Ringkasan Ilmu Mustholah Hadits [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ringkasan Ilmu Mustholah Hadits Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya. Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih. Kembali kita akan mereview ulang tentang definisi yang mungkin telah disinggung di awal Thread : Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti : a. Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri. b. Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung. c. Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi. Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah dan meneliti riwayat-riwayat dan keadaan para perawinya. Al-hafidh adalah : a. Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits. b. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang diketahuinya pada setiap thabaqah (tingkat generasi) lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil saja yang tidak diketahuinya. Kutip dari: Abu Al-Jauzaa’ 1. Pembagian hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita : a. Hadits Mutawatir Hadits mutawatir dibagi menjadi mutawatir lafdhi dan mutawatir ma’nawi b. Hadits Ahad Hadits ahad dibagi menjadi : - Hadits Masyhur - Hadits ‘Aziz - Hadits Gharib : gharib mutlaq dan gharib nisbi



HADITS MUTAWATIR Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Syarat-Syaratnya : Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini : 1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.



2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad. 3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta. 4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir. Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ?? 1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. 2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut. a. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. b. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalah li’an. c. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits. Pembagian Hadits Mutawatir Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi . 1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits (yang artinya) : ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga. 2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Keberadaannya Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara haditshadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit. Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di



surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”. Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja. Hukum Hadits Mutawatir Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah AlMunawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya . Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah : 1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab. 2. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas. 3. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy. 4. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far AlKittani. Nudhatun-Nadhar Syarh Nukhbatul-Fikr, Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani halaman 24; Taisir Mustahalah Hadits, Dr. Mahmud Ath-Thahhan halaman 19, Tadribur-Rawi halaman 533



bersambung 1. Pembagian hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita : a. Hadits Mutawatir Hadits mutawatir dibagi menjadi mutawatir lafdhi dan mutawatir ma’nawi b. Hadits Ahad Hadits ahad dibagi menjadi : - Hadits Masyhur - Hadits ‘Aziz - Hadits Gharib : gharib mutlaq dan gharib nisbi ====================== 2. Pembagian hadits dilihat dari kuat dan lemahnya (masuk dalam pembahasan hadits ahad): a. Hadits Maqbul; terdiri dari : - Hadits shahih : shahih lidzaatihi dan shahih lighairihi - Hadist hasan : hasan lighairihi Pembagian khabar maqbul dilihat dari yang dapat diamalkan dan tidak dapat diamalkan : - Al-Muhkam - Al-Mukhtalif b. Hadits Mardud; terdiri dari : - Hadits dla’if dan saudara-saudaranya. Pembagian hadits dla’if : - Dla’if akibat cacat pada sanadnya (gugur sanadnya) :



@ Keguguran secara dhahir : Mu’allaq, Mursal, dan Munqathi’ @ Keguguran secara tersembunyi : Mudallas dan Mursal - Dla’if akibat cacat pada rawi hadits : @ Maudlu’ @ Matruk @ Munkar @ Ma’ruf @ Mu’allal @ Mukhalafah lits-Tsiqaat : Mudraj, Maqlub, Al-Maziid fii Muttashilil-Asaanid, Mudltharib, dan Mushahhaf. @ Syadz (dan sekaligus dibahas : Mahfudh) @ Hadits dla’if akibat Jahalatur-Rawi (Majhul) @ Hadits dla’if akibat Bid’atur-Rawi ============================== 3. Pembagian Hadits Menurut Sandarannya : a. Hadits Qudsi b. Marfu’ c. Mauquf d. Maqthu’ b. Hadits Ahad Hadits ahad dibagi menjadi : - Hadits Masyhur - Hadits ‘Aziz - Hadits Gharib : gharib mutlaq dan gharib nisbi HADITS AHAD Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib. 1. Hadits Masyhur Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) : ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi). Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama Al-Mustafidh. Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti : a. Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim b. Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).



c. Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if). d. Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban). e. Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan TadriburRawi halaman 533). Buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadits masyhur, antara lain : 1. Al-Maqaashidul-Hasanah fiimaa Isytahara ‘alal-Alsinah, karya Al-Hafidh As-Sakhawi. 2. Kasyful-Khafa’ wa Muzilul-Ilbas fiimaa Isytahara minal-Hadiits ‘alal Asinatin-Naas, karya Al-Ajluni. 3. Tamyizuth-Thayyibi minal-Khabitsi fiimaa Yaduru ‘alaa Alsinatin-Naas minal-Hadiits, karya Ibnu Daiba’ Asy-Syaibani. 2. Hadits ‘Aziz ’Aziz artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya. Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama). Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma. Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits. 3. Hadits Gharib Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Pembagian Hadits Gharib Hadits gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam : 1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :



‫ﺕﺎﻴﻨﻟﺎﺑ ﻝﺎﻤﻋﻷﺍ ﺎﻤﻧﺇ‬ ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah



itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.. 2. Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mesuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya”” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu. b. Hadits Mardud (Tertolak); terdiri dari : - Hadits dla’if dan saudara-saudaranya. Pembagian hadits dla’if : - Dla’if akibat cacat pada sanadnya (gugur sanadnya) : @ Keguguran secara dhahir : Mu’allaq, Mursal, dan Munqathi’ @ Keguguran secara tersembunyi : Mudallas dan Mursal - Dla’if akibat cacat pada rawi hadits : @ Maudlu’ @ Matruk @ Munkar @ Ma’ruf @ Mu’allal @ Mukhalafah lits-Tsiqaat : Mudraj, Maqlub, Al-Maziid fii Muttashilil-Asaanid, Mudltharib, dan Mushahhaf. @ Syadz (dan sekaligus dibahas : Mahfudh) @ Hadits dla’if akibat Jahalatur-Rawi (Majhul) @ Hadits dla’if akibat Bid’atur-Rawi Alhamdulillaah,….sekarang kita memasuki pembahasan tentang hadits dla’if…… Definisi Dla’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dla’if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyyah. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah pengertian dla’if secara maknawiyyah. Hadits dla’if menurut istilah adalah “hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan”. Karena syarat diterimanya suatu hadits sangat banyak, sedangkan lemahnya hadits terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadits dla’if terbagi menjadi beberapa macam, seperti tersebut di atas. Tingkatan Hadits Dla’if Hadits dla’if bertingkat-tingkat keadaannya berdasarkan pada lemahnya para perawi antara lain : dla’if, dla’if jiddan, wahi, munkar. Dan seburuk-buruk tingkatan hadits adalah maudlu’ (palsu). Sebagaimana dalam hadits shahih, ada yang disebut oleh para ulama dengan istilah ashahhulasaanid; maka dalam hadits dla’if ada juga yang disebut dengan awhal asaanid (sanad paling lemah) bila disandarkan kepada sebagian shahabat atau kota. Contohnya :



