Ringkasan Integrasi Islam DLM Kesehatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (INTEGRASI ISLAM DALAM PRAKTEK KESEHATAN)



OLEH : Nama Nim



: Ning Bayzuroh : 1913453050



Prodi : DIII TLM (A) DOSEN PEMBIMBING : ALI ASMUL, M.Pd



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN PERINTIS PADANG TAHUN 2020



INTEGRASI ISLAM DALAM PRAKTEK KESEHATAN Untuk mengenang dan meneladani ilmuwan muslim di bidang Kedokteran, berikut dikemukakan beberapa ilmuwan muslim yang memiliki prestasi cemerlang baik di bidang Kedokteran, Keperawatan dan Kebidanan yang saat ini mulai dilupakan. 1. Rufaidah Binti Sa’ad Rufaidah Binti Sa’ad adalah salah satu perawat muslim yang mulai popular ketika terjadi perang khandak. Dia mendirikan perkemahan yang disebut perkemahan Rufaidah yang dibuat dekat masjih untuk menampung dan merawat pasukan kaum muslimin yang terluka. Rufaidah sangat mahir dan syarat pengalaman dalam meracik obat, dan memperbaiki tulang yang patah. Perkemahannya mirip dengan rumah sakit lapangan di dalam istilah kemiliteran sekarang (Muhammad Qutb, 2009) Omar Hasan Kasule (1998) dalam tulisannya yang berjudul Rufaidah bint Sa’ad: Historical Roots of the Nursing Profession in Islam menyatakan Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah Islam. Beliau hidup di masa Nabi Muhammad saw di abad pertama Hijriah dan diilustrasikan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. Ahmad Shawqi (1980) dalam bukunya Rufaidah, Awwal Mumaridhat fi al Islam juga menggambarkan Rufaidah sebagai seorang pemimpin, organisatoris dan mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain. Rufaidah memiliki pengalaman klinik yang dapat ditularkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. 2. Ibnu Sina Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “bapak pengobatan modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karyakaryanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Ibnu Sina bernama lengkap Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina. Ibnu Sina di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal di Hamadan, Persia (Iran). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling



terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb). 3. Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 - 930. Ia lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad. Ar-Razi juga diketahui sebagai ilmuwan serbabisa dan dianggap sebagai salah satu ilmuwan terbesar dalam Islam.



4. Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas azZahrawi Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi dikenal di Barat sebagai Abulcasis atau “bapak operasi modern”, adalah salah satu pakar di bidang kedokteran pada masa Islam abad Pertengahan. Karya terkenalnya adalah Al-Tasrif, kumpulan praktik kedokteran yang terdiri atas 30 jilid. Abul Qasim lahir di Zahra, yang terletak di sekitar Kordoba, Spanyol. Di kalangan bangsa Moor Andalusia, dia dikenal dengan nama “El Zahrawi”. Al-Qasim adalah dokter kerajaan pada masa Khalifah Al-Hakam II dari kekhalifahan Umayyah.



Ajaran Islam Tentang Kebersihan Jasmani Ajaran Islam Tentang Kebersihan Jasmani Berdasarkan bukti-bukti otentik diyakini bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Allah yang Maha Suci. Oleh karena itu, ajaran Islam senantiasa berorientasi pada kesucian jasmani dan ruhani. Kesucian jasmani dan ruhani merupakan indikator utama manusia yang sehat. Sehat fisiknya, dan sehat jiwanya. Misalnya dalam salah satu ayat Al-Qur’n dengan sangat apik Islam menjelaskan bahwa istri yang sedang haid dilarang disetubuhi, karena darah haid itu kotor dan berpotensi terjangkit penyakit endrometrisis dan lainnya. bahkan larangan menyetubuhi istri saat haid selain sebagai kebersihan jasmani, juga terkait dengan kesucian jiwa seseorang. Ada beberapa keutamaan agama Islam sebagai tatanan nilai yang menjunjung kebersihan, yakni: 1. Islam mengajarkan kebersihan 2. Islam mengedepankan pencegahan penyakit Islam mengedepankan pencegahan penyakit 3. Orang yang menjaga kebersihan dicintai Allah



4. Kebersihan itu sebagian dari iman 5. Kesucian adalah syarat ibadah Ajaran Islam Tentang Kesehatan Mental Ajaran Islam Tentang Kesehatan Mental Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah (Achmad Mubarok, 2000). Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna. Dorongan Islam terhadap Kinerja Perawat dan Bidan 1. Pengertian kinerja Kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas yang oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya (Anwar Prabu Mangkunegara, 2000) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja”. Kinerja tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik semata, tetapi berangkat dari sikap positif terhadap pekerjaan yang ditekuninya. Oleh sebab itu untuk menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai kerja sesuatu yang luhur, diperlukan dorongan atau motivasi. Dorongan atau motivasi selain sebagai bentuk kesadaran yang inheren dalam diri seseorang, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berkembang dalam sebuah organisasi sebagai nilai yang dihasilkan dalam sebuah proses kepemimpinan. 2. Kinerja Bidan dan Perawat Kinerja Bidan dan Perawat Dalam rangka membenahi kinerja Perawat dan Bidan, Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehtatan Nomor 836/MENKES/SK/VI/2005 tentang Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK). 3. Paradigma Islam tentang kinerja Setiap organisasi apapun pasti memiliki standar kinerja bagi karyawannya. Standar inilah yang dipakai untuk menilai apakah karyawan tersebut berkinerja baik ataupun buruk. Kinerja biasanya tidak hanya ditentukan oleh faktor internal (diri) semata, tetapi juga dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal.



Kepribadian Perawat dan Bidan Pelayanan



Kesehatan dewasa ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, karena masih berkutat pada masalah prosedural, rigid, dan kaku. Masyarakat sering merasa dirugikan secara materil karena harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, disisi lain pelayanan tenaga medis tidak memberikan kepuasan batin. Hal ini banyak mendapat perhatian dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Dari aspek komunikasi, banyak Perawat atau Bidan yang tidak mampu bertindak sebagai komunikator yang baik. Bentuk komunikasinya kaku bahkan terkadang terkesan tidak ramah terhadap pasien yang sangat membutuhkan support. Sementara dari sisi psikologis, tidak terjalin hubungan kejiwaan antara Perawat dan Bidan dengan pasiennya. Padahal, salah satu instrumen penyembuhan adalah dengan melipatgandakan motivasi yang dimiliki pasien untuk sembuh dari sakit. Disinilah pentingnya perubahan paradigma Perawat dan Bidan agar terampil dalam menggunakan berbagai pendekatan sebagai upaya untuk memberikan kepuasan dan kesembuhan bagi pasien. Pendekatan multidisipliner perlu diterapkan karena Perawat dan Bidan bukan hanya bertanggungjawab terhadap kesembuhan fisik semata, tetapi harus mampu menyentuh aspek kejiwaan pasien.



Adab membesuk pasien Berkunjung adalah bentuk ikatan persaudaraan dan pertemanan. Dengan mengunjungi orang sakit di rumah atau rumah sakit diharapkan dapat menghilangkan kegelisahan dan kesepian bagi orang sakit. Ketika dikunjungi, maka si sakit akan merasa diperhatikan dan mendapat dukungan. Dukungan ini sangat penting bagi terciptanya rasa percaya diri pasien agar tetap tegar dalam kondisi fisik yang lemah. Jiwa yang tegar akan mampu menguatkan kembali daya tahan fisik, minimal akan menyegarkan otak dan jiwa pasien. Mengunjungi orang sakit dianggap suatau perbuatan terpuji bagi bangsa bangsa yang telah maju dan beradab. Hal ini merupakan suatu kewajiban bagi mereka. Perbuatan ini menunjukkan suatu tingkat peradaban yang tinggi dan menifestasi solidaritas sesama manusia. Pada umumnya orang sakit akan bertambah penyakitnya karena tekanan jiwanya. Itulah sebabnya berkunjung termasuk pengurangan tekanan batin bagi orang sakit. Hal itu besar pengaruhnya dalam memberikan ketenangan pada jiwanya, di samping obat-obat yang diberikan kepadanya. 1. Aspek yang perlu diperhatikan pengunjung a. Apabila penyakitnya menular seperti penyakit kuning, muntaber, lepra, paru-paru dan sebagainya, hendaklah minta nasehat dokter terlebih dahulu sebelum berkunjung dan mematuhi prosedur tetap (protap) yang ditentukan; b. Memerhatikan waktu mengunjungi orang sakit dengan seksama; c. Agar tidak membawa makanan yang dilarang oleh dokter yang merawat; d. Jangan terlalu lama mengunjungi orang sakit, karena ia butuh istirahat; e. Selama berkunjung peliharalah ketenangan di ruang orang sakit; f. Jangan membawa anak-anak yang di bawah umur 12 tahun;



g. Hendaknya memperhatikan sakit yang diderita oleh orang sakit, apakah menular atau tidak (Jurnalis Udin, 2002). 2. Aspek yang perlu diperhatikan bagi Pasien Selain bagi pengunjung, tentu berlaku juga aturan bagi pasien. Banyak pasien yang membandel karena masih memertahankan paradigma tradisional yang dipertahankan kendatipun tidak sesuai dengan aspek medis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pasien adalah: a. Patuhilah segala nasehat dokter; b. Usahakanlah menghilangkan perasaan cemas, takut, panik dan gelisah, karena hal itu akan menambah penderitaan; c. Hendaklah percaya kepada dokter yang merawat bahwa melalui perantaraannya akan dapat mengobati penyakit (Jurnalis Udin, 2002)



3. Tuntunan islam dalam mengunjungi pasien a. Mendo’akannya b. Berbocara yang baik dan seperlunya c. Menjaga ketenangan d. Mengembirakan e. Menasehatinya f. Memendekkan waktu berkunjung



Tuntunan Ibadah Bagi Orang Sakit Tuntunan Ibadah Bagi Orang Sakit Islam adalah agama yang sangat memudahkan pemeluknya untuk melakukan ibadah. Beribadah dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan dan kesehatan seseorang. Jiwa dalam kondisi darurat, maka ada tuntunan yang dapat digunakan dalam melakukan ibadah. Demikian juga bagi orang sakit. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan shalat ataupun ibadah lainnya. 1. Bersuci bagi orang sakit Bersuci adalah kewajiban dalam Islam sebelum beribadah kepada Allah swt. Bersuci terbagi menjadi dua, yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadats. Tetapi bagi orang yang sakit, terdapat beberapa kemudahan, yaitu: a. Orang sakit wajib sesuci dengan air, wudhu untuk hadats kecil, dan mandi untuk hadats besar; b. Apabila dia tidak dapat sesuci dengan air, karena sakit, atau khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena air, maka dia boleh bertayammum; c. Cara bertayammum adalah: menepuk tanah dengan kedua telapak tangan, lalu diusapkan keseluruh wajah, kemudian tangan yang satu mengusap tangan yang lain sampai pergelangan tangan;



d. Apabila orang yang sakit tidak bisa melakukan sesuci sendiri, maka dapat diwudhukan, dan ditayammumkan orang lain; e. Apabila dibeberapa bagian anggota yang mesti disucikan terdapat luka, maka cukup dibasuh dengan air, tapi apabila basuhan itu membahayakan, maka cukup diusap dengan tangan yang basah, apabila usapan itu juga membahayakan maka bertayammum; f. Apabila tayammum untuk suatu shalat, dan tidak batal (masih suci sampai waktu shalat yang lain) maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat yang keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang membatalkan tayamumnya; g. Orang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalatlah apa adanya, shalatnya tersebut sah dan tidak perlu mengulang; h. Orang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila tempatnya terkena najis, maka alas tempat shalat itu wajib dicuci atau di ganti dengan tempat lain atau digelari dengan sesuatu yang suci, namun apabila itu semuanya tidak memungkinkan, maka ia shalat apa adanya (sesuai dengan kemampuan ) shalatnya sah dan tidak harus mengulang. 2. Shalat bagi orang sakit a. Orang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun dengan membungkuk atau bersandar pada dinding, atau tongkat; b. Apabila orang sakit tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk, maka di utamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’; c. Apabila tidak mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring miring dan dengan menghadap kiblat, apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalatlah dengan menghadap kemana saja, dan shalatnya dinyatakan sah dan tidak usah mengulang; d. Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring. Maka shalatlah dengan posisi terlentang dan kaki menghadap ke arah kiblat. Jika tidak mampu menghadapkan kaki ke arah kiblat, maka shalatlah sesuai dengan kemampuan; e. Orang yang sakit wajib ruku’ dan sujud dalam shalat. Apabila tidak mampu, maka berisyarat dengan kepala, dan menjadikan sujud lebih menunduk dari pada ruku’. Apabila hanya bisa ruku tanpa sujud, maka harus ruku’ dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya bisa sujud tanpa ruku’, maka harus sujud dan menggunakan isyarat untuk ruku’; f. Apabila tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku dan sujud, maka isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’; g. Apabila tidak bisa isyarat dengan kepala atau mata, maka shalatnya dengan hati dan bagi seseorang dalam kondisi seperti ini yang terpenting adalah niatnya; h. Orang yang sakit wajib shalat pada waktunya serta mengerjakan seluruh kewajiban yang mampu dilakukannya. Kalau ada kesulitan dalam mengerjakan



setiap shalat pada waktunya maka boleh menjama’ antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan Isya’, baik jama’ taqdim (melakukan shalat ashar pada waktu shalat dhuhur, atau isya’ pada waktu shalat maghrib), maupun jama’ ta’khir (melakukan shalat dhuhur pada waktu shalat ashar, atau maghrib pada waktu shalat isya’) sesuai dengan kemampuan, tetapi shatal subuh tidak boleh dijamak. i. Dalam keadaan di perjalanan (untuk berobat ke daerah lain) Orang yang sakit boleh mengqashar shalat yang empat rakaat, yakni mengerjakan shalat dhuhur, ashar, dan isya’ dua rakaat-dua rakaat sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk waktu lama maupun singkat. (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz: Tuntunan Thaharah dan Shalat)



Otopsi Menurut Pandangan Islam Otopsi berasal dari bahasa Yunani yang secara etimologis berarti melihat dengan mata sendiri. Selain itu juga ada istilah yang berdekatan yaitu “Nekropsi”, juga berasal dari bahasa Yunani dan artinya “melihat mayat.” Dalil yang secara tegas membolehkan atau melarang tentang otopsi mayat tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Kemungkinan besar pada masa lampau belum ada otopsi mayat yang dilakukan, sehingga belum ditentukan hukumnya. Dalam hadis Nabi saw. yang ditemukan hanya dalildalil secara umum tentang larangan merusak tulang mayat seorang muslim. Selain itu kita menemukan berbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hadis yang melarang kita merusak jasad mayat yang telah meninggal dunia adalah: Dari Jabir ra berkata, “Aku keluar bersama Rasulullah saw mengantar jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi SAW bersabda, “Jangan kamu patahkan tulang itu. “Kamu patahkan meski sudah meninggal sama saja dengan kamu patahkan sewaktu masih hidup. Benamkanlah di samping kuburan” (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud dengan isnad yang shahih) Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, keharaman mematahkan tulang mayat berdasarkan illatnya adalah karena unsur penghinaan terhadap mayat ataupun penganiayaan. Jika unsur penghinaan atau bahkan penganiayaan terhadap mayat tidak ada dan dilakukan demi kemaslahatan seperti pendidikan kedokteran, praktik anatomi dan kebutuhan mendesak lainnya, maka pembedahan dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak. (PP Muhammadiyah, 2003) Di kalangan fuqaha terdapat kaidah ushul: “Keperluan (yang mendesak) didudukkan setingkat dengan darurat”. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa bedah mayat yang dilakukan atas dasar keperluan mendesak demikian itu dibatasi kebolehannya hingga terpenuhi keperluan saja. Setelah itu, mayat harus diperlakukan sebagaimana mestinya menurut aturan Islam.