Toxic Relationship [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Tari
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Persepsi Generasi Milenial Terhadap Toxic Relationship dari Pandangan Transactional Analysis Ferdy, Theresia Agnes, Vidrich Dendi, Anandita Christanti, Benediktus Yohanes Bala



Bimbingan dan Konseling Fakultas Pendidikan dan Bahasa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Email : [email protected], [email protected] [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak Latar belakang: Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang menjadi pemicu individu menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Setiap pasangan mendambakan hubungan yang membahagiakan, penuh kasih, memiliki komunikasi yang baik, dan berbagai hal-hal positif lainnya, namun realitanya masih banyak orang yang terjebak dalam Toxic Relationship baik disadari maupun tidak disadari. Toxic Relationship ini memberikan banyak pengaruh bagi pasangan tersebut baik pada fisik maupun psikologis atau kesehatan mental individu yang cenderung kearah negatif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi generasi milenial terhadap Toxic Relationship dengan menggunakan pandangan salah satu teori pendekatan konseling Transactional Analysis. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden 55 orang sampel (28 laki-laki, 27 perempuan) dengan rentang usia 18-26 tahun. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar dari responden memahami dan sudah tidak asing lagi dengan kata Toxic Relationship. Penelitian menunjukkan faktor lingkungan dapat mempengaruhi orang menjadi toxic, selain itu alasan terlanjur cinta membuat mereka tetap bertahan dalam hubungan toxic. Selanjutnya sebagian besar sampel menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dapat membuat orang terjebak dalam toxic relationship. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan masih banyak pasangan yang terjebak dalam hubungan yang toxic lebih memilih untuk mengakhiri hubungannya dari pada memperbaikinya. Dampak yang timbul dari toxic relationship ini adalah terganggunya kesehatan mental seseorang seperti mengalami anxiety, stress, depresi, dan mengganggu kesehatan fisik. Dengan demikian dari penelitian ini didapatkan fakta bahwa masih banyak individu yang belum bisa mengatasi masalah dalam hubungan dan lebih memilih untuk mengakhiri hubungannya. Kata kunci : toxic relationship, kesehatan mental, fisik, transactional analysis



Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, saling membantu, dan selalu hidup dengan berkelompok. Sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi satu sama lain. Dengan adanya sebuah komunikasi dapat mempermudah berinteraksi dengan sesama manusia sehingga maksud dan tujuannya yang ingin disampaikan bisa terwujud (Inah, 2013). Tentunya sebagai makhluk sosial kita ingin memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain. Inilah yang memicu kita untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain yang dimulai dari lingkungan terdekat kita yaitu keluarga lalu kepada lingkungan sosial yang lebih luas seperti teman sebaya, rekan kerja, dan pasangan. Menurut Soekanto (dalam Amana, L.I; Kusnarto, K; Mugiarso, 2019) Seseorang dapat melakukan interaksi sosial jika adanya individu lain sebagai partner interaksi, sehingga satu sama lain dapat memberikan responnya masing-masing. Interaksi juga terjadi pada saat dua orang atau lebih saling berhadapan, berbicara, bekerja sama, berjabat tangan, bahkan terjadi pada saat ada persaingan antara individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan adanya pertemuan/berpapasan bukan berarti menimbulkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu bisa saja terjadi jika individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok manusia melakukan kerja sama dalam kelompok, dan saling menyapa/berbicara untuk mencapai tujuan bersama sebagai kelompok, atau justru melakukan persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya yang memancing terjadinya interaksi. Maka dari itu interaksi juga dikatakan sebagai dasar proses sosial yang menuju pada hubungan sosial yang dinamis. Selain kebutuhan akan berelasi atau bersosialisasi dengan orang lain manusia juga memiliki kebutuhan akan cinta. Menurut Maslow (dalam Alwisol, 2011:205) kebutuhan dasar ke-3 ialah kebutuhan dimiliki dan cinta (belong and love). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut orang mulai membangun hubungan yang dekat dengan lawan jenisnya atau biasa disebut hubungan pacaran. Mereka yang berpacaran tentu mendambakan suatu kebahagiaan di dalamnya. Namun realitanya, pada zaman sekarang tidak sedikit dari mereka yang menjalani hubungan pacaran ini malah menjadi hubungan yang tidak sehat bahkan berpengaruh pada psikologis mereka yang menjalani hubungan tersebut. Hubungan yang seperti itu biasa disebut “toxic relationship”. Bila dilihat dari pengertian katanya “toxic relationship” adalah hubungan yang beracun. Racun dalam sebuah hubungan sering tidak disadari oleh mereka yang terlibat dalam hubungan asmara tersebut, padahal toxic relationship ini dapat memberikan dampak dan racun bagi fisik dan mental seseorang. Toxic relationship yang marak terjadi pada hubungan pacaran didominasi atau ditandai dengan adanya keegoisan, kecemburuan yang berlebihan, sulit menjadi diri sendiri, dikendalikan oleh pasangan, terisolasi dari dunia luar dan masih banyak perilaku dan sikap negatif yang terjadi pada hubungan pacaran yang toxic. Dari situ dapat melihat bahwa toxic relationship ini merupakan hubungan yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri atau orang lain dan akan menjadi beban bagi orang tersebut seiring berjalannya waktu. Jika racun dalam hubungan ini tidak disadari pada masa pacaran akan memberikan kemungkinan berlanjut sampai



jenjang pernikahan. Memungkinkan terjadinya KDRT. Berdasarkan data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2019, terdapat 13,568 kasus kekerasan yang tercatat berdasarkan jumlah tersebut sekitar 2,073 kasus diantaranya ialah kekerasan dalam hubungan berpacaran. Dari data tersebut kita dapat lihat bahwa adanya Toxic Relationship di dalam sebuah hubungan dapat menyebabkan konflik batin yang akan mengarahkan pada kecemasan atau bahkan bisa sampai menyebabkan seseorang depresi, sehingga dapat menyebabkan konflik intrapsikis. Hubungan yang tidak sehat ini biasanya hanya menguntungkan satu pihak saja, sedangkan pihak lain akan lebih sering dirugikan. (Julianto, V. Rara A. C., Shita Sukmawati & Eka, 2020) Menurut (Putri, B.N; Putri, 2020) dalam suatu hubungan ada tiga pola yang berkait dengan munculnya keretakan dalam suatu hubungan atau yang disebut juga toxic relationship, yakni (1) pola secure attachment, (2) pola cemas ambivalen, dan (3) pola cemas menghindar. Dalam suatu hubungan tentunya anak ada sebuah interaksi komunikasi antara dua belah pihak, menginginkan kekasihnya selalu hadir dan ada di sisinya, selalu aktif, perhatian/responsif dan selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya saat seorang kekasih membutuhkannya dalam menghadapi masalah, tekanan atau ancaman, semua itu bentuk dari pola secure attachment. Merasa pasangannya tidak selalu ada pada saat seorang kekasih membutuhkannya merupakan bentuk dari pola cemas ambivalen. Sedangkan interaksi antara adanya dua belah pihak yang seorang pasangan tidak memiliki kepercayaan diri, dan karena katika mencari kasih sayang tidak direspon atau bahkan beri penolakan. Pendekatan teori Analisis transaksional (AT) dimulai pertama kali sekali oleh Eric Berne. (Fikri, Miftahul, Prayitno & Yeni Karneli, 2020). Pada hakikatnya transactional analysis merupakan rangkaian struktur/bentuk ego konseli dalam menjalin interaksi agar mampu memberi nilai lebih pada dirinya dihadapan orang lain, serta meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap diri individu atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan yang realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan dengan orang lain (Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati, Yeni Karneli & Hariyani, 2019; E. M. Berne, 1975). Pendekatan TA terdiri dari komponen-komponen berikut: ego states, transactions, strokes, scripts, life scenario, life positions and time structures ( Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati, Yeni Karneli & Hariyani, 2019; Akkoyun, 2001; E. M. . Berne, 1975; Shirai, 2006; Solomon, 2003). Menurut Berne, dalam TA ada tiga keadaan ego states yaitu parent ego states, child ego states, dan adult ego states (Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti,2018; Komala sari, dkk, 2011:90) Ego states ini memberikan pengaruh kepada perilaku individu. Individu yang memiliki parent ego states cenderung memiliki sosok orangtua pada umumnya melindungi dan mengatur individu lainnya. Individu yang memiliki child ego states cenderung memiliki sosok yang kekanakkanakan dan memiliki perilaku seperti anak kecil yaitu menurut. Adult ego states memiliki kepribadian yang mandiri, penyabar, rasional, tetap pada pendirian, dan bertanggung jawab (Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti, 2018 ; Corey, 2013:160) Adult ego states ini merupakan ego states yang paling baik untuk berinteraksi dengan orang lain.



Metode Penelitian Penelitian ini Menggunakan pendekatan Kuantitatif dengan metode survey untuk



mengetahui persepsi generasi milenial terhadap toxic relationship. Dengan jumlah responden sebanyak 55 orang dengan rentang usia 18-20 tahun. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa google form. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar mengetahui tentang apa itu toxic relationship walaupun ada beberapa orang yang belum mengetahuinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena hubungan yang toxic yang ternyata ada dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang belum disadari oleh sebagian orang. Khususnya bagi mereka yang masih remaja dan yang sedang berada dalam hubungan yang toxic itu. Menurut Suriasumantri (2005), Arti penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan kajian pemikiran yang sifatnya ilmiah. Penelitian ini kami lakukan dengan metode logico hypothetico verifikatif, dengan menggunakan langkah-langkah yang sesuai. Responden



Diagram di atas menjelaskan bahwa dari 55 sampel, jenis kelamin responden terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 28 (51%) responden, sedangkan jenis kelamin perempuan hanya sebanyak 27 (49%).



