RTRW Tapsel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



SALINAN



BUPATI TAPANULI SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR .5 TAHUN 2017..... TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2017- 2037 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPANULI SELATAN, Menimbang :



a. bahwa untuk mewujudkan perkembangan wilayah yang berdaya dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah yang berfungsi sebagai arahan lokasi investasi baik sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat; b. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten; c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Nasional dan Provinsi Sumatera Utara perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan;



2 d. bahwa berdasarkan evaluasi, Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 14 Tahun 1998 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tk. II Tapanuli Selatan sudah tidak berlaku lagi sehingga perlu diganti dan disesuaikan dengan berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan; e. bahwa sesuai pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, c dan d dipandang perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2017-2037 dengan Peraturan Daerah; Mengingat :



1. Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2403); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831); 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 6. Undang-Undang Republik Indonesia 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 7. Undang-Undang Republik Indonesia 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);



3 8. Undang-Undang Republik Indonesia 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 9. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 132); 11. Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 12. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 14. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 17. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);



4 18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 19. Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 20. Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 21. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); 22. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 23. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490); 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492); 25. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);



5 26. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 27. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 28. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 29. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungan Jawaban Kepala Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 209, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4027); 30. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4095); 31. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4106); 32. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 33. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4156); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056);



6 35. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemamfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110) 42. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);



7 45. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5185; 47. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230 48. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393); 50. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 51. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 2 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 – 2037 (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 33); 52. Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor Nomor 18 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 18);



8 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN dan BUPATI TAPANULI SELATAN, MEMUTUSKAN : Menetapkan :



PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 20172037.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.



Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



2.



Kabupaten adalah Kabupaten Tapanuli Selatan.



3.



Kecamatan adalah wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan.



4.



Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.



5.



Bupati adalah Bupati Tapanuli Selatan.



6.



Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.



7.



Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



8.



Provinsi adalah Provinsi Sumatera Utara.



9.



Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.



10. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 11. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 12. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.



9 13. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 14. Holding zone adalah penerapan delineasi kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan ruangnya. 15. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. 16. Pengaturan Penataan Ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang. 17. Pembinaan Penataan Ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 18. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 19. Pengawasan Penataan Ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 20. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 21. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan program beserta pembiayaannya. 22. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 23. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 24. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli selatan yang selanjutnya disebut RTRW Kabupaten adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah Kabupaten, yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah Kabupaten, rencana struktur ruang wilayah Kabupaten, rencana pola ruang wilayah Kabupaten, penetapan kawasan strategis Kabupaten, arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten, ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dan hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang. 25. Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 26. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.



10 27. Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten. 28. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten adalah rencana yang mencakup sistem perkotaan wilayah Kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah Kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala Kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya. 29. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 30. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten atau beberapa Kecamatan. 31. Pusat Kegiatan Lokal promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah Pusat Pelayanan Kawasan yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL. 32. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 33. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 34. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 35. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. 36. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. 37. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. 38. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan ratarata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.



11 39. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. 40. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Sesuaikan dengan PP 38 tahun 2004 tentang jalan. 41. Wilayah sungai yang selanjutnya disebut WS adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km². 42. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 43. Daerah Irigasi yang selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. 44. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah Kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW Kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang. 45. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 46. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 47. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 48. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 49. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 50. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.



12 51. Kawasan Agromarine (Minapolitan) adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengolahan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem marinebisnis. 52. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 53. Kawasan Strategis Provinsi (KSP) adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 54. Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 55. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 56. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaaannya sebagai hutan tetap. 57. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 58. Dampak Penting Cakupan Luas Strategis (DPCLS) adalah kawasan hutan lindung, hutan suaka alam dan kawasan koservasi yang mempunyai dampak penting dan cakupannya luas serta bernilai strategis. 59. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi, untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian akuifer yang berguna bagi sumber air baku. 60. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. 61. Sempadan pantai adalah daratan sepanjnag tepian yang lebarnya proporsioanl dnegan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 62. Kawasan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 63. Kawasan sekitar waduk/danau dan situ adalah kawasan di sekeliling waduk/danau dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. 64. Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan atau kegiatan pendukung lainnya.



13 65. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 66. Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. 67. Kawasan rawan bencana adalah kawasan dengan kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis dan geografis pada satu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. 68. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 69. Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. 70. Hutan Produksi Terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125174, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. 71. Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. 72. Kawasan budidaya hortikultura adalah kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari. 73. Kawasan budidaya perkebunan adalah kawasan yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan baik pada lahan basah dan atau lahan kering untuk komoditas perkebunan. 74. Kawasan budidaya peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan berakses dari hulu sampai hilir . 75. Kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. 76. Kawasan peruntukan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang, baik di wilayah darat maupun perairan.



14 77. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 78. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. 79. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah ruang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan. 80. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 81. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 82. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 83. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan RTRW Kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan Kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan Kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana dan waktu pelaksanaan. 84. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang Kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang. 85. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten agar sesuai dengan RTRW Kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah Kabupaten. 86. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem Kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten. 87. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan.



15 88. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. 89. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. 90. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 91. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 92. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 93. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. BAB II WILAYAH PERENCANAAN Pasal 2 (1)



(2)



Lingkup wilayah RTRW Kabupaten adalah daerah dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif luas daratan seluas kurang lebih 435.535 (empat ratus tiga puluh lima ribu lima ratus tiga puluh lima) hektar, terdiri atas 14 (empat belas) kecamatan, 212 (dua ratus dua belas) desa, dan 36 (tiga puluh enam) kelurahan. Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan batas wilayah meliputi: a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Tengah; b. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal; c. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Utara; dan d. sebelah barat berbatasan dengan samudera Indonesia dan Kabupaten Mandailing Natal



16 BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Wilayah Pasal 3 Penataan ruang wilayah Kabupaten bertujuan mewujudkan Kabupaten Selatan yang maju, sejahtera, dan mandiri berbasis pertanian, sumber daya alam, dan pariwisata yang berwawasan lingkungan. Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Pasal 4 Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten terdiri atas: a. peningkatan produktivitas pertanian dan sumber daya alam yang berkelanjutan berbasis komoditas unggulan yang dikelola secara terpadu dan ramah lingkungan; b. pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam berbasis konservasi guna mensejahterakan masyarakat; c. perwujudan struktur ruang yang akomodatif terkait dengan kebutuhan masyarakat dan pengembangan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. d. pengembangan kawasan pariwisata. Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Wilayah Pasal 5 (1) Peningkatan produktivitas pertanian dan sumber daya alam, berkelanjutan berbasis komoditas unggulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dengan strategi meliputi: a. menetapkan komoditas unggulan sesuai dengan potensi wilayah; b. mengembangkan sistem hulu hilir pertanian; c. meningkatkan produksi hortikultura melalui pendekatan agropolitan; d. memanfaatkan lahan budidaya yang tidak produktif untuk usaha peternakan; e. mengembangkan kawasan tanaman pangan dengan mempertahankan kawasan tanaman pangan yang ada;



tetap



f. mengintensifkan pengelolaan kawasan perkebunan dan peternakan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan berkelanjutan; dan g. meningkatkan usaha budidaya perikanan darat. (2) Pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam berbasis konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dengan strategi meliputi: a. memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya alam dengan memperhatikan daya dukung lingkungan berkelanjutan;



17 b. memantapkan fungsi kawasan hutan melalui sosialisasi tata batas hutan; c. meningkatkan konservasi kawasan lindung; dan d. mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan budidaya di kawasan lindung. (3) Perwujudan struktur ruang yang akomodatif terkait dengan kebutuhan masyarakat dan pengembangan wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dengan strategi meliputi: a. membangun kawasan pusat pemerintahan Kabupaten; b. menyediakan sarana dan prasarana pendukung; c. mewujudkan pemerataan pembangunan daerah, d. mengembangan potensi ekonomi daerah; dan e. menetapkan jalur evakuasi bencana. (4) Perwujudan pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dengan strategi peningkatan daya tarik wisata berupa, wisata budaya dan wisata alam. BAB IV RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten terdiri atas : a. sistem pusat kegiatan; dan b. sistem jaringan prasarana wilayah. (2) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Sistem Pusat Kegiatan Pasal 7 Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. sistem perkotaan; dan b. sistem perdesaan. Pasal 8 (1) Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a terdiri atas: a. penetapan sistem pusat kegiatan; dan b. fungsi pelayanan pusat kegiatan. (2) Penetapan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. PKL; b. PKLp; dan c. PPK.



18 (3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. Kecamatan Sipirok; dan b. Kecamatan Batangtoru. (4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berada di Pintu Padang Kecamatan Batang Angkola. (5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. Pargarutan Kecamatan Angkola Timur; b. Simarpinggan Kecamatan Angkola Selatan; dan c. Sitinjak Kecamatan Angkola Barat. (6) Fungsi pelayanan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. PKL melengkapi sarana dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland), pusat pemerintahan Kabupaten, pusat perdagangan dan jasa, industri pengolahan pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan permukiman, pelayanan pendudukan, kesehatan, dan wisata. b. PKLp sebagai pusat pemerintahan, pertanian, perkebunan, perikanan perdagangan dan jasa, industri, permukiman; c. PPK sebagai pusat pemerintahan, industri, perkebunan, pertanian dan pariwisata. Pasal 9 (1)



(2)



Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas: a. PPL; b. kawasan agropolitan; dan c. kawasan agromarine. PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan fungsi sebagai perkebunan, pertanian, permukiman, pusat pelayanan pendidikan, dan kesehatan skala antar desa meliputi: a. Desa Sayurmatinggi berada di Kecamatan Sayurmatinggi; b. Desa Marancar berada di Kecamatan Marancar; c. Desa Arse Nauli berada di Kecamatan Arse; d. Desa Sipagimbar berada di Kecamatan Saipar Dolok Hole; e. Desa Biru berada di Kecamatan Aek Bilah; f.



(3)



Desa Hutaraja berada di Kecamatan Muara Batang Toru;



g. Desa Simataniari berada di Kecamatan Angkola Sangkunur; h. Desa Situmba TT berada di Kecamatan Tano Tombangan Angkola Angkola. Kawasan agropolitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang berada Tapanuli Selatan meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Angkola Barat c. Kecamatan Marancar d. Kecamatan Arse; e. Kecamatan Aek Bilah;



19



(4)



f. Kecamatan Batang Angkola g. Kecamatan Sayurmatinggi;dan h. Kecamatan Tano Tombangan Angkola Kawasan agromarine sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berada di Kecamatan Muara Batang Toru. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Pasal 10



Sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Sistem prasarana utama; dan b. Sistem prasarana lainnya.



Paragraf 1 Sistem Prasarana Utama Pasal 11 Sistem prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. Terdiri atas: a. Sistem jaringan transportasi darat; dan b. Sistem jaringan transportasi perkeretaapian. Pasal 12 Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a terdiri atas: a. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan; dan b. Jaringan angkutan sungai, danau dan penyeberangan Pasal 13 Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a terdiri atas: a. Jaringan jalan; b. Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan c. Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 14 (1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a terdiri atas: a. Jaringan jalan arteri yang ada di wilayah kabupaten; b. Jaringan jalan kolektor yang ada di wilayah kabupaten; dan c. Jaringan jalan local di wilayah kabupaten. (2) Jaringan jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jaringan jalan fungsi arteri primer, meliputi ruas : a. ruas batas Tapanuli Utara – Sipirok; b. ruas Pal XI – Sipirok;



20 c. ruas Padangsidimpuan - Pal XI; dan d. ruas Padangsidimpuan - Batas Mandailing Natal. (3) Jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan jaringan jalan kolektor primer K1 dan K2, meliputi: a. ruas batas Tapanuli Tengah – Padangsidimpuan (Batang Toru), dengan fungsi K1; b. ruas Batangtoru - Rianiate - Batu Mundom (Sp. Aek Rambe) dengan fungsi K1; c. ruas Pal. XI - Aek Godang dengan fungsi K1. d. ruas Sipirok – ruas Simpang Tandosan – Batas Tapanuli Utara dengan fungsi K2; e. ruas Simpang Tandosan – Simangambat – Sipangimbar dengan fungsi K2; f. ruas Sipangimbar – Batas Paluta (Tolang) dengan fungsi K2;dan g. ruas Sipenggeng - Marancar – Sipirok dengan fungsi K2; (4) Rencana Pengembangan Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi ruas jalan : a. Simpang Biru-Sihulambu-Batas Tapanuli Utara(Kecamatan Aek Bilah) ; b. Simpang Hutabaru - Hutabaru - Tanjung Baru (Kecamatan Aek Bilah) ; c. Biru - Sp. Huta Tonga; d. Aek jahengna – Sipagabu; e. Jl Provinsi – Sigolang; f. Silangkitang – Parsanggaran-Sayurmatinggi ( Batas Paluta) ; g. Simpang Jalan Propinsi – Hanopan; h. Arse - Huta Padang; i. Napompar - Tano Ponggol; j. Bargot Topong – Morang; k. Dolok Godang (Kecamatan Angkola Selatan) – Sibatu (Batas Kota Padangsidimpuan) ; l. Gua Asom (Kecamatan Angkola Selatan) – Janji Matogu (Kecamatan Batang Angkola) ; m. Gua Asom (Kecamatan Angkola Selatan) – Batas Madina; n. Jalan Lingkar Ampolu-Muara Upu/Garis Pantai Muara Upu (Kecamatan Muara Batangtoru) ; o. Janji Manaon (Kecamatan Batang Angkola) – Mosa (Kecamatan Angkola Selatan) ; p. Mosa Julu (Kecamatan Angkola Selatan)-Aek Puli-Aek Tolang-Somil (Kecamatan Batang Angkola) ; q. Muara Upu – Batas Mandailing Natal (Kecamatan Muara Batang Toru) ; r. Parbotikan – Batu Horing Kecamatan Batang Toru; s. Sangkunur – Sibarabara – Bongal (Kecamatan Angkola Sangkunur – Muara Batang Toru) ; t. Panaungan-Pargarutan Luat Harangan (Kecamatan Sipirok) Simandumayan (Batas Padanglawas Utara) ; u. Sigolang - Biru (Kecamatan Aek Bilah) ; v. Tangga Batu – Batu Godang ( Kecamatan Angkola Barat – Angkola Sangkunur) ; w. Simaninggir-Mosa (Kecamatan Tamtom Angkola) ; x. Sungai Pining - Pintu Padang - Tambiski - Silangkitang (Batas Padanglawas Utara) ; y. Tabusira – Batas Padang Lawas Utara; z. Tapian Nauli - Tandiat Kecamatan Angkola Selatan; dan aa. Tapian Nauli – Aek Gambir - Aloha – Simaronop (Kecamatan Angkola Selatan). (5) Penetapan fungsi dan status jalan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



21 Pasal 15 (1) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b terdiri atas: a. pembangunan dan pengembangan terminal; b. penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan; dan c. pengembangan perlengkapan jalan. (2) Pengembangan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pengembangan terminal penumpang tipe C di PKL Sipirok menjadi terminal penumpang tipe B; b. pembangunan terminal penumpang tipe C meliputi Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Batang Angkola. (3) Penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa jembatan timbang berada di Kecamatan Angkola Timur. (4) Pengembangan perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terutama pada jaringan jalan perkotaan dan jaringan jalan strategis meliputi: a. rambu lalu lintas; b. rambu pendahulu penunjuk jurusan; c. marka parkir; d. marka jalan; e. zebra cross,; f. cermin tikungan; dan g. penerangan jalan umum. Pasal 16 (1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c berupa pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang. (2) Pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini terdiri atas: a. Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) melayani perkotaan Tapanuli Selatan dengan kota-kota lain di luar Provinsi Sumatera Utara, b. Angkutan Penumpang Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) melayani perkotaan Tapanuli Selatan ke kota-kota lain di dalam Provinsi Sumatera Utara c. Angkutan Perdesaan yang melayani pergerakan penduduk antara perkotaan Tapanuli Selatan dengan ibukota kecamatan di wilayah Kabupaten (3) Pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) pada ayat (2) huruf a melayani perkotaan Tapanuli Selatan dengan kota-kota lain di luar Provinsi Sumatera Utara,meliputi; a. Hutaraja – Padang – Pekanbaru - Palembang – Jakarta; b. Medan - Sipirok – Jakarta; c. Tano Tombangan Angkola – Jambi – Jakarta; dan d. Saipar Dolok Hole – Tanjung karang. (4) Pengembangan jaringan trayek Angkutan Penumpang Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) pada ayat (2) huruf b melayani perkotaan Tapanuli Selatan ke kota-kota lain di dalam Provinsi Sumatera Utara meliputi;



22 a. Hutaraja – Batang toru – Medan;dan b. Sipirok – Medan. (5) Angkutan perdesaan sebagaimana pada ayat (2) huruf c melayani pergerakan penduduk antara perkotaan Tapanuli Selatan dengan ibukota kecamatan di wilayah Kabupaten meliputi: a. Rianiate (Danau Siais) – Batang Toru – Padangsidimpuan(pulang pergi); b. Rianiate (Hutaraja) – Batangtoru – Padangsidimpuan (pulang pergi); c. Pintu Padang – Padangsidimpuan (pulang pergi); d. Sitaratoit – Lobu Layan – Padangsidimpuan (pulang pergi); e. Sironcitan – Simarpinggan – Padangsidimpuan (pulang pergi); f. Gadu – Sipirok – Padangsidimpuan (pulang pergi); g. Sijukkit – Aek Lancat – Padangsidimpuan (pulang pergi); h. Batang Toru - Poken Arba (Marancar) – Bulu Mario – Sipirok (pulang pergi); i. Sijungkang – Paranjulu – Padangsidimpuan (pulang pergi); j. Tabusira – Padangsidimpuan (pulang pergi); k. Tabusira – Sipirok (pulang pergi);. l. Marancar – Sitinjak– Padangsidimpuan (pulang pergi); m. Biru – Sipagimbar – Arse – Sipirok– Padangsidimpuan (pulang pergi);dan n. Situmba (Tano Tombangan) – Sayur Matinggi – Padangsidimpuan (pulang pergi). Pasal 17 (1) Sistem jaringan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b meliputi transportasi laut yang terdiri atas: a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhan sebagaimana dimaksud ayat pada ayat (1) huruf a meliputi rencana pembangunan pelabuhan pengumpan sekunder di Desa Muara Upu Kecamatan Muara Batang Toru; (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 18 Sistem jaringan angkutan sungai, danau dan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b terdiri atas:



(ASDP)



a. penetapan alur pelayaran sungai, danau dan penyeberangan, meliputi: 1. Rute bandar tarutung - mabang – danau siais (pulang pergi); 2. Rute danau siais – pondok rambe - muara upu (pulang pergi); dan 3. Rute bandar tarutung - muara upu (pulang pergi). b. pembangunan dermaga berada di danau siais dan sungai batang toru; dan c. peningkatan kualitas dan jumlah sarana angkutan penyeberangan berada di Danau Siais dan Sungai Batang Toru.



23 Pasal 19 Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b meliputi: a. pembangunan jalur Kereta Api ruas Sibolga - Padangsidimpuan – Rantau Prapat; b. pembangunan jalur kereta api antar kota bagian barat yang menghubungkan batas Aceh – Sibolga – batas Sumatera Barat; c. pemantapan dan pengembangan jalur Kereta Api di pantai barat bagian utara lintas Sibolga -Padangsidimpuan; dan d. pembangunan sarana dan prasarana stasiun. Paragraf 2 Sistem Prasarana Lainnya Pasal 20 Sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Sistem jaringan energi; b. Sistem jaringan telekomunikasi; c. Sistem jaringan sumber daya air; dan d. Sistem jaringan prasarana wilayah lainnya. Pasal 21 (1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a terdiri atas: a. pembangkit tenaga listrik dan gardu induk; dan b. jaringan transmisi tenaga listrik. (2) Pembangkit tenaga listrik dan gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. pembangkit tenaga listrik; dan b. gardu induk. (3) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) meliputi: 1. PLTA Batang Toru berada di Kecamatan Batang Toru, Kecamatan Marancar dan Kecamatan Sipirok; 2. PLTA Aek Bilah berada di Kecamatan Aek Bilah; dan 3. PLTA Batang Gadis berada di Sipotangniari. b. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Upu berada di Kecamatan Muara Batang Toru; c. Pembagunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Sipirok berada di Kecamatan Sipirok; dan d. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) meliputi: 1. PLTMH Simaronop Julu; 2. PLTMH Sungai Pining; 3. PLTMH Palang Palang; 4. PLTMH Silangkitang; 5. PLTMH Aek Urat; 6. PLTMH Sihulambu; 7. PLTMH Gorahut; 8. PLTMH Aek Latong; 9. PLTMH Sigiring-giring; 10. PLTMH Sitabo-tabo;



24 11. PLTMH Batu Horing; 12. PLTMH Aek Balimbing; 13. PLTMH Simarpinggan;dan 14. PLTMH Parsariran. (4) Gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Batang Toru; dan c. Kecamatan Batang Angkola. (5) Rencana pengembangan pembangkit listrik selain yang disebutkan pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan potensi yang ada, dengan mempertimbangkan kajian kesesuaian dan dayang dukung lingkungan. 1. Rencana pengembangan gardu induk sebagaimana pada ayat (4) berlokasi pada pusat-pusat kegiatan. 2. Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dengan kapasitas 275 (dua ratus tujuh puluh lima) Kilo Volt meliputi: 1. Sarulla ke Padangsidimpuan; dan 2. Padangsidimpuan ke Payakumbuh. b. Saluran Udara Tegangan Ultra Tinggi (SUTUT) dengan kapasitas 150 (seratus lima puluh) Kilo Volt meliputi Padangsidimpuan ke Panyabungan. c. peningkatan dan pengembangan jaringan transmisi listrik berupa pemerataan pelayanan listrik di seluruh desa dalam wilayah Kabupaten. d. pengembangan sistem jaringan kabel listrik bawah tanah pada kawasan perkotaan dalam wilayah Kabupaten; dan e. pengembangan sistem jaringan tegangan extra tinggi dan ultra tinggi dapat dilakukan dengan mengkoneksikan dengan jaringan yang sudah ada. Pasal 22 Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b meliputi: a. pengembangan jaringan serat optik berada di wilayah perkotaan; b. pengembangan dan peningkatan sambungan telepon otomat (sto) dan menambah Rumah Kabel (RK) berada di kawasan perkotaan; c. pengembangan jaringan kabel dan nirkabel (seluler) ke seluruh pelosok desa; dan d. pengembangan sistem telekomunikasi nirkabel (selular) melalui penataan lokasi menara telekomunikasi selular dan base transceiver station (bts) dilakukan dengan memperhatikan rencana penataan pembangunan menara telepon selular di wilayah kabupaten (cell plan). e. rencana penataan pembangunan menara telepon selular di wilayah kabupaten (cell plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 23 (1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c terdiri atas: a. Wilayah Sungai (WS); b. Jaringan irigasi;



25 c. Prasarana air baku untuk air bersih; d. Sistem pengendalian banjir; dan e. Cekungan air tanah. (2) Wilayah Sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pengelolaan sumber daya air dalam wilayah Kabupaten sebagai bagian dari WS Batang Toru, WS Batang Angkola, dan WS Batang Gadis. b. pengelolaan sungai-sungai lintas Kabupaten/Kota meliputi: 1. Sungai Batang Toru; 2. Sungai Batang Angkola; dan 3. Sungai Batang Gadis. c. pengelolaan sungai-sungai dalam wilayah Kabupaten d. pemeliharaan danau meliputi: 1. Danau Siais berada di Kecamatan Angkola Sangkunur; dan 2. Danau Marsabut berada di Kecamatan Sipirok. (3) Jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pengelolaan Daerah Irigasi (D.I) terdiri atas: a. Daerah Irigasi kewenangan Pemerintah meliputi: 1. D.I Batang Angkola; dan 2. D.I Payasordang. b. Daerah Irigasi kewenangan provinsi terdiri atas D.I Sangkunur, D.I Aek Silo Komplex, D.I Sipirok Komplex dan D.I Tabusira Komplex. c. Daerah Irigasi kewenangan Kabupaten dengan jumlah 126 (seratus dua (4)



(5)



enam) D.I Jaringan air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara: a. perlindungan terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air; b. peningkatan sarana dan prasarana pendukung seperti pipa, tandon, reservoir, dan prasarana pendukung lainnya; dan c. optimalisasi pemanfaatan potensi air baku. Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. pembangunan dan pemeliharaan tanggul di Sungai Batang Angkola dan Batang Toru; b. normalisasi aliran sungai; c. pengerukan sungai; d. optimalisasi Danau Siais dan Danau Marsabut; e. penghijauan; dan f. pemberdayaan masyarakat. g. cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa cekungan air tanah Padangsidimpuan dan Batang Toru.



26



Pasal 24 1)



2)



3)



4)



5)



Sistem jaringan prasarana wilayah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d terdiri atas: a. penyediaan dan pengelolaan air bersih; b. pengembangan jaringan drainase; c. pengelolaan persampahan; d. pengelolaan limbah rumah tangga; e. pengelolaan limbah cair dan limbah b3; dan f. pengembangan jalur evakuasi bencana; dan g. pengembangan ruang evakuasi bencana. Penyediaan dan pengelolaan air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pembangunan perpipaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk melayani daerah yang belum terlayani, baik dengan sistem jaringan perpipaan maupun non-perpipaan; b. peningkatan kapasitas produksi air bersih; c. perbaikan dan rehabilitasi sistem transmisi dan distribusi; d. peningkatan cakupan pelayanan di kawasan perkotaan dan perdesaan; e. pengembangan sistem penyediaan air bersih oleh masyarakat melalui pembentukan kelembagaan pengelola air bersih di perdesaan; f. optimalisasi pelanggan dan jaringan eksisting dengan memanfaatkan sumber air baru; g. pemanfaatan air tanah dangkal dan artesis secara terkendali; dan h. pengembangan PDAM di Kecamatan Sipirok Pengembangan jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pembangunan saluran drainase skala tersier di PPK; b. pPemeliharaan saluran drainase; c. perbaikan dan normalisasi saluran drainase; dan d. perencanaan drainase terpadu dengan jaringan jalan. Pengelolaan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. pembangunan Tempat Penampungan Sementara (TPS) di setiap wilayah Kecamatan sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah tangga; b. pembangunan Tempat Pemrosesan Pengelolaan Akhir Sampah TPA dengan sistem sanitary landfill meliputi: 1. TPA Kecamatan Sipirok 2. TPA Kecamatan Batangtoru; dan 3. TPA Kecamatan Batang Angkola. 4. TPA Regional Tapanuli Selatan-Padangsidimpuan. c. pengembangan sistem pengelolaan dan pemprosesan sampah secara terpadu, mandiri dan berkelanjutan di sumber penghasil sampah; dan d. pengelolaan persampahan rumah tangga berbasis masyarakat dengan konsep 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recyle (mendaur ulang). Pengelolaan limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga di kawasan permukiman; b. penyediaan sarana pendukung pengelolaan limbah rumah tangga;



27 c. penanganan limbah secara on site dengan pembangunan jamban keluarga, jamban komunal dan mandi cuci kakus umum; d. pembangunan instalasi pengolahan lumpur tinja (iplt) untuk melayani pengolahan air limbah setempat (on site) sebagaimana dimaksud pada huruf c. e. penyediaan sarana pengangkutan limbah ke lokasi pengolahan limbah f. penanganan limbah secara off site dengan sistem perpipaan dengan membangun instalasi pengolahan air limbah (ipal) komunal di kawasan perkotaan; dan 6) Pengelolaan limbah cair dan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. pengembangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu untuk kegiatan industri besar dan menengah berada di Kecamatan Batang Toru; b. pengembangan IPAL untuk kegiatan Rumah Sakit di wilayah kabupaten; c. pengembangan instalasi pengelolaan limbah B3 di kawasan industri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan d. pengolahan limbah B3 dengan sistem terpadu, baik secara on site (setempat) maupun off site (terpusat). 7) Pengembangan jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi : a. pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana longsor; b. pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana letusan gunung berapi; c. pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana banjir; d. pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana tsunami; dan e. pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana gempa bumi. 8) Pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana alam longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Saipar Dolok Hole; c. Kecamatan Aek Bilah; d. Kecamatan Marancar; e. Kecamatan Angkola Barat; f. Kecamatan Sayurmatinggi; g. Kecamatan Angkola Sangkunur; dan h. Kecamatan Angkola Selatan. 9) Pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana alam letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b berada di Kecamatan Sipirok dan Kecamatan Marancar. 10) Pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c meliputi: a. Kecamatan Angkola Selatan; b. Kecamatan Angkola Sangkunur; c. Kecamatan Muara Batang Toru; d. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; e. Kecamatan Sayurmatinggi; f. Kecamatan Batang Angkola; dan g. Kecamatan Batang Toru.



28 11) Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d berada di Kecamatan Muara Batang Toru. 12) Pengembangan dan peningkatan jalur evakuasi bencana gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e berada di Kecamatan Sipirok. 13) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diarahkan pada jalan poros desa dan jalan kolektor di wilayah Kecamatan. 14) Ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud ayat (7) diarahkan memanfaatkan bangunan milik pemerintah dan fasilitas umum sebagai tempat penampungan pengungsi. 15) Rencana jalur dan ruang evakuasi bencana didukung oleh penyediaan sarana dan prasarana tanggap darurat bencana (early warning system) yang memadai. BAB V RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 25 (1)



Rencana pola ruang wilayah terdiri atas : a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya.



(2)



Rencana pola ruang wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian skala minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 26



Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; f. kawasan lindung geologi; dan g. kawasan lindung lainnya Pasal 27 (1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dengan luas kurang lebih 134.176 Ha (seratus tiga puluh empat ribu seratus tujuh puluh enam) hektar meliputi: a. Kecamatan Aek Bilah; b. Kecamatan Saipar Dolok Hole; c. Kecamatan Arse; d. Kecamatan Sipirok; e. Kecamatan Angkola Timur;



29 f. Kecamatan Batang Angkola; g. Kecamatan Sayurmatinggi; h. Kecamatan Angkola Barat; i. Kecamatan Batang Toru. j. Kecamatan Angkola Selatan dan k. Kecamatan Tano Tombangan Angkola (2) Pada Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat usulan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS), yang masih membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, seluas kurang lebih 153,63 Ha (seratus lima puluh tiga koma enam puluh tiga hektar) di Kecamatan Tanotombangan Angkola. Pasal 28 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b terdiri atas: a. kawasan bergambut; dan b. kawasan resapan air. (2) Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; b. Kecamatan Angkola Sangkunur; c. Kecamatan Muara Batang Toru; dan d. Kecamatan Angkola Selatan. (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di kawasan hutan lindung.



(1)



(2)



(3)



(4)



Pasal 29 Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c terdiri atas: a. sempadan sungai; b. sempadan pantai; dan c. kawasan sekitar danau atau waduk. Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada disepanjang aliran sungai yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten meliputi antara lain: a. Sungai Batang Toru; b. Sungai Batang Angkola; dan c. Sungai Batang Gadis. Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di sepanjang garis pantai barat Sumatera Utara dengan berada di Kecamatan Muara Batang Toru. Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Danau Siais berada di Kecamatan Angkola Sangkunur dan Danau Marsabut berada di Kecamatan Sipirok.



30 Pasal 30 (1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d terdiri atas: a. kawasan suaka alam; dan b. kawasan pelestarian alam dan cagar budaya. (2) Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 14.897 (empat belas ribu delapan ratus sembilan puluh tujuh) hektar meliputi antara lain: a. kawasan hutan suaka alam Dolok Sibual-buali; b. kawasan hutan suaka alam Dolok Sipirok; c. kawasan hutan suaka alam Lubuk Raya. (3) Pada Kawasan Hutan Suaka Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat usulan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS), yang masih membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, seluas kurang lebih 53,96 Ha (lima puluh tiga koma Sembilan puluh enam hektar) di Kecamatan Sipirok. (4) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Mesjid Raya Srialam Dunia Sipirok Mashalih berada di Kecamatan Sipirok; b. Taman Makam Pahlawan Simago-mago berada di Kecamatan Sipirok; dan c. Benteng Huraba berada di Kecamatan Batang Angkola. Pasal 31 (1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e terdiri atas: a. kawasan rawan banjir; dan b.kawasan rawan bencana longsor. (2) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Angkola Selatan; b.Kecamatan Angkola Sangkunur; c. Kecamatan Muara Batang Toru; d.Kecamatan Tano Tombangan Angkola; e. Kecamatan Sayurmatinggi; f. Kecamatan Batang Angkola; dan g. Kecamatan Batang Toru. (3) Kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b.Kecamatan Saipar Dolok Hole; c. Kecamatan Aek Bilah; d.Kecamatan Marancar;



31 e. Kecamatan Angkola Barat; f. Kecamatan Sayurmatinggi; g. Kecamatan Angkola Sangkunur; dan h. Kecamatan Angkola Selatan.



(1) (2)



(3) (4) (5)



Pasal 32 Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f berupa kawasan rawan bencana alam geologi. Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf terdiri atas: a. kawasan rawan letusan gunung berapi; b. kawasan rawan gempa bumi; dan c. kawasan rawan tsunami. Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berada di Kecamatan Sipirok. Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berada di Kecamatan Sipirok. Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berada di Kecamatan Muara Batang Toru.



Pasal 33 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; dan h. kawasan peruntukan lainnya. Pasal 34 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a terdiri atas: a. kawasan hutan produksi terbatas; dan b. kawasan hutan produksi tetap; (2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 83.626 (delapan puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh tujuh) hektar meliputi: a. Kecamatan Aek Bilah; b. Kecamatan Saipar Dolok Hole; c. Kecamatan Batang Angkola; d. Kecamatan Angkola Selatan; e. Kecamatan Sayurmatinggi; f. Kecamatan Angkola Barat g. Kecamatan Angkola Sangkunur. h. Kecamatan Muara Batangtoru dan i. Kecamatan Tano Tombangan Angkola



32 (3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 45.226 (empat puluh lima ribu dua ratus dua puluh enam) hektar meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Batangtoru; c. Kecamatan Angkola Barat; d. Kecamatan Angkola Timur; e. Kecamatan Angkola Selatan; f. Kecamatan Saipar Dolok Hole;. g. Kecamatan Marancar; h. Kecamatan Arse; i. Kecamatan Muara Batangtoru; j. Kecamatan Angkola Sangkunur dan k. Kecamatan Batang Angkola Pasal 35 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b terdiri atas: a. kawasan budidaya tanaman pangan; b. kawasan budidaya hortikultura; c. kawasan budidaya perkebunan; dan d. kawasan budidaya peternakan. (2) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu pertanian lahan basah seluas kurang lebih 17.791 (tujuh belas ribu tujuh ratus sembilan puluh satu) hektar meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Batang Angkola; c. Kecamatan Angkola Timur; d. Kecamatan Arse; e. Kecamatan Saipar Dolok Hole; f. Kecamatan Sayurmatinggi; g. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; h. Kecamatan Angkola Sangkunur; i. Kecamatan Batang Toru; j. Kecamatan Angkola Barat; k. Kecamatan Angkola Selatan; l. Kecamatan Muara Batang Toru; m. Kecamatan Marancar; dan n. Kecamatan Aek Bilah. (3) Kawasan budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu pertanian lahan kering seluas kurang lebih 86.687 (delapan puluh enam ribu enam ratus delapan puluh tujuh) hektar meliputi: a. Kecamatan Sipirok; b. Kecamatan Marancar; dan c. Kecamatan Angkola Barat.



33 (4) Kawasan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan luas kurang lebih 31.931 (tiga puluh satu ribu sembilan ratus tiga puluh satu) hektar terdiri atas: a. perkebunan tanaman tahunan; b. perkebunan tanaman rempah dan penyengar; dan c. perkebunan tanaman semusim. (5) Perkebunan tanaman tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi: a. Kecamatan b. Kecamatan c. Kecamatan d. Kecamatan e. Kecamatan f. Kecamatan g. Kecamatan h. Kecamatan i. Kecamatan j. Kecamatan k. Kecamatan l. Kecamatan m. Kecamatan



Arse; Saipar Dolok Hole; Aek Bilah, Sipirok; Angkola Timur; Batang Angkola; Tano Tombangan Angkola; Sayurmatinggi; Batang Toru; Muara Batang Toru; Marancar; Angkola Barat; Angkola Selatan; dan Angkola Sangkunur.



(6) Perkebunan tanaman rempah dan penyegar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi: a. Kecamatan b. Kecamatan c. Kecamatan d. Kecamatan e. Kecamatan f. Kecamatan g. Kecamatan h. Kecamatan i. Kecamatan j. Kecamatan k. Kecamatan l. Kecamatan m. Kecamatan n. Kecamatan



Arse; Sipirok; Saipar Dolok Hole; Aek Bilah; Angkola Timur; Batang Angkola; Tano Tombangan Angkola; Sayurmatinggi; Batang Toru; Muara Batang Toru; Marancar; Angkola Barat; Angkola Selatan; dan Angkola Sangkunur.



(7) Perkebunan tanaman semusim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi: a. b. c. d. e.



Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan



Batang Angkola; Angkola Selatan; Arse; Sipirok; dan Saipar Dolok Hole.



(8) Kawasan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan komoditas unggulan terdiri atas karet, kelapa sawit, kakao, aren, kopi, dan tembakau.



34 (9) Kawasan budidaya peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. ternak besar yang dikelola oleh rakyat dengan jenis hewan sapi potong, sapi perah dan kerbau meliputi: 1. Kecamatan Batang Toru; 2. Kecamatan Muara Batang Toru; 3. Kecamatan Angkola Sangkunur; 4. Kecamatan Angkola Selatan; 5. Kecamatan Angkola Timur; 6. Kecamatan Aek Bilah; 7. Kecamatan Saipar Dolok Hole; 8. Kecamatan Sipirok; 9. Kecamatan Arse; 10.Kecamatan Marancar; 11.Kecamatan Batang Angkola dan 12.Sayur Matinggi b. ternak kecil yang dikelola oleh rakyat dengan jenis hewan kambing dan domba meliputi: 1. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; 2. Kecamatan Sayurmatinggi; 3. Kecamatan Batang Angkola, 4. Kecamatan Angkola Timur; 5. Kecamatan Angkola Selatan; 6. Kecamatan Angkola Barat; 7. Kecamatan Sipirok; 8. Kecamatan Arse; 9. Kecamatan Saipar Dolok Hole; 10.Kecamatan Aek Bilah; 11.Kecamatan Marancar; dan 12.Kecamatan Batang Toru. Pasal 36 (1)



Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c terdiri atas: a. kawasan perikanan tangkap; b. kawasan perikanan budidaya; dan c. kawasan pengolahan ikan.



(2)



Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Kecamatan Muara Batang Toru



(3)



Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Sungai Batang Toru dan Sungai Garoga berada di Kecamatan Muara Batang Toru; b. Danau Siais;



35 c. Lahan basah meliputi Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Batangtoru, Kecamatan Sipirok, Kecamatan Arse, Kecamatan Marancar, Kecamatan Sayur Matinggi, Kecamatan Tano Tombangan Angkola, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kecamatan Angkola Timur, Kecamatan Angkola Barat, Kecamatan Angkola Selatan, Kecamatan Angkola Sangkunur dan Kecamatan Aek Bilah (4)



Kawasan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berada di sekitar Danau Siais Kecamatan Angkola Sangkunur. Pasal 37



(1)



Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d terdiri atas : a. kawasan pertambangan mineral logam; b. kawasan pertambangan mineral non logam; c. kawasan pertambangan batuan; dan d. kawasan pertambangan panas bumi.



(2)



Kawasan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Batang Toru; b. Kecamatan Muara Batang Toru; c. Kecamatan Sipirok; d. Kecamatan Angkola Selatan; e. Kecamatan Batang Angkola; f. Kecamatan Sayurmatinggi; g. Kecamatan Arse; h. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; i. Kecamatan Marancar; j. Kecamatan Saipar Dolok Hole



(3)



(4)



Kawasan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jenis logam terdiri atas emas murni, emas berasosiasi dengan galena, galena perak, seng, timah hitam, galena berasosiasi dengan tembaga, bijih besi, dan tembaga. Kawasan pertambangan mineral non logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. Kecamatan Angkola Timur; b. Kecamatan Angkola Selatan; c. Kecamatan Angkola Barat; d. Kecamatan Batang Toru; e. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; f. Kecamatan Sipirok; g. Kecamatan Arse h. Kecamatan Saipar Dolok Hole; i. Kecamatan Marancar; j. Kecamatan Batang Angkola; dan k. Kecamatan Sayurmatinggi.



36 5)



6)



Kawasan pertambangan mineral non logam sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan jenis batuan terdiri atas batu bara, andesit, bentonit, granit, kaolin, gamping, zeolit, dan onix. Kawasan pertambangan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Kecamatan Batang Angkola; b. Kecamatan Batang Toru; c. Kecamatan Angkola Selatan; d. Kecamatan Arse; e. Kecamatan Angkola Barat; f. Kecamatan Angkola Timur; g. Kecamatan Sipirok h. Kecamatan Saipar Dolok Hole; i. Kecamatan Aek Bilah; j. Kecamatan Marancar; k. Kecamatan Sayurmatinggi; l. Kecamatan Muara Batang Toru; m. Kecamatan Tano Tombangan Angkola; dan n. Kecamatan Angkola Sangkunur;



7)



8) 9)



Kawasan pertambangan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dengan jenis batuan terdiri atas batu pasir, batu sungai, batu apung, pasir kuarsa dan pasir sungai. Kawasan pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf di Kecamatan Sipirok. Pemanfaatan kawasan peruntukan pertambangan memperhatikan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) yang ditetapkan sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 38



(1)



Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e meliputi : a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri menengah; dan c. kawasan peruntukan industri kecil dan mikro;



(2)



(3)



(4)



Kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas industri pengolahan kelapa sawit, dan industri pengolahan karet berada di Kecamatan Muara Batang Toru, Kecamatan Batangtoru, Kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Angkola Timur Kawasan peruntukan industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas industri pengolahan salak, industri pengolahan coklat, industri logam dan pandai besi, dan industri furniture berada di Kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Angkola Barat. Kawasan peruntukan industri kecil dan mikro terdiri atas industri pangan, industri sandang, dan industri kerajinan umum meliputi Kecamatan Sipirok dan Kecamatan Batang Toru.



37 Pasal 39 (1)



Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f terdiri atas: a. Pariwisata budaya; dan b. Pariwisata alam.



(2)



Pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. Batu Nanggar Jati berada di Desa Saba Padang Kecamatan Arse; b. Bagas Godang di Kecamatan Sipirok; c. Mesjid Raya Seri Alam Dunia Sipirok Mashalih berada di Kecamatan Sipirok; d. Gereja tertua di Kabupaten tapanuli selatan berada di Desa Parau Sorat Kecamatan Sipirok; dan e. Candi Batara Wisnu berada di Sipagimbar Kecamatan Saipar Dolok Hole.



(3)



Pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. Danau Siais berada di Kecamatan Angkola Sangkunur; b. Danau Marsabut berada di Kecamatan Sipirok; c. Pesisir pantai Muara Upu berada di Kecamatan Muara Batang Toru; d. Air panas berada di Kecamatan Sipirok dan Kecamatan Marancar; e. Pemandian Alam Parsariran berada di Kecamatan Batang Toru; f. Ikan Keramat Dominasi Ikan Jurung merah berada disungai kecil yang mengalir di Desa Rianiate Kecamatan Angkola Sangkunur; g. Air terjun Aek Sijornih berada di Kecamatan Sayurmatinggi; h. Air Terjun Simatutung di Kecamatan Angkola Sangkunur i. Air terjun Sampuran Napitu berada di Kecamatan Saipar Dolok Hole; j. Air Terjun Sigorpa berada di Kecamatan Aek Bilah; k. Taman bunga berada di Desa Situnggaling Kecamatan Saipar Dolok Hole; l. Gunung Sibual-buali berada di Cagar Alam Sibual-buali; m. Tor Simago-mago di Kecamatan Sipirok; n. Kawah Harite berada di Suaka Alam Dolok Sibual-buali; dan o. Air Terjun Silima-lima Kecamatan Marancar. Pasal 40



(1)



Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf g terdiri atas: a. Kawasan permukiman perkotaan; dan b. Kawasan permukiman perdesaan.



(2)



Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebar di seluruh ibukota Kecamatan.



(3)



Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tersebar di seluruh wilayah Kabupaten.



38 Pasal 41 (1)



Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf h terdiri atas: a. kawasan pesisir; dan b. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.



(2) (3) (4)



Kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Muara Upu Kecamatan Muara Batang Toru. Perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a `diatur dalam rencana zonasi wilayah pesisir Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kantor Kepolisian Resort (Polres) Tapanuli Selatan; b. Kantor Kepolisian kecamatan; dan



Sektor



(Polsek)



tersebar



di



setiap



ibukota



c. Kantor koramil tersebar disetiap ibukota kecamatan.



BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS WILAYAH KABUPATEN Pasal 42 (1)



Kawasan Strategis terdiri atas: a. Kawasan Strategis Provinsi (KSP); dan b. Kawasan Strategis Kabupaten (KSK).



(2)



Penetapan Kawasan Strategis digambarkan dalam peta sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 43



(1) (2)



KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a berupa kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Kawasan Lindung Hutan Batang Toru. Pasal 44



(1) KSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b berupa kawasan strategis yang terdiri dari; a. Sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ; dan b. Strategis ekonomi. (2) Kawasan strategis yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kawasan Sempadan Danau Siais berada di Kecamatan Angkola Sangkunur; dan b. Kawasan Hutan Lindung Batang Toru. (3) Strategis ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kawasan Wisata Danau Siais berada di Kecamatan Angkola Sangkunur; b. Kawasan Perkotaan Batangtoru, Sipirok dan Batang Angkola;



39 c. Kawasan d. Kawasan e. Kawasan f. Kawasan Angkola.



Agropolitan Sitinjak berda di Kecamatan Angkola Barat; Agropolitan Sipirok berada di Kecamatan Sipirok; Agromarine (Minopolitan) Muara Upu; dan Agropolitan Pintu Padang berada di Kecamatan Batang



BAB VII ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN Paragraf 1 Umum Pasal 45 (1)



(2)



(3)



(4)



(5)



Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten merupakan indikasi program utama yang memuat uraian program atau kegiatan, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan tahapan pelaksanaan. Indikasi program utama pemanfaatan ruang terdiri atas: a. perwujudan rencana struktur ruang wilayah Kabupaten; b. perwujudan rencana pola ruang wilayah Kabupaten; dan c. perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten. Pelaksanaan RTRW Kabupaten terbagi dalam 4 (empat) tahapan terdiri atas: a. Tahap I (tahun 2017-2022); b. Tahap II (tahun 2022-2027); c. Tahap III (tahun 2027-2032); dan d. Tahap IV (tahun 2032-2037). Dalam setiap tahapan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah dilaksanakan penyelenggaraan penataan ruang secara berkesinambungan yang meliputi : a. sosialisasi RTRW; b. perencanaan rinci; c. pemanfaatan ruang; d. pengawasan dan pengendalian; dan e. evaluasi dan peninjauan kembali. Matrik indikasi program utama pemanfaatan ruang Kabupaten tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 46



Perwujudan rencana struktur ruang wilayah Kabupaten dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a terdiri atas:



sebagaimana



a. perwujudan sistem pusat kegiatan; dan b. perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah. Pasal 47 (1)



Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a terdiri atas: a. penyusunan rencana rinci tata ruang untuk PKL, PKLp, PPK, dan PPL; dan b. penataan PKL, PKLp, PPK, dan PPL.



40 (2)



Perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud Pasal 43 huruf b terdiri atas: a. perwujudan sistem jaringan transportasi; b. perwujudan sistem jaringan energi; c. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi; d. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan e. perwujudan sistem prasarana wilayah lainnya (3) Perwujudan sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Program pembangunan jalan dan jembatan meliputi: 1. Peningkatan jalan nasional; 2. Pembangunan dan peningkatan jalan provinsi; 3. Pembangunan dan peningkatan jalan kabupaten; 4. Pembangunan dan peningkatan jalan desa; dan 5. Pembangunan dan peningkatan jembatan. b. Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan meliputi: 1. Rehabilitasi/pemeliharaan jalan nasional; 2. Rehabilitasi/pemeliharaan jalan provinsi; 3. Rehabilitasi/pemeliharaan jalan kabupaten; 4. Rehabilitasi/pemeliharaan jalan desa; dan 5. Rehabilitasi/pemeliharaan jembatan. c. Program pembangunan sarana dan prasarana perhubungan meliputi: 1. Pembangunan terminal; 2. Pembangunan pelabuhan; 3. Peningkatan pelayanan angkutan melalui pengembangan trayek angkutan umum; 4. Optimalisasi sarana pengawasan dan pengamanan jalan; 5. Peningkatan ketersediaan dan kualitas perlengkapan jalan; 6. Pembangunan jalur kereta api; 7. Pengembangan stasiun kereta api; dan 8. Pembangunan sarana dan prasarana angkutan penyeberangan. (4) Perwujudan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Program pengembangan ketenagalistrikan meliputi: 1. Pengembangan pembangkit tenaga listrik dan gardu induk; 2. Pengembangan transmisi tenaga listrik; dan b. Program pengembangan energi meliputi pengembangan prasarana energi. (5) Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa pembangunan pusat telekomunikasi yang terdiri atas: a. Pengembangan jaringan serat optik; dan b. Pengembangan sistem telekomunikasi nirkabel. (6) Perwujudan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas: a. Program pengembangan, pengelolaan, konservasi sungai, danau dan sumber daya air lainnya meliputi: 1. Pengelolaan wilayah sungai; 2. Pengelolaan das 3. Pengelolaan dan pemeliharaan danau; 4. Pengembangan sistem pengendalian banjir. b. Program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk air bersih meliputi: 1. Penyediaan dan pengelolaan jaringan air baku untuk air bersih; dan 2. Penyediaan dan pengelolaan air bersih ke kelompok pengguna.



41 c. Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya meliputi: 1. Pengelolaan 2 (empat) daerah irigasi kewenangan pemerintah; 2. Pengelolaan 1 (satu) daerah irigasi kewenangan pemerintah provinsi; dan 3. Pengelolaan 126 (seratus dua enam) daerah irigasi kewenangan kabupaten. (7) Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e terdiri atas: a. Program pengembangan pengelolaan persampahan meliputi: 1. Penyusunan rencana induk pengelolaan persampahan kabupaten; 2. Penyediaan tps di setiap pusat kegiatan; dan 3. Pengkajian dan pengembangan TPPAS. b. Program pengembangan pengelolaan drainase meliputi: 1. Perencanaan drainase terpadu; 2. Pembangunan saluran drainase skala tersier; dan 3. Perbaikan dan normalisasi saluran drainase. c. Program pengembangan pengelolaan penyediaan air bersih meliputi: 1. Pengembangan dan peningkatan air minum perkotaan; dan 2. Peningkatan prasarana dan perluasan air bersih perdesaan. d. Program pengembangan pengelolaan limbah meliputi: 1. Peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga; 2. Pengembangan instalasi pengolahan air limbah terpadu; 3. Pengembangan instalasi pengolahan limbah b3; dan 4. Pengembangan kerjasama pengelolaan limbah lintas kabupaten. e. Program pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana meliputi: 1. Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam gempa bumi; 2. Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam longsor; 3. Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam letusan gunung berapi; 4. Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana banjir; dan 5. Pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana tsunami. Pasal 48 Perwujudan rencana pola ruang wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. b.



perwujudan kawasan lindung; dan perwujudan kawasan budidaya. Pasal 49



(1) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a terdiri atas: a. perwujudan kawasan hutan lindung; b. perwujudan kawasan kawasan bawahannya;



yang



memberikan



c. perwujudan kawasan perlindungan setempat;



perlindungan



terhadap



42 d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam; e. perwujudan kawasan lindung geologi; dan f.



perwujudan kawasan lindung lainnya.



(2) Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penetapan batas kawasan hutan lindung; b. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan hutan lindung; c. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya ; d. pemberian insentif pengelolaan kawasan e. pelaksanaan program pembinaan kawasan hutan lindung;



dan



sosialisasi



pelestarian



(3) Perwujudan kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya berupa kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. penetapan batas kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; b. pengendalian kegiatan budi daya; c. Pemberian insentif terhadap kegiatan budi daya yang menunjang fungsi lindung kawasan; d. pengaturan kegiatan di kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya yang dimiliki masyarakat; e. pengendalian kegiatan yang bersifat menghalangi masuknya air hujan ke dalam tanah; f.



pengolahan sistem terasering dan vegetasi yang mampu menahan dan meresapkan air; dan



g. pelaksanaan kawasan.



program



pembinaan



dan



sosialisasi



pelestarian



(4) Perwujudan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. perlindungan sempadan sungai dan saluran irigasi meliputi : 1. Penetapan sempadan sungai dan irigasi di kawasan perkotaan dan perdesaan; 2. Penetapan pemanfaatan ruang sempadan sungai dan irigasi; 3. Penertiban bangunan di atas saluran irigasi; 4. Penghijauan; dan 5. Pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan. b. perlindungan kawasan sekitar danau, waduk dan embung meliputi: 1. Penetapan batas kawasan danau, waduk dan embung serta sempadannya; 2. Penetapan batas kawasan pasang surut; 3. Penghijauan; dan 4. Pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan.



43 (5) Perwujudan kawasan lindung suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. perlindungan kawasan cagar alam meliputi: 1. Penetapan batas kawasan cagar alam; 2. Pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan cagar alam; 3. Pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar alam; b. perlindungan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan meliputi: 1. Penetapan batas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 2. Pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; 3. Pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;dan 4. Pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. (6) Perwujudan kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas: a. perlindungan kawasan rawan banjir meliputi: b. penetapan batas kawasan rawan banjir; c. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya; d. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; dan e. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan banjir. (7) Perwujudan kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas: a. penetapan batas kawasan rawan bencana longsor; b. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya; c. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; dan d. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana longsor. (8) Perwujudan kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas: a. penetapan batas kawasan rawan bencana alam geologi; b. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; c. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan rawan bencana alam geologi; d. perlindungan jenis batuan dan tanah yang berpengaruh terhadap kesimbangan lingkungan kawasan; dan e. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan masyarakat di kawasan rawan bencana alam geologi.



kepada



44 Pasal 50 (1) Perwujudan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b terdiri atas: a. perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi; b. perwujudan kawasan peruntukan pertanian; c. perwujudan kawasan peruntukan perikanan; d. perwujudan kawasan peruntukan pertambangan; e. perwujudan kawasan peruntukan industri; f. perwujudan kawasan peruntukan pariwisata; g. perwujudan kawasan peruntukan permukiman; dan h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya. (2) Perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penetapan kawasan dan strategi penanganan kawasan hutan produksi; b. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan; c. mensinergikan pengelolaan hutan produksi dengan kegiatan perkebunan, pertanian dan peternakan bagi masyarakat sekitarnya; dan d. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan hutan produksi. (3) Perwujudan kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan agribisnis tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan; b. pengembangan sentra-sentra pertanian berbasis agropolitan; c. peningkatan produksi tanaman; d. pengendalian secara ketat kegiatan budi daya lainnya yang merusak fungsi pertanian; e. peningkatan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil pertanian; f. mensinergikan kegiatan budi daya pertanian campuran; g. pemberian insentif kepada petani hortikultura; h. sosialisasi dan workshop pengelolaan pertanian pangan berkelanjutan; i. memanfaatkan lahan budidaya yang tidak produktif untuk usaha peternakan; dan j. memperluas kawasan perkebunan. (4) Perwujudan kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. pengembangan agribisnis perikanan; b. peningkatan pengelolaan budi daya perikanan; c. penetapan batas kawasan; d. pengembangan kawasan minapolitan; e. pengendalian baku mutu perairan kawasan; dan f. pengembangan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil perikanan.



45 (5) Perwujudan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana pada ayat (1) huruf d meliputi: a. identifikasi potensi tambang; b. penetapan kawasan pertambangan yang dapat dieksploitasi; c. reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang; d. pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan tambang; e. penyusunan program penelitian deposit sumber daya mineral dan energi; f. pemantauan dan pengendalian kegiatan usaha penambangan; g. pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan secara berkelanjutan; dan h. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan. (6) Perwujudan kawasan peruntukan industri sebagaimana pada ayat (1) huruf e meliputi: a. identifikasi dampak lingkungan kegiatan industri; b. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kawasan; c. pengembangan dan pengelolaan kawasan peruntukan industri secara berkelanjutan; d. pemberian insentif terhadap pengelolaan industri secara berkelanjutan; dan e. peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal untuk mendukung penyediaan tenaga kerja. (7) Perwujudan kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana pada ayat (1) huruf f meliputi: a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA); b. pengoptimalan potensi budaya, alam dan keunikan lokal sebagai potensi obyek wisata; c. peningkatan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan; d. mensinergikan kegiatan lainnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata; e. peningkatan sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas untuk menunjang kepariwisataan; dan f. peningkatan sistem informasi wisata. (8) Perwujudan kawasan peruntukan permukiman sebagaimana pada ayat (1) huruf g meliputi: a. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang permukiman; b. identifikasi permasalahan kawasan permukiman di kawasan perkotaan dan perdesaan; c. penyusunan masterplan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan; dan d. penyediaan berbagai fasilitas pendukung yang mampu mendorong perkembangan kawasan permukiman.



46 (9) Perwujudan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana pada ayat (1) huruf h berupa kawasan pertahanan dan keamanan negara meliputi: a.



penetapan batas kawasan;



b.



pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan;



c.



pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan;



d.



mensinergikan dengan kegiatan budi daya masyarakat sekitar; dan



e.



sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan pertahanan dan keamanan negara. Pasal 51



Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c terdiri atas perwujudan KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; Pasal 52 Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 terdiri atas:



pertumbuhan



ekonomi



a. penyusunan rencana rinci kawasan; b. penyusunan peraturan zonasi; c. pembangunan infrastruktur air bersih, limbah, sampah, drainase; d. pembangunan perumahan; dan e. pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi.



BAB VIII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 53 Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten terdiri atas: a.



Ketentuan umum peraturan zonasi;



b.



Ketentuan perizinan;



c.



Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan



d.



Arahan pengenaan sanksi. Bagian Kedua Pasal 54



(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi disusun berdasarkan klasifikasi setiap kawasan dalam pemanfaatan ruang.



47 (3) Ketentuan umum peraturan zonasi digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan perizinan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang; b. Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang; dan c. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan; dan b. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; dan b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budi daya. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri atas ketentuan umum peraturan zonasi KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; dan (8) Ketentuan umum peraturan zonasi memuat ketentuan mengenai: a. jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan; b. intensitas pemanfaatan ruang; c. prasarana dan sarana minimum; dan d. ketentuan lain yang dibutuhkan. Pasal 55 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (5) huruf a terdiri atas: a.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan; dan



b.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan.



(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan: a. b.



c.



diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem perkotaan dan jaringan prasarana; diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perkotaan; dan intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur dengan intensitas kepadatan tinggi hingga menengah.



(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan ketentuan: a.



diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem perdesaan dan jaringan prasarana;



b.



diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perdesaan; dan



c.



intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur rendah.



48 Pasal 56 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (5) huruf b huruf terdiri atas: a.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;



b.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi;



c.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi;



d.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumberdaya air; dan



e.



Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya. Pasal 57



(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a terdiri atas:



transportasi



a.



Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan;



b.



Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api;



c.



Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang;



d.



Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana angkutan sungai dan danau/waduk; dan



e.



Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan.



(2) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri; b. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor; dan c. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun dengan ketentuan: a.



pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;



b.



tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;



c.



tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum;



d.



diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan;



e.



penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan



f.



tidak diperbolehkan kegiatan lalu lintas lokal yang mengganggu lalu lintas jarak jauh.



(4) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun dengan ketentuan: a.



pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;



b.



tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;



49 c.



tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum;



d.



diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan;



e.



penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan



f.



Jalan kolektor yang memasuki kawasan perkotaan kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.



dan/atau



(5) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga rendah; b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum; d. diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan; e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan f.



Jalan lokal yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.



(6) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api disusun dengan intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; c.



diperbolehkan secara terbatas pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;



d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan e.



penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.



(7) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan untuk prasarana terminal bagi pergerakan orang dan kendaraan; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang dapat mengganggu kegiatan tersebut; dan c.



pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang harus memperhatikan kebutuhan ruang, agar tidak menggangu pergerakan kendaraan lainnya.



50 (8) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana angkutan sungai, danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan angkutan sungai, danau/waduk; b. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur angkutan sungai, danau/waduk; c.



tidak diperbolehkan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan angkutan sungai, danau/waduk; dan



d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur penyeberangan danau/waduk, termasuk pemanfaatan ruang di alur danau/ penyeberangan. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan angkutan pelabuhan; b. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran pelabuhan; c.



tidak diperbolehkan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan angkutan pelabuhan;



d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran, termasuk pemanfaatan ruang di pelabuhan; e.



pembatasan pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan



f.



pembatasan pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulaupulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran. Pasal 58



(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit tenaga listrik dan jalur transmisi; dan b. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan panas bumi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit listrik dan jalur transmisi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. mengalokasikan wilayah penyangga pada sekitar pembangkit listrik; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit tenaga listrik yang tidak sesuai dengan fungsinya; dan c. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan panas bumi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian, perkebunan dengan syarat tidak merubah bentang alam;



51 b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan fungsinya di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi; c.



tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi; dan



d. diperbolehkan secara terbatas pemanfaatan ruang dengan intensitas rendah di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan syarat memperhatikan keselamatan dan keamanan sekitarnya. Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan serta ruang terbuka hijau dengan syarat tidak menganggu batas yang ditetapkan; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sekitar stasiun bumi dan menara pemancar; dan c.



pembatasan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya. Pasal 60



(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d terdiri atas: a. Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih; b. Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi; dan c. Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana danau. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sumber daya air yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai dan danau. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar daerah irigasi yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai agar tetap dapat dijaga kelestariannya.



52 (4) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan perikanan sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar danau yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah danau agar tetap dapat dijaga kelestariannya. Pasal 61 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf e terdiri atas: a. Ketentuan umum persampahan;



peraturan



zonasi



sistem



jaringan



prasarana



b. Ketentuan drainase;



peraturan



zonasi



sistem



jaringan



prasarana



c. Ketentuan umum peraturan pengelolaan limbah; dan



zonasi



sistem



jaringan



prasarana



umum



d. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang evakuasi bencana. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan daur ulang sampah sepanjang tidak merusak lingkungan dan bentang alam maupun perairan setempat; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar TPPAS yang dapat mengganggu kualitas lingkungan; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar tppas. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian/RTH sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu badan air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sungai/saluran utama untuk kegiatan yang akan merusak perairan; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar sungai dan saluran utama agar tetap dapat dijaga kelestariannya. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu unit pengolahan limbah domestik;



53 b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar pengolahan limbah dengan radius 100 (seratus) meter persegi; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar pengolahan limbah agar tetap dapat dijaga keberlanjutannya. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. dibolehkan kegiatan perhubungan dan komunikasi; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang menghambat kelancaran akses jalur evakuasi. Pasal 62 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 ayat (6) huruf a meliputi: a. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung; b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air; c. Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai; d. Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai; e. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar danau; f. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam; g. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; h. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir; i. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor; j. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam gempa bumi; k. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi; l. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tsunami; dan m. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pesisir. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang budidaya bagi penduduk asli dengan syarat luasan tetap dan tidak mengurangi fungsi kawasan lindung; c. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk mendukung sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumberdaya air dan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya yang diatur sesuai dengan ketentuan perundanundangan berlaku;dan



54 d. tidak diperbolehkan kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. diperbolehkan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; c. penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya; dan d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengurangi daya serap tanah terhadap air. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. garis sempadan pantai ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan pantai berupa ruang terbuka hijau; c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; d. diperbolehkan pendirian bangunan di sempadan pantai dengan syarat untuk pengelolaan kegiatan perikanan, pelabuhan, dan pariwisata; e. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam, kondisi fisik kawasan, serta kelestarian lingkungan hidup; f. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan kegiatan perikanan, pelabuhan, dan pariwisata; g. perlindungan terhadap gempa dan atau tsunami; h. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; i. perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir dan bencana alam lainnya; j. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; k. pengaturan akses publik; dan l. pengaturan untuk saluran air dan limbah. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan sungai berupa Ruang Terbuka Hijau; b. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air /sungai;



55 c. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi; dan d. diperbolehkan pendirian bangunan dengan syarat hanya untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. garis sempadan danau ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan danau berupa ruang terbuka hijau; c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air danau; d. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi; e. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk pengelolahan badan air dan/atau pemanfaatan air; dan f. bila sempadan waduk/situ juga berfungsi sebagai taman rekreasi, maka dapat didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan Cagar Alam (CA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan lain yang menunjang budidaya; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar alam meliputi: c. melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan; d. memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan; e. memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam kawasan; f. menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan; dan g. mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan pariwisata; b. tidak diperbolehkan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat merusak kekayaan budaya;



56 d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan; e. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, monumen nasional, serta wilayah dengan bentukan geologi tertentu; dan f. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat pelestarian budaya masyarakat setempat.



mengganggu



upaya



(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan: a. penetapan batas dataran banjir; b. diperbolehkan pemanfaatan dataran banjir bagi rth dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; c. tidak diperbolehkan kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting; dan d. kegiatan struktur atau fisik untuk mitigasi bencana banjir meliputi: i. penyediaan sistem peringatan dini; ii. pembangunan bangunan pengendalian banjir; dan iii. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan: a. penetapan batas rawan bencana longsor; b. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kelerengan lebih besar dari 40 (empat puluh) persen; c. pembatasan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah sekitar rawan bencana longsor; d. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi; e. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; dan f. kegiatan struktur atau fisik untuk mitigasi bencana longsor meliputi: i. perkuatan lereng; ii. pembangunan jaringan drainase lereng; dan iii. pengaturan geometri lereng dengan pelandaian lereng atau pembuatan terasering. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pada jalur sesar untuk kegiatan permukiman, industri, perdagangan dan jasa; b. tidakdiperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya. d. diperbolehkan kegiatan hutan produksi; e. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi.



57 (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekowisata dengan syarat tidak mengganggu fungsi lindung; b. diperbolehkan kegiatan hutan produksi; c. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya; dan e. kegiatan struktur atau fisik untuk mitigasi bencana letusan gunung api meliputi: i. penyediaan sistem peringatan dini; ii. penyediaan bunker; iii. pembangunan jalur lahar; dan iv. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n disusun dengan ketentuan: a. penetapan deliniasi kawasan rawan bencana tsunami b. pengendalian izin kegiatan wisata alam, pendidikan, penelitian dalam rangka mengembangkan ilmu penegetahuan; c. tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengubah dan/atau merusak bentang alam; d. diperbolehkan penyediaan sistem peringatan dini; e. diperbolehkan penggunaan bangunan peredam tsunami; f. diperbolehkan penyediaan fasilitas penyelamatan diri; g. diperbolehkan penyediaan prasarana dan sarana kesehatan; h. diperbolehkan penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami; i. kegiatan struktur atau fisik untuk mitigasi bencana tsunami meliputi: i. penyediaan sistem peirngatan dini; ii. penggunaan bangunan peredam tsunami; iii. penyediaan fasilitas penyelamatan diri; iv. penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami; v. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan; vi. vegetasi pantai; dan vii. pengelolaan ekosistem pesisir. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi peruntukan kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf p ditetapkan dengan ketentuan: a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian plora, fauna dan ekosistem unik kawasan; c. pengelolaan ekosistem kawasan pesisir; dan d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan.



58 Pasal 63 (1)



Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 ayat (6) huruf b meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasn hutan produksi yang dapat di konversi; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya hortikultura; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya perkebunan g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya peternakan; h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan; i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan; j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri; k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata; l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan; m. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan; dan n. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan; b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan; c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung; d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; dan e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan; b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan; c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung; d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung; f. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumberdaya kehutanan; dan g. ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan adalah: 1. lebih dari 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk; 2. lebih dari 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air; 3. kiri kanan sungai di daerah rawa; 4. lebih dari 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;



59 5. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 6. lebih dari 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 7. ketentuan konversi hutan produksi (sesuai RTRWP sumatera utara), di luar hutan suaka alam dan hutan konversi, dan secara ruang dicadangkan untuk pengembangan transportasi, permukiman, pertanian, perkebunan dan industri; 8. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap das minimal 30 (tiga puluh) persen dari luas daratan; dan 9. ketentuan luas hutan kurang dari 30 (tiga puluh) persen perlu menambah luas hutan, dan luas hutan lebih dari 30 (tiga puluh) persen tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan; b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan; c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung; d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung; f. ketentuan konversi hutan produksi (sesuai RTRWP sumatera utara), di luar hutan suaka alam dan hutan konversi, dan secara ruang dicadangkan untuk pengembangan transportasi, permukiman, pertanian, perkebunan dan industri; g. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap das minimal 30 (tiga puluh) persen dari luas daratan; dan h. ketentuan luas hutan kurang dari 30 (tiga puluh) persen perlu menambah luas hutan, dan luas hutan lebih dari 30 (tiga puluh) persen tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan mendirikan rumah tinggal dengan syarat tidak mengganggu fungsi pertanian dengan intensitas bangunan berkepadatan rendah; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; c. diperbolehkan aktivitas pendukung pertanian; d. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi luas kawasan sawah beririgasi; e. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan; dan f. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kawasan sawah irigasi yang terkena saluran irigasi. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian lahan basah dan kering; b. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk hortikultura; dan c. Diperbolehkan mendirikan rumah tinggal dengan syarat tidak mengganggu fungsi pertanian dengan intensitas berkepadatan rendah; dan d. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah.



60 (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan mendirikan perumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi perkebunan; b. diperbolehkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya penyelenggaraan aktivitas pembenihan; dan c. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan potensi peternakan di wilayah pemeliharaan; b. diperbolehkan pengkajian daur kehidupan ternak dan pengukuran produktivitas ternak komersial; c. diperbolehkan peningkatan nilai tambah peternakan melalui pengembangan industri pengelolaan hasil peternakan; d. tidak diperbolehkan pengelolaan yang merusak kawasan lingkungan; dan e. tidak diperbolehkan pengembangan dan pemeliharaan ternak pada kawasan permukiman perkotaan. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pembudidaya ikan air tawar; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di perairan umum; c. diperbolehkan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan memperhatikan kelestariannya; d. diperbolehkan pemanfaatan kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air deras, kolam jaring apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (10)Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk melakukan pengawasan volume produksi; b. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk mengendalikan dampak lingkungan dan sosial; c. diperbolehkan pemanfaatan sumberdaya mineral, energi, dan bahan galian lainnya untuk kemakmuran rakyat; d. diperbolehkan upaya rehabilitasi lahan pasca kegiatan pertambangan; e. diperbolehkan kegiatan usaha pertambangan sumberdaya mineral, energi, dan bahan galian lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup; f. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan; g. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan-lahan bekas galian/penambangan;



61 h. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budi daya lainnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup; i. pada kawasan yang teridentifikasi keterdapatan minyak dan gas bumi serta panas bumi yang bersifat strategis nasional dan bernilai ekonomi tinggi, sementara lahan pada bagian atas kawasan tersebut meliputi kawasan lindung atau kawasan budi daya sawah yang tidak boleh alih fungsi, maka pengeboran eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak dan gas bumi serta panas bumi dapat dilaksanakan, namun harus disertai amdal; j. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya terdapat mata air penting atau pemukiman; k. tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai yang terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan; l. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain diperbolehkan sejauh mendukung atau tidak merubah fungsi utama kawasan; dan m. penambangan pasir atau sirtu di dalam badan sungai hanya diperbolehkan pada ruas-ruas tertentu yang dianggap tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j disusun dengan ketentuan: a. kegiatan industri yang dikembangkan diprioritaskan pada industri yang menyerap tenaga kerja, menggunakan bahan baku lokal dan tidak menggunakan air bawah tanah; b. untuk rencana pengembangan kegiatan industri yang baru diarahkan berada di dalam kawasan industri sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat memberikan dampak merusak/menurunkan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan limbah industri; d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan yang dapat berdampak pada kualitas lingkungan sebagai kawasan peruntukan industri; e. diperbolehkan pengembangan jenis industri yang ramah lingkungan dan memenuhi kriteria ambang limbah; f. diperbolehkan pengelolaan limbah terpadu dengan syarat sesuai standar keselamatan internasional bagi industri yang lokasinya berdekatan; g. diperbolehkan secara terbatas pembangunan perumahan baru di sekitar kawasan peruntukan industri; h. tidak diperbolehkan pengembangan industri yang menyebabkan kerusakan kawasan resapan air; i. diperbolehkan pengembangan industri yang tidak mengakibatkan kerusakan atau alih fungsi kawasan lindung dan lahan pertanian basah; j. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesbilitas; dan k. setiap kegiatan industri harus dilengkapi upaya pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan limbah dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi amdal.



62 (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan: a. pembatasan kegiatan dan pendirian bangunan hanya untuk yang menunjang kegiatan wisata pada lokasi yang bersangkutan; b. diperbolehkan untuk pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat; c. penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak mengganggu fungsi kawasan lindung; d. pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang mengganggu fungsi kawasan lindung, terutama resapan air; e. tidak diperbolehkan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur setempat, bentang alam dan pandangan visual;Persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sesuai ketentuan perundangundangan; dan f. pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan pariwisata sesuai prinsip-prinsip pemugaran. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan perkotaan didukung fasilitas dan prasarana yang sesuai dengan skala pelayanannya b. intensitas pemanfaatan ruang tinggi hingga menengah, dan mulai dikembangkan bangunan vertikal/bertingkat serta kasiba/lisiba; c. pengembangan kawasan ruang terbuka hijau (rth) paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas kawasan perkotaan; d. tidak diperbolehkan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan perkotaan; e. pembatasan terhadap kegiatan budidaya bukan perkotaan yang dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan perkotaan; dan f. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m disusun dengan ketentuan: a. kegiatan permukiman perdesaan dengan intensitas pemanfaatan rendah-sedang; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan permukiman perdesaan; c. pembatasan terhadap kegiatan budidaya yang dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan permukiman perdesaan; d. ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang sehat dan aman dari bencana alam, serta kelestarian lingkungan hidup dengan memperhatikan kaidah konservasi dan ekoarsitektur; dan e. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan. (15) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dengan ketentuan: a. diperbolehkan peningkatan dominasi hunian dengan fungsi utama sebagai kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan negara; b. diperbolehkan peningkatan akses menuju pusat kegiatan pertahanan dan keamanan negara baik yang terdapat di dalam maupun di luar kawasan; c. diperbolehkan mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya tidak terbangun sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan dan keamanan dengan kawasan budi daya terbangun; dan



63 d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan budi daya di dalam dan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan negara untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan negara. Pasal 64 Ketentuan umum peraturan zonasi KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (7) huruf a dengan ketentuan: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi harus ditunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga menimbulkan minat investasi yang besar; b. pada setiap bagian dari kawasan harus diupayakan untuk mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai kondisi kawasan masingmasing; c. diperbolehkan mengalokasikan ruang atau zona secara khusus untuk industri, perdagangan-jasa dan jasa wisata perkotaan sehingga secara keseluruhan menjadi kawasan yang menarik; d. diperbolehkan mengalokasikan kawasan khusus pengembangan sektor informal pada pusat-pusat kegiatan masyarakat; e. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk memberikan kesegaran ditengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona tersebut harus tetap dipertahankan; f. diperbolehkan diadakan perubahan ruang pada zona yang bukan zona inti (untuk pergadangan–jasa, dan industri) tetapi harus tetap mendukung fungsi utama kawasan sebagai penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi zona utama yang telah ditetapkan; g. diperbolehkan melakukan perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang terbuka di kawasan ini sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan ruang terbuka (tetapi tidak boleh untuk rth kawasan perkotaan); h. tidak diperbolehkan melakukan perubahan fungsi dasar zona yang dinilai penting; i. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu (misalnya industri) permukiman harus disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh bertentangan secara langsung pada zona yang berdekatan; dan j. tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan pada kawasan terbangun. Pasal 65 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b merupakan proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.



64 (2)



Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. izin prinsip; b. izin lokasi; c. izin peruntukan penggunaan tanah (ippt); d. izin mendirikan bangunan gedung; dan e. izin lainnya.



Pasal 66 (1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh izin pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW Kabupaten. (2) Izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat dan kebiasaan yang berlaku. (3) Pelaksanaan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas pertimbangan dan tujuan sebagai berikut: a. melindungi kepentingan umum (public interest); b. menghindari eksternalitas negatif; dan c. menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas minimum yang ditetapkan pemerintah daerah. (4) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman modal wajib memperoleh izin pemanfaatan ruang dari Bupati. (5) Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil forum koordinasi BKPRD. Pasal 67 (1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a merupakan persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah. (2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya, yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip akan ditetapkan dengan peraturan Bupati.



(1)



(2)



Pasal 68 Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b merupakan izin yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk memperoleh tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. Izin lokasi diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk luas 1 (satu) hektar sampai 25 (dua puluh lima) hektar diberikan izin selama 1 (satu) tahun; b. untuk luas lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar sampai dengan 50 (lima puluh) hektar diberikan izin selama 2 (dua) tahun; dan



65



(3)



c. untuk luas lebih dari (lima puluh) hektar diberikan izin selama 3 (tiga) tahun. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 69



(1)



Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf c adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah lebih dari 5.000 (lima ribu) meter per segi.



(2)



Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 70



(1)



Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d merupakan izin yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis.



(2)



Ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 71



(1)



Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf e merupakan ketentuan izin lingkungan serta izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan.



(2)



Setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa manfaatnya jauh lebih besar dari kerugiannya bagi semua pihak terkait sebelum dapat diberikan izin.



(3)



Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 72



(1)



Pemerintah daerah dapat memberikan insentif dan disinsentif terhadap kegiatan yang memanfaatkan ruang.



(2)



Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.



(3)



Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.



66 Pasal 73 (1)



Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau insentif non fiskal.



(2)



Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. keringanan atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi; b. kompensasi; c. subsidi silang; d. imbalan; e. sewa ruang; dan f. kontribusi saham.



(3)



Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pembangunan dan pengadaan prasarana; b. kemudahan prosedur perizinan; dan c. penghargaan.



(4)



Insentif yang diberikan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) terdiri atas: a. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang; dan b. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.



(5)



Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas: a. keringanan biaya sertifikasi tanah; b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan c. pemberian penghargaan kepada masyarakat.



(6)



Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas: a. kemudahan prosedur perizinan; b. kompensasi; c. subsidi silang; d. imbalan; e. sewa ruang; f.



kontribusi saham; dan



g. pemberian penghargaan. Pasal 74 (1)



Pemberian disinsentif diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.



(2)



Disinsentif yang diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:



67 a. pengenaan pajak daerah dan/atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. penghentian izin; dan d. penalti. Pasal 75 (1)



Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi berwenang.



(2)



Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 76



Arahan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf d merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c.



pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan rtrw kabupaten;



d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; e.



pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten;



izin



f.



pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan



g.



pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Pasal 77



(1)



Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif.



68 (2)



Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c dikenakan sanksi administratif terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. denda administratif. h. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara administratif diatur dalam peraturan bupati.



pengenaan



sanksi



BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 78 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. BAB X PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 79 (1) Penyelesaian sengketa penataan ruang diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. BAB X PENYELIDIKAN Pasal 80 (1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.



69 (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Pasal 81 (1)



Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten.



(2)



Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar dan atau tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, dibatalkan oleh pemerintah menurut kewenangan masing-masing sesuai ketentuan perundang-undangan.



(3)



Izin pemanfaatan ruang yang telah diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, termasuk akibat adanya perubahan RTRWK, dapat dibatalkan dan dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.



70 BAB IX KELEMBAGAAN Pasal 82 (1)



Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang di wilayah Kabupaten dan kerjasama antar sektor/ antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).



(2)



Tugas, susunan organisasi dan tata kerja BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati. BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 83



Dalam penataan ruang, masyarakat berhak untuk: a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Pasal 84 (1) Untuk mengetahui rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a masyarakat dapat memperoleh melalui: a. lembaran daerah kabupaten; b. papan pengumuman di tempat-tempat umum; c. penyebarluasan informasi melalui brosur; d. instansi yang menangani penataan ruang; dan/atau e. Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten. (2)



Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten dikembangkan secara bertahap melalui berbagai media elektronik untuk mempermudah akses informasi tata ruang dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.



71



Pasal 85 (1)



Untuk menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b didasarkan pada hak atas dasar pemilikan, penguasaan atau pemberