RTRW Kab. Dompu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR



TAHUN 2012 TENTANG



RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DOMPU TAHUN 2011 - 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DOMPU, Menimbang : :



a.



bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun



2007



tentang



Penataan



Ruang,



Peraturan



Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun



2009-2029,



maka



kebijakan



dan



strategi



pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah; b.



bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Dompu



dengan



memanfaatkan



ruang



wilayah



secara



berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; c.



bahwa



dalam



rangka



mewujudkan



keterpaduan



pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; d.



bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu Tahun 2011-2031;



Mengingat :



1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang



Nomor



69



Pembentukan Daerah-daerah



Tahun



1958



tentang



Tingkat II dalam Wilayah



Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa



Tenggara



Timur



(Lembaran



Negara



Republik



Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 5. Undang-Undang



Nomor



5



Tahun



1984



tentang



Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara



Republik



Indonesia



Tahun



1990



Nomor



49,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 7. Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 9. Undang-Undang



Nomor



28



Tahun



1999



tentang



Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi



dan



Nepotisme



(Lembaran



Negara



Republik



Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 10. Undang-Undang Telekomunikasi



Nomor (Lembaran



36



Tahun



Negara



1999



Republik



tentang Indonesia



Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); 2



11. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan undangundang



Nomor



19



Tahun



2004



tentang



Penetapan



Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor



41



Tahun



1999



tentang



Kehutanan



menjadi



Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 12. Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 13. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 15. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 16. Undang-Undang Pemerintahan



Nomor Daerah



32



Tahun



(Lembaran



2004



Negara



tentang Republik



Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Pemerintahan



Nomor Daerah



32



Tahun



(Lembaran



2004



Negara



tentang Republik



Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 17. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 4444); 18. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 3



33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 19. Undang-Undang Penanggulangan



Nomor Bencana



24



Tahun



(Lembaran



2007



tentang



Negara



Republik



Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 20. Undang-Undang



Nomor



25



Tahun



2007



tentang



Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 21. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725; 22. Undang-Undang Pengelolaan



Nomor



Wilayah



27



Pesisir



Tahun dan



2007



tentang



Pulau-pulau



Kecil



(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 4727); 23. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 24. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 25. Undang-Undang



Nomor



18



Tahun



2008



tentang



Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 26. Undang-Undang



Nomor



1



Tahun



2009



tentang



Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 27. Undang-Undang



Nomor



4



Tahun



2009



tentang



Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 28. Undang-Undang Kepariwisataan



Nomor (Lembaran



10



Tahun



Negara



2009



Republik



tentang Indonesia



Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);



4



29. Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 30. Undang-Undang



Nomor



30



Tahun



2009



tentang



Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 31. Undang-Undang Perlindungan



Nomor dan



32



Tahun



Pengelolaan



2009



Lingkungan



tentang Hidup



(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 32. Undang-Undang



Nomor



41



Tahun



2009



tentang



Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia



Tahun 2009 Nomor 149,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 33. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1548, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 34. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); 35. Undang-Undang



Nomor



12



Tahun



2011



tentang



Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara



Republik



Indonesia



Tahun



2011



Nomor



82,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan 5



(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1997 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385; 43. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara



Republik



Indonesia



Tahun



2005



Nomor



33,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan



Daerah



(Lembaran



Negara



Republik



Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 6



47. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik



Indonesia



Nomor



4696),



sebagaimana



telah



dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara



Republik



Indonesia



Tahun



2008



Nomor



16,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian



Urusan



Pemerintahan



Antara



Pemerintah,



Pemerintah



Daerah



Propinsi, dan Pemerintah



Daerah



Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761); 52. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Negara



Republik



Penanggulangan Indonesia



Bencana



Tahun



2010



(Lembaran Nomor



42,



Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 54. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 7



55. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 56. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tatacara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097); 57. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan



Penataan



Ruang



(Lembaran



Negara



Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 58. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tatacara



Pelaksanaan



Tugas



dan



Wewenang



Serta



Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Propinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107); 59. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah



Pertambangan



(Lembaran



Negara



Republik



Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 60. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 61. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5125); 62. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tatacara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor



118,



Tambahan



Lembaran



Negara



Republik



Indonesia Nomor 5160); 63. Keputusan



Presiden



Nomor



4



Tahun



1990



tentang



1990



tentang



Penggunaan Tanah bagi Kawasan Industri; 64. Keputusan



Presiden



Nomor



32



Tahun



Pengelolaan Kawasan Lindung; 65. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 8



66. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Ruang di Daerah; 67. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang



Penataan



Ruang



Terbuka



Hijau



Kawasan



Perkotaan; 68. Peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 69. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28



Tahun 2008



tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 70. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraaan Penataan Ruang di Daerah; 71. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 72. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah; 73. Peraturan



Menteri



Pekerjaan



Umum



Nomor



11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kota, beserta Rencana Rincinya; 74. Peraturan



Menteri



Pekerjaan



Umum



Nomor



16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; 75. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; 76. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 1989 tentang Pembangunan Kawasan Pariwisata di Daerah Nusa Tenggara Barat (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 1989 Nomor 3); 77. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Perlindungan Hutan, Flora dan Fauna Provinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2007 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 26); 78. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Tenggara



Kecil



Barat



(Lembaran



Tahun



2008



Daerah Nomor



Provinsi 31,



Nusa



Tambahan



Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 31); 79. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah 9



Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 56); 80. Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 13 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Dompu Tahun 2006 Nomor 13). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DOMPU dan BUPATI DOMPU MEMUTUSKAN : Menetapkan



: PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DOMPU TAHUN 2011- 2031.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.



Kabupaten adalah Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat.



2.



Bupati adalah Bupati Dompu.



3.



Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah.



4.



Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



5.



Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.



6.



Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. 10



7.



Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.



8.



Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.



9.



Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.



10. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 11. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Penyelenggaraan



penataan



ruang



adalah



kegiatan



yang



meliputi



pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. 13. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 16. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 17. Wilayah Pertambangan selanjutnya disebut WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional. 18. Wilayah sungai selanjutnya disebut WS adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. 19. Daerah aliran sungai selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 20. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. 21. Cekungan Air Tanah yang selanjutnya disebut CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis 11



seperti



proses



penimbunan,



pengaliran,



dan



pelepasan



air



tanah



berlangsung. 22. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 23. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. 24. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman



perkotaan,



pemusatan



dan



distribusi



pelayanan



jasa



pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 25. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 26. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional



terhadap



kedaulatan



negara,



pertahanan



dan



keamanan



negara,ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. 27. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 28. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 29. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. 30. Kawasan Rawan Bencana adalah Kawasan yang pernah atau berpotensi tinggi mengalami bencana, seperti tanah longsor, banjir, gelombang tsunami, abrasi, letusan gunung berapi yang perlu dikelola agar dapat menghindarkan dari ancaman bencana. 31. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik



maupun penyadaran dan



peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 32. Kawasan Peruntukan Pariwisata adalah kawasan dengan luasan tertentu yang dibangun atau disediaka untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 33. Kawasan peruntukan Peternakan meliputi kawasan yang dikembangkan dengan fungsi untuk kegiatan peternakan ternak besar, peternakan teknak kecil, dan peternakan unggas. 12



34. Kawasan peruntukan Perkebunan adalah kawasan yang dikembangkan dengan fungsi tanaman komoditi skala besar yang meliputi tanaman tahunan, atau perkebunan tanaman musiman. 35. Kawasan kegiatan



peruntukan industri



Industri adalah



yang



dilengkapi



kawasan tempat pemusatan



dengan



sarana



dan



prasarana



penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. 36. Kawasan peruntukan Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik di wilayah daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik kawasan budidaya maupun kawasan lindung. 37. Kawasan peruntukan Perikanan adalah kawasan Budidaya sumberdaya perikanan air tawar. 38. Kawasan peruntukan Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan



perdesaan



tinggal/lingkungan



yang



hunian



berfungsi dan



tempat



sebagai kegiatan



lingkungan yang



tempat



mendukung



perikehidupan dan penghidupan. 39. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan; 40. Daerah Tujuan Wisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata, adalah Kawasan Geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan 41. Kawasan Perlindungan Setempat mencakup kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. 42. Kawasan



Hutan adalah



wilayah



tertentu yang ditunjuk dan/atau



ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai tetap hutan. 43. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistimnya 44. Kawasan Pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 45. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 46. Kawasan Hutan Pelestarian Alam



adalah Hutan dengan ciri khas



tertentu, yang mempunyai fungsi Pokok perlindungan sistem penyangga, 13



sistem kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatannya secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 47. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 48. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 49. Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai nilai di bawah 125, diluar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. 50. Hutan Produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 125-174, diluar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. 51. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 52. Tata hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup kegiatan pengelompokkan sumberdaya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. 53. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. 54. Pemanfaatan kawasan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. 55. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi



jasa



lingkungan



dengan



tidak



merusak



lingkungan



dan



mengurangi fungsi utamanya. 56. Hutan Tanaman Industri selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.



14



57. Hutan Tanaman Rakyat selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. 58. Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi selanjutnya disingkat HTHR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. 59. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beranekararagam. 60. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yan terutama dimanfaatkan untuk pariwisata. 61. Kawasan Pengelola Hutan Lindung selanjutnya disingkat KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. 62. Kesatuan Pengelola Hutan Produksi disingkat KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. 63. Kesatuan Pengelola Hutan Konservasi disingkat KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. 64. Perubahan fungsi kawasan hutan adalah Perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan lain. 65. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru. 66. Tukar menukar kawasan hutan adalah Perubahan kawasan hutan produksi tetap dan /atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. 67. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 68. Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disebut KLHS adalah rangkaian analisa yang sistematis menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip



pembangunan berkelanjutan telah



menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan serta status wilayah atau kebijakan, rencana dan program.



15



69. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur pemanfaatan



ruang/pemanfaatan



kabupaten



dan



unsur-unsur



pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten. 70. Izin Pemanfaatan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 71. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. 72. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu



yang selanjutnya



disingkat RTRW Kabupaten Dompu adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan wilayah



yang



merupakan



dasar



dalam



penyusunan



program



pembangunan. 73. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 74. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 75. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL. 76. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. 77. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 78. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 79. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,



termasuk



bangunan



pelengkap



dan



perlengkapannya



yang



diperuntukkan bagi lalulintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. 80. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pegnaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. 81. Jalan Arteri Primer adalah Jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. 16



82. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. 83. Jalan Lokal Primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. 84. Jalan Arteri Sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 85. Jalan Kolektor Sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 86. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. 87. Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya di sebut TPS Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disebut TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. 88. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang selanjutnya disebut TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. 89. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disebut TPA adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. 90. Koefisien



Dasar



Bangunan



yang



selanjutnya



KDB



adalah



angka



perbandingan jumlah luas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan rencana kota. 91. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan rencana kota. 92. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 93. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.



17



94. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Dompu dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.



BAB II RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Luas dan Batas Wilayah Pasal 2 (1) Secara geografis, Kabupaten ini berada diantara 11742 sampai 11830 Bujur Timur dan 806 sampai 905 Lintang Selatan, dengan luas daratan 232.455 Ha dan luas perairan 239.296 Ha terdiri atas : a. Kecamatan Dompu; b. Kecamatan Woja; c. Kecamatan Pajo; d. Kecamatan Hu’u; e. Kecamatan Manggelewa; f. Kecamatan Kempo; g. Kecamatan Pekat; dan h. Kecamatan Kilo. (2) Batas wilayah kabupaten meliputi: a. Sebelah Barat



: Kabupaten Sumbawa



b. Sebelah Timur



: Kabupaten Bima



c. Sebelah Utara



: Laut Flores dan Sebagian Kabupaten Bima



d. Sebelah Selatan



: Samudera Hindia



Bagian Kedua Fungsi Pasal 3 Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Dompu menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;



18



c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan f.



penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.



BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Pasal 4 Penataan ruang wilayah Kabupaten Dompu bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Dompu yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan



yang bertumpu pada sektor pertanian sebagai basis ekonomi



yang didukung oleh sektor industri pengolahan, perikanan dan kelautan, perdagangan dan jasa, pariwisata serta pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan pengurangan resiko bencana.



Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Pasal 5 (1)



Untuk



mewujudkan



tujuan



penataan



ruang



wilayah



sebagaimana



dimaksud dalam Pasal 4, disusun kebijakan penataan ruang wilayah. (2)



Kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengembangan wilayah pertanian tanaman pangan dan hortikultura; b. mempertahankan



kawasan



lindung,



terutama



area-area



hutan



lindung, kawasan konservasi, sungai dan mata air, serta Ruang Terbuka Hijau; c. pengelolaan mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana alam; d. pengelolaan



kawasan



budidaya



dengan



memperhatikan



aspek



keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup.; e. pemantapan sistem permukiman perkotaan yang berperan sebagai pusat pelayanan regional dan lokal, yang terintegrasi dengan pusat-



19



pusat pelayanan yang berperan sebagai simpul pelayanan produksi ekonomi perdesaan; f.



pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung kegiatan pariwisata, industri pengolahan, perdagangan dan jasa;



g. pengembangan kawasan strategis; dan h. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.



Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Pasal 6 (1)



Strategi



pengembangan



wilayah



pertanian



tanaman



pangan



dan



hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, terdiri atas: a. mengembangkan



wilayah



dengan



potensi



unggulan



pertanian



tanaman pangan dan hortikultura sebagai daerah produksi; b. meningkatkan



kuantitas



dan



kualitas



sarana



dan



prasarana



penunjang produksi; c. merencanakan dan mengembangkan teknologi pengolahan hasil pertanian; d. merencanakan dan mengembangkan pertanian terpadu; e. merencanakan lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan f. mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering. (2)



Strategi mempertahankan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, terdiri atas : a. memantapkan fungsi kawasan lindung, baik untuk melindungi kawasan bawahannya (fungsi hidrologis), kawasan perlindungan setempat, maupun kawasan rawan bencana; b. memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi



lingkungan hidup



dalam rangka mempertahankan daya dukung lingkungan; c. memberi perlindungan terhadap keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya; d. mendelineasi kawasan lindung sesuai dengan kriteria kawasan lindung yang diterapkan bagi Kabupaten Dompu dan



hasil analisis



tumpang tindih (overlay); e. memantapkan kawasan perlindungan setempat terutama sempadan pantai dan sempadan sungai; f.



menjaga dan memelihara terumbu karang, dan hutan mangrove (bakau); dan 20



g. mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung agar sesuai dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan dalam mengupayakan tercapainya kelestarian dan keseimbangan lingkungan dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pembangunan. (3)



Strategi pengelolaan mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, terdiri atas: a.



menata kawasan bencana alam;



b.



merencanakan aksi pengelolaan kawasan rawan bencana alam;



c.



memanfaatkan kawasan rawan bencana alam sesuai dengan kaedahkaedah



yang



berlaku



dengan



berpegang



pada



prinsip-prinsip



pelestarian lingkungan hidup; d.



mencegah kegiatan budidaya yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup pada kawasan rawan bencana alam;



e.



mendorong kerjasama antar komponen dalam rangka pengurangan risiko bencana;



f.



memotivasi



dan



melibatkan



masyarakat



di



semua



aspek



pengurangan risiko bencana; g.



memanfaatkan teknologi ramah lingkungan untuk meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan hidup pada kawasan rawan bencana alam;



h.



memanfaatkan teknologi tanggap dini kejadian bencana alam; dan



i.



meningkatkan upaya sosialisasi dan kesadaran kepada pemerintah, swasta dan masyarakat tentang bahaya serta upaya antisipasi terjadinya bencana alam.



(4)



Strategi pengelolaan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, terdiri atas: a. memanfaatkan



ruang



untuk



kegiatan



budidaya,



baik



produksi



maupun permukiman secara optimal sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan; b. mendelineasi kawasan budidaya didasarkan pada hasil analisis kesesuaian



lahan



memperhatikan



untuk



adanya



berbagai



kegiatan



produk-produk



budidaya



rencana



dengan



sektoral



serta



penggunaan lahan yang ada; c. mengembangkan kawasan budidaya untuk mengakomodir kegiatan sektor pertanian (perkebunan, pertanian tanaman pangan, perikanan, kehutanan), permukiman serta pariwisata; d. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan; e. mengelola dampak negatif kegiatan budidaya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; 21



f.



mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan budidaya agar tidak terjadi konflik antar kegiatan dan /atau sektor, daerah produksi dan daerah pemasaran;



g. mendukung kebijakan moratorium logging dalam kawasan hutan serta mendorong berlangsungnya investasi bidang kehutanan yang diawali dengan kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan; h. membatasi perkotaan



perkembangan dengan



kawasan



mengoptimalkan



terbangun



pada



pemanfaaatan



kawasan



ruang



secara



vertikal dan tidak sporadis untuk mengefektifkan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan; dan i.



mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap



memelihara



dan



meningkatkan



sistem



permukiman



kualitas



nilai



serta



keanekaragamannya. (5)



Strategi



pemantapan



perkotaan



sebagaimana



dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e, terdiri atas : a. memantapkan pusat pertumbuhan utama kota Dompu; b. memantapkan pusat pertumbuhan sekunder untuk menciptakan sistem pusat-pusat pertumbuhan yang hirarkis; c. membagi wilayah pelayanan yang proporsional untuk tiap pusat-pusat pelayanan (central places); dan d. meningkatkan keterkaitan antar pusat-pusat kegiatan baik secara fungsional



dengan



mengembangkan



fungsi



pelayanan



yang



terintegrasi; dan e. merencanakan pemantapan kawasan lindung dilakukan dengan melibatkan masyarakat agar berperan aktif dalam pengawasan dan pengendalian kawasan lindung. (6)



Strategi pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung kegiatan



pariwisata,



industri pengolahan,



perdagangan dan jasa



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, terdiri atas: a. mengembangkan



sistem



transportasi



dilakukan



untuk



mengintegrasikan sistem kota-kota secara internal maupun dengan wilayah eksternal dan mengembangkan kawasan-kawasan produktif; b. mengembangkan



sistem



jaringan



infrastruktur



dalam



mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara



untuk



mendukung



pariwisata,



industri



pengolahan,



perdagangan dan jasa; c. mengembangkan akses jaringan jalan menuju kawasan pariwisata, industri pertanian, perikanan dan daerah terisolir; 22



d. mengembangkan dan meningkatkan jalan lingkar perkotaan dan jalan lingkar utara-selatan wilayah Kabupaten Dompu; e. mengembangkan jaringan prasarana energi dan listrik, telekomunikasi serta pengairan dilakukan untuk mendukung sistem kegiatan; f.



meningkatkan jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan pengelolaan lingkungan; dan



g. mengembangkan sarana dan prasarana sosial ekonomi dilakukan untuk memantapkan sistem pusat-pusat permukiman wilayah (sistem kota).



(7)



Strategi pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf g, terdiri atas : a. mendorong



pengembangan



kawasan-kawasan



potensial



yang



mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada kawasannya maupun kawasan



sekitarnya



untuk



mendukung



perkembangan



wilayah



kabupaten Dompu; b. mendukung kebijakan peningkatan sarana dan prasarana sehingga perkembangannya



mampu



mempercepat



pembangunan



wilayah



kabupaten untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya; dan d. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan.



(8)



Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara



sebagaimana



dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf h terdiri



atas : a. mendukung penetapan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan sekitar kawasan khusus pertahanan dan keamanan; c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun disekitar kawasan khusus pertahanan dan kemanan; dan d. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan dan keamanan negara.



23



BAB IV RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN DOMPU Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1)



Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Dompu meliputi : a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya.



(2)



Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



Bagian Kedua Pusat-pusat Kegiatan Pasal 8 (1)



Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas : a. PKWp di Kota Dompu; b. PKL Pekat, Kempo, Hu’u dan Kilo; c. PKLp Pajo, Manggelewa dan Woja; dan d. PPK meliputi Hu’u, Sawe, O’o, Kadindi, Doropeti, Soriutu, Kwangko, Soro, Dorokobo, Malaju, Mbuju, Jambu dan Ranggo. e. PPL meliputi Nangasia, Madawa, Mangge Asi, Nangamiro, Sorinomo, Riwo, Nowa, Lanci Jaya, Banggo, Napa, kesi, Ta’a, Karamat, Lasi, Lepadi, dan Soro Adu.



(2)



PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berfungsi sebagai: a. pusat pelayanan pemerintahan skala kabupaten; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala kabupaten dan hinterlandnya; c. simpul transportasi skala wilayah; d. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan; dan e. pusat pelayanan umum dan sosial skala regional. 24



(3)



PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berfungsi sebagai: a.



pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lokal dan/atau regional;



b. simpul transportasi skala lokal; dan c.



pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan skala lokal dan/atau regional.



(4)



PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berfungsi sebagai: a. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lokal dan/atau regional; b. simpul transportasi skala lokal; dan c. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan skala lokal dan/atau regional.



(5)



PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berfungsi sebagai : a. pusat pelayanan umum dan sosial skala kawasan; b. simpul transportasi skala kawasan; c. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala kawasan dan atau lokal; d. pusat pelayanan dan pengembangan sektor unggulan; dan e. pusat pendidikan dan jasa skala kawasan.



(6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berfungsi sebagai: a. simpul transportasi skala lingkungan; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lingkungan dan atau kawasan; dan c. pusat pelayanan umum dan sosial skala lingkungan.



Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 9 (1)



Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara.



(2)



Sistem jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum



25



dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



Paragraf 1 Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 10 (1)



Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. jaringan jalan; b. jaringan prasarana lalu lintas; c. jaringan layanan lalu lintas; dan d. jaringan penyeberangan.



(2)



Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tercantum dalam lampiran I.1



yang tidak terpisahkan dari peraturan



daerah ini. (3)



Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. pengembangan terminal penumpang tipe B di kecamatan Woja; dan b. pengembangan terminal penumpang tipe C di kecamatan Manggelewa, Calabai, Kempo, Rasabou dan Kilo.



(4)



Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. jaringan layanan lalulintas angkutan barang; dan b. jaringan layanan lalulintas trayek angkutan penumpang.



(5)



Jaringan lalulintas angkutan barang dan trayek penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.



(6)



Jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. pelabuhan Calabai-P. Moyo (Kab. Sumbawa) b. pelabuhan Soro- Calabai ; dan c. pelabuhan Kilo-Pelabuhan Bima.



26



Paragraf 2 Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 11 (1)



Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, meliputi : a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran.



(2)



Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. pelabuhan pengumpan regional Calabai Kecamatan Pekat; b. pelabuhan pengumpan regional Teluk Cempi; c.



pelabuhan pengumpan lokal Kempo Kecamatan Kempo; dan



d. pelabuhan pengumpan regional Kilo Kecamatan Kilo. (3)



Rencana pengembangan alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. alur pelayaran Cempi-Labangka ( Kab. Sumbawa); b. alur pelayaran Calabai- Bima (Kota Bima); c. alur pelayaran Cempi-Waworada (Kab. Bima); d. alur pelayaran Kempo-Labuan Badas (Kab. Sumbawa); dan e. alur pelayaran Kempo-Calabai.



Paragraf 3 Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 12 (1)



Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. tatanan kebandarudaraan; dan b. ruang udara untuk penerbangan.



(2)



Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni rencana pembangunan bandar udara khusus.



(3)



Rencana pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



27



(4)



Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) yang meliputi: a. Kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas; b. Kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; c. Kawasan dibawah permukaan transisi; d. Kawasan dibawah permukaan horizontal dalam; e. Kawasan dibawah permukaan kerucut; dan f.



(5)



Kawasan dibawah permukaan horizontal luar.



Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b di atur lebih lanjut dalam rencana induk bandar udara.



Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 13 (1)



Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. sistem jaringan energi dan Kelistrikan; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.



(2)



Sistem jaringan prasarana lainnya digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi dan Kelistrikan Pasal 14 (1)



Sistem jaringan energi dan kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a meliputi: a. pembangkit tenaga listrik; dan b. jaringan prasarana energi.



28



(2)



Rencana



pengembangan



pembangkit



tenaga



listrik



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Dompu, Kempo, Kwangko, dan Pekat; b. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Doropeti, P. Bajo dan Soriutu; c. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)



di Dompu, Woja,



Hu’u dan Pekat; d. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kilo, Pekat, Hu’u dan Woja; e. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Hu’u; f.



Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL) di Ria Woja; dan



g. Pembangkit Listrik Tenaga Bio Energi (PLTBE) diseluruh Kecamatan. (3)



Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. jaringan pipa minyak dan gas bumi; dan b. jaringan transmisi tenaga listrik.



(4)



Jaringan pipa minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri atas: a. depo minyak dan gas di Kabupaten Dompu di Kempo, Pekat, Manggelewa dan Woja; b. depo gas terdapat di Kecamatan Kempo, Pekat, Manggelewa dan Woja; c. pengembangan pengolahan migas (kilang) terdapat di Kecamatan Kempo, Kilo dan Pekat; dan d. wilayah penunjang migas terdapat di Kecamatan Kempo dan Pekat.



(5)



Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, terdiri atas: a. gardu induk terdapat di Kecamatan Dompu; b. jaringan distribusi



diarahkan pada



seluruh



Wilayah



Kabupaten



Dompu; dan c. jaringan transmisi tegangan tinggi Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Dompu- Labuan dan Saluran Tegangan Tinggi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (SUTT PLTP) Hu’u di Dompu. (6)



Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk Peta Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi dan Tabel Sistem Jaringan Energi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



29



Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 15 (1)



Rencana sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. sistem jaringan terestrial; dan b. sistem jaringan Satelit.



(2)



Sistem jaringan terestrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, teraplikasi dalam bentuk jaringan teknologi selular yang tersebar diseluruh kecamatan terdiri atas : a. pengembangan Sentra Telpon Otomat (STO) tersebar diseluruh kecamatan; b. rencana Rencana Pengembangan sistem Jaringan Telekomunikasi berupa



Microdigital



dan



Serat



Optik



dilakukan



dalam



rangka



memperlancar arus komunikasi dan mendukung kelancaran kegiatan ekonomi di Kabupaten Dompu meliputi: 1. Dompu-Ambalawi (  40 km); 2. Kempo-Kesi (  24 km); 3. Kempo-So Nggaja ( 38 km); dan 4. Kempo-Tolokalo ( 29 km). 5. Kilo-Karama ( 21 km); 6. Kilo-Kiwu ( 28 km); 7. Kilo-Manggelewa-Nangatumpu ( 30 km); 8. Pajo-UPT Woko ( 20 km); 9. Pekat-Pancasila ( 15 km); dan 10. Pekat-Tambora ( 20 km). c. rencana



pembangunan



stasiun-stasiun



komunikasi



nirkabel



di



wilayah-wilayah tertinggal/terisolasi. d. penambahan jaringan telepon rumah di wilayah yang termasuk kawasan perkotaan. (3)



Sistem jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, teraplikasi dalam bentuk pengembangan jaringan internet yang ada di Kabupaten Dompu.



(4)



Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Peta Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. 30



Paragraf 3 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 16 (1)



Sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. Wilayah Sungai (WS); b. Cekungan Air Tanah (CAT); c. Daerah Irigasi (DI); d. prasarana air baku untuk air bersih; e. jaringan air bersih ke kelompok pengguna; dan f.



(2)



sistem pengendalian banjir.



Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air secara terpadu (integrated)



dengan memperhatikan arahan pola dan rencana



pengelolaan sumber daya air WS Sumbawa. (3)



WS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu WS strategis nasional Sumbawa serta daerah aliran sungai yang tercantum dalam lampiran I.5 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



(4)



CAT yang berada pada Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah CAT Dompu seluas kurang lebih 375 km2 dan CAT Pekat seluas kurang lebih 977 km2.



(5)



DI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. DI kewenangan Pemerintah Provinsi, meliputi: 1. D.I. Baka seluas 1.810 Ha; 2. D.I. DaHa I, II seluas 1.273 Ha; 3. D.I. Kadindi seluas 1.200 Ha; 4. D.I. Katua seluas 1.403 Ha; 5. D.I. Laju seluas 1.050 Ha; dan 6. D.I Latonda Pekat seluas 1.217 Ha. b. DI kewenangan Pemerintah Kabupaten, meliputi: 1. DI E. Jambu seluas 700 Ha; 2. DI. E. Tonda Selatan seluas 460 Ha; 3. DI. E. Kempo seluas 200 Ha; 4. D.I. E. Kesi seluas 318 Ha; 5. D.I. E. Lanangga seluas 705 Ha; 31



6. D.I. E. Soncolopi seluas 600 Ha; 7. D.I. E. Soneo seluas 300 Ha; 8. D.I. Kwangko seluas 400 Ha; 9. D.I. lae Ranggo seluas 600 Ha, 10. D.I., Monggolenggo seluas 800 Ha; 11. D.I. Nae Kempo seluas 510 Ha; 12. D.I. Patula seluas 356 Ha; 13. D.I. RaHalayu seluas 441 Ha; 14. D.I Roju seluas 70 Ha; 15. D.I. Sakolo seluas 330 Ha; 16. D.I. Sambana 441 Ha; 17. D.I. Songgo Pasante seluas 400 Ha; dan 18. D.I Ta’a seluas 125 Ha. c. Rencana pengembangan jaringan saluran irigasi di kabupaten Dompu meliputi: 1. saluran induk sepanjang 850.645 m1; 2. saluran sekunder sepanjang 1.557.917 m1; 3. saluran pembuangan sepanjang 132.072 m1; 4. suplesi sepanjang 98.360 m1; dan 5. bendung seluas 46.852 m2. d. Rehabilitasi, pemeliharaan, dan peningkatan jaringan irigasi yang ada; e. Pengembangan Daerah Irigasi (DI) pada seluruh daerah potensial yang memiliki



lahan



pertanian



yang



ditujukan



untuk



mendukung



ketahanan pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan; dan f.