Diagram di atas menjelaskan bahwa usia responden terbanyak berada pada usia 19 tahun dengan persentase sebanyak 54.5%, sedangkan responden tersedikit pada usia 22 (1.8%), usia 24 (1.8%), dan 26 (1,8%).



Hasil Penelitian Tabel 1



no



Apakah kalian tahu tentang toxic relationship?



Frekuensi



Presentase



1



Iya



53



96,4%



2



Tidak



2



3,6%



Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa dari 55 responden, 53 responden mengetahui tentang toxic relationship dengan persentase sebesar 96,4%. Hanya 2 responden yang tidak mengetahui tentang toxic relationship dengan persentase sebesar 3,6 %. Tabel 2



No



Apakah anda rasa hubungan anda sedang dalam keadaan yang tidak baik/toxic?



Frekuensi



Presentase



1



Iya



12



21,8%



2



Tidak



43



78,2%



Dari tabel 2, maka dapat diketahui bahwa dari ke-55 responden yang mengisi google form terdapat 12 responden dengan persentase 21,8% yang merasa bahwa hubungan yang sedang mereka jalani saat ini sedang dalam keadaan yang toxic. Kemudian sebanyak 43 responden dengan persentase 78,2% merasa bahwa hubungan yang mereka jalani saat ini bukanlah hubungan yang toxic. Dari data yang diperoleh tersebut maka dapat dikatakan bahwa yang lebih dominan ialah responden yang yang sedang dalam hubungan yang baik dan tidak toxic. Tabel 3



no



Menurut anda apakah lingkungan anda mempengaruhi anda untuk



Frekuensi



Presentase



menjadi toxic person?



1



Iya



15



27,3%



2



Tidak



40



72,7%



Dari tabel 3 merupakan pernyataan tentang lingkungan memberikan pengaruh kepada seseorang menjadi toxic person. Dari 55 responden yang menjawab, didapatkan jawaban terbanyak yaitu tidak dari 40 responden dengan persentase sebesar 72,7%. Tabel 4



no



Apakah alasan "terlalu/terlanjur cinta" membuat anda tetap bertahan dalam hubungan yang toxic?



Frekuensi



Presentase



1



Iya



38



69,1%



2



Tidak



17



30,9%



Dari tabel 4, dengan pertanyaan “apakah alasan ‘terlalu/terlanjur cinta’ membuat anda tetap bertahan dalam hubungan yang toxic?” maka didapat hasil bahwa sebanyak 38 responden dengan persentase 69,1% menyatakan bahwa “terlalu/terlanjur cinta” merupakan alasan mereka tetap bertahan dalam hubungan yang toxic. Selanjutnya ada 17 responden dengan persentase 30,9% menyatakan bahwa “terlalu/terlanjur cinta” tidak atau bukanlah alasan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang toxic.



Tabel 5 No



Menurut anda seberapa besar pengaruh hubungan toxic relationship bagi kesehatan mental ?



Frekuensi



Presentase



1



1 (tidak pengaruh)



3



5,5%



2



2 (kurang pengaruh)



0



0%



3



3 (cukup pengaruh )



4



7,3%



4



4 (pengaruh)



18



32,7%



5



5 (sangat pengaruh)



30



54,5%



Dari tabel 5, merupakan pernyataan tentang pengaruh hubungan toxic relationship bagi kesehatan mental. Dari 55 responden, 30 responden menjawab bahwa hubungan toxic relationship sangat memberikan pengaruh bagi kesehatan mental sebesar 54,4 % yang merupakan jawaban terbanyak.



Tabel 6 No



Menurut anda seberapa besar pengaruh pengalaman masa lalu yang membuat seseorang terjebak dalam toxic relationship?



Frekuensi



Presentase



1



Tidak



2



3,6%



2



Sedikit



6



10,9%



3



Cukup



31



56,4%



4



Sangat



16



29,1%



Dari tabel 6, dapat diketahui bahwa sebanyak 31 sampel (56,4%) menyatakan bahwa pengaruh pengalaman masa lalu “cukup” yang membuat seseorang terjebak dalam toxic relationship. Kemudian sebanyak 16 sampel (29,1%) menyatakan “sangat” berpengaruh, 6 sampel (10,9%) menyatakan pengaruh pengalaman masa lalu “sedikit” membuat seseorang terjebak dalam toxic relationship, selanjutnya ada 2 sampel (3,6%) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu tidak membuat seseorang terjebak dalam toxic relationship.



Tabel 7



no



Sebutkan 3 ciri seseorang berada dalam hubungan yang toxic?



Frekuensi



Presentase



1



Tidak menjadi diri sendiri



23



15,24%



2



Kekerasaan verbal dan non verbal



20



13,24%



3



Salah satu pasangan merasa tertekan



20



13,24%



4



Komunikasi antar pasangan tidak baik



15



9,94%



5



Posesif



12



7,94%



6



Menganggap pasangan lebih rendah



11



7,28%



7



Egois



9



5.96%



8



Bucin



9



5.96%



9



Cemburuan



8



5,30%



10



Hubungan yang tidak saling mendukung



7



4,63%



11



Tidak memiliki jiwa sosial yang baik



7



4,63%



12



Emosian



4



2.65%



13



Menghasut ke hal yang tidak baik



3



2%



14



Menutup masalah dengan solusi sementara



2



1.32%



15



Matre



1



0.67%



Berdasarkan tabel 7 diatas, merupakan ciri-ciri dari toxic relationship dari 55 responden. Mereka masing-masing memberikan tiga jawaban terkait ciri-ciri toxic relationship. Jawaban tiga terbanyak yang diberikan oleh responden terkait ciri-ciri toxic relationship yang pertama yaitu hubungan yang toxic tidak membuat mereka menjadi dirinya sendiri sebanyak 23 responden (15,34%). Selanjutnya jawaban kedua terbanyak yang diberikan responden ciri-ciri hubungan yang toxic adalah hubungan yang didalamnya terdapat kekerasaan fisik maupun nonverbal, jawaban ini diberikan oleh 20 responden (13,4%). Lalu yang terakhir 20 responden menjawab bahwa ciri-ciri hubungan yang toxic yaitu hubungan yang membuat salah satu pasangan merasa tertekan dengan persentase 13,4%.



Tabel 8



no



Dari ketiga ciri tersebut, bagaimana cara mengatasinya?



Frekuensi



Presentase



1



Mengakhiri hubungan



15



27%



2



Komunikasi



12



22%



3



Belajar menjadi lebih baik



9



16%



4



Menjadi diri sendiri



7



13%



5



Lebih percaya pada pasangan



4



7%



6



Jawaban tidak relevan



4



7%



7



Biar sadar sendiri



3



6%



8



Konseling



1



2%



Dari tabel 8 diatas diketahui bahwa jawaban terbanyak adalah responden lebih memilih mengakhiri hubungan mereka sebanyak 15 (27%) responden, kemudian ada yang berusaha mengkomunikasikan hal tersebut sebanyak 12 (22%) responden, belajar menjadi individu yang lebih baik sebanyak 9 (16%) responden, ada yang memilih menjadi diri sendiri sebanyak 7 (13%) responden, ingin lebih percaya pada pasangan sebanyak 4 (7%), membiarkan pasangannya sadar dengan sendirinya sebanyak 3 (6%), memilih mencari referensi dari proses konseling 1 (2%), dan jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan sebanyak 4 (7%).



Tabel 9



no



Dampak apa saja yang timbul dari hubungan yang toxic?



Frekuensi



Presentase



1



Anxiety, Trust issue, Insecurity, Stress, Depresi, Insecure, Trauma, dan Mengganggu kesehatan fisik.



29



52,7%



2



Kesehatan mental terganggu, Over Thinking, dan Mengganggu Daily Lives.



14



25,4%



3



Jauh dari keluarga dan teman serta tidak bisa bebas, karena terikat pada pasangan.



5



9,09%



4



bisa menjadi sifat atau karakter sehingga merugikan orang lain



4



7,27%



5



Berkurangnya rasa cinta dalam suatu hubungan yang mengakibatkan pertengkaran antara pasangan dan lebih memilih mengakhiri hubungannya.



2



3,63%



6



Kerugian dari segi moral dan material yaitu harga diri dan harta



1



1,81%



Dari tabel 9 didapatkan jawaban terbanyak ketika seseorang berada dalam hubungan yang toxic dampak yang ditimbulkan itu berupa Anxiety, Trust issue, Insecurity, Stress, Depresi, Insecure, Trauma, dan Mengganggu kesehatan fisik dengan persentase jawaban sebesar 52,7%. Tabel 10



No



Menurut anda, bagaimana cara keluar dari hubungan yang toxic ?



Frekuensi



Presentase



1



Mengakhiri hubungan



25



45%



2



Berkomunikasi langsung dengan pasangan



13



26%



3



Introspeksi atau memperbaiki diri



6



11%



4



Mendekatkan diri dengan Tuhan



4



7%



5



Meminta saran dari pihak lain (konselor, keluarga dan teman)