1. Sanad paling lemah dari Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Shadaqah bin Musa Ad-Daqiqy, dari Farqad As-Sabakhy, dari Murrah Ath-Thib, dari Abu Bakar. 2. Sanad yang paling lemah dari Ibnu ‘Abbas adalah Muhammad bin Marwan, dari Kalaby, dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata,”Ini adalah silsilah pendusta, bukan silsilah emas”. 3. Sanad yang paling lemah dari Abu Hurairah adalah Sariry bin Isma’il, dari Dawud bin Yazid Al-Azdy, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. 4. Sanad yang paling lemah bila dinisbatkan kepada Syamiyyiin (orang-orang Syam) adalah Muhammad bin Qais Al-Maslub, dari ‘Ubaidillah bin Zahr, dari Ali bin Yazid, dari Abu Umamah (Tadribur-Raawi halaman 106). Contoh : Sebuah hadits yang mengatakan : ”Barangsiapa shalat 6 raka’at setelah shalat maghrib dan tidak berbicara sedikitpun di antara shalat tersebut, maka baginya sebanding dengan pahala ibadah selama 12 tahun”. Diriwayatkan oleh Umar Bin Rasyid dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan Ad-Daruquthni mengatakan Umar ini adalah dla’if. Imam Ahmad juga berkata,”Haditsnya tidak bernilai sama sekali”. Bukhari berkata,”Hadits yang munkar dan dla’if jiddan (lemah sekali”. Ibnu Hibban berkata,”Tidak halal menyebut hadits ini kecuali untuk bermaksud mencatatnya, karena dia memalsukan hadits atas nama Malik dan Ibnu Abi Dzi’b dan selain keduanya dari orang-orang tsiqah”. Kitab-Kitab yang Diduga Mengandung Hadits Dla’if Hadits-hadits dla’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini : 1. Ketiga Mu’jam Thabrani, yaitu : Al-kabir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir. 2. Kitab Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam hadits-hadits Al-Afrad terdapat hadits-hadits Al-Fardul-Muthlaq, dan Al-Fardun-Nisbi. 3. Kumpulan karya Al-Khathib Al-Baghdadi. 4. Kitab Hilyatul-Auliyaa wa Thabaaqatul-Ashfiyaa’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani. Hadits yang Tertolak karena Gugurnya Sanad Keguguran sanad ada dua macam : 1. Keguguran secara dhahir dan dapat diketahui oleh ulama’ hadits karena faktor perawi yang tidak pernah bertemu dengan guru (syaikhnya), atau tidak hidup di jamannya. Keguguran sanad dalam hal ini, ada yang gugur pada awal sanad, atau akhirnya, atau tengahnya. Para ulama memberikan nama hadits yang sanadnya gugur secara dhahir tersebut dengan 4 (empat) istilah sesuai dengan tempat dan jumlah perawi yang gugur : a. Mu’allaq b. Mursal c. Mu’dlal d. Munqathi’ 2. Keguguran yang tidak jelas dan tersembunyi. Ini tidak dapat diketahui kecuali oleh para ulama yang ahli dan mendalami jalan hadits serta illat-illat sanadnya. Ada dua nama untuk jenis ini : a. Mudallas b. Mursal



Hadits Mu’allaq Definisi Mu’allaq secara bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad yang seperti ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya. Hadits mu’allaq menurut istilah adalah hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya pada awal sanad secara berturutan. Diantara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan : “Rasulullah bersabda begini………”. Atau dengan menggugurkan semua sanad kecuali seorang shahabat, atau seorang shahabat dan tabi’in. Contohnya 1. Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallalahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :



‫ﺀﺂﻴﺒﻧﻷﺍ ﻦﻴﺑ ﺍﻮﻠﺿﺎﻔﺗ ﻻ‬ ”Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para Nabi…” Pada hadits ini, Bukhari tidak pernah bertemu dengan Al-Majisyun. 2. Diriwayatkan oleh Bukhari pada Muqaddimah Bab Maa Yudzkaru fil-Fakhidzi (Bab tentang Apa yang Disebutkan Tentang Paha), Abu Musa Al-Asy’ary berkata,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menutup kedua pahanya ketika ‘Utsman masuk”. Hadits ini mu’allaq karena Bukhari menghilangkan semua sanadnya kecuali seorang shahabat yaitu Abu Musa Al-Asy’ary. Hukumnya Hadits Mu’allaq adalah hadits mardud (ditolak) karena gugur dan hilangnya salah satu syarat diterimanya suatu hadits, yaitu bersambungnya sanad, dengan cara menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat diketahui keadaannya. Hadits-Hadits Mu’allaq pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim Dalam Shahih Bukhari terdapat banyak hadits mu’allaq, namun hanya terdapat pada judul dan muqaddimah bab saja. Tidak terdapat sama sekali hadits mu’allaq pada inti dan kandungan bab. Adapun Shahih Muslim, hanya terdapat satu hadits saja, yaitu pada Bab Tayamum. Hukum Hadits Mu’allaq dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim 1. Jika diriwayatkan dengan tegas dan jelas, yaitu dengan sighat jazm (kata kerja aktif), seperti : qaala (dia telah berkata), dzkara (dia telah menyebutkan), dan haaka (dia telah bercerita); maka haditsnya dihukumi shahih. 2. Jika diriwayatkan dengan shighat tamridl (kata kerja pasif) seperti qiila, dzukira, atau hiika; maka tidak dipandang shahih semuanya. Akan tetapi ada yang shahih, hasan, dan dla’if. Allaahu a’lam



Hadits Mursal Definisi



Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya pada Kitab Al-Buyu’, berkata : Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Hujain, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Laits dari ‘Aqil dari Ibnu Syihab dari Said bin Al-Musayyib,”Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang Muzabanah (jual beli dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangannya).” Said bin Al-Musayyib adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa menyebutkan perantara dia dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka sanad hadits ini telah gugur pada akhirnya, yaitu perawi setelah tabi’in. Setidaknya telah gugur dari sanad ini shahabat yang meriwayatkannya. Dan sangat mungkin telah gugur pula bersamanya perawi lain yang setingkat (se-thabaqah) dengannya dari kalangan tabi’in. Inilah hadits mursal menurut ahli hadits. Sedangkan menurut ulama fiqih dan ushul fiqih lebih umum dari itu, yaitu bahwa setiap hadits yang munqathi’ (= akan dijelaskan lebih lanjut nanti insyaAllah) menurut mereka adalah mursal. Hukumnya 1. Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits mardud (tertolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya. Bisa jadi perawi yang gugur dari sanad adalah shahabat atau tabi’in. Jika yang gugur itu shahabat, maka tidak mungkin haditsnya ditolak, karena semua shahabat adalah ‘adil. Jika yang gugur itu adalah tabi’in, maka sangat dimungkinkan hadits tersebut adalah dla’if. Namun dengan kemungkinan seperti ini, tetap tidak bisa dipercaya atau dipastikan bahwa perawi yang gugur itu seorang yang ‘adil. Dan meskipun diketahui bahwa sang tabi’in tidak akan meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah, maka hal ini pun tidak cuckup untuk mengangkat ketidakjelasan kondisi si perawi. 2. Pendapat lain mengatakan bahwa hadits mursal adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini masyhur dalam madzhab Malik, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad. 3. Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadits-hadits mursal para tabi’in senior dapat diterima apabila terdapat hadits mursal dari jalur lain, atau dibantu dengan perkataan shahabat (qaulush-shahaby). Mursal Shahabi Jumhur muhadditsiin dan ulama ushul fiqih berpendapat bahwa mursal shahabi adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah. Yaitu apa yang dikhabarkan oleh seorang shahabat tentang sesuatu yang telah dikerjakan oleh Nabi atau semisalnya, yang menunjukkan bahwa dia tidak menyaksikan secara langsung karena faktor usianya yang masih kecil, atau karena faktor keterlambatan masuk Islam. Contohnya : Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ia mengatakan : ”Awal mula wahyu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah mimpi yang benar. Maka tatkala beliau melihat sebuah mimpi melainkan



datang dalam wujud seperti bintang di shubuh hari. Lalu kemudian beliau dibuat senang menyendiri, sehingga beliau sering menyendiri di Gua Hira’ dimana beliau bertahannuts (beribadah) selama beberapa malam sebelum kemudian kembali menemui keluarganya……..”. (sampai akhir hadits) Dalam hal ini, ‘Aisyah dilahirkan empat atau lima tahun setelah kenabian. Lalu dimanakah posisi dia pada saat wahyu diturunkan? Maka pendapat ini dalah pendapat yang benar (yaitu mursal shahabi adalah maqbul), karena semua shahabat adalah ‘adil. Dan pada dhahirnya, seorang shahabat tidak memursalkan sebuah hadits kecuali dia telah mendengarnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau dari seorang shahabat lain yang telah mendengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, para ulama hadits menganggap mursal shahabi sama hukumnya dengan hadits yang bersambung sanadnya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak hadits yang seperti itu. Ada yang mengatakan bahwa mursal shahabi itu sama hukumnya dengan mursal-mursal yang lain. Namun pendapat ini adalah lemah dan ditolak



MA’RUF Pengertiannya Al-Ma’ruf artinya yang dikenal atau yang terkenal, dan menurut bahasa berbentuk isim maf’ul. Dan hadits ma’ruf menurut istilah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dla’if (kebalikan dari hadits munkar). Contohnya Hadits yang diriwayatkan sebagian perawi tsiqah pada hadits Habib bin Habib Az-Zayyat yang telah disebutkan sebelumnya - dari Abu Ishaq, dari Al-Aizar bin Harits, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai kepada shahabat), tidak dimarfu’kan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Artinya, bahwa perkataan ini tidak dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, tetapi dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas. Maka, Habib tidak tsiqah, dan ia telah memarfu’kan hadits, lalu menjadikannya sebagai perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sedangkan sebagian perawi tsiqah menjadikannya sebagai hadits mauquf. Maka terjadilah perselisihan. Berdasarkan contoh ini, maka hadits yang datang dari jalur perawi tsiqah dinamakan Ma’ruf, sedangkan yang datang dari jalur tidak tsiqah dinamakan Munkar.