Membatasi konversi alih fungsi lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis menjadi kegiatan budidaya.



(6) Rencana



pengembangan



prasarana



air



baku



untuk



air



bersih



sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas : a. Rencana pengembangan sumber air baku meliputi : 1. bendung Rababaka; dan 2. sungai Hoddo di kecamatan Kempo dan Sungai Banggo di Kecamatan Manggelewa b. Rencana pengembangan jaringan sumber air baku mengutamakan air permukaan dengan prinsip keterpaduan air tanah; c. SPAM di Kabupaten di padukan dengan sistem jaringan sumberdaya air untuk menjamin ketersediaan air. d. Pengembangan jaringan perpipaan air baku dan air minum diseluruh kecamatan; dan



32



e. Instalasi air minum terdapat diseluruh lokasi kecamatan yang memiliki sumber air baku. (7)



Rencana jaringan air bersih ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, yaitu pengembangan sistem instalasi pengolahan air bersih (IPA) diseluruh kecamatan yang mempunyai potensi air baku untuk sumber air.



(8)



Rencana sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi: a. penetapan batas luasan genangan banjir; b. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari pemukiman penduduk; c. pengaturan daerah sempadan sungai, danau dan waduk; d. kesesuaian struktur bangunan dengan kondisi fisik wilayah; dan e. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi permukiman dan fasilitas lainnya.



Paragraf 4 Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 17 (1)



Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, terdiri atas : a. sistem jaringan persampahan; b. sistem jaringan drainase; c. Sistem jaringan air minum; d. sistem jaringan pengolahan air limbah dan limbah B3; dan e. jalur evakuasi bencana.



(2)



Rencana pengembangan sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. TPST direncanakan di kecamatan Hu’u, Pajo, Manggelewa, Calabai, dan Pekat b. pengelolaan persampahan meliputi penempatan sementara atau disebut TPS yang berlokasi diseluruh kecamatan dan beberapa sub kegiatan kawasan perkotaan dan pemrosesan akhir atau disebut TPA berlokasi di Kecamatan Woja; c.



meningkatkan



jumlah



sarana



pengangkutan



sampah



dan



pendistribusian secara proporsional disetiap wilayah; d. mengembangkan sistem pengelolaan sampah terpadu pada wilayah permukiman, khususnya kawasan permukiman kawasan perkotaan; 33



e.



mengembangkan sistem pengolahan sampah dengan prinsip 3R yaitu ReDuce, ReUse dan ReCycle;



f.



penentuan sebaran lokasi dan kriteria TPS, TPST dan /atau TPA sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan Peraturan Bupati; dan



g.



penyelenggaraan pengelolaan sampah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bupati.



(3)



Rencana pengembangan sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a. normalisasi



aliran



sungai-sungai



yang



berada



pada



wilayah



permukiman penduduk antara lain sungai Bou, sungai Talatoi, sungai Donggo, sungai Labunae, sungai Doro dan sungai Kempo; b. peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha/swasta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan drainase; c. penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas bagi aparat pengelola; d. peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pelayanan; e. pengembangan alternatif pembiayaan; f.



drainase primer adalah pengumpul dari drainase sekunder dan dapat dialirkan ke sungai;



g. drainase sekunder dilakukan pembangunan sistem drainase pada wilayah permukiman perkotaan dan perdesaan yang rawan bencana banjir dan genangan air limbah menuju drainase primer; dan h. drainase tersier dilakukan pembangunan sistem drainase pada lingkungan permukiman perkotaan dan perdesaan menuju drainase sekunder. (4)



Rencana



pengembangan



sistem



jaringan



air



minum



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. meningkatkan usaha pelestarian sumber-sumber air baku untuk air minum di seluruh wilayah kabupaten; b. penyediaan sistem air minum perpipaan dan non perpipaan untuk memenuhi kebutuhan air minum; c. peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha/swasta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem air minum; d. peningkatan kapasitas dan kualitas pengelolaan air minum; e. penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas bagi aparat pengelola air minum; f.



pengembangan alternatif pembiayaan;



g. pendistribusian air minum dengan sistem gravitasi;



34



h. pengembangan jaringan perpipaan air baku dan air minum terdapat di beberapa kecamatan antara lain kecamatan Dompu, Calabai, Kempo, Hu’u dan Kilo; dan i.



instalasi air minum terdapat diseluruh lokasi kecamatan yang memiliki sumber air baku.



(5)



Rencana pengembangan sistem jaringan pengolahan air limbah dan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. sistem pengolahan air limbah dan Limbah B3 terpusat dilakukan secara kolektif melalui jaringan pengumpul dan diolah secara terpusat pada kawasan pusat pemerintahan, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan pertambangan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan perumahan dan kawasan permukiman padat di Kabupaten; b. pengelolaan limbah B3 dilakukan dengan terpadu baik on site maupun



off



site



yang



memungkinkan



adanya



pengurangan,



pengolahan dan pemanfaatan limbah; c. mengelola limbah buangan rumah tangga secara terpadu dengan sistem riol (tertutup) pada kawasan padat penduduk, sedangkan pada permukiman perdesaan menggalakkan program pemanfaatan septic tank; d. penyediaan sarana pendukung yakni truk tinja untuk membantu masyarakat mengatasi masalah limbah rumah tangga; e. sistem pembuangan air limbah setempat dilakukan secara individual melalui pengolahan dan pembuangan air limbah setempat pada kawasan-kawasan yang belum memiliki sistem terpusat di Kabupaten; f.



lokasi instalasi pengolahan air limbah dan Limbah B3 harus memperhatikan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat, serta dilengkapi dengan zona penyangga, berlokasi di kecamatan Dompu; dan



g. pengelolaan Limbah B3 harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (6)



Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi: a. jalur



evakuasi



bencana



tanah



longsor



meliputi



desa



Kadindi



kecamatan Pekat, desa Jambu kecamatan Pajo, kelurahan Dorotangga Kecamatan Dompu, desa Mangge Asi Kecamatan Dompu dan desa Soriutu Kecamatan Manggelewa; b. jalur evakuasi bencana banjir meliputi kelurahan Potu kecamatan Dompu,



kelurahan



Simpasai



kecamatan



Woja,



desa



Serakapi



kecamatan Dompu dan desa Nowa kecamatan Woja;



35



c. jalur evakuasi bencana gelombang pasang meliputi desa Pekat kecamatan Pekat, desa Malaju dan Lasi kecamatan Kilo, desa Kempo kecamatan Kempo, desa Rasabou dan Daha kecamatan Hu’u; d. jalur



evakuasi



bencana



gunung



berapi



meliputi



desa



Tolokalo



kecamatan Kempo; dan e. jalur evakuasi bencana tsunami meliputi desa Pekat dan Kadindi kecamatan Pekat, Desa Malaju dan Salasi Kecamatan Kilo, desa Daha kecamatan Hu’u.



BAB V RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 18 (1)



Rencana pola ruang wilayah meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya.



(2)



Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 19 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terdiri atas : a.



kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;



b.



kawasan perlindungan setempat;



c.



kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;



d.



kawasan rawan bencana alam;



e.



kawasan lindung geologi; dan



f.



kawasan lindung lainnya.



36



Paragraf 1 Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya Pasal 20 Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a terdiri atas : a. Kawasan hutan lindung seluas 51.482,59 ha meliputi : 1. kelompok hutan Riwo (RTK 43) dengan luas 16.497,65 ha meliputi kecamatan Woja, Kempo dan Manggelewa; 2. kelompok hutan Tambora (RTK 53) dengan luas 3.305,70 ha meliputi kecamatan Kempo dan kecamatan Manggelewa; 3. kelompok hutan Soromandi (RTK 55) dengan luas 19.365,94 ha meliputi kecamatan Dompu, kecamatan Woja, kecamatan Manggelewa dan kecamatan Kilo; dan 4. kelompok hutan Toffo Rompu (RTK 65) dengan luas 12.313,30 ha meliputi kecamatan Dompu, kecamatan Pajo, dan Kecamatan Hu’u. b. Kawasan resapan air yang diarahkan pada lokasi



Gunung Tambora,



kawasan Karamabura dan kawasan Woko.



Pasal 21 (1)



Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung meliputi semua upaya perlindungan, konservasi, dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya



guna



mendukung



kehidupan



secara



serasi



yang



berkelanjutan dan tidak dapat dikonversi, antara lain: a.



perencanaan rehabilitasi dan pemulihan hutan termasuk dalam kriteria kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat digunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya yang dapat diambil hasil hutan bukan kayu;



b.



membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa cinta terhadap alam, serta pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan pengembangan kecintaan terhadap alam;



c.



percepatan rehabilitasi dan pemulihan hutan padan fungsi hutan lindung dengan tanaman endemik dan/atau tanaman unggulan lokal sesuai dengan fungsi lindung;



d.



pelestarian ekosistem yang merupakan ciri khas kawasan melalui tindakan pencegahan perusakan dan upaya pengembalian pada rona awal sesuai ekosistem yang pernah ada;



37



e.



peningkatan kualitas lingkungan sekitar taman wisata alam laut melalui upaya pencegahan kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran;



f.



pemanfaatan kawasan pada hutan lindung antara lain melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa dan/atau budidaya hijauan makanan ternak; dan



g.



pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung melalui kegiatan pemanfaatan



jasa



perlindungan



aliran



air,



pemanfaatan



keanekaragaman



hayati,



air,



wisata



alam,



penyelamatan



dan



perlindungan lingkungan atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. (2)



Penggunaan kawasan hutan lindung untuk tujuan pembangunan diluar sektor



kehutanan



dilakukan



sesuai



dengan



peraturan



perundang-



undangan yang berlaku.



Paragraf 2 Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 22 (1)



Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, terdiri atas : a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; c.



kawasan sekitar danau/waduk; dan



d. kawasan ruang terbuka hijau. (2)



Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 3.276 ha, diarahkan pada kawasan sepanjang tepian pantai sejauh minimal 100 meter dari garis pasang tertinggi secara proporsional sesuai dengan bentuk, letak dan kondisi fisik pantai.



(3)



Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, seluas kurang lebih 7.635 ha terdapat di sepanjang aliran sungai di kabupaten Dompu dengan ketentuan pengelolaannya : a.



kegiatan



pinggir



sungai



mampu



melindungi



dan



memperkuat



pengaturan air, dengan tanaman keras dan rib pengendali saluran air; b.



daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar 100 (seratus) meter dari tepi sungai; 38



c.



daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai;



d.



garis sempadan sungai bertanggul yaitu daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar minimal 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar; dan



e.



untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.



(4)



Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria, diarahkan ke seluruh kawasan sekitar danau dan waduk yang tersebar di kabupaten Dompu yang terdapat di Danau Rababaka dengan ketentuan lebarnya secara proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat sesuai dengan aturan yang berlaku.



(5)



Kawasan Ruang terbuka Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengembangannya diarahkan pada Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp) Di kecamatan



Dompu dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan



luas 28,2 ha.



Paragraf 3 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pasal 23 (1)



Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, terdiri atas : a. kawasan Suaka Margasatwa (SM); b. kawasan Cagar Alam (CA); c. kawasan Taman Wisata Alam (TWA); dan d. kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.



(2)



Kawasan suaka margasatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu kelompok hutan Tambora (RTK 53)



dengan luas 3.988,60 ha,



terdapat di Kecamatan Pekat; (3)



Kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu kelompok hutan Tambora (RTK 53) dengan luas 13.572,34 ha terdapat di Gunung Tambora Selatan Kecamatan Pekat;



39



(4)



Kawasan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat di Pulau Satonda kecamatan Pekat dengan luas 2.600 ha, meliputi : a. Kawasan taman wisata alam laut seluas 2.146,30 ha; dan b. Kawasan taman wisata alam seluas 453,70 ha.



(5)



Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi : a. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan situs Nangasia di kecamatan Hu’u; dan b. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan situs Doro Bata di kecamatan Dompu.



(6)



Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pulau satonda mengacu pada kawasan Strategis Kabupaten dari sudut lingkungan.



(7)



Rencana pengelolaan kawasan suaka margasatwa, kawasan cagar alam, kawasan taman wisata alam, cagar budaya ilmu pengetahuan dan taman buru dilaksanakan secara kolaborasi melalui: a. penataan kawasan dalam rangka pemeliharaan batas; b. penataan zonasi; c. penyusunan



rencana



pengelolaan



kawasan



suaka



margasatwa,



kawasan cagar alam; d. pembinaan daya dukung kawasan antara lain inventarisasi flora dan fauna



serta



ekosistem,



pembinaan



dan



monitoring



populasi



habitatnya; e. rehabilitasi kawasan diluar areal kawasan cagar alam; f.



pemanfaatan kawasan sebagai kawasan pariwisata alam dan jasa lingkungan, serta pendidikan bina cinta alam.



g. penelitian dan pengembangan flora, fauna dan ekosistemnya serta identifikasi dan/ atau inventarisasi sosial budaya masyarakat h. perlindungan dan pengamanan kawasan meliputi pemantauan titiktitik



rawan



kebakaran



dan



pencegahan



serta



penanggulangan



kebakaran hutan. i. pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung pengelolaan KSA dan KPA, meliputi pendidikan dan pelatihan terhadap petugas dan masyarakat setempat; j.



pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan dan pemanfaatan untuk menunjang pelaksanaan kolaborasi; dan



k. pembinaan



partisipasi



masyarakat



dengan



program



peningkatan



kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat.



40



Paragraf 4 Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 24 (1)



Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, terdiri atas : a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; c. kawasan rawan banjir; d. kawasan rawan kekeringan; e. kawasan rawan gunung berapi; f.



kawasan rawan tsunami;



g. kawasan rawan angin topan;dan h. kawasan rawan gempa bumi. (2)



Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat disekitar Tambora, Ranggo, sepanjang jalur jalan O’o-Katua, Manggenae sampai perbatasan kabupaten Bima serta jalur jalan BanggoNapa-Kwangko sampai perbatasan Kabupaten Sumbawa.