3



5%



6



Menyibukkan diri atau mengabaikan hubungan yang toxic



2



3%



7



Tidak relevan



2



3%



Berdasarkan tabel 10 di atas, dari ke-55 responden didapat hasil bahwa mereka memiliki



cara yang bervariasi untuk keluar dari hubungan yang toxic. Sebanyak 45% responden (n=25) memilih untuk mengakhiri hubungan sebagai solusi atau cara untuk keluar dari hubungan yang toxic tersebut. Sebanyak 26% responden (n=13) mencoba untuk mengkomunikasikan dahulu permasalahannya dan perasaannya kepada pasangannya terkait apa yang ia rasakan untuk bersama menjari cara keluar dari toxic relationship yang mereka jalani. Lalu sebanyak 11% responden (n=6) memilih cara keluar dari hubungan yang toxic itu dengan memulai dari dirinya sendiri untuk mengintrospeksi diri dan membenahi diri, jadi ke-6 responden ini lebih memilih untuk berkaca pada dirinya sendiri dulu apakah ia yang menjadi penyebab dari hubungan yang toxic itu. Berikutnya ada 7% responden (n=4) memandang dari perspektif spiritualitasnya, mereka meyakini bahwa ketika mereka dihadapkan dengan suatu masalah seperti terjebak dalam hubungan yang toxic maka cara mereka ialah menyerahkan permasalahannya itu pada yang Kuasa. Kemudian ada 5% responden (n=3) memilih cara untuk keluar dari hubungan yang toxic itu dengan cara meminta saran dari pihak lain seperti keluarga, teman, dan para profesional seperti konselor untuk mendapat saran atas permasalahan yang mereka alami. Lalu ada 3% (n=2) berpendapat bahwa cara mereka untuk keluar dari hubungan yang toxic itu dengan cara menyibukkan diri atau mengabaikan hubungannya yang toxic, mereka berpendapat bahwa menyibukkan diri yang dimaksud ialah melakukan hal yang mereka sukai seperti berbelanja, memasak, atau olahraga. Dengan pernyataan tersebut maka dapat diartikan bahwa mereka tidak mau terlalu memikirkan masalah hubungannya sehingga ia cenderung mengabaikan hubungannya yang toxic dengan menyibukkan diri dengan hal yang mereka sukai. Terakhir ada 3% (n=2) memberikan jawaban yang tidak relevan, tidak relevan yang kami maksud disini adalah responden memberi jawaban atau pernyataan yang tidak sesuai atau tidak nyambung dengan pertanyaan yang ada seperti memberi tanda (-) pada kolom jawaban. Hal tersebut yang membuat kami mengkategorikan bahwa pernyataan yang diberikan itu tidak relevan.



PEMBAHASAN Toxic relationship atau yang disebut hubungan beracun sering terjadi pada mereka yang sedang menjalani hubungan pacaran atau percintaan. Hubungan ini tidak sehat untuk diri sendiri dan orang lain. (Julianto, V. Rara A. C., Shita Sukmawati & Eka, 2020) Hal ini terbukti dari tes yang diberikan yakni melalui g-form sebagian besar dan hampir semuanya memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan dalam hubungan mereka. Banyak juga yang selama ini tidak menyadari itu dan bahkan mempertanyakan hubungan mereka yang sangat tidak menyenangkan itu dan dari tes yang diberikan juga webinar tentang toxic relationship mereka atau anak remaja menjadi lebih tahu dan menyadari apakah mereka berada dalam hubungan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan tersebut. Sebanyak 53 responden mengetahui tentang Toxic relationship. Toxic relationship sudah bukan menjadi suatu hal yang asing lagi karena sudah banyak di media sosial maupun media yang membahas tentang isu ini. Bahkan dari 55 responden, 12 diantaranya merasa bahwa hubungan yang selama ini dia jalani merupakan hubungan yang tidak sehat atau toxic. Walaupun toxic relationship ini bisa terjadi oleh siapa saja, namun berdasarkan hasil penelitian yang kami