MU’ALLAL Apabila sebab kecacatan pada perawi itu adalah wahm (keraguan),maka haditsnya dinamakan ma’allal. Pengertiannya Mu’allal menurut bahasa artinya yang ditimpa penyakit. Hadits Mu’allal menurut istilah adalah “hadits yang dhahirnya shahih, tetapi setelah diperiksa terdapat ‘ilat yang dapat merusak keshahihan hadits tersebut”. ‘Illat adalah sebab tersembunyi yang dapat merusak keshahihan sebuah hadits. Salah satu hal yang dapat menolong untuk mengetahui ‘illat sebuah hadits adalah bila si perawi meriwayatkan hadits itu sendiri, atau riwayat orang lain menyelisihi hadits yang ia riwayatkan, atau indikasi lainnya yang hanya diketahui oleh seorang yang ahli dalam bidang ilmu ini. Seperti terjadi keraguan atau kesamaran pada perawi . Ini dapat dilakukan baik dengan menyingkap hadits yang sebenarnya mursal, atau memarfu’kan hadits yang mauquf, atau memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain, atau pengkaburan yang serupa itu.



Maka hadits seperti ini dihukumi tidak shahih. Dan ‘illat kadang terdapat pada sanad, dan kadang terdapat pada matan, dan kadang terdapat pada keduanya secara bersamaan.



MUSHAHHAF Ulumul-Hadits halaman 252, Al-Baitsul-Hatsits halaman 170, Tadribur-Rawi halaman 384, Nudhatun-Nadhar halaman 49, dan Taisir Musthalah Hadits halaman 114



Definisi Secara bahasa, kata mushahhaf adalah isim maf’ul dari kata At-Tashhif, yang berarti kesalahan tulis yang ada pada kitab-kitab hadits. Sedangkan Ash-Shahafi adalah sebutan bagi perawi yang meriwayatkan hadits dengan membacakan buku, sehingga ia melakukan kesalahan karena kesulitan membedakan hurufhuruf yang mirip. Ada yang mengatakan bahwa asal mula dinamakan dengan sebutan tersebut karena ada sekelompok orang yang mengambil ilmu dari membaca buku saja tanpa berguru, sehingga ketika mereka meriwayatkan ilmunya, mereka melakukan perubahan. Maka saat itu orangorang berkata tentang mereka,”Qad shahafu” (= “Pantas aja demikian, mereka hanya meriwayatkan hadits dari buku saja” ). Mereka dinamakan Mushahhifuun (= orang-orang yang meriwayatkan ilmunya dari byku). Sedangkan bentuk mashdar dari kata tersebut adalah At-Tashhif. Pembagiannya Jika ditinjau dari tempat terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf dibagi menjadi dua : 1. Tashhif dalam sanad Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Syu’bah, dari Awwam bin Murajim AlQaisi, dari Abu ‘Utsman An-Nahdi. Namun Yahya bin Ma’in melakukan kesalahan dalam menyebut nama ayah dari Al-Awwam. Beliau mengatakan dengan : “..dari Al-Awwam bin Muzahim”; dengan menggunakan huruf ‫ﺯ‬dan ‫ﺡ‬yang dikasrah. ð penulisan : Murajim (‫ )ﻢﺟﺍﺮﻣ‬dan Muzaahim (‫)ﻢﺣﺍﺰﻣ‬. 2. Tashhif dalam matan Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit :



‫ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ ﻲﻓ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺮﺨﺘﺣﺇ‬ Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat kamar di dalam masjid. Namun Ibnu lahi’ah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits di atas dengan menggunakan kalimat :



‫ﺪﺠﺴﻤﻟﺍ ﻲﻓ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻢﺠﺘﺣﺇ‬ Sesungguhnya Rasulullah melakukan berkam di dalam masjid Bila ditinjau dari sebab terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf dibagi menjadi dua : 1. Tashhif Bashar (Penglihatan) Tashhif bashar ini adalah sebab kesalahan yang sering terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan tashhif bashar adalah ketidakjelasan tulisan suatu hadits bagi yang membacanya. Hal ini disebabkan karena tulisannya yang jelek atau huruf-hurufnya yang tidak bertitik. Contohnya adalah hadits yang berbunyi :



‫ﻝﻮﺷ ﻦﻣ ﺎﺘﺳ ﻪﻌﺒﺗﺃﻭ ﻥﺎﻀﻣﺭ ﻡﺎﺻ ﻦﻣ‬ Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadlan kemudian diikuti 6 hari di bulan Syawal Disebabkan karena ketidakjelasan tulisan maka seorang perawi meriwayatkan hadits tersebut dengan menggunakan kata syaian (‫ )ﺎﺌﻴﺷ‬sebagai ganti kata yang seharusnya, yaitu sittan ( ‫ﺎﺘﺳ‬ ).. 2. Tashhif Sama’ (Pendengaran) Tashhif ini terjadi disebabkan karena pendengaran yang lemah, jarak antara pendengar dan



yang ia dengarkan sangat jauh, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan sebagian kata menjadi tidak jelas bagi seorang perawi karena sebagian kata tersebut terbentuk dari pola yang sama. Contihnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Ashim bin Al-Ahwal. Namun sebagian perawi hadits tersebut meriwayatkan dari Washil bin Al-Ahdab.



MUSHAHHAF (2) Ditinjau dari segi kata atau maknanya, maka hadits mushahhaf terbagi menjadi 2 bagian : 1. Tashhif dalam Lafal Tashhif inilah yang banyak terjadi seperti pada contoh-contoh di atas. 2. Tashhif dalam Makna Yang dimaksudkan dengan Tashhif ini adalah : Seorang perawi mushahhif (yang melakukan kesalahan) meriwayatkan sebuah hadits dengan menggunakan kaliamt-kalimat sesuai dengan aslinya, namun ia memberikan makna yang menunjukkan bahwa ia memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hadits tersebut. Contohnya adalah apa yang diucapkan oleh Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna Al‘Anzi, seorang laki-laki dari kabilah ‘Anazah. Ia berkata,”Kami adalah Kabilah ‘Anazah. Kami adalah suatu kamu yang mempunyai kemuliaan sebaba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke arah kami”. Makna tersebut ia pahami dari sebuah hadits yang berbunyi,”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke ‘Anazah”. Maka ia memahaminya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke arah mereka. Padahal kata ’Anazah (huruf ‘Ain dan Nun difathah) berarti tombak kecil yang bermata dua, bentuknya persis seperti ‘Ukazah. Dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menancapkannya di hadapan beliau sebagai pembatas (sutrah) ketika beliau shalat di tanah lapang. Al-Hafidh Ibnu Hajar membagi hadits mushahhaf menjadi dua bagian : Bagian pertama beliau namakan dengan sebutan Tashhif; yaitu jika perubahannya adalah merubah titik-titik yang ada pada satu atau beberapa huruf, sedangkan bentuk katanya masih berupa bentuk yang semula. Bagian kedua beliau namakan dengan Tahrif. Sebutan ini beliau berikan pada perubahan yang terjadi pada bentuk kata. Ini adalah pembagian yang baru. Jika seorang perawi sering melakukan Tashhif (kesalahan), maka hal ini dapat mengurangi kekuatan hafalannya. Namun apabila kadang-kadang saja ia melakukannya, maka (dimaafkan karena) mustahil orang selamat dari kesalahan. Beberapa Buku tentang Tashhif yang Terkenal : 1. At-Tashhif Karya Al-Hafidh ‘Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni. 2. Ishlah Khatha’ Muhadditsiin karya Imam Ahli Hadits Ahmad bin Muhammad AlKhaththabi. 3. At-Tashhif wat-Tahrif wa Syarhu Maa Yaqa’u Fiih karya Imam Al-Hasan bin Abdillah Abu Muhammad Al-Askari.



