8 0 165 KB
PROPOSAL ROMANTIC RELATIONSHIP PADA PRIA TRANSGENDER (WARIA) DI KOTA BANDUNG (Studi kasus terhadap Waria yang Memiliki Hubungan Romantis di Kota Bandung)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif
Dosen : M Ariez Mustafa, M. Psi Gemala Nurendah, S.Pd., M.A.
Disusun Oleh: R. Septriskalia K. 1202270
DEPARTEMEN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
0
I.
Judul Penelitian Romantic Relationship pada Pria Transgender (Waria) di Kota Bandung
II.
Latar Belakang Penelitian Menjadi seorang transgender, merupakan sebuah kontradiksi dalam ranah
masyarakat yang hanya mengenal identitas gender sebagai struktur psikologis dari jenis kelamin yang ada, yaitu feminim untuk wanita dan maskulin untuk laki-laki (Collone, 2005). Dalam norma gender yang dominan, feminim maupun maskulin merupakan bentuk mainstream dari berbagai bentuk-bentuk gender seperti waria, banci, gay, homo, tomboy, lesbian, hijra (india), perempuan maskulin, laki-laki feminim dan lain-lain. Penolakan terhadap transgender dalam masyarakat bermacam-macam, misalnya seperti kekerasan (verbal, fisik & psikis) atau hal yang serius yang bersifat mengancam nyawa seseorang ataupun kelompok yang bergender minoritas (Arbani, 2012). Di Indonesia, fenomena mengenai transgender banyak diteliti dalam ranah kajian gender dan seksualitas (Ida, 2010). Transgender sendiri merupakan seseorang yang bertransisi di antara dua orientasi seksual dengan menggunakan hormon atau jalani operasi. Namun transgender dapat juga didefinisikan sebagai seseorang yang telah jelas jenis kelaminnya sejak lahir, namun merasakan kesalahan pada pencitraan diri mereka (Parendrawati, 2010). Salah satu contoh transgender adalah waria, atau bisa disebut wanita-pria. Waria merupakan Seorang laki-laki yang mengekpresikan dirinya sebagai perempuan (Arbani, 2012). Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan seperti perempuan yang sesungguhnya (Lumbantobing, 2008). Fenomena waria jarang sekali diungkap, sehingga masih banyak terjadi diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap waria ini (Arbani, 2012). Menurut
Direktorat
Jenderal
Administrasi
dan
Kependudukan
Kementerian Dalam Negeri bahwa jumlah waria di Indonesia pada 2005 mencapai 400 ribu orang. Sedangkan pada 2008 terdata oleh data Yayasan Srikandi Sejati sebanyak 6 juta waria di Indonesia. Lebih mencengangkan lagi, Koordinator Arus
1
Pelangi Dodo Budidarmo pada Seminar "Kekerasan Atas Nama Agama dan Masa Depan Toleransi di Indonesia", yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari 2013 menyebutkan bahwa jumlah waria di Indonesia sebanyak 7 juta orang. (edisinews.com). Dalam pekerjaannya, Kaum waria hanya dapat melakukan pekerjaan yang non-formal, karena stigma masyarakat yang memandang rendah waria tersebut. Pekerjaan non-formal tersebut antara lain: kerja disalon, pengamen, penata rias, perancang busana, atau sebagai pekerja seks komersial (Fikri, 2013). Sebagai pekerja seks komersial, gaya hidup sexual (sexual lifestyle) merupakan sesuatu yang melekat dalam diri waria. Dalam pasangan seksualnya, waria memiliki “suami” atau pacar setidaknya untuk memenuhi dua kebutuhan, baik kebutuhan nafsu seksual atau memperoleh pasangan hidup. (Eda, 2012). Banyak sekali fenomena dimana waria memiliki pasangan hidup yang dicintainya selama bertahun-tahun. Misalnya seperti Elma (25thn) dimana ia mengaku telah memiliki kekasih yang telah bersama-sama selama 4 tahun. Pria yang dicintai Elma adalah lelaki normal dan telah mengakui dirinya adalah seorang transgender. Berikut adalah kutipan percakapan wawancara pada salah satu media berita online (merdeka.com): Dari satu bulan pacaran aku jujur ke dia kalau aku seorang waria dan karena sudah cinta, pacarku menerima aku apa adanya. Mesti untuk menuju ke jenjang pernikahan itu lebay, aku cuma ingin jalani aja.