lakukan kepada 55 responden kasus toxic relationship ini justru umumnya dialami oleh kalangan remaja dengan rentang usia 18-20 tahun. Bila kita melihat remaja adalah masa peralihan dari usia anak-anak menuju usia yang dewasa. Pada realitanya usia remaja ini dapat membahayakan diri mereka sendiri, karena di usia itu remaja belum mampu untuk mengontrol perasaannya dengan baik. Hal itu dapat berpengaruh pada perilakunya, mereka akan cenderung melakukan sikapsikap negatif karena tidak mampu mengontrol stress yang mereka rasakan. Bila kita lihat dampaknya itu bisa seperti mereka akan menjadi lebih agresif pada lingkungan sekitarnya. Bila dilihat dari bentuknya toxic relationship ini sebenarnya memiliki 2 bentuk yaitu bentuk verbal dan bentuk fisik. Bentuk kekerasan verbal itu terjadi ketika seseorang membentak orang lain atau pasangannya. Kekerasaan verbal ini terjadi tidak hanya pada saat seseorang berteriak atau berbicara dengan nada yang tinggi tetapi dapat dilakukan dengan nada halus sekalipun. Kekerasaan verbal ini terjadi ketika seseorang ingin menghancurkan karakter orang lain. Bentuk kekerasan fisik itu seperti kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Timbulnya kekerasan baik itu dalam bentuk verbal maupun fisik dalam berpacaran pada remaja pada dasarnya merupakan salah satu bentuk ketidakmampuan remaja dalam melakukan kontrol diri. Seperti yang diketahui, emosi dan mental yang dimiliki oleh remaja masih cenderung labil. Hal tersebut memungkinkan mereka melakukan sesuatu hal tanpa berpikir panjang seperti melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun verbal. Hal seperti ini membuat permasalahan yang dialami remaja dalam pacaran terkesan menjadi rumit dan semakin tidak ada jalan keluar. Keadaan seperti ini kemudian menjadikan aktivitas pacaran pada remaja sangat rentan menimbulkan kekerasan (Evendi, 2018). Ada banyak ciri-ciri dari toxic relationship yang ada dan sering terjadi bahkan dialami oleh anak-anak remaja saat ini diantaranya adalah: tidak pernah merasa cukup, susah menjadi diri sendiri, direndahkan terus, tidak didukung oleh pasangan, lingkungan pertemanan yang semakin menyempit, cemburu yang berlebihan, dan komunikasi antar pasangan sangat tidak baik. Semua hal itu jika tidak disadari dan dikendalikan atau dikontrol maka akan berujung pada hal-hal yang kurang baik seperti kekerasan, sakit hati, stres, tertekan dan bahkan hubungan akan berakhir atau terjadi perpisahan. Kekerasan dalam pacaran dikenal sebagai perilaku agresi dan penuh kontrol terhadap pasangan. Kekerasan itu ada begitu banyak jenisnya seperti psikologis, fisik, seksual dan cabang-cabangnya. Terdapat rangkaian dampak negatif bagi korban yang mengalami kekerasan dalam pacaran, baik jangka pendek maupun jangka panjang (American Psychological Association, 2002). Jika melihat dampaknya tentunya tidak hanya satu artinya ada banyak dampak yang dapat terjadi diantaranya adalah cedera atau luka-luka secara fisik, kemudian menuju pada kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, self esteem yang rendah dan gangguan lainnya yang berhubungan dengan kesehatan mental. (Grace et al., 2018). Perilaku agresif demikian sangat tidak menyenangkan apalagi bagi remaja-remaja yang dalam proses untuk menjadi. Setiap manusia tentu mencari kebahagiaan dan kenyamanan termasuk anak-anak remaja yang sedang berpacaran tetapi apakah mereka merasa bahagia dalam hubungan mereka? Anak-anak remaja yang sedang menjalin hubungan dan jika dilandaskan pada hubungan yang toxic maka kebahagiaan dan kenyamanan tidak akan ada di dalamnya. Banyak dari anak-anak remaja yang mengatakan bahwa mereka pernah mengalami dan bahkan saat ini



mereka berada dalam hubungan yang demikian. Ada yang memilih untuk mengakhiri hubungan mereka tetapi banyak juga yang masih memilih untuk bertahan dalam suasana dan situasi hubungan yang tidak nyaman dan merugikan tersebut karena mereka mengatakan bahwa dasarnya adalah mereka mencintai pasangan mereka. Artinya mereka sadar akan ketidaknyamanan itu tetapi karena cinta dan tidak mau kehilangan orang yang disayangi sehingga mereka tetap bertahan. Secara disadari maupun tidaknya sebenarnya Toxic Relationship ini sangat memberikan pengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Semakin lama berada dalam suatu hubungan yang toxic maka akan semakin besar kemungkinan seseorang akan mengalami stress, depresi, dan gangguan kecemasan. Cinta memberikan berbagai dampak dari positif hingga negatif. Ketika kebutuhan antar pasangan terpenuhi, maka cenderung memberikan dampak yang positif bahkan membantu pasangan untuk mengatasi permasalahan adaptifnya. Dalam keadaan lain, ketika kebutuhan akan cinta antar pasangan tidak terpenuhi, maka cenderung akan menimbulkan banyak permasalahan yang memberikan banyak dampak bagi fisik maupun dari psikologis. (Surijah, Edwin Adrianta, Ni Kadek Prema Dewi Sabhariyanti &Supriyadi, 2019 : Reis & Aron, 2008; Stack & Scourfield, 2015). Ada 3 tahapan terjadinya Toxic Relationship. Pertama diawali dengan hal-hal yang dianggap sepele namun bila terus dibiarkan hal itu dapat menjadi permulaan toxic relationship. Kedua mengakui, jadi ketika sudah menyadari bahwa hubungan yang dijalani itu termasuk dalam ciri-ciri toxic relationship segeralah mengakui atau menyadari bahwa hubungan yang dijalani memanglah toxic. Apabila sudah menyadari namun tidak berani mengakui pada diri sendiri dan pasangan bahwa hubungan yang dijalani itu toxic maka akan sangat berpotensi untuk berdampak pada kesehatan mental diri sendiri dan pasangan. Ketiga mengakhiri, bila sudah berani untuk mengakui hubungan yang dijalani itu toxic maka seorang individu harus berani mengakhiri. Mengakhiri yang dimaksud disini adalah berani mengambil keputusan yang dianggap paling baik untuk kedepannya. Namun setiap individu tentu memiliki pilihan masing-masing mau memperbaiki diri dan hubungannya yang toxic atau justru mengakhiri hubungannya. Toxic Relationship ini menimbulkan konflik dalam hubungan berpacaran. Achmanto, 2005 (dalam Nisa & Sedjo, 2010) menyatakan adanya langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan konflik dan dapat diterapkan oleh oleh pasangan dalam hubungan pacaran yaitu, (1) menemukan konflik yang ada dengan jelas, (2) mempertimbangkan solusi-solusi yang kemungkinan dapat menjadi alternatif jalan keluar, (3) mencoba menerapkan solusi yang telah dipertimbangkan dan mengevaluasi hasil percobaan, (4) menentukan keputusan untuk memilih salah satu solusi atau justru menolak solusi itu. Landasan Teori Fenomena Toxic Relationship dapat dilihat dari pandangan teori Transactional Analysis dari Eric Berne. Filosofi manusia menurut Eric Berne sebagai seorang individu manusia memiliki 3 ego state diantaranya (Niarti, Rosita, Yuline, Indri Astuti,2018; Komala sari, dkk, 2011:90) : (1) parent ego, jadi disini perilaku, pikiran, pandangan, dan perasaan biasa ditiru dari orang tua atau figur orang tua. (2) adult ego, perilaku, pikiran, dan perasaan adalah tanggapan atau respon langsung , here and now. Jadi artinya disini seorang individu bisa lebih berpikir yang logis dan praktis karena keadaan ego mereka yang sudah dewasa. (3) child ego, ini merupakan ego yang kekanak-kanakan hal itu dikarenakan perilaku, pikiran, dan perasaannya