HADITS SYADZ DAN MAHFUDH Ulumul-Hadits halaman 68-72; Al-Ba’itsul-Hatsits halaman 56; Tadribur-Rawi halaman 533; Nudhatun-Nadhar halaman 55; dan Taisir Musthalahul-Hadits halaman 117



Definisi Kata Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna : “yang menyendiri”.



Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit. Sedangkan kata Mahfudh secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim maf’ul dari kata Al-Hifdh yang bermakna “kekuatan hafalan”. Oleh sebab itu para ulama berkata : “Orang yang hafal adalah hujjah bagi orang yang tidak hafal”. Menurut istilah, hadits Mahfudh adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang membuat riwayatnya dimenangkan, dimana riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat”. Hadits Mahfudh adalah kebalikan dari hadits Syadz. Hadits Syadz dapat terjadi pada sanad maupun matan. Contoh-Contoh Hadits Syadz 1. Contoh Syadz yang Terjadi dalam Sanad Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah; dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meninggal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia tidak meninggalkan ahli waris kecuali bekas budaknya yang ia merdekakan. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan semua harta warisannya kepada bekas budaknya”. Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mereka dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya seorang laki-laki meninggal…………”. Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah, karena ia meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Amr bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas. Masing-masing dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Hammad bin Yazid adalah perawi yang terpercaya. Namun Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu Juraij, karena ia meriwayatkan hadits di atas secara [/I]mursal[/I] (tanpa menyebutkan shahabat Ibnu ‘Abbas). Sedangkan keduanya meriwayatkannya secara bersambung dengan menyebutkan perawi shahabat. Oleh karena keduanya lebih banyak jumlahnya, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu ‘Uyainah dinamakan Hadits Mahfudh. Sedangkan hadits Hammad bin Yazid dinamakan Hadits Syadz. 2. Contoh Syadz pada Matan Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu’ : ”Jika salah seorang di antara kalian selesai shalat sunnah fajar, maka hendaklah ia berbaring di atas badannya yang kanan”. Imam Al-Baihaqi berkata,”Abdul Wahid menyelisihi banyak perawi dalam hadits ini. Karena mereka meriwayatkan hadits tersebut dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan dari sabda beliau. Berarti Abdul-Wahid menyendiri dengan lafadh tersebut dari para perawi yang terpercaya dari teman-teman Al-A’masy”. Maka hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdul-Wahid ( = ia adalah seorang perawi yang terpercaya) adalah hadits Syadz. Sedangkan yang diriwayatkandari para perawi terpercaya yang lain dinamakan hadits Mahfudh.



Hukum Hadits Syadz dan Mahfudh Hadits Syadz termasuk dari hadits-hadits yang tertolak. Sedangkan hadits Mahfudh termasuk hadits-hadits yang diterima.



KETIDAKTAHUAN AKAN KONDISI PERAWI (JAHALATUR-RAAWI) Definisi Kata Jahalah secara bahasa adlah lawan kata dari “mengetahui”. Sedangkan lafadh AlJahalatu bir-Rawi artinya : “ketidaktahuan akan kondisi perawi”. Sebab-Sebab Ketidaktahuan akan Kondisi Perawi 1. Banyaknya sebutan untuk perawi. Mulai dari nama, kunyah, gelar, sifat, pekerjaan, sampai nasabnya. Bisa jadi seorang perawi terkenal dengan salah satu dari yang disebutkan di atas, kemudian ia disebut dengan sebutan yang tidak terkenal untuk suatu tujuan tertentu, sehingga ia dikira sebagai perawi lain. Misalnya seorang perawi yang bernama “Muhammad bin AsSa’ib bin Bisyr Al-Kalbi”. Sebagian ulama ahli hadits menghubungkan namanya dengan nama kakeknya, sebagian lain menamakannya dengan “Hammad bin As-Sa’ib”, sedangkan sebagian yang lain memberikan kunyah dengan Abu An-Nadhr, Abu Sa’id, dan Abu Hisyam. 2. Sedikitnya riwayat seorang perawi dan sedikit pula orang yang meriwayatkan hadits darinya. Seperti seorang perawi yang bernama Abu Al-Asyra’ Ad-Daarimi. Ia merupakan salah satu ulama tabi’in. Tidak ada orang yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Hammad bin Salamah. 3. Ketidakjelasan penyebutan namanya. Seperti seorang perawi yang berkata : ”Seseorang”; atau “Syaikh”; atau sebutan yang lain : “Telah mengkhabarkan kepadaku”. Definisi Majhul Kata Al-Majhul artinya : “orang yang tidak diketahui jati dirinya atau sifat-sifatnya”. Majhul mencakuptiga hal : 1. Majhul Al-‘Ain Majhul Al-‘Ain artinya : “seorang perawi yang disebut namanya dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali seorang perawi saja. Orang ini tidak diterima riwayatnya kecuali ada ulama yang mengatakan bahwa ia adalah perawi yang dapat dipercaya”. 2. Majhul Al-Haal Majhul Al-Haal dinamakan juga Al-Mastur (yang tertutupi). Yang dinamakan Majhul AlHaal adalah “seorang perawi yang mana ada dua orang atau lebih yang meriwayatkan hadits darinya dan tidak ada ulama yang mengatakan bahwa ia dalah perawi yang dapat dipercaya”. Riwayat orang seperti ini menurut pendapat yang paling benar adalah ditolak. 3. Al-Mubham Al-Mubham artinya : “Seorang perawi yang tidak disebut namanya dengan jelas dalam sanad”. Maka riwayat orang seperti ini adalah ditolak sampai namanya diketahui. Seandainya ketidakjelasan dalam menyebut namanya dengan menggunakan lafadh ta’dil ( = menyatakan ia adalah seorang yang terpercaya) seperti perkata : “Seorang yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku”, maka menurut pendapat yang kuat, tetap saja riwayatnya tidak diterima. Buku-Buku yang Membahas Tentang Sebab-Sebab yang Membuat Perawi Tidak Dikenal



1. Muwadldlih Awham Al-Jam’I wat-Tafriq karya Al-Khathib Al-Baghdadi. Buku ini membahas tentang sebutan-sebutan para perawi hadits. 2. Al-Wihad karya Imam Muslim. Buku ini membahas tentang riwayat perawi yang jumlahnya sedikit. 3. Al-Asmaa’ul-Mubham fil-Anbaa Al-Muhkam karya Al-Khathib Al-Baghdadi. Buku ini membahas tentang nama-nama para perawi yang disebut dengan tidak jelas.



BID’AH Nudhatun-Nadhar halaman 53; Ulumul-Hadits halaman 103; Al-Ba’tsul-Hatsits halaman 100; Tadribur-Rawi halaman 216; dan Taisir Musthalahul-Hadits halaman 123



Definisi Secara bahasa, kata Bid’ah berarti : “segala sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contohnya di masa terdahulu”. Sedangkan secara istilah, Bid’ah adalah : “sesuatu dari urusan agama yang diada-adakan setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa ada dasarnya”. Jenis-Jenisnya Bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu Bid’ah Mukaffirah dan Bid’ah Mufassiqah. 1. Bid’ah Mukaffirah Bid’ah mukaffirah adalah bid’ah yang dapat menjadikan pelakunya menjadi kafir. Kaidah bagi pelaku Bid’ah Mukaffirah ini adalah : “setiap orang yang mengingkari suatu urusan yang mutawatir dan wajib diketahui dari urusan-urusan agama atau orang yang meyakini kebalikannya”. Orang seperti ini tidak diterima riwayatnya. 2. Bid’ah Mufassiqah Bid’ah mufassiqah adalah bid’ah yang hanya menjadikan pelakunya sebagai orang yang fasiq. Bid’ah ini jika dilakukan tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Orang seperti ini riwayatnya tetap diterima dengan dua syarat : - Dia tidak mengajak orang untuk melakukan bid’ahnya. - Dia tidak meriwayatkan sesuatu yang dapat ia gunakan untuk melariskan bid’ahnya.



