Ringkasan Kajian Prosa Jepang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH RINGKASAN KAJIAN PROSA



Dosen Pengampu Rima Devi, S. S, M. Hum.



oleh Annisa Metrizon 1610752007



JURUSAN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2018



Ringkasan Kajian Prosa Jurnal ini menjelaskan tentang bagaimana penggunaan logat asli Jepang dalam narasi novel modern Jepang pertama, “Ukigumo” (浮雲), atau yang lebih dikenal dengan “The Drifting Cloud”, karya Futabatei Shimei. Novel ini sendiri hanya memiliki 4 karakter, diantaranya Bunzo, Omasa, Osei dan Noboru. Karakter Bunzo digambarkan sebagai sebagai pegawai pemerintah biasa yang pada awal cerita, baru saja dipecat dari pekerjaannya. Narasi pada bagian awal ini menggambarkan tipikal pegawai pemerintah yang berkarakter kaku, dengan gambaran detail dan penuh jenaka. Narasi ini dimaksudkan untuk menyindir Bunzo yang dipecat hanya karena ia terlalu angkuh, dan kurang pandai “mendekatkan diri” pada bosnya. Lain halnya dengan Noboru, teman sekoleganya yang berhasil bertahan dalam biro pemerintahan. Narasi selanjutnya menggambarkan situasi dalam pemandangan jalanan yang ramai, berfokus pada dua orang muda. Disini narator memiliki posisi tersendiri dalam menarasikan dunia yang terdapat pada situasi tersebut. Lain halnya dengan penulis novel “Tōsei Shosei Katagi” (Karakteristik Pelajar Modern), Tsubouchi Shoyo, yang membuat penarasian berada diluar cerita, menunjukkan gaya penarasiannya lebih ke pengucapan ketimbang visualnya. Menurut Kamei, metode strurtur narasi berdasarkan perspektif visual dalam cerita sudah diujicobakan dalam karya-karya era Meiji oleh para penulis kanbun fuuzoku-ki (catatatn adat sosial dengan penulisan Cina), seperti pada Tokyo Shinbashi Zakki karya Matsumoto Mannen. Menariknya, fuuzoku-ki ini sengaja dimasukkan seperti percakapan sehari-hari, bahasa gesaku diubah ke bentuk kanbun dengan membubuhi kana dan perubahan kalimat kanbun seperti efek komik. Seperti dalam karya terkenal dari Narushima Ryuuhoku, Ryuukyuou Shinshi, penarasian Ryuuhoku sendiri tidak terletak pada dunia yang ia jelaskan, ujicoba perspektif visual dalan narasi kanbun fuuzoku-ki dapat dihubungkan pada kritik berlawanan terhadap tren sosial yang berlaku, menyiratkan kesadaran ke arah perbedaan posisi penulisan. Kuatnya pengaruh Sastra Rusia abad ke sembilan belas pada karya-karya Futabatei dan perwakilan dunia yang terbentuk secara visual dari keberadaan narator dalam cerita merupakan salah satu bagian yang paling mencolok di dalamnya. Untuk genre terpisah dan gaya penarasian bahasa yang terbentuk, sebagian besar merupakan hasil perkembangan media cetak, menjadi



penanda munculnya kontemporer, bergantung pada posisi perubahan genre dan gaya bagi setiap individu. Dalam bentuk netral, keanoniman dan ruang semiotik yang membawa pada keberagaman dan perbedaan, dianggap sebagai gangguan anarkis yang negatif. Gaya bahasa dalam “The Drifting Cloud”, berbeda dengan kanbun fuuzoku-ki, karena keduanya merupakan tradisi sastra yang berbeda, sejarawan kesusasteraan mengkategorikannya sebagai dua hal yang berbeda. Tetapi jika kita menggunakan perspektif yang berbeda, jarak perbedaan keduanya bisa menjadi sangat kecil. “The Drifting Cloud” adalah produk pada masanya yang tidak menyerap pemikiran asing secara mudah, tetapi dari semiotik lokal dan sarana linguistik terletak dalam waktu dan tempat yang spesifik. Karena banyaknya kritikan, digunakanlah bahasa deskripsi pada bagian pembuka yang dipenuhi memori tentang karya sastra terdahulu dan beberapa gesaku meskipun itu adalah bagian akhir dari genbun icchi. Futabatei sendiri mminjam dialek Fukagawa dari Shikitei Sanba dan “jiwa dialek asli”nya. Dia juga mengatakan bahwa dia menyaingi penceritaan rakugonya Enchou atas rekomendasi dari Shouyou, tetapi kemudian dia juga menambahkan dialek Tokyo karena dia berasal dari Tokyo. Tampaknya Enchou bukan berasal dari Tokyo, tetapi itulah kenyataannya. Mungkin yang dimaksud oleh Futabatei disini ialah dia tidak menggunakan dialek Tokyo versi Enchou, tetapi menurut Sanba, itu adalah dialek shitamachi. Seperti yang dituliskan Futabatei dalam iklan terjemahan dari “Father and Son” karya Turgenev, bahasa Enchou adalah bahasa Tokyo yang disempurnakan, dan bukan bahasa shitamachi yang vulgar. Penceritaan Rakugo di Tokyo biasanya menggunakan bahasa bawah, tetapi Enchou sengaja menghindarinya, membuat dialek Tokyo “yang disempurnakan” versinya untuk perbandingan pada pembaca tingkat atas. Futabatei mengasimilasikan dialek dari Sanba karena dialek tersebut terkenal dengan realismenya, sering digunakan dalam percakapan antara orang kelas bawah di kota Edo di tempat pemandian dan tempat pangkas. Ketertarikan Futabatei dengan dialek asli orang Edo sangat dikenal, dan inilah sasaran kritik Shouyou. Menurut kenangan Shouyou, saat Futabatei membawakannya salah satu terjemahan dari Gogol, ia menemukan bahwa Futabatei menerjemahkan dialog karakter kelas menengah dengan percakapan vulgar dari uradana, Shouyou pun menasehatinya agar mengubah ungkapan vulgar dalam terjemahan tersebut menjadi bentuk yang lebih bagus.



Shimizu Shigeru menduga adopsi bahasa vulgar Futabatei karena doktrin penghapusan kehormatan demi persamaan antara istri dan suami. Dalam “Yo ga genbun itchi no yurai”, Futabatei juga mengatakan bahwa dalam “The Drifting Cloud” dia mencoba menghindari kango sebisa mungkin. Penggunaan percakapan versi vulgar kemudian semakin terdorong oleh kesadaran kritik yang mengarah pada pendirian hierarki estetis dan perasaan, yang menempatkan kanbun dan penggunaan kehormatan secara tinggi dan lebih baik, serta bahasa egaliter yang populer sebagai yang rendah dan vulgar. Dengan kata lain, usaha Futabatei pada penggunaan dialek asli tidak harus dipahami secara mudah sebagai ujicoba lain pada “pembuatan cara berbicara berdasarkan penulisan”, hal itu berpotensi pada gerakan bawah tanah pada pembalikan keberadaan hierarki kebudayaan yang terbentuk atas perbedaan bahasa. Dalam Kansei ni henkaku, Kamei berpendapat bahwa penyebaran gaya boyomitai pada pembacaan kanbun sebagai perlawanan terhadap yakuhon-tai (cara baca Cina ditulis dengan gaya Jepang) para cendekiawan antara zaman bakumatsu dengan awal masuk zaman Meiji menentukan efek membebaskan perasaan dari ideologi yang melekat dalam bahasa Jepang, yang telah menjadi instrumen kekuatan sosial berdasarkan diferensiasi hierarki dari posisi sosial diantara setiap orang. Contoh terpopuler dari narasi yang tertulis dalam boyomi-tai sekitar saat Futabatei menulis “The Drifting Cloud” adalah Kajin no Kiguu karya Toukai Sanshi. Bertemakan persamaan pria dan wanita dan diantara perbedaan negara dan solidaritas internasional berdasarkan tekanan yang berhubungan dengan ideologi dan pandangan dunia yang mendasari hierarki sosial yang dinetralkan oleh rezim Tokugawa. Dalam novel ini, karakter perempuannya, Kouren dan Yuran menyebut Sanshi, karakter lain dalam novel tersebut, dengan sebutan roukun (laki-laki) dan memanggil diri mereka shou (pelayan wanita), sebaliknya Sanshi memanggil mereka reijou (wanita) danmemanggil dirinya boku (pelayan). dalam narasinya, kata-kata tersebut membedakan “aku” dan “kamu” berdasarkan gender. Tidak seperti Futabatei yang menggunakan dialek rendah seperti omae (kamu) dan ore (aku) yang membuat Shouyou mengerutkan dahinya. Dalam bidang sosial dan budaya yang tergambar dalam rezim Tokugawa, bidang itu terkurung dengan teritorial kaku dan batasan status, ada sedikit kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan segera, bahkan melewati ruang urban yang terbentuk oleh kekuatan yang sama dalam Edo dengan cepat diterima dari komunitas asal mereka. Absennya “orang ketiga” sebagai kategori grammar atau percakapan dengan modal dalam suatu bahasa dipraktekkan dalam budaya pra-



restorasi, dimana Noguchi Takehiko menganalisisnya secara detail, harusnya merefleksikan situasi sosio-politis dimana subjek dikenali sebagai bagian yang berhubungan dengan alat yang berhubungan satu sama lain. Selain itu, “saya” dan “kamu” dapat berubah menjadi “dia” diluar hubungan komunikasi interpersonal, yang berarti tidak ada komunitas lain yang tidak diketahui. Menurut Katou Shuuichi, ini adalah pembentukan publik yang tercipta secara alami, orang asing yang menyebut “saya” dan “kamu” karena keperluan menyebut “seseorang” didepan publik, seperti dalam pidato publik. Disana, pembicara menyebut public dengan sebutan shokun, dan menyebut dirinya dengan wagahai atau yo. Wanita memanggil diri mereka dengan sebutan shou. Sebutan “saya” seterusnya dibawa untuk keperluan menggambarkannya didepan orang awam. Sehubungan dengan gaya yang aneh menirukan tulisan berbahasa kanbun, pidato publik waktu itu memperlihatkan gaya yang mampu menarik hadirin dengan bouyomi-tai. Pada waktu yang sama, pendapat dari pernyataan “saya” membuat spesifikasi sebagai “saya” untuk menjelaskan perbedaan dia terwakilidan bertanggung jawab atasnya. Efek komikal dn ironis dari “wagahai wa neko dearu” karya Souseki tidak bisa sepenuhnya diapresiasi kecuali jika diletakkan pada konteks ini. Efek komikal tercipta oleh gaya yang dibangun karena sang kuing berbicara didepan publik, mendefinisikan dirinya sebagai seekor kucing, menandakan bahwa dia menjamin apa yang diucapkannya, bahkan jika ia tidak memiliki nama yang pantas.