diulang seperti pada masa kecilnya. Ketiga ego tersebut yang penting untuk ditonjolkan seorang individu ialah adult ego karena disini seseorang dapat memaknai situasi yang dihadapi. Biasanya individu yang dominan adult ego akan menyikapi masalahnya dengan bijak, bila child ego yang dominan maka ketika dihadapkan dengan masalah ia akan marah-marah, lalu apabila parent egonya yang dominan ia akan cenderung arogan dalam menghadapi suatu masalah hari itu bisa terjadi karena orang paret ego lebih berpatok pada benar atau salahnya suatu situasi atau tindakan. Manusia yang sehat adalah manusia yang dapat memilih ego state yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain. Pada fenomena Toxic Relationship maka mereka menjadi individu yang toxic karena ketidakmampuannya memilih ego state yang tepat karena sebenarnya yang memegang kendali terhadap ego state itu adalah diri kita sendiri. Inilah yang memicu orang menjadi Toxic person dan ketika menjalani suatu hubungan pacaran maka tidak menutup kemungkinan hubungannya akan menjadi toxic juga. Dari penelitian yang dilakukan lingkungan pergaulan dapat mempengaruhi seseorang menjadi toxic. Teori ini melihat bahwa individu yang tergolong patologi atau tidak sehat, dan tidak bahagia terhadap dirinya sendiri dan orang lain itu dapat dianalisis atau dilihat dari Life Scriptnya. Seseorang tidak bisa serta-merta mengecap atau menjudge individu lain bahwa ia tumbuh dengan parent egonya atau bahkan terlalu dominan childish, hal itu tentu dikarenakan pada dasarnya ego itu bisa bergantung pada life-script yang dialami seorang individu semasa kecilnya hingga tumbuh dewasa. Dengan demikian maka ketika ingin memahami orang lain maka haruslah mengetahui background orang tersebut seperti apa. Oleh karena itu untuk menganalisis perilaku atau ego yang muncul dari diri seseorang maka kita perlu menganalisisnya dengan melihat dan memahami life-script begitupun dalam fenomena Toxic Relationship. Cara mengatasi Toxic Relationship bila dilihat dari teori Eric Berne maka bisa menggunakan strategi Self awareness. Terlebih dahulu seorang individu perlu memiliki kesadaran bahwa setiap individu memiliki 3 ego state ( parent, adult, child). Sebagai individu yang sehat maka ia harus memiliki kesadaran akan ego statenya tersebut dan paham kapan egonya tersebut dapat dikeluarkan dengan menyesuaikan pada situasi dan kondisi yang mereka alami. Bila dilihat fenomena Toxic Relationship bisa terjadi karena individu itu tidak dapat memiliki ego state yang tepat ketika ia berinteraksi dengan orang lain atau pasangannya, sehingga ini dapat memicunya untuk melakukan bentuk-bentuk toxic relationship seperti verbal maupun fisik. Dengan adanya menerapkan strategi Self-Awareness maka individu akan mempu memilih ego statenya yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain, khususnya dalam penelitian ini adalah dalam hubungan berpacaran. Mereka yang mampu menempatkan ego statenya secara tepat akan mampu terhindar dari hubungan yang toxic.



Kesimpulan Toxic relationship merupakan suatu hubungan pacaran yang tidak sehat. Toxic relationship ini memiliki ciri-ciri adanya kekerasaan dalam hubungan, individu tidak menjadi diri sendiri, banyak tuntutan yang diberikan, posesif, dan lain sebagainya. Hubungan tersebut



memberikan dampak negatif bagi individu. Dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif dan dampak tersebut sangat memberikan pengaruh bagi kesehatan mental seseorang. Toxic relationship ini jika dikaitkan dengan teori transaksional analisis, individu memiliki ego states yang ada didalam dirinya dan ego states tersebut memberikan pengaruh pada perilakunya. Ego states terdiri dari parent ego states, child ego states, dan adult ego states. Toxic relationship ini dapat muncul dikarenakan Individu tersebut tidak bisa memposisikan ego states yang dimilikinya atau memiliki satu ego states yang mendominasi entah adult ego states ataupun child ego states. Cara mengatasi Toxic Relationship bila dilihat dari teori Eric Berne maka bisa menggunakan strategi Self awareness. Saran 1. Faktor lingkungan bisa mempengaruhi seseorang menjadi toxic person, dan dari situlah bisa berdampak pada hubungan yang toxic. Jadi bagi pembaca disarankan untuk dapat peka dengan lingkungan pergaulannya karena jika tidak maka lingkungan itulah yang akan membuat seseorang menjadi toxic. 2. Pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan akan membuat seseorang menjadi toxic dalam hubungannya. Dengan demikian berdamailah dengan masa lalu guna menjalin hubungan yang lebih baik tanpa melihat luka-luka di masa lalu. 3. Kenali secara dini ciri-ciri toxic relationship. Semakin cepat mengenali cirinya, maka semakin cepat pula keluar dari hubungan yang toxic tersebut. 4. Ketika sudah terlanjur terjebak dalam hubungan yang toxic maka komunikasikanlah dengan pasangan, dan segera mencari jalan keluar dari hal tersebut. 5. Mampu menyadari ego state dalam diri dan tau kapan ego tersebut harus dikeluarkan saat menghadapi situasi tertentu.



Daftar Pustaka



Adriana, W., & Ratnasari, Y. (2012). Kecemburuan pada laki-laki dan perempuan dalam menghadapi perselingkuhan pasangan melalui media internet. Jurnal Psikologi Pitutur, 1(1), 77–89. https://jurnal.umk.ac.id/index.php/PSI/article/view/38 Alfiani, R. V. (2020). Upaya resiliensi pada remaja dalam mengatasi toxic relationship yang terjadi dalam hubungan pacaran. http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf Amana, L.I; Kusnarto, K; Mugiarso, H. (2019). Layanan konseling kelompok untuk mengurangi perilaku interaksi sosial disosiatif siswa. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 8(1), 26–32. https://doi.org/10.15294/ijgc.v8i1.21712 Evendi, I. (2018). “Kekerasan Dalam Pacaran (Studi pada Siswa SMAN 4 Bombana)”. Jurnal Neo Societal. Vol. 3, No. 2. (389-399). Fikri, Miftahul, Prayitno & Yeni Karneli, 2020. Transactional Analysis Counseling untuk Meningkatkan Social Care Siswa. Jurnal Pendidikan dan Konseling. 10(1). 16-22. Grace, S., Pratiwi, P. C., & Indrawati, G. (2018). Hubungan antara rasa percaya dalam hubungan romantis dan kekerasan dalam pacaran pada perempuan dewasa muda di jakarta. Jurnal Psikologi Ulayat, 5(2), 169–186. https://doi.org/10.24854/jpu02018183 Inah, N. E. (2013). Peranan komunikasi dalam pendidikan. Jurnal Al-Ta’dib, 6(1), 176–188. Julianto, V; Cahayani, R.A; Sukmawati, S; Aji, E. S. R. (2020). Hubungan antara harapan dan harga diri terhadap kebahagiaan pada orang yang mengalami toxic relationship dengan kesehatan psikologis. Jurnal Psikologi Integratif, 8(1), 103–115. https://doi.org/10.14421/jpsi.v8i1.2016 Niarti, R., Yuline, Y., & Astuti, I. STUDI TENTANG STATUS EGO DALAM ANALISIS TRANSAKSIONAL DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 24 PONTIANAK. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 7(9).



Nisa, S., & Sedjo, P. (2011). Konflik pacaran jarak jauh pada individu dewasa muda. Jurnal Psikologi, 3(2) Putri, B.N; Putri, K. Y. S. (2020). Representasi toxic relationship dalam video klip Kard “You in me.” Jurnal Semiotika, 14(1), 48–54. Surijah, E. A., Ni Kadek Prema Dewi Sabhariyanti &Supriyadi. (2019). Apakah Ekspresi Cinta Memprediksi Perasaan Dicintai? Kajian Bahasa Cinta Pasif dan Aktif. PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi. 6(1). 1-14 Syahputra, Yuda, Neviyarni, Netrawati, Yeni Karneli& Hariyani.(2019). Analisis Transaksional dalam Setting Kelompok. Jurnal Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman. 5(2), 123-130