SU’UL-HIFDH (BURUK HAFALAN) Definisi Sayyi’ul-Hifdh ( = orang yang memiliki sifat su’ul-hifdh) yaitu “perawi yang tidak dapat dikuatkan sisi kebenaran hafalannya dikarenakan keburukan hafalannya”. Su’ul-Hifdhi ada dua macam : 1. Su’ul-Hifdh yang muncul sejak lahir dan masih tetap ada padanya, sehingga menjadikan riwayatnya ditolak. Menurut pendapat sebagian ahli hadits, khabar yang dibawanya dinamakan “syadz”. 2. Sesuatu yang menimpa perawi kadang terjadi seiring berjalannya waktu, baik karena lanjut usianya, atau karena hilang penglihatannya (buta), atau karena kitab-kitabnya terbakar. Yang demikian ini dinamakan Al-Mukhtalith (yang rusak akalnya, pikirannya, atau hafalannya). Hukum periwayatannya adalah : a. Jika terjadi sebelum rusak hafalannya dan masih dapat dibedakan, maka riwayatnya diterima.



b. Jika terjadi setelah rusak hafalannya, maka ditolak riwayatnya. c. Adapun jika tidak bisa ditentukan apakah terjadi sebelum rusak atau sesudahnya, maka hukum riwayat seperti ini adalah Tawaqquf, yaitu tidak diterima ataupun tidak ditolak sampai ada ketentuan yang bisa membedakan.



PEMBAGIAN HADITS MENURUT SANDARANNYA Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu : 1. Hadits Qudsi 2. Hadits Marfu’ 3. Hadits Mauquf 4. Hadits Maqthu’



HADIST QUDSI Definisi Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala. Bentuk-Bentuk Periwayatan Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi : Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”. Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah berfirman….”. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”. Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an 1. Al-Qur’an itu lafadhdan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. 2. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala. 3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir. Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.



Hadits Qudsi jumlahnya sedikit. Buku yang terkenal mengenai hal ini adalah [I[Al-Ittihafaat As-Sunniyyah bil-Hadiits Al-Qudsiyyah[/I] karya Abdur-Ra’uf Al-Munawi (103 H) yang berisi 272 hadits.



HADITS MARFU’ Definisi Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus). Macam-Macamnya Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum. Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.



Contohnya 1. Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu. 2. Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”. 3. Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”. 4. Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud. Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km) . 5. Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu. 6. Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jamana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. 7. Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”. 8. Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami



begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.



HADITS MAUQUF Definisi Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits pada shahabat. Hadits Mauquf menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung. Contohnya 1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”. 2. Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum”. 3. Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”. Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama



HADITS MAQTHU’ Definisi Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung. Perbedaan antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan. Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan AlMaqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’. Contohnya 1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”. 2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”. Tempat-Tempat yang Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’ Kebanyakan ditemukan hadits mauquf dan maqthu’ dalam : 1. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. 2. Mushannaf Abdurrazzaq. 3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul Mundzir.



ZIYADAH ATS-TSIQAH oleh : Abu al-Jauzaa Yang dimaksud dengan ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan perkataan dari sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain (tetapi tidak memakai tambahan itu). Para ulama hadits telah memeprhatikan hal ini, di antara mereka yang terkenal : a. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An-Naisabury. b. Abu Nu’aim Al-Jurjani. c. Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi. Tempat Terdapatnya Ziyadah Ats-Tsiqah dan Kondisi-Kondisinya Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad, dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal. Dan tambahan itu : a. Kadang terjadi dari satu orang, yang meriwayatkan hadits dalam keadaan kurang dalam satu riwayat, sedangkan dalam riwayat lainb terdapat penambahan. b. Dan kadang terjadi tambahan dari orang selain yang meriwayatkannya dalam keadaan kurang. Hukumnya Ibnu Shalah telah membagi – dan diikuti oleh Imam An-Nawawi – Ziyadah Ats-Tsiqah bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi tiga bagian : 1. Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah. Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima). 2. Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di-tarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak. 3. Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang muthlaq, atau mengkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah dan diterima. Contoh Tambahan Lafadh pada Matan 1. Contoh tambahan yang tidak terdapat peretntangan : Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushar, dari Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tambahan lafadh : “falyuriqhu” artinya : “maka hendaklah ia buang isinya”; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua ahli hadits dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah begini : “Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali”. Maka tambahan kalimat : “hendaklah ia buang isinya” adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan). 2. Contoh tambahan yang terdapat perselisihan, seperti tambahan “Hari Arafah” yang terdapat pada hadits yang berbunyi : “Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, hari raya kita umat Islam, adalah hari raya makan dan minum”.



Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat “Hari Arafah”. Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir,; dan tambahan ini telah di-tarjih. 3. Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i, dari Rib’i, dari Hudzaifah, berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Telah dijadikan semua bumi untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat bersuci”. Di sini terdapat Abu Malik Sa’ad bin Thariq Al-Asja’i dengan tambahan lafadh : “debunya”, sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang mereka riwayatkan adalah : “Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan tempat bersuci”. Madzhab Asy-Syafi’i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mereka menjadikan tambahan ini sebagai tambahan yang bertentangan dan menerapkan aturan tarjih antara lafadh tambahan dan hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan tambahan seperti ini. Hukum Tambahan dalam Sanad Yang dimaksud tambahan dalam sanad di sini adalah menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’, atau menyambung sanad yang mursal menjadi maushul. Atau dengan kata lain, terjadinya pertentangan antara me-marfu’-kan dengan me-mauquf-kan, dan me-maushul-kan dengan me-mursal-kan. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi tambahan seperti ini : a. Jumhur fuqahaa dan ahli ushul fiqh menerima tambahan ini. b. Jumhur ahlihadits menolak adanya tambahan ini. c. Sebagian ahli hadits berpendapat agar dilakukan tarjih, yang terbanyak itulah yang diterima. Contohnya Hadits : ”Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali”. Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq As-Sab’i dan anaknya Isra’il, dan Qais bin Ar-Rabi’, dari Abi Ishaq dengan sanad bersambung. Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal.



AL-MUTTABI’ DAN ASY-SYAHID, SERTA JALAN MENCAPAI KEDUANYA (AL-I’TIBAR) Contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam bersabda :



‫ﺍﻟشهﺮ ﺗﺴع ﻭﻋشﺮﻭﻥ ﻓال ﺗصﻮﻣﻮﺍ ﺣﺘى ﺗﺮﻭه ﺍﻟهالﻝ ﻭﻻ ﺗﻔطﺮﻭﺍ ﺣﺘى ﺗﺮﻭه ﻓإﻥ غﻢ ﻋﻠﻴكﻢ‬ ‫ﻓﺎقﺪﺭﻭﺍ ﻟﻪ‬ ”Bulan itu bilangannya 29 hari, jangan berpuasa sebelum kamu melihat hilal, danjangan kamu berbuka sebelum kamu melihatnya. Maka jika tertutup awan atas kamu, perkirakanlah baginya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik, Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, dan Ibnu Khuzaimah. Diriwayatkan oleh shahabat Malik dari Malik, dari Abdullahbin Dinar, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”……maka jika tertutup awan atas kamu, maka perkirakanlah baginya”.



Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’I, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin ‘Umar dengan lafadh yang sama bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”…….maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Salamah Al-Qa’nabi, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”……..maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari”. Dan diriwayatkan oleh ‘Ashim bin Muhammad, dari bapaknya Muhammad bin Zaid, dari kakeknya Abdullah bin ‘Umar dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”………maka jika tertutup awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangannya 30 hari”. Dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Hunain, dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadh : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”…….maka jika tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangannya 30 hari”. Dan diriwayatkan Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalllam bersabda : ”……maka jika terhalang awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari”. Di sini ada beberapa permasalahan : 1. Sebagian kaum mengira bahwa Imam Syafi’I hanya sendiri dalam meriwayatkan hadits Ibnu ‘Umar dengan lafadh : ”maka sempurnakanlah bilangan 30 hari”. 2. Para ulama telah membahas dan meneliti matan dan sanad-sanad, dan mereka mendapatkan : a. Bahwasannya Al-Qa’nabi telah menyertai Imam Asy-Syafi’I mulai dari awal sanad sampai ke Ibnu ‘Umar dengan lafadh : ”….maka sempurnakanlah bilangan 30 hari”. b. Bahwasannya Muhammad bin Zaid telah menyertai Asy-Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits Ibnu ‘Umar dengan lafadh : ”…….maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh”. 3. Dan para ulama telah membahas dan menguji matan dan sanad-sanad, dan mereka mendapatkan : a. Bahwasanya Muhammad bin Hunain telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi’I, akan tetapi hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas dengan lafadh : ”………maka sempurnakanlah bilangan 30 hari”. b. Bahwasannya Muhammad bin Ziyad telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi’I, namun hanya sampai kepada Abu Hurairah dengan lafadh : ”….maka jika tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sy’ban 30 hari”. Dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang diriwayatkan Imam Asy-Syafi’I bukanlah gharib karena terdapat persamaan dan penyertaan dalam lafadh atau makna dari riwayat Ibnu ‘Umar itu sendiri atau dari shahabat yang lain. Maka riwayat yang menyertai hadits, baik dalam hal lafadh ataupun makna, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu, maka riwayat itu dinamakan muttabi’. Sedangkan hadits yang menyertai hadits, baik lafadh maupun maknanya, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah berbeda, maka dinamakan syahid. Dan kesamaan shahabat dalam periwayatan hadits, menurut Imam Asy-Syafi’I :



a. Jika terjadi pada awal sanad, maka dinamakan mutaba’ah yang sempurna. b. Jika tidak dimulai pada awal sanad, maka dinamakan mutaba’ah yang kurang sempurna. Atas dasar ini, maka : Al-Muttabi’, disebut juga At-Taabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba’a yang artinya yang mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu. Asy-Syahid, menurut bahasa adalah isim fa’il yang artinya adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan. Al-Mutaba’ah, menurut bahasa adalah pengiringan. Sedangkan menurut istilah adalah penyertaan seorang perawi kepada perawi yang lain dalam periwayatan hadits. Dan AlMutaba’ah ada dua macam : 1. Al-Mutaba’ahTaammah (yang sempurna) : apabila seorang perawi menyertai mulai dari awal sanad. 2. Mutaba’ah qashirah (yang kurang sempurna) : apabila seorang perawi menyertai di tengah sanad. Al-I’tibar, menurut bahasa yaitu memperhatikan perkara-perkara tertentu untuk mengetahui jenis lain yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak, yaitu kondisi menuju kepada muttabi’ dan syahid.



Pengertian Hadits Shahih Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen) 2. Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen) 3. Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung) 4. Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung) Dalam kajian kali ini, kita akan membahas seputar bagian pertama di atas, yaitu Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen) Definisi Shahîh Secara bahasa (etimologi), kata ‫(ﺢﻴﺤصﻟﺍ‬sehat) adalah antonim dari kata ‫(ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ‬sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit) Penjelasan Definisi - Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.



- Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya. - Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orangorang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab) - Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya) - Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya. Syarat-Syaratnya Melalui definisi di atas dapat diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia menjadi hadits yang Shahîh ada lima: Pertama, Sanadnya bersambung Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz Bilamana salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suatu hadits tidak dinamakan dengan hadits Shahîh. Contohnya Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu. Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (’Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)



Hadits ini dinilai Shahîh karena: 1. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ‫(ﻦﻋ‬dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayatperiwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat). 2. Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : a. ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin b. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh c. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua d. Muhammad bin Jubair : Tsiqah e. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat 3. Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya. 4. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun. Hukumnya



Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya. Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh” 1. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa. 2. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar. Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak? Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanadsanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat. Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah: 1. Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (’Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad. 2. Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas. 3. Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in. 4. Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah. 5. Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy. Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan Hanya Memuat Hadits Shahih Saja Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya. Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya? Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim.



Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih. Apakah Keduanya Mencantumkan Semua Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu? Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuana mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.” Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat? Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari haditshadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.” Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di Dalam Kitab ash-Shahîhain? 1. Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits. 2. Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga. Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahîhain? Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan adDâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah. Seputar Kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, Shahîh Ibn Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân 1. al-Mustadrak karya al-Hâkim Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut. Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.



Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh. (Salah seorang yang juga mengadakan pemantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisinya adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-) 2. Shahîh Ibn Hibbân Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun permusnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab. Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109) 3. Shahîh Ibn Khuzaimah Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya. Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim? Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab tersebut secara penuh. Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu? Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih. Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits al-Mu’allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali. Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut: 1. Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk ucapan pasti), seperti dengan ungkapan ‫(ﻝﺎق‬Qâla/berkata); ‫(ﺮﻣﺃ‬Amara/memerintahkan) dan ‫ﺮﻛﺫ‬ (Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu dinyatakan, misalnya ‫(ﻥالﻓﻝﺎق‬si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu]



2. Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti dengan ungkapan ‫ﻯﻭﺮﻳ‬ (yurwa/diriwayatkan [masa sekarang]); ‫(ﺮﻛﺬﻳ‬yudzkar/disebutkan [masa sekarang]); ‫ىكﺤﻳ‬ (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); ‫( ﻱﻭﺭ‬ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ‫ﺮﻛﺫ‬ (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh. Tingkatan Keshahihan Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan: A. Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar. B. Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas. C. Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayatperiwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan: 1. Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi) 2. Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari 3. Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim 4. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya 5. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya 6. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya 7. Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim). Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya. Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para



periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka. Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih” Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (’Ulûm al-Hadîts:24) Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits ‘Azîz ? Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ashShahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja). Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.



PERBEDAAN HADITS, KHABAR, DAN ATSAR oleh : Abu Al jauzaa



Definisi Hadits Hadits menurut bahasa berarti baru. Hadits juga – secara bahasa – berarti : “sesuatu yang dibicarakan atau dinukil”. Juga : “sesuatu yang sedikit atau banyak”. Bentuk jamak dari hadits adalah ahaadits. Adapun firman Allah ‫ ﺗﻌﺎﻟى‬:



ً ‫ﺳﻔ ﺎ‬ ِ ‫ﺎﺭ ِه ْﻢ ِﺇﻥ ﻟّ ْﻢ ﻳُؤْ ِﻣﻨُﻮﺍْ ِﺑ َهـَﺬَﺍ ْﺍﻟ َﺤﺪِﻳ‬ ِ َ‫ﻓَﻠَﻌَﻠّكَ ﺑ‬ َ َ‫ﺴك‬ َ َ‫ث ﺃ‬ َ ‫ﺎخ ٌع ﻧّ ْﻔ‬ ِ َ ‫ى آث‬ َ َ ‫ﻋﻠ‬ ”Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS. Al-Kahfi : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an. Juga firman Allah ‫ ﺗﻌﺎﻟى‬:



ْ ‫َﻭﺃ َ ّﻣﺎ ِﺑﻨِ ْﻌ َﻤ ِة َﺭﺑّكَ ﻓَ َﺤﺪ‬ ‫ّث‬ ”Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah” (QS. Adl-Dluhaa : 11). Maksudnya : sampaikanlah risalahmu, wahai Muhammad (Lisaanul-‘Arab Ibnul-Mandhur). Hadits menurut istilah ahli hadits adalah : “Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi ‫ﺻﻠى ﷲ‬ ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul-fiqh, hadits adalah : “Perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬setelah kenabian”. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. (Ushulul-Hadits, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, halaman 27). Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, antara lain Tafsir, Sirah, Maghazi (peperangan Nabi), dan Hadits.



Buku-buku hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita-berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidk disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syari’at. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬setelah kenabian”. (Fatawaa Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, 18/10-11). Contoh perkataan Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬adalah sabda beliau :



‫ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭ ﺇﻧﻤﺎ ﻟكل ﺍﻣﺮئ ﻣﺎ ﻥ ﻭﻯ‬ ”Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orangtergantung pada niatnya” (HR.Bukhari dan Muslim). Sabda beliau ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬juga :



‫هﻮ ﺍﻟطهﻮﺭ ﻣﺎئﻪ ﺍﻟﺤل ﻣﻴﺘﺘﻪ‬ ”(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Contoh penetapan (taqrir) Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬adaah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry ‫ﺭﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ‬, dia berkata : “Ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayamum dengan debu bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudlu dan shalat, sedangkan yang lain tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap Rasulullah ‫ﺻﻠى ﷲ‬ ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬dan menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬bersabda : ”Engkau sudahbenar sesuai sunnah, dan sudah cukup dengannya shalatmu” Dan kepada yang mengulangi wudlu dan shalatnya, beliau ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬bersabda : ”Bagimu pahala dua kali lipat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i). Dari Mu’adz bin Jabal ‫ ﺭﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ‬bahwasannya Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman : “Apa yang kamu jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi sesuatu masalah?”. Ia menjawab : “Dengan Kitabullah”. Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬bertanya : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?”. Dia menjawab : “Dengan Sunnah Rasullullah ‫[“ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬/I]. Beliau bertanya lagi : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Sunnag Rasulullah dan Kitabullah ?” Dia menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pikiranku”. Kemudian Rasulullah ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ﻭﺳﻠﻢ‬menepuk dadanya dan bersabda : ”Maha Suci Allah yang telah memebri petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridlai Rasulullah” (HR. Abu Dawud, dan didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah). Diriwayatkan bahwasannya Khalid bin Walid ‫ ﺭﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ‬pernah memakan dlabb (hewan sebangsa biawak di padang pasir) yang dihidangkan kepada Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, sedangkanbeliau tidak memakannya. Sebagian shahabat bertanya,”Apakah diharamkan memakannya wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,”Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku tidak merasa berminat” (HR. Bukhari dan Muslim). Contoh dari sifat dan Sirah Nabi ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, adalah banyak sekali . Dan At-Tirmidzi telah menyusun sebuah buku tentang tabi’at (syamail) beliau ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬. (At-Tasyri’ walFiqhi fil-Islam tarikhan wa Manhajan, Manna’ Al-Qahthan, halaman 87-88).



Di antara contohnya adalah : Dari Abi Ishaq, dia berkata,”Seorang laki-laki bertanya kepada Barra’ : ‘Apakah wajah Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬seperti pedang?”. Dia menjawab : “Tidak, tapi seperti rembulan” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”). Dari Barra’ dalam riwayat lain,”Rasulullah ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬tidak pendek dan tidak tinggi” ( HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”.). Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata,”Belum pernah aku melihat Rasulullah ‫ﺻﻠى ﷲ‬ ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku”.



Definis Khabar Khabar menurut bahasa adalah berita. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat : 1. Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits, sehingga maknanya menjadi sama secara istilah. 2. Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang datang dari Nabi ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ ; ﻭﺳﻠﻢ‬sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, seperti shahabat dan tabi’in. 3. Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi ‫ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬, sedang khabar adalah yang datang dari Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬dan selain Nabi ‫ ﺻﻠى ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬.



Definsi Atsar Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat : 1. Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits, makna keduanya adalah sama. 2. Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan dan perbuatan mereka. bersambung



ILMU RIJAALUL-HADIITS oleh : Abu Al-Jauzaa Sebelum masuk ke pembahasan utama, perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukumhukumnya, keadaan perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa yang berkaitan dengannya. Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang diketahui dengannya keadaan perawidan yang diriwayatkan”. Dan perawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang ia mengambil darinya. Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan cara periwayatan, dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad. Maka apabila Imam Bukhari berkata misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi, dia telah berkata : Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat) bertanya : ‘Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :



‫ﻣﻦ ﺳﻠﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﻭﻳﺪه‬



”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya”. Orang-orang yang telah disebutkan Imam Bukhari ini – mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut periwayat hadits. Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits. Sedangkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‫”ﻣﻦ ﺳﻠﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﻭﻳﺪه‬Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau hadits; dinamakan matan. Dan orang yang meriwayatkan hadits dengan smua rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid. Sedangkan perbuatannya ini dinamakan isnad (penyandaran periwayatan). Dari penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai sebagai berikut : - As-Sanad, dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia menyandarkan kepadanya. - Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang menghubungkan kepada matan”, atau “susunan para perawi yang menghubungkan ke matan”. Dinamakan sanad karena para huffadh bergantung kepadanya dalam penshahihan hadits dan pendla’ifannya. - Al-Isnad adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar mendefiniskannya dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian para rijaalul-hadiits yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan sanad. - Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya. - Matan menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”. - Matan menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad. Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya. Tadriibur-Raawi halaman 5-6 dan Nudhatun-Nadhar halaman 19). - Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka. Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka. Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah mengatakan : ”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Muqaddimah Shahih Muslim). Maka dengan ilmu Tarikh Rijaalil-Hadiits ini akan sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’ ). Dari Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Isa Ath-Thalaqani dia berkata,”Aku telah berkata kepada Abdullah bin Al-Mubarak : Wahai Abu Abdirrahman, hadits yang menyebutkan : Sesungguhnya termasuk kebaikan hendaknya engkau mendoakan untuk kedua orang tuamu bersama doamu, dan engkau berpuasa untuk mereka berdua bersamaan dengan puasamu”, Maka Abdullah (bin Al-Mubarak) berkata,”Wahai Abu Ishaq, dari siapakah hadits ini?”. Maka aku katakan : “Ini dari Syihab bin Khurasy”. Maka dia berkata,”Dia itu tsiqah, lalu dari siapa?”. Aku katakan,”Dari Al-Hajjaj bin Dinar”. Ia punberkata,”Dia pun tsiqah. Lalu dari siapa?”. Aku katakan,”Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda….”. Dia (Abdullahbin Al-Mubarak) berkata : “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya antara Al-Hajjaj bin Dinar dan Bai shallallaahu ‘alaihi wasallam terdapat jarak yang sangat jauh. Akan tetapi tidak ada perselisihan dalam masalah keutamaan sedekah”. Demikianlah keistimewaan umat kita dan kaum muslimin. Ibnu Hazm berkata,”Riwayat orang yang tsiqah dari orangtsiqah yang sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam secara bersambung merupakan kekhususan kaum muslimin yang tidak dimiliki oleh



semua agama”. Dan Tarikh Ar-Rijal (sejaran para perawi) adalah yang membuka kedok para perawi pendusta. Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Ketika menghadapi para perawi berdusta, maka kita menggunakan ilmu tarikh untuk menghadapi mereka”. Dari Hafsh bin Ghiyats bahwasannya dia berkata,”Apabila kalian mencurigai atau menuduh seorang Syaikh, maka hitunglah dia dengan tahun ( = maksudnya : gunakanlah ilmu tarikh). Yaitu hitunhlah oleh kalian umurnya dan umur orang yang mneulis darinya”. Telah meriwayatkan ‘Ufair bin Mi’dan dan Al-Kula’i, dia berkata,”Datang kepada kami Umar bin Musa di Himsh, lalu kami bergabung kepadanya di dalam masjid, kemudian dia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Syaikh kalian yang shalih”. Aku katakan kepadanya,”Siapakah Syaikh kami yang shalih ini, sebutkanlah namanya supaya kami mengenalnya!”. Lalu dia menjawab,”Khalid bin Mi’dan”. Aku tanyakan kepadanya,”Tahun berapa engkau bertemu dengannya?”. “Aku bertemu dengannya tahun 108”,jawabnya. “Dimana negkau menemuinya?”,tanyaku. “Dalam peperangan Armenia”,jawabnya. Maka aku katakan kepadanya,”Takutlah kepada Allah, wahai Syaikh!! Jangan engkau berdusta, Khalid bin Mi’dan meninggal pada tahun 104, lalu negkau mengatakan bertemu dengannya 4 tahun setelah kematiannya?. Dan aku tambahkan lagi kepadamu, dia tidak pernah ikut perang di Armenia, dia hanya ikut memerangi Romawi”. Dari Al-Hakim bin Abdillah dia berkata,”Ketika datang kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Abdillah Al-Kusysyi dan menceritakan hadits dari Abd bin Humaid, aku menanyakan kepadanya tentang kelahirannya, lalu dia menyebutkan bahwasannya dia dilahirkan pada tahun 260. Maka aku katakan kepada para murid kami,”Syaikh ini telah mendengar dari ‘Abd bin Humaid 13 tahun setekah kematiannya”. Contoh seperti ini sudah banyak terkumpul dan dibukukan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Danberbagai macam buku karya tentang hal itu banyak bermunculan dengan berbagai tujuan Kitab-Kitab tentang Nama-Nama Shahabat Secara Khusus Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari kata Ash-Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak. Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun. Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,”Barangsiapa yang pernah menemani Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari shahabat-shahabat beliau”. Ibnu Ash-Shalah berkata,”Telah sampai kepada kami dari Abul-Mudlaffir As-Sam’ani AlMarwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasalla, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya”. Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi’in Sa’id bin Al-Musayyib perkataan : “Dapat dianggap sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan”. Ini yang dihikayatkan para ulama ushul-fiqh. Akan tetap Al-‘Iraqi membantahnya,”Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau,



termasuk ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil dan belum pernah duduk bersamanya”. Ibnu Hajar berkata,”Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan orangyang pernah melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam walaupun sekali dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta” (Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah halaman 263, Al-ba’itsul-Hatsits halaman 179, Al-Ishabah 1/4, FathulMughits 4/29. dan Tadriibur-Rawi halaman 396).