Berdasarkan penggalan percakapan diatas, terbukti bahwa sebenarnya waria juga memiliki hubungan romantis dengan kekasihnya. Hubungan romantis atau romantic relationship adalah ketertarikan individu terhadap seseorang dan berorientasi untuk membina hubungan dalam jangka waktu yang lama (Putri, 2010). Hubungan romantis berdasarkan cinta muncul dari berbagai hal, misalnya dua indivudi saling tertarik satu sama lain dan memutuskan membina hubungan yang romantis. Hubungan romantis juga dapat muncul dari pertemanan dan kemudian berkembang menjadi hubungan percintaan (Guerrero, 2008). Atas penjelasan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk memahami lebih mendalam fenomena waria yang membina hubungan romantis dengan
2
kekasihnya. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Romantic relationship pada Pria Transgender (Waria) di Kota Bandung (Studi kasus terhadap Waria yang Memiliki Hubungan Romantis di Kota Bandung)”. III.
Fokus Penelitian Pada penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah waria yang telah
memiliki hubungan romantis dengan kekasihnya selama lebih dari satu tahun. Bagaimanakah gambaran dinamika hubungan romantis yang dijalin oleh waria ketika waria ini coming out pada kekasihnya sehingga kekasihnya mengetahui keadaan waria yang sebenarnya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua orang subjek untuk dikaji lebih dalam dan kemudian bisa dibuat perbandingan dari keduanya. IV.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran
Hubungan Romantis pada Pria Transgender (Waria) di Kota Bandung?”. V.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengeksplorasi dan memahami
gambaran mengenai perasaan cinta yang berdampak pada hubungan romantis yang dirasakan oleh waria. VI.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis maupun
praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan keilmuan khususnya dalam ilmu psikologi sosial mengenai gambaran hubungan romantis yang dialami waria . 2. Manfaat Praktis
3
a. Bagi Waria, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran cinta dalam memulai hubungan suatu hubungan romantis serta dalam mempertahankan hubungan tersebut. b. Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman mengenai gambaran hubungan romantis yang dialami oleh para waria sehingga tidak terdapat lagi judgement atau diskriminasi terhadap waria. VII.
Kajian Pustaka 1. Romantic relationship (Hubungan Romantis) a. Definisi Romantic relationship Menurut Brehm (dalam Karney, 2007), intimate
relationship
mempersepsikan
adalah
perubahan
romantic atau
bagaimana
hubungan
yang
seseorang resiproksitas,
emosional, dan erotis yang sedang terjadi dengan pasangannya. Menurut Baron (2006) dalam romantic relationship individu ingin menyukai dan disukai
oleh
pasangan,
maka perlu adanya
kesesuaian untuk saling melengkapi, pujian dan kasih sayang yang ditunjukkan terus menerus. Definisi lain dari romantic relationship juga
dikemukakan
oleh
Albino
&
Cooper
(dalam Florsheim, 2003) sebagai suatu hubungan serius yang akan dialami oleh setiap individu, dimana mereka memiliki perasaan romantis yang kuat terhadap seseorang. Dari definisi beberapa tokoh-tokoh tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa romantic relationship merupakan suatu hubungan yang resiprok (disukai dan menyukai) diantara dua individu, dimana dalam suatu hubungan terdapat perasaan romantis yang dimiliki dari kedua individu. b. Elemen-Elemen Romantic relationship Terdapat empat elemen penting
pada romantic atau
intimate relationship yang dikemukakan oleh Prager (1989), yaitu: 1. Afeksi Seseorang merasakan bahwa dirinya diperhatikan, disayang
dan dibutuhkan
oleh
pasangannya.
