimungkinkan dapat diperoleh muqridh dari hubungan mutualisme itu adalah kemanfaatan berupa ganjaran pahala yang berlipat dari Allah SWT kelak di akhirat. Pada satu sisi, kemanfaatan yang diperoleh pihak muqtaridh dari hubungan mutualismenya dengan muqridh, tentu saja bagi pihak muqtaridh memperoleh keringanan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya karena himpitan ekonomi. Makna asas taawun menurut doktrin para ulama dan fuqaha yang merujuk kepada al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat 2, maka dalam konteks kedudukan asas taawun dalam pejanjian utang piutang di pegadaian syariah, ia dapat dimaknakan sebagai asas yang melandasi pertukaran hak dan kewajiban antara muqridh dengan muqtaridh dengan komitmen semata-mata atas dasar moral kebajikan yaitu pihak muqridh memberikan pertolongan kepada muqtaridh berupa bantuan modal pinjaman dan disisi lain pihak muqtaridh juga dituntut secara moral untuk mengembalikan modal yang telah dipinjamnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hubungan antara muqridh dengan muqtaridh, adalah beranjak kepada orientasi kepentingan non-profit atau bukan karena dilandasi meraih keuntungan komersil.



35



Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut peneliti, makna asas taawun dalam konteks perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, dapat dielaborasikan pada pemahaman makna sebagai berikut: 1. Asas taawun memberikan makna terhadap sentuhan hubungan hukum antara muqtaridh dengan muqridh sebagai hubungan hukum yang meletakkan hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tanggung jawab ilahiah, yaitu tanggung jawab yang memang semata-mata didorong oleh semangat spiritual. Bagi muqridh memberikan bantuan pinjaman modal merupakan salah satu tanggung jawab sosial yang diperintahkan oleh Allah SWT bagi setiap muslim.. 2. Asas taawun memberikan makna yang menegaskan karakteristik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagai perjanjian yang tidak dibangun atas dasar hubungan komersil, sehingga apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh muqtaridh yaitu beritikad buruk tidak mau mengembalikan modal yang dipinjamnya dari muqridh atau menunda-nunda pengembalian modal pinjaman dalam jangka waktu cukup lama, maka kerangka penyelesaian sengketa syariah oleh lembaga pengadilan syariah, adalah memberikan keputusan hukum kepada muqtaridh untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya itu sesuai dengan pokok modal. Tidak dibenarkan dalam tataran syariah, bahwa pihak muqridh lalu meminta tambahan pokok atas pelanggaran perjanjian yang dilakukan muqridh, dengan alasan pelanggaran perjanjian mengakibatkan kerugian finansial bagi pihak muqridh. Titik point pemaknaan asas taawun yang telah peneliti ketengahkan tersebut, adalah untuk memperjelas hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh dari segi kepentingan masingmasing pihak. Kepentingan yang dimaksud disini adalah kepentingan yang tidak didasarkan kepada kalkulasi matematis menurut hitunghitungan finasial berapa yang akan didapat oleh muqridh. Pinjaman bantuan modal yang diberikan muqridh kepada muqtaridh, seharusnya tidak boleh ditakar sebagaimana menurut pandangan ekonomi kapitalisme, bahwa pinjaman modal berdampak kerugian dipihak muqridh, sebab telah terjadi pengurangan atau pemotongan harta muqridh itu sendiri. Pandangan kapitalisme yang tegak atas landasan materialistik, yang menihilkan nilai-nilai trasendental, tentu saja memandang semua transaksi keuangan terutama berkaitan dengan modal, semuanya mesti berpijak pada pandangan untuk mencari keuntungan finansial (motivasi bisnis) 101. 101



Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, h. 137.



36



Konteks pemaknaan asas taawun dalam kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, di sisi lain juga adalah untuk mengelaborasikan kedudukan lembaga pegadaian syariah sebagai lembaga yang benar-benar mengemban amanah tanggung jawab sosial. Pegadaian syariah, meskipun dinisbatkan sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan, tetapi seharusnya, karakteristiknya sebagai lembaga non-profit tetap dipertahankan. Visi dan misi lembaga pegadaian syariah semestinya tidak diintervensi dengan sentuhan komersial, yang seolah-olah mempersamakan dengan lembaga keuangan berbasis syariah lainnya seperti lembaga perbankan syariah. Inilah yang harus dipertegas kembali bahwa lembaga pegadaian syariah didirikan memang bertitik tumpu kepada fungsi-fungsi sosial, dalam bentuk memberikan bantuan pinjaman modal kepada pihak-pihak yang memang sangat membutuhkan. Bantuan pinjaman modal yang diberikan itu, tentu saja, dilakukan melalui mekanisme perjanjian utang piutang bukan melalui mekanisme perjanjian hibah, sehingga bantuan pinjaman modal yang diberikan itu berimplikasi kepada kewajiban pihak muqtaridh untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas landasan asas taawun, sekaligus untuk menegaskan sekali lagi keberadaan lembaga pegadaian syariah, melalui wujud perjanjian utang piutang, yang terdapat di dalamnya, sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang berbasis kemanusiaan. Atas dasar itulah, untuk menjaga orisinalitas lembaga pegadaian syariah sebagai lembaga nonprofit yang berbasis murni untuk memberikan pertolongan kepada siapa saja yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka keberadaan perjanjian tambahan yang dilekatkan kepada perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, seharusnya ditiadakan jika perjanjian tambahan itu menjadi celah bagi pihak muqridh yaitu pihak pegadaian syariah untuk menarik keuntungan. Peneliti selanjutnya mengilustrasikan tentang nomenklatur perjanjian utang piutang sebagaimana yang berlangsung pada umumnya di pegadaian syariah di Indonesia. Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah tersebut, dalam praktik yang berlangsung hingga saat ini, lazimnya dilekatkan dengan dua perjanjian tambahan yaitu perjanjian gadai (akad rahn) dan perjanjian sewa tempat penitipan barang gadai yang disebut dengan nama akad ijarah. Sebagai gambaran berikut peneliti menyajikan dalam bentuk bagan mengenai transaksi yang berlangsung di pegadaian syariah sebagai berikut:



37



Mencermati bagan tersebut, apabila penempatan asas taawun sebagai landasan pokok tegaknya perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, kemudian mencermati perjanjian sewa tempat penitipan barang gadai (al-marhun) sebagai perjanjian tambahan yang dilekatkan pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang), maka landasan pokok perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah adalah perjanjian utang piutang, sehingga karakter hubungan hukum apapun yang terderivasi darinya bukan untuk menarik manfaat atau untuk mendapatkan kompensasi finansial. Peneliti mencoba mencermati beberapa segi yang terkait dengan perjanjian utang piutang tersebut yang melekatkan akad ijarah sebagai perjanjian accessoir. Pada akad ijarah, pihak muqridh menetapkan syarat bahwa pihak muqtaridh dibebankan kewajiban untuk membayar uang sewa tempat penitipan barang yang dijaminkannya (al-marhun). Uang sewa dimaknakan sebagai uang jasa titipan barang jaminan/agunan, termasuk juga merupakan bagian dari biaya pemeliharaan barang jaminan kalau barang jaminan itu sendiri, diperkirakan dapat mengalami penyusutan atau kerusakan pada saat dititipkan atau disimpan pada jangka waktu yang cukup



38



lama. Atas dasar itulah, karena hubungan hukum dalam akad ijarah adalah hubungan hukum sewa menyewa, maka objek perjanjian akad ijarah ini adalah sewa tempat penitipan barang agunan yang disediakan oleh pegadaian syariah. Pada akad ijarah ini, kedudukan muqtaridh disebut musta’jir (orang yang menyewa tempat) dan muqridh disebut mu’ajjir (orang yang menyediakan tempat penyewaan). Pembebanan uang sewa tempat penitipan barang jaminan kepada muqtaridh (musta’jir), tidaklah menjadi persoalan apabila uang sewa dipungut oleh muqridh (mu’ajjir) masih dalam batas-batas yang proporsional, namun yang menjadi persoalan adalah jika biaya sewa penitipan yang diambil, tidak lagi pada batas-batas yang proporsional, tetapi membuka celah sedemikian rupa agar pihak pegadaian syariah dapat menarik manfaat dari akad ijarah yang sudah ditetapkan bersamaan dengan perjanjian utang piutang. Pemaknaannya bahwa standar penetapan biaya sewa (ujrah), tidak menjadi persoalan apabila tidak dikaitkan secara langsung dengan nilai harga konstanta dari barang jaminan/agunan (al-marhun), tetapi biaya sewanya semata-mata ditetapkan berdasar kepada penggunaan tempat penyimpanan barang jaminan/agunan (al-marhun) yang disediakan pihak muqridh atau kalau memang ada biaya-biaya perawatan yang harus dikeluarkan dalam rangka menjaga kondisi barang jaminan/agunan (al-marhun) supaya tidak rusak atau mengalami penyusutan. Pada dasarnya, barang yang dijadikan sebagai jaminan/agunan oleh muqtaridh di pegadaian syariah, adalah barang yang memiliki nilai ekonomi atau yang memiliki nilai harga jual di pasaran. Barang jaminan/agunan yang dimaksud itu antara lain berupa emas, perak, perhiasan berlian, kendaraan, benda-benda elektronik, maupun bendabenda bergerak lainnya yang memiliki nilai jual secara ekonomi. Semua barang yang dijadikan agunan itu dari segi zat barang dan sifatnya, sebahagian besar diantaranya tidak memerlukan perawatan khusus atau ada perkiraan mengalami penyusutan kalau disimpan terlalu lama. Misalnya, emas atau perak, barang jenis ini tentu tidak memerlukan perawatan khusus untuk menjaganya karena kekhawatiran mengalami kerusakan. Begitu juga seperti kendaraan yang disimpan, barangkali tidak akan mengalami kerusakan apabila disimpan dalam jangka waktu tertentu, namun yang menjadi persoalan yaitu ketika biaya sewa dalam akad ijarah ditetapkan berdasarkan nilai konstanta dari harga barang jaminan/agunan. Misalnya, pihak muqridh menetapkan harga sewa dengan menaksir berdasarkan nilai konstanta barang yang berbeda antara satu dengan yang lain, umpamanya biaya sewa barang jaminan emas seberat 5 gram berbeda dengan barang jaminan emas seberat 10 gram. Ilustrasi konkritnya



39



dapat peneliti uraikan sebagai berikut, seorang nasabah A hendak meminta bantuan pinjaman modal ke pegadaian syariah B. Setelah keduanya menyatakan terikat secara tertulis dalam perjanjian utang piutang, lalu ditetapkan bahwa sebagai jaminan pengembalian modal tersebut, pihak A menjaminkan barang emas miliknya seberat 5 gram, untuk menjadi kompensasi jika kelak dikemudian hari A tidak mampu mengembalikan modal yang dipinjamnya tersebut. Berdasarkan taksiran B, nilai jual barang agunan A dipasaran adalah Rp 2. 500. 000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada klausula akad ijarah, pihak B menetapkan bahwa biaya sewa yang wajib dibayar pihak A adalah 1 % dari nilai konstanta selama 10 hari terhitung dari mulai tanggal penitipan barang jaminan. Bila penitipan bertambah lewat 10 hari maka pihak A dikenakan tambahan biaya sewa sebesar 1% dengan hitungan masa 10 hari lagi. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka A diwajibkan membayar biaya sewa sejumlah Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk masa sepuluh hari penitipan dan apabila masa sewa lewat 10 hari meskipun hanya 1 hari maka pihak A dikenakan tambahan biaya sewa sebesar Rp. 25. 000 (dua puluh lima ribu rupiah) lagi. Pada saat yang bersamaan pihak nasabah yang lain, sebutlah misalnya C melakukan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah B, lalu pihak C menjaminkan barang miliknya perhiasan emas seberat 10 gram, maka tentu saja biaya sewa yang ditanggung pihak C lebih besar dari pihak A karena nilai konstanta harga barang yang dimiliki C juga lebih besar, yaitu ia menanggung kewajiban membayar sewa penitipan sejumlah Rp. 50. 000 (lima puluh ribu rupiah). Dari ilustrasi yang disajikan peneliti tersebut, tampak jelas bahwa pihak pegadaian syariah selaku muqridh telah membebankan biaya sewa barang jaminan/agunan dengan berdasarkan nilai konstanta prediksi harga jual dipasaran. Bila ditelaah secara kritis, menurut peneliti, tampaknya ada semacam celah yang dimanfaatkan pihak pegadaian syariah untuk menarik keuntungan dengan alasan biaya sewa penitipan barang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah (muqtaridh). Menurut peneliti, tidaklah menjadi soal berkenaan dengan penarikan biaya sewa, sebagai bentuk pengamanan terhadap barang jaminan nasabah, namun, penetapan biaya sewa seharusnya dalam batas-batas proporsional yang ditetapkan berdasarkan pemanfaatan tempat oleh nasabah bukan dengan menghitungnya berdasarkan nilai harga konstanta barang jaminan. Penarikan biaya sewa oleh pegadaian syariah, memang sebenarnya tampak sebagai celah untuk menarik manfaat dari pihak nasabah, karena secara logika, hubungan hukum dalam akad ijarah di pegadaian syariah, adalah hubungan sewa menyewa tempat penitipan barang agunan. Hubungan hukum demikian, yang dijadikan sebagai



40



titik konsentrasi objek akad adalah pemanfaatan tempat serta keamanan barang gadai (al-marhun), sehingga bangunan logikanya keliru kalau penentuan sewa tempat didasarkan kepada taksiran nilai konstanta harga barang jaminan, karena tidak ada hubungan antara nilai konstanta harga barang dengan pemanfaatan tempat penitipan barang gadai/agunan. Nilai konstanta harga barang gadai adalah nilai yang melekat karena menunjukkan kualitas barang, sedangkan tempat penitipan barang gadai yang disewakan pihak pegadaian, adalah berkaitan dengan fungsi pengamanan, perawatan, atau perlindungan barang gadai. Pada sisi lain, fungsi penyimpanan barang gadai yang dititipkan kepada muqridh (lembaga pegadaian syariah), adalah untuk memproteksi hak penguasaan terhadap barang gadai, yang sebenarnya berada ditangan pihak muqridh itu sendiri, sekaligus untuk menghindari kemungkinan barang gadai, yang masih merupakan hak penguasaan pihak muqridh, jatuh ke tangan pihak ketiga yang tidak memiliki hak penguasaan untuk itu. Akad ijarah yang berlangsung antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, sebagaimana yang telah peneliti paparkan sebelumnya, adalah mewujudkan hubungan hukum sewa menyewa tempat penitipan barang gadai, sehingga dalam konteks hubungan hukum itu, muajjir (muqridh) memiliki kewajiban serta tanggung jawab pada batas-batas semaksimal mungkin untuk menjaga barang gadai yang dititipkan kepadanya. Tanggung jawab muajir tersebut, sebenarnya merupakan amanah yang dibebankan kepadanya ketika pihak mustajjir (muqtaridh) mempercayakan barang miliknya dititipkan atau berada dalam penguasaan pihak muajir, maka sudah selayaknya menjadi tanggung jawab muajir untuk menjaga dan melindungi barang gadai/agunan tersebut. Konteks beban tanggung jawab bagi muajir untuk menjaga barang gadai/agunan, tidak bisa menjadi alasan sebagai dasar untuk mencari celah penarikan biaya sewa menurut harga taksiran barang gadai. Penarikan biaya sewa semestinya ditetapkan berdasarkan fungsi tempat penitipan barang untuk menjaga barang gadai agar tidak mengalami kerusakan atau penyusutan. Atas dasar pemikiran demikian, semestinya penarikan biaya sewa tidak lagi menurut taksiran harga barang gadai/agunan. Misalnya, emas yang dititipkan sebagai barang gadai, berapa pun harga taksirannya, maka beban ongkos sewa yang diambil muajjir seharusnya tetap sama secara proporsional dengan barang gadai lain yang dititipkan semisal perak. Contoh lagi, barang gadai berupa motor yang dititipkan pada tempat yang disediakan muajjir. Harga motor yang dititipkan sebagai barang gadai/agunan, tentu saja bervariasi satu sama lain tergantung kepada merk, tahun keluaran, serta kapasitas kekuatan mesin motor. Penarikan biaya sewa penitipan motor oleh muajjir seharusnya tidak



41



berdasarkan kepada taksiran harga jual motor tetapi berdasarkan kepada fungsi tempat motor yang dititip sebagai barang gadai. Begitu juga, dalam prosedur pejanjian utang piutang di pegadaian syariah, ditetapkan biaya-biaya tambahan lainnya yang wajib dibayar pihak muqtaridh yaitu biaya administrasi sebagai ongkos yang diberikan kepada pihak muqridh untuk kepentingan pencatatan dan dokumentasi tertulis yang mendeskripsikan terjadinya ikatan perjanjian utang piutang dengan segala derivasi hak dan kewajiban yang timbul antara muqridh dengan muqtaridh. Dokumen tertulis ini juga dapat menjadi salah satu alat bukti utama jika seumpama terjadi sengketa antara muqridh dengan muqtaridh kelak dikemudian hari, namun yang patut dipertegas lagi adalah penetapan biaya adminstrasi semestinya dalam batas-batas yang wajar dan proporsional, bukan malah menjadikan penetapan biaya administrasi sebagai celah bagi pihak pegadaian syariah untuk mencari manfaat atau keuntungan finansial, karena penetapan biaya administrasi oleh pihak pegadaian syariah, dengan berdasarkan pada besaran jumlah pinjaman, tentu saja merupakan indikasi sebagai celah menarik manfaat dari hubungan hukum dalam akad rahn, yang sebenarnya merefleksikan perjanjian utang piutang. Peneliti memberikan ilustrasi sebagai berikut, pihak A akan meminjam sejumlah uang di pegadaian syariah B. Pada saat penandatanganan perjanjian atau akad antara keduanya serta sebelum dilangsungkan pelaksanaan perjanjian atau akad-akad lainnya, pihak pegadaian syariah B mewajibkan A membayar sejumlah uang administrasi yang sudah ditetapkan nilai standarnya. Pihak B lalu menetapkan standar biaya administrasi berdasarkan golongan menurut nilai besaran jumlah pinjaman. Penggolongan tersebut, ditetapkan pihak B melalui daftar tabel, dengan mengurutkannya dari golongan A sampai D, dengan variasi pungutan biaya administrasi antara Rp. 2.000 sampai Rp. 100.000. Biaya administrasi yang dimaksud adalah biaya riil yang dikeluarkan seperti untuk biaya perlengkapan dan biaya tenaga kerja. Biaya tambahan ini ditetapkan berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak B selaku pegadaian syariah. Tambahan biaya administrasi sebagai kewajiban yang harus dibayar nasabah sebagaimana tampak pada ilustrasi kasus yang diuraikan peneliti, apabila dicermati lagi, sesungguhnya merupakan celah bagi muqridh untuk menarik manfaat, karena tampak hubungan yang tidak logis antara jumlah biaya administrasi dengan jasa tenaga administrasi yang digunakan. Biaya administrasi seharusnya ditetapkan berdasarkan jasa tenaga yang dikeluarkan oleh muqridh, sedangkan biaya riil tambahan lainnya seharusnya juga ditetapkan berdasarkan biaya-biaya yang memang betul-betul secara riil digunakan seperti biaya pengetikan atau penulisan, biaya foto kopi,



42



harga map, harga materai, dan lain-lain. Biaya riil semestinya tidak boleh ditetapkan berdasarkan anggapan sepihak dari muqridh. Penetapan biaya administrasi di pegadaian syariah, jika dalam batasan yang logis dan wajar sesuai jasa serta biaya riil yang dikeluarkan oleh pihak muqridh itu sendiri, tentu setiap nasabah yang hendak meminjam sejumlah uang tertentu, akan dibebankan biaya administrasi secara sama tanpa memandang lagi bedasarkan nilai taksiran harga barang gadainya. Seperti pada ilustrasi kasus yang sudah diuraikan peneliti, yaitu masing-masing pihak nasabah A dan C boleh jadi dibebankan tarif biaya administrasi yang sama, seandainya terjadi perbedaan selisih biaya administrasi antara A dan C, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan biaya riil yang harus ditanggung keduanya. Peneliti hendak mempertegas lagi bahwa hakikat hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah adalah hubungan hukum yang diikat oleh perjanjian utang piutang sebagai landasan utamanya. Hubungan hukum antara para pihak yang diikat oleh perjanjian utang piutang menurut perspektif syariah, tidak diperkenankan menarik manfaat atau kompensasi finansial, sebab berpeluang menjebak antara kedua pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut kepada jeratan transaksi riba. Inilah pentingnya untuk mempertegas hubungan hukum dalam ikatan utang piutang menurut perspektif syariah tegak pada asas taawun. Pihak pemberi pinjaman modal membangun hubungan perikatannya dengan pihak penerima pinjaman karena atas dasar dorong kemanusiaan, yaitu tolong menolong kepada sesama saudaranya yang memang sangat membutuhkan bantuan. Disinilah sekali lagi, unsur kebajikan sosial dan moral yang baik dalam transaksi utang piutang perspektif syariah, yang seharusnya memang lebih dikedepankan. Atas dasar itulah maka penegasan hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, seharusnya murni bertumpu kepada asas taawun, sehingga menurut peneliti segala derivasi akad yang lahir dari hubungan perjanjian utang piutang tersebut, seperti akad ijarah sebaiknya ditiadakan kalau misalnya tetap diadakan maka nomenklatur akad ijarah lebih berorientasi kepada bukan sebagai celah untuk menarik keuntungan finansial. Pertimbangan untuk ditiadakannya akad ijarah semata-mata untuk menghindari kemungkinan hubungan transaksi antara muqridh dengan muqtaridh terjebak kepada motivasi memperoleh keuntungan finansial. Menurut peneliti, derivasi akad yang lebih tepat untuk menggantikan kedudukan akad ijarah adalah akad wadiah, alasannya akad wadiah lebih mencerminkan aspek tolong menolong yang wujud pelaksanaan akadnya didasarkan kepada saling memberikan



43



kepercayaan satu sama lain antara muqridh dengan muqtaridh. Adapun menyangkut pembahasan akad wadiah, pada uraian selanjutnya peneliti menganggap perlu untuk menjelaskan secara ringkas tentang akad wadiah sebagai salah satu bentuk transaksi yang juga diatur dalam hukum Islam (syariah). Kata wadiah secara bahasa berasal dari akar kata wada’a yang bersinonim dengan kata tarkahu yang artinya meninggalkan atau juga kata tarkahu wadi’atan yang berarti menitipkan. Berdasarkan istilah menurut kamus al-Munawir, maka menurut Sayyid Sabiq102, wadiah secara fiqih berarti sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk dijaga keamanan dan keutuhannya. Para ulama mazhab sepakat rumusan wadiah dengan substansi yang sama meskipun diantara mereka merumuskannya secara tekstual berbeda satu sama lain. Ulama Hanafiyah mendefinisikan wadiah sebagai pemberian kuasa oleh seseorang kepada orang lain untuk menjaga hartanya, baik dengan kata-kata yang tegas maupun dengan isyarat (dilalah). Mazhab Syafi’iyah mendefinisikan wadiah dengan makna iidaa’a yang berarti penitipan, yaitu suatu akad yang menghendaki atau bertujuan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan. Menurut ulama Mazhab Hanabilah bahwa wadiah merupakan pemberian kuasa atau memberikan perwakilan untuk menjaga barang secara suka rela103. Berdasarkan definisi wadiah yang dikemukakan beberapa ulama mazhab, maka wadiah merupakan akad yang didalamnya menetapkan penitipan barang sebagai objek perjanjian, yaitu akad kepada seseorang untuk menjaga harta orang lain secara layak, sehingga jika ada kerusakan harta/barang yang dititipkan mejadi rusak padahal sudah dijaga secara layak sebagaimana mestinya maka penerima titipan tidak wajib menggantinya kecuali jika kerusakan barang diakibatkan oleh kelalaian penerima titipan maka ia wajib menggantinya. Pihak yang menitipkan barang disebut muwaddi’ dan pihak yang menerima titipan barang disebut muwadda’atau wadii’. Apabila mengacu kepada Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, akad wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang atau uang. Adapun penitipan barang menurut BW yang tercantum dalam Pasal 1694 bahwa “penitipan barang adalah apabila 102



Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar Al-Fikr, Jilid 3, 1995, h. 163. Wahbah az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah (Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 556-557. 103



44



seseorang menerima suatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya104. Mengacu ketentuan Pasal 1694 BW105 tersebut, maka penitipan barang menurut persektif BW, merupakan suatu perjanjian riil yang dapat bermakna bahwa perjanjian baru dapat dikatakan terbentuk apabila telah terjadi perbuatan nyata yaitu penyerahan barang yang dititipkan. Mencermati Pasal 1694 BW, tentang penitipan barang, menurut M Yahya Harahap106, subjek dalam penitipan barang yang menjadi kreditur adalah pihak yang menerima titipan barang dan yang menjadi debitur adalah pihak yang menitipkan barang. Para ulama sepakat bahwa wadiah107 adalah salah satu jenis akad yang dikenal dalam syariah yang pada hakikatnya terbentuk dalam rangka untuk mewujudkan saling tolong menolong antara sesama manusia108. Berdasarkan uraian peneliti tentang karakteristik akad wadiah kemudian dikaitkan dengan karakteristik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas dasar transaksi berbasis kemanusiaan yang berorientasi kepada semata-mata tolong menolong, mengharapkan kebaikan, serta tidak menekankan kepada orientasi profit, maka yang paling tepat dalam konteks demikian, mengenai penitipan barang jaminan/agunan milik muqtaridh, menurut peneliti yaitu dengan menggunakan skema transaksi akad wadiah, sebab memang ada perbedaan mendasar yang menjadi spirit antara akad ijarah dengan akad wadiah, yaitu akad ijarah sebetulnya mengindikasikan hubungan sewa menyewa yang meniscayakan penarikan biaya sewa (ujrah), penarikan biaya sewa lazimnya menghendaki adanya saling manfaat atau kompensasi yang didapatkan oleh pemberi sewa dan penerima sewa (penyewa), sedangkan bedanya dengan akad wadiah substansi spiritnya adalah semata-mata penitipan barang sehingga meskipun dilakukan pemungutan biaya pada akad wadiah maka pemungutannya sekedar biaya penitipan atau dalam rangka untuk perawatan barang titipan. 104



R. Soebekti, dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Terjemahan Burgelijk Wetboek), PT. Balai Pustaka, Jakarta Timur, 2014. 105 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010, h.143. 106 M Yahya Harahap, Op. Cit., h. 16. 107 Antonio, Muhammad, Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, h. 85. 108 Taufik Hidayat, Buku Pengantar Investasi Syariah, Media Kita, 2011, h. 43-44.



45



Penetapan biaya pemeliharaan barang jaminan (marhun) pada akad wadiah yang berlangsung antara muqridh dengan muqtaridh di lembaga pegadaian syariah, sebagaimana yang menjadi rekomendasi peneliti sebagai pengganti akad ijarah, sebenarnya bisa diperbolehkan, sepanjang penetapan biaya pemeliharaan tersebut dalam batas-batas yang wajar dan proporsional, yang memang diperlukan secara riil untuk biaya perawatan serta pemeliharaan barang jaminan/agunan (marhun). Menurut peneliti, penetapan biaya pemeliharaan atau perawatan marhun dengan konsep akad wadiah, supaya dalam batas-batas yang proporsional serta wajar menurut kondisi marhun pada saat dititipkan, maka sangat perlu peran dari pihak penaksir barang, yang berkompeten untuk melakukan penaksiran terhadap biaya-biaya riil yang memang harus dibebankan kepada pihak muqtaridh (rahin). Pihak penaksir tersebut, idealnya, menurut peneliti adalah tim independen yang ditunjuk berdasarkan rekomendasi dari kementerian keuangan ataukah dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pihak penaksir yang direkomendasikan sebaiknya yang telah bersertifikasi dengan kualifikasi keahlian yang mampu menaksir kondisi marhun ketika dititipkan dengan kemungkinan perhitungan biaya-biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan. 2.3. Nilai Moral Berbasis Kebajikan dalam Asas Taawun Di Pegadaian Syariah 2.3.1. Penormaan Nilai Moral dalam Bingkai Hukum Istilah moral berasal dari Bahasa Latin yaitu dari kata mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Kata mores dalam Bahasa Inggris masih menggunakan arti yang sama yaitu berarti kebiasaan. Moral juga mempunyai arti yang sama dengan istilah moralitas yang dalam Bahasa Latin disebut istilah moralis. Apabila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia109, kata moral dalam dikelompokkan kedalam dua kategori pengertian, pertama: moral dalam kategori pengertian kata benda (nomina): (1). Ajaran tentang baik buruk yang dterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; (2). Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap diperbuatan; 3. Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Kedua, moral dalam kategori pengertian kata kerja (verba): 1. Mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik; 2. Sesuai dengan moral (adat sopan santun dan sebagainya).



109



Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Loc. Cit.



46



Istilah moral juga dijelaskan dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia bahwa moral merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari tentang tingkah laku manusia. Moral dikatakan sebagai norma, maka yang dibahas adalah tentang bagaimana seseorang bertindak yang seharusnya, sehingga moral dalam pengertian demikian sesungguhnya merupakan suatu ciri berperilaku seseorang yang dikaitkan dengan ukuran yang berlaku ditengah masyarakat, khususnya mengenai prilaku baik atau buruk, sehingga moral dimaknakan sebagai bukan sesuatu yang menjadi bawaan sejak lahir tetapi ia lahir sebagai akibat dari pengaruh lingkungan dimana seseorang tumbuh dan berkembang110. Sejalan dengan rumusan moral tersebut, K Berten111 juga memberikan definisi tentang moral sebagai nilai-nilai dan normanorma yang menjadi pedoman bagi seseorang maupun kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur perbuatan-perbuatan tertentu. Rumusan K Berten kemudian disimpulkan oleh Eri Hendro Kusuma, bahwa moral merupakan standar bagi seseorang atau kelompok masyarakat lainnya ketika melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Misalnya pada kasus seorang pejabat yang melakukan tindakan korupsi uang negara. Tindakan pejabat tersebut dapat dipandang telah melakukan perbuatan yang mencirikan nilainilai moral tidak baik. Artinya, tindakan pejabat tersebut dipandang memiliki moral yang buruk karena korupsi menurut standar yang berlaku di tengah masyarakat manapun dipandang sebagai perbuatan tercela. Untuk memperjelas rumusan konkrit tentang moral, sebagai perbandingan yaitu penjelasan Frans Magnis Suseno112, bahwa moral pada hakikatnya merupakan standar acuan perbuatan baik dan buruk seseorang sebagai manusia yang hidup di tengah kehidupan sosial masyarakat. Perbuatan baik dan buruk itu, bukan diletakkan kerangka pandang sifatnya semata-mata, tetapi ada acuan yang dijadikan sebagai standar untuk mengkategorikan yang mana suatu perbuatan dipandang sebagai perbuatan baik atau tidak. Bila masyarakat memandang perbuatan tersebut sebagai baik maka itu adalah moral yang baik demikian pula sebaliknya. Apabila perbuatan tersebut dianggap buruk maka itu adalah moral buruk. Menurut Shidarta113 110



Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 10, Cipta Adi Pustaka, 1990, h. 371. 111 K Berten, Etika, Gramedia Utama, Jakarta, 2007, h. 4. 112 Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Moderen), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, h. 14. 113 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka Bepikir), Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 43.



47



menyimpulkan bahwa moral sangat terkait erat dengan baik buruknya seseorang sebagai manusia. Pada dasarnya, sebagaimana yang ditulis L Sinour Yosephus114, bahwa moral merupakan sekumpulan ajaran yang memuat perihal apa yang baik dan buruk serta apa yang buruk atau apa yang menjadi tabu bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sedangkan etika tidak menganjurkan bagaimana kita harus hidup dan bertingkah laku. Etika sekedar studi kritis yang mendalam yang mempersoalkan kenapa perbuatan manusia tersebut, dipandang baik atau buruk. Untuk memperdalam pemahaman tentang perbedaan moral dan etika, pada bahagian berikut, peneliti menyajikan dalam bentuk bagan, berikut ini:



Dari bagan yang dipaparkan peneliti, maka moral selalu membahas tentang standar nilai perbuatan manusia yang merujuk kepada nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat sebagai sesuatu 114



L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer), Pustaka Obor Indonesia, 2010, h. 33. Di dalam buku ini, dijelaskan bahwa moral merupakan ilmu praktis sedangkan etika bidangnya adalah ilmu teoritis.



48



yang baik atau buruk, contohnya berkata jujur merupakan moral baik yang ditetapkan sebagai standar umum dalam kehidupan masyarakat manapun, sedangkan etika melakukan studi mendalam mengapa orang harus berkata jujur. Etika melakukan studi kritis dan mendalam tentang mengapa orang harus berkata jujur tanpa berwewenang menetapkan apakah berkata jujur itu baik atau buruk. Etika melakukan studi kritis dengan menggunakan penalaran atau argumentasi logisrasional, sedangkan moral menetapkan standar nilai perbuatan manusia, adalah berpedoman kepada tradisi, kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat, ataukah berdasarkan wejangan para tokoh masyarakat, atau bisa juga berdasarkan doktrin keagamaan tertentu. Kesimpulannya, moral bersifat preskriptif, yaitu menganjurkan atau melarang, sebaliknya etika semata-mata bersifat ekspositif, yaitu memaparkan atau menjelaskan. Pembahasan tentang relasi moral dengan hukum telah dibahas oleh Peter Mahmud Marzuki dalam buku yang ditulisnya “Pengantar Ilmu Hukum”, sebuah karya Magnum Opus yang merupakan pegangan bagi mahasiswa yang belajar di beberapa Fakultas Hukum di Indonesia, bahwa moral seyogyanya terintegrasi ke dalam hukum sebab hukum inilah yang berfungsi untuk mengoperasionalkan hukum dalam konteks interaksi sosial umat manusia. Menurut Peter Mahmud Marzuki, moral sesungguhnya merupakan keadaan batin manusia secara mendasar mengaktualisasi sebagai perintah kepada diri sendiri tentang perbuatlah apa yang baik dan hindari apa yang jahat. Moral yang luhur dapat terjadi karena adanya kendali terhadap hawa nafsu melalui pendayagunaan kehendak dan pikiran, apabila kehendak dan pikiran seseorang dikendalikan hawa nafsu yang merugikan orang lain atau masyarakat, berarti telah berlaku moral buruk pada orang tersebut 115. Pandangan Peter Mahmud Marzuki tersebut, tampak dipengaruhi oleh pemikiran teori hukum alam versi Thomas Aquinas. Peter Mahmud Marzuki, tampaknya berusaha untuk memposisikan hubungan antara moral dengan hukum dalam titik persinggungan yang dapat diterima oleh nalar. Penormaan nilai-nilai moral yang dimanifestasikan kedalam produk aturan hukum, menurut versi Peter Mahmud Marzuki, adalah diukur menurut rasionalitas. Pandangan Peter Mahmud Marzuki yang memformulasikan hubungan antara nilai moral dengan norma hukum serta tentang bagaimana pengintegrasian penormaan nilai moral kedalam norma hukum, yang bila dicermati sekali lagi pandangannya itu, lebih dipengaruhi oleh pemikiran mazhab hukum alam. Ini tentu berbeda dengan pandangan pemikiran mazhab hukum positivisme, yang lahir 115



Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 123-124.



49



dari gagasan August Comte, yang gagasan ini semakin popular pasca perang dunia I, ketika pemikiran mazhab positivisme ini dikembangkan oleh John Austin. Pemikiran mazhab positivisme versi John Austin berpandangan bahwa hukum memiliki karakteristik sebagai daya paksa yang terwujud sebagai kehendak dari otoritas pemegang kekuasaan yang berdaulat. Berpijak dari pandangan ini. John Austin berpandangan bahwa hukum yang sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang penormaannya dicirikan atas tiga komponen yaitu, yaitu perintah yang besifat memaksa, sanksi, dan pihak yang berdaulat atau yang berkuasa. Ketiga komponen ini saling bertaut dan berintegrasi satu sama lain, tetapi yang paling menonjol dari komponen tersebut adalah otoritas kekuasaan116.Berdasarkan pandangan ini John Austin lalu berpendapat bahwa hukum haruslah dilihat sebagaimana apa adanya, dalam pengertian hukum sesungguhnya merupakan perintah, sehingga hukum selalu merupakan sebuah kewajiban yang bersifat memaksa yang harus ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat. Mencermati dua pandangan tersebut, yang mempersoalkan tentang hubungan antara moral dengan hukum, serta tentang penormaan nilai-nilai moral terhadap hukum, paling tidak dapat disimpulkan bahwa titik perbedaan kedua mazhab pemikiran tersebut, adalah kepada persoalan formalitas atau legislasi produk aturan yang diberlakukan ditengah masyarakat. Mazhab positivisme, memandang moral merupakan hal yang terpisah dengan hukum. Penormaan hukum menurut versi positivisme hanya tampak ketika hukum itu dilegislasi secara prosedur formal oleh pemegang kekuasaan, sehingga hukum sebagai bagian dari titah penguasa, ia harus diletakkan pada bingkai yang apa adanya. Sedangkan dari sisi pandangan mazhab hukum alam, moral merupakan hal mutlak yang harus terintegrasi kedalam nilai-nilai hukum, sebab bagi penganut mazhab hukum alam, penormaan nilai-nilai hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai moral, misalnya apa yang dianggap sebagai hukum hanya menjadi alat kesewenang-wenangan bagi penguasa, maka apa yang dianggap sebagai hukum itu, sesungguhnya bukanlah hukum. 2.3.2. Penormaan Nilai Moral Perspektif Syariah Menurut M. Quraish Shihab117 apa yang disebut sebagai moral dalam ajaran Islam memiliki makna yang sepadan dengan istilah akhlak. M. Quraish Shihab, lalu menguraikan makna akhlak secara etimologis yang diambil dari Bahasa Arab yaitu dari istilah akhlaq. Istilah ini merupakan bentuk jamak dari khuluq yang pada 116



Ibid., h. 94-97. M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, Lentera Hati, Jakarta, 2016, h. 3-6. 117



50



mulanya berarti “ukuran”. “latihan”, dan “kebiasaan”. Makna khuluq lahir dari kata makhluk, yakni ciptaan yang memiliki ukuran, sedangkan untuk makna “latihan” dan “kebiasaan”, lahir dari pengertian sesuatu yang positif maupun negatif. Batu yang licin dinamai khalqa’ karena ia berkali-kali disentuh oleh sesuatu, juga kata khalaq yang berarti “usang” karena telah berkali-kali terbiasa digunakan. Berdasarkan pengertian akhlak secara etimologis tersebut, M. Quraish Shihab118, menulis bahwa makna akhlak sangat sepadan dengan istilah moral, yang sering digunakan dalam ucapan sehari-hari, karena makna tersebut mengisyaratkan makna budi pekerti maupun sifat yang mantap dalam diri seseorang atau merupakan kondisi psikologis yang dapat dicapai, karena merupakan kebiasaan yang diulang-ulang melalui proses latihan, serta telah menjadi kelaziman yang menginternalisasi dalam diri seseorang, akhirnya bagi orang tersebut, bukan merupakan keterpaksaan lagi. Pengertian akhlak secara etimologis, menurut versi pandangan M. Quraish Shihab119, maka makna akhlak secara terminologis, yang merujuk kepada pendapat jumhur pakar Islam, yakni mengartikan akhlak sebagai sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Sejalan dengan pandangan tersebut, Hafidz Abdurrahman120 juga menyajikan makna akhlak secara terminologis, adalah sifat yang menjadi kebiasaan seseorang, sehingga menjelma menjadi ciri khas dan kebiasaannya. al-Qur’an kerap menggunakan istilah akhlak yang merujuk kepada agama, sebagaimana firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar menetapi agama yang agung” (Qur’an Surah al-Qalam (68) Ayat 4). Kata khuluqin ‘adzim merujuk kepada ayat tersebut menurut sebahagian mufassirin bermakna agama, bukan akhlak dalam pengertian sifat pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagaimana juga tafsir menurut Imam al-Jalalain dalam kitab tafsir Jalaluddin alMahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, dalam tafsir al-Jalalain. Menurut Imam al-Ghazali121, akhlak dapat didefinisikan sebagai kondisi kejiwaaan yang mantap, yang atas dasar itu melahirkan prilaku kegiatan yang dilakukan secara mudah tanpa 118



M. Quraish Shihab, Loc. Cit. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1996, h. 336. 120 Hafidz Abdurrahman, Pokok-Pokok Dalam Islam), Al-Azhar Fresh Zone Publishing, Bogor, 2016, h. 238-239. 121 Quraish Shihab, Loc. Cit. 119



51



dipikirkan lebih dahulu. Bila kondisi kejiwaan demikian melahirkan perbuatan-perbuatan yang menurut akal dan agama baik, maka pelakunya dinilai memiliki akhlak yang baik, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, menurut M. Quraish Shihab122, bahwa harus terdapat perbedaan antara akhlak individu dengan akhlak masyarakat. Perbedaannya terletak kepada nilai-nilai kebiasaan yang tumbuh di tengah masyarakat, yang antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya berbeda. Ia merupakan adat kebiasaan yang diterima dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu meskipun itu tidak diterima oleh masyarakat lainnya. Misalnya ditemukan akhlak masyarakat Amerika dan Inggeris yang tentu berbeda dengan akhlak masyarakat Indonesia atau yang lainnya. Pendapat M. Quraish Shihab sejalan juga dengan pandangan Muhammad Husein Abdullah123 dalam kitabnya Dirasat Fi al-Fikri al-Islami bahwa pembahasan akhlak dalam konteks masyarakat muslim menunjuk kepada makna sifat-sifat yang mewarnai seluruh kehidupan masyarakat muslim. Sifat-sifat ini kemudian melekat dalam semua aktivitasnya, seperti sifat jujur pada saat melakukan transaksi jual-beli, sifat amanah saat bekerja, khusyu’ saat sholat, tawadhu saat berinteraksi dengan orang, dan seterusnya124. Pembahasan penormaan nilai moral dalam perspektif hukum Islam sebenarnya tidak serumit dengan pembahasan moral yang menjadi diskursus dikalangan para filosof barat. Ajaran Islam sudah menetapkan nilai-nilai moral sebagai sesuatu yang sudah pakem (baku) sebagaimana yang ditetapkan batas-batasannya oleh syariah. Artinya, ajaran Islam meletakkan pandangan bahwa penormaan nilai moral merupakan bagian integral dari perintah syariah. Bahkan dalam pandangan M. Quraish Shihab, perspektif moral dalam Islam, atau yang diistilahkan dengan akhlak, adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran Islam itu sendiri. Begitu juga, ketika menyebut istilah kebajikan atau al-Birru, istilah tersebut selalu mengacu kepada ajaran Islam. Penerjemahan nilai moral perspektif Islam menurut M. Quraish Shihab, bahwa moral (akhlak) dalam Islam sangat terkait dengan pembahasan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh termasuk terkait dengan penerapan hukum-syariah itu sendiri. Berpijak dari situlah, maka pada hakikatnya pembahasan moral dalam Islam, tidak boleh dilepaskan dengan pembahasan yang terkait dengan hukum-syariah yang lain. Penjelasan M. Quraish Shihab tentang 122



Ibid, h. 5. Hafidz Abdurrahman, Loc. Cit. 124 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Cetakan I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 32. 123



52



normatifitas moral Islam yang merupakan bagian integral dari pembahasan keseluruhan ajaran Islam, adalah untuk menegaskan bahwa akhlak sesungguhnya merupakan produk dari syariah. Pemaknaan bahwa moral atau akhlak dalam Islam sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari syariah, adalah tatkala seorang muslim menerapkan moral yang baik dalam kehidupannya sehari-hari, maka pada saat bersamaan ia sekaligus menjalankan perintah Allah SWT. Artinya, merealisasikan nilai-nilai moral (khuluqiyah) dapat bermakna sebagai merealisasikan perintah Allah SWT. Perintah dari Allah SWT yang ditetapkan baik dalam nash Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW merupakan manifestasi ketaatan hukum seorang muslim kepada syariah. Atas dasar pandangan itulah, maka moral baik dan buruk, bila merujuk pandangan M. Quraish Shihab125, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral tidaklah dilekatkan kepada sifat perbuatan manusia itu semata-mata, atau yang disandarkan kepada pandangan subjektif sekelompok individu, tetapi merujuk kepada apa yang sudah dinyatakan oleh teks-teks dalam al-Qur’an atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Misalnya, berkata bohong, semata-mata merupakan sifat dari sebuah perbuatan manusia. Bila menakar ucapan bohong sebagai moral yang baik atau buruk, menurut perspektif syariah maka haruslah dilihat dari segi penetapannya oleh nash-nash syariah. Nash syariah, yang menjadi rujukan utama adalah al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Seorang muslim yang berbohong dalam jual beli untuk bermaksud menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain, maka tindakan tersebut dipandang sebagai perbuatan tercela, dalam konteks demikian seorang muslim yang sering berbohong dalam jual menurut perspektif Islam, dipandang sebagai seorang muslim yang memiliki moral (akhlak) yang tercela. Terdapat banyak hadits Nabi Muhammad SAW, yang melarang seorang pedagang berkata bohong dalam jual beli. Berbohong dalam jual beli adalah moral yang tercela menurut perspektif syariah, namun syariah juga menetapkan bahwa berbohong dalam kondisi tertentu, sangat dianjurkan untuk mencapai suatu kebaikan. Syariah menetapkan ada tiga keadaan yang membolehkan sesorang muslim untuk berbohong, antara lain: Pertama, kebohongan dalam peperangan. Kondisi peperangan adalah kondisi yang pasti memerlukan siasat perang, dan dalam siasat perang harus memiliki banyak kebohongan. Misalnya: mengatakan kepada musuh bahwa jumlah tentara 300.000 orang padahal sebenarnya cuma 100.000 orang, agar musuh mulai gentar dan ragu. Kedua, kebohongan untuk 125



M. Quraish Shihab, Loc.Cit.



53



menyatukan dua orang yang bertikai. Ketiga, kebohongan antara suami dan istri. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Misalnya, suatu saat istri yang telah berumur 60 tahun datang kepada suami, dan berkata, “Bang, masih cantikkah aku?”. Si suami menjawab “iya, kamulah paling cantik di dunia ini, awet muda”. Ini adalah ucapan bohong si suami sebab tidak mungkin usia 60 tahun masih cantik. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam syariah, nilai moral sekaligus juga merupakan perwujudan nilai-nilai hukum126. Ketaatan untuk mematuhi perintah Allah SWT, sekaligus merupakan wujud moral yang baik, sebaliknya moral tercela dapat dikatakan sebagai melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah SWT. Misalnya, perintah berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan perintah Allah SWT, sehingga seorang muslim yang durhaka kepada kedua orang tuanya berarti ia telah melakukan perbuatan tercela. Perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, maka seseorang kelak mendapat hukuman dari Allah SWT di akhirat. Adapun berbakti kepada orang tua yang dilakukan secara ikhlas, kelak mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. Ilustrasi ini, mempertegas bahwa nilai moral sangat bersinggungan dengan nilai-nilai syariah.



126



h. 87-122.



Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010,



54



Penjelasan peneliti tentang penormaan nilai-nilai moral berdasarkan bagan tersebut, sekali lagi untuk menegaskan bahwa syariah telah meletakkan moral sebagai sebuah sistem nilai yang terintegrasi dengan norma-norma syariah. Artinya, seorang muslim yang mentaati perintah-perintah yang ditetapkan oleh syariah sebagaimana yang dinyatakan dalam teks syariah, maka pada saat yang bersamaan ia juga telah mencerminkan moral yang baik. Sebaliknya, jika seorang muslim melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, pada saat itu pula ia dipandang telah melakukan perbuatan tercela yang merupakan wujud dari moral buruk. 2.3.3. Nilai Moral yang Mencerminkan Nilai Kebajikan Dalam Asas Taawun Pada Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah Pada sub-pembahasan ini, peneliti menelaah secara spesifik tentang nilai-nilai moral yang terwujud dalam kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah. Karakteristik nilai moral demikian, adalah yang terderivasi dari asas taawun sebagai basis fundamental bagi tegaknya perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Keberadaan asas taawun ini pula yang dapat menerjemahkan konkretisasi nilai-nilai moral yang dikedepankan antara muqridh dengan muqtaridh. Asas taawun yang mendasari hubungan hukum antara para pihak itu sendiri di pegadaian syariah, sesungguhnya lebih merefleksikan makna nilai-nilai moral sebagai motivasi utamanya. Perwujudan nilai-nilai moral yang merefleksikan nilai-nilai kebajikan, adalah yang lebih diutamakan oleh kedua belah pihak, terutama pihak pegadaian syariah yang berada dalam kedudukan sebagai muqridh. Kewajiban muqridh memberikan bantuan kepada muqtaridh semata-mata didorong oleh nilai-nilai moral berupa nilai-nilai kebajikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial guna menolong saudara-saudaranya atau sesama manusia yang sangat membutuhkan guna memenuhi hajat kebutuhan ekonominya. Sejumlah nash baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW, mengisyaratkan bahwa menolong sesama manusia merupakan kewajiban moral yang merefleksikan nilai-nilai kebajikan. Wujud konkrit nilai-nilai kebajikan tersebut, antara lain diletakkan dalam bentuk memberikan bantuan pinjaman modal uang kepada seseorang yang sangat membutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang muslim yang memberikan bantuan keuangan kepada muslim lainnya yang sangat membutuhkan, berarti muslim tersebut menurut hukum Islam (syariah), telah mengamalkan nilainilai kebajikan yang merupakan refleksi dari kepribadian seorang muslim yang memiliki moral terpuji. Atas dasar ini, ketika hukum Islam (syariah) menetapkan sebuah pejanjian utang piutang, yang



55



tegak atas dasar asas taawun, maka pada saat bersamaan nilai-nilai moral kebajikan yang semestinya dikedepankan dalam perjanjian tersebut. Keberadaan asas taawun (tolong menolong), sesungguhnya adalah untuk menegaskan refleksi dari niat dan kehendak seorang muslim untuk meraih nilai-nilai kebajikan, sehingga tatkala sebuah perjanjian utang piutang yang meletakkan makna perjanjian dengan spirit tolong menolong sebagai wujud kebajikan, maka tentu saja hukum Islam menetapkan larangan keras untuk mengeksploitasi orang lain sebagai sarana untuk meraih manfaat finansial melalui penggunaan perjanjian utang piutang tersebut. Bila cara itu dilakukan, ini juga berarti seorang muslim telah menjerat dirinya kedalam praktik riba, sementara riba dalam perspektif Islam, merupakan sesuatu yang sangat dilarang keras. Asas taawun yang dilekatkan pada perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sesungguhnya untuk mempertegas nilai-nilai moral yang hendak dikedepankan, yaitu perwujudan nilai-nilai kebajikan sosial yang melekatkan unsur spiritualistik. Makna filosofis kebajikan sosial yang berkarakter spiritualistik dalam konteks ini, yakni kebajikan yang akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT, sehingga kebajikan sosial dalam kerangka ketika seorang muslim memberikan bantuan modal pinjaman uang kepada siapa saja yang membutuhkan, adalah bukan sekedar kebajikan sosial yang berbasis kemanusiaan, tetapi juga kebajikan yang mengandung unsur transendental. Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW, menjadi rujukan tentang penggambaran seorang muslim yang meringankan kesulitan yang dialami saudara sesama muslim, termasuk membantu dalam hal memberikan bantuan keuangan, sebagai berikut127: Tidaklah seorang muslim memberi utang sebanyak dua kali kepada muslim yang lain kecuali (pahalanya) seperti sedekah satu kali” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hiban, dan al-Baihaqi). Kutipan hadits tersebut, untuk mempertegas hakikat filosofis perjanjian utang piutang, yang didalamnya mengandung pesan-pesan moral bagi seorang muslim ketika ia membantu saudaranya dalam rangka meringankan dari kesulitan keuangan. Pesan moral mengandung nilai kebajikan berbasis sosial yang bertumpu kepada dua dimensi, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi transendental. Ajaran Islam hendak menekankan bahwa keberlangsungan aktivitas perjanjian yang tegak atas dasar asas taawun, seperti pada perjanjian 127



Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 126-127.



56



utang piutang, sesungguhnya bukanlah semata-mata berorientasi materalistik. Basis moral dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, yang menderivasikan nilai-nilai kebajikan sosial, secara konkrit akan menetapkan beberapa rambu berupa nilai-nilai akhlak yang baik, antara muqridh maupun muqtaridh ketika antara kedua belah pihak memasuki perjanjian, mulai dari tahap pra perjanjian, pelaksanaan perjanjian, sampai kepada berakhirnya perjanjian. Pada bahagian berikut ini, peneliti menyajikan bagan tentang nilai-nilai akhlak tersebut:



Paparan bagan tersebut, merupakan rincian nilai-nilai akhlak sebagai manifestasi moral kebajikan yang terdapat dalam kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah. Nilai-nilai akhlak tersebut, selain merupakan nilai-nilai etis



57



bagi para pihak, sekaligus merupakan norma-norma tingkah laku yang tentunya berimplikasi kepada pahala dan dosa dari Allah SWT. Pemaknaan dari sisi muqridh yang memegang teguh amanah, kemudian memberikan kemudahan bagi muqtaridh untuk melunaskan hutangnya, dan muqridh tidak ada maksud untuk mengambil keuntungan finansial dari muqtaridh, maka apa yang telah dilakukan itu, muqridh telah mewujudkan nilai-nilai moral yang baik. Dari segi pahala dan dosa, maka moral yang baik yang dimanifestasikan oleh muqridh dalam perjanjian, akan mendapat ganjaran baik dari Allah SWT, yaitu janji pahala di hari akhir, sebaliknya dari sisi muqtaridh, misalnya beritikad buruk menunda-nunda pembayaran hutangnya, padahal ia sudah memiliki kelapangan keuangan, maka itu menunjukkan bahwa pihak muqtaridh berprilaku moral yang tercela, sehingga dalam konteks pahala dan dosa, ia kelak akan mendapat penundaan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW: Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah sesuatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya (HR Malik, Muslim, dan Ahmad) Nabi SAW mengisyaratkan kata kezhaliman bagi orang-orang yang menunda pembayaran hutangnya padahal ia mampu, adalah untuk memberikan pengertian bahwa penundaan pembayaran hutang tersebut, merupakan moral yang tercela. 2.4. Fungsi Asas Taawun dalam Kerangka Hubungan Hukum Muqridh dengan Muqtaridh Di Pegadaian Syariah Akad atau perjanjian, terutama dalam transaksi muamalah menurut perspektif Islam, memiliki kedudukan yang sangat penting yaitu untuk menjaga kualitas hubungan hukum antara para pihak yang sedang bertransaksi. Ajaran Islam juga sangat menekankan pentingnya sebuah perjanjian dibuat secara tertulis, untuk menjadi bukti bagi para pihak bahwa diantara mereka telah berlangsung sebuah transaksi yang mengikat yang dalam konteks demikian itu, telah melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Al-Qur’an telah menetapkan pentingnya suatu transaksi muamalah dibuat secara tertulis, sebagaimana termaktub dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat (282): Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang peneliti di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah



58



peneliti enggan menuliskannya mengajarkannya….



sebagaimana



Allah



Syariah memberikan penekanan pentingnya sebuah perjanjian dibuat secara tertulis, terutama berkaitan dengan perjanjian utang piutang, sebab syariah memandang bahwa apapun transaksi yang berlangsung antara para pihak selama itu dibenarkan oleh syariah, merupakan langkah hukum yang berkonsekuensi melahirkan hak dan kewajiban antara para pihak. Kontrak atau perjanjian dalam perspektif syariah, sebagai langkah hukum, keberadaannya tidak sekedar sebuah formalitas hukum (dokumen hukum), tetapi kontrak atau perjanjian perspektif syariah, dalam konteks kepribadian seorang muslim, selain merupakan tanggung jawab ilahiah juga memancarkan tanggung jawab sosial. Kedudukan perjanjian yang sangat penting dalam perspektif syariah, terutama dalam kaitannya dengan perjanjian yang dibuat secara tertulis, adalah dimaksudkan128: a. Untuk menjadi bukti tertulis dari para pihak mengenai transaksi yang mereka lakukan; b. Untuk mencegah terjadinya penipuan; c. Untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak, dan; d. Untuk mengatur secara lebih terperinci transaksi bisnis yang kompleks, demi mencegah hambatan dalam pelaksanaan kontrak yang dibuat oleh para pihak yang berkontrak. Penjelasan tentang urgensi perjanjian atau kontrak dibuat secara tertulis, pada dasarnya adalah untuk menjamin standarisasi pelaksanaan dan tanggung jawab para pihak yang berkontrak, sehingga para pihak dalam perjanjian merasa mendapat jaminan untuk mendapatkan kompensasi bila kelak salah satu pihak melakukan wanprestasi. Atas dasar inilah, keberadaan perjanjian dapat menjadi salah satu instrumen hukum untuk mempermudah perencanaan isi perjanjian dimasa akan datang dari berbagai kemungkinan yang dapat merugikan salah satu pihak. Beranjak dari paparan tersebut, menurut Agus Yudha Hernoko129 bahwa perjanjian atau kontrak memiliki beberapa fungsi atau arti penting, terutama dalam lalu lintas bisnis, yang mencakup: a. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan); b. Kontrak sebagai bingkai aturan main; c. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum; 128 129



Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 99-100. Ibid.



59



d. Kontrak memberikan jaminan kepastian hukum; e. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution; efisiensi-profit). Menurut perspektif syariah, fungsi perjanjian tidak sekedar sebagai dokumen hukum yang dapat menjamin pelaksanaan serta tanggung jawab para pihak terhadap isi perjanjian, tetapi yang terpenting adalah pranata perjanjian dapat menjadi koridor bagi para pihak agar tidak melenceng kegiatan transaksi keuangan yang dapat menjebak mereka kedalam transaksi yang bernuansa riba. Artinya, hukum Islam (syariah), sebagaimana yang diuraikan Ibnu Katsir130, akan mendudukkan perjanjian atau kontrak sebagai salah satu instrumen hukum yang menjaga kemurnian transaksi para pihak yang berlangsung atas dasar mekanisme yang dibenarkan oleh syariah, antara lain mencegah terjadinya tasharuf (pengelolaan harta), yang melanggar syariah, misalnya mengambil harta dengan cara batil seperti judi, riba, suap, dan dengan cara-cara pengelabuan atau tipu muslihat. Ibnu Katsir, membahas tentang instrumen perjanjian syariah, yang memang sesungguhnya berfungsi mengatur tingkah laku para pihak dalam perjanjian agar tetap berada pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh syariah. Ibnu Katsir, mengurai sebagai berikut: Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan pihak penjual, dan carilah keuntungan yang diakui syariat131 Pada konteks pembahasan tentang perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, maka asas taawun berfungsi mengamankan transaksi antara muqridh dengan muqtaridh supaya tetap berlangsung atas dasar non-profit bukan dengan mencari celah untuk mendapatkan keuntungan finansial. Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, tetap mempertahankan kegunaan namun tataran kegunaan yang dikehendaki adalah berbasis kemanusiaan-transendental. Untuk itulah, fungsi asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, secara konkrit, dapat diimplementasikan dengan bermula dari tahap pra-perjanjian, pembentukan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, 130



Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 16-17. Bunu ini mengutip uraian Ibnu Katsir tersebut, yang selengkapnya dapat dibaca dalam kitab yang ditulisnya, yaitu Tafsir al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Dar- al Thayyibah li alasyr wa al Tawzi. 131 Ibid.



60



dan ketika terjadi perselisihan dalam perjanjian. Peneliti merincinya sebagai berikut: a. Pada tahap pra-perjanjian, asas taawun membuka peluang antara muqridh dan muqtaridh dengan starting point, keduanya melakukan perjanjian secara fair dengan tidak boleh melepaskan niat itikad baik dari kedua pihak ketika hendak memasuki perjanjian. Dari sini asas taawun menjadi penakar hubungan hukum muqridh dengan muqtaridh dalam kerangka pertukaran hak dan kewajiban secara fair bahwa muqridh memiliki hak tagih sedangkan muqtaridh dibebankan kewajiban untuk melunaskan pinjamannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pihak muqtaridh, sebaliknya, masih memiliki hak atas barang gadai (almarhun), jika diperlukan untuk memanfaatkan barang gadai tersebut, sedangkan pihak muqridh hanya memiliki hak menahan atas barang gadai. Pihak muqtaridh seharusnya tidak dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu, berkenaan dengan barang gadai yang dititipkan, untuk mengeluarkan biaya-biaya tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai celah bagi muqridh untuk menarik manfaat. Asas taawun kemudian berfungsi mengkonkritkan itikad baik dari masing-masing pihak, yakni muqridh memang beritikad menolong sebagai sebuah kebajikan sosial, bukan berniat mencari keuntungan finansial dibalik perjanjian utang piutang tersebut, sebab bila muqridh mendesain mekanisme cara tertentu yang ditafsirkan sebagai celah untuk mencari keuntungan finasial, maka dapat dipandang bahwa muqridh tidak beritikad baik membantu orang lain sebagai sebuah anjuran moral yang dikehendaki oleh syariah. Begitu juga, dari sisi muqtaridh yang seharusnya selalu dilandasi oleh itikad baik untuk mengembalikan modal yang dipinjam tersebut, sebagai sebuah kewajiban moral. b. Pada tahap pembentukan perjanjian, asas taawun berfungsi menjamin hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh yang menciptakan hak dan kewajiban antara keduanya atas dasar moral kebajikan. Artinya, bangunan hak dan kewajiban antara keduanya, tegak atas dasar yang mengharapkan nilai-nilai kebajikan transendental. Pihak muqridh memberikan bantuan pinjaman modal uang kepada muqtaridh murni oleh dorongan tanggung jawab sosial, sebagaimana anjuran syariah. Begitu juga, pihak muqtaridh memiliki kewajiban moral untuk bertanggungjawab menggunakan modal yang dipinjamnya sesuai batasan syariah (hukum Islam), dan mengembalikan modal pinjaman sesuai waktu yang disepakati. c. Pada pelaksanaan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, asas taawun menjamin perwujudan hak dan kewajiban muqridh dengan muqtaridh yang terbingkai atas dasar tolong menolong,



61



sehingga proporsi tanggung jawab muqridh pada batas-batas moralitas kebajikan, membantu sesama saudaranya yang kesulitan uang. Adapun hak yang diminta oleh muqridh menyangkut pengembalian modal yang disepakati, hanya pada sebatas jumlah porsi modal yang dipinjam, tidak diperbolehkan bagi muqridh untuk menarik manfaat dari transaksi dengan pihak muqtaridh. Kewajiban yang dibebankan kepada pihak muqtaridh juga adalah kewajiban berbasis moral kebajikan, sehingga bagi muqtaridh memiliki tanggung jawab mengembalikan modal pada waktu yang telah disepakati. d. Pada saat terjadinya sengketa antara muqridh dengan muqtaridh, maka dengan bertumpu kepada asas taawun, bila pelanggaran perjanjian terjadi di pihak muqtaridh yang lalai dalam membayar sejumlah utangnya, maka konteks penggantian ganti rugi bagi pihak muqridh, sekedar pada sejumlah utang yang dipinjam, tidak diperbolehkan hitungan ganti rugi diukur dengan biaya tambahan lainnya yang ditetapkan oleh muqridh, sebab biaya tambahan tersebut merupakan manfaat yang diperoleh pihak muqridh. Biaya tambahan itu juga dapat merupakan celah yang membuka pintu riba yang diharamkan oleh syariah. Atas dasar itu, keberadaan barang gadai (al-marhun) dalam konteks mengganti jumlah pinjaman muqtaridh, nilai harga barang gadai yang dijual, harus diambil sesuai dengan jumlah pinjaman uang, yang apabila terdapat kelebihan harga nilai jual, dikembalikan kepada muqtaridh. Hal yang sama pula ketika barang gadai hilang atau rusak, yang berakibat timbulnya sengketa, terlebih dahulu diteliti sebab kerusakan atau kehilangan. Bila kerusakan atau kehilangan itu disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan dari pihak muqridh, maka penggantian atau pemulihan kerusakan barang gadai menjadi tanggung jawab muqridh, tetapi kadar penggantian dan pemulihan barang harus sesuai dengan nilai barang gadai yang dititipkan, tidak boleh muqtaridh menuntut tambahan nilai dari barang gadai yang cacat atau hilang karena keteledoran pihak muqridh. Berdasarkan paparan peneliti tentang fungsi asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa asas taawun adalah untuk menegaskan kembali proses mata rantai hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh yang diletakkan dalam kerangka moral kebajikan, yang lebih menegaskan kepada semata-mata memberikan bantuan sebagai tanggung jawab sosial seorang muslim kepada sesamanya. Pada hubungan hukum yang demikian itu, sebenarnya yang hendak ditekankan adalah wujud kesetiakawanan sosial, sehingga semua



62



derivasi perjanjian yang terdapat di pegadaian syariah bukanlah dimaksudkan untuk mencari keuntungan bisnis. 2.5. Hakikat Keadilan dalam Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah yang Berbasis Asas Taawun 2.5.1. Hakikat Keadilan Perspektif Islam Pembahasan tentang hakikat keadilan telah mewarnai hampir semua corak pemikiran pada berbagai zaman dan peradaban dengan sudut pandang yang variatif. Pada umumnya perbedaan sudut pandang para pemikir dalam menyingkap hakikat keadilan, adalah bertumpu kepada perspektif pemikiran ideologi atau landasan kefilsafatan berpikir mereka masing-masing. Sudut pandang pemikiran seseorang, pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh latar belakang ideologi serta landasan kefilsafatan masing-masing. Sudut pandang pemikiran seseorang yang sangat dipengaruhi oleh corak dan landasan karakteristik pemikirannya, juga diakui oleh Stolker, bahwa untuk mengetahui corak berpikir seseorang, terutama dari kalangan ilmuwan hukum, maka seseorang seharusnya mengetahui dahulu tentang apa dan bagaimana pijakan latar belakang pemikirannya132. Istilah adil dalam Bahasa Indonesia, bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dalam pengertiannya sebagai kata sifat (adjektiva), dapat diartikan dengan banyak makna secara istilah yaitu “sama berat”, “tidak berat sebelah”, “tidak memihak”. KBBI juga mengartikannya dalam posisi sebagai kata sifat yaitu: “benar”, “betul”, “jujur”, “lurus”, “merata”, “rata”, “sebanding”, “seimbang”, “seksama”, “selayaknya”, “sepantasnya”, “sepatutnya”, ”setara”, “setimpal”, “sewajarnya”. Bila peristilahan adil didudukkan sebagai kata benda (nomina), yaitu istilah keadilan, menurut KBBI bermakna sebagai “kesamarataan” atau “keseimbangan”. Istilah adil itu sendiri, sebenarnya diadopsi dari Bahasa Arab yaitu kata adl yang menurut penjelasan M. Quraish Shihab dengan merujuk kepada beberapa kamus Bahasa Arab, bahwa kata adl pada mulanya berarti “sama” kemudian menjadi kata benda (noun) yaitu berarti “persamaan”, makna “persamaan” ini menurut M. Quraish Shihab133 yaitu pelakunya tidak berpihak. Maknanya bahwa pelakunya berpihak kepada yang benar karena baik pihak yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya, sehingga pelaku keadilan adalah seseorang yang melakukan sesuatu yang “patut” dan “tidak sewenang-wenang”. Tindakan sewenang-wenang 132



Stolker dalam Anton F Susantho, “Dialog tentang Keilmiahan Ilmu Hukum” dalam Bernard Arief Sidharta, dkk, Pengembanan Hukum Teoritis (Refleksi Atas Konstelasi Disiplin Hukum), Logoz Publishing, Bandung, 2015, h. 42-51. 133 M. Quraish Shihab, Loc. Cit.



63



menurut perspektif syariah, merujuk kepada pandangan M. Quraish Shihab, sangat dekat dengan ketidakadilan. Pembahasan tentang hakikat keadilan sejak dahulu memang telah menjadi diskursus para pemikir baik klasik maupun kontemporer pada berbagai peradaban. Para pemikir telah meletakkan keadilan sebagai sentral utama kajian dengan berbagai sudut pandang baik moral, politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Aristoteles sendiri telah meletakkan pandangannya tentang keadilan sebagai sebuah kebajikan134. Ungkapan Aristoles, bahwa keadilan merupakan sebuah moral kebajikan, juga diperkuat oleh pemikir kontemporer John Rawls135, bahwa “justice is the first virtue of social institution , as truth is of system of thought”. Menurut pandangan John Rawls, keadilan secara mendasar merupakan sebuah nilai kebajikan yang seharusnya pertama kali diletakkan dalam sebuah institusi sosial (kemasyarakatan), sehingga keadilan seharusnya merupakan kajian kebenaran dalam sebuah sistem pemikiran. Menurut John Rawls, suatu tatanan sosial atau tatanan hukum bagaimanapun rapihnya dan tampak elegan, jika tatanan yang dimaksud tidak mewujudkan keadilan sebagai sebuah kebajikan, maka tatanan tersebut harus ditolak atau direvisi kembali, karena itu seluruh nilai politik dan tatanan sosial seharusnya diukur berlandaskan kepada keadilan136. Makna tentang keadilan dalam khasanah pemikiran barat, memiliki sejarah yang cukup panjang, yang bermula dari masa Yunani kuno. Hakikat keadilan dalam kajian Frans Magnis Suseno137, dapat dideterminasikan kedalam dua pemaknaan, yaitu pertama dalam pengertian formal. Pada konteks pemaknaan ini, keadilan menghendaki semua orang diperlakukan secara sama. Hukum yang adil dalam pengertian ini, bermakna bahwa hukum harus diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mewujudkan semua orang sama di muka hukum, equality before the law (Rechtsgleichtbeit), inilah yang 134



Delba Winthrop, “Aristotle and Theories of Justice”, dalam The American Political Science Review, Volume 7, Nomor 4, Desember 1978, h. 1201-1216. 135 John Rawls, A Theory of Justice, Edisi Revisi, Harvard University Press, USA, 1999, h. 3. Buku ini banyak dijadikan sebagai rujukan oleh pemikir kontemporer ketika membahas tentang keadilan. Terutama bila keadilan itu ditinjau dari segi perspektif filsafat barat. Hanya saja, gagasan teori keadilan yang dikemukakan oleh Johm Rawls tersebut, lebih cenderung merujuk kepada prilaku sosial masyarakat Amerika Serikat. 136 Sahya Anggara, “Teori Keadilan John Rawls Kritik terhadap Demokrasi Liberal”, Jurnal Perspektif, Volume 1, Edisi Januari-Juni, 2013, h. 1-11. 137 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Op.Cit., h. 81-82.



64



dideterminasikan sebagai hukum dalam pengertian formal. Selanjutnya, kedua, keadilan dalam pengertian materil, yakni substansi dari muatan hukum yang diberlakukan ditengah masyarakat semestinya mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil. Tatanan kehidupan yang adil, menurut Frans Magnis Suseno138, adalah tatanan kehidupan bersama berdasarkan apa yang menurut moral baik dan wajar. Uraian yang diketengahkan peneliti diatas, merupakan uraian tentang konsep keadilan yang dimaknakan menurut gagasan para pemikir barat. Adapun ajaran Islam sebagai norma-norma yang juga dapat mengatur kehidupan dunia ini, juga telah meletakkan pembahasan tentang makna keadilan. Hanya yang perlu dipertegas adalah pembahasan tentang keadilan perspektif Islam, tidak boleh kita lepaskan doktrin ajaran Islam itu sendiri sebagai basisnya. Sayyid Qutub menulis sebagaimana yang diterjemahkan oleh John B Hardie139 dalam Bahasa Inggeris, sebagai berikut: We cannot study the nature of social justice in Islam until we have first examined the general lines of Islamic theory on the subject of the universe life, and mankind. For social justice is only a branch of that great science to which all Islamic doctrines mus revert. Pandangan Sayyid Qutub yang meletakkan argumentasinya bahwa dalam perspektif Islam, pemaknaan tentang keadilan harus diletakkan dalam kerangka doktrin Islam sebagai dasar untuk menyusun gagasan tersebut, yang juga disepakati oleh mayoritas para pemikir Islam atau para ulama. M. Quraisy Shihab140 dalam menjelaskan makna keadilan menurut syariah, yakni dengan merujuk kepada al-Qur’an sebagai dogma penting yang menjadi sumber pemikiran utama Islam. AlQur’an ketika menjelaskan tentang keadilan, pada sejumlah ayat menggunakan beberapa istilah yaitu, ‘al-adl, al-qisth, al-mizan. Sejumlah istilah tersebut, pada hakikatnya merujuk kepada makna yang sama yaitu keadilan namun dengan konteks penggunaan yang berbeda. Istilah ‘Adl adalah merujuk kepada pengertian sama antara dua pihak. Istilah qisth berarti seseorang mendapat bagian secara patut dan wajar yang tidak mesti harus ada persamaan. Adapun istilah mizan berarti timbangan ini merupakan metafora dari “alat untuk 138



Ibid. John B Hardie dan Hamid Algar, Sayyid Qutb Social Justice in Islam, Islam Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000, h. 37. 140 M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 147-159. 139



65



menimbang”, berarti setiap muslim dalam menghadapi suatu perkara haruslah mengedepankan sifat-sifat yang adil. Konsep keadilan dalam al-Quran dalam berbagai ragam maknanya, digunakan untuk berbagai kondisi yang pada dasarnya memerintahkan setiap manusia untuk berbuat adil, tidak hanya pada proses penegakan hukum atau kepada phak yang berselisih tetapi juga terhadap diri sendiri seorang muslim, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. M. Quraish Shibab, menunjukkan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan bagi seorang muslim untuk berbuat adil bagi dirinya, antara lain al-Qur’an Surah al-An’am Ayat 152 bahwa: Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat Selanjutnya al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 282 juga menyinggung tentang keadilan sebagai berikut: Dan hendaklah ada diantara kamu seorang peneliti yang menulis dengan adil M. Quraish Shibab juga menulis bahwa kehadiran para rasul, utusan Allah, pada saat yang sama adalah bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil, sebagaimana termaktub dalam al-Quran Surah al-Hadid Ayat 25, bahwasanya: Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan Al-Qur’an bahkan menegaskan bahwa alam semesta ini ditegakkan atas dasar keadilan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an Surah ar-Rahman Ayat 7, bahwa “Dan di langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). Dari paparan tersebut, M. Quraish Shibab, menyimpulkan bahwa pembahasan tentang keadilan menurut perspektif al-Qur’an adalah menyentuh semua aspek mulai dari tauhid sampai kepada keyakinan terhadap hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, sekaligus jalan terdekat menuju kebahagian ukhrawi.



66



Berikut, peneliti menyajikan bagan yang mendeskripsikan perwujudan nilai-nilai keadilan menurut perspektif Islam.



M. Quraish Shibab, melalui pemaparannya secara rinci menguraikan makna keadilan perspektif Islam dengan merujuk kepada beberapa pendapat para ulama, sebagai berikut: Pertama, keadilan dapat bermakna sama. Yang perlu ditegaskan dalam konteks pemaknaan ini adalah persaman dalam hak, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surah an-Nisa, Ayat 58 bahwa: Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil… Kata adil yang digunakan dalam ayat tersebut, bila diartikan sama, hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan hukum. Artinya, ayat tersebut menjadi pedoman bagi para hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan



67



ucapan mereka, dan seterusnya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, keadilan yang berarti seimbang atau proporsional. Keadilan jenis ini identik dengan kesesuaian (proporsionalitas). Yang perlu ditegaskan bahwa keadilan proporsionalitas (keseimbangan), tidak mengharuskan adanya persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, maka ukuran besar dan kecilnya yang diterima oleh masing-masing pihak sesuai dengan fungsi yang didapatkan darinya. Misalnya, petunjuk dalam al-Qur’an, yang membedakan prosi yang satu dengan yang lainnya, seperti pembedaan laki-laki dan perempuan pada beberapa masalah hak waris dan persaksian. Apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan proporsionalitas, harus dipahami dalam pengertian bahwa masing-masing pihak mendapatkan bagian sesuai dengan kadar dan manfaatnya yang telah ditentukan oleh nash-nash syariah bukan persamaan. Sehubungan dengan itu, Agus Yudha Hernoko, memberikan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan pertukaran hak dan kewajiban berdasarkan asas proporsionalitas, yang menurutnya bahwa asas proporsionalitas tidak mempersoalkan keseimbangan dalam pengertian kesamaan hasil secara matematis, tetapi lebih menekankan kepada proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair and reasonableness)141. Ketiga, Keadilan dalam pengertian menitikberatkan perhatian terhadap hak-hak individu atau mahluk hidup lainnya dengan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya secara tepat142. Keempat, keadilan yang dinisbatkan kepada perbuatan Allah SWT. Adil yang dimaksud disini adalah terkait dengan perbuatan Allah SWT terhadap ciptaannya. Maknanya, apapun perbuatan Allah SWT terhadap hambanya, sudah merupakan ketetapan dari Allah SWT, didalamnya telah mengandung hikmah yang mengimplikasikan keadilan Allah SWT. 2.5.2. Hakikat Keadilan dalam Pertukaran Hak dan Kewajiban Muqridh dengan Muqtaridh Berbasis Asas Taawun Di Pegadaian Syariah Pada pembahasan ini, peneliti menelaah tentang makna keadilan dalam hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan basisnya adalah asas taawun. Makna keadilan untuk menerjemahkan pertukaran hak dan kewajiban antara muqridh dengan muqtaridh dalam konteks



141 142



Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 89. M. Quraish Shihab, Loc.Cit.



68



ini peneliti merujuk kepada gagasan keadilan perspektif syariah, yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, sebagai berikut: Pertama, Muqridh dengan muqtaridh pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama sebagai pihak dalam perjanjian. Kedua pihak, dengan kata lain, tidak boleh ditempatkan pada hubungan hukum yang bersifat sub-ordinat, artinya pihak yang satu mendominasi pihak lain. Misalnya, pihak muqtaridh berada dibawah kedudukan muqridh, sehingga pihak muqridh bisa berbuat sewenangwenang kepada muqtaridh. Hubungan hukum antara keduanya, mesti dipertegas kembali, yakni tegak atas dasar moral kebajikan dalam bingkai tolong menolong, sehingga antara muqridh dengan muqtaridh haruslah diperlakukan adil yang sama dimuka hukum ketika antara keduanya terjadi sengketa, seandainya pada masa akan datang, salah satu diantara keduanya lalai dalam perjanjian atau mempunyai itikad buruk yang berimplikasi kepada terjadinya pelanggaran perjanjian. Bersandar pada hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh atas dasar asas taawun, maka muqtaridh harus diperlakukan adil yang memiliki hak-hak yang sama untuk dihormati kedudukannya sebagai manusia. Konteks keadilannya disini bermakna bahwa ada persamaan kedudukan antara muqridh dengan muqtaridh dalam kerangka ketika muqtaridh dituntut untuk menunaikan kewajibannya melunasi pinjamannya jika ia lalai membayar pinjamannya tersebut. Persamaan kedudukan itu ditunjukkan dalam hal perlakuan muqridh kepada muqtaridh yang dalam konteks demikian, tidak boleh ada indikasi untuk mengeksploitasi muqtaridh atau tindakan yang menzhalimi muqtaridh . Misalnya, pihak muqridh menyita barang gadai yang dijaminkan muqtaridh secara keseluruhan, yang tidak menghitung berdasarkan nilai pokok hutang, padahal barang gadai yang disita itu memiliki nilai harga yang melebihi nilai pokok hutang. Ilustrasinya sebagai berikut, barang jaminan (almarhun), adalah emas batangan bernilai harga Rp. 10 juta, sedangkan nilai pokok pinjaman hanya Rp 2 juta, maka penyitaan barang gadai yang tidak sesuai dengan nilai pokok pinjaman adalah tindakan zalim. Barang gadai semestinya tidak diambil seluruhnya oleh muqridh tetapi muqridh seharusnya menjual lebih dahulu barang gadai dengan seizin muqtaridh, bila harga barang gadai hanya laku Rp 8 juta, pihak muqridh diperbolehkan mengambil harga jual sebanyak nilai pokok hutang yaitu Rp 2 juta, sedangkan sisanya Rp. 6 juta diserahkan kepada muqtaridh karena merupakan haknya. Berdasarkan penjelasan peneliti tersebut, disinilah letak keadilan hukum Islam yang menghormati hak-hak kepemilikan individu. Islam sangat menghormati hak-hak kepemilikan individu yang menutup peluang bagi seseorang untuk berbuat zhalim terhadap pihak lain. Sehubungan dengan itu, perjanjian hutang piutang dalam



69



konteks yang berlangsung di pegadaian syariah, sangat tidak diperbolehkan untuk dijadikan celah bagi muqridh untuk mengeksploitasi muqtaridh, sebab tindakan demikian merupakan tindakan zhalim yang bermakna sebuah tindakan yang tidak adil dalam persepektif hukum Islam (syariah). Kedua, keadilan dalam makna proporsional perspektif syariah. Makna pertukaran hak dan kewajiban antara muqridh dengan muqtaridh bila diterjemahkan dalam bingkai keadilan yang proporsional, maka pihak muqridh mendapatkan haknya yang proporsional menurut timbangan hukum Islam (syariah), hak yang dimaksud sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan pada uraian sebelumnya, adalah hak tagih. Melalui hak ini, pihak muqridh memiliki hak untuk menagih kembali uang yang dipinjam muqtaridh bila telah sampai pada batas waktu tertentu sesuai perjanjian yang telah disepakati. Pada konteks hak tagih, muqridh hanya berhak meminta sejumlah porsi nilai uang yang dipinjamkan kepada muqtaridh, karena prinsip perjanjian tegak atas asas taawun yaitu asas tolong menolong, sudah sewajarnya pihak muqridh hanya mendapatkan pengembalian uang sebesar nilai pokok pinjaman. Tuntutan muqridh untuk mendapatkan tambahan dari nilai pokok perjanjian, dengan alasan pihak muqtaridh lalai atau terlambat memenuhi kewajibannya, yang tidak sesuai waktu yang disepakati, merupakan tindakan yang tidak adil. Bahkan permintaan tambahan yang melebihi nilai pokok pinjaman, merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum Islam (syariah). Ajaran Islam, memandang tambahan atas nilai pokok pinjaman adalah masuk kategori riba143, yang sangat dilarang keras. Riba sebagai tambahan dari pokok hutang sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, oleh al-Quran dipandang sebagai sebuah kezaliman, pelakunya harus mendapat sanksi yang tegas. Pada konteks inilah, secara proporsional, adalah tidak adil apabila muqridh menuntut tambahan dari pengembalian pokok pinjaman. Begitu juga, barang gadai (al-marhun) yang dititipkan oleh muqtaridh sebagai jaminan untuk pengembalian modal pinjaman, bagi muqridh pada dasarnya tidak dibenarkan mencari celah untuk mengambil manfaat dari keberadaan barang jaminan (al-marhun) itu sendiri. Pengambilan manfaat terhadap barang jaminan (al-marhun) tentu juga merupakan tindakan yang zalim bila ditinjau dari perspektif syariah. Konteks keadilan menurut hukum Islam (syariah), dari segi posisi muqridh merupakan sesuatu yang sudah memenuhi porsi kepentingannya, apabila kompensasi yang didapatkannya hanya pada kadar sejumlah pokok nilai modal yang ia sudah pinjamkan kepada 143



Ahmad Ad-Daur, Loc. Cit.



70



muqtaridh. Begitu juga dari sisi kepentingan muqtaridh merupakan sesuatu yang adil bila ia dituntut mengembalikan modal sesuai jumlah pokok pinjaman saja. Bila ada tambahan, maka hukum Islam (syariah) memandangnya tidak proporsional, malah berimplikasi menimbulkan kesulitan atau kesukaran bagi pihak muqtaridh, tentu saja konteksnya sudah menimbulkan kezaliman bagi pihak muqtaridh. Dasar pemikiran sebagai argumentasi, dapat dijelaskan bahwa asas taawun merupakan asas utama yang berfungsi menjaga spirit perjanjian utang piutang berbasis syariah, yang tidak boleh keluar dari koridor nilainilai moral kemanusiaan dan kebajikan yang berorientasi kepada nonprofit. Tujuannya sangat jelas menurut sudut pandang syariah, yaitu motivasi untuk memberikan bantuan pinjaman modal. Motivasi yang semata-mata dalam kerangka pertolongan kepada sesama manusia yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga dari titik pandang inilah, sangat tidak proporsional bila pihak muqridh lalu mengharapkan keuntungan finasial. Ukuran nilai keuntungan yang didapat oleh muqridh bukanlah dalam hitungan matematis untung dan rugi secara finansial, tetapi keuntungan yang diharapkan adalah nilai tambah bersifat transendental yakni ganjaran pahala dari Allah SWT. Syariah juga mempertegas bahwa dari sisi kewajiban muqtaridh, sekaligus merupakan hak dari muqridh, apabila diletakkan dalam kerangka keadilan secara proporsional, yakni muqtaridh secara moral sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tidak boleh lalai untuk menepati janji mengembalikan modal pinjaman sesuai waktu yang telah disepakati bersama. Pihak muqtaridh yang lalai atau beritikad buruk sengaja mengulur waktu atau enggan memenuhi janjinya, sesungguhnya juga berbuat zhalim atau bertindak tidak adil kepada pihak muqridh. Syariah bahkan sangat mencela muslim yang sengaja menunda pembayaran utangnya padahal ia sudah memiliki kemampuan finansial untuk melunasi utangnya tersebut. Nabi SAW sangat mencela seorang muslim yang menunda-nunda pembayaran utangnya, sebagaimana terkutip dalam hadits bahwa “Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah sesuatu kezhaliman…” Pada konteks ketika muqtaridh lalai atau tidak mampu memenuhi kewajibannya melunasi utang, sedangkan pada saat yang sama barang jaminan/gadai (al-marhun) berada dibawah penguasaan muqridh maka sesungguhnya, sesuai kesepakatan antara keduanya, pihak muqridh memiliki hak untuk menjual barang jaminan gadai tersebut, guna pelunasan utang muqtaridh. Pihak muqridh memiliki hak untuk mengambil nilai harga jual barang jaminan (al-marhun) sesuai jumlah pokok nilai hutang saja. Pemotongan nilai harga yang diambil oleh muqridh guna pelunasan utang, adalah sangat adil yang



71



secara proporsional, pihak muqridh hanya diperbolehkan mengambil sejumlah nilai harga berdasarkan patokan nilai pokok pinjaman, sedangkan bila ada kelebihan harga barang dari nilai pokok, secara proporsional, harus dikembalikan kepada muqtaridh yang memiliki hak atas kelebihan harga jual barang gadai (al-marhun). Dari sudut pandang keadilan secara proporsional, juga dipandang sebagai bentuk ketidakadilan apabila kelebihan dari harga nila jual barang gadai (al-marhun) serta merta diambil oleh muqridh, namun seandainya nilai jual harga barang gadai (al-marhun), masih kurang atau tidak cukup bagi pelunasan nilai pokok pinjaman modal, tentu saja syariah membolehkan pihak muqridh untuk menuntut kembali pengembalian dari sisa pokok nilai pinjaman yang menurut taksirannya masih kurang kepada pihak muqtaridh. Pada perspektif demikian, syariah menetapkan kerangka bahwa secara proporsional, adalah adil bila pihak muqridh menuntut hak pengembalian sejumlah uang miliknya sesuai nilai pokok pinjaman, sehingga bila pinjaman uang yang dikembalikan pihak muqtaridh masih kurang, maka sudah sepantasnya pihak muqridh menuntut tambahan pengembalian uang lagi untuk mencukupi nilai pokok pinjaman, namun ajaran Islam sangat memuji seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada muslim lainnya, lalu memberikan keringanan terhadap beban utang muslim tersebut, bahkan sampai memberikan kelapangan untuk dibebaskan dari kewajiban pelunasan semua utangnya, sebagaimana diutarakan dalam sebuah hadits Nabi SAW bahwa:Siapa saja yang meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang mukmin niscaya Allah meringankan darinya kesulitan akhirat. Ketiga, keadilan dalam makna yang menempatkan hak dan kewajiban sesuai pada tempatnya. Pada konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, hukum Islam (syariah) telah memberikan penegasan bahwa hubungan hukum antara keduanya harus berlangsung atas dasar asas taawun, sehingga dalam kerangka pertukaran hak dan kewajiban, dengan sudut pandang status hak dan kewajiban masing-masing muqridh dan muqtaridh, syariah telah menetapkan status hak muqridh yaitu berhak menagih muqtaridh, sedangkan kewajiban yang ditetapkan oleh syariah kepada muqridh adalah menjaga barang gadai/agunan (al-marhun) yang dititipkan kepadanya. Adapun dari sudut status hak muqtaridh adalah berhak untuk memanfaatkan termasuk hak tasharuf144 terhadap barang



144



Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah”, AlIqtishad, Volume IV, Nomor 1, Januari 2012, h. 20. Pada tulisan ini menjelaskan konsep tasharruf dalam perspektif syariah, adalah hak atau



72



miliknya yang dijadikan sebagai jaminan atau agunan, sedangkan kewajiban muqtaridh adalah mengembalikan modal yang dipinjamnya pada waktu yang telah disepakati. Syariah telah menetapkan secara adil takaran hak dan kewajiban muqridh dengan muqtaridh, sehingga bila salah satu pihak menyimpang dari koridor hak yang sudah ditetapkan syariah, berarti telah berlangsung kezaliman. Misalnya, pada hak tagih bagi muqridh. Ia menuntut tambahan atas pokok modal kepada muqtaridh sebab keterlambatan waktu pengembalian pinjaman. Begitu pula, sangat tidak adil apabila muqridh mencari celah dengan memanfaatkan barang agunan/gadai (al-marhun), sebab mengambil manfaat dari barang gadai oleh muqridh merupakan sebuah konsekuensi yang dilarang oleh hukum Islam (syariah), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa: Rasulullah SAW ditanya, seorang laki-laki dari kami meminjamkan (al-Qardh) harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian memberikan pinjaman (al-Qardh), lalu ia diberi hadiah, atau dinaikkan ke atas kendaraan si peminjam, maka janganlah dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan sebelumnya di antara mereka” (H.R. Ibnu Majah) Begitu juga dari segi beban kewajiban muqtaridh, bila ia sengaja lalai tidak melunasi pinjamannya, berarti pihak muqtaridh telah melakukan tindakan yang tidak adil, yang pada hakikatnya ia telah berbuat zalim kepada muqridh. Muqtaridh disebut dalam posisi telah melakukan kezaliman dalam konteks demikian, karena ia tidak memenuhi hak muqridh sekaligus kewajiban muqtaridh sendiri untuk mengembalikan modal pinjaman yang pada asalnya merupakan kepemilikan muqridh . Keempat, hukum-hukum tentang perjanjian utang piutang yang diatur dalam nash syariah hakikatnya merupakan hukum berbasis kewahyuan, yaitu hukum yang datangnya dari Allah SWT sebagai pencipta. Atas dasar itu, hukum Islam (syariah), yang juga mengatur interaksi hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang, pasti membawa keadilan dan rahmat bagi umat manusia, sebab tidak mungkin nalar manusia dapat menjangkau apa yang menjadi rahasia dibalik keadilan Allah SWT. Artinya, bila perjanjian utang piutang kewenangan seseorang untuk mengelola hartanya sesuai dengan batasan yang dibenarkan oleh syariah.



73



dipandang dalam konteks hitungan matematika ekonomi, terutama bila cara pandangnya adalah materialisme-kapitalistik, terkesan pihak muqridh selaku pemberi utang, akan mengalami kerugian finansial, dengan anggapan bahwa muqridh telah terpotong nilai hartanya. Tatkala Allah SWT menetapkan hukumnya berkaitan dengan perjanjian utang piutang yang tegak atas asas taawun maka ketetapan Allah tersebut, sebagaimana yang peneliti sandarkan menurut pandangan M. Quraish Shihab, pastilah mengandung kebaikan. Barangkali pandangan manusia atas dasar nalarnya, pemotongan harta tanpa mendapat kompensasi, sebagaimana yang dialami oleh muqridh merupakan hal yang merugikan atau hal yang buruk. Namun ketetapan hukum Allah, tentang pengaturan hukum bagi muqridh yang tidak dibenarkan mengambil keuntungan dari hubungan transaksinya dengan muqtaridh, tidak dapat ditembus oleh nalar manusia oleh halhal bersifat transendental. Firman Allah SWT dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat 216, sebagai berikut: Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui Ayat tersebut, adalah untuk menggugah kesadaran nalar seorang muslim, yang sebenarnya tidak boleh terkungkung oleh halhal bersifat pragmatis-materialistik, tetapi harus menjangkau kepada hal-hal yang lebih tinggi lagi dan luas yaitu menjangkau kepada halhal yang bersifat transendental-ukhrawi. Dengan demikian, untuk meletakkan perspektif keadilan ilahiah pada kerangka hubungan transaksional antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, sudut pandangnya adalah transendental, sehingga bagi muqridh tidak boleh memandang keadilan ilahiah berdasar kepada hitungan matematis secara ekonomi, tetapi kerangka keadilannya bahwa muqridh akan mendapatkan anugerah kebaikan dari Allah SWT di akhirat nanti. Sehubungan dengan itu, maka keberadaan lembaga pegadaian syariah yang saat ini hadir sebagai salah satu lembaga keuangan nonbank di Indonesia, secara mendasar, semestinya untuk mengemban amanah kebajikan sosial sekaligus untuk mempererat hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesenjangan sosial masyarakat. Inilah makna dasar keadilan, yang dalam perspektif Islam adalah untuk mewujudkan kebajikan sosial. Menurut M. Quraish Shihab, keadilan dan kebajikan sosial dalam perspektif Islam, selalu merupakan dua sisi yang beriringan, sebab keseimbangan dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak akan mungkin tercapai bila



74



nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai kebajikan tidak diwujudkan secara terintegral, sebab kehidupan sosial masyarakat adalah kehidupan yang beragam dan majemuk, setiap manusia ketika melangsungkan interaksi sosialnya, masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda-beda. Ketentuan ini merupakan hal yang lumrah serta telah membingkai dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang sunnatullah. Ajaran Islam mengakui bahwa perbedaan antar individu merupakan sifat masyarakat, tetapi kondisi demikian tidak boleh mengakibatkan terjadinya pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu semestinya membawa kepada kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, tidak boleh ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain. Untuk itulah, lembaga pegadaian syariah pada akhirnya mengemban amanah untuk mewujudkan keadilan sosial, sebab Nabi SAW telah berpesan tentang perlunya kepedulian sosial bagi muslim bagi selaku individu maupun sebagai kelompok masyarakat untuk merasakan pahit dan manisnya terhadap apa yang terjadi di tengah masyarakat, bukan bersikap acuh tak acuh atau tidak memiliki kepedulian. M. Quraish Shihab telah mengetengahkan salah satu ayat dalam al-Qur’an yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, yaitu Qur’an Surah al-Maun Ayat 1-3 bahwa: Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Mereka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin Menurut tafsiran M. Quraish Shihab, redaksi ayat tersebut bukanlah “tidak memberi makan”, melainkan “tidak menganjurkan memberi pangan”. Konteks ayat ini mencerminkan kewajiban sosial seorang muslim dalam bentuk kepedulian terhadap siapa saja yang membutuhkan bantuan ekonomi. Bagi seseorang muslim yang tidak memiliki kemampuan finansial paling tidak minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika inipun tidak dilakukan seorang muslim, sesuai ayat diatas, maka ia termasuk orang yang mendustakan agama. Berpijak pada tafsiran M. Quraish Shihab terhadap al-Qur’an Surah al-Maun Ayat 1-3, maka dalil ini juga menjadi salah satu penguat urgensi keberadaan pegadaian syariah sebagai lembaga yang semestinya murni mendorong pada tujuan-tujuan guna mencapai kebajikan sosial sebagai bagian integral terwujudnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.



75



BAB III ASAS-ASAS PERJANJIAN YANG MENDASARI KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH DENGAN MENGKAITKAN ASAS TAAWUN SEBAGAI LANDASAN POKOKNYA 3.1. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Pada Umumnya Perjanjian utang piutang, secara umum, merupakan bentuk perjanjian yang berlangsung dengan nomenklatur perjanjian bernama145. Disebut sebagai perjanjian bernama karena perjanjian utang piutang merupakan perjanjian yang secara khas diatur tersendiri dalam sebuah produk hukum tertentu. Di Indonesia, misalnya, perjanjian utang piutang telah diatur secara tersendiri, namun ia dikategorikan sebagai bagian dari perjanjian pinjam meminjam. Pengaturan tentang perjanjian pinjam meminjam tersebut, terdapat pada Bab Ketiga Belas Buku III Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW, sebenarnya tidak menyebutkan atau mengatur secara spesifik perjanjian pinjam meminjam dengan objeknya adalah uang. Namun Pasal 1754 BW oleh pembuat undang-undang hanya menyebut perjanjian dengan jumlah tertentu atas barang-barang yang habis dipakai, sehingga bagi pembuat undang-undang, tidak disebutkannya secara tegas uang sebagai objek perjanjian pinjam meminjam, sebab uang dapat dikategorikan sebagai barang yang habis dipakai. Hal ini juga dimaksudkan bagi pembuat undang-undang bahwa esensi perbuatan pinjam meminjam bukanlah sekedar uang sebagai objeknya tetapi juga barang-barang habis terpakai lainnya, yang memiliki nilai ekonomi, sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, namun yang terpenting dalam perjanjian pinjam meminjam, merujuk Pasal 1754 BW, yaitu pada objek barang yang diperjanjikan bersifat habis terpakai, yang mengharuskan pihak peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjam pada jumlah dan keadaan yang sama. R Soebekti, memberikan penjelasan mengenai Pasal 1754 BW ini, bahwa penggunaan istilah verbruik lening dalam Bahasa Belanda, adalah merujuk kepada pengertian perjanjian pinjam meminjam. Selanjutnya R Soebekti, menjelaskan penggunaan istilah verbruik berasal dari kata verbruiken yang berarti menghabiskan. Dari penggunaan istilah inilah maka perjanjian pinjam



145



Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan Bagian B), Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Yogjakarta, 1980, h. 17.



76



meminjam senantiasa meletakkan barang yang habis terpakai sebagai objek perjanjian. Keberadaan perjanjian utang piutang sebagaimana telah dijelaskan pada paparan sebelumnya, merupakan bentuk spesifik dari perjanjian pinjam meminjam. Artinya, perjanjian pinjam meminjam merupakan genus sedangkan perjanjian utang piutang adalah spesiesnya. Bila mencermati ketentuan selanjutnya dalam BW, yang masih turunan Pasal 1754 yaitu Pasal 1756 BW mengatur sebagai berikut “utang yang terjadi karena peminjaman uang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian”. Ketentuan Pasal 1756 BW ini sekaligus untuk mempertegas spesifikasi perjanjian utang piutang sebagai bagian integral dari perjanjian pinjam meminjam yang objeknya adalah uang sebagai alat tukar. Uang sebagai alat tukar yaitu yang digunakan dalam transaksi dagang atau komersil, sehingga kedudukan perjanjian utang-piutang, menurut konteks pengertian BW, dapat dikategorikan sebagai perjanjian pinjam meminjam yang objeknya adalah uang sebagai alat tukar. Pada perspektif syariah, telah mendudukkan perjanjian utang piutang (al-Qardh) secara spesifik, yang kendatipun masuk dalam genus perjanjian pinjam meminjam, yaitu pengalihan pemanfaatan hak atas suatu benda dari seorang sebagai pemilik haknya kepada orang lain secara sementara, namun perjanjian utang piutang (al-Qardh) sangat berbeda karakteristiknya dengan perjanjian pinjam meminjam lainnya, yang masuk kategori perjanjian al-‘Ariyah. Pada umumnya, perjanjian al-Qardh dan perjanjian al‘Ariyah, memiliki karakteristik yang sama, yaitu sebagai suatu bentuk perjanjian yang meniscayakan pengalihan hak memanfaatkan suatu benda atau barang dari pemiliknya kepada orang lain untuk dimanfaatkan sementara pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Bila telah sampai waktunya yang telah disepakati, pihak yang meminjam wajib mengembalikan barang yang dipinjamnya kepada pemiliknya. Dari kedua jenis perjanjian pinjam meminjam tersebut, yakni perjanjian al-Qardh dan perjanjian al-‘Ariyah, memiliki karakteristik yang berbeda, dengan perincian sebagai berikut: Pertama, Perjanjian al-‘Ariyah, menurut definisi as-Sarkashi dan para ulama Mazhab Maliki, yaitu pengalihan kepemilikan terhadap manfaat tanpa mengharapkan imbalan (kompensasi), sedangkan ulama mazhab Syafi’i dan Hambali memberikan definisi secara sederhana tentang perjanjian pinjam meminjam sebagai pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa



77



adanya imbalan. Pada konteks ini, menurut Wahbah az-Zuhaili146, perjanjian pinjam meminjam memiliki karakteristik sebagai perjanjian pinjam meminjam terletak kepada sisi pengambilan manfaatnya secara langsung, tanpa harus ada pemberian kompensasi dari pihak yang meminjam. Perjanjian al-‘Ariyah merupakan jenis perjanjian pinjam meminjam yang bersifat umum, yang objeknya melulu adalah barang yang dimanfaatkan. Kedua, Perjanjian al-Qardh. Menurut perspektif syariah, sebagaimana yang dipapar pada Bab I, perjanjian utang piutang diistilahkan dengan nama al-Qardh. Menurut perspektif syariah, alQardh sebagai perjanjian bernama, maka al-Qardh dalam pembahasan Yusuf as-Sabatin147 adalah harta yang diberikan oleh kreditur (pemberi hutang) kepada debitur (yang berhutang) sebagai pinjaman untuk dikembalikan kepada kreditur yang nilai pinjamannya sama pada waktu yang telah disepakati. Berpijak dari definisi ini, menurut Yusuf as-Sabatin, perjanjian utang piutang bermakna al-Qath’u (memutus). Dari pengertian inilah menurut perspektif syariah, harta yang diambil debitur itulah yang disebut al-Qardh sebab kreditur memotong sebahagian dari harta miliknya. Istilah al-Qardh secara bahasa merupakan masdhar dari qaradha asy-syai’-yaqridhuhu, yang berarti dia memutusnya. Dikatakan, qaradhtu asy-syai’ a bil-miqradh, terjemahan secara literal artinya aku memutus sesuatu dengan gunting, sehingga dalam konteks pengertian ini, perjanjian utang piutang adalah perjanjian untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang mana orang bersangkutan berjanji membayarnya dengan nilai yang sama. Berdasarkan penjelasan tersebut, perjanjian utang piutang perspektif syariah, yang diistilahkan dengan akad al-Qardh, merupakan bentuk dari perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian utang piutang, bagaimanapun juga, merupakan perjanjian pinjam meminjam yang objeknya adalah uang atau alat tukar yang memiliki nilai berharga dalam transaksi barang dan jasa. Berdasarkan uraian peneliti tentang karakteristik perjanjian utang piutang dalam beberapa perspektif hukum, untuk ringkasnya peneliti menjabarkannya dalam bentuk bagan berikut ini:



146



Wahbah az-Zuhaili, Finacial Transactions In Islamic Jurisprudence Volume I, Terjemahan oleh Mahmoud A El Gamal, dari AlFiqh Al-Islami wa ‘Addilatuh, Dar Al-Fikr, Damaskus, 2001, h. 605. 147 Yusuf as Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 364.



78



Dari bagan yang dipaparkan peneliti, dapat disimpulkan bahwa karakteristik perjanjian utang piutang, secara mendasar bertumpu kepada dua karakteristik, yaitu pertama meletakkan uang sebagai kerangka utama objek perjanjian, dan kedua kreditur memiliki hak tagih serta debitur dibebani kewajiban untuk melunasi utangnya. Perjanjian utang piutang merupakan bentuk spesies dari perjanjian pinjam meminjam yang dalam istilah syariah dikenal dengan nama al‘ariyah. Konteks pinjam meminjam dalam pengertian al-Ariyah adalah pengertian bersifat umum yaitu aqad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak merusak atau mengurangi benda itu ketika dikembalikan148. Perlu juga dipahami perbedaan bentuk perjanjian utang piutang dalam perspektif syariah yang dikenal dengan nama ad-Dain. Pada perjanjian jenis ini didalamnya memang terjadi utang piutang, tetapi basisnya adalah jual beli atau ijarah (sewa menyewa), bukan berbasis kepada uang sebagai pokok perjanjian. Utang piutang berbasis ad-Dain terjadi pada sebuah transaksi muamalah yang mengharapkan konpensasi, misalnya pada jual beli yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran yang dilakukan secara angsuran (cicilan atau kredit), artinya disini berlaku pembayaran secara tempo 148



Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 133.



79



berjangka yang dilakukan oleh pembeli, sesuai kesepakatan, yang tempo pembayarannya bisa per-hari, per-minggu, per-bulan, atau mungkin saja per-tahun.



Keberadaan perjanjian utang piutang dalam konteks keseluruhan pembahasan ini, yaitu yang masuk dalam kategori alQardh, meskipun pada fakta kehidupan hukum di Indonesia berwujud dalam berbagai bentuk praktiknya, seperti pada perjanjian kredit di bank atau pada fakta perjanjian utang piutang dibawah tangan yang berlangsung pada masyarakat adat di Indonesia, dan juga pada fakta perjanjian utang piutang di lembaga gadai baik konvensional maupun syariah. Semua keberlangsungan perjanjian utang piutang tersebut, secara mendasar akan selalu bertumpu kepada karakteristik perjanjian yang dibuat secara formal melalui dokumen tertulis guna menjadi bukti hukum apabila terjadi sengketa diantara para pihak yang memasuki perjanjian tersebut. 3.2. Analisis Perbandingan Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Menurut Burgerlijk Wetboek dan Syariah Pada konsentrasi pembahasan ini, peneliti menitikberatkan kepada pembahasan tentang perbedaan karakteristik yang secara fundamental dijumpai pada perjanjian utang piutang yang tunduk dibawah BW dengan perjanjian utang piutang yang tunduk berdasarkan Hukum Islam. Perbedaan mendasar dari nomenklatur



80



perjanjian utang piutang antara keduanya, tentu saja, sangat dipengaruhi oleh pijakan ideologi hukum yang menjadi basisnya. BW pada dasarnya berbasis kepada gagasan ideologi sekulerisme, sebagaimana sudah dijelaskan, yang menihilkan unsur spiritualistik sedangkan syariah berbasis kepada kewahyuan sebagai karakteristik dasarnya, sehingga nilai-nilai hukum berbasis ideologi sekulerisme tidak akan mungkin bertaut dengan nilai-nilai hukum berbasis syariah. 3.2.1. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Menurut Burgerlijk Wetboek Apabila ditilik secara seksama karakteristik perjanjian utang piutang yang diatur dalam BW, meniscayakan para pihak untuk bebas dalam menetapkan bunga sebagai tambahan pokok utang yang dibebankan kepada debitur ketika debitur hendak mengembalikan hutangnya kepada kreditur pada jangka yang telah ditetapkan. Istilah bunga yang biasanya dikenal dalam perjanjian utang piutang dapat berarti tambahan atas pokok hutang yang dibeban kepada debitur ketika melakukan pengembalian pinjaman kepada kreditur, namun pada prinsipnya perjanjian utang piutang menurut BW tidak selalu harus diikuti dengan bunga, sebab dalam BW sendiri tidak menetapkan bunga sebagai kewajiban atau keharusan yang dibebankan kepada debitur, namun sesuai asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme yang dianut BW, mengenai persyaratan pencantuman bunga dan besarnya bunga, adalah diserahkan kepada pihak yang membuat perjanjian tersebut. Terserah kepada para pihak apakah akan memperjanjikan ataukah tidak. Pasal 1765 BW menegaskan tentang kebolehan memperjanjikan bunga dalam perjanjian utang piutang. Artinya, dalam konteks penormaan perjanjian utang piutang dalam perspektif BW, penentuan bunga diperbolehkan untuk diperjanjikan ataupun tidak. Menurut paparan Gatot Supramono149, bunga yang diperjanjikan itu biasanya ditentukan oleh pihak kreditur. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4434 K/Pdt/ 1986 tanggal 20 Agustus 1988, bunga yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak tetap mengikat dan harus dilaksanakan. Selanjutnya, Gatot Supramono menjelaskan bahwa bunga yang tidak diperjanjikan tidak mewajibkan debitur untuk membayarnya, akan tetapi jika debitur membayar bunga yang tidak diperjanjikan menurut Ketentuan Pasal 1766 Ayat (1) BW, maka tidak dapat dituntut kembali, maupun mengurangi utang pokoknya. Sebaliknya bunga yang telah diperjanjikan, mewajibkan debitur untuk membayar sampai pada pengembalian utang pokoknya



149



Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2014, h. 25.



81



lunas, termasuk jika terjadi wanprestasi pengembalian utang melewati batas yang telah ditentukan. Penjelasan tersebut, sekali lagi memberikan gambaran tentang postur perjanjian utang piutang menurut BW, yang meniscayakan adanya tambahan dari pokok utang kepada debitur apabila memang sejak semula diperjanjikan untuk itu. Bila ditelisik lagi bahwa BW menghasilkan karakteristik postur perjanjian utang piutang yang demikian itu, sebenarnya bukan hal yang aneh sebab BW memang dirancang oleh para pembuatnya dengan basis sekulerisme, yaitu peniadaan nilai-nilai dimensi spiritualisme. Penihilan nilai-nilai spiritualistik tersebut, pada akhirnya BW menciptakan satu postur perjanjian yang berdiri atas dasar kebebasan berkontrak (freedom of contract) dengan individualisme sebagai basis penyangganya. 3.2.2. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Perspektif Syariah Perbedaan karakteristik perjanjian utang piutang antara syariah dengan BW, yaitu syariah sangat melarang keras pengembalian utang yang menyelisihi harga pokok berupa tambahan baik itu sedikit maupun banyak. Setiap tambahan atas pokok hutang yang dalam perspektif BW disebut bunga, maka syariah menyebutnya sebagai riba. Terdapat beberapa dalil serta pendapat dikalangan banyak ulama yang melarang riba, yaitu sebagai suatu perbuatan yang diharamkan oleh syariah. Penjelasan tentang ketidakbolehan memberikan pokok tambahan pada perjanjian utang piutang, dipertegas lagi oleh Syaikh Ahmad Ad-Da’ur tentang keharaman memberikan tambahan pada pokok modal dalam transaksi perjanjian utang-piutang, meskipun tambahan itu motifnya berdasarkan sukarela dari kedua belah pihak (pemberi pinjaman-penerima pinjaman). Syaikh Ahmad Ad-Da’ur, dengan menukil sejumlah besar pendapat ulama salaf (ulama klasik), memberikan kesimpulan tentang ketidakbolehan memberikan tambahan pokok dalam perjanjian utang piutang, sebab tambahan atas pokok yang dinisbatkan dalam perjanjian utang piutang, apapun bentuk, nama dan istilah lainnya, tetap dikategorikan sebagai riba. Hukum pelarangan terhadap riba menurut Syaikh Ahmad Ad-Da’ur, adalah bersifat tetap dan permanen serta tidak mengandung illat150, juga tidak dapat dikatakan bahwa pelarangan riba menurut nash al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, tergantung kepada ada atau tidaknya illat. Riba dengan penamaan sebagai tambahan pokok yang baik yang disepakati oleh pemberi 150



Atha bin Khalil, Ushul Fiqh (terjemahan), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2008, h. 107-132, dan Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh Membangun Paradigma Berpikir Tasyriri, Al-Azhar Press, 2003, h. 98-105.



82



utang atau penerima utang ataupun yang lahir sebagai persetujuan kehendak antara keduanya, tetap dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, menurut argumentasi Syaikh Ahmad Ad-Da’ur, telah menutup celah peluang bagi riba, apapun motivasi maupun alasannya. Tambahan pokok yang dimaksud, meskipun jumlahnya tidak berlipat ganda atau sebab didalamnya tidak ada unsur kezaliman yang didapat oleh penerima pinjaman (pihak yang berutang). Atas dasar itulah, karakteristik dasar perjanjian utang piutang menurut syariah adalah motivasi kebajikan karena ada nilai-nilai spirituil yang diharapkan oleh seseorang. Dari sinilah dapat dipahami bila perjanjian utang piutang tidak boleh didorong oleh motif-motif mencari keuntungan tambahan modal (profit oriented). Adapun menyangkut kehendak dari para pihak untuk melakukan perjanjian dengan kerangka untuk mencari keuntungan (profit), sesungguhnya syariah tidak memberikan larangan, akan tetapi mekanisme perjanjiannya tidak boleh melalui perjanjian utang-piutang. Syariah telah menyiapkan mekanisme perjanjian tersendiri apabila para pihak hendak mengambil keuntungan (profit) dari perjanjian tersebut. Mekanismenya boleh melalui perjanjian jual beli (al-bay’), kerja sama perseroan (syirkah mudharabah), dan bidang jasa (ijarah). 3.3. Hakikat Perjanjian Gadai sebagai Perjanjian Bersifat Accessoir dalam Perjanjian Utang Piutang Perspektif Syariah Menurut Rais Sasli151, perjanjian gadai perspektif syariah pada dasarnya merupakan media penguat terhadap perjanjian pokok yang secara prinsip harus dibangun atas dasar tabarru’ tanpa mencari keuntungan, sehingga perjanjian gadai yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari perjanjian pokok utang piutang maka dalam konteks untuk memaknainya secara filosofis, ia pada hakikatnya merupakan bentuk perjanjian yang memuat kalusula pemberian jaminan oleh pihak berutang atau muqtaridh/rahin (sebagai pemberi jaminan) kepada pihak yang berpiutang atau muqridh/murtahin (penerima jaminan). Pemaknaan secara mendalam (secara ontologis) dilekatkannya perjanjian gadai pada perjanjian utang piutang, adalah untuk memberikan kepercayaan atau dalam tataran syariah yaitu memperkuat amanah yang diberikan oleh pemberi gadai (rahn) kepada penerima gadai (muqridh) dalam rangka pembayaran jumlah utang sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan. Atas dasar itulah, perjanjian gadai menurut syariah, semestinya tidak diletakkan sebagai bentuk perjanjian yang benar151



Rais Sasli, Pegadaian Syariah (Konsep Sistem Operasional: Suatu Kajian Kontemporer), UI Press, Jakarta, 2005, h. 20.



83



benar terpisah dari perjanjian utang piutang itu sendiri, termasuk juga mengubah nomenklatur filosofis perjanjian gadai (akad rahn) sebagai salah satu celah untuk mencari keuntungan, sebab filosofi ontologis perjanjian gadai (akad rahn) memang diletakkan dalam kerangka penguat kepercayaan bagi penerima gadai (muqridh) yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang terhadap pengembalian utang yang diperjanjikan oleh pihak berhutang (muqtaridh) dikemudian hari. Perjanjian gadai sekaligus juga merupakan jaminan pelunasan utang masa akan datang. Apabila mencermati dalil yang tercantum dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat (283), terjemahannya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang diserahterimakan kepada yang berpiutang”. Dalil tersebut, yang menjadi landasan perjanjian gadai perspektif syariah, sesungguhnya sebagai penguat amanah (kepercayaan) oleh muqtaridh (pemberi gadai) bahwa pihak berutang berjanji akan mengembalikan sejumlah utangnya kepada pihak berpiutang (muqridh/penerima gadai). Keberadaan perjanjian gadai, sekaligus untuk mendeskripsikan adanya hubungan transaksi utang piutang antara muqtaridh dengan muqridh apabila seandainya hubungan transaksi utang piutang antara keduanya (muqtaridh dengan muqridh) tidak sempat dibakukan secara tertulis, sehingga perjanjian gadai dapat menjadi bukti materil selain alat bukti tertulis dikemudian hari bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara para pihak, yaitu antara pihak kreditur dengan debitur. Penafsiran terhadap al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat (283), menurut Wahbah az-Zuhayli dalam tafsir al-Wahidi adalah untuk menjaga kepercayaan bersama, sekaligus menjadi pegangan bagi pihak yang berpiutang terhadap pihak yang berutang. Konteks ayat ini menurut tafsir Wahbah az-Zuhayli152 tersebut, bahwa bila terjadi hubungan muamalah seperti dalam transaksi utang piutang yang berlangsung selama dalam perjalanan dan tidak memungkinkan adanya saksi penulis, maka yang paling memungkinkan adalah penyerahan barang jaminan kepada pihak yang berpiutang. Keberadaan barang jaminan inilah sebagai instrumen untuk menjaga kepercayaan sekaligus untuk ketentraman hati bagi pihak yang berpiutang, meskipun sebahagian ulama ada yang berpendapat bahwa konteks Surah al-Baqarah Ayat 283 hanyalah dalam konteks kondisi 152



Wahbah az-Zuhaili, Loc. Cit.



84



musafir atau dalam perjalanan, yaitu pada penggalan ayat “…wa ing kuntum ‘alaa safari walam tajiduu kaatiban fa rihaanum maqbuudhoh,…”, tetapi dalam penjelasan tafsir al-Wahidi dan juga tafsir al-Munir sebenarnya hakikat yang hendak ditangkap dalam ayat ini adalah untuk menegaskan kekokohan amanah (kepercayaan) dalam perjanjian utang piutang kendatipun tidak dalam kondisi perjalanan. Untuk mempertegas hakikat ontologis perjanjian gadai, dapat disimak dari Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, Ummul Mukminin153 bahwa: Sesungguhnya Rasulullah SAW telah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan tempo pembayaran) untuk jangka waktu tertentu. Baginda pun menggadaikan baju besinya kepadanya” (H.R. Bukhari-Muslim)154. Pemaknaan filosofis hadits Nabi Muhammad SAW ini, adalah untuk memperjelas keberadaan gadai dalam perspektif syariah yaitu meletakkan nilai-nilai amanah bagi pemberi gadai (al-muqtaridh) terhadap penerima gadai (al-muqridh). Perbuatan Rasulullah SAW yang diuraikan secara deskriptif dalam hadits, tatkala beliau menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi, sesungguhnya dapat dimaknakan keteladanan amanah yang ditunjukkan oleh Baginda Nabi untuk membayar utangnya, meski akad utang piutang yang berlangsung adalah melibatkan individu orang Yahudi, yang nota bene tidak se-aqidah dengan kaum muslimin, sehingga tindakan menggadai baju besi oleh Nabi Muhammad SAW, menjadi contoh keteladanan bagi kaum muslim untuk senantiasa konsisten dengan amanah sebagai pihak yang berhutang sekalipun kepada non-muslim, maka keberadaan perjanjian gadai inilah sebenarnya merupakan pengokoh keseriusan bagi pihak berutang (al-Muqtaridh/pemberi gadai) untuk amanah dalam merealisasikan kewajibannya membayar utang pada tempo yang sudah disepakati. Hakikat ontologis perjanjian gadai yang diletakkan dalam kerangka sebagai amanah untuk memperkuat komitmen pihak pemberi gadai (muqtaridh) yang kelak untuk memenuhi kewajiban membayar utangnya dikemudian hari maka untuk itu secara epistemologis keberlangsungan perjanjian gadai haruslah memenuhi 153



Voa Islam, “Subhanallah, Aisyah dan Shafiyah Adalah Ummul Mukminin Cerdas”, (25 Februari 2014), https://www.voa-islam.com/, diakes 15 Desember 2016. 154 Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer, Al-Azhar Freshzone Publishing, Bogor, 2014, h. 211.



85



beberapa ketentuan yakni: Pertama, penyerahan barang yang menjadi objek gadai bersifat riil (nyata) dan langsung (qabdh al-marhun) pada saat perjanjian gadai dinyatakan oleh para pihak (muqtaridh dan muqridh). Karakteristik perjanjian gadai yang bersifat riil serta langsung menurut Hafid Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman155, adalah merujuk kepada nash al-Qur’an Surah alBaqarah Ayat 283156, yang menyatakan fa rihanun maqbudhah (hendaklah ada barang tanggungan yang diserahterimakan kepada pihak yang berpiutang). Kedua, barang yang digadaikan (al-marhun) berlaku untuk apa saja yang boleh diperjualbelikan, seperti motor, mobil, emas, perak, dan sebagainya. Kriterianya, barang tersebut memiliki nilai jual serta memenuhi standar halal menurut syariah. Standar halal bagi barang gadai (al-marhun) merupakan kemutlakan, sehingga barang yang statusnya haram menurut syariah, seperti daging babi, khamar, dan sejenisnya, patung, termasuk juga barang yang sudah berstatus wakaf, tidak boleh menjadi objek gadai. Ibnu Qudamah157, menjelaskan tentang penyerahan barang secara tunai dan langsung sebagai basis yang mendasari nomenklatur parjanjian gadai menurut perspektif syariah, sebagai berikut: Berkata (pengarang kitab Mukhtasar al-Khiraqi): Gadai hanya sah jika barang yang boleh digadaikan tersebut diserahterimakan. Maksudnya gadai tersebut hanya berlaku jika sudah terjadi serah terima. Pandangan ini juga dinyatakan oleh Abu Hanifah, as-Syafii dan sebahagian pengikut kami (Hambali). Barang yang ditakar atau ditimbang, status gadainya tidak berlaku (mengikat), kecuali dengan adanya serah terima. Pandangan Ibnu Qudamah lalu diperkuat oleh argumentasi Hafid Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman158, bahwa konteks perjanjian gadai menjadikan objek gadai (al-marhun) harus diserahterimakan ditempat yang tidak boleh dihutang, sehingga pada kasus barang yang ditimbang atau ditakar menjadi objek gadai semisal emas dan perak, tetap wajib disertai dengan serah terima secara nyata (riil) dan langsung, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, Imam 155



Ibid. Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang Dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah Terhadap Surah al-Baqarah Ayat 282)”, Iqitishaduna Jurnal Ekonomi Islam, Volume 5 Nomor 1 Juni 2014, h. 64-77. 157 Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman,op.cit., h. 212. 158 Ibid. 156



86



as-Syafii dan sebahagian Mazhab ImamHambali. Begitu pula pendapat yang menyatakan keharusan serah terima barang dalam pelaksanaan perjanjian gadai sebagai suatu transaksi yang bersifat mutlak, tanpa melihat status barang agunan apakah ditakar, ditimbang, maupun tidak. Serah terima harus dilakukan secara riil dan tunai. Berdasarkan paparan peneliti mengenai makna filosofis perjanjian gadai perspektif syariah ditinjau secara ontologis dan epistemologis, maka secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa hakikat ontologis perjanjian gadai adalah untuk menjaga nilai amanah (kepercayaan) bagi pemberi gadai (al-Muqtaridh/Rahin) sebagai bentuk komitmen dalam rangka memenuhi kewajibannya melunasi sejumlah utang yang telah disepakati waktunya dengan pihak penerima gadai (al-Muqridh/Murtahin). Hakikat ontologis dan epistemologis perjanjian gadai perspektif syariah, juga akan bertumpu kepada satu titik temu makna aksiologis, yaitu dari sudut kemanfaatan bagi pihak Muqtaridh/Rahin maupun bagi Muqridh/Murtahin itu sendiri. Dari segi kemanfaatan bagi Muqtaridh/Rahin, maka tatkala perjanjian gadai telah meletakkan barang agunan sebagai objek gadai, maka keberadaan barang agunan, sekaligus akan menjadi kompensasi pelunasan beban jumlah utang yang pihak Muqtaridh/Rahin perjanjikan kepada pihak Muqridh/Murtahin apabila sudah jatuh tempo, sebab bagaimanapun juga dalam perspektif syariah, pelunasan hutang merupakan kewajiban mutlak seorang muslim159. Dari segi kemanfaatan pihak muqridh (pihak berpiutang), perjanjian gadai secara aksiologis, menjadi instrumen untuk ketenangan hati pihak muqridh itu sendiri terhadap sebahagian hartanya yang sudah terpotong yang kemudian beralih menjadi milik pihak muqtaridh (Pihak berhutang). Bagi pihak muqridh jika hutang sudah jatuh tempo, maka sudah menjadi hak mutlak bagi dia untuk melakukan hak tagih kepada pihak muqtaridh. Penjelasan peneliti tentang makna aksiologis perjanjian gadai perspektif syariah dari segi kepentingan kreditur (pihak yang berpiutang), juga relevan mengkaitkannya dalam konteks maqashid syariah yang menjadi hikmah dari tujuan hukum perjanjian gadai itu sendiri, sebab syariah yang ditetapkan oleh Allah SWT, didalamnya pasti mengandung maksud-maksud dan hikmah160 tertentu161. 159



Said Yai Ardiansyah, “Bahaya Kebiasaan Berhutang”, (3 Maret 2009), https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaan-berhutang.html, diakses tanggal 21 Agustus 2016. 160 Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2014, h. 44.



87



Pada hakekatnya, perjanjian gadai sekaligus berfungsi menjaga serta memelihara harta yang telah diambil separuhnya oleh pihak berutang selama jangka waktu tertentu, namun syariah juga telah menetapkan rambu-rambu sebagai batasan bagi pihak berhutang, yang hanya diperkenankan memotong nilai dari harga barang gadai setara dengan jumlah nilai pokok yang dipinjam oleh pihak yang berhutang. Syariah melarang keras memotong nilai harga barang gadai yang melebihi nilai jumlah utang, karena kelebihan tersebut merupakan salah satu bentuk pungutan riba yang diharamkan oleh syariah. Pungutan riba menurut Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar162, merupakan praktik pengambilan harta dengan cara yang batil (cara yang tidak dibenarkan) oleh syariah. 3.4. Analisis Perbedaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah dalam Sistem Hukum Jaminan Di Indonesia Pencermatan peneliti terhadap praktik gadai konvensional maupun praktik gadai syariah, pada titik singgungan tertentu memiliki pokok persamaan, yakni kedua praktik gadai tersebut, menetapkan penormaan perjanjian gadai sebagai perjanjian bersifat asesoir (perjanjian tambahan) yang melekat pada perjanjian utang piutang. Gadai konvensional maupun gadai syariah meletakkan hak kebendaan bagi pihak kreditur sebagai penerima gadai, terhadap kewenangan untuk menahan barang jaminan milik debitur guna pelunasan utang jika debitur lalai atau tidak mampu melaksanakan prestasinya. Peneliti juga menyimpulkan bahwa gadai konvensional dengan gadai syariah, dalam sistem hukum jaminan di Indonesia, memiliki titik singgung yang sama-sama meletakkan kaidah-kaidah penormaan terhadap keberadaan barang gadai sebagai barang jaminan untuk kepentingan pelunasan seluruh utang debitur apabila debitur kelak, tidak mampu melaksanakan prestasinya terhadap kreditur163. Gadai syariah meskipun memiliki segi-segi persamaan dengan gadai konvensional, menurut analisis peneliti, keduanya tetap memiliki segisegi perbedaan secara mendasar, yang dapat diperincikan sebagai berikut: Pertama, perbedaan landasan ideologis yang melandasi hubungan perjanjian antara pemberi gadai dengan penerima gadai. Gadai konvensional meletakkan dasar penormaan antara pemberi gadai dengan penerima gadai yang tegak atas landasan ideologi hukum liberalisme. Alasan peneliti menyebut gadai konvensional di 161



Jasser Auda, Maqashid al-Syari’ah As Philosophy of Islamic Law A Systems Aproach, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, 2010, h. 20-21. 162 Ibid., h. 168-169. 163 Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 27.



88



Indonesia, tegak atas landasan penormaan berbasis liberalisme, sebab gadai konvensional diatur menurut ketentuan dalam BW yang merupakan warisan produk kolonial Belanda164. Berbeda dengan gadai syariah, yang meletakkan dasar penormaan antara murtahin dengan rahin pada landasan ideologi Islam. Yakni atas prinsip-prinsip syariah yang merupakan prinsip-prinsip berasal dari ketentuan wahyu yang diatur dalam al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 25/DSNMUI/ III/2002 tentang Rahn, pada bahagian konsideran menimbang secara tegas menetapkan bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang yang cara tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kedua, pada gadai konvensional secara normatif, dimungkinkan bagi pihak pegadaian untuk menarik tambahan bunga dari jumlah pokok pinjaman. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1158 BW. Pada gadai syariah, penetapan bunga oleh murtahin sebagai tambahan dari pokok pinjaman, sangat dilarang karena merupakan transaksi yang mengandung unsur riba. Begitu juga, Penetapan biaya pemeliharaan marhun, tidak boleh ditetapkan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman, Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 25/DSNMUI/ III/2002 tentang Rahn menetapkan “besar biaya pemeliharaan dan penyimpananMarhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Ketiga, gadai konvensional hanya membolehkan barang bergerak dan berwujud sebagai barang jaminan. Ketentuan ini, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1152 BW. Berbeda dengan gadai syariah, marhun sebagai jaminan tidak hanya barang bergerak tetapi juga dimungkinkan barang tidak bergerak. Para ulama dan fuqaha sepakat yang dapat dijadikan sebagai marhun, adalah barang berwujud yang memiliki nilai ekonomi serta dapat diperjualbelikan, kecuali pendapat mazhab Maliki yang tidak memperbolehkan jaminan pada jual beli mata uang (sharf) yang harus dilakukan secara tunai. Barang jaminan (marhun), menurut para fuqaha atau ulama, dapat berupa apa saja, yang penting memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1) Dapat Diperjualbelikan; 2) Bermanfaat; 3) Jelas; 4) Milik Rahin; 5) Bisa Diserahterimakan; 6) Tidak Bersatu Dengan Harta Lain; 7) Dikuasai Oleh Rahin; 8) Halal165.



164



Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, h. 19. 165 Syafe’i, Rahmat, Op. Cit., h. 22-23.



89



Perbedaan gadai konvensional dengan gadai syariah yang diuraikan peneliti tersebut, kesimpulannya bahwa gadai syariah dengan gadai konvensional dari segi kelembagaan landasan filosofisnya, akan tampak perbedaannya, yakni lembaga gadai syariah bertumpu pada transaksi keuangan yang semata-mata untuk kebajikan sosial dan tolong menolong dengan asas taawun sebagai landasan pokoknya. Berbeda dengan gadai konvensional yang membolehkan untuk menarik keuntungan finasial, karena Pasal 1158 BW menjadi dasar penormaan bagi kebolehan lembaga pegadaian sebagai kreditur untuk menarik bunga (interest) dari transaksi utang piutang yang dibangun dengan pihak nasabah sebagai pihak debitur. 3.5. Keberadaan Asas Hukum Sebagai Landasan Pokok Perjanjian Perspektif Syariah Pembahasan tentang signifikansi asas hukum dalam hukum Islam (syariah) sesungguhnya merupakan salah satu pilar untuk menjaga orisinalitas ruh Islam itu sendiri agar tidak keluar dari mainstream kewahyuan sebagai karakteristik Islam yang mencirikan sebagai agama samawi166. Berdasarkan penjelasan Abd Shomad, keberadaan asas hukum dalam hukum Islam pada dasarnya adalah untuk menjaga kebenaran Islam, yang menurut Abd Shomad, kebenaran tersebut ada yang berasal dari dalam diri manusia dan ada yang datang dari luar. Meskipun kebenaran ada yang berasal dari dalam diri manusia sebagai yang dijelaskan Abd Shomad, akan tetapi yang menjadi titik sentrum, manusia tidak boleh keluar dari mainstream Al-ruju ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah, yaitu prinsip tetap kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Landasan prinsip ini menurut Abd Shomad, dibangun atas dasar teori fitrah yang menyatakan bahwa fitrah adalah potensi inheren dalam diri manusia sejak ia dilahirkan. 3.6. Analisis Keterkaitan Asas-Asas Perjanjian yang Mendasari Karakteristik Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah dengan Asas Taawun sebagai Landasan Pokoknya Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, secara fundamental, tegak atas dasar bangunan asas taawun (tolong menolong) yang menjadi poros utamanya. Sehingga kajian tentang perjanjian utang piutang perspektif syariah, apapun pendekatannya, tidak boleh mengabaikan asas taawun sebagai alat analisisnya, namun meskipun demikian, pada sisi lain kita tidak boleh juga mengabaikan asas-asas akad lainnya yang menjadi pilar pelengkapnya, sebagaimana 166



TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, h. 73. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 45.



90



merujuk asas-asas akad dalam syariah yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam, pada paparan bagan berikut, peneliti mendeskripsikan rangkaian hubungan asas taawun dengan beberapa asas perjanjian syariah, yang termaktub dalam postur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah.



Berdasarkan bagan 8, akan tampak hubungan penormaan yang saling melengkapi antara asas taawun dengan asas-asas perjanjian syariah dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Asas taawun yang berposisi sebagai titik sentral yang menjadi penopang fundamental bagi tegaknya perjanjian utang piutang berbasis syariah, memang tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung oleh asas-asas perjanjian syariah lainnya. Pada konteks penempatan asas kebebasan berkontrak, para pihak dalam perjanjian yaitu muqridh dengan muqtaridh sebelum memasuki perjanjian, kedua belah pihak tidak



91



boleh menyatakan kehendaknya karena terpaksa tetapi harus lahir dari wujud kehendak bebas masing-masing pihak, namun kebebasan berkontrak dimaksud, tetap dalam batasan koridor yang tidak melanggar syariah. Bagi pegadaian syariah (muqridh) dan nasabah (muqtaridh) yang mengekspresikan kehendak bebasnya baik pada tahap pra perjanjian maupun tahap pembuatan perjanjian sampai kepada pelaksanaannya, adalah tetap berporos kepada asas taawun sebagai sebuah kesatuan yang terintegral yang tidak bisa dipisahkan. Asas taawun menjadi batasan koridor secara syariah dalam pengejawentahan asas kebebasan berkontrak di perjanjian utang piutang tersebut. Kehendak bebas muqridh sebagai pemberi pinjaman tentu saja didorong oleh motivasi tolong menolong kepada muqtaridh yang sangat membutuhkan modal pinjaman. Begitu pula bagi pihak muqtaridh, kebebasan untuk menggunakan modal pinjaman yang diberikan kepadanya juga seharusnya dalam batasan-batasan syariah. Artinya, pihak muqtaridh pada saat yang sama tidak dibenarkan menggunakan modal yang dipinjamnya itu secara bebas yang tidak didasarkan kepada syariah. Kebebasan berkontrak yang lahir sebagai kehendak tanpa paksaan untuk memasuki perjanjian dari muqridh maupun muqtaridh juga bersinggungan dengan asas sukarela yang dikenal dalam kajian asas-asas perjanjian syariah. Asas sukarela sebagaimana yang telah peneliti paparkan, merupakan refleksi kehendak para pihak (muqridh dan muqtaridh) yang mewujudkan konsensus antara keduanya. Konsensus tidak akan dapat terwujud tanpa didasari oleh kesukarelaan masing-masing pihak. Hubungan variabel antara asas sukarela dengan asas taawun dalam hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh, akan tampak dari wujud kesepakatan dari pihak muqridh karena dorongan untuk memberikan pertolongan kepada pihak muqtaridh yang memang sangat membutuhkan modal pinjaman. Asas itikad baik, selanjutnya, yang menjadi instrumen pelengkap tegaknya hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah bila dikaitkan dengan asas taawun, akan tampak dari niat jujur para pihak yang melangsungkan perjanjian tersebut. Kejujuran dan itikad baik ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Atas dasar itulah, asas taawun meniscayakan keharusan niat jujur dari masing-masing pihak yaitu muqridh dan muqtaridh. Kejujuran memang pada dasarnya lahir dari niat seseorang yang tidak bisa diukur “seberapa dalamnya”, ia hanya bisa diukur melalui perbuatan lahiriah dan ucapan manusia. Kejujuran muqridh adalah menolong muqtaridh yang sedang mengalami kesulitan finansial, sedangkan kejujuran muqtaridh adalah memegang amanah mengembalikan modal yang dipinjamnya itu.



92



Hubungan penormaan antara asas amanah yang menyangkut kepercayaan (trust) dengan asas itikad baik, secara mendasar, amanah dan itikad baik merupakan dua aspek yang juga tidak dapat dipisahkan. Itikad baik mendorong seseorang untuk bertindak amanah sebaliknya itikad buruk berimplikasi pada hilangnya kepercayaan seseorang. Kerangka penegakan asas taawun di lembaga pegadaian syariah, juga bersinggungan dengan asas amanah, yaitu pada sisi muqridh akan menjaga amanah barang agunan yang dititipkan kepadanya sebagai konsekuensi logis bahwa barang agunan sekedar jaminan yang diletakkan oleh pihak muqtaridh sehingga penjagaan amanah tersebut, tidak lain dalam kerangka koridor motivasi tolong menolong, sedangkan pada sisi muqtaridh, amanah juga penting guna menjaga kepercayaan pengembalian modal yang dipinjamnya sesuai kesepakatan. Asas amanah dan asas taawun saling terintegrasi dalam konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di lembaga pegadaian syariah. Asas taawun menjadi basis fundamentalnya yang menghendaki terwujudnya saling kepercayaan kedua pihak. Kepercayaan penting bagi muqridh untuk memastikan bahwa modalnya tetap berada dalam batas-batas yang peruntukannya tidak melanggar syariah sedangkan bagi muqtaridh merasa tetap aman dengan barang miliknya sebagai agunan yang untuk sementara waktu masih dalam penguasaan muqridh. Hubungan hukum antara muqridh dan muqtaridh di pegadaian syariah, memang semestinya tegak atas dasar asas kehati-hatian. Pada pembahasan sebelumnya, peneliti telah menjelaskan tentang signifikansi asas kehati-hatian dari sudut kepentingan muqridh dengan muqtaridh, yaitu pada tataran yang memungkinkan muqridh berhatihati menjaga barang agunan yang dimanahkan kepadanya, sedangkan dari segi muqtaridh, dituntut berhati-hati menggunakan modal yang dipinjamnya. Muqtaridh tidak hanya dituntut berhati-hati menggunakan modal yang dipinjam agar tetap berada dalam koridor syariah, namun juga dituntut memperhatikan pengelolaan manajemen modal (uang) yang dipinjamnya, sebab yang paling penting bagi muqtaridh adalah pengembalian modal pinjaman sesuai kesepakatan. Kehati-hatian muqridh untuk menjaga barang agunan milik muqtaridh yang berada dalam penguasaannya, merupakan salah satu wujud moral kebajikan yang atas dasar itulah muqridh pada galibnya tidak dibenarkan menarik manfaat dari barang agunan itu sendiri. Bagi pihak muqtaridh, kehati-hatian menggunakan modal yang dipinjam termasuk pengembaliannya secara tepat waktu juga merupakan wujud moral kebajikan. Nilai moral kebajikan yang terkandung dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah itu merupakan bagian integral wujud asas taawun. Untuk menjaga nilai-nilai moral



93



kebajikan sebagai spirit bagi tegaknya asas taawun maka asas kehatihatian sangat diperlukan terutama dalam kerangka membangun hubungan saling kepercayaan dari masing-masing pihak. Hubungan saling kepercayaan meniscayakan sikap amanah satu sama lain yang didorong oleh spirit moral kebajikan dengan tetap bertumpu kepada asas taawun sebagai basis utamanya. Asas taawun merupakan basis utama perjanjian utang piutang di pegadaian syariah namun tidak berarti menafikan asas saling menguntungkan antara muqridh dengan muqtaridh, namun keuntungan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah keuntungan berbasis spiritual-transendental, bukan dalam hitungan kalkulasi profit-oriented. Artinya, bagi pihak muqridh sendiri meskipun modal yang dipinjamkan tidak mendapatkan kelipatan nilai keuntungan profit menurut hitungan ekonomi kapitalisme, tetapi jaminan keuntungan pahala yang berlipat dari Allah SWT, sangat mungkin didapatkan oleh muqridh di hari kemudian. Suatu hari yang pada saat itu, nilai materi menurut ukuran dunia, seperti emas, perak, dan perdagangan, tidak berarti apa-apa disisi Allah SWT. Bahkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memberikan jaminan perlindungan di hari pengadilan (yaumil hisab) kepada pemberi hutang yang mau memutihkan hutangnya kepada pihak berhutang yang memang sama sekali tidak mampu melunaskan hutangnya. Konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh, telah dipahami secara fundamental, yaitu tidak dalam kerangka profitoriented, tetapi pada nilai-nilai kebajikan yang orientasinya adalah saling tolong menolong (taawun). Preposisi hubungan hukum demikian meniscayakan kedua pihak berada dalam posisi yang setara (taswiyah). Inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa muqridh dan muqtaridh tidak berada dalam posisi yang sub-ordinat dengan tetap mengedepankan saling menjaga amanah. Dimensi amanah pula yang menjadi karakteristik bangunan asas kesetaraan muqridh dengan muqtaridh. Kedua pihak membangun komunikasi kemitraan yang berlandaskan kesadaran transendental baik dari pihak muqridh, dari pihak muqtaridh maupun atau juga dari keduanya. Hubungan kemitraan itu tetap mengedepankan asas taawun sebagai poros utama perjanjian. Inilah yang peneliti maksudkan sebagai hubungan yang saling mengintegrasi antara asas taawun dengan asas kesetaraan (taswiyah). Penegakan asas kesetaraan dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, dengan asas taawun sebagai poros utama perjanjian, tentu saja berimplikasi saling memberikan informasi terbuka sebagai patokan akuntabilitas (pertanggungjawaban) pelaksanaan perjanjian. Para pihak tidak dibenarkan saling



94



memproteksi informasi yang dianggap sangat penting dalam kerangka hubungan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Informasi itu baik menyangkut kepribadian kontrak para pihak, rincian kejelasan pelaksanaan perjanjian, termasuk status dan kondisi barang agunan (al-Al-marhun). Kejelasan dan rincian informasi yang diberikan para pihak merupakan konsekuensi logis penegakan asas keterbukaan (transparansi), sebagaimana yang peneliti telah uraikan pada sub pembahasan sebelumnya. Ada hubungan yang sangat erat dan melengkapi antara asas taawun dengan asas keterbukaan, yang menurut peneliti hubungannya dapat dilihat dari sisi pertanggungjawaban pelaksanaan isi perjanjian. Terutama dari sisi muqtaridh yang tidak boleh lalai menjaga komitmen untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya itu serta menggunakan sesuai peruntukannya yang tidak melanggar syariah. Asas taawun sebagai poros utama perjanjian tersebut, akan semakin memperkuat keterusterangan pihak muqtaridh untuk jujur mengembalikan modal serta menggunakannya secara tepat menurut timbangan syariah. Pembahasan asas taawun juga terkait dengan asas kemampuan yang sangat diperlukan untuk menakar beban tanggung jawab masingmasing pihak dalam perjanjian, yaitu muqridh dan muqtaridh. Hubungan antara asas taawun dengan asas kemampuan, menjadi begitu penting ketika motivasi pemberian pinjaman modal oleh muqridh kepada muqtaridh didorong oleh moral kebajikan yang basisnya adalah tolong menolong sehingga muqridh seharusnya tidak boleh mengabaikan kemampuan finasial muqtaridh dari segi pengembalian modal serta batasan jumlah modal yang hendak dipinjam. Bingkai perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang secara fundamental tegak atas dasar asas taawun maka kemampuan finansial muqtaridh akan menjadi barometer yang pada praktiknya ditakar berdasarkan nilai harga barang yang dijadikan sebagai agunan (al-marhun). Pada sisi lain, mengingat transaksi utang piutang tidak didasarkan kepada profit oriented, maka seharusnya pula bagi pihak muqtaridh tidak boleh mengabaikan komitmennya sebagai pihak yang berhutang. Muqtaridh ketika memasuki perjanjian, ia telah menyatakan kehendak kepada muqridh sebagai pihak yang memiliki kemampuan untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya kelak dikemudian hari. Komitmen kemampuannya itu diwujudkan dalam bentuk jaminan barang agunan yang diserahkan penguasaannya kepada muqridh. Kelak apabila muqtaridh sesuai dengan waktu yang disepakati, ia tidak memiliki kemampuan finasial untuk mengembalikan modal yang dipinjam, maka dalam kondisi demikian, barang agunan yang dijadikan sebagai jaminan, dimungkinkan untuk dijual berdasarkan kesepakatan kedua pihak, yang hasil penjualannya dapat digunakan untuk melunasi jumlah uang yang dipinjam pihak



95



muqtaridh tersebut. Batasan harga yang dijadikan sebagai jumlah nilai untuk melunasi hutang muqtaridh, tentu seharusnya berdasarkan jumlah proporsi nilai hutang, dan apabila ada kelebihan harga dari hasil penjualan barang agunan, tidak boleh diambil seluruhnya pihak muqridh tetapi diserahkan kepada pihak muqtaridh yang menjadi haknya. Karakteristik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang mengedepankan moral kebajikan yang terwujud melalui taawun, secara mendasar menciptakan hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh tidak boleh atas dasar saling mencari keuntungan profit. Konteks hubungan hukum demikian, meniscayakan antara keduanya saling transparan dalam memberikan informasi terutama terkait kepribadian muqtaridh sebagai pihak yang memasuki perjanjian. Keterbukaan informasi para pihak itu, sangat berguna dalam konteks hubungan yang saling memberikan kemudahan satu sama lain. Pihak muqtaridh memberikan kemudahan kepada muqridh terkait dengan pengembalian modal yang dipinjam termasuk juga upaya muqridh untuk melakukan penjualan barang agunan (al-Almarhun) sebagai solusi untuk melunaskan hutang muqtaridh yang telah jatuh tempo yang pada saat bersamaan pihak muqtaridh benarbenar tidak cukup memiliki kemampuan finansial melakukan pelunasan. Pihak muqridh juga memberikan kemudahan kepada muqtaridh berupa keringanan yang bila dimungkinkan kesempatan untuk memperpanjang jatuh tempo pelunasan hutangnya. Saling memberikan kemudahan antara pihak muqridh dengan muqtaridh merupakan konsekuensi logis dari penegakan asas kemudahan (taisir). Penegakan asas kemudahan (taisir) dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah pada dasarnya berbanding lurus dengan penegakan asas taawun sebagai poros utama perjanjian. Saling memberikan kemudahan satu sama lain juga merupakan bagian integral perwujudan saling tolong menolong antara antara para pihak dalam perjanjian. Niat seseorang dalam suatu perjanjian jika dilatarbelakangi oleh motif tolong menolong, maka dapat dipastikan berbarengan dengan upaya untuk saling memberikan kemudahan satu sama lain yang tentunya bila dalam perspektif syariah, juga mestinya tidak boleh menafikan batasan norma dari Allah SWT sebagai pembuat hukum. Sejumlah asas pelengkap yang menjadi pilar kerangka bangunan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagaimana yang peneliti telah uraikan, tidak bisa dikatakan berdiri sendiri tetapi saling mengintegrasi satu sama lain dengan tetap bertumpu kepada asas taawun sebagai pijakan utamanya. Hubungan yang saling mengintegrasi antara asas yang satu dengan yang lainnya tetap dalam batas-batas koridor yang tidak melanggar syariah. Batasan yang tidak melanggar syariah tersebut yaitu pada apa yang dihalalkan atau



96



dibolehkan oleh Allah SWT. Atas dasar itu, urgensi asas sebab yang halal tetap menjadi prioritas utama kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh. Pada titik singgung yang sama, asas taawun hanya diperbolehkan tegak menurut batasan yang dihalalkan oleh Allah SWT. Syariah sudah menetapkan koridor tentang tolong menolong sesama muslim hanya atas dasar kebaikan. Syariah sangat melarang keras hubungan tolong menolong atas dasar bukan untuk kebaikan atau malah pada perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Firman Allah dalam al-Quran Surah Al-Maidah Ayat (2) bahwa: “… tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Ayat tersebut menjadi dalil normatif untuk dapat menjadi pijakan secara implisit tentang hubungan simetris antara asas taawun dengan asas sebab yang halal, pada konteks hubungan hukum perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah. Tolong menolong menjadi dasar fundamental kerangka hubungan hukum para pihak di pegadaian syariah tetapi aspek kehalalan objek perbuatan hukum menjadi sebuah kemutlakan yang tidak boleh dilanggar. Melalui pijakan asas sebab yang halal sebagai salah satu pilar penyangga perjanjian di pegadaian syariah maka para pihak dalam membangun kerangka hubungan hukum dalam klasula perjanjian utang piutang haruslah memuat tujuan perjanjian yang jelas melalui perhitungan yang cermat guna terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. Ketidakjelasan tujuan perjanjian dalam klausula yang disepakati oleh muqridh dan muqtaridh dapat berakibat perjanjian batal menurut syariah. Kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh dalam klausula perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada sub pembahasan sebelumnya, mengharuskan kejelasan tujuan serta objek perjanjian secara rinci. Maksud pemuatan tujuan serta objek perjanjian secara jelas dan terinci merupakan manifestasi dari penegakan asas luzum atau asas tidak berubah dalam perjanjian. Urgensi penegakan asas tidak berubah (luzum) dalam perjanjian utang piutang berbasis syariah, sangat berkaitan erat dengan penegakan asas taawun sebagai poros utamanya. Hubungan asas taawun dengan asas tidak berubah, bertitik tumpu kepada aspek moralitas berbasis kebajikan yang menjadi spirit dari motivasi keberlangsungan perjanjian. Pihak muqridh dengan muqtaridh mengekspresikan apa yang termuat dalam klausula perjanjian secara jelas dan konkrit sebagai sebuah tuntutan moral sekaligus juga merupakan tuntutan syariah. Asas taawun sangat bersinggungan dengan moralitas para pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Atas dasar inilah, para pihak seharusnya secara moral dapat menakar apa yang



97



menjadi tujuan sesungguhnya perjanjian utang piutang tersebut. Pihak muqridh seharusnya memahami makna perjanjian utang piutang semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada muqtaridh bukan didasari oleh tujuan untuk mencari kemanfaatan finansial. Bila muqridh menjalankan itikadnya berbasis aqidah Islam, maka manfaat yang diperolehnya adalah keuntungan ukhrawi, yaitu pahala dari Allah SWT. Begitu juga bagi pihak muqtaridh dituntut memiliki komitmen moral untuk menggunakan modal yang dipinjamnya untuk tujuan-tujuan jelas yang benarkan menurut koridor syariah, sedangkan barang agunan yang dijadikan sebagai objek perjanjian gadai, juga seharusnya jelas keberadaan kehalalannya baik dari segi zat maupun dari segi asal usul barang agunan itu diperoleh muqtaridh. Nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang meniscayakan asas luzum sebagai salah satu pilar penopangnya, sekali lagi menurut argumentasi peneliti, tetap sangat bersinggungan dengan asas taawun sebagai poros utama perjanjian. Maknanya bahwa asas luzum akan tetap menjaga konsistensi ciri khas perjanjian utang piutang berbasis syariah terutama yang dipraktikkan di lembaga pegadaian syariah yang mengedepankan asas tolong menolong sebagai poros utamanya. Bila perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dipreteli yang hanya untuk mendapat keuntungan finasial, menurut peneliti merupakan sebuah pelanggaran norma yang menyimpang dari asas luzum sebagai salah satu pilar penyangga perjanjian. Asas luzum menjadi penyangga untuk tetap mempertahankan karakter perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagai bentuk perjanjian yang basis utamanya tetap tegak atas dasar asas taawun. Salah satu hal mendasar penting yang juga menjadi pilar penyangga perjanjian utang piutang di pegadaian syariah adalah penegakan asas tertulis (al-Kitabah). Keberlangsungan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah memang dipersyaratkan syariah untuk diwujudkan secara tertulis, sebagaimana perintah Allah SWT dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat (282):… Dan hendaklah seorang di antara kamu menuliskannya dengan benar… Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, asas tertulis (al-kitabah) dapat menunjukkan hubungan dengan asas taawun, yakni pada wujud pendokumentasian perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh, sebagai alat bukti tertulis yang mengekspresikan hubungan hukum perjanjian antara keduanya yang seharusnya berlandaskan asas taawun. Artinya, dokumen tertulis dimaksud, dapat menjadi alat bukti yang mengejawentahkan hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh, yang benar-benar atas landasan tolong menolong untuk meraih kebajikan dan pahala di sisi Allah.



98



BAB IV PENORMAAN KLAUSULA BEBERAPA AKAD YANG TERINTEGRASI PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG DALAM KERANGKA TEGAKNYA ASAS TAAWUN DI PEGADAIAN SYARIAH 4.1. Argumentasi Hukum Yang Mendasari Gagasan Pembentukan Lembaga Pegadaian Syariah Di Indonesia Sejak Terbitnya PP Nomor 1 Tahun 1990 (Sebuah Tinjauan Sejarah Hukum) Sejarah terbentuknya lembaga pegadaian syariah di Indonesia, bermula dari keluarnya PP Nomor 10 Tanggal 1 April 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Salah satu muatan penting dari PP Nomor 10 Tahun 1990, yaitu yang termaktub dalam Pasal 5 Ayat 2 yang menetapkan, ketentuan sebagai berikut: Perusahaan bertujuan: a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai; b. Pencegahan praktik ijin pegadaian gelap, riba,dan pinjaman tak wajar lainnya. Ketentuan Pasal 5 Ayat 2 PP Nomor 10 Tahun 1990, tersebut mengisyaratkan status baru perusahaan gadai di Indonesia setelah berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum), yaitu pencegahan segala bentuk praktik gadai yang mengarah ke pungutan riba. Muatan isi PP Nomor 10 Tahun 1990, kendati secara keseluruhan, tidak menyebut secara tegas tentang legitimasi pembentukan Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, tetapi ketentuan Pasal 5 Ayat 2 PP Nomor 10 Tahun 1990, yang mengatur larangan praktik gadai dengan mekanisme pemungutan riba, maka isi ketentuan ini sesungguhnya sudah merupakan dasar legitimasi bagi peluang terbentuknya lembaga pegadaian berbasis syariah, sebab hanya lembaga pegadaian syariah yang merupakan satu-satunya lembaga yang dapat menjamin penerapan praktik gadai tanpa pemungutan riba, sedangkan praktik gadai konvensional bila ditilik dari sudut pandang pembentukannya secara historis di Indonesia, pada awal berdirinya, pada tahun 1901 berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 131Tanggal 12 Maret 1901yaitu berdirinya Rumah Gadai pertama yang terletak di Suka Bumi Jawa Barat, yang diatur dalam Staatsblaad Tahun 1901 Nomor 131, sebenarnya praktik gadai yang diciptakan Pemerintah Kolonial Belanda itu, secara argumentasi hukum, tidak terlepas dari praktik pungutan riba.



99



Dari sudut pandang historis pendirian lembaga pegadaian di Indonesia secara filosofis, baik pada masa Kolonialisme Belanda serta masa pendudukan militer Jepang, tetap sama yaitu melegitimasi pemungutan riba. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, lembaga pegadaian di Indonesia, diperkuat keberadaannya menjadi Perusahaan Negara (PN), yaitu sejak 1 Januari 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969. Perubahan status lembaga pegadaian di Indonesia sebagai Perusahaan Negara, meskipun demikian, tidak merubah karakteristik lembaga ini sebagai lembaga keuangan non-bank yang meniscayakan pemungutan bunga dari nasabah yang meminjam uang167. Pada perkembangan selanjutnya, saat PP Nomor 10 Tahun 1990 yang diperbaharui dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian, lembaga pegadaian dirubah akhirnya statusnya dari perusahaan negara menjadi Perusahaan Umum. Hal terpenting dari perubahan status lembaga pegadaian di Indonesia menjadi Perusahaan Umum, sebagaimana yang sudah disinggung peneliti, yaitu filosofi dasar Perum Pegadaian di Indonesia yang seharusnya memperhatikan segala praktik pegadaian yang tidak meniscayakan pemungutan riba. Ketentuan ini, juga semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian sebagai revisi dari PP Nomor 10 Tahun 1990. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000, menyatakan bahwa Maksud dan tujuan perusahaan adalah..menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya. Terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1990, telah menginspirasi para cendekiawan muslim di Indonesia untuk menggagas pendirian Lembaga Pegadaian Syariah. Gagasan pendirian Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, secara mendasar adalah berawal dari keinginan umat Islam di Indonesia, untuk menata kembali transaksi muamalahnya yang murni berbasis syariah sekaligus sebagai upaya menghindari transaksi-transaksi yang dapat menjerat ke jebakan riba168.



167



Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,



h. 84-85. 168



Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariahi, Cetakan I, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004, h. 188.



100



Desakan beberapa pihak di Indonesia untuk pendirian pegadaian syariah semakin menguat, yang pada akhirnya pada bulan Januari 2003, didirikanlah Lembaga Pegadaian Syariah pertama di Indonesia yang dinamakan Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di Jakarta. Menyusul kemudian terbentuknya beberapa cabang Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) di beberapa kota di Indonesia, seperti ULGS di Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta,dan Yogyakarta, yaitu pada Bulan September 2003. Pendirian beberapa ULGS di Indonesia semakin mendapat kekuatan setelah keluarnya Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (interest/fa’idah), pada tanggal 24 Januari 2004, yang dalam fatwa MUI tersebut, menetapkan kesimpulan hukum syara’ sebagai berikut: 1. Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. 2. Praktik pembungaan uang tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu. Eksistensi Lembaga Pegadaian Syariah Indonesia, semakin mendapat penguatan lagi, ketika Fatwa DSN MUI, diterbitkan sebagai dasar secara syariah bagi pendirian pegadaian berbasis syariah di Indonesia, yang antara lain: 1) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No : 25/DSNMUI/ III/2002, tentang Rahn; 2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 26/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn Emas; 3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 09/DSNMUI/ IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah; 4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah; 5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 43/DSNMUI/ VIII/2004, tentang Ganti Rugi. Pendirian Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, dengan mengacu kepada terbitnya Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga, tentu saja yang paling urgen yang hendak ditata dalam kerangka transaksi ekonomi dan keuangan bagi mayoritas muslim di Indonesia, adalah pencegahan dari praktik muamalah yang menjerat ke dalam jebakan ribawi. Praktik ribawi itu, antara lain terjadi dalam pelaksanaan transaksi utang piutang. Perjanjian gadai atau akad rahn itu sendiri merupakan turunan dari perjanjian utang piutang sebagai pilar utamanya. Pemaknaannya bahwa, akad rahn hanya merupakan



101



akad yang bersifat pelengkap yang melekat dari perjanjian utang piutang itu sendiri. Penerbitan beberapa Fatwa DSN MUI selanjutnya, sebagaimana yang sudah peneliti uraikan, misalnya tentang rahn, rahn emas, pembiayaan ijarah, dan wakalah, sebenarnya tidak lepas dari upaya untuk mencegah semakin merebaknya praktik transaksi keuangan yang menjerat para pihak ke transaksi yang mengandung unsur ribawi, sekaligus untuk menata kembali praktik perjanjian utang piutang sebagaimana yang berlangsung di beberapa lembaga pegadaian, yang sebahagian besar nasabahnya dari kalangan muslim sendiri, kepada nomenklatur perjanjian utang piutang yang murni berbasis syariah. Perjanjian utang piutang berbasis syariah, adalah model perjanjian yang tidak membolehkan adanya persyaratan memungut keuntungan atau meminta tambahan. Syariah menetapkan bahwa perjanjian utang piutang adalah perjanjian yang tegak atas prinsip tolong menolong atau atas dasar kebajikan sosial, sehingga ketika sebuah postur perjanjian utang piutang yang didalam klausulanya mensyaratkan pemungutan bunga (interest), maka tindakan itu dipandang sebagai sebuah pelanggaran menurut perspektif syariah, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran Surah Ali Imran Ayat 130, bahwa Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan Untuk memperkuat dasar argumentasi, ditinjau secara historis lahirnya Lembaga Pegadaian Syariah, maka dapat dicermati isi muatan Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, tanggal 26 Juni 2002. Muatan fatwa ini pada bagian konsideran menimbang sub c menyatakan: …bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsipprinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sesuai dengan jaminan utang… Muatan fatwa tersebut, sesungguhnya merupakan argumentasi yang menjadi dasar bagi kedudukan rahn (gadai syariah) sebagai bagian terpenting dari perjanjian utang piutang berbasis syariah. Legitimasi lembaga pegadaian di Indonesia terutama pegadaian syariah, semakin mendapat penguatan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum)



102



Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), yang pada Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah ini, menegaskan tentang tujuan pendirian pegadaian terutama yang berbasis syariah, untuk kepentingan membantu masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Sejak kehadiran Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada tahun 2011, melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 21 tentang OJK, yang lembaga ini didirikan untuk melakukan tugas dan fungsi pengawasan terhadap kegiatan lembaga jasa keuangan di Indonesia baik lembaga perbankan maupun non-perbankan, secara terpadu, independen, dan akuntabel, maka Lembaga OJK tersebut, melalui peraturan yang dikeluarkan yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, pada akhirnya kehadiran pegadaian syariah di Indonesia sampai saat ini, semakin diakui keberadaannya, sebagai salah satu lembaga jasa keuangan berbasis syariah yang bertujuan memajukan perekonomian masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang berada pada level ekenomi menengah kebawah. Apabila mencermati perkembangan historis regulasi pendirian pegadaian syariah di Indonesia, maka pemaknaan yang dapat disimpulkan, bahwa meskipun kehadiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2011 yang diperkuat lagi dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2016, sebagai dasar legitimasi bagi dimungkinkan hadirnya lembaga pegadaian syariah, yang pada akhirnya lembaga pegadaian syariah tersebut sampai saat ini tetap eksis di wilayah Indonesia, namun pokok terpenting adalah postur perjanjian utang piutang sebagai pilar utama perjanjian di lembaga pegadaian syariah tersebut, benar-benar berlangsung di atas landasan syariah yang menafikan pemungutan bunga (interest). Pegadaian syariah yang hadir di Indonesia, diharapkan menjadi pegadaian syariah yang tidak berjalan atas dasar motivasi komersil namun berjalan atas dasar motivasi tolongmenolong, yang berarti bahwa pilar utama perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah itu sendiri tegak atas dasar asas taawun. Urgensi asas taawun sebagai fondamen pokok perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah, pada hakikatnya, agar pegadaian syariah dapat mempertahankan eksistensinya sebagai satu-satunya lembaga keuangan syariah yang mengutamakan kebajikan sosial. Pada perkembangan nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, yang dipraktikkan, sejak berdirinya pada bulan Januari 2003 hingga sekarang (sampai penelitian ini dibuat), masih menggunakan beberapa bentuk postur perjanjian yang diintegrasikan satu sama lain, yang akad-akad tersebut, mencakup akad qardh, akad rahn, dan akad ijarah. Pada praktiknya, postur akad rahn dan akad



103



ijarah yang terintegrasi pada perjanjian utang piutang tersebut, belum mengalami perubahan format klausula kontrak (akad), sebagaimana yang peneliti akan uraikan pada bab selanjutnya. Semua akad yang terintegrasi pada perjanjian utang di pegadaian syariah tersebut, bagaimanapun juga, menyandarkan semua isi klausulanya yang mesti berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Prinsip syariah yang paling urgen menjadi basis utama semua akad yang terintegrasi di dalamnya, adalah prinsip syariah yang terwujud dalam suatu asas, yakni asas taawun. Hingga saat ini (pada saat penelitian ini dibuat), belum ada Undang-undang169 yang secara spesifik mengatur tentang legitimasi penuh keberadaan pegadaian syariah di Indonesia termasuk mekanisme akad yang berlangsung di dalamnya, namun demikian legitimasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2011 yang diperkuat lagi dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2016, paling tidak telah menjadi peluang dimasa datang bagi digodoknya produk undang-undang yang baru guna memperkuat legitimasi keberadaan Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, sedangkan keberadaan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, sebagai legitimasi syariah bagi pendirian Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, meskipun Fatwa DSN MUI ini, belum mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundangundangan negara kita sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, namun sesungguhnya, Fatwa DSN MUI secara dogmatik dapat dipandang sebagai sebuah doktrin hukum, yang dikeluarkan secara formal oleh para fuqaha (ahli hukum) di Indonesia (ulama) yang duduk di lembaga Majelis Ulama Indonesia, berkenaan dengan penggalian norma-norma hukum menurut sudut pandang syariah (hukum Islam), terhadap isu-isu hukum yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Berdasarkan uraian peneliti tentang perkembangan historis regulasi pendirian lembaga pegadaian syariah di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa ada keinginan kuat masyarakat muslim di Indonesia, untuk menata kembali hubungan transaksi keuangan satu sama lain, yang murni berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah, terutama dalam konteks kehadiran lembaga pegadaian syariah.



169



Maksudnya pada saat kajian penelitian ini dibuat, belum ada satupun regulasi setingkat undang-undang, yang mengatur secara khusus tentang Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia.



104



4.2. Penegakan Asas Taawun dalam Pelaksanaan Lelang Marhun Di Pegadaian Syariah Mata rantai hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh adalah utang piutang, sehingga pijakan hubungan hukumnya adalah tolong menolong dan kebajikan sosial. Disinilah urgensi asas taawun, sebagaimana penjelasan peneliti pada paparan sebelumnya, yang semestinya menjadi landasan pokok dari hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh. Artinya, asas taawun tetap menjadi poros hubungan hukum para pihak di pegadaian syariah. Penegakan asas taawun dalam pelaksanaan lelang marhun di pegadaian syariah, tampak secara jelas ketika sebelum pelaksanaan lelang, pihak murtahin seharusnya melakukan pendekatan secara persuasif, guna mencari solusi terbaik bagi pelunasan utang rahin. Pada saat penetapan harga jual marhun, juga melibatkan peran rahin untuk melakukan penaksiran harga jual marhun yang dianggap pantas dan layak. Ini penting dilakukan, untuk mempertegas keterbukaan (transparansi) harga jual marhun yang sesungguhnya harus diketahui kedua belah pihak. Selain itu, pertimbangan syariah lainnya dalam penjualan marhun juga mesti diperhatikan murtahin seperti tidak boleh ada unsur gharar (penipuan), maisir (untung-untungan), riba, dan bathil. Selain itu, penjualan marhun harus memperhatikan objek marhun dari segi aspek kehalalan barang yang sesuai standar syariah. Penegakan asas taawun dalam pelaksanaan lelang marhun di pegadaian syariah, tidak hanya tampak saat sebelum penjualan marhun tetapi juga saat purna jual, yakni kelebihan harga dari hasil penjualan marhun menjadi milik rahin sedangkan bila pada jangka waktu yang ditentukan yakni selama 1 (satu) tahun, kelebihan harga tidak diambil maka murtahin akan menyalurkannya ke lembaga Badan Amil, Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) atau Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Berbeda dengan pegadaian konvensional, sebagaimana hasil penelitian Siti Suhaina170kelebihan hasil penjualan barang gadai, apabila tidak diambil oleh nasabah selama 1 (satu) tahun sejak tanggal pelelangan, maka kelebihan harga tersebut menjadi milik perusahaan gadai. Perbedaan mendasar antara pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional, dalam memperlakukan kelebihan harga barang lelang jika tidak diambil nasabah sebagai pihak peminjam uang/modal (pihak berhutang), selama jangka waktu 1 (satu) tahun, sebagaimana paparan sebelumnya, menurut peneliti, disebabkan oleh perbedaan filosofis kedua lembaga tersebut. Lembaga pegadaian 170



Siti Suhaina, “Perbandingan Hukum Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional Pada PT Pegadaian Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum, Volume III, Nomor 2, Oktober 2016, h. 9



105



konvensional, tidak hanya untuk memberikan bantuan finansial kepada nasabah peminjam tetapi juga bertujuan menarik manfaat atau keuntungan finansial dari motif pemberian bantuan pinjaman finansial tersebut, sedangkan bagi pegadaian syariah, motif untuk memberikan bantuan pinjaman kepada nasabah memang murni atas landasan tolong menolong dan kebajikan sosial, yang tidak diperbolehkan bagi pegadaian syariah itu sendiri untuk mencari celah yang memungkinkan penarikan keuntungan finansial. 4.3. Penyelesaian Sengketa Antara Muqridh dengan Muqtaridh Berbasis Asas Taawun Perselisihan atau sengketa para dalam perjanjian kemungkinan bisa terjadi pada masa akan datang, dalam konteks perselisihan atau sengketa yang mungkin timbul antara muqridh dengan muqtaridh, ketentuan Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn telah memberikan instrumen yang dapat ditempuh para pihak dalam akad rahn apabila timbul sengketa, yakni melalui musyawarah sebagai langkah pertama, jika musyawarah tidak mencapai titik temu yang disepakati para pihak, langkah selanjutnya dapat ditempuh melalui Badan Arbitrase Syariah. Musyawarah dalam perspektif syariah, merupakan model penyelesaian sengketa, yang sangat dianjurkan. Beberapa dalil dalam nash al-Quran, antara lain menunjukkan urgensi musywarah yang seharusnya ditempuh kalangan muslim ketika sedang menyelesaikan perkara atau urusan di antara mereka, dinyatakan secara tegas dalam al-Quran Surah asy-Syura Ayat 38171: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka Begitu pula, pada firman Allah SWT yang lain, menegaskan tentang musyawarah sebagai karakter bagi setiap muslim, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran Surah Ali Imran Ayat 159172: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi 171



Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori&Praktik, Kencana Prenada Media Group, Depok, 2014, h. 64. Musyawarah merupakan karakter setiap muslim, sehingga pada pelaksanaan musyawarah, hendaknya lebih dikedepankan akhlak yang baik, berlaku lemah lembut dan tidak kasar. 172 Ibid.



106



berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Kutipan dua dalil dalam nash al-Quran tersebut, sekaligus menjadi dasar normatif bagi setiap muslim untuk mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan perkara atau urusan di antara mereka. Dasar pemikiran inilah yang menjadi rujukan terutama dalam konteks penyelesaian sengketa antara muqridh dan muqtaridh yang seharusnya mengedepankan lebih dahulu musyawarah. Karakteristik musyawarah, apabila merujuk al-Quran Surah Ali Imran Ayat 159, yakni berlaku lemah lembut serta mengedepankan adab-adab yang islami, maka pranata musyawarah sebagai titik tolak awal untuk menyelesaikan sengketa antara muqridh dan muqtaridh, menjadi sangat sesuai dengan kerangka hubungan hukum antara keduanya yang tegak atas landasan asas taawun, yakni hubungan hukum yang memang benar-benar tegak atas landasan tolong menolong serta untuk kebajikan sosial. Filosofi hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh, tegak atas landasan moral kebajikan dan ketakwaan yang semata-mata mengharapkan ridho Allah swt, bukanlah hubungan hukum yang tegak atas landasan kepentingan yang berorientasi profit (komersil). Tolong menolong atau taawun merupakan poros utamanya, karena hubungan transaksi keuangan antara keduanya adalah perjanjian utang piutang. Syariah sangat melarang keras memungut manfaat atau keuntungan komersil dalam hubungan perjanjian tersebut sebab merupakan celah yang dapat menjerumuskan keduanya ke jurang riba. Pihak muqridh maupun muqtaridh, melalui musyawarah, setidaknya mencari titik temu penyelesaian sengketa di antara keduanya yang bukan dalam kerangka untuk saling merugikan satu sama lain atau kepentingan pegadaian syariah mencari keuntungan kepada pihak nasabah selaku peminjam uang/modal dengan memanfaatkan kondisi nasabah yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan. Keberadaan musyawarah dalam konteks demikian, dapat memberikan jaminan penyelesaian sengketa para pihak di pegadaian syariah yang mengedepankan nilai-nilai kebajikan sosial, apabila nilai-nilai dalam musyawarah tetap bertumpu kepada nilai-nilai kesetiakawanan dan kepedulian sosial, sebagaimana yang



107



dijelaskan Taufiq asy-Syawi173 bahwa musyawarah perspektif syariah, bukan sekedar kesepakatan sepihak tetapi kesepakatan yang menjaga keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dengan mengedepankan nilai-nilai solidaritas. Apabila penyelesaian sengketa antara muqridh dengan muqtaridh tidak mencapai titik temu melalui musyawarah, maka langkah selanjutnya penyelesaian sengketa ditempuh melalui Badan Arbitrase Syariah, sebagaimana ditetapkan oleh Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn pada Ketentuan Penutup point 1: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah Penyelesaian sengketa syariah yang ditempuh melalui arbitrase syariah, sebagaimana antara lain yang diatur dalam Fatwa DSN MUI tersebut, adalah bentuk penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalur di luar proses pengadilan atau yang disebut jalur non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase syariah di Indonesia, hingga sekarang (ketika disertasi ini ditulis), dalam sistem hukum postip Indonesia, masih mengacu kepada UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, merumuskan tentang perjanjian arbitrase, sebagai berikut: Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa Ketentuan Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, selanjutnya, mengatur bahwa:



173



Tsallis Rifa’I, “Komunikasi Dalam Musyawarah (Tinjauan Konsep Asyura dalam Islam)”, Jurnal Channel, Volume 3, Nomor 1, April 2015, h. 39.



108



Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa Ketentuan tersebut, menjadi pijakan bagi para pihak yang sedang bersengketa perdata di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketanya itu melalui jalur di luar proses pengadilan, yakni dengan menggunakan mekanisme arbitrase. Maknanya, para pihak yang hendak menempuh penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase, terlebih dahulu menyatakannya dalam bentuk perjanjian secara tertulis. Pencantuman arbitrase secara tertulis, berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Ahmad Mujahidin174, terdiri dari 2 (dua) kategori: 1) Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitase tersebut menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang tersendiri diluar perjanjian pokok. Oleh karena itu, perjanjian tersebut dibuat sebelum terjadinya sengketa, maka diperlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perjanjian pokok untuk dapat mengantisipasi kemungkinankemungkinan yang tidak dikehendaki tetapi mungkin saja terjadi 2) Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (acta compromittendo/akta kompromis), sehingga klausul atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, merupakan payung hukum bagi penyelesaian sengketa non litigasi di Indonesia dengan menggunakan mekanisme arbitrase (saat disertasi ini ditulis). Untuk penyelesaian sengketa syariah dengan menggunakan arbitrase berbasis syariah, hingga sekarang (saat disertasi ini ditulis) di Indonesia, belum diatur berdasarkan undang-undang khusus untuk itu. Satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa syariah melalui arbitrase syariah adalah Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), 174



Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, h. 142.



109



yang isi keputusan ini, antara lain menyatakan bahwa “Mengubah Nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)”. Menurut hasil penelitian Muhammad Arifin175, bahwa arbitrase menurut perspektif syariah, secara etimologis dikenal dengan sebutan tahkim yang secara literal tahkim berarti mengangkat seorang wasit atau juru damai. Tahkim berasal dari Bahasa Arab yang diambil dari kata hakkama, yuhakkimu, tahkiman yang berarti menjadikan seseorang sebagai penengah dalam sengketa. Istilah tahkim berarti pengangkatan juru tengah atau wasit oleh para pihak yang bersengketa dengan tujuan mencari jalan damai. Adapun pengertian tahkim secara terminologis dalam perspektif syariah, menurut Muhammad Arifin, sebenarnya tidak berbeda dengan pengertian arbitrase yang dikenal saat ini, yakni sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menunjuk hakam (arbiter) sebagai penengah di antara para pihak yang bersengketa. Penunjukan tahkim (arbitrase syariah) didasarkan kepada kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa untuk mengangkat langsung hakam (arbiter) yang diberi kepercayaan dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka secara damai. Arbitrase bukanlah pengadilan resmi yang ditunjuk oleh negara melainkan ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa secara suka rela. Karakteristik arbitrase syariah menurut Muhammad Arifin176, sebagai berikut: Pertama, cara penyelesaian sengketa melalui hakam (arbiter) di luar hakim negara; Kedua, penunjukan hakam dilakukan secara sukarela atas persetujuan para pihak; Ketiga, para pihak sepakat untuk mentaati keputusan yang dikeluarkan hakam; Keempat, penyelesaian sengketa dilakukan menurut syariah; Kelima, tujuan penyelesaian sengketa dilakukan secara damai; dan keenam, putusan yang ditetapkan oleh hakam bersifat final dan mengikat. Prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah, adalah bertumpu pada prinsip yang mengutamakan perdamaian dengan berbasis win-win solution. Berpijak dari prinsip ini maka tentu saja penyelesaian sengketa antara muqridh dan muqtaridh di pegadaian syariah, senantiasa bertumpu kepada win-win solution yang berorientasi lebih mengedepankan prinsip perdamaian. Untuk itu, peran hakam sebagai wasit yang menyelesaian sengketa, juga tidak boleh melupakan asas taawun sebagai prinsip paling mendasar dalam putusan yang disepakati bersama. 175



Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah sebagai Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016, h. 231. 176 Ibid.



110



Prinsip perdamaian yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa antara muqridh dengan muqtaridh dengan menggunakan mekanisme arbitrase syariah, sesungguhnya sangat relevan dengan spirit perjanjian yang menjadi dasar pokok hubungan hukum antara keduanya, sehingga solusi yang ditempuh guna menyelesaikan sengketa di pegadaian syariah, bukanlah prinsip perdamaian yang hendak memberikan manfaat atau keuntungan dari salah satu pihak, tetapi menciptakan suatu keseimbangan yang meniscayakan sifat tolong menolong atau kebajikan sosial satu sama lain. Inilah peran penting dari hakam sebagai pihak yang menengahi sengketa antara muqridh dan muqtaridh. Pihak hakam di arbitrase syariah, mesti memahami betul filosofi dasar hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh yang tegak atas landasan asas taawun, sebab hubungan hukum antara keduanya adalah terikat kepada perjanjian utang piutang. Pihak hakam memiliki posisi kunci untuk senantiasa menetralisir problematika yang timbul dari sengketa antara muqtaridh dengan muqtaridh agar tidak memberikan celah keinginan untuk menarik manfaat atau keuntungan finansial, baik dari pihak muqtaridh maupun pihak muqridh. Kejelian serta kecermatan hakam untuk mendiagnosa sengketa antara muqridh dengan muqtaridh sangat diperlukan, guna menghasilkan putusan yang mengikat para pihak bersengketa, yang benar-benar didasarkan kepada prinsip dasar perjanjian pokok di pegadaian syariah, yakni tegak atas dasar asas taawun. Penyelesaian sengketa antara muqridh dengan muqtaridh melalui jalur non-litigasi, baik yang menggunakan mekanisme musyawarah maupun arbitrase, yang keduanya berbasis syariah, sekali lagi, tidak boleh mengabaikan asas taawun sebagai prinsip dasarnya. Seperti, pada musyawarah, yang menempatkan para pihak bersengketa sebagai pihak yang memiliki peran penting untuk menyepakati solusi yang menjadi keputusan bersama untuk ditaati, maka para pihak tersebut, seharusnya memahami betul bahwa hubungan hukum diantara mereka, terutama dari pihak pegadaian syariah (muqtaridh), bukanlah dilandasi oleh kepentingan finansial (profit oriented). Begitu juga, pada arbitrase syariah, posisi kunci berada dipihak hakam sebagai pemutus, maka pihak hakam ketika menjadi penengah, semestinya dapat menjalin titik temu solusi dari sengketa yang timbul dengan memperhatikan proporsi masing-masing pihak berdasarkan prinsip pokok perjanjian yang tegak atas landasan asas taawun. Musyawarah dan arbitrase, sebagaimana penjelasan sebelumnya, merupakan bentuk penyelesaian sengketa secara nonlitigasi yang dikenal dalam hukum positip di Indonesia. Para pihak yang bersengketa dalam perkara perdata di Indonesia, selain jalur nonlitigasi, untuk menyelesaikan perkara perdata di antara mereka, juga



111



dapat menempuh jalur pengadilan atau yang dikenal dengan jalur litigasi. Umat muslim di Indonesia, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, semakin membuka peluang untuk menyelesaikan perkara-perkara keperdataan bidang hukum keluarga, dengan berdasarkan syariah. Kemajuan yang telah dicapai umat muslim di Indonesia, yakni tatkala hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Progresivitas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, telah menjadi babak baru bagi penyelesaian sengketa perdata di antara umat muslim Indonesia, yang tidak hanya menjadikan pengadilan agama mengadili perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah, tetapi pengadilan agama telah mengalami perluasan kewenangan untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa: Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam dibidang…ekonomi syari’ah Ketentuan tersebut, menjadi dasar normatif bagi pengadilan agama di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah bagi masyarakat muslim di Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, selanjutnya telah mengalami perubahan kedua kalinya, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Legitimasi pembentukan pengadilan agama di Indonesia, bagaimanapun juga, adalah untuk memenuhi aspirasi keinginan umat Islam Indonesia dalam menyelesaikan perkara keperdataan (privat) yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah, sekaligus untuk menyatukan kekuasaan peradilan khusus bagi yang beragama Islam di Indonesia, yang masih terserak dalam berbagai regulasi peninggalan Kolonial Belanda dan rezim Orde Lama, seperti: (1). Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610); (2). Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639); (3). Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).



112



Ratio legis pembentukan undang-undang peradilan agama yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, lalu mengalami dua kali perubahan secara berturut-turut yakni perubahan pertama UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 lalu perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan hukum masyarakat muslim Indonesia serta menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dalam kerangka menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat muslim di Indonesia itu sendiri dalam perkara-perkara perdata tertentu berdasarkan prinsipprinsip syariah. Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan agama di Indonesia, menurut Amran Suadi177, yang tidak termasuk kategori acara gugatan sederhana, pemeriksaan perkaranya tetap merujuk kepada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu HIR dan RBG, kecuali yang secara khusus telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, terutama pada ketentuan Bab V sampai Bab IX. Artinya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016, bahwa untuk sengketa ekonomi syariah melalui gugatan sederhana, mekanisme penyelesaian sengketanya merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 2 Tahun 2015. Pada konteks penyelesaian sengketa di pegadaian syariah jika diselesaikan melalui jalur litigasi, yakni melalui proses pengadilan agama, tentu saja harus merujuk kepada prinsip-prinsip syariah yang terintegrasi dengan asas taawun sebagai prinsip utamanya. Artinya, hakim pengadilan agama yang mengadili perkara ekonomi syariah, antara muqridh dengan muqtaridh sebagai para pihak di pegadaian syariah, mesti memahami betul bahwa hubungan hukum antara keduanya adalah hubungan hukum yang didasarkan kepada perjanjian utang piutang, sehingga putusan hukum yang dikeluarkan tidak boleh menyimpang dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang benarbenar bersandarkan kepada nilai-nilai kebajikan dan nilai-nilai sosial. Berdasarkan hasil pencermatan peneliti, hingga saat ini (saat disertasi ditulis), belum ada satupun sengketa ekonomi syariah di Indonesia, yang terjadi antara muqtaridh dengan muqridh di pegadaian syariah, yang diselesaikan melalui pengadilan agama. Begitu juga, belum ada satupun temuan peneliti, penyelesaian sengketa di pegadaian syariah diselesaikan dengan prosedur nonlitigasi, yakni melalui mekanisme musyawarah ataupun arbitrase syariah. Selama ini, problematika kredit macet oleh pihak muqtaridh 177



Amran Suadi, Op.Cit., h. 125.



113



diselesaikan dengan pendekatan persuasif secara kekeluargaan oleh pihak muqridh, namun demikian, sengketa yang timbul antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, baik yang diselesaikan melalui prosedur non-litigasi maupun litigasi, pada prinsipnya, tidak boleh menyimpang dari asas taawun sebagai landasan pokoknya. 4.4. Perbandingan Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang Berbasis Gadai Syariah Di Beberapa Negara Asia Tenggara Pada uraian sub bab ini, peneliti menyajikan sekilas nomenklatur perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah yang dipraktikkan di beberapa negara tetangga Indonesia, tepatnya untuk yang ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam, yang kedua negara ini berpenduduk mayoritas muslim. Peneliti, selain itu juga, membandingkan dengan salah satu negara ASEAN yang berpenduduk minoritas muslim tetapi pemerintahannya masih mau berkompromi untuk menerima penerapan syariah Islam untuk bidang muamalah tertentu, guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat muslim minoritas tersebut. Negara yang peneliti maksudkan ini adalah Negara Thailand. 4.4.1. Perjanjian Utang Piutang di Lembaga Pegadaian Syariah Malaysia Untuk memperjelas deskripsi aktivitas transaksi di Pegadaian Syariah Malaysia, berikut peneliti menyajikan skema akad yang berlangsung di pegadaian syariah Malaysia:



114



Berdasarkan bagan dengan merujuk hasil penelitian Azila Abdul Razak178, maka perjanjian utang piutang merupakan akad utama yang menjadi pilar pengikat dari hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh. Dari perjanjian utang piutang ini, lalu dilekatkan perjanjian tambahan yang mencakup akad rahn atau perjanjian gadai dengan akad wadiah atau perjanjian penitipan barang gadai. Dengan demikian, keberlangsungan akad di Lembaga Pegadaian Syariah di Malaysia secara umum, mencakup empat konsep yaitu al Qardhul Hassan (perjanjian utang piutang tanpa pemungutan bunga), Al-Wadiah Yad Dhammah (perjanjian penitipan barang gadai milik nasabah), al-Ujrah (biaya penitipan), dan ar-Rahn (perjanjian gadai)179. Apabila mencermati nomenklatur perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah Malaysia lalu kita bandingkan dengan nomenklatur perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah Indonesia, memang secara mendasar memiliki kesamaan, yaitu meletakkan perjanjian utang piutang yang tidak meniscayakan pemungutan bunga kepada para nasabah, karena spirit syariah Islam yang memang sangat dikedepankan yaitu larangan pemungutan riba. Spirit filosofis yang hendak dikedepankan pada dasarnya juga sama berkenaan dengan keberadaan lembaga gadai syariah di kedua negara tersebut, yaitu sebagai salah satu lembaga keuangan yang hendak memperjuangkan nilai-nilai kebajikan sosial serta nilai tolong menolong sebagaimana yang menjadi perintah dari syariah, namun ada hal yang membedakan nomenklatur perjanjian utang piutang yang berlangsung di Pegadaian Syariah Indonesia dan Pegadaian Syariah Malaysia. Perbedaannya dengan lembaga pegadaian syariah di Indonesia, yakni objek barang gadai. Pegadaian syariah di Indonesia masih menerima barang jaminan selain emas sebagai gadai untuk pelunasan utang, seperti perak, berlian, kain, dan barang elektronik, sedangkan pegadaian syariah di Malaysia, hanya menerima emas sebagai gadai, baik emas itu masih dalam bentuk batangan, kepingan, biji-bijian, maupun dalam bentuk perhiasan.



178



Azila Abdul Razak, “Economic and Religious of The Islamic and Conventional Pawnbroking in Malaysia: Behavioural and Perception Analysis”, Thesis Submitted In Fullfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy at The School of Government and International Affairs Institute of Middle Eastern and Islamic Studies, Durham University, United Kingdom, h. 65 179 M. S. Skully, “Islamic Pawnbroking: The Malaysian Experience”, Makalah yang dipresentasikan pada the 3nd International Islamic Banking and Finance Conference, 2005.



115



Menurut Azila Abdul Razak180, hanya emas yang diperbolehkan sebagai barang gadai (al-marhun) pada praktik rahn di Lembaga Pegadaian Syariah Malaysia, alasannya, emas memiliki nilai jual sangat tinggi, lagi pula emas memiliki daya tahan tinggi serta tidak mudah susut apabila diletakkan pada tempat penyimpanan tertentu. Alasan lainnya, emas merupakan barang yang apabila disimpan pada tempat tertentu, tidak memerlukan tempat penyimpanan yang begitu luas. Ia cukup disimpan pada tempat berupa kotak kecil atau disimpan pada tempat-tempat tertentu seperti cukup dimasukkan kedalam amplop atau kantong plastik. Perbedaan lain, yaitu berkenaan dengan sewa penitipan barang gadai milik nasabah. Pegadaian syariah di Indonesia menggunakan skema akad ijarah sedangkan pegadaian syariah di Malaysia menggunakan skema akad wadiah. Menurut peneliti, dari segi fakta keberlangsungan akad ijarah dan akad wadiah tersebut, pada hakikatnya sama yaitu penyimpanan barang gadai yang dijadikan gadai kepada pihak pegadaian syariah. Namun sebetulnya, istilah yang tepat digunakan untuk akad penyimpanan barang adalah akad wadiah dibandingkan menggunakan istilah akad ijarah, sebab barang gadai (al-marhun) yang disimpan oleh pihak pegadaian syariah memang bersifat penitipan, sehingga uang jasa (ujrah) yang diterima pegadaian syariah adalah uang jasa penitipan barang. Berbeda konteksnya bila menggunakan akad ijarah, yang apabila kita merujuk kepada fatwa DSN MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, menjelaskan bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa. Merujuk fatwa tersebut, maka objek ijarah semestinya barang atau jasa yang dapat dinikmati secara langsung yang bersifat konsumtif ataupun untuk kepentingan komersial lainnya. Apalagi bila kita merujuk pendapat sebahagian besar ulama, misalnya pendapat dari Mazhab Malikiyah, mengkategorikan akad wadiah sebagai salah satu jenis akad wakalah (pemberian kuasa) kepada pihak lain yang khusus untuk menjaga harta benda dan bukan untuk bentuk tasharuff lainnya, sehingga menurut pendapat Mazhab Malikiyah, pemindahan hak milik kepada orang lain melalui transaksi seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, dan lain-lain, tidak termasuk wadiah. Adapun berkenaan dengan pemungutan biaya jasa penitipan (ujrah), patokan yang digunakan oleh lembaga pegadaian syariah di Indonesia dan Malaysia, yaitu sama yang didasarkan nilai barang gadai. Perbedaannya, pegadaian syariah di Malaysia, mensyaratkan barang gadai (al-marhun) harus emas, sehingga penaksiran barang gadai di Malaysia adalah didasarkan kepada kadar emas saja. Harga taksiran emas di pegadaian syariah Malaysia, juga ditetapkan berdasarkan 180



Azila Abdul Razak, Op. Cit., h. 5.



116



harga pasaran setempat. Bila kadar emas tinggi serta nilai jualnya tinggi menurut harga pasaran setempat, maka dapat dipastikan pungutan ujrah juga tinggi181. 4.4.2. Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang Berbasis Gadai Syariah yang Dipraktikkan oleh Bank Islam Brunei Darussalam Nomenklatur perjanjian utang piutang pada skim ar rahnu (ar rahn) yang diselenggarakan oleh BIBD Brunei Darussalam mirip dengan nomenklatur perjanjian utang piutang yang dipraktikkan oleh Lembaga Pegadaian Syariah di Malaysia, yakni skema perjanjian utang piutang sebagai pilar utama akad yang dilekatkan kepadanya dua akad, yakni akad rahn dan akad wadiah. Peneliti secara ringkas menguraikan bahwa praktik perjanjian utang piutang berbasis ar rahn yang berlangsung di BIBD mencakupi empat komponen yaitu qard hassan, Wadiah Yad Damana, Rahn, dan ujrah. Tentu saja praktik pemberian pinjaman modal oleh BIBD, tidak memungut bunga. Untuk jelasnya, berikut peneliti menyajikan skema akad perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan di BBID Brunei Darussalam182:



181



Azila Abdul Razak, Loc. Cit. Y Matahatir, “Membangun Golongan Berpendapatan Rendah Menerusi Pajak Gadai Islam-Model Mikro Kredit Serantau”, Paper yang dipresentasikan pada Konvensyen Ar-Rahnu Serantau 2002, yang diselenggarakan oleh The Regional Ar-RahnuSecretariat pada 26-31ktober 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. 182



117



Apabila mencermati nomenklatur perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan di Brunei Darussalam tersebut, maka tampak ada persamaan dengan nomenklatur perjanjian utang piutang yang dipratekkan di lembaga gadai syariah di Malaysia. Hanya yang membedakan menurut Kentaro Kembara183 yaitu dari segi objek barang gadai (al-marhun). Lembaga Pegadaian Syariah di Malaysia hanya menerima emas sebagai barang gadai tidak selain itu, sedangkan BIBD yang mempresentasikan sebagai lembaga yang juga menjalankan gadai syariah di Brunei Darussalam, selain emas yang dapat dijadikan sebagai barang gadai juga barang gadai lain seperti perak, berlian, permata, dan batu-batu berharga lainnya. Dari uraian peneliti tentang nomenklatur perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan oleh BIBD Brunei Darussalam, secara ringkas, bahwa hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh terikat oleh tiga hubungan hukum, yaitu hubungan hukum utang piutang sebagai pilar utamanya, dan dua lainnya merupakan hubungan hukum bersifat pelengkap (assesoir), yaitu pertama hubungan hukum yang memperjanjikan gadai atas barang jaminan milik muqtaridh, dan yang kedua adalah hubungan hukum yang memperjanjikan penitipan atas barang milik muqtaridh yang dijaminkan itu. Perbandingan praktik akad yang berlangsung di pegadaian syariah di Indonesia dengan di Brunei Darussalam, ada persamaan. Perbedaannya, di pegadaian syariah Indonesia, untuk penitipan barang gadai menggunakan format akad ijarah atau akad sewa menyewa, sedangkan BIBD Burunei Darussalam menggunakan format akad wadiah. Juga tampak ada persamaan praktik akad untuk penitipan barang gadai (al-marhun), antara BIBD Brunei Darusslam dengan yang berlangsung di lembaga gadai syariah Malaysia, yakni samasama menggunakan format akad wadiah untuk akad penitipan barang gadai milik nasabah tersebut. 4.4.3. Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang berbasis Gadai Syariah di Thailand Nomenklatur perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah di Thailand, dengan mengambil studi pada Koperasi Islam Patani Ibnu Affan, pada faktanya mendeskripsikan hubungan hukum yang sifatnya perjanjian utang piutang (qardh al-Hasan). Postur utamanya adalah hubungan timbal balik yang menimbulkan hak dan kewajiban antara 183



Kentaro Kambara, “Economics of Rahn (Islamic Pawnbroking): Issues and Cases In Brunei Darussalam, dimuat dalam The Proceedings of The 5th International Sympoium on Islam, Civilization, and Science (Islam As A Basis For Civilizational Thought and Development, diadakan di Kyoto Universiy, Jepang, 31 Mei- 1 Juni 2014, h. 169-178.



118



Koperasi Islam Patani Ibnu Affan sebagai pemberi pinjaman (kreditur) dengan nasabah (debitur) sebagai penerima pinjaman. Penekanan konteks hubungan hukumnya adalah menimbulkan akibat hukum yang memposisikan nasabah sebagai debitur yang dengan demikian memiliki kewajiban untuk melunasi uang yang dipinjamnya tersebut. Konsekuensi logis dari kewajiban nasabah selaku debitur terhadap Koperasi Islam Patani Ibnu Affan, yakni melunasi seluruh pinjamannya apabila telah jatuh tempo, maka untuk kepentingan tersebut, dilekatkanlah akad tambahan yaitu akad rahn untuk menjamin kepastian kewajiban nasabah sekaligus pengikat kepercayaan atas janji pelunasan pinjaman uang oleh nasabah. Bagi nasabah sendiri, tentu menghendaki jaminan keamanan atas barang miliknya yang dijadikan sebagai gadai (jaminan) sehingga perlu ada ikatan perjanjian untuk kepentingan tersebut, yaitu dibentuknya akad wadiah yang memuat klausula tentang kewajiban Koperasi Islam Patani Ibnu Affan untuk menjaga, memelihara, serta merawat barang milik nasabah yang dititipkan kepadanya sebagai barang gadai (almarhun). Berikut ini peneliti menyajikan bagan yang mendeskripsikan hubungan hukum antara Koperasi Islam Patani Ibnu Affan dengan nasabah:



119



Berdasarkan bagan yang peneliti paparkan, tampak bahwa nomenklatur perjanjian utang piutang di Koperasi Islam Patani Ibnu Affan184 persis mengadopsi nomenklatur perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang diterapkan oleh Negara Malaysia. Ini juga membedakan dengan nomenklatur ar rahn yang diterapkan di Indonesia yaitu dari segi akad penitipan barang gadai. Pegadaian syariah di Indonesia menggunakan akad ijarah atau sewa menyewa yang berkenaan dengan penitipan barang gadai milik nasabah sedangkan Koperasi Islam Patani Ibnu Affan menggunakan akad wadiah berkenaan dengan penitipan barang gadai milik nasabah. Meskipun dari segi penitipan barang milik muqtaridh terdapat perbedaan nomenklatur perjanjian, tetapi dari segi postur utama tegaknya perjanjian gadai, baik di yang berlangsung di Koperasi Islam Patani Ibnu Affan maupun di pegadaian syariah Indonesia, adalah sama-sama menjadikan perjanjian utang piutang sebagai pilar utama hubungan hukum antara para pihak antara muqridh dengan muqtaridh. 4.4.4. Kontribusi Penting Bagi Rekonstruksi Penormaan Akad Ijarah Sebagai Bagian Integral Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah Indonesia dengan Model Percontohan Penormaan Akad Wadiah Di Lembaga Pegadaian Syariah Beberapa Negara Tetangga Perbandingan nomenklatur perjanjian utang piutang dengan segala derivasinya yang dipraktikkan lembaga pegadaian syariah negara-negara tetangga, maka peneliti berpendapat bahwa akad ijarah yang dijadikan sebagai dasar akad penitipan barang gadai (al-marhun) pada pegadaian syariah di Indonesia, sebaiknya direkonstruksi menjadi akad wadiah sebagaimana yang dipraktikkan lembaga pegadaian syariah negara-negara tetangga. Peneliti sependapat untuk menggunakan model akad wadiah untuk penitipan barang barang gadai (al-marhun), sebab akad wadiah lebih mensifatkan kepada mempertahankan nilai-nilai amanah yang mengandung aspek tolong menolong, sebagaimana yang menjadi karakteristik utama perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas landasan asas taawun. Penggunaan akad ijarah untuk perjanjian penitipan barang gadai (al-marhun) sebagaimana yang dipraktikkan di pegadaian syariah di Indonesia, sesungguhnya menurut pendapat peneliti, kurang 184



Mustafa Dakian, Sistem Kewangan Islam (Instrumen, Mekanisme, dan Pelaksanaannya di Malaysia, Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Terbitan Pertama, 2005, h.109-110. Juga termuat dalam Miss Ni-Asuenah Che-awae, “Strategi Pemasaran Tabungan Haji Di Koperasi Ibn Affan Wilayah Patani Thailand Selatan, Skripsi, Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, h. 37-40.



120



tepat, sebab penormaan akad ijarah sangat menitikberatkan kepada perolehan manfaat yang hendak diperoleh dari barang gadai (almarhun) yang dititipkan. Ada motivasi profit yang terkandung didalamnya sehingga secara filosofis sangat menyimpang dengan karakteristik dasar perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas landasan asas taawun, asas tolong menolong, yang tentu saja tidak memperbolehkan motivasi untuk menarik keuntungan, manfaat, atau profit. Atas dasar itu, maka nomenklatur perjanjian utang piutang di Pegadaian Syariah Indonesia, seyogyanya merekonstruksi ulang akad ijarah menjadi akad wadiah, sebagai upaya menjaga spirit perjanjian utang piutang di pegadaian syariah tersebut, yang benar-benar tegak diatas landasan asas taawun. Menurut peneliti, mengembalikan spirit Pegadaian Syariah Indonesia atas dasar kebajikan, bernilai sosial, dan tolong menolong, adalah sangat penting. Model percontohan nomenklatur perjanjian utang piutang dengan ikutan segala akadnya di lembaga pegadaian syariah beberapa negara tetangga, dapat menjadi rujukan yang bermanfaat bagi perbaikan kerangka bangun sistem syariah dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, guna menjaga kemurnian nilai-nilai syariah yang tidak menyimpang dari al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. 4.5. Penormaan Klausula Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah dengan Mengkaitkan Asas Taawun sebagai Landasan Pokok Perjanjian Pada bahagian berikut peneliti melakukan analisis terutama terhadap semua turunan akad-akad yang dilekatkan pada perjanjian utang piutang seperti yang terdeskripsi pada Lembaga Pegadaian Syariah. Peneliti melakukan pencermatan terhadap sejumlah klausula yang terdapat pada akad rahn maupun akad ijarah seperti yang dipraktikkan pada umumnya di Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia. Pencermatan peneliti adalah terkonsentrasi pada segi-segi klausula akad baik yang terdapat pada akad rahn maupun akad ijarah, yang dari segi penormaannya tampak masih menimbulkan persoalan bila dikaitkan dengan fondamen asas taawun yang menjadi tegaknya pilar utama perjanjian di pegadaian syariah yaitu perjanjian utang piutang. 4.5.1. Penormaan Klausula dalam Akad Rahn Di Pegadaian Syariah Berdasarkan pencermatan peneliti terhadap akad rahn yang berlangsung sebagai sebuah fakta hukum di beberapa Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, memang semestinya terdapat klausula tertentu untuk direkonstruksi, guna mengembalikan spirit dari perjanjian utang piutang di pegadaian syariah itu sendiri yang tetap tegak atas landasan asas taawun. Pada akad rahn yang ditandatangani



121



oleh muqtaridh dan muqridh di pegadaian syariah, terdapat klausula yang menetapkan bahwa “…Atas transaksi RAHN tersebut diatas, MUQTARIDH dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku...”. Penempatan kalimat “biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, kemudian memberi legitimasi bagi pihak pegadaian syariah (muqridh), untuk menentukan sendiri ketentuan biaya administrasi yang harus ditanggung oleh pihak nasabah (muqtaridh). Muatan klausula ini, apabila dicermati tampak sebagai ketentuan normatif yang sifatnya wajib ditanggung oleh nasabah (muqtaridh). Klausula ini bersifat eksonaratif yang berarti bersifat baku bagi pihak nasabah (muqtaridh) sehingga tidak ada pilihan bagi muqtaridh apakah dia mau menerima atau menolak beban biaya administrasi yang ditanggung. Pada faktanya, pihak pegadaian syariah dalam menentukan biaya administrasi yang harus ditanggung oleh nasabah (muqtaridh), tidaklah konstan tetapi sangat bervariasi tergantung dari besaran jumlah pinjaman modal. Pihak pegadaian syariah menentukan klasifikasi biaya administrasi dengan patokan berdasarkan tabulasi penggolongan jumlah pinjaman modal, yang dibuat pegadaian syariah itu sendiri (lihat tabel 3 Penggolongan Pinjaman dan Biaya Administrasi). Dasar penentuan biaya administrasi yang mengikuti besaran pinjaman modal yang dimohonkan oleh pihak nasabah (muqtaridh)185. Pada dasarnya, biaya administrasi yang ditetapkan oleh pegadaian syariah, adalah untuk kepentingan pembayaran biaya riil, seperti biaya foto copy, upah kerja petugas, dan untuk biaya-biaya perlengkapan lainnya, seperti untuk pembelian kertas, materai, dan lain-lain. Kendatipun biaya administrasi ini tidak dirincikan kepada nasabah (muqtaridh), tetapi biaya administrasi tersebut, ditetapkan berdasarkan penggolongan besaran jumlah pinjaman, yang penggolongannya ditabulasi oleh pihak pegadaian syariah sendiri. Itupun dasar penggolongannya berdasarkan aturan atau ketentuan yang dibuat sendiri pihak pegadaian syariah bukan berdasar kepada tawar menawar dengan pihak nasabah (muqtaridh). Penentuan penggolongan biaya administrasi berdasarkan jumlah pinjaman tersebut, juga sesuatu yang harus diterima pihak nasabah sebagai sesuatu yang sudah baku. Penentuan biaya administrasi yang fluktuatif serta tidak konstan, yang mengikuti standar besaran pinjaman yang ditetapkan 185



Adilla Sarah Erangga,”Operasional Gadai Dengan Sistem Syariah PT Pegadaian Surabaya”, dalam Jurnal Akuntansi Unesa, Volume 2 Nomor 1 tahun 2013, h. 1-22. Lihat juga Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta,Bandung, 2011, h. 163.



122



pegadaian syariah, menurut peneliti, secara mendasar menimbulkan problematika yuridis dalam konteks jika itu dikaitkan dengan asas taawun sebagai dasar utama tegaknya perjanjian utang piutang. Terkesan pihak pegadaian syariah mencari celah untuk menarik manfaat dari pinjaman yang diberikannya kepada nasabah (muqtaridh) dengan berkedok biaya administrasi. Klausula dalam akad rahn yang menyebut kalimat “…biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku...”, seharusnya direkonstruksi agar norma-norma perjanjian yang berlaku sebagai hubungan hukum perikatan yang mengikat antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, tetap menjaga spirit perjanjian yang berlandaskan kepada asas taawun. Artinya, untuk menjaga kemurnian perjanjian tetap pada batas-batas tabarru’ yaitu atas dasar tolong menolong yang dilandasi oleh kebajikan sosial. Beban biaya administrasi yang ditetapkan pihak pegadaian syariah itu, patokan dasarnya adalah mengacu kepada jumlah pinjaman nasabah, yang sudah ditabulasikan berdasarkan penggolongan tertentu. Ketentuan ini sebagai klausula baku yang ditetapkan sendiri oleh muqridh dalam akad rahn, tentu saja berpeluang menjebak para pihak ke perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai memungut riba. Argumentasi peneliti adalah biaya administrasi merupakan biaya-biaya yang sifatnya konstan dari segi pengeluaran yang tidak bisa kita kaitkan dengan besaran jumlah pinjaman. Untuk memperkuat argumentasi tersebut, peneliti memberikan deskripsi sebagai berikut, misalnya nasabah meminjam uang ke pegadaian syariah sebesar Rp 250.000,maka menurut ketentuan pegadaian syariah, nasabah dikenakan biaya adminsitrasi sebesar Rp. 2.000, sedangkan jika nasabah meminjam sebesar Rp. 550.000, ia akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 8.000, demikian seterusnya. Artinya, semakin besar jumlah pinjaman maka semakin besar pula biaya administrasi yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Penentuan biaya administrasi dengan patokan berdasarkan jumlah pinjaman tentunya merupakan hal yang tidak logis bila dikaitkan dengan biaya riil yang dikeluarkan. Konteks biaya riil dengan besaran jumlah pinjaman merupakan dua hal berbeda yang tidak bisa dikaitkan satu sama lain. Biaya riil sebagaimana yang peneliti uraikan sebelumnya, mencakup biaya foto copy, biaya materai, dan upah petugas. Biaya riil tersebut bila dilakukan kalkulasi berdasarkan perhitungan upah petugas serta untuk keperluan ATK, sebenarnya tidak terkait langsung dengan besaran jumlah pinjaman. Artinya, biaya riil seharusnya bersifat konstan (tetap) untuk setiap pinjaman berapapun besarannya.



123



Biaya administrasi yang dibebankan untuk jumlah pinjaman Rp. 50.000 dengan biaya pinjaman yang maksimal diatas Rp. 20 juta, semestinya sama tidak bisa diukur dengan standar perkiraan yang berbeda, karena curahan tenaga yang dikeluarkan termasuk ongkos pengeluaran lainnya seperti biaya foto copy adalah relatif sama. Tidak ada perbedaan beban biaya riil antara nasabah yang meminjam modal Rp. 50.000 dengan yang meminjam maksimal diatas Rp. 20 juta. Penetapan biaya administrasi tersebut, sebagaimana mekanisme yang dijalankan di pegadaian syariah, dapat berindikasi sebagai tambahan yang dipungut oleh pegadaian syariah dengan menggunakan celah biaya administrasi. Biaya tambahan yang dipungut dengan berdasarkan pada jumlah pinjaman, menurut perspektif hukum Islam (syariah), dapat dikategorikan sebagai riba. Begitu juga, penetapan biaya administrasi oleh pihak pegadaian syariah, sangat berpeluang menyimpang dari asas taawun sebagai fondamen dasar perjanjian, sebab asas taawun sebagaimana penjelasan peneliti sebelumnya, adalah untuk menegaskan kembali hakikat perjanjian di pegadaian syariah dengan semua derivasinya yang seharusnya tegak atas dasar tolong-menolong atau kebajikan sosial, sehingga sangat tidak diperbolehkan nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah berikut akad rahn yang melekat pada perjanjian tersebut, mencari celah untuk memungut keuntungan dengan dalih apapun juga. Berpijak dari argumentasi tersebut, maka klausula akad rahn di pegadaian syariah yang menempatkan persyaratan biaya administrasi dengan berpatokan pada penggolongan jumlah pinjaman, perlu untuk direkonstruksi kembali untuk disesuaikan dengan hakikat sebenarnya hubungan hukum antara muqtaridh dengan muqridh yang memang semata-mata atas dasar tolong menolong (asas taawun). Penetapan biaya administrasi pada akad rahn di pegadaian syariah, seyogyanya ditetapkan dengan standar yang layak dan patut yang memang sesuai dengan kepentingan administratif. Ini dimaksudkan agar klausula akad yang menetapkan beban biaya yang ditanggung, memang secara proporsional bersesuaian dengan asas taawun yang menjadi spirit utama perjanjian. Disinilah perlunya pihak pegadaian syariah membuat standar penetapan biaya administrasi dengan berdasarkan kepada perhitungan yang benar-benar riil dikeluarkan, yang perinciannya diketahui secara transparan oleh pihak muqtaridh, misalnya rincian biaya photo copy dokumen, biaya materai, dan standar upah petugas di pegadaian syariah. Untuk itu, kalimat pada dokumen akad rahn di pegadaian syariah yang menyebut “…biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku…”, bila dicermati penggunaan kalimat ini semestinya konsisten dengan biaya-biaya riil yang memang



124



dikeluarkan bukan dengan merujuk kepada besaran jumlah pinjaman yang diklasifikasi secara tabel oleh pihak pegadaian syariah. Perhitungan biaya administrasi antara yang meminjam Rp. 100.000 dengan Rp. 1.000.000, secara riil tidak ada perbedaan yang signifikan. Alasannya, kebutuhan pengeluaran, misalnya biaya photo copy, beli materai, atau untuk ongkos kerja petugas adalah sama, yang peneliti maksudkan, bahwa curahan tenaga petugas pegadaian syariah, yang memproses permohonan pinjaman nasabah yang meminjam Rp. 100.000 dengan yang meminjam Rp. 1.000.000, sebenarnya tidak ada perbedaan termasuk biaya-biaya keperluan adminitrasi lainnya. Disinilah pentingnya, penetapan biaya administrasi itu berlangsung menurut prinsip atau asas keterbukaan (transparansi), yang semestinya terbangun antara pihak pegadaian syariah dengan nasabah. Pentingnya asas keterbukaan tersebut, selain untuk menjaga saling kepercayaan antara muqridh dengan muqtaridh juga sekaligus untuk menghindari penetapan biaya administrasi yang justeru dilatarbelakangi oleh motif untuk memperoleh keuntungan (profit). Penetapan biaya administrasi yang terkesan dilatarbelakangi oleh motif profit, tentu saja dapat menjebak para pihak, terutama bagi pihak pegadaian syariah (muqridh) pada praktik perjanjian yang tidak jauh berbeda dengan praktik perjanjian yang berlangsung di pegadaian konvensional. Klausula akad rahn di pegadaian syariah, yang menyebut kalimat “…biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku…”, menurut peneliti akan lebih tepat kalau menggunakan kalimat “…biaya administrasi ditentukan berdasarkan biaya riil yang dikeluarkan oleh pihak muqridh yang diketahui secara transparan oleh pihak muqtaridh…”. Penggunaan kalimat ini secara normatif, lebih menjamin muatan postur akad rahn yang mengatur hubungan perjanjian utang piutang antara muqridh dengan muqtaridh yang lebih terbuka serta dapat menjamin kepastian kesepakatan antara kedua pihak. Keterbukaan mengenai biaya administrasi, sangat signifikan dalam rangka membangun hubungan hukum antara para pihak yang memang sebenarnya dilandasi oleh motivasi kebajikan sosial atau tidak berorientasi kepada profit (keuntungan), sebab sekali lagi esensi dasar dari perjanjian utang piutang di pegadaian syariah adalah tegak diatas prinsip-prinsip tolong menolong (asas taawun) Menurut peneliti seyogyanya biaya administrasi akan lebih tepat lagi kalau dihilangkan dalam nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Kendati misalnya, ada pandangan bahwa biaya administrasi dibebankan kepada pihak nasabah (muqtaridh), jumlahnya tidak terlalu besar, sebab yang menjadi problem menurut peneliti bukan dari segi besar kecilnya jumlah biaya administrasi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita seharusnya menjaga



125



spirit dari visi Lembaga Pegadaian Syariah yang memang betul-betul berlangsung dalam tataran transaksi yang bersifat nir laba (tidak mencari untung). Apalagi sejumlah dalil dalam hadits Nabi Muhammad SAW, sangat mencela seorang muslim untuk menarik manfaat dibalik pemberian pinjaman modal, sebab dalam perspektif syariah (hukum Islam), menarik manfaat dibalik pemberian pinjaman modal tersebut oleh para pihak, telah masuk kategori pemungutan riba. Penetapan biaya administrasi demikian itu, yang dibebankan kepada pihak nasabah (muqtaridh), meskipun jumlahnya kecil yang menurut pandangan pegadaian syariah tidaklah terlalu memberatkan, tetapi sangat berpeluang menjerat kedua pihak, yaitu muqridh dengan muqtaridh pada transaksi yang mengandung unsur ribawi. Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah adalah perjanjian utang piutang yang berkarakter al-Qardh dalam hubungan hukum antara pihak pegadaian syariah dengan pihak nasabah, sehingga mengacu kepada dalil hadits nabi terdahulu, tidak diperkenankan bagi para pihak untuk mencari celah mengambil manfaat atau keuntungan dari keberadaan barang gadai (al-marhun) yang dijadikan sebagai jaminan utang piutang. Ini sekali lagi untuk mempertegas bahwa perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, motivasinya adalah semata-mata tolong menolong untuk mengharapkan kebajikan, sebagai wujud dari ditegakkannya asas taawun. 4.5.2. Penormaan Klausula dalam Akad Ijarah Di Pegadaian Syariah Standar biaya sewa penitipan barang gadai (al-marhun) di pegadaian syariah, merupakan hal yang dipandang sangat problematik, bila dikaitkan dengan spirit perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang lebih mengedepankan transaksi berbasis nonprofit. Hal paling krusial, yakni pada penetapan biaya ujrah yang mengikut taksiran jenis dan kualitas barang gadai (al-marhun). Bila dicermati, apa yang ditempuh pihak pegadaian syariah tersebut, terkesan mencari celah untuk memungut keuntungan (profit) dengan berdalih biaya sewa tempat dan pemeliharaan terhadap barang gadai (al-marhun). Tentu saja, sangat berpeluang bisa ditafsirkan menarik manfaat dari barang gadai. Penarikan manfaat barang gadai tersebut, bukan dimaknakan bahwa pihak pegadaian syariah menarik manfaat secara langsung dari zat benda gadai atau fungsi penggunaan-nya, tetapi menarik manfaat secara tidak langsung atas dasar pemberian jasa penjagaan serta pemeliharaan atau perawatan barang gadai. Lagi pula, bila dicermati lebih lanjut, dalih biaya perawatan dan biaya penjagaan,yang ditetapkan pihak pegadaian syariah, boleh disebut tidak memenuhi standar kepatutan atau kelayakan. Alasannya,



126



penyimpanan, penjagaan, serta perawatan barang gadai tersebut, tidaklah terlalu memerlukan perawatan ekstra. Barang gadai semisal emas, perak, berlian, barang elektronik, dan kendaraan bermotor, adalah benda-benda yang bila disimpan tidaklah memiliki penyusutan nilai yang signifikan. Lain persoalan, apabila benda gadai adalah sejenis hewan ternak atau buah-buahan atau dalam bentuk bahan makanan lainnya, benda-benda sejenis ini terkategori sebagai benda yang bila disimpan agak lama, dikhawatirkan mengalami penyusutan, sehingga perlu perawatan ekstra. Ambil contoh, hewan sapi yang dijadikan sebagai barang jaminan (barang gadai/al-marhun), tentu memerlukan perawatan ekstra, harus diberikan makan serta disediakan tempat tinggal yang layak, kalau tidak hewan sapi tersebut, akan mati atau menjadi kurus, sehingga hewan sapi sebagai barang gadai akan mengalami penyusutan. Penghitungan biaya sewa penitipan barang gadai tersebut, dengan menggunakan penghitungan perkalian per sepuluh hari, dengan patokan hitungan meskipun barang gadai yang dititip selama 1 (satu) hari tetap disamakan dengan hitungan selama 10 (sepuluh) hari. Cara perhitungan demikian, merupakan bentuk perhitungan dengan pendekatan perkalian komersil daripada perhitungan dengan melihat fungsi atau kegunaan tempat penitipan. Alasannya, hitungan biaya penitipan haruslah berdasarkan kelayakan tempat penyimpanan dengan mengacu kepada keterjagaan keamanan bukan dengan mengacu kepada jenis dan kualitas barang gadai. Pemaknaannya bahwa penyimpanan barang-barang berharga seperti emas dan perak tidak ada bedanya dengan penyimpanan kendaraan atau barang-barang elektronik. Dari sisi keterjagaan serta perawatan, sebenarnya sama tidak berbeda jauh antara penyimpanan barang gadai semisal motor dengan emas yang sama-sama tidak butuh perawatan yang sangat ekstra, begitupun kedua benda tersebut sama-sama tidak mudah mengalami penyusutan nilai, apalagi jangka waktu peminjaman di pegadaian syariah relatif sangat singkat yang maksimal hanya 120 hari kerja. Tentu saja jangka waktu penyimpanan barang gadai mengikuti jangka waktu peminjaman modal uang oleh nasabah (muqtaridh). Merujuk kembali hadits Nabi SAW, yakni hadits dari jalur Ali ra bahwa “Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman yang menarik manfaat”, lalu dilanjutkan hadits lain “Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba, maka apabila peneliti kembali menganalisis penormaan dalam klausula akad ijarah yang berlangsung di pegadaian syariah, tampaknya terindikasi pihak pegadaian syariah (muqridh), melakukan penarikan manfaat terhadap barang gadai. Alasannya, biaya-biaya untuk penyimpanan barang gadai dihitung secara berbeda menurut jenis dan kualitas barang tidak



127



berdasarkan kepada fungsi serta kegunaan tempat penyimpanan barang gadai. Sehubungan dengan itu, penormaan klausula akad ijarah yang berlangsung di pegadaian syariah, perlu untuk direkonstruksi sebagai langkah untuk mengantisipasi nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, tidak terjebak pada skema perjanjian yang meniscayakan profit sekaligus tetap menjaga spirit perjanjian yang murni tegak atas asas taawun. Menurut peneliti, penggunaan istilah akad ijarah perlu direkonstruksi terlebih dahulu, sebab penggunaan istilah ini mendeskripsikan beban kewajiban nasabah (muqtaridh) untuk menanggung biaya penyewaan tempat sekaligus hubungan hukum antara kedua pihak, yang menjadikan sewa tempat penitipan barang gadai sebagai objek akad. Apabila merujuk kitab-kitab fiqih tentang muamalah serta doktrin para ulama, maka sebenarnya, istilah ijarah lebih menegaskan kepada hubungan transaksional yang bersifat saling memberikan kompensasi yang berkaitan dengan jasa atau manfaat tertentu186. Keberadaan akad ijarah sebagai bagian yang mengintegrasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sudah sepatutnya direkonstruksi yang menurut argumentasi peneliti, lebih baik diganti dengan menggunakan istilah akad wadiah untuk mendeskripsikan hubungan hukum antara pihak pegadaian syariah (muqridh) dengan objek akad penitipan barang gadai. Argumentasinya adalah akad wadiah lebih mendeskripsikan hubungan hukum yang lebih menitik beratkan kepada hubungan hukum yang didasari atas prinsip tabarru’ yang tegak diatas asas taawun atau tolong menolong. Para fuqaha (ahli hukum Islam), juga sepakat bahwa wadiah merupakan akad amanah, sebagaimana yang ditunjukkan berdasar firman Allah SWT dalam Qur’an Surah an-Nisa Ayat 58, bahwa: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” Karakteristik akad wadiah menurut para ulama yang bertumpu pada asas amanah, maka tanggung jawab dari pihak yang dititipkan barang hanya pada sebatas menjaga atau merawat barang, seandainya harta wadiah hilang, rusak atau mengalami cacat, tidak membawa konsekuensi bagi pihak yang dititip barang (al wadi’) untuk bertanggungjawab, sehingga pihak yang dititip tidak dikenakan tanggung jawab untuk menanggungnya, kecuali jika itu karena kesengajaannya atau karena kelalaian menjaganya. Konteks barang titipan yang menjadi objek akad wadiah, maka menurut pendapat ulama Mazhab Malikiyah, akad wadiah termasuk salah satu jenis akad 186



Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h.120-121.



128



wakalah (pemberian kuasa), yang khusus hanya untuk menjaga harta dan bukan untuk kegiatan pengelolaan harta lainnya (tasharruf). Keberadaan akad wadiah, karena itu, tidak boleh ada unsur wakalah yang meniscayakan jual beli atau sewa menyewa. Begitu juga titipan yang bukan harta, seperti menitipkan anak, tidak bisa disebut akad wadiah. Kesimpulannya, akad wadiah dapat dikategorikan sebagai akad pemindahan tugas menjaga harta benda dari pemiliknya kepada pihak lain, tanpa disertai adanya tasharruf. Bila pemindahan hak milik tersebut disertai dengan tasharruf seperti jual beli, ijarah, dan yang terkategori sebagai tasharruf, maka itu tidak bisa disebut sebagai wadiah. Apabila mencermati fakta perjanjian penitipan barang gadai milik nasabah (muqtaridh), pada praktik gadai syariah di beberapa negara tetangga, seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, yang digunakan adalah akad wadiah bukan akad ijarah, sebagaimana yang sudah peneliti uraikan pada uraian terdahulu. Untuk praktik gadai syariah di Indonesia, memang sebenarnya yang tepat adalah akad wadiah sebab nomenklatur akad wadiah yang berkarakter tabarru’ sangat sesuai atau memiliki koneksitas dengan nomenklatur perjanjian utang piutang dengan karakter al-Qardh yang berlangsung di pegadaian syariah Indonesia. Klausula akad penitipan barang yang terderivasi dari perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagaimana praktiknya di Indonesia, format baku akadnya, mesti direkonstruksi dengan memformulasikan dalam format akad wadiah bukan dengan menggunakan format akad ijarah. Argumentasinya karena segala keberlangsungan transaksi dengan segala yang terderivasi darinya di pegadaian syariah, adalah semata-mata untuk kepentingan tabarru’ diatas landasan asas taawun atau tolong menolong. Akad wadiah lebih kompatibel karena mencerminkan karakteristik amanah untuk menjaga barang gadai milik nasabah (muqtaridh). Tidak ada aktivitas tasharruf yang berpeluang menjebak para pihak pada motivasi profit oriented. Begitu pula, bila istilah dan nomenklatur akad ijarah tetap dipertahankan untuk mendeskripsikan hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh yang objeknya adalah penitipan barang gadai, sangat berpeluang menjebak para pihak pada aktivitas tasharruf yang berorientasi profit. Penggunaan nomenklatur akad wadiah sebagai pengganti akad ijarah yang merupakan kerangka untuk merekonstruksi akad antara pihak pegadaian syariah dengan pihak nasabah berkenaan dengan penitipan barang gadai (al-marhun), tentu selanjutnya berimplikasi pada penataan beban standar biaya penitipan yang harus ditanggung oleh pihak nasabah (muqtaridh). Kalau menggunakan nomenklatur akad wadiah tentu saja beban biaya penitipan tersebut,



129



tidak lagi mengikuti standar harga sewa, yang mengacu kepada standar harga berdasarkan kelipatan hari yakni per sepuluh hari masa masa sewa. Biaya penitipan barang gadai dengan mengikuti nomenklatur akad wadiah tentu saja lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi kepatutan serta kepantasan yang secara riil memang digunakan untuk biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai yang sangat dibutuhkan untuk itu. Dasar akad wadiah adalah amanah titipan barang, sehingga biaya penitipan yang dikeluarkan cukup sekedar untuk biaya pemeliharaan atau perawatan. Hanya perlu kehati-hatian sekali lagi atau pengkajian lebih dalam tentang kemungkinan pemungutan biaya penitipan barang itu sendiri, sebab memungkinkan para pihak jatuh ke transaksi ribawi, yang menurut analisis peneliti semestinya biaya penitipan barang apapun namanya di pegadaian syariah, misalnya biaya ijarah atau biaya wadiah tidak perlu ada. Ini dimaksudkan untuk menjaga spirit perjanjian utang piutang dengan segala derivasinya di pegadaian syariah, tetap dalam kerangka kebajikan sosial yang tegak atas landasan asas taawun. Lagi pula, penyimpanan barang gadai oleh pihak pegadaian syariah (muqridh), pada hakikatnya sudah merupakan kewajiban yang lahir dari akad penyimpanan barang tersebut. Artinya, kewajiban penyimpanan barang gadai yang dibebankan kepada pihak muqridh, secara otomatis sudah ada secara sah dan sempurna berbarengan dengan ditandatanganinya perjanjian utang piutang di antara para pihak, sehingga tidak perlu diakadkan tersendiri. Selain itu, akad penyimpanan barang gadai sudah menjadi kewajiban pihak muqridh yang menjadi implikasi dari perjanjian utang piutang berbasis al-qardh tersebut yang merupakan perjanjian tanpa kompensasi. 4.6. Penataan Lembaga Pegadaian Syariah sebagai Badan Pelayanan Sosial dalam Kerangka Wujud Perjanjian Utang Piutang Yang Murni Berbasis Asas Taawun Keberadaan Lembaga Pegadaian Syariah yang dilegitimasi dengan status sebagai Perusahaan Perseroan atau Perseroan Terbatas, sebenarnya memiliki titik krusial apabila dikaitkan dengan visi lembaga ini yang mengemban amanah sebagai lembaga pelayanan sosial yang berbasis tabarru’ (semata-mata tolong menolong atas dasar kebajikan), sebab status perusahaan Persero merupakan sebuah kondisi atau keadaan bagi suatu kelompok organisasi untuk melakukan kegiatan yang berorientasi memang semata-mata mencari keuntungan. Apabila merujuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pada Pasal 1 yang menyebutkan bahwa perusahaan Persero didefinisikan sebagai berikut:



130



Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan Sebahagian besar ahli hukum sepakat, antara lain Molengraaff187 dan Polak188, dengan rumusan perusahaan sebagai keseluruhan perbuatan baik dilakukan dalam kapasitas sebagai individu maupun kolektif, yang dilakukan secara berkesinambungan, bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan berbagai cara yang ditempuh, seperti memperdagangkan, menyerahkan barang, ataupun mengadakan perjanjian-perjanjian usaha lainnya untuk memperoleh keuntungan finansial189. Rumusan perusahaan sebagaimana uraian peneliti, menunjukkan bahwa hakikat perusahaan selalu merupakan suatu organisasi yang dibentuk memang untuk tujuan mencari profit, sehingga semua organ kerja perusahaan adalah berlangsung untuk kepentingan-kepentingan mengejar keutungan (profit). Atas dasar itulah, menurut peneliti sangat tidak tepat apabila perangkat organisasi atau organ kerja termasuk status badan hukum lembaga pegadaian syariah dengan mengambil studi di Indonesia, diatur atau tunduk berdasarkan regulasi undang-undang atau peraturan tentang perusahaan, sebab landasan filosofis pegadaian syariah bukanlah untuk mengejar keuntungan (profit), tetapi memang semata-mata untuk kepentingan kemanusiaan, kebajikan sosial, dan tolong menolong. Inilah pentingnya status badan hukum Lembaga Pegadaian Syariah direkonstruksi guna memurnikan kembali visi lembaga ini pada tugas-tugas sosial bukan kepada tugas-tugas bersifat komersil. Semua bentuk transaksi muamalat yang dideskripsikan pegadaian syariah adalah merujuk kepada landasan asas taawun sebagai basisnya, sehingga status badan hukum/badan usaha yang paling tepat bagi lembaga pegadaian syariah bukanlah badan hukum berbentuk perusahaan, tetapi yang paling tepat menurut rekomendasi peneliti, ada beberapa alternatif:



187



Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, 1987, h. 79. Ibid. 189 R Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Pertama), Dian Rakyat, Jakarta, 1983, h. 19. 188



131



4.6.1.



Bentuk Badan Hukum Koperasi Berbasis Syariah Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /Pojk.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian menyebutkan bahwa “Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah: a. perseroan terbatas; b. Koperasi. Berdasarkan ketentuan ini, maka koperasi juga dapat menjadi alternatif bentuk badan hukum pegadaian syariah. Menurut peneliti, koperasi sebagai alternatif bagi pegadaian syariah menjalankan misi kebaikan, sosial, dan tolong menolong, adalah dengan dasar pemikiran bahwa koperasi bersendikan asas kekeluargaan serta menjunjung nilai-nilai tolong menolong serta kepedulian terhadap orang lain. Hal terpenting dan mendasar, menurut peneliti, gagasan model koperasi yang tepat bagi pegadaian syariah adalah dengan menggunakan model koperasi syariah. Koperasi Ibnu Affan di Patani Thailand yang menjalankan kegiatan pegadaian syariah, dapat menjadi studi perbandingan bagaimana koperasi menjalankan kegiatan pegadaian sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pendirian atau pembentukan koperasi syariah di Indonesia saat ini, sangat dimungkinkan, setelah mendapat legitimasi dari keluarnya Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Pada konsideran menimbang peraturan menteri ini, menyebutkan : bahwa dalam rangka memperluas kesempatan berusaha bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan produktif, perlu mengembangkan pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip syariah, agar masyarakat memperoleh manfaat dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya… Gagasan badan hukum koperasi syariah, harus betul-betul dipertimbangkan prinsip-prinsip syariah yang mendasarinya. Misalnya, koperasi syariah menjalankan kegiatan usaha tertentu maka penyertaan modal bagi para anggota koperasi dikelola dengan menggunakan mekanisme seperti mudharabah, sehingga pembahagian keuntungan (nisbah) menggunakan konsep bagi hasil. Begitu pula, apabila koperasi syariah menjalankan kegiatan simpan pinjam, dengan menggunakan mekanisme pegadaian, maka tentu saja prinsip syariah dengan mengedepankan asas taawun sebagaimana paparan sebelumnya, tetap harus diperhatikan. Penarikan bunga atau manfaat dengan dalih apapun oleh koperasi syariah yang menjalankan kegiatan



132



pegadaian, sangat tidak diperbolehkan, sebab membuka celah untuk terjebak kedalam jeratan riba. 4.6.2. Baitul Maal Wat Tamwiil (BMT) Baitul Maal wat Tamwiil atau disingkat BMT, adalah lembaga keuangan dengan konsep syariah yang lahir sebagai pilihan yang menggabungkan konsep maal dan tamwil dalam satu kegiatan lembaga. Konsep maal lahir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat muslim dalam hal menghimpun dan menyalurkan dana untuk zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara produktif. Sedangkan konsep tamwiil lahir untuk kegiatan bisnis produktif yang murni untuk mendapatkan keuntungan dengan sektor masyarakat menengah ke bawah (mikro). Kehadiran BMT untuk menyerap aspirasi masyarakat muslim di tengah kegelisahan kegiatan ekonomi dengan prinsip riba, sekaligus sebagai supporting funding untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Kehadiran lembaga keuangan mikro syariah yang bernama Baitul Maal wa Tamwiil (BMT) dirasakan telah membawa manfaat finansil bagi masyarakat, terutama masyarakat kecil yang tidak bankable dan menolak riba, karena berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Kehadiran BMT di satu sisi menjalankan misi ekonomi syariah dan di sisi lain mengemban tugas ekonomi kerakyatan dengan meningkatkan ekonomi mikro, itulah sebabnya perkembangan BMT sangat pesat di tengah perkembangan lembaga keuangan mkro konvensional lainnya190. Menurut Novita Dewi Masyitoh191, perkembangan BMT ini tidak diikuti dengan pengaturan dan landasan hukum yang jelas. BMT memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lain yang ada, karena selain memiliki misi komersial (Baitut Tamwiil) juga memiliki misi sosial (Baitul Maal), oleh karenanya BMT bisa dikatakan sebagai jenis lembaga keuangan mikro baru dari yang telah ada sebelumnya. Beberapa BMT mengambil bentuk hukum koperasi, namun hal ini masih bersifat pilihan, bukan keharusan. BMT dapat didirikan dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ataupun dapat juga berbentuk badan hukum koperasi. Sebelum menjalankan usahanya, KSM harus mendapatkan sertifikat dari PINBUK2 dan PINBUK harus mendapatkan pengakuan dari Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan



190



Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil, Jurnal Economica, Volume V, Edisi 2, Oktober 2014, h. 18. 191 Ibid., h. 19.



133



Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia (PHBK-BI). Salah satu perangkat hukum yang menjadi dasar hukum BMT sampai saat ini (saat penelitian ini ditulis), yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sebelum Undang-Undang LKM Tahun 2013 ini berlaku, bentuk badan hukum BMT di Indonesia, dapat memilih opsi, yang pada faktanya menurut hasil penelitian Novita Dewi Masyitoh192, BMT melakukan kegiatan usahanya menggunakan badan hukum dengan tiga opsi, yaitu: 1) BMT yang berbadan hukum koperasi dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan tunduk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang selanjutnya dalam kegiatan usahanya tunduk pada : a. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, b. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, dan c. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi, 2) BMT sebagai badan usaha milik yayasan dan tunduk pada Undang- Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sekaligus pada Undang- Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 3) BMT yang masih berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan tunduk pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), secara yuridis-normatif, mengkategorikan BMT sebagai lembaga keuangan mikro. Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, menetapkan bahwa: Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam 192



Ibid.



134



usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan Selanjutnya Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, menetapkan bahwa: Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah: a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 tersebut, merupakan landasan bagi BMT yang hanya dimungkinkan berbentuk badan hukum koperasi atau perseroan terbatas. Apabila BMT yang hendak menjalankan kegiatan usaha gadai syariah dengan mengedepankan asas taawun, tentu saja model perseroan terbatas sebagai bentuk badan hukum BMT itu sendiri, sangat tidak sesuai. Perseroan terbatas memiliki karakteristik sebagai badan hukum yang memang tujuan pendirian perusahan adalah mencari keuntungan komersil (profit oriented), sehingga alternatif badan hukum yang memungkinkan bagi BMT, untuk menjalankan kegiatan gadai syariah adalah badan hukum berbentuk koperasi. Karakteristik koperasi yang melekat kepada badan hukum BMT untuk menjalankan kegiatan gadai syariah, sebagaimana yang peneliti telah paparkan sebelumnya, adalah koperasi yang menjalankan prinsip-prinsip syariah. BMT yang menjalankan kegiatan gadai dengan menggunakan badan hukum koperasi berbasis syariah, maka perlu ditegaskan kembali bahwa transaksi gadai syariah yang dijalankan BMT, harus tetap mengedepankan nilai-nilai kebajikan sosial bukan untuk menarik manfaat (profit oriented). 4.6.3. Penguatan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Pada Pasal 29 Ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian menetapkan: Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib mengangkat paling sedikit 1 (satu) orang DPS Ketentuan tersebut, merupakan landasan bagi lembaga pegadaian yang menjalankan prinsip syariah, untuk mengangkat Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai sebuah kewajiban. Keberadaan DPS itu sendiri sangat urgen dalam upaya mendorong lembaga pegadaian syariah menjalankan kegiatannya yang benar-benar murni berbasis syariah. Untuk itulah, DPS kedepan, benar-benar diberdayakan sebagai salah



135



satu perangkat yang ada di dewan pengurus lembaga pegadaian syariah guna melakukan kontrol serta pengawasan terhadap semua transaksi keuangan yang bersandarkan kepada perjanjian utang piutang sebagai basis utamanya. Kontrol serta pengawasan yang dilakukan DPS terhadap lembaga pegadaian syariah, termasuk diantaranya memastikan bahwa semua akad yang terderivasi pada transaksi di lembaga pegadaian syariah, berpijak kepada asas taawun sebagai landasan pokoknya. DPS harus bisa memastikan serta memberikan nasihat kepada lembaga pegadaian syariah untuk menjalankan aktifitas yang bertumpu kepada visi mengedepankan nilai-nilai kebajikan sosial serta tolong menolong, sebagaimana yang menjadi kehendak syariah. Pasal 29 Ayat 5 dan 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian. Tugas kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh DPS di lembaga pegadaian syariah, hendaknya menjadi salah satu organ yang bersifat independen, tanpa ada keterkaitan kepentingan apapun dengan lembaga pegadaian syariah, selain hanya kepentingan untuk menjaga kemurnian lembaga pegadaian syariah tetap berjalan pada koridor asas taawun. Untuk itu pula, koneksitas jejaring antara DPS pegadaian syariah dengan Majelis Ulama Indonesia hendaknya terbangun secara integral, guna memastikan peran dan tugas DPS itu sendiri berjalan secara independen yang tetap menjaga kemurnian prinsip-prinsip syariah, sehingga memang sangat tepat juga apabila pihak-pihak yang duduk dijajaran kepengurusan DPS, medapat sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.



136



BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Keseluruhan kajian pembahasan ini dengan merujuk pokokpokok rumusan masalah penelitian dan sebagai inti sari dari rangkuman jawaban pokok-pokok rumusan masalah penelitian ini, berikut peneliti mengurai beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Makna filosofis asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, adalah asas yang menetapkan kerangka hubungan hukum antara pegadaian syariah (muqridh) dengan nasabah (muqtaridh), yang tegak atas dasar tanggung jawab kebajikan sosial yang berlandaskan semangat spiritual dan tolong menolong, sehingga pemberian bantuan pinjaman modal oleh pegadaian syariah kepada nasabah bukanlah didorong oleh kepentingan untuk memperoleh keuntungan finansial (profit). Konteks pemaknaan asas taawun dalam kerangka hubungan hukum di pegadaian syariah tersebut, juga adalah untuk menegaskan kedudukan lembaga pegadaian syariah sebagai lembaga yang benar-benar mengemban amanah tanggung jawab sosial. b. Asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan hukum para pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, diantaranya asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, asas amanah, asas saling menguntungkan, asas tertulis, asas kehati-hatian, asas kemampuan, asas sebab yang halal, asas kemudahan, asas kesetaraan, asas kemampuan, asas sukarela, dan asas tidak berubah. Semua asas perjanjian yang disebutkan, memiliki hubungan integral yang saling terkait dengan asas taawun sebagai landasan utama perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sehingga ketika semua asas tadi hendak diintegrasikan ke dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, maka asas taawun tetap menjadi patokan sebagai landasan utama perjanjian. c. Penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi pada perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sangat urgen untuk direkonstruksi, agar nomenklatur perjanjian tersebut tetap konsisten tegak diatas landasan asas taawun. Beberapa klausul yang perlu direkonstruksi antara lain penormaan akad rahn yang menempatkan klausula beban biaya administrasi. Penetapan biaya administrasi, seharusnya mengacu kepada standar biaya-biaya riil yang dikeluarkan. Begitu juga, penormaan akad ijarah yang terderivasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, perlu untuk direkonstruksi, terutama penamaan akad yang sebaiknya diganti dengan nama akad wadiah, dengan



137



pertimbangan bahwa penggunaan istilah akad wadiah lebih menekankan kepada asas amanah yang berbasis tabarru’ (kebajikan atas dasar tolong menolong). 5.2. Saran Bertitik tumpu kepada hasil kesimpulan penelitian dan sebagai akhir penutup keseluruhan kajian penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi saran sebagai berikut: a. Penggodokan Rancangan Undang-Undang Pegadaian Syariah di Indonesia saat ini, sudah sangat mendesak untuk dikerjakan, dengan beranjak kepada realitas kekinian negara Indonesia pasca abad millenium, bahwa kebutuhan masyarakat muslim Indonesia terhadap lembaga pegadaian berbasis syariah, telah semakin meningkat. Penggodokan RUU Pegadaian Syariah tersebut, hendaknya mempertegas basis asas taawun dalam kerangka transaksi akad dengan segala derivasinya di pegadaian syariah, guna memperkuat keberadaan lembaga pegadaian syariah, yang memang benar-benar berperan sebagai soko guru ekonomi masyarakat muslim, yang tujuannya bukan untuk kepentingan profit, tetapi semata-mata demi kebajikan sosial dan tolong menolong. b. Keberadaan lembaga pegadaian syariah, yang saat ini eksis di Indonesia, seharusnya direposisi dari bentuk kelembagaannya yang berstatus badan hukum perusahaan menjadi lembaga yang berstatus badan hukum non-profit, antara lain rekomendasi peneliti, adalah badan hukum koperasi syariah, atau juga Baitul Maal Wat Tamwiil (BMT). Tujuannya untuk memurnikan kembali visi dan misi lembaga pegadaian syariah di Indonesia, sebagai lembaga yang berjalan dalam kerangka kebajikan sosial, yaitu sebagai lembaga yang benar-benar memberikan bantuan keuangan kepada yang sangat membutuhkan. c. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), sangat perlu diperkuat, tujuannya supaya DPS dapat menjalankan perannya secara independen guna melakukan kontrol dan pengawasan terhadap lembaga pegadaian syariah, yang murni menjalankan kegiatan atas dasar kebajikan sosial, dengan asas taawun sebagai landasan utamanya, sebagaimana yang menjadi tuntutan syariah.



138



DAFTAR BACAAN I.



Buku Teks



Abdul, Hayy, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2006. Abdullah, Mohammed Riza, Law and Practice of Islamic Banking And Finance, Second Edition, Sweet and Maxwell Asia, Selangor, Malaysia, 2010. Abdurrahman, Fuad, The Great of Two Umars: Kisah Hidup Paling Legendaris Umar bin Khattab dan Umar Ibn Abdul Azis, Penerbit Zaman, 2013. Abdurrahman, Hafidz, Ushul Fiqh, Al-Azhar Press, Bogor, 2003, h.17-18. Abdurrahman, Yahya, Pegadaian dalam Pandangan Islam, Al Azhar Press, Bogor, 2010. Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006&Legislasi Hukum Islam Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2006. Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, 1987. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8, RajaGrafindo Persada, 2000. Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002. Anwar, Rosihan, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010. AR, Zahruddin, dan Sinaga, Hasanuddin, Pengantar Studi Akhlak, Cetakan I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.



139



Armando, Ade, dkk, Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun. Arrasyid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Arsyad, Taqdir dan Hasan, Abul, (ed), Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab (Cetakan I), Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta, 2009. Asy’arie, Musa, Islam: Etika dan Konspirasi Bisnis, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 2016. Atiyah, P.S., An Introduction To The Law of Contract, Fourth Edition, Oxford University Press, London, 1989. Auda, Jasser, Maqashid al-Syari’ah As Philosophy of Islamic Law A Systems Aproach, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, 2010 Avila, Humberto, Theory of Legal Principles, Springer, The Netherlands, 2007. Azis, Mohammad Rosyidi (et.all), Pokok-Pokok Panduan Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah, Bogor, 2010. Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. _______________________, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994. _______________________, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Banjari, Fauzan, Panduan Penulisan Akad Bisnis Syariah, Klinik Bisnis Syariah, Banjarmasin, 2016. Bashir, Ahmad Azhar, Yogyakarta, 2000.



Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press,



Bello, Petrus C.K.L., Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum, Insan Merdeka,, Bogor, 2013.



140



Berten, K, Etika, Gramedia Utama, Jakarta, 2007.



Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Definition of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn. West Publishing Co., 1968. Bodenheimer, Edgar, Jurisprudence (The Philosophy And Method Of The Law), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1970. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Calmari, John D, dan Perillo, Joseph M, Contracts, Second Edition, West Publishing, Co., Minneapolis, 1977. Collete, Nat J, Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan Ilmu Pengetahuan Sosial Di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 1987. Coulson, Noel J, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence, Academe Art and Printing Services, Kuala Lumpur, 2006. Dakian, Mustafa, Sistem Kewangan Islam, Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, 2005. Daur, Ahmad, Riba dan Bunga Bank (terjemahan), Al Azhar Press, Bogor, 2014.



Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013. Djamil, Faturrahman, dkk, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, 2001.



141



_________________, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. _________________, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013. Doonan, Elmer dan Foster, Charles, Drafting, Cavndish Publishing Limited, London, 2001. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998. Fajar, Mukti, dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Farid, Ahmad, Biografi 60 Ulama Ahlussunah, Darul Haq, Jakarta, 2013. Farran, Syaikh Ahmad Mustafa, Tafsir Imam Syafi’I Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an (Terjemahan), Penerbit AlMahira, Jakarta Timur, 2008. Fauzia, Ika Yunita dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2014. Fuad, Abu, Riba Halal Riba Haram, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2015. Friedmann, W, Legal Theory, Columbia University Press, New York, 1967. Fuady, Munir, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2013. Gautama, Sudargo, Indonesan Bussiness Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Hadi, Abu Sura’i Abdul, Bunga Bank dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh Membangun Paradigma Berpikir Tasyriri, Al-Azhar Press, 2003.



142



_________________, dan Abdurrahman, Yahya, Bisnis dan Muamalah Kontemporer, Al-Azhar Freshzone Publishing, Bogor, 2003. _________________, Nizham Fi Al-Islam (Pokok-Pokok Peraturan Hidup Dalam Islam), Al-Azhar Fresh Zone Publishing, Bogor, 2016.



Hardie, John B dan Algar, Hamid, Sayyid Qutb Social Justice in Islam, Islam Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000. Hariri, Wawan Muhwan, Hukum Perikatan (Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011. Hartkamp, Arthur S dan Tilemma, Marianne MM, Contract Law In the Netherlands, Kluwer Law International, The Hague-LondonBoston, 1995. Hasan, Kamal, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, 1987. Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. ____________, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Haqqi, Abdurrahman Raden Aji, The Philosophy of Islamic Law of Transactions, CRT Publications, Kuala Lumpur, Malaysia, 2009. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010. Hiariej, Eddy O. S, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014. Hidayat, Taufik, Buku Pengantar Investasi Syariah, Media Kita, 2011.



143



Hoecke, Mark Van, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Oxford and Portland, Oregon, 2011. H.S,



Salim, Perkembangan Hukum Jaminan RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-6, 2012.



Di



Indonesia,



Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam KonstitusiKonstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006. Isnaeni, Moch., Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, Laksbang Grafika, Jogjakarta, 2013. Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah (Terjemahan), Amzah, Jakarta, 2013. Jufri, Muhammad, Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia, Komunika, Kendari, 2015. Kamali, Mohammad Hasyim, Foundations of Islam; Shari’ah Law An Introduction, One World Publication, Trivandrum, India, 2008. Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, 2013.



Khalil, Atha, Ushul Fiqh (terjemahan), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2008. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984. Koto, Alaiddin, Filsafat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012. Kurniawan, Joeni Arianto, Mohammad Koesnoe dalam Pengembaraan gagasan Hukum Indonesia, Epistema Institute Huma, Jakarta, 2013.



144



Kusumohamidjojo, Budiono, Teori Hukum (Dilema Antara Hukum dan Kkuasaan), YRama Widya, Bandung, 2016. Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan (terjemahan), Nusamedia, Bandung, 2015. Major, W.T, The Law of Contract, Macdonald &Evans, London, 1974. Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, PrenadaMedia Grup, Jakarta. Manullang, E Fernando M, Menggapai Hukum Berkeadilan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007. Mardani, Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011. Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2012. ____________________, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1995. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988. Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2002. _________, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007. Mujahidin, Ahmad, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.



145



Mulazid, Ade Sofyan, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016. Mundiri, Logika, Penerbit Raja GrafindoPersada, 2012. Nasution, Muhammad Syukri Al-Bani, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.



Nata, Abudin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2005. Olson, Kent C., Principle of Legal Research (Successor to How to Find the Law, 9th Edition), Thomson Reuters, USA, 2009. Panggabean, Henry P, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), Liberty, Yogyakarta. Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawadi K, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan Dengan UUHT, FH UNDIP Semarang, 2006.



Edisi Revisi



Price, Miles O, dkk., Effective Legal Research, Fourth Edition, Little, Brown and Company, Boston Toronto, 1979 Puspitasari, Fiki, Seluk Beluk Pegadaian, PT Intan Sejati Kelaten, Sleman, 2011. Qardhawi, Yusuf, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam, Cetakan I, Toha Putra, Semarang, 1992. Qudamah, Ibn, Al-Mughni, V/109, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, 1990. Rawls, John, A Theory of Justice, Edisi Revisi, Harvard University Press, USA, 1999.



146



Reny Supriatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-Dasar dan Aktualisasinya dalam Hukum Positif, Widya Padjajaran, Bandung, 2011. Rodoni, Ahmad, Lembaga Keuangan Syariahi, Cetakan I, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004. Rofiq, Ahmad, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia, Gama Media Jogjakarta, 2004. Rokhim, Abdul, Fiqh, Wahana Dinamika Karya, Semarang, 2004. Rosyadi, Imron, Jaminan Kebendaan Berdasdarkan Akad Syariah (Aspek Perikatan, Prosedur Pembebanan dan Eksekusi), Prenadamedia Group, Depok, 2017. Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Dar Al-Fikr, Jilid 3, 1995. Saefoedin, Asis, Beberapa Hal tentang Burgelijk Wetboek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Sambas, Sukriady, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Penerbit Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 2012. Sasli, Rais, Pegadaian Syariah (Konsep Sistem Operasional: Suatu Kajian Kontemporer), UI Press, Jakarta, 2005. Shalih, Hafidh, Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga Metode). Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab berjudul AnNahdhah, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003. Shidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka Bepikir), Refika Aditama, Bandung, 2009. Shiddieqy, TM Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.



147



Shihab, M. Quraish, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, Lentera Hati, Jakarta, 2016. ________________, Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1996. Shomad, Abd, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, 2009. _____________, Hukum Ekonomi Syariah: Perspektif Filsafat dalam Budi Kagramanto dan Abd Shomad (ed), Perkembangan dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2009. _____________, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2012. Sidharta, Bernard Arief, dkk, Pengembanan Hukum Teoritis (Refleksi Atas Konstelasi Disiplin Hukum), Logoz Publishing, Bandung, 2015. Siroj, H. A. Malthuf, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia (Telaah Kompilasi Hukum Islam), Pustaka Ilmu, Jogjakarta, 2012. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Risalah Gusti, Surabaya, 1995. Soebekti, R. Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Soekardono, R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Pertama), Dian Rakyat, Jakarta, 1983. Sofwan, Sri Soedewi Maschoen, Hukum Perdata (Hukum Perutangan Bagian B), Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Yogjakarta, 1980. Srijanti, dkk, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen, Graha Ilmu, Jogjakarta, 2007. Suadarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2013.



148



Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori&Praktik, Kencana Prenada Media Group, Depok, 2014. Subekti, R, dan Thitrosudibyo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan 24, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992. Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jilid 2, Ekonisia, 2007. Suhendi, Hendi, Fiqh Mu’amalah, Rajawali Press, Jakarta, 2000. Sumardiono, Tolonglah Saudaramu Pasti Allah Menolongmu, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2014. Supramono, Gatot, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2014. Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), Pustaka Setia, Bandung, 2010. Surya Negara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, Salmadani Pustaka Semesta, Bandung, 2009. Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1989. ___________________, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2006. ___________________, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Moderen), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015. Sutedi, Adrian, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011. Suyuthi, Tarikh Khulafa (terjemahan Samson Rahman), Penerbit AlKautsar, Jakarta, 2012. Syafe’i, Rahmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004. Syamsudin, M, Memahami Pemikiran Mohammad Koesnoe yang ditulis dalam Joeni Arianto Kurniawan, Mohammad Koesnoe dalam Pengembaraan gagasan Hukum Indonesia, Epistema Institute Huma, Jakarta, 2013.



149



Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2011. Tirmidzi, Muhammad Tsaurah, Sunan At Tirmidzi Jilid III Bab Muzayadah, Darul Fiqr, Beirut, tanpa tahun. Usanti, Trisadini, dkk, Absorpsi Hukum Islam Pada Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2013. Usanti, Trisadini dan Shomad, Abd., Transaksi Bank Syariah, Bumi Aksara, Jakarta, 2013. Usmani, Muhammad Taqi, Introduction to Islamic Finance, Maktaba Ma’riful Quran Karachi, Lahore, 2002. Usman, Rachmadi, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum Di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2003. Wacks, Raymond, jurisprudence, Black Stone Press Limited, London, 1987. Wignyosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Wijaya, Gunawan dan Yani, Ahmad, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Yosephus, L. Sinou,r Etika Bisnis (Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer), Pustaka Obor Indonesia, 2010. Yusanto, Muhammad Ismail dan Widjajakusuma, Muhammad Karebet, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002. Zuhaili, Wahbah, Finacial Transactions In Islamic Jurisprudence Volume I, Terjemahan oleh Mahmoud A El Gamal, dari Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Addilatuh, Dar Al-Fikr, Damaskus, 2001. _________________, Fiqih Islam Wa Addilatuhu (Jaminan, Pengalihan Hutang, Gadai, Paksaan, dan Kepemilikan), Jilid 6, terjemahan Abdul Hayyie Al-Katani, dkk, Gema Insani, Jakarta, 2011.



150



_________________, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah (Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011. II.



Jurnal dan Karya Tulis Ilmiah



Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah”, AlIqtishad, Volume IV, Nomor 1, Januari 2012. Andika, Toha, “Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam Pembahuruan Hukum Islam”, Jurnal Nuansa, Edisi 1, Nomor 2, September 2010. Anggara, Sahya, “Teori Keadilan John Rawls Kritik terhadap Demokrasi Liberal”, Jurnal Perspektif, Volume 1, Edisi JanuariJuni, 2013. Arifin, Zainal, “Realisasi Akad Mudharabah Dalam Rangka Penyaluran Dana Dengan Prinsip Bagi Hasil Di Bank Muamalat Indonesia Cabang Semarang”, Tesis, Program Studi Kenotariatan, Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Aswad, Muhammad, “Asas-Asas Transaksi Keuangan Syariah”, Jurnal Iqtishadia, Volume 6 Nomor 2 September 2013. Astuti, Eni Dwi, “Ziyadah Dalam Utang Piutang (Studi Kasus Utang Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan”, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2010. Bagiartha, I Putu Pasek, “Kepastian Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Pemberlakuan Kontrak Baku”, Jurnal IUS, Volume 1, Nomor 1, April 2013. Basir, Muhammad, “Hubungan Sosial dan Akses Sosial Masyarakat Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh Di Kota Makassar”, Jurnal Perkotaan, Juni 2012 Volume 4 Nomor 1. Bayley, J Edward, “A Doctrine of Good Faith In New Zealand Contractual Relationship”, Tesis, Tingkat Master Hukum, Universitas Cantebury, 2009



151



Dewani, Ismail, “Pelaksanaan Perkhidmatan ar rahnu di Koperasi Islam Patani Berhard, Paper yang dipresentasikan pada the Konvensyen Ar-Rahnu Srantau 2002, yang diselenggarakan oleh the Regional Ar Rahnu Secretariat, pada tanggal 26-31 Oktober 2002, di Kuala Lumpur Malaysia. Efendi, Arif, “Gadai Syariah Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Tentang Layanan Syariah Rahn Pada PT Pegadaian Persero”, Wahana Akademika, Volume 15 Nomor 1, April 2013. Erangga, Adilla Sarah,”Operasional Gadai Dengan Sistem Syariah PT Pegadaian Surabaya”, dalam Jurnal Akuntansi Unesa, Volume 2 Nomor 1 tahun 2013. Farid, Femy Silaswati, “Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan Syariah”, Jurnal Repertorium, Edisi 3 Januari-Juni 2015. Habibi, Muhammad Luthfillah, dkk, “Membangun Integrated Takaful dan Wakaf Model Dalam Upaya Meningkatkan Kemanfaatan Pemegang Polis”, al-Uqud: Journal of Islamic Economics, Volume 1, Nomor 2, Juli 2017 Hamid, Ahmad Nur, “Makna Al-Din Dalam Al-Qur’an (Studi Tematik Atas Tafsir Ibnu Katsir”, Skripsi Pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2010. Hariyanto, Erie, “Burgelijk Wetboek (Menelusuri Sejarah Hukum Pemberlakuannya Di Indonesia”, Al Ihkam, Volume IV, Nomor 1 Juni 2009. Huda, Miftahul, “Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Sebagai Obyek Rahn Berdasarkan Hukum Islam dan PerundangUndangan Pada Pegadaian Syariah Cabang Cinere”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015. Huda, Nur, “Perubahan Akad Wadi’ah”, Jurnal Economica, Volume VI, Edisi I, Mei 2015.



152



Huda, Nurul, dkk, “Kepatuhan Proses Gadaian Dalam Sistem Pajak Gadai Islam Di Malaysia, Labuan e-Journal of Muamalat and society,Volume 9, 2015. Husyam, S. dkk, “The Concept and Chalengges of Islamic Pawn Broking (Ar Rahnu)”, dalam Middle East Journal of Scientific Research, Volume 13, tahun 2013. Ilyas, Hamim, “Islam Risalah Rahmat dalam Alqur’an (Tafsir Qur’an Surah Al-Anbiya Ayat 107)”, Jurnal Hermenia Kajian Islam Interdisipliner, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2007. Imron, Ali, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi “Taklif” Dan “Mas’uliyyat” dalam Legislasi Hukum)”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH), Universitas Diponegoro, Semarang, 2008. Islam, Saiful, dkk, “Prinsip Al-Rahn Sebagai Asas Pelaksanaan Skim Pajak Gadai Islam Di Malaysia, Jurnal Voice of Academia, Volume 5, No. 1, 2010 Ismail, Asep Usman, “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, Al-Ahkam, Volume XII, Nomor 1, Januari 2012. Jaya, Agung Trana, “Hubungan Amanah dan Motivasi dengan Etos Kerja Kader Hidayatullah”, Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, Juli 2011. Jenie, Siti Ismijati, “Itikad Baik Sebagai Asas Hukum”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pada 10 September 2007, Yogyakarta. Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are they the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010. Juliandi, Azuar, “Parameter Prestasi Kerja Dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal Manajemen dan Bisnis, Volume 14 Nomor 1 April 2014. Kambara, Kentaro, “Economics of Rahn (Islamic Pawnbroking): Issues and Cases In Brunei Darussalam”, dimuat dalam The Proceedings of The 5th International Sympoium on Islam,



153



Civilization, and Science (Islam As A Basis For Civilizational Thought and Development, diadakan di Kyoto Universiy, Jepang, 31 Mei- 1 Juni 2014. ______________, “Economics Of Ar-Rahnu (Islamic Pawnbroking): Issues And Cases In Brunei Darussalam (Ekonomi Ar-Rahnu (Pajak Gadai Islam): Isu Dan Kes Di Brunei Darussalam)”, Jurnal Hadhari Edisi Khas (2017). Khairandy, Ridwan, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011. Kurniadi, Indri, “Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Pelaksanaan Lelang Benda Jaminan Pada Pegadaian Syariah Cabang HR Soebrantas Pekanbaru”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, 2011. Malik, Abdul, “Penafsiran ‘an taradim minkum dalam Tafsir alMisbah dan Tafsir al-Munir dan Relevansi Terhadap Transaksi Jual Beli On Line”, Skripsi, Jurusan Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015. Masripah, “Urgensi Internalisasi Pendidikan Aqidah Akhlak Bagi Generasi Muda”, Jurnal Pendidikan, Volome 1, Nomor 1, 2007. Masyitoh, Novita Dewi, “Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil, Jurnal Economica, Volume V, Edisi 2, Oktober 2014. Maulidiana, Lina, “Bisnis Waralaba dalam Perspektif Hukum Kontrak”, Pranata Hukum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014. Miss, Ni-Asuenah Che-awae, “Strategi Pemasaran Tabungan Haji Di Koperasi Ibn Affan Wilayah Patani Thailand Selatan, Skripsi, Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013. Mirza, M, “Akad Rahn dan Akad Ijarah Di Pegadaian Syariah”, Skripsi, Fakultas Hukum U niversitas Airlangga, 2009.



154



Mohamad, Shamsiah dan Salleh, Safinar, “Upah Simpan Barang Dalam Skim Ar-Rahnu: Satu Penilaian Semula”, Jurnal Fiqh, Nomor 5, Edisi 2008. Mudawam, Syafaul, “Syariah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer), Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Volume 46, Nomor II, Juli-Desember 2012. Muhammad, Nurdinah, “Memahami Konsep Sakral dan Profan dalam Agama-Agama”, Jurnal Substantia, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2012. Mukhlas, “Implementasi Akad Ijarah Pada Pegadaian Syariah Cabang Solo Baru, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Musadad, Asep Nahrul, “Menyoal Fikih Islam dan Studi Hadis Dari Relasi Historis-Organik Ke Segregasi Epistemologis”, Episteme, Volume 10, Nomor 1, Juni 2015. Mustain, “Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim tentang Kebahagian”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17, Nomor 1, Juni 2013. Mustopa, “Akhlak Mulia dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal Pendidikan Islam, Nadwa, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014. Muzid, Ade Sofyan, “Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah Innovatio, Volume XI, Nomor 2, Juli-Desember 2012. Nurdianto, Talqis, Nasikh Jumlah Ismiyah (Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab, Zahir Publishing, Jogjakarta, 2017. Othman, Azizah, dkk, “Perkembangan Ar-Rahnu Di Trengganu: Kajian Kes terhadap Ar Rahnu Majelis Agama Islam dan Adat Melayu Terengganu (MAIDAM). Dimuat dalam Prosiding Kebangsaan Ekonomi Malaysia Ke-VIII (PERKEM VIII), yang bejudul Dasar Awam Dalam Era Transformasi Ekonomi: Cabaran dan Halatuju, diadakan di Johor Baru tanggal 7-9 Juni 2013.



155



Pasaribu, Muksana, “Mashlahat dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Justitia, Volume 1, Nomor 04, Desember 2014. Qudsiyah, Novi Auliyatul, “Perlakuan Akuntansi Barang Lelang Pada Perusahaan Umum Pegadaian Syari’ah Unit Kediri”, Skripsi, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016. Pettit, Philip, “A Theory of Justice?”, dalam Theory and Decision, D Reidel Publishing Company, Dordrecht, Holland, 1974. Rahman, Yasir Abdur, "Berakhlak Dengan Akhlak Allah Sebagai Pilar Pelayanan Prima”, Jurnal Ekbisi, Volume III, Nomor 1, Desember 2013. Rahmawati, Galih, “Perjanjian Gadai di Pegadaian Syariah”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009. Riyadi, Arif, “Penafsiran Quraisy Shihab tentang Dayn dan Qard Dalam Tafsir al-Misbah”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004. Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muadz bin Jabal)”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 46 Nomor 1 Januari Juni 2012. Rasmin, Nur Hayati dan Markom, Ruzian, “Ar-Rahnu Governance Laws In Malaysia: An Analysis In Banks and Non-Banks Financial Institutions, dimuat dalam International Conference of Global Islamic Studies 2014, yang diadakan di University of Salford Manchester tanggal 28 April 2014. Razak, Azila Abdul, “Economic and Religious of The Islamic and Conventional Pawnbroking in Malaysia: Behavioural and Perception Analysis”, Thesis, Submitted n Fullfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy at The School of Government and International Affairs Institute of Middle Eastern and Islamic Studies, Durham University, United Kingdom.



156



Rifa’I, Tsalis, “Komunikasi Dalam Musyawarah (Tinjauan Konsep Asyura dalam Islam)”, Jurnal Channel, Volume 3, Nomor 1, April 2015. Safitri, Arma, “Pegadaian Syariah”, Laporan Penelitian yang Tidak Dipublikasikan, Program Studi Muamalat Jurusan Perbankan Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009. Said, Rukman Abdul Rahman, “Konsep Al-Quran tentang Riba”, Jurnal al-Asas, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2015. Salam, Rahayu, “Assitulengeng: Bentuk Tolong Menolong Dalam Upacara Aqiqah Di Pulau Salemo”, Jurnal Walasuji, Volume 5 Nomor 2, Desember 2014. Setiawan, Deny, “Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi Volume 21, Nomor 3, September 2013. Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Volume 3 Nomor 2, Desember 2015. Shomad, Abd, “Dinamisasi Penormaan Hukum Islam”, Jurnal Perspektif, Volume XV, Nomor 2, Edisi April, Tahun 2010. Simamora, Yohanes Sogar, “Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005. Suhaina, Siti, “Perbandingan Hukum Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional Pada PT Pegadaian Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum, Volume III, Nomor 2, Oktober 2016. Surilawana, Nor, dkk, “The Comparison Between Ar-Rahn and Conventional Pawn Broking”, dalam Global Business and Economics Research Journal, Volume 3 Nomor 5. Syarif, B Mohd, “Skim Ar Rahnu: Ke Arah Pengukuhan Kerjasama Serantau” dalam Konvensyen Pajak Gadai Islam (Ar Rahnu) Serantau, Makalah, Kuala Lumpur 27-28 Oktober 2002. Syukron, Ahmad, “Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Historis Atas Urgensi Pelembagaan Wakaf Produktif di Indonesia”, Jurnal Penelitian, Volume 8 Nomor 2, November 2011.



157



Usanti, Trisadini Prasastinah, “Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2010. Waeduere, Mr Huessen, “Penerapan Sistem Manajemen Koperasi Islam Pada Ibnu Affan Saving Co-Operative Ltd Provinsi Patani Thailand Selatan”, Skripsi, Fakultas Agama Islam, Prodi Muamalat, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016. Wijaya, Abdi, “Eksistensi Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, Jurnal Al-Risalah, Volume 10 Nomor 2, November 2010. Winthrop, Delba, “Aristotle and Theories of Justice”, dalam The American Political Science Review, Volume 7, Nomor 4, Desember 1978. Zulkifli, “Pengembangan Ushul Fiqh (Perspektif Dalil-Dalil Normatif Al-Quran)”, Jurnal Hukum Islam, Volume XIV, Nomor 1, Juni 2017. III.



Tafsir Qur’an, Kitab Kumpulan Hadits, Kitab UndangUndang, Kamus, Ensiklopedia, Handbook



Al-Mubin, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Penerbit Pustaka AlMubin, Jakarta Timur, 2013. Bisri, Adib, dan Fatah, Munawwir A, Kamus al-Bisri, Pustaka Progresif, Surabaya, 1999. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Definition of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn. West Publishing Co., 1968, h. 1357. Buku Pedoman Pegadaian Syariah, Pedoman Operasional Gadai Syariah, Pegadaian Syariah Kantor Pusat, Jakarta, Januari 2007. Campo, Juan, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase Publishing, United States of America, 2009. Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya, Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006.



158



Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Dimasqi, Al Imam Abul Fida Ismai’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 5, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dan H. Anwar, Cetakan I, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000. _____________________________________________ , Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (terjemahan), Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2007. Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoefe, Jakarta, 1997. Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 10, Cipta Adi Pustaka, 1990. Esposito, John L. (Editor), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford University Press, New York, 2003. Garner, Bryan A, (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Tenth Edition, West, A Thomson Business, USA, 2004. Leigh, Lilian dan Wu, Kai, The Law Handbook (Your Practical), 13th Edition, Thomson Reters, Australia, 2014. Masykur, Imam Ghazali, dkk, Al-Mumayyaz (Al-Qur’an Tajwid Warna Transliterasi Per Kata Terjemahan Perkata, Cipta Bagus Segara, Bekasi, 2014. Munawir, AW, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Edisi Kedua), Pustaka Progresif, Surabaya, 1997. Muzaki, M, Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia, Gama Press, Jakarta, 2014. Purwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Sholihin, Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Handbook), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010. Soebekti, R. dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Terjemahan Burgelijk Wetboek), PT. Balai Pustaka, Jakarta Timur, 2014.



159



Soesilo, M., Kamus Hukum, Penerbit Gama, Jakarta, 2009. Thabathabai’, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, al-Jashshas, 1970. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Waluyo, Edi (Editor), Hadits Arba’in An-Nawawiyah Terjemahan Bahasa Indonesia, A.W. Publisher, Surabaya, 2014. IV.



Laman Internet



Ardiansyah, Said Yai, “Bahaya Kebiasaan Berhutang”, (3 Maret 2009), https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaanberhutang.html, diakses tanggal 21 Agustus 2016. Baits, Ammi Nur, “Hukum Jual Beli Lelang” (21 Maret 2014), https://konsultasisyariah.com/22125-hukum-jual-beli-lelang.html, diakses tanggal 17 Desember 2017. Duwaisy, Isa bin Ibrahim, “Jual Beli Mulamasah” (5 Januari 2015), https://almanhaj.or.id/4037-jual-beli-mulamasah-jual-belimunabadzah-jual-beli-hashah-jual-beli-muhaqalah.html, diakses tanggal 21 Agustus 2016. Grammy, Abbas P, “There Ain’t No Such Thing As A Free Lunch” (9 April 2012), https://www.csub.edu/kej/_files/FreeLunch.pdf, diakses 20 Maret 2016. Hasyimi, Muhammad Ali. “Keadilan dan Persamaan dalam Masyarakat Muslim”, (29 Juli 2009), https://islamhouse.com/id/articles/228039/, diakses 1 Januari 2016. Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, “Niat Untuk Berbuat Baik Mendapat Pahala”, (1 Maret 2013), https://almanhaj.or.id/3546-niat-untukberbuat-baik-mendapat-pahala.html, diakses November 2016. _________________________,”Ruh Seorang Mukmin Tertahan Pada Hutangnya Hingga Dilunasi”, (31 Agustus 2012), https://almanhaj.or.id/3350-ruh-seorang-mukmin-tertahan-padahutangnya-hingga-dilunasi.html, diakses 21 Agustus 2016.



160



__________________________,”Membantu Kesulitan Sesama Muslim dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”, (23 April 2012), https://almanhaj.or.id/3350-ruh-seorang-mukmintertahan-pada-hutangnya-hingga-dilunasi.html, diakses 21 Agustus 2016. Masing, Andrey, “Karl Bergbohm” (23 Februari 2016), https://www.geni.com/people/Karl-Bergbohm, diakses 20 Februari 2017. Purnama, Yulian, “Penjelasan Hadits Mintalah Fatwa Pada Hatimu” (9 Februari 2017), https://muslim.or.id/29444-penjelasan-haditsmintalah-fatwa-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017. Sahbani, Agus, “UU Perkoperasian Dibatalkan Karena Berjiwa Korporasi” (28 Mei 2014), http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uuperkoperasian-dibatalkan-karena-berjiwa-korporasi, diakses tanggal 1 Oktober 2017. Sa’id, Ummu, “Tanyakan Pada Hatimu” (20 Oktober 2012), https://muslimah.or.id/3281-tanyakan-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017. Stanford Encyclopedia of Phylosophy, “John Austin” (2 Februari, 2002), http://plato.stanford.edu, diakses 20 Maret 2016. Tetly, Q.C Wiliam, “Good Faith in Contract Particularly in the Contracts of Arbitration and Chartering” (26 Januari 2004), McGill Unversity, http://tetley.law.mcgill.ca/comparative/goodfaith.pdf, diakses pada tanggal 20 Maret 2016. Tuasikal, Muhammad Abduh, “Mudahkanlah Orang Yang Berhutang Kepadamu” (23 Juli 2009), https://rumaysho.com/149mudahkanlah-orang-yang-berutang-padamu.html, diakses tanggal 20 Maret 2016. _______________________, “Bahaya Orang Yang Enggan Melunasi Hutangnya” (24 Juli m2009), https://rumaysho.com/187-bahayaorang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html, diakses tanggal 20 Maret 2016.



161



Voa Islam, “Subhanallah, Aisyah dan Shafiyah Adalah Ummul Mukminin Cerdas”, (25 Februari 2014), https://www.voaislam.com/, diakes 15 Desember 2016. V.



Korespondensi



Diskusi penulis dengan Professor Karen Lebacqz via email pada Bulan November 2016.



162



DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT A. Identitas Nama : Muh. Sjaiful NIP : 19680126 2003 12 1 001 Tempat Tanggal Lahir : Makassar, 26 Januari 1968 Nama Orang Tua : 1. Ayah : Nurdin Arifin 2. Ibu : Hj. Siti Zakiah Daud Nama Isteri : Sartina Malaka, S.Pd. Anak : 1. Aqilah Badrani Al-Fatihah (Lahir 22 September 2006) 2. Dzakiroh Humairoh Qurrata’ain (Lahir 17 Mei 2008) 3. Fakhiroh Dzihnih Salimah (Lahir 21 Maret 2010) 4. Muhammad Asyam Fathul ‘Ulum (Lahir 8 Januari 2013) 5. Dafitha Nur Azizah (Lahir 11 November 2015) 6. Muhammad Asyraf Mikhail Othello (Lahir 8 November 2017) B. Riwayat Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5.



SD Negeri Kapotha Yudha Makassar, Tamat 1981 SMP Negeri 3 Makassar, Tamat 1984 SMA Negeri 3 Makassar, Tamat 1987 Akademi Bahasa Asing, Jurusan Bahasa Inggeris, 1992 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Jurusan Hukum Internasional, Tamat 1994 6. Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Tamat 1999 C. PENGALAMAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN KEMAHASISWAAN 1. Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cabang Makassar 1984-1986 2. Bidang Kerohanian OSIS SMA Negeri 3 Makassar 1985 3. Redaktur Ahli Jurnal Mahasiswa International Law Student Association Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 19901991 4. Kolumnis Tetap Koran Identitas Universitas Hasanuddin Makassar 1990-1992



163



D. Riwayat Pekerjaan 1. Guru Bahasa Inggeris dan Pendidikan Pancasila Madrasah Aliyah Pesantren Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur 1995 2. Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Satria Makassar, 1996-2001 3. Dosen Pengajar Hukum Internasional Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sultan Alauddin Makassar, 1999-2000 4. Dosen Kontrak Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo 2001-2003 5. Dosen Pengajar Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo 2005-2013 6. Dosen Pengajar Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaaran Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo 2001-2014 7. Asisten Dosen Pengajar Program Magister Hukum Kelas Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan Universitas Muhammadiyah Kendari, Mata Kuliah Bahasa Inggris Hukum dan Politik Hukum, 2010-2014 8. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Golongan IIIb, Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Pengangkatan 1 Desember 2003 9. Pegawai Negeri Sipil, Golongan IIIb, Penata Muda Tingkat I, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Pengangkatan 1 Desember 2004. 10. Pegawai Negeri Negeri Sipil, Golongan IIIc, Penata, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Pengangkatan 1 Oktober 2009 11. Pegawai Negeri Negeri Sipil, Golongan IIId, Penata Tingkat I, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Pengangkatan 1 Oktober 2011



164



E. Riwayat Jabatan 1. Jabatan Fungsional Dosen Asisten Ahli, Pengangkatan 1 April 2005 2. Jabatan Fungsional Dosen Lektor, Pengangkatan 1 Maret 2009 3. Sekretaris Unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, 2009-2010 4. Ketua Unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, 2010-2014. 5. Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, 2014 6. Kepala Pusat Penelitian Hukum, HAM, dan Anti Korupsi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Halu Oleo, 2014- Sekarang. F. Pengalaman Penelitian



No Judul Penelitian 1



2



3



Studi Persepsi Hukum Masyarakat terhadap Praktik Pembalakan Liar di Kab Konsel. (ANGGOTA) Penanggulangan Konflik Lahan Pertambangan Masyarakat Lokal Melalui Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Berbasis Pertahanan Semesta Di Sulawesi Tenggara (ANGGOTA) Penanggulangan Konflik Lahan Pertambangan Masyarakat Lokal Melalui Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Berbasis Pertahanan Semesta Di Sulawesi Tenggara (Penelitian



Tahun Pelaksanaan



Anggaran



2005-2006



Biaya DIPA Dikti Tahun anggaran 2005



2013



Biaya Dikti Tahun Anggaran 2013



2014



Biaya Dikti Tahun Anggaran 2014



165



4



5



6



Lanjutan) (ANGGOTA) Perlindungan Hak-Hak Ekonomi Nelayan Miskin Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tenggara Melalui Penguatan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (ANGGOTA)



Model Penyelesaian Konflik Agraria Melalui Pranata Mediasi Yang Mengintegrasikan Peran Lembaga Bantuan Hukum Berbasis Perguruan Tinggi Di Sulawesi Tenggara (KETUA) Model Penyelesaian Konflik Agraria Melalui Pranata Mediasi Yang Mengintegrasikan Peran Lembaga Bantuan Hukum Berbasis Perguruan Tinggi Di Sulawesi Tenggara (Lanjutan) (KETUA)



2016



Biaya Dikti Tahun Anggaran 2016



2017



Biaya Dikti Tahun Anggaran 2017



2018



Biaya Dikti Tahun Anggaran 2018



G. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat



No Nama Kegiatan Pengabdian



1



2



3



Tenaga Penyuluh Pada Kegiatan Penyuluhan Hukum di Kecamatan Rumbia Sulawesi Tenggara Tenaga Penyuluh Pada Kegiatan Penyuluhan Hukum Bahaya Narkoba Bagi Generasi Muda Di SMA Negeri Wawotobi Tenaga Penyuluh Pada Kegiatan Penyuluhan Hukum tentang Sanksi Bagi Pelaku



Tahun Pelaksanaan



Anggaran



2003



Biaya DIPA Unhalu



2005



Biaya DIPA Unhalu



2005



Biaya DIPA Unhalu



166



4



5



6



7



8



9



10



Illegal Fishing Pada Masyarakat Nelayan Kecamatan Soropia Sulawesi Tenggara Tenaga Instruktur pada Pelatihan Jurnalistik Lingkup Pemerintahan Kabupaten Konawe Tenaga Instruktur Diklat Jurnalistik Harian Kendari Pos Tenaga Instruktur Bimbingan Teknis Tenaga Penyuluhan Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sulawesi Tenggara Tenaga Instruktur pada Bimbingan Teknis Penulisan Peraturan Perundang-undangan sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004 Bagi Para Kepala Desa Se Sulawesi Tenggara Tenaga Penyuluh pada Kegiatan Penyuluhan tentang Urgensi Aspek Kultural Relijius dalam Perencanaan Kawasan Tata Ruang Menuju Kendari Bertakwa Kelurahan Aundonohu Kota Kendari Tenaga Penyuluh pada Kegiatan Penyuluhan tentang Penanggulangan Bahaya Pemanasan Global sebagai Dampak Penggunaan Alih Teknologi Melalui Pendekatan Holistik Islam Pada SMKN 2 Kendari Tenaga Penyuluh Pada Kegiatan Penyuluhan Hukum Penyuluhan Hukum Terhadap Masyarakat Desa Ranooha Kecamatan Tinanggea Tentang



2007



2009



2009



2009



2008



2008



2010



Biaya Pemda Kabupaten Konawe Biaya Redaksi Harian Kendari Pos Biaya Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sulawesi Tenggara Biaya Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sulawesi Tenggara Biaya Mandiri



Biaya DIPA Unhalu Tahun Anggaran 2008



Biaya Mandiri



167



Bahaya Minuman Beralkohol Sebagai Penyebab Kejahatan yang Menjadi Pemicu Kerawanan Sosial



11



12



Tenaga Instruktur pada Bimbingan teknis tenaga mediator bagi kepala desa dalam penyelesaian sengketa non-litigasi di kabupaten konawe Pelatihan Teknik dan Strategi Melakukan Penyuluhan Hukum Bagi Para Kepala Desa Di Kecamatan Bondoala Kaupaten Konawe



2011



Biaya DIPA Unhalu



2013



Biaya DIPA Unhalu



H. Riwayat Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi dan Terakreditasi No 1



2



3



Judul Artikel Nama Jurnal Volume/Nomor/ Ilmiah Tahun Status Hukum Jurnal Protektorat ISSN: Edisi Kawasan 1829-6653, Tidak 11/th.IV/FH/2007 Perairan Terakreditasi Ambalat Menurut Tunjauan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1982 Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Ekstradisi IndonesiaSingapura Shopping Mall dan Pengaruhnya terhadap interaksi Jual



Jurnal Protektorat ISSN: Edisi 1829-6653, Tidak 11/th.IV/FH/2007 Terakreditasi



Jurnal Penelitian Edisi No 26 Tahun MIMBAR AKADEMIK XVII, Mei 2007 ISSN:0853-5361, Tidak Terakreditasi



168



Beli dan Tindakan Komunikasi di Tempat Belanja 4



5



6



7



8



9



Penyebab Sulitnya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Persepsi Hukum Masyarakat terhadap Praktik Pembalakan Liar di Kab Konsel 1Studi Kritis Perjanjian Utang Piutang Dalam Pegadaian Syariah Di Indonesia 2Model Penyelesaian Sengketa Lahan Pertambangan Masyarakat Lokal Di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. 3Penegakan Asas Taawun Dalam Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah. 4Karakteristik Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian



Sumber Daya Insani Edisi Juli 2007 Vol ISSN: 0216-4345, Tidak III No 2 Terakreditasi



Sumber Daya Insani Edisi Khusus Milad ISSN: 0216-4345, Tidak VI UMK Oktober Terakreditasi 2007 Vol III No 3



Volume 13 Nomor Jurnal Hukum Respublica 2 Halaman 194ISSN 1412-2871, Tidak 206/ Mei 2014. Terakreditasi



Jurnal Ilmu Hukum ISSN Volume 9 Nomor 1 2085-4757, Tidak Halaman 51Terakreditasi 65/April 2014



Jurnal Kultura ISSN 1411- Volume 15 Nomor 0229, Tidak Terakreditasi 1 Halaman 46364642/Desember 2014.



Jurnal Perspektif Hukum Volume 15 Nomor ISSN 1411-9536, Tidak 1 Halaman 68Terakreditasi 84/Mei 2015



169



Berbasis Syariah. 5Studi Kritis Model Perjanjian Mudharabah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia 1Urgensi Prinsip Proporsionalitas Pada Perjanjian Mudharabah Di Perbankan Syariah Indonesia. 7Studi Normatif Anti Tesa Pemikiran Hukum Syariah Terhadap Pemikiran Mazhab Hukum Alam Reformulating the Contract Formats of Islamic Financial Institutions in Indonesia toward Maqashid alSyari’ah Based Contracts



10



11



12



13



Jurnal Ijtihad ISSN 1411- Volume 15 Nomor 9544, E-ISSN 2477-8036 1 Halaman 119-136/ (Terakreditasi). Juni 2015.



Hasanuddin Law Review Volume 1 Nomor 2 ISSN Print 2442-9880 Halaman 228ISSN on line 2442-9899 241/Agustus 2015. (Terindeks DOAJ, Copernicus)



Jurnal Al-Maslahah P- Volume 11 Nomor ISSN 1907-0233 E-ISSN: 2 Halaman 12502-8367, Tidak 16/Oktober 2015 Terakreditasi



Karsa, Jurnal Sosial dan Volume 24 No.2, Budaya Keislaman, ISSN Desember 2016 2442-3289, e-ISSN 24424285, Terakreditasi:80/DIKTI/ KEP/2012



I. Riwayat Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Internasional Terindeks No 1



Judul Artikel Ilmiah Land Mines Conflict Dispute In Southeast Sulawesi



Nama Jurnal



Volume/Nomor/Tahun



International Journal Volume 4 Issue 12/ of Science and Desember 2015 Research (IJSR) ISSN (Online): 2319-7064



170



2



3



4



5



Indonesia Reconstruction towards Model for Dispute Resolution of Islamic Business in Indonesia Protection For Poor Fishermen’s Economic Right Through Strengthening Of The Institution For Community Empowerment In Southeast Sulawesi, Indonesia The Principles for Islamic Debt Contract in the Sharia Pawnshop of Indonesia The Model for Resolution of Land Conflict through the Mediation Integrating Legal Aid Based on College In South East Sulawesi Province, Indonesia.



International Journal of Bussiness and Management Invention ISSN (Print) : 2319-801X ISSN (Online) : 2319-8028



Volume 5 Issue 5/ Mei 2016.



International Journal of Advanced Research (IJAR) ISSN 2320-5407



Volume 4 Isssue 11/November 2016



Journal of Law, Policy Volume 6/Mei 2017 and Globalization ISSN (Paper)22243240 ISSN (Online)2224-3259 The International Volume 5 Issue Journal of Humanities 10/Oktober 2017 & Social Sciences ISSN 2321-9203



171



J. Pengalaman Mempresentasikan Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Nasional No 1



2



3



4



5



6



7



8



Judul Makalah Potret Buruk Penegakan Hukum Indonesia Netralitas Dewan Keamanan PBB



Waktu dan Nama Kegiatan Dialog Hukum Nasional yang diadakan oleh Fakultas Hukum Unhalu pada tanggal 12 Juni 2008 Seminar Nasional, Kerjasama Fisip Unhalu dengan Departemen Luar Negeri RI pada tanggal 21 Agustus 2008, bertempat di Auditorium Fisip Unhalu Dialog Hukum Nasional yang diadakan oleh Fakultas Hukum Unhalu pada tanggal 12 Juni 2008 Seminar Nasional Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Tenggara pada 24 Maret 2009



Refleksi Perjalanan Hukum 10 Tahun Reformasi Partisipasi Politik Masyarakat Pasca Amandemen UUD 1945 Demokrasi Antara Seminar Politik Nasional Di Aula Konsep Dan Realita Mokodompit Universitas Halu Oleo Tanggal 23 Februari 2013 Rekonstruksi Model Seminar Nasional Percepatan Perjanjian Pembangunan Ekonomi Indonesia Mudharabah pada Perspektif Kewilayahan dan Syariah, Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Halu Oleo Kendari pada 11 Oktober 2014 Nilai Hukum Seminar Nasional Pengembangan Perspektif Syariah Epistemologi Ilmu Hukum, Sekolah Versus Epistemologi Pascasarjana Universitas Hukum Berbasis Muhammadiyah Surakarta, pada 11 Hukum Kodrat dan April 2015. Positivisme Titik Kritis Konfrensi ke-6 Asosiasi Filsafat Hermeneutika sebagai Hukum Indonesia, Tema “Anatomi Metode Tafsir Hukum-Pluralisme ataukah Integrasi? terhadap Nilai-Nilai Pada 17-19 November 2016, Kefilsafatan Hukum bertempat di Kampus Pascasarjana Islam Imu Hukum, Universitas Pasundan, Bandung.



172



K. Pengalaman Mempresentasikan Makalah Ilmiah Internasional No Nama Temu Judul Artikel Ilmiah/Seminar Ilmiah 1Jakarta International Islamic Religious 1 Conference of Law in The Muslims Intellectuals Democracy Trap



2



3



4



5



Pada Pertemuan Waktu dan Tempat



14-15 Desember 2013, University of IndonesiaConvention Hall Smesco Jakarta 2International Land Mines 23-24 September Conference: Conflict In 2014, Fakultas Indonesia-Australia Southeast Hukum Relations from The Sulawesi Universitas Perspective of Airlangga International Law Human Rights and Regional Security 3The International Reconstruction of 26-27 November Conference and Call Islamic Economic 2014, Fakultas for Papers On Law Model Dispute Hukum and Sustainable Resolution In Universitas Development Indonesia Sebelas Maret Amongst Deeveloped Solo, Bertempat di and Developed Sunan Hotel Solo Countries (ICCP UNS) 4First Gadjah Mada Contract 12-14 Mei 2016, International Restructuring on Gedung Magister Conference on Islamic Financial Sains Pascasarjana Islamic Accounting Institutions Fakultas Ekonomi and Finance Which Based dan Bisnis Maqashid Universitas Gadjah Syariah In Mada. Indonesia 5The 1st International The Model for 25-26 Oktober Conference on Resolution of 2017, bertempat di Islamic Bussiness Land Conflict Fakultas Hukum Law: Sharia Through the Universitas Compliance Mediation Airlangga Integrating Legal ,Aid Based on College In South Easr Sulawesi



173



6



6The International Conference on Law, Governance and Globalization, Faculty of Law, Airlangga University



Province In The Sharia Perspective The Legal Study on Corporate Social Responsibility In The Realization for Environmental Development In South East Sulawesi



15-16 November 2017, bertempat di SwissBell Hotel Manyar Surabaya.



L. Karya Buku Yang Dipublikasikan No 1



2



Judul Buku



Tahun



Wajah Politik 2014 Hukum Indonesia (Penulis Tunggal) 2 Nomenklatur 2015 Sistem Hukum Indonesia (Tulisan Bersama Prof Dr H. Muhammad Jufri, SH. MS



Jumlah Halaman xvi, 149



ISBN



Penerbit



978602986836-4



Komunika



xi, 276



978602986839-5



Komunika



M. Lain-Lain 1. Kolumnis Tetap Harian Kendari Pos, Rubrik Catatan Hukum, 2005 sampai 2015 2. Ombudsman Harian Kendari Pos 2005 sampai 2015