Cara Mengetahui Shahabat 1. Diketahui keadaan seseorang sebagai shahabat secara mutawatir. 2. Dengan ketenaran, meskipun belum sampai batasan mutawatir. 3. Riwayat dari seorang shahabat bahwa dia adalah shahabat. 4. Atau dengan mengkhabarkan dirinya bahwa dia adalah seorang shahabat. Dan diperselisihkan mengenai siapa yang pertama kali masuk Islam dari kalangan shahabat. Ada yang mengatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada juga yang mengatakan : Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain : Zaid bin Haritsah. Pendapat lain mengatakan : Khadijah binti Khuwailid. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orangyang pertama membenarkan pengutusan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mutlak. Ke-’adalah-an Shahabat Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, semua shahabat itu adalah ’adil, karena Allah ta’ala telah memuji mereka dalam Al-Qur’an; dan As-Sunnah pun juga telah memuji akhlaq dan perbuatan mereka, serta pengorbanan mereka kepada rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam baik harta dan jiwa mereka; hanya karena ingin mendapatkan balasan dan pahala dari Allah ta’ala. Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, ada diantaranya yang terjadi karena tidak disengaja seperti Perang Jamal. Dan ada pula yang terjadi karena ijtihad mereka seperti Perang Shiffin. Ijtihad bisa salah, bisa pula benar. Jika salah dimaafkan dan tetap mendapatkan pahala, dan jika benar maka akan mendapatkan dua pahala. Dan di antara shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Anas bin Malik, ‘Aisyah Ummul-Mukminin, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah Al-Anshari, dan Abu Sa’id Al-Khudry (Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Anshary). Dan di antara mereka ada yang sedikit meriwayatkan, atau tidak meriwayatkan sedikitpun. Shahabat yang paling terakhir meninggal adalah Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah Al-Laitsi, meinggal pada tahun 11 Hijriyyah di Makkah. Kitab-Kitab Terkenal Mengenai Shahabat a. Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita. b. Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 245 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada kita. c. Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita. d. Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi. e. Tajrid Asmaa’ Ash-Shahabah, karya Al-Hafidh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin



Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), telah dicetak di India. f. Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H). Dan dia adalah orang yang paling banyak melalukan pengumpulan dan penulisan. Jumlah kumpulan biografi yang terdapat dalam Al-Ishaabah adalah 122.798, termasuk dengan pengulangan, karena ada perbedaan pada nama shahabat atau ketenarannya dengan kunyah-nya, gelar, atau semacamnya; dan termasuk pula mereka yang disebut shahabat, namun ternyata bukan. Penyusunan Kitab Berdasarkan Thabaqat (Generasi) Di antara penyusun kitab Tarikh Ar-Ruwat, ada yang menyusunnya berdasarkan tingkat generasi, yang meliputi shahabat, tabi’In, tabi’ut tabi’in, dan orang yang mengikuti mereka pada tiap generasi. Thabaqat adalah sekelompok perawi yang hidup dalam satu masa. Buku tersebut terkadang mencakupi perawi hadits secara umum dalam setiap thabaqat tanpa terikat pada tempat tertentu, dan terkadang pula hanya para perawi yang hidup dalam satu negeri. Karya terkenal dalam metode thabaqat ini adalah : a. Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut. b. Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid. c. Kitab Thabaqat Ar-Ruwat, karya Khalifah bin Khayyath (wafat tahun 240 H).Ibnu Hajar mengambil darinya, dan terdapat manuskripnya hingga kini. d. Kitab Ath-Thabaqaat, karya Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (wafat tahun 261 H) dan tedapat manuskripnya hingga kini. e. Kitab Ath-Thabaqat, karya Abu Bakar Ahmad bin Andillah Al-Barqi (wafat tahun 270 H), mengambil darinya Ibnu Hajar dalam Tahdzib Al-tahdzib. f. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H). g. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin bi Ashbahan wal Wariidina ‘Alaiha, karya Abu Syaikh bin Hayyan Al-Anshary (wafat tahun 369 H) dan terdapat manuskripnya hingga kini. h. Kitab Thabaqaat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Abdurrahman bin Mandah (wafat tahun 470 H). Banyak karya yang sudah hilang, dan yang sampai ke tangan kita hanya sebagian kecil saja. Dan yang paling tinggi nilainya adalah kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad. Dan di antara para penyusun ada yang menulis berdasarkan negeri-negeri, seperti : a. Tarikh Naisabur, karya Imam Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisabury (wafat tahun 405 H), dia termasuk kitab yang hilang. b. Tarikh Baghdad, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Baghdadi yang dikenal dengan AlKhathib Al-Baghdadi (wafat tahun 463 H), dicetak, dan dia termasuk kitab yang paling menonjol dan paling banyak manfaatnya. c. Tarikh Dimasyq, karya seorang ahli sejarah Ali bin Al-Husain yang dikenal dengan Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi (wafat tahun 571 H).



jalan Menerima Hadits dan Bentuk Penyampaiannya Oleh : Abu Al-jauzaa



Tadribur-Rawi halaman 236; Ulumul-Hadits halaman 118; Nudhatun-Nadhar halaman 76; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 158 Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul – ‫)طﺮق ﺍﻟﺘﺤﻤل‬



adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’ – ‫ )ﺻغةُ ﺍﻷدﺍء‬adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( ُ‫ﺳ ِﻤ ْﻌت‬ َ ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( ‫ﺣﺪَّثَﻨِﻲ‬ َ ) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; alqira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, alwashiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing : 1. As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru). Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh : telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits. 2. Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih – ‫(ﺣﺪثﻨﺎ قﺮﺍئة ﻋﻠﻴﻪ‬ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana ( ‫ )ﺃخﺒﺮﻧﺎ‬saja tanpa tambahan yang lain. 3. Al-Ijazah Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :



a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”. c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”. d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan – ‫(ﺃﺟﺎز ﻟﻔالﻥ‬beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – ‫ﺣﺪثﻨﺎ ﺇﺟﺎزة‬, [/I]akhbarana ijaazatan[/I] – ‫ﺃخﺒﺮﻧﺎ ﺇﺟﺎزة‬, dan anba-ana ijaazatan – ‫(ﺃﻧﺒأﻧﺎ ﺇﺟﺎزة‬beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah). 4. Al-Munaawalah atau menyerahkan. Al-Munawalah ada dua macam : a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah. b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii ( ‫)ﻧﻮﻟﻨﻲ ﻭﺃﺟﺎزﻧﻲ‬, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan ( ‫)ﺣﺪثﻨﺎ ﻣﻨﺎﻭﻟة ﻭﺇﺟﺎزة‬, atau akhbarana munawalatan ( ‫)ﺃخﺒﺮﻧﺎ ﻣﻨﺎﻭﻟة‬. 5. Al-Kitabah Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam : a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah. b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan



tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. 6. Al-I’lam (memberitahu) Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – ‫(ﺃﻋﻠﻤﻨﻲ ﺷﻴﺨﻲ‬guruku telah memberitahu kepadaku). . Al-Washiyyah (mewasiati) Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – ‫(ﺃﻭﺻى ﺇﻟﻲ ﻓالﻥ ﺑكﺘﺎب‬si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – ‫(ﺣﺪثﻨﻲ ﻓالﻥ ﻭﺻﻴة‬si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat). 8. Al-Wijaadah (mendapat) Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku te;ah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.