Bila
masing-masing individu dapat menjalankan hal tersebut, 4
maka
akan meningkatkan
keintiman
pada pasangan
tersebut. 2. Kepercayaan Dengan menaruh kepercayaan kepada pasangan, maka keutuhan hubungan akan
mudah
terjaga sehingga
meningkatkan jalinan intimasi dalam hubungan. 3. Rasa Kebersamaan Dengan rasa kebersamaan, tingkat keintiman hubungan akan meningkat dari hari kehari. 4. Berbagi waktu dan aktivitas Dengan intensnya waktu dan aktivitas bersama maka lama-kelamaan pasangan akan merasa lebih intim dalam menjalin hubungan. c. Kepuasan Hubungan Romantis Kepuasan dalam hubungan romantis adalah evaluasi interpersonal mengenai
sisi
positif
pasangan,
dan
apakah
pasangan memberikan ketertarikan dalam hubungan (Bunk & Rusbult, 1993). Myers & Diane (dalam Harvey & Pauwels,1999) menyatakan bahwa individu yang merasakan kepuasan dalam hubungan romantisnya akan lebih bahagia, lebih sehat dan dapat hidup lebih lama. Lebih lanjut, Miller dan Tedder (2011) mengemukakan
beberapa
indikator
untuk
melihat
apakah
kepuasan dalam hubungan romantis sudah tercapai, yaitu: 1. Good quality of communication Di dalam hubungan yang pasangannya dapat saling berinteraksi
secara
santai
dan
menyenangkan
serta
saat
pasangan tersebut dapat menjadi pendengar yang baik, maka hubungan tersebut akan memuaskan masing-masing pasangan komunikasi yang baik juga nantinya akan membuat mereka dapat menangani konflik dengan baik. 2. Conflict resolution Pada hubungan yang memuaskan atau berhasil, konflik biasanya
dihadapi
dengan
komunikasi
yang
terbuka
dan
membangun. Konflik akan diselesaikan dengan persetujuan
5
dari kedua belah pihak dan memberikan pelajaran kepada pasangan. Namun, pada hubungan yang tidak sehat, pasangan cenderung menghindari
atau
mengurangi
konflik.
Padahal,
penyelesaian konflik akan membuat masing-masing pasangan lebih dapat terbuka dan mengemukakan pendapat sehingga kebutuhan dan keinginan masing-masing dapat terpenuhi. 3. Affection Dengan adanya afeksi dalam hubungan, masing-masing pasangan akan membuat berbagai cara agar pasangannya dapat tetap nyaman berada di dekatnya. Maka dengan membuat pasangan bahagia,
afeksi
tersebut
dapat
dirasakan
oleh
pasangan
masing-masing. 4. Relational certainty/security Di dalam hubungan yang memuaskan, pasangan akan saling berbagi pandangan mengenai masa depan mereka bersama, dan adanya keinginan masing-masing pasangan untuk tetap bersama di masa depan dan adanya ketidakinginan untuk berpisah sehingga hubungan biasanya bertahan lebih lama.
5. Pria Transgender (Waria) a. Definisi Transgender Transgender adalah istilah yang merujuk pada orangorang yang menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran gendernya berbeda secara signifikan dengan
seperti apa gender tersebut diasosiasikan. Transgender
terbagi atas dua jenis yaitu female to male transgender (FtM), dan male to female transgender (MtF) (IOM, 2011). Di Indonesia,
6
male to female transgender ini lebih akrab disebut dengan waria (STBP,2007). Perroto dan Culkin (1993) juga menungkapkan bahwa transgender adalah
individu
yang
merasakan
adanya
ketidaksesuaian fisik dan gendernya. Biasanya orang-orang ini merasa
adanya
perbedaan persepsinya
mengenai
jenis
kelaminnya pada masa kanak-kanak dan pada masa kini. Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa waria adalah individu dengan seks sebagai seorang laki-laki, akan tetapi memiliki identitas gender sebagai seorang perempuan yang ditampilkan dengan melakukan peran gender sebagai seorang wanita. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menjadi Transgender (waria) Davidson, Kring, dan Neale (2004) mengemukakan beberapa
faktor
yang
menyebabkan
seseorang
memiliki
gangguan identitas gender, seperti : 1. Faktor biologis Gangguan identitas gender seperti yang dialami oleh para transgender ini dipengaruhi oleh hormon-hormon dalam tubuh mereka. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi
neuron
masukulinisasi
otak
otak yang
dan terjadi
berkontribusi pada
terhadap
area,
seperti
hipotalamus. Penelitian yang dilakukan oleh McGinley (dalam Davidson, Kring, & Neale, 2004) menemukan bahwa anak lakilaki yang pada masa perkembangan
fetalnya
tidak
dapat
menghasilkan hormon yang membentuk penis dan skrotum secara sempurna kemudian tumbuh sebagai perempuan. Yalom, Green, & Fisk (dalam Davidson, dkk., 2004) juga menemukan bahwa anak lelaki yang ibunya pada masa kehamilan menyuntikkan hormon perempuan, anak lelaki tersebut kemudian cenderung
kurang
7
atletis, tidak menyukai permainan yang keras atau bergulingguling dibandingkan teman-teman laki-lakinya. 2. Faktor sosial dan psikologis. Reinforcement selama masa pertumbuhan yang diberikan oleh
pengasuh
dan
orangtua
akan
mempengaruhi
perkembangan identitas gender anak. Misalnya ibu yang sering mendandani anak lelakinya dengan pakaian perempuan dan memuji anaknya bahwa anaknya
terlihat
lebih
lucu
dan
menggemaskan. Reinforcement yang salah yang diberikan oleh lingkungan
terhadap
anak memberikan kontribusi yang besar
terhadap konflik antara anatomi seks
dan
identitas
gender
mereka (Zuckerman & Green, dalam Davidson, dkk., 2004). c. Ciri-ciri Transgender Dalam DSM IV TR, gangguan identitas gender biasanya dapat dilihat melalui ciri-ciri sebagai berikut : a. Adanya identitas yang kuat dan menetap terhadap gender lawan jenis. Pada anak-anak, terdapat beberapa ciri, yaitu : 1. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan dirinya sebagai lawan jenis. 2. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis; 3. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis; 4. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis; 5. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti, keinginan untuk menjadi
lawan jenis, berpindah
ke
kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis,
keyakinan
bahwa emosinya adalah tipikal lawan
jenis. b. Adanya ketidaknyamanan terhadap seks atau adanya rasa ketidaksesuaian terhadap peran gender seks tersebut 1. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya: Pada anak laki-laki merasa jijik dengan penisnya dan 8
yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu;
tidak
menyukai permainan yang biasanya
dimainkan anak laki-laki. 2. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal diantaranya : keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah. c. Gangguan ini tidak bersamaan dengan kondisi fisik interseks d. Gangguan ini secara klinis menyebabkan distress yang signifikan atau
kekurangan
dalam
hubungan
sosial,
pekerjaan, atau area keberfungsian yang penting lainnya.
VIII. Metode Penelitian a. Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian studi kasus dengan desain penelitian kualitatif. Menurut Patton (2006, dalam Rachmawati, 2014) studi kasus digunakan ketika peneliti perlu memahami suatu problem atau situasi tertentu
dengan
amat
mendalam,
dan
dimana
peneliti
dapat
mengidentifikasi kasus yang kaya dengan informasi. Sedangkan menurut Poerwandari (2007, dalam Hayatussofiyyah, 2014) penelitian kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan tema yang dianggap penting. Penelitian ini terfokus pada penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus sesuai dengan tema yang dideskripsikan tersebut. b. Lokasi dan Subjek Penelitian Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti mengamati secara mendalam aktivitas (activity), orang-orang (actors), dan tempat (place) tertentu (Sugiyono, 2008).
9
Sampel dalam penelitian kualitatif merupakan narasumber, partisipan, atau sebagai informan dalam penelitian. Dalam menentukan sampel terdapat berbagai teknik pengambilan sampel (teknik sampling), namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah purpose sampling yang termasuk ke dalam teknik nonprobability sampling (Febrina, 2013). Menurut Sugiyono (2008) Purpose Sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasu sosial yang diteliti. Situasi sosial dalam penelitian ini adalah: 1. Tempat (place): Penelitian dilakukan ditempat yang sudah disepakati bersama antara peneliti dengan subjeknya. 2. Pelaku (actors): Waria yang memiliki kekasih selama lebih dari 1 tahun menjalin hubungan romantis. 3. Aktivitas (activity): Romantic relationship akan dijabarkan melalui elemen-elemen hubungan romantis. c. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrument perlu memiliki pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan dan bekal memasuki lapangan dan mengevaluasi diri (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian kualitatif, peneliti sebagai instrument itu sendiri didasari karena pada awalnya permasalahan belum jelas dan pasti, sumber datanya, hasil yang diharapkan semuanya belum jelas. Namun setelah masalah yang akan dipelajari jelas, maka dikembangkan suatu instrument penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan data telah ditemukan melalui wawncara (Sugiyono, 2008). d. Teknik Pengumpulan Data
10
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti adalah wawancara mendalam (in depth interview). Pada proses wawancara, peneliti
menggunakan
wawancara
semi-terstruktur
(semistructure
interview), di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2008). e. Teknik Analisis Data Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut. Hal pertama yang dilakukan dalam analisis data adalah reduksi data, yaitu proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan yang akan dianalisis. Setelah itu olah data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema tema yang jelas ke dalam suatu matriks kategorisasi sesuai tema-tema tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana yang disebut dengan subtema yang diakhiri dengan memberikan kode (coding) dari subtema tersebut sesuai dengan verbatim wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Setelah hal-hal di atas dilakukan, buatlah kesimpulan. Kesimpulan menjurus kepada jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya dan mengungkap “what” dan “how” dari temuan penelitian tersebut (Miles & Huberman, dalam Hardiansyah, 2012). f. Uji Keabsahan Data Dalam penelitian ini digunakan uji kredibiltas untuk menguji keabsahan data. Uji kredibiltias data dilakukan dengan triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (William Wiersma dalam Sugiyono, 2008). Menurut sugiyono (2008)
11
pengujian data pada penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal). Peneliti melakukan uji credibility (validitas internal) melalui teknik triangulasi dan member check. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan triangulasi pengumpulan data dan triangulasi teknik sumber data. Hal pertama yang peneliti lakukan adalah melakukan pengecekan
pada data wawancara dan studi
dokumentasi yang di dapat (Febrina, 2013). Bila dalam penelitian terdapat hal-hal yang belum jelas dan kurang sesuai atau berbeda-beda, peneliti melakukan pengecekan pada sumber data yaitu kepada orangtua, teman atau saudara dekat yang mengetahui banyak informasi mengenai subjek tersebut. DAFTAR PUSTAKA Arbani. (2012). Kejahatan Kebencian (Hate Crime) Terhadap Transgender (Male to Female) dan Waria. Skripsi: Tidak Diterbitkan. Baron, R. A. (2006). Social Psychology. New York: McGraw Hill. Collone, S. &. (2005). Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau dari Identitas Gender. Jurnal Psikologia, Vol. 01, No. 02, 96-104. Eda, N. W. (2012). Niat Penggunaan Kondom pada Komunitas Waria di Kota Ternate. Jurnal Promosi Kesehatan, Vol. 7, No. 2, 174-183. Fikri, M. (2013). DINAMIKA PSIKOLOGIS WARIA DALAM PROSES PENERIMAAN DIRI DAN PRESENTASI DIRI (Studi Kasus Waria ‘Sani' di Desa Tanjung Ratu Ilir, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung). Skripsi. Florsheim, P. (2003). Adolescent Romantic Relations and Sexual Behavior: Theory, Research, and Practical Implication. London: Lawrence Erlbaum Associates. Guerrero, L. K. (2008). On Becoming "more than friends": The transition from friendship to romantic relationship. New York: Taylor & Francis Group.
12
Ida, R. (2010). Respon Komunitas Waria Surabaya Terhadap Konstruk Subjek Transgender di Media Indonesia. Jurnal komunikasi, Vol. 23, No. 03, 221228. Karney, B. R. (2007). Adolescent Romantic Relationships as Precussors of Healthy Adult Marriages: A Revies of Theory, Research, and Program. Santa Monica: Rand Cooperation. Kartikasari, N. Y. (2013). Body Dissatisfaction terhadap Psychology Well Being pada Karyawati. Skripsi: Tidak Diterbitkan. Lumbantobing, N. E. (2008). IDEAL-TYPICAL CAREER PATH OF MALE FEMALING PADA WARIA. Skripsi. Nuttbrock, L. (2002). Transgender Identity Affirmation and Mental Health. The International Journal of Transgenderism, Vol. 06, No. 4. Parendrawati, D. P. (2010). Aspek Kejiwaan Kelompok Transgender dan Transeksual. Artikel Transgender. Prager, K. J. (1989). Intimacy Status and Couple Communication. Journal of social and Personal Relationship. Retrieved from http://books.google.co.id/books? id=EEgFAAAAIAAJ&q=journal+of+social+and+personal+relationship& dq=journal+of+social+and+personal+relationship&cd Prasetya, E. (2012, Desember 05). Kisah Elma Rela Habiskan Puluhan Juta demi Jadi Waria. Retrieved November 2015, 10, from Merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-elma-rela-habiskan-puluhanjuta-demi-jadi-waria.html Putri, A. S. (2010). Cinta dan Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis pada Dewasa Muda yang Berpacaran. Skripsi: Tidak Diterbitkan. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
13