(3)



Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Pantai Barat yakni Calabai, Nangamiro dan Kilo, serta pantai Hu’u di pesisir bagian selatan.



(4)



Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di sepanjang wilayah sungai di Kabupaten.



(5)



Kawasan rawan kekeringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terdapat di Kempo, Hu’u, Kilo dan Mbawi.



Paragraf 5 Kawasan Lindung Geologi Pasal 25 Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, terdiri atas : a. kawasan rawan bencana alam geologi; dan b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.



41



Pasal 26 (1)



Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a terdiri atas: a. kawasan rawan letusan gunung berapi, terdapat pada daerah bahaya sekitar kaldera dengan luas kurang lebih 58,7 km2 di Kecamatan Pekat; b. kawasan rawan gempa bumi, terdapat di seluruh Kecamatan; c. kawasan rawan tsunami, terdapat dikawasan pesisir bagian barat dan selatan Kabupaten Dompu yakni Calabai, Nangamiro dan Kilo, serta pantai Hu’u bagian selatan; d. kawasan rawan abrasi pantai, terdapat di kecamatan Manggelewa desa Kwangko, kecamatan Kempo di desa Soro dan wilayah pantai selatan kecamatan Hu’u; dan e. kawasan rawan sedimentasi terdapat di perairan Teluk Saleh.



(2)



Kawasan



yang



memberikan



perlindungan



terhadap



air



tanah



sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf b yaitu kawasan sekitar mata air ditetapkan sekurang-kurangnya 200 m disekitar mata air dan tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Dompu untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan air minum maupun irigasi.



Paragraf 6 Kawasan Lindung Lainnya Pasal 27 (1)



Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f, terdiri atas :



(2)



a.



kawasan terumbu karang;



b.



kawasan mangrove;



c.



kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi; dan



d.



kawasan taman buru.



Kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat diperairan Pulau Satonda, Teluk Cempi, Teluk Saleh dan Teluk Sanggar.



(3)



Kawasan mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di sepanjang pesisir teluk cempi, teluk saleh dan teluk sanggar dengan luas kurang lebih 4.710 ha.



42



(4)



Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi perairan sebagaimana ayat (1) huruf c, terdapat di perairan pulau Satonda, teluk Cempi, teluk Saleh dan teluk Sanggar.



(5)



Kawasan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat pada kawasan taman buru gunung



Tambora selatan di



kecamatan Pekat dengan luas 9.543,56 ha.



Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 28 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f.



kawasan peruntukan domestic;



g. kawasan peruntukan pariwisata; h. kawasan peruntukan permukiman; dan i.



kawasan peruntukan lainnya.



Paragraf 1 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 29 (1)



Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, terdiri atas : a. kawasan hutan produksi terbatas; dan b. kawasan hutan produksi tetap.



(2)



Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas 32.586,78 ha terdiri atas : a. Kelompok hutan Pajo (RTK 42) seluas 1.079,19 ha terdapat di kecamatan Pajo dan Dompu; b. Kelompok hutan Riwo (RTK 43) seluas 8.480,61 ha terdapat di kecamatan Woja; 43



c. Kelompok hutan Tambora (RTK 53) seluas 8.066, 64 ha terdapat di kecamatan Pekat; d. Kelompok hutan Soromandi (RTK 55) seluas 4.516,42 ha terdapat di kecamatan Dompu; e. Kelompok hutan Toffo Rompu (RTK 65) seluas 10.044,92 ha terdapat di kecamatan Dompu, kecamatan Pajo dan kecamatan Hu’u; dan f.



Kelompok hutan Ampang Kampaja (RTK 70) seluas 400 ha terdapat di kecamatan Manggelewa.



(3)



Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas 26.119,11 ha terdiri atas: a. Kelompok hutan Pajo (RTK 42) seluas 2.749,71 ha terdapat di kecamatan Pajo dan Dompu; b. Kelompok hutan Tambora (RTK 53) seluas 19.417,37 ha terdapat di kecamatan Pekat; c. Kelompok hutan Soromandi (RTK 55) seluas 3.917,64 ha terdapat di kecamatan Dompu, Woja dan dan Kilo; dan d. Kelompok hutan Pulau Rai Rakit Kwangko (RTK 70) seluas 34,39 ha terdapat di kecamatan Manggelewa.



(4)



Rencana pemanfaatan dan pengelolaan hutan produksi, antara lain : a. pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu; b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. pengelolaan budidaya hutan, hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan yang ditujukan untuk kesinambungan produksi



dengan



pencegahan



memperhatikan



kualitas



lingkungan



melalui



kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah,



mempertahankan bentang alam serta menjaga ketersediaan air; d. pengembangan kegiatan budidaya hutan yang dapat mendorong terwujudnya



kegiatan industri pengolahan hasil hutan, dengan



pengembangan jenis tanaman hutan industri melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR), Restorasi Ekosistem (RE) dan program lainnya; e. penggunaan kawasan hutan untuk budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa, budidaya sarang burung walet serta silvo pasture; f.



penggunaan kawasan hutan produksi untuk kegiatan di luar budidaya hutan



dan



hasil hutan yang penggunaannya untuk kepentingan



umum dan bersifat strategis, dilakukan dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air serta mempertimbangkan luas dan jangka waktu; dan 44



g. kemampuan rehabilitasi kawasan hutan produksi yang mempunyai tingkat kerapatan tegakan rendah. (5)



Tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.



(6)



Penggunaan kawasan hutan produksi untuk tujuan pembangunan diluar sektor kehutanan dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.



Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat Pasal 30 Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 14.000 ha.



Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 31 (1)



Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c, terdiri atas : a. kawasan peruntukan tanaman pangan; b. kawasan peruntukan hortikultura; c. kawasan peruntukan perkebunan; dan d. kawasan peruntukan peternakan.



(2)



Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 19.194 ha.



(3)



Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 11.500 ha.



(4)



Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. kawasan peruntukan perkebunan Jambu Mente, terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 18.895,90 ha;



45



b. kawasan



peruntukan



perkebunan



Kelapa,



terdapat



diseluruh



kecamatan dengan luas kurang lebih 6.361 ha; c. kawasan peruntukan perkebunan Kopi, terdapat di Kecamatan Pekat, kecamatan Kilo dan kecamatan Dompu dengan luas dengan luas kurang lebih 1.661,62 ha; d. kawasan peruntukan perkebunan Jarak Pagar, terdapat di seluruh Kecamatan dengan luas kurang lebih 5.859,89 ha; dan e. kawasan peruntukan perkebunan Kakao terdapat di kecamatan Pekat dan Kempo dengan luas kurang lebih 1.060,35 ha. (5)



Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdapat di kecamatan Pajo dengan luas kurang lebih 330 ha, kecamatan Hu’u dengan luas kurang lebih 471 ha, Manggelewa dengan luas kurang lebih 750 ha, Kempo dengan luas kurang lebih 1.000 ha, Kilo dengan luas kurang lebih 850 ha, dan pekat dengan luas kurang lebih 4.995 ha.



(6) Kawasan



peruntukan



tanaman



pangan



di



seluruh



kecamatan



sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan, dengan luas kurang lebih 15.985 ha.



Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Perikanan



Pasal 32



(1)



Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d, terdiri atas : a. kawasan peruntukan perikanan tangkap; b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan c. kawasan pengolahan hasil perikanan.



(2)



Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. perikanan tangkap perairan umum, selanjutnya disebut perikanan perairan umum meliputi kawasan perikanan tangkap di perairan danau, sungai dan waduk; b. perikanan



tangkap



diperairan



laut,



selanjutnya



perikanan



laut



meliputi jalur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah penangkapan terdapat di kecamatan Kempo, Hu’u dan Pajo;



46



c. sebaran pengembangan kegiatan perikanan tangkap diperairan laut, sebagaimana dimaksud pada huruf b, meliputi: 1. pengembangan dan pemberdayaan perikanan laut skala kecil meliputi kawasan yang memiliki kelompok nelayan terdapat di kecamatan kempo, Hu’u dan pajo; 2. pengembangan perikanan laut skala menengah meliputi kawasan pendaratan ikan (PPI) /Tempat pelelangan ikan (TPI) di PPI Soro Kempo, PPI-PPP Soroadu dan PPI Kramat; dan 3. pemasangan rumpon perairan dangkal 37.240 ha dan rumpon lepas pantai 28.420 ha. d. Pemantapan prasarana pendukung kegiatan perikanan tangkap di perairan laut, sebagaimana dimaksud huruf b meliputi: 1. pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Soro kempo, PPI-PPP Soriadu dan PPI Kramat (lokasi rencana); dan 2. pangkalan



Perahu/Jukung



Nelayan



tradisional



tersebar



di



pantai-pantai desa nelayan. (3)



Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a. kawasan pengembangan budidaya air tawar terdiri atas: 1. perikanan budidaya di bendungan Rababaka; 2. kawasan budidaya kolam; 3. kawasan budidaya ikan bersama tanaman padi sawah (minapadi); 4. kawasan budidaya saluran irigasi; 5. kawasan budidaya bidang pembenihan; dan 6. kawasan



prasarana



pendukung



budidaya



perikanan



mencakup



penyediaan Balai



Benih



benih Ikan



kegiatan (BBI)



di



kecamatan Hu’u. b. kawasan pengembangan perikanan budidaya air payau (tambak) tersebar di kecamatan Dompu, Kecamatan Woja dan kecamatan Poja; dan c. kawasan bagi pengembangan perikanan budidaya laut terdiri atas: 1. potensi untuk tumbuh rumput laut seluas lebih kurang 1.298 ha tersebar di 6 (enam) kecamatan yaitu kecamatan Woja, kecamatan Manggelewa, kecamatan Kempo, kecamatan Pekat dan kecamatan Hu’u; 2. budidaya kelompok ikan seluas 387 ha, terdapat di kecamatan Kempo desa Soro dan Konte, kecamatan Manggelewa desa Pulau Bajo; dan 3. kawasan potensi budidaya mutiara seluas 1.967 ha, terdapat di teluk Saleh, teluk Sanggar bagian utara dan teluk Cempi.



47



(4)



Kawasan pengolahan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi: a. sentra-sentra industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang mengolah hasil perikanan terdapat di Kecamatan Kempo dan kecamatan Pajo; dan b. kawasan industri perikanan tersebar di kawasan pelabuhan Soroadu kecamatan Hu’u, pelabuhan Soro kecamatan Kempo dan pelabuhan Kramat Kecamatan Kilo.



Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 33 (1)



Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e terdiri atas : a. kawasan peruntukan potensi pertambangan mineral dan batubara; b. kawasan peruntukan potensi minyak dan gas bumi; c. kawasan peruntukan potensi panas bumi; dan d. kawasan peruntukan potensi air tanah.



(2)



Kawasan peruntukan potensi pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a.



potensi sirtu, pasir,



batu dan tanah urug terdapat disemua



kecamatan; b.



potensi emas, perak dan tembaga terdapat kecamatan



Hu’u,



Manggelewa dan Pajo; c.



potensi pasir besi terdapat di kecamatan Kempo dan Pekat;



d.



potensi belerang terdapat di kecamatan Hu’u;



e.



potensi mangan terdapat di kecamatan Pajo, Woja dan Hu’u;



f.



potensi timah hitam terdapat di Kecamatan Pajo;



g.



potensi marmer terdapat di kecamatan Dompu;



h.



potensi andesit terdapat di kecamatan Manggelewa dan Hu’u;



i.



potensi dasit terdapat di kecamatan Pajo;



j.



potensi diorit terdapat di kecamatan Pajo, Manggelewa dan Dompu;



k.



potensi lempung terdapat di kecamatan Kempo dan Dompu;



l.



potensi batu gamping terdapat di kecamatan Dompu, Woja, Pajo dan Hu’u;



m.



potensi kalsedon terdapat di kecamatan Pajo; dan



n.



potensi oker terdapat di kecamatan Kempo;



48



(3)



Kawasan peruntukan potensi minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di kecamatan Hu’u, Kilo dan Pekat.



(4)



Kawasan peruntukan potensi panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di kecamatan Hu’u.



(5)



Kawasan potensi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: Cekungan Air Tanah (CAT), Air Tanah Bebas, Air Tanah Tertekan dan Semi Tertekan



terdapat di seluruh wilayah kabupaten



Dompu. (6)



Eksisting pertambangan mineral dan batubara terdapat di kecamatan Dompu, Pajo, Hu’u, Woja, dan Pekat.



(7)



Eksisting pertambangan panas bumi terdapat di kecamatan Hu’u.



(8)



Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan setelah ditetapkannya Wilayah Pertambangan (WP) berdasarkan usulan penetapan WP.



(9)



Usulan



penetapan



WP



sebagaimana



dimaksud



pada



ayat



(6)



disampaikan oleh Bupati kepada Menteri melalui Gubernur berdasarkan pertimbangan BKPRD Provinsi dan BKPRD Kabupaten. (10)



Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) untuk mineral logam dan bukan logam disusun melalui kajian dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan harus berada diluar



kawasan



lindung,



kawasan



permukiman,



kawasan



lahan



pertanian berkelanjutan, dan kawasan pariwisata sampai batas tidak adanya dampak negatif secara teknik, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan (11)



Izin pertambangan mineral logam dan bukan logam yang telah diterbitkan dan masih berlaku masa izinnya, tetap diakui sampai masa berlakunya



habis



dan



perpanjangannya



menyesuaikan



dengan



ketentuan peraturan daerah. (12)



Tatacara



dan



mekanisme



penyusunan



usulan



WP



sebagaimana



dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Bupati. (13)



Potensi dan eksisting pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), tercantum pada Lampiran II yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.



Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 34 (1)



Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf f, terdiri atas : 49



a. kawasan peruntukan sedang; dan b. kawasan peruntukan Industri rumah tangga. (2)



Rencana kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipusatkan Manggelewa.



(3)



Rencana kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di kecamatan Dompu, Kempo, Hu’u, Woja, Pajo, Pekat, dan Kilo.



Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 35 (1)



Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g, terdiri atas : a. kawasan peruntukan pariwisata alam; b. kawasan peruntukan pariwisata budaya; dan c. kawasan peruntukan pariwisata buatan.



(2)



Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi kawasan pantai Lakey, kawasan pulau Satonda, kawasan gunung Tambora selatan, kawasan pantai Ria, pantai Soro, pantai Lasi, Madaprama, pantai Nanga Tumpu dan pantai Nangadoro.



(3)



Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi konservasi Situs Nangasia di kecamatan Hu’u. Situs Dorobata di Kecamatan Dompu, dan kawasan desa budaya di desa Ranggo Kecamatan Pajo.



(4)



Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yakni kawasan Lepadi sebagai kawasan Pacuan Kuda Tradisional dan Kolam renang Madaprama.



Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 36 (1)



Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf h, seluas 1.830,56 ha meliputi : 50



a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan. (2)



Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di kecamatan Dompu, kecamatan Woja dan seluruh ibu kota kecamatan.



(3)



Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah kawasan untuk permukiman yang pada lokasi sekitarnya masih didominasi oleh lahan pertanian, tegalan dan perkebunan terdapat di kecamatan Hu’u, kecamatan Pajo, kecamatan Manggelewa kecamatan Kempo, kecamatan Kilo dan Pekat.



(4)



Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



Paragraf 9 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 37 (1)



Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g terdiri atas: a. kawasan perdagangan dan jasa; b. kawasan pusat pemerintahan; c. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan d. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.



(2)



Kawasan perdagangan dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di Kecamatan Dompu dan Kecamatan Woja.



(3)



Kawasan pusat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Dompu dan kecamatan Woja.



(4)



Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. Pulau Balere, Bajo Lama, Bajo Baru, Na’e, Kubur, Wadu, Kondo, Wadumposo, Torobero, Cangkir, Sipenuh, Wadu Udu, Saroko, Santigi, Maja, Lara dan Sawo di Kecamatan Manggelewa; b. Pulau Pu’du Na’e, Pu’du To’i dan Rate di Kecamatan Kempo; c. Pulau Wadurange di Kecamatan Woja; dan 51



d. Pulau Felo Janga di Kecamatan Pajo. (5)



Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 1614/Dompu di kecamatan Dompu; b. Markas Komando Rayon Militer (Koramil) yang terdapat di tiap kecamatan; dan c. kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan wilayah darat, laut dan udara.



Pasal 38 (1)



Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tentang penetapan kawasan budidaya dapat dilaksanakan



apabila



tidak



mengganggu



fungsi



kawasan



yang



bersangkutan dan tidak melanggar ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. (2)



Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapat rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten Dompu.



BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 39 (1)



Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Dompu, terdiri atas : a. kawasan strategis nasional; b. kawasan strategis provinsi; dan c. kawasan strategis kabupaten.



(2)



Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



52



Pasal 40 Kawasan strategis nasional yang ada di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a, terdiri atas : a.



Kawasan



Pengembangan



Ekonomi



Terpadu



(KAPET)



Bima



yang



merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ; dan b.



Kawasan yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan hidup meliputi: 1. suaka margasatwa Tambora Selatan; 2. cagar alam gunung Tambora Selatan; 3. taman wisata alam laut Pulau Satonda; dan 4. taman buru gunung Tambora Selatan.



Pasal 41 Kawasan strategis provinsi yang ada di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. kawasan



yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan



ekonomi meliputi: 1. kawasan Teluk Saleh dan Sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pariwisata, pertanian, peternakan dan industri; 2. kawasan Agropolitan Manggelewa dengan sektor unggulan pertanian, perkebunan dan industri di kecamatan Manggelewa; dan 3. kawasan Hu’u dan sekitarnya dengan sektor unggulan pariwisata, industri, pertanian dan perikanan. b. Kawasan ekosistem gunung Tambora dan kawasan ekosistem hutan Parado yang merupakan kawasan strategis dari sudut Kepentingan lingkungan hidup.



Pasal 42 (1)



Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi; b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; dan c.



kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.



d. Kawasan straregis dari sudut pertahanan dan keamanan



53



(2)



Kawasan



strategis



dari



sudut



kepentingan



ekonomi



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas : a. Kawasan Kempo, Pekat, dan sekitarnya dengan sektor unggulan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan pertambangan; b. Kawasan teluk Cempi dan sekitarnya



dengan sektor pariwisata,



perikanan dan pertambangan energi; c. Kawasan industri terpadu Manggelewa dengan sektor unggulan industri pengolahan; dan d. Kawasan Dompu Mandiri dan sekitarnya dengan sektor unggulan perdagangan dan jasa serta sebagai pusat pemerintahan. (3)



Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b



meliputi situs Nangasia, desa budaya



Ranggo, situs Dorobata dan arena pacuan kuda tradisional Lepadi. (4)



Kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Satonda.



(5)



Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdapat di seluruh wilayah kecamatan.



(6)



Rencana rinci tata ruang untuk kawasan strategis Kabupaten dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten yang diatur tersendiri dalam Peraturan Daerah.



BAB VII ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN DOMPU Pasal 43 (1)



Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola ruang.



(2)



Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan



pelaksanaan



program



pemanfaatan



ruang



beserta



perkiraan



pendanaannya. (3)



Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 54



Pasal 44 (1)



Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.



(2)



Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja sama pendanaan.



(3)



Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



BAB VIII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 45 (1)



Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi.



(2)



Pengendalian



pemanfaatan



ruang



wilayah



Kabupaten



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.



Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 46 (1)



Peraturan zonasi untuk sistem perkotaan meliputi : a. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp); b. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL); c. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan 55



d. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL). (2)



Peraturan



zonasi



sebagaimana



untuk



dimaksud



Pusat pada



Kegiatan ayat



(1)



Wilayah huruf



a



Promosi



(PKWp)



disusun



dengan



memperhatikan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi dan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dapat di bangun dan di kembangkan di wilayah Kecamatan Dompu. (3)



Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur perkotaan dilaksanakan di wilayah Pekat, Kempo, Hu’u dan Kilo serta Pajo, Manggelewa dan Woja (PKLp).



(4)



Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala kecamatan atau beberapa desa yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur kecamatan yang di laksanakan di wilayah Hu’u, Sawe, O’o, Kadindi, Doropeti, Soriutu, Kwangko, Soro, Dorokobo, Malaju, Mbuju, Jambu dan Ranggo.



(5)



Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala desa atau beberapa lingkungan



yang



didukung



dengan



pembangunan



fasilitas



dan



infrastruktur lingkungan yang di laksanakan di wilayah Nangasia, Madawa, Mangge Asi, Nangamiro, Sorinomo, Riwo, Nowa, Lanci Jaya, Banggo, Napa, Kesi, Ta’a, karamat, Lasi, Lepadi, dan Soro Adu.



Paragraf 1 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 47 (1)



Ketentuan umum peraturan zonasi untuk



sistem jaringan transportasi



darat meliputi : a. peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer; b. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer; dan c. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder dan lokal primer.



56



(2)



Peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan arteri primer dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; dan b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan. (3)



Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor primer dengan tingkat intensitas sedang hingga menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; dan b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan.



(4)



Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor sekunder dengan tingkat



intensitas



rendah



hingga



sedang



yang



kecenderungan



pengembangan ruangnya dibatasi; dan b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kolektor sekunder. (5)



Pengaturan tata bangunan berupa Garis Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB) pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.



Paragraf 2 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Transportasi Laut Pasal 48 (1)



Peraturan zonasi untuk pelabuhan laut harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai : a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan; b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; c. pemanfaatan



ruang



di



dalam



Daerah



Lingkungan



Kerja



Pelabuhan/Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKr/DLKp)



57



harus



mendapatkan



izin



sesuai



dengan



peraturan



perundang-



undangan; dan d. pemanfaatan



ruang



di



luar



Daerah



Lingkungan



Kerja



Pelabuhan/Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKr/DLKp) berdasarkan rencana rinci ruang kawasan pelabuhan. (2)



Peraturan zonasi untuk alur pelayaran harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai : a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran.



Paragraf 3 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Energi Pasal 49 (1)



Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi meliputi : a. peraturan zonasi untuk gardu induk dan gardu pembagi; dan b. peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik.



(2)



Peraturan zonasi untuk gardu diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan : a. zona gardu meliputi zona manfaat dan zona bebas; dan b. zona manfaat adalah untuk instalasi Gardu Induk (GI) dan fasilitas pendukungnya.



(3)



Peraturan zonasi untuk sebagaimana



dimaksud



jaringan transmisi tenaga listrik diatur pada



ayat



(1)



huruf



b



disusun



dengan



memperhatikan : a. zona jaringan transmisi meliputi ruang bebas dan ruang aman; b. zona ruang bebas harus dibebaskan baik dari orang, maupun benda apapun demi keselamatan orang, makhluk hidup, dan benda lainnya; c. zona ruang aman adalah untuk kegiatan apapun dengan mengikuti jarak bebas minimum vertikal dan horizontal; dan d. ketinggian serta jarak



bangunan, pohon, pada zona ruang aman



mengikuti ketentuan minimum terhadap konduktur dan AS menara Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT).



58



Paragraf 4 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 50 (1)



Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi meliputi: a. peraturan zonasi untuk jaringan tetap dan sentral telekomunikasi; dan b. peraturan zonasi untuk jaringan bergerak selular.



(2)



Peraturan zonasi untuk jaringan tetap adalah sebagai berikut : a. zonasi



jaringan tetap meliputi zona ruang manfaat dan zona ruang



bebas; b. zona ruang manfaat adalah untuk tiang dan kabel-kabel dan dapat diletakkan pada zona manfaat jalan; dan c. zona ruang bebas dibebaskan dari bangunan dan pohon yang dapat mengganggu fungsi jaringan. (3)



Peraturan zonasi untuk sentral telekomunikasi adalah sebagai berikut : a. zonasi sentral telekomunikasi meliputi zona fasilitas utama dan zona fasilitas penunjang; b. zona fasilitas utama adalah untuk instalasi peralatan telekomunikasi; c. zona fasilitas penunjang adalah untuk bangunan kantor pegawai, dan pelayanan publik; d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 50 %; dan e. prasarana dan sarana penunjang terdiri atas parkir kendaraan, sarana kesehatan, ibadah, gudang peralatan, papan informasi, dan loket pembayaran.



(4)



Peraturan



zonasi



untuk



jaringan



bergerak



selular



(menara



telekomunikasi) diatur sebagai berikut : a. zona menara telekomunikasi terdiri atas zona manfaat dan zona aman; b. zona manfaat adalah untuk instalasi menara baik di atas tanah atau di atas bangunan; c. zona aman dilarang untuk kegiatan yang mengganggu sejauh radius sesuai tinggi menara; d. menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas hukum yang jelas. sarana pendukung antara lain pentanahan (grounding), penangkal petir, catu daya, lampu halangan penerbangan (aviation obstruction light), dan marka halangan penerbangan (aviation obstruction marking), identitas hukum antara lain nama pemilik,



59



lokasi, tinggi, tahun pembuatan/pemasangan, kontraktor, dan beban maksimum menara; e. dilarang



membangun



menara



telekomunikasi



pada



bangunan



bertingkat yang menyediakan fasilitas helipad; f.



untuk efisiensi dan efektifitas penggunaan ruang, maka menara harus digunakan



secara



bersama



dengan



tetap



memperhatikan



kesinambungan pertumbuhan industri telekomunikasi; dan g. Peraturan zonasi mengenai jarak antara BTS, menara telekomunikasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.



Paragraf 5 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 51 Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan dan dilarang untuk membuang sampah, limbah padat dan atau cair dan mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha; b. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas kabupaten secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di kabupaten yang berbatasan; c. garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan adalah sekurang-kurangnya 5 meter dan di dalam kawasan perkotaan adalah sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul; d. garis sempadan sungai tak bertanggul di luar kawasan perkotaan untuk sungai besar, yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas



500



km2



atau



lebih,



dilakukan



ruas



per



ruas



dengan



mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan sekurang-kurangnya 100 meter dan sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kurang dari 500 km2 sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai; dan e. garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan adalah sekurang-kurangnya 10 meter untuk sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, dan 15 meter



untuk sungai yang mempunyai



kedalaman antara 3 meter sampai dengan 20 meter, serta 30 meter untuk sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter adalah dari tepi sungai.



60



Paragraf 6 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Air Minum Pasal 52 Peraturan zonasi untuk sistem penyediaan air minum diatur : a. zonasi penyediaan air minum terdiri atas zona unit air baku; zona unit produksi; zona unit distribusi; zona unit pelayanan dan zona unit pengelolaan; b. zona unit air baku adalah untuk bangunan penampungan air, bangunan pengambilan/penyadapan, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, sistem



pemompaan,



dan/atau



bangunan



sarana



pembawa



serta



perlengkapannya; c. zona unit produksi adalah untuk prasarana dan sarana pengolahan air baku menjadi air minum; d. zona unit distribusi adalah untuk sistem perpompaan, jaringan distribusi, bangunan penampungan, alat ukur dan peralatan pemantauan; e. zona unit pelayanan adalah untuk sambungan rumah, hidran umum, dan hidran kebakaran; f.



zona unit pengelolaan adalah untuk



pengelolaan teknis yang meliputi



kegiatan operasional, pemeliharaan dan pemantauan dari unit air baku, unit produksi dan unit distribusi dan pengelolaan nonteknis yang meliputi administrasi dan pelayanan; g. persentase luas lahan terbangun pada zona unit air baku maksimal sebesar 20 %; h. persentase luas lahan terbangun pada zona unit produksi maksimal sebesar 40 %; i.



persentase luas lahan terbangun pada zona unit distribusi maksimal sebesar 20 %;



j.



unit produksi



terdiri atas bangunan pengolahan dan perlengkapannya,



perangkat operasional, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, serta bangunan penampungan air minum; k. limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air minum wajib diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah terbuka; l.



unit distribusi wajib memberikan kepastian kuantitas, kualitas air, dan jaminan kontinuitas pengaliran 24 jam per hari; dan



m. untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum harus dipasang alat ukur berupa meter air yang wajib ditera secara berkala oleh instansi yang berwenang.



61



Paragraf 7 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Drainase Pasal 53 Peraturan zonasi untuk sistem jaringan drainase diatur sebagai berikut : a. zona jaringan drainase terdiri atas zona manfaat dan zona bebas; b. zona manfaat adalah untuk penyaluran air dan dapat diletakkan pada zona manfaat jalan; c. zona bebas di sekitar jaringan drainase dibebaskan dari kegiatan yang dapat mengganggu kelancaran penyaluran air; dan d. pemeliharan dan pengembangan jaringan drainase dilakukan selaras dengan pemeliharaan dan pengembangan atas ruang milik jalan.



Paragraf 8 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Limbah Pasal 54 (1)



Peraturan zonasi untuk sistem pembuangan air limbah meliputi sistem jaringan limbah domestik, limbah industri, dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).



(2)



Peraturan zonasi untuk sistem jaringan limbah dan Limbah B3 diatur sebagai berikut : a. zona limbah domestik terpusat terdiri atas zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona



ruang



manfaat



adalah



untuk



bangunan



atau



instalasi



pengolahan limbah; c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu fungsi pengolahan limbah hingga jarak 10 meter sekeliling ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 10 %; e. pelayanan minimal sistem pembuangan air limbah berupa unit pengolahan kotoran manusia/tinja dilakukan dengan menggunakan sistem setempat atau sistem terpusat agar tidak mencemari daerah tangkapan air/ resapan air baku; f.



perumahan dengan kepadatan rendah hingga sedang, setiap rumah wajib dilengkapi dengan system pembuangan air limbah setempat atau individual yang berjarak minimal 10 meter dari sumur;



g. perumahan dengan kepadatan tinggi, wajib dilengkapi dengan system pembuangan air limbah terpusat



atau komunal, dengan skala 62



pelayanan



satu



lingkungan,



hingga



satu



kelurahan



serta



memperhatikan kondisi daya dukung lahan dan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat; dan h. sistem pengolahan limbah domestic pada kawasan dapat berupa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sistem konvensional



atau



alamiah dan pada bangunan tinggi berupa IPAL dengan teknologi modern.



Paragraf 9 Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Sampah Pasal 55 (1)



Peraturan zonasi untuk sistem jaringan persampahan terdiri atas TPS, TPST, dan TPA.



(2)



Peraturan zonasi untuk TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. zona TPS terdiri atas zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk penampungan sampah dan tempat peralatan angkutan sampah; c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu penampungan dan pengangkutan sampah sampai sejarak 10 meter dari sekeliling zona ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %; e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana



minimum berupa



ruang



pemilahan, gudang, tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan container dan pagar tembok keliling; dan f.



luas lahan minimal 100 meter persegi untuk melayani penduduk pendukung 2.500 jiwa (1 RW).



(3)



Peraturan zonasi untuk TPST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. zona TPST terdiri atas zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah; c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu pemrosesan sampah sampai sejarak 10 meter; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %;



63



e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana



minimum berupa ruang



pemilahan (30 m2), pengomposan sampah organik (200 m2), gudang (100 m2), tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan container (60 m2) dan pagar tembok keliling; dan f.



luas lahan minimal 300 m2 untuk melayani penduduk pendukung 30.000 jiwa (1 kelurahan).



(4)



Peraturan zonasi untuk TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. zona TPA terdiri atas zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk pengurugan dan pemrosesan akhir sampah; c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu pemrosesan sampah sampai sejarak 300 meter untuk perumahan, 3 km untuk penerbangan, dan 90 meter untuk sumber air bersih dari sekeliling zona ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 20 %; e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa lahan penampungan, sarana dan peralatan pemrosesan sampah, jalan khusus



kendaraan



sampah,



kantor



pengelola,



tempat



parkir



kendaraan, tempat ibadah, tempat olahraga dan pagar tembok keliling; f.



menggunakan metode lahan urug terkendali;



g. tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman; dan h. lokasi TPA dilarang di tengah permukiman.



Paragraf 10 Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung Pasal 56 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung antara lain : a. peraturan zonasi untuk kawasan lindung terdiri atas : 1. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung; 2. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; 3. peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat; 4. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota; 5. peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya; 6. peraturan zonasi untuk kawasan cagar alam; 7. peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam; dan 64



8. peraturan zonasi untuk kawasan lindung geologi. b. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut : 1. zonasi hutan lindung terdiri atas zona perlindungan, dan zona lainnya; 2. zona



perlindungan



adalah



untuk



pemanfaatan



kawasan,



pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak mengurangi fungsi utama kawasan dan tidak merusak lingkungan; 3. zona pemanfaatan adalah untuk pemanfaatan kawasan meliputi usaha budidaya tanaman obat (herbal), usaha budidaya tanaman hias, usaha budidaya jamur, usaha budidaya perlebahan, usaha budidaya penangkaran satwa liar



atau usaha budidaya sarang



burung walet, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. 4. pada kawasan hutan lindung dilarang : a) menyelenggarakan pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau; dan b) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap



keutuhan



kawasan



dan



ekosistemnya



sehingga



mengurangi/ menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon, dan perburuan satwa yang dilindungi. 5. zona lainnya adalah untuk kegiatan budidaya kehutanan : a) luas zona inti perlindungan adalah bagian dari keseluruhan luas hutan yang telah ditetapkan; b) pemanfaatan kawasan adalah bentuk usaha seperti: budidaya jamur, penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias; c) pemanfaatan



jasa



lingkungan



adalah



bentuk



usaha



jasa



lingkungan seperti: pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; dan d) pemungutan hasil hutan bukan kayu bentuk kegiatan seperti: mengambil madu, dan mengambil buah. c. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya meliputi kawasan resapan air



adalah



sebagai



berikut : 1. zona resapan air adalah untuk kegiatan budi daya terbangun secara terbatas yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan dan dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang mengurangi daya serap tanah terhadap air; 65



2. persentase luas lahan terbangun maksimum 10 % (sepuluh persen); 3. luas kawasan resapan air adalah bagian dari keseluruhan luas hutan yang telah ditetapkan dengan luas minimum sebesar 30% (tiga puluh persen); dan 4. dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang sumur resapan dan/atau waduk. d. peraturan



zonasi



untuk



kawasan



perlindungan



setempat



meliputi



sempadan sungai, sempadan waduk/danau dan mata air adalah sebagai berikut: 1. peraturan zonasi untuk sempadan sungai diarahkan sebagai berikut: a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau c) kegiatan yang merusak kualitas air sungai, kondisi fisik tepi sungai dan dasar sungai, serta mengganggu aliran air. 2. peraturan zonasi untuk sempadan danau/waduk diarahkan sebagai berikut: a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau c) kegiatan



yang



merusak



kualitas



air,



kondisi



fisik



kawasan



sekitarnya, dan daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan. 3. peraturan



zonasi



untuk



sempadan



sekitar



mata



air



diarahkan



sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan huruf b. e. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau untuk kawasan perkotaan adalah sebagai berikut : 1. zona ruang terbuka hijau adalah untuk RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH pengamanan sumber air baku/mata air, dan rekreasi, serta dilarang untuk kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi ruang terbuka hijau; 2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30 % (tiga puluh persen) yang terdiri atas 20 % (dua puluh persen) ruang terbuka hijau publik dan 10 % (sepuluh persen) terdiri atas ruang terbuka hijau privat; dan 3. pendirian bangunan dibatasi untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya, dan bukan bangunan permanen. f.



peraturan zonasi kawasan cagar budaya diarahkan sebagai berikut : 1. zona cagar budaya terdiri atas zona inti, zona penyangga, dan zona pengembang; 66



2. zona inti adalah untuk lahan situs; dan dilarang melakukan kegiatan yang



mengurangi,



menambah,



mengubah,



memindahkan,



dan



mencemari benda cagar budaya; 3. zona penyangga di sekitar situs adalah



untuk kegiatan yang



mendukung dan sesuai dengan bagi kelestarian situs; serta dilarang untuk kegiatan yang dapat mengganggu fungsi cagar budaya; 4. zona pengembangan adalah untuk kegiatan untuk sarana sosial, ekonomi,



dan



budaya,



serta



dilarang



untuk



kegiatan



yang



bertentangan dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya; 5. kawasan cagar budaya dilarang untuk menyelenggarakan: a) kegiatan yang merusak kekayaan budaya bangsa yang berupa peninggalan sejarah, bangunan arkeologi; b) pemanfaatan ruang dan kegiatan yang mengubah bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan; c) pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, serta wilayah dengan bentukan geologi tertentu; dan/atau d) pemanfaatan ruang yang mengganggu upaya pelestarian budaya masyarakat setempat. 6. persentase luas lahan terbangun untuk zona inti dan penyangga maksimum 40 % (empat puluh persen), dan untuk zona pengembang maksimum 50 % (lima puluh persen). g. peraturan zonasi kawasan cagar alam diarahkan sebagai berikut : 1. pemanfaatan jasa lingkungan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata Alam di Pulau Satonda sesuai ketentuan yang berlaku; dan 2. pemanfaatan satwa liar yang



dilindungi Undang-Undang di Taman



Buru Tambora dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. h. peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tanah longsor diarahkan sebagai berikut: 1. zona kawasan rawan bencana alam tanah longsor terdiri atas zona tingkat kerawanan tinggi, zona tingkat kerawanan menengah/sedang, dan zona tingkat kerawanan rendah; 2. zona tingkat kerawanan tinggi untuk tipologi A (lereng bukit dan gunung) adalah untuk kawasan lindung, untuk tipologi B dan C (kaki bukit dan gunung, tebing/lembah sungai) adalah untuk kegiatan pertanian, kegiatan pariwisata terbatas; dilarang untuk budidaya dan kegiatan yang dapat mengurangi gaya penahan gerakan tanah; 3. zona tingkat kerawanan menengah untuk tipologi A, B, C adalah untuk kegiatan perumahan, transportasi, pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, hutan kota/rakyat/produksi, dan dilarang untuk kegiatan industri. 67



4. zona tingkat kerawanan rendah tipologi A, B, dan C adalah untuk kegiatan budidaya, dilarang untuk kegiatan industri; 5. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan tinggi untuk tipologi A maksimum 5 % (lima persen); dan untuk tipologi B maksimum 10 % (sepuluh persen); 6. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan menengah untuk tipologi A, B, C maksimum 40 % (empat puluh persen); dan 7. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan rendah untuk tipologi A, B, C maksimum 60 % (enam puluh persen). Penerapan prinsip terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya. i.



peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tsunami diarahkan sebagai berikut : 1. zona rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah hutan bakau disesuaikan peraturan sempadan pantai; 2. zona penyangga rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah tambak dan perkebunan; dan 3. peraturan zonasi pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana tsunami diatur dalam peraturan daerah tentang tata ruang pesisir.



j.



peraturan



zonasi



kawasan



lindung



geologi



harus



disusun



dengan



mematuhi ketentuan mengenai : 1. pemanfaatan



untuk



pariwisata,



penelitian



dan



pendidikan,



perlindungan flora dan fauna serta pelestarian air tanpa mengubah bentang alam; 2. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan batuan; 3. kegiatan penggalian dibatasi hanya untuk arkeologi geologi; dan 4. memperhatikan persyaratan pendirian bangunan yang menunjang kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata.



Paragraf 11 Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya Pasal 57 (1)



Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya meliputi : a. peraturan zonasi kawasan hutan produksi; b. peraturan zonasi kawasan hutan rakyat; c. peraturan zonasi kawasan pertanian; d. peraturan zonasi kawasan perikanan e. peraturan zonasi kawasan pertambangan; f. peraturan zonasi kawasan permukiman; 68



g. peraturan zonasi kawasan industri; h. peraturan zonasi kawasan pariwisata; i. peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan j. peraturan zonasi kawasan peruntukan lain terdiri atas : perdagangan dan jasa, kawasan pusat pemerintahan, kawasan pesisir dan pulau pulau kecil. (2)



Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. produksi hasil hutan kayu hanya diperkenankan dari hasil kegiatan budidaya tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi; b. produksi



hutan



kayu



yang



berasal



dari



hutan



alam,



hanya



dimungkinkan dari kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang sah; c. produksi hasil hutan non kayu pada hutan alam, dimungkinkan untuk pemanfaatan dengan izin yang sah. d. kegiatan yang diizinkan, meliputi : 1. kegiatan pengembangan/pembangunan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan; 2. rehabilitasi hutan produksi; 3. pengembangan fungsi penyangga pada kawasan hutan produksi yang berbatasan dengan hutan lindung dan hutan konservasi; 4. kegiatan penataan sempadan sungai, danau dan mata air; 5. kegiatan pemanfaatan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas; 6. kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang dapat meningkatkan fungsi hutan produksi. e. kegiatan yang diizinkan terbatas, meliputi kegiatan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta kegiatan pengembangan jasa lingkungan; f.



kegiatan



yang



peternakan,



diizinkan kegiatan



bersyarat, transmisi,



meliputi



kegiatan



relay,



distribusi



budidaya listrik,



telekomunikasi dan energi; dan g. kegiatan yang dilarang pada kawasan hutan produksi adalah semua pemanfaatan dan penggunaan ruang kecuali yang dikategorikan diizinkan, diizinkan terbatas dan diizinkan bersyarat. (3)



Peraturan zonasi untuk kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikembangkan dan dikelola oleh Pemerintah bersama masyarakat yang hasilnya dimanfaatkan oleh masyarakat.



(4)



Peraturan zonasi untuk kawasan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara: 69



a. mengelola lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan perundangundangan; b. lahan-lahan



produktif



dilarang



dialihfungsikan



kecuali



untuk



kepentingan umum; c. mengamankan dan memelihara asset nasional dan provinsi; d. menetapkan lahan pertanian tanaman pangan berkelanjutan dengan peraturan; e. pengawasan yang dilakukan agar tidak terjadi perubahan fungsi lahan pada lahan-lahan yang produktif; f.



diizinkan



untuk



kegiatan



terbangun



yang



menunjang



kegiatan



pertanian; dan g. pada lahan kurang produktif dapat dialih fungsikan dengan tetap mempertahankan tingkat produktifitas lahan. (5)



Peraturan zonasi untuk kawasan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi : a. budidaya perikanan tangkap dilakukan dengan cara; penataan permukiman



nelayan



dan



sandar



perahu,



penyediaan



Tempat



Pelelangan Ikan, serta pengendalian dengan kegiatan lainnya dengan zona pembatas; b. budidaya ikan air tawar di kolam/sungai/danau dilakukan dengan syarat; tidak mengganggu habitat hutan bakau atau sempadan pantai, tersedianya sistem jaringan air, dan memenuhi ketentuan peraturan yang berlaku; c. budidaya rumput laut dilakukan dengan; penataan dan delinasi zona rumput laut, pembentukan sentra rumput laut, tetap terjaganya hutan bakau, dan tidak berada kawasan permukiman atau jalur pelayaran; dan d. budidaya ikan air tawar di kolam/sungai/danau dilakukan dengan penataan keramba ikan, tidak mengurangi fungsi sungai/danau/air tanah, dapat dikembangkan dengan wisata kuliner, rumah panggung. (6)



Peraturan zonasi untuk kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara : a. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; b. pengembangan



kawasan



pertambangan



harus



melalui



kajian



lingkungan hidup strategis; c. setiap usaha pertambangan diharuskan melakukan rehabilitasi bekas lahan tambang;



70



d. wajib menyediakan zona penyangga dengan kegiatan permukiman sampai batas tidak ada dampak negatif secara teknis, ekonomis dan lingkungan yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan; dan e. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan



yang



berpotensi



menimbulkan



bahaya,



dengan



memperhatikan kepentingan daerah. (7)



Peraturan zonasi untuk kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f antara lain : a. pemenuhan ketentuan persyaratan bangunan sesuai dengan rencana rinci tata ruang; b. untuk



kawasan



peruntukan



permukiman



perkotaan



diizinkan



ketinggian bangunan tidak lebih dari 4 (empat) lantai, intensitas bangunan berkepadatan sedang – tinggi penetapan amplop bangunan dan penetapan tema arsitektur bangunan; c. KDB permukiman perkotaan diizinkan maksimal sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan mengikuti rencana detail tata ruang yang ada; d. KDB permukiman perdesaan diizinkan maksimal sebesar 50% (lima puluh persen) dan mengikuti rencana detail tata ruang yang ada; e. pembatasan fungsi dan peruntukkan lain yang menimbulkan dampak tidak baik terhadap permukiman sesuai dengan rencana rinci tata ruang; f.



pengaturan volume ruang terbuka hijau sesuai dengan rencana rinci tata ruang;



g. diizinkan pengembangan fasilitas umum dan fasilitas sosial sesuai skalanya; dan h. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.



(8)



Peraturan zonasi untuk kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g antara lain : a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; b. zona industri terdiri atas bangunan pengolahan, gudang, ruang bongkar muat, perkantoran, dan parkir kendaraan, meliputi: 1. setiap zona dan kawasan industri harus dilengkapi dengan instalasi pengolahan limbah; 2. setiap pengembangan industri di dahului oleh kajian lingkungan hidup strategis; 3. industri rumah



tangga diarahkan mengelompok membentuk



sentra industri kecil; dan



71



4. industri rumah tangga yang menyatu dengan tempat tinggal, diwajibkan mendapat persetujuan perumahan disekitarnya. c. pada kawasan industri diizinkan untuk kegiatan



lain yang berupa



hunian, rekreasi, serta perdagangan dan jasa dengan luas total tidak melebihi 10% (sepuluh persen) total luas lantai; d. pengembangan



kawasan



industri



memperhatikan



konsep



eco



industrial park; e. kegiatan lain yang tidak sesuai dan memiliki izin yang berada pada kawasan industri harus menyesuaikan pada akhir masa berlaku izin dan kegiatan lain yang tidak memiliki izin direlokasi paling lambat 3 tahun; f.



bangunan industri rumah tangga harus bersifat tunggal, kecuali pada industri yang mengelompok diperkenankan bentuk deret;



g.



pembatasan



pembangunan



perumahan



baru



sekitar



kawasan



peruntukan industri; dan h. intensitas ruang zona industri diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati. (9)



Peraturan zonasi untuk kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h antara lain : a. pengawasan yang perlu dilaksanakan agar kegiatan pariwisata yang dilakukan tidak membahayakan lingkungan dan tidak berada pada lahan produktif; b. zonasi kawasan pariwisata terdiri atas zona usaha jasa pariwisata, zona daya tarik wisata dan zona usaha sarana pariwisata; c. zona usaha jasa pariwisata adalah untuk jasa biro perjalanan wisata, jasa agen perjalanan wisata, jasa pramuwisata, jasa konvensi, perjalanan, insentif dan pameran,



jasa konsultan pariwisata, jasa



informasi pariwisata dan jasa pertemuan; d. zona daya tarik wisata adalah untuk zona daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan; e. zona usaha sarana pariwisata adalah untuk penyediaan akomodasi, makan dan minum,



angkutan wisata, sarana wisata tirta, dan



kawasan pariwisata; f.



prasarana dan sarana minimal meliputi telekomunikasi, listrik, air bersih, drainase, pembuangan limbah dan persampahan; WC umum, parkir, lapangan terbuka, pusat perbelanjaan skala lokal, sarana peribadatan dan sarana kesehatan; persewaan kendaraan, ticketing, money changer;



g. Perubahan zona pariwisata dimungkinkan untuk tujuan perlindungan lingkungan;



72



h. pembangunan daya tarik wisata alam hutan dapat memanfaatkan zona



hutan



lindung



dengan



memperhatikan



arahan



peraturan



zonasinya; i.



kegiatan lain yang tidak sesuai dan memiliki izin yang berada pada kawasan pariwisata, harus menyesuaikan pada akhir masa berlaku izin dan kegiatan lain yang tidak memiliki izin direlokasi paling lambat 3 (tiga) tahun; dan



j.



intensitas ruang zona kawasan pariwisata diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati.



(10) Peraturan zonasi untuk kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf i antara lain : a. penetapan zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis dengan kawasan budidaya terbangun; dan b. penetapan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan. (11) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lain perdagangan dan jasa, kawasan pusat pemerintahan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j antara lain : a. zonasi kawasan perdagangan dan jasa terdiri atas zona perdagangan dan jasa regional, serta zona perdagangan dan jasa lokal; b. zona



perdagangan



dan



jasa



perdagangan besar dan eceran, usaha



dan



profesional,



jasa



regional



adalah



jasa keuangan, hiburan



dan



untuk



kegiatan



jasa perkantoran



rekreasi



serta



jasa



kemasyarakatan; c. zona perdagangan dan jasa lokal adalah untuk kegiatan perdagangan eceran, jasa keuangan, jasa perkantoran usaha dan profesional, jasa hiburan dan rekreasi serta jasa kemasyarakatan dan perumahan kepadatan menengah dan tinggi; d. dilengkapi dengan prasarana dan sarana umum pendukung seperti sarana pejalan kaki yang menerus, sarana peribadatan dan sarana perparkiran, sarana kuliner, sarana transportasi umum, ruang terbuka; serta jaringan utilitas; e. memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat; f.



kegiatan hunian kepadatan menengah dan tinggi diizinkan di kawasan ini maksimum 10 % (sepuluh persen) dari total luas lantai;



g. wajib menyediakan zona penyangga berupa RTH apabila berbatasan langsung dengan kawasan lindung; h. sarana media ruang luar komersial harus memperhatikan tata bangunan



dan



tata



lingkungan,



kestabilan



struktur



serta



keselamatan; i.



kawasan perdagangan dan jasa wajib dilengkapi dengan RTBL; 73



j.



kegiatan industri yang kawasan memiliki izin dan berada pada kawasan perdagangan dan jasa, harus menyesuaikan pada akhir masa berlaku izin.



k. jalan arteri primer pada kawasan perkotaan tersebut, harus dilengkapi oleh jalur pemisah; dan l.



intensitas ruang untuk perdagangan, jasa regional, dan jasa lokal diatur dengan peraturan bupati.



(12) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lain



kawasan pusat



pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j antara lain : a. zonasi



kawasan



pemerintahan



terdiri



atas



zona



pemerintahan



regional, serta zona pemerintahan lokal; b. zona pemerintahan regional adalah pusat pemerintahan Kabupaten; c. zona pemerintahan lokal adalah pusat pemerintahan kecamatan dan pemerintahan kelurahan atau desa; d. dilengkapi dengan prasarana dan sarana umum pendukung seperti sarana pedistrian, transportasi umum, sarana perparkiran, sarana kuliner, sarana peribadatan dan sarana ruang terbuka hijau dan non hijau serta jaringan utilitas; e. wajib menyediakan zona penyangga berupa RTH apabila berbatasan langsung dengan kawasan permukiman, perdagangan dan jasa; f.



sarana media ruang luar komersial tidak diperkenankan kecuali media informasi pembangunan;



g. kelompok kegiatan yang berada pada kawasan pemerintahan regional yang diperbolehkan seperti perkantoran pemerintahan diatasnya, perwakilan perkantoran



negara, swasta,



Badan dan



Usaha



Milik



perkantoran



Negara jasa



dan



keuangan



Daerah, seperti



perbankan; h. kawasan pemerintahan lokal dapat berada di pusat permukiman yang mempunyai lebar milik jalan minimum 10 (sepuluh) meter; i.



kegiatan yang tidak diperbolehkan di dalam dan atau berbatasan dengan kawasan permintahan adalah industri dan atau kegiatan yang dapat menimbulkan polusi udara, polusi air, polusi tanah;



j.



jalan arteri primer pada kawasan tersebut, harus dilengkapi dengan jalur pemisah atau jalan penghubung; dan



k. intensitas ruang untuk kawasan pemerintahan regional dan kawasan pemerintahan lokal diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati (13) Rencana peraturan zonasi untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j antara lain : a. rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau pulau kecil meliputi daerah– daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah 74



administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai; b. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada pada zona rawan bencana, cagar alam dan budaya pembangunannya dibatasi dan dikendalikan; c. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada pada zona rawan bencana, harus dipasang alat peringatan dini; d. penetapan kegiatan budidaya secara selektif di dalam kawasan pesisir dan pulau pulau kecil untuk menjaga pelestarian lingkungan hidup; e. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran; dan f.



penetapan intensitas ruang disekitar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati.



Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 58 (1)



Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini.



(2)



Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.



(3)



Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 59 (1)



Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten Dompu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) terdiri atas : a. izin prinsip; b. izin lokasi; c. izin penggunaan pemanfaatan tanah; d. izin mendirikan bangunan; dan e. izin lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.



75



(2)



Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bertujuan untuk: a. persetujuan yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk memulai kegiatan menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan diwilayah kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang; dan b. persyaratan



untuk



permohonan



izin



lokasi,



izin



penggunaan



pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan dan izin lainnya. (3)



Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah izin yang diberikan



kepada



orang



atau



badan



hukum



untuk



memperoleh



tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. (4)



Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan batasan luasan tanah lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi).



(5)



Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, adalah izin yang diberikan kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis.



(6)



Izin lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan ketentuan izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan



dan



pengembangan



sektoral



lainnya



sesuai



dengan



peraturan perundang-perundangan. (7)



Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.



Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 60 (1)



Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.



76



(2)



Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.



(3)



Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.



Pasal 61 (1)



Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah



kabupaten



dilakukan



oleh



pemerintah



daerah



kepada



masyarakat. (2)



Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.



Pasal 62 (1)



Ketentuan insentif pemerintah daerah kepada pengembang kawasan, diberikan dalam bentuk: a. pemberian kompensasi; b. urun saham; c. subsidi silang; d. kemudahan perizinan; e. pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana; f.



penghargaan; dan/atau



g. publikasi atau promosi. (2)



Insentif kepada masyarakat, diberikan dalam bentuk : a. pemberian keringanan pajak dan retribusi; b. pemberian kompensasi; c. imbalan; d. sewa ruang; e. urun saham; f.



penyediaan sarana dan prasarana;



g. kemudahan prosedur perizinan; dan h. penghargaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati. 77



Pasal 63 (1)



Ketentuan disinsentif Pemerintah Daerah kepada pengembang kawasan, diberikan dalam bentuk : a. pembatasan penyediaan infrastruktur; b. pengenaan kompensasi; c. penalti; dan d. pembatasan administrasi pertanahan.



(2)



Disinsentif dari Pemerintah Daerah kepada masyarakat, dikenakan dalam bentuk: a. pengenaan pajak; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. pengenaan kompensasi; d. penalti; dan e. pembatasan administrasi pertanahan.



(3)



Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.



Bagian Kelima Arahan Sanksi Pasal 64



(1)



Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf d merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang.



(2)



Pengenaan sanksi dilakukan terhadap : a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten;



78



f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.



Pasal 65 (1)



Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c.



penghentian sementara pelayanan umum;



d. penutupan lokasi; e.



pencabutan izin;



f.



pembatalan izin;



g.



pembongkaran bangunan;



h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. (2)



denda administratif.



Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f.



pemulihan fungsi ruang; dan/atau



g. denda administratif.



Pasal 66 Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang.



79



BAB IX KELEMBAGAAN Pasal 67 (1)



Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.



(2)



Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati.



BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 68 Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak: a.



mengetahui rencana tata ruang;



b.



menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;



c.



memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;



d.



mengajukan



keberatan



pembangunan



yang



tidak



kepada sesuai



pejabat dengan



berwenang rencana



tata



terhadap ruang



di



wilayahnya; e.



mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan



f.



mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah



dan/atau



pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.



80



Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 69 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a.



menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;



b.



memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;



c.



mematuhi



ketentuan



yang



ditetapkan



dalam



persyaratan



izin



pemanfaatan ruang; dan d.



memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum.



Pasal 70 (1)



Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud



dalam



Pasal



69



dilaksanakan



dengan



mematuhi



dan



menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)



Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.



Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 71 Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain melalui: a.



partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;



b.



partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan



c.



partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.



81



Pasal 72



Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a pada tahap perencanaan tata ruang dapat berupa : a. memberikan masukan mengenai : 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan; 4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5. penetapan rencana tata ruang.



b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.



Pasal 73



Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: a.



masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;



b.



kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; dan



c.



kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;



d.



peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;



e.



kegiatan



menjaga



kepentingan



pertahanan



dan



keamanan



serta



memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f.



kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 74



Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c 82



dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa : a.



masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;



b.



keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi;



c.



pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;



d.



pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan



dugaan



penyimpangan



atau



pelanggaran



kegiatan



pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan e.



pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.



Pasal 75



(1)



Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis.



(2)



Peran



masyarakat



sebagaimana



dimaksud



pada



ayat



(1),



dapat



disampaikan kepada Bupati.



(3)



Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.



Pasal 76



Dalam



rangka



meningkatkan



peran



masyarakat,



pemerintah



daerah



membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.



Pasal 77



Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 83



BAB XI KETENTUAN PIDANA



Pasal 78



Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang akan ditindak sesuai dengn peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB XII KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 79



(1)



Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Penatan Ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.



(2)



Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka : a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan : 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan



dengan



fungsi



kawasan



berdasarkan



Peraturan



Daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian



dengan



masa



transisi



berdasarkan



ketentuan



perundang-undangan; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai



akibat



pembatalan



izin



tersebut



dapat



diberikan



penggantian yang layak; 84



c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan



dengan



ketentuan



Peraturan



Daerah



ini,



akan



ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.



BAB XIII KETENTUAN PENUTUP



Pasal 80



(1)



Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.



(2)



Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.



(3)



Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila



terjadi



mempengaruhi



perubahan



kebijakan



pemanfaatan



ruang



nasional



kabupaten



dan



strategi



dan/atau



yang



dinamika



internal wilayah.



(4)



Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada lampiran IV disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan.



(5)



Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. 85



Pasal 81



Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Dompu.



Ditetapkan di Dompu pada tanggal



2012.



BUPATI DOMPU,



H. BAMBANG M. YASIN



Diundangkan di Dompu pada tanggal



2012



Plt. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN DOMPU,



H. AGUS BUKHARI



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DOMPU TAHUN 2012 NOMOR



86



PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR



TAHUN 2012



TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DOMPU TAHUN 2011-2031 I. UMUM Ruang pada dasarnya merupakan wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatannya, akan tetapi jika ruang dikaitkan dengan pengaturannya, haruslah mengenal batas dan sistemnya. Dalam kaitan tersebut, ruang wilayah Kabupaten Dompu terdiri atas ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara. 1. Ruang wilayah Kabupaten Dompu sebagai unsur lingkungan hidup, terdiri atas berbagai ruang wilayah yang masing-masing sebagai sub sistem yang meliputi



aspek alamiah (fisik), ekonomi, sosial budaya



dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya. Pengaturan pemanfaatan ruang wilayah yang didasarkan pada corak



dan



daya



dukungnya



akan



meningkatkan



keselarasan,



keseimbangan sub sistem, yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya. Oleh karena itu, rencana tata ruang wilayah yang disusun,



haruslah



dapat



menampung



segala



kemungkinan



perkembangan selama kurun waktu tertentu. 2.



Kabupaten



Dompu



secara



umum



dapat



dikatakan



mengalami



perkembangan yang cukup pesat, berbagai program pembangunan dan kebijakan yang diambil juga menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan pembangunan, sehingga secara keseluruhan rencana tata ruang yang ada dan telah disusun sebelumnya memerlukan beberapa penyesuaian. Perubahan dalam skala nasional juga terjadi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor



26 Tahun 2007 tentang Penataan



Ruang yang menyebutkan bahwa dimensi waktu perencanaan adalah 20 tahun, dan setiap wilayah harus memiliki kawasan strategis. Disamping itu, dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, telah melahirkan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang baru. 3.



Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu atau disebut RTRW Kabupaten



Dompu



merupakan



penjabaran



strategi



dan



arahan



kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Nasional dan Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Dompu. Untuk mewujudkan RTRW Kabupaten Dompu, selain menyusun konsep dan strategi pembangunan, RTRW Kabupaten 87



Dompu disusun berdasarkan kebijakan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 4. Sistematika RTRW Kabupaten Dompu, memuat ketentuan sebagai berikut : a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten; b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem hirarki pusat pelayanan wilayah kota dan sistem jaringan prasarana wilayah Kabupaten Dompu; c.



rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung



wilayah



kabupaten



dan



kawasan



budidaya



wilayah



kabupaten; d. penetapan kawasan strategis Kabupaten Dompu; e.



arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama tahunan dan lima tahunan; dan



f.



ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.



5. Secara khusus produk RTRW Kabupaten Dompu diharapkan mampu menjadi bagian yang memberikan



pemihakan kepada kebutuhan



masyarakat kabupaten untuk dapat mengakses peluang pembangunan sosial, budaya dan ekonomi Kabupaten Dompu secara berkelanjutan dan menggairahkan minat investasi. 6. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dompu disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang khususnya terkait substansi yang mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, sebagai persyaratan teknis untuk dapat disahkan sebagai Peraturan Daerah. Melalui penetapan Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Dompu, seluruh program pembangunan diharapkan dapat mengacu payung hukum yang dimaksud sehingga tercipta tertib tata ruang yang menjamin keberlanjutan Kabupaten Dompu kedepan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas



88



Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Yang dimaksud dengan “rencana struktur ruang” dalam ketentuan ini adalah gambaran struktur ruang yang dikehendaki untuk dicapai pada akhir tahun rencana, yang mencakup struktur ruang yang ada dan yang akan dikembangkan. Rencana



struktur



ruang



wilayah



kabupaten



merupakan



arahan



perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah kabupaten dan jaringan prasarana



wilayah



kabupaten



yang



dikembangkan



untuk



mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumberdaya air. Pasal 8 Cukup Jelas Pasal 9 Cukup Jelas Pasal 10 Cukup Jelas Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bandar Udara Khusus dimaksud dalam Peraturan Daerah ini adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan



sendiri



untuk



menunjang



kegiatan



usaha



pokoknya. Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas Pasal 13 Cukup Jelas



89



Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Yang dimaksud dengan Microdigital adalah digunakan untuk



menggambarkan



proses



transfer



berkas



pemindahan data elektronik antara dua computer atau system serupa lainnya. Sedangkan serat optic adalah saluran transmisi atau sejenis kabel yang terbuat dari kaca atau plastic yang sangat halus dan lebih kecil dari sehelai



rambut



dan



dapat



digunakan



untuk



mentransmisikan sinyal cahaya dari suatu tempat ke tempat lain. Sumber cahaya yang digunakan biasanya adalah laser. Huruf c Cukup Jelas Huruf d Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup Jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat 1 Cukup Jelas Ayat 2 Sebaran lokasi dan kriteria TPST, dan/atau TPA ditentukan berdasarkan persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan



pemerintah



melalui



SNI Nomor



03-3241-1994



tentang Tatacara Pemilihan Lokasi TPA sampah, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Yang dimaksud dengan Reduse (mengurangi) adalah kegiatan mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah.



Contoh:



ketika



belanja



membawa



kantong



plastik/keranjang dari rumah, mengurangi kemasan yang tidak perlu menggunakan kemasan yang bisa didaur ulang. 90



Yang dimaksud dengan Reuse (pemanfaatan ulang) adalah kegiatan menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan baik untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya. Yang dimaksud dengan Recycle (mendaur ulang) adalah mengolah sampah menjadi produk baru. Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Pengolahan air limbah dalam ketentuan ini adalah bertujuan untuk pengurangan, pemanfaatan kembali dan pengolahan perkantoran



bagi



limbah



dan



dari



kegiatan



kegiatan



permukiman,



ekonomi



dengan



memperhatikan baku mutu limbah yang berlaku. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 18 Cukup Jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup Jelas Pasal 21 Cukup Jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) RTH di Kabupaten Dompu mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007



tentang



Penataan



Ruang



Wilayah



Pasal



29



diperuntukan seluas 30% dari luas wilayah Kota terbagi atas Ruang Terbuka Hijau Publik 20% dan Ruang Terbuka Hijau Private 10%. Tujuan RTH di kawasan perkotaan yakni untuk: a. menjaga ketersediaan lahan resapan air;



91



b. menciptakan



aspek



planologis



perkotaan



melalui



keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang bermanfaat untuk masyarakat; c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih. Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Cukup Jelas Pasal 25 Cukup Jelas Pasal 26 Cukup Jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup Jelas Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan potensi pertambangan adalah data tentang keberadaan sumberdaya baik mineral logam, mineral bukan



logam



dan



batuan



yang



tersebar



di



wilayah



perencanaan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Yang dimaksud dengan eksisting pertambangan adalah Badan



Usaha



(Swasta,



BUMN,



BUMD),



Koperasi



atau 92



perorangan (perusahaan Perseorangan, Perusahaan Firma, atau Perusahaan Comanditier) yang telah diberikan izin usaha oleh pemerintah, baik pada tahap eksploitasi maupun pada tahap operasi produksi. Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas Ayat (11) Cukup jelas Ayat (12) Cukup Jelas Ayat (13) Cukup Jelas Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Kriteria Industri dimaksud disini mengacu pada SK Dir. BI. No. 30/45/Dir/UK tanggal 5 Januari 1997, bahwa



industri



sedang



asetnya



lebih



kecil



dari



Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) untuk sektor industri. Asset lebih kecil dari Rp. 600 Juta untuk



sektor



non-industri



Manufacturing.



Omzet



tahunan lebih kecil dari Rp 3 Milyar. Departemen industri



Perindustrian sedang



menyebutkan



bahwa



penjualan



antara



omzet



Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Industri rumah tangga yang lazim dikenal dengan Industri Mikro adalah Kelompok industri yang tumbuh ditengah



masyarakat



secara



informal



dengan



menggunakan sumberdaya yang mereka miliki. Huruf b Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 35 93



Cukup jelas Pasal 36 Cukup Jelas Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Kawasan perdagangan & Jasa yang direncanakan dikembangkan di Kecamatan Dompu adalah skala lokal dan regional. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 38 Cukup Jelas Pasal 39 Cukup Jelas Pasal 40 Huruf a Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dalam ketentuan



ini



adalah



merupakan



Wilayah



Kawasan



Pengembangan Terpadu (KAPET) Bima. KAPET Bima meliputi 3 (tiga) daerah otonom yaitu Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu. Huruf b Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) 94



Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dalam ketentuan ini adalah kawasan konservasi laut yang berada diwilayah kabupaten dan/atau lintas desa yang memiliki kepentingan konservasi. KKLD di Kabupaten Dompu ditetapkan dengan Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2010. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 43 Cukup Jelas Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Indikasi program dalam ketentuan ini menggambarkan kegiatan yang



harus dilaksanakan



untuk mewujudkan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah provinsi. Selain itu, juga terdapat kegiatan lain, baik yang dilaksanakan sebelumnya, bersamaan dengan, maupun sesudahnya, yang tidak disebutkan dalam Peraturan Daerah ini. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 45 Cukup Jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKR) adalah Wilayah Perairan dan Daratan pada pelabuhan yang



95



dipergunakan



secara



langsung



untuk



kegiatan



Pelabuhan. Huruf d Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKP) adalah Wilayah Perairan dan Daratan di sekeliling daerah lingkungan kerja pelabuhan umum yang dipergunakan



untuk



menjamin



keselamatan



pelayaran. Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 49 Cukup Jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Menara adalah bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana



penunjang



untuk



menempatkan



peralatan



telekomunikasi yang di desain atau bentuk konstruksinya disesuaikan



dengan



keperluan



penyelenggaraan



telekomunikasi. Pembangunan menara sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 Pembangunan



dan



tentang



Penggunaan



Pedoman



Menara



Bersama



Telekomunikasi menyebutkan bahwa pembangunan menara dapat



dilaksanakan



penyedia



menara



oleh dan



penyelenggara /atau



telekomunikasi,



kontraktor



menara.



Pembangunan Menara harus sesuai dengan standar baku tertentu untuk menjamin aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menentukan kekuatan dan kestabilan konstruksi Menara, antara lain : a. tempat/space



penempatan



antena



dan



perangkat



telekomunikasi untuk penggunaan bersama; b. ketinggian Menara; c. struktur Menara; d. rangka struktur Menara; 96



e. pondasi Menara; f. kekuatan angin; dan g. bahan strukur menara. Pasal 51 Cukup Jelas Pasal 52 Cukup Jelas Pasal 53 Cukup Jelas Pasal 54 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h IPAL teknologi modern bangunan 4 (empat) lantai adalah salah satu sistem pengolahan limbah melalui saluran instalasi vertikal (SHAFT) dan disalurkan ke lantai lain dengan mesin pompa atau dapat secara gravitasi. Pasal 55 Cukup Jelas Pasal 56 Cukup Jelas Pasal 57 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Produksi hasil hutan dari kegiatan budidaya tanaman dan hutan alam dimaksudkan untuk mendukung kebijakan 97



moratorium logging dalam kawasan hutan serta mendorong berlangsungnya investasi bidang kehutanan yang di awali dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi hutan). Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Ayat (6) Cukup Jelas Ayat (7) Cukup Jelas Ayat (8) Cukup Jelas Ayat (9) Cukup Jelas Ayat (10) Cukup Jelas Ayat (11) Cukup Jelas Ayat (12) Cukup Jelas Ayat (13) Cukup Jelas Pasal 58 Cukup Jelas Pasal 59 Ijin Pemanfaatan ruang berikan untuk: a. Menjamin bahwa pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang; b. Mencegah dampak negatif dari pemanfaatan ruang; c. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas. Pasal 60 Yang dimaksud dengan insentif dalam ketentuan ini kemudahan yang diberikan terhadap pemberian izin pemanfaatan ruang untuk mendorong



tercapainya



perlindungan



terhadap



kawasan



perencanaan. Yang dimaksud dengan disinsentif dalam ketentuan ini adalah pengekangan yang dilakukan terhadap pemberian izin pemanfaatan ruang



untuk



membatasi



kecenderungan



perubahan



dalam



pemanfaatan ruang. 98



Pemberian insentif dan disinsentif dalam penataan ruang ditujukan untuk: a. Meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang; b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; dan c. Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang sejalan dengan rencana tata ruang. Pasal 61 Cukup Jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Keringanan ketentuan



retribusi ini



adalah



yang



dimaksud



pemberian



dalam



keringanan



pembayaran pajak dan atau retribusi terhadap pemanfaatan ruang. Huruf b Pemberian ketentuan



kompensasi ini



adalah



yang



dimaksud



pemberian



dalam



imbalan



pada



masyarakat yang tidak merubah pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan kebijakan operasional. Huruf c Pemberian imbalan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberian balas jasa pada masyarakat yang mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang. Huruf d Sewa ruang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah masyarakat berhak mendapatkan sewa ruang sebagai akibat dari pemanfaatan ruang yang sesuai fungsi dan dilakukan oleh pihak lain, menurut ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama Huruf e Urun saham yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah masyarakat berhak mendapatkan bagian saham dari kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai fungsi dan dilakukan oleh pihak lain, menurut ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Huruf f Penyediaan sarana dan prasarana yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah penyediaan sarana dan 99



prasarana untuk mendukung pengembangan fungsi ruang yang telah ditetapkan. Huruf g Kemudahan



prosedur



perizinan



yang



dimaksud



dalam ketentuan ini adalah kemudahan dalam proses perizinan bagi pemanfaatan ruang yang sesuai



dengan



fungsinya



untuk



mendukung



pengembangan fungsi ruang yang telah ditetapkan. Huruf h Penghargaan yang dimaksud pada ketentuan ini adalah



penghargaan



yang



diberikan



kepada



masyarakat yang mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang. Pasal 63 Cukup Jelas Pasal 64 Cukup Jelas Pasal 65 Cukup Jelas Pasal 66 Peraturan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan tentang penataan ruang. Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Huruf a Cukup Jelas Huruf b Cukup Jelas Huruf c Bila



dalam



suatu



pemanfaatan



ruang



terdapat



hasil/



manfaat maka masyarakat dalam suatu wilayah berhak untuk



ikut



menikmati



hasil/manfaat



ruang



dan/atau



pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang dalam bentuk yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Bila dalam suatu pemanfaatan ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang menyebabkan masyarakat sekitar mendapatkan



kerugian,



maka



masyarakat



berhak



memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya. Huruf e 100



Cukup jelas Huruf f Cukup Jelas Pasal 69 Cukup Jelas Pasal 70 Cukup Jelas Pasal 71 Cukup Jelas Pasal 72 Cukup Jelas Pasal 73 Cukup Jelas Pasal 74 Cukup Jelas Pasal 75 Cukup Jelas Pasal 76 Cukup Jelas Pasal 77 Cukup Jelas Pasal 78 Cukup Jelas Pasal 79 Cukup Jelas Pasal 80 Cukup Jelas Pasal 81 Cukup Jelas



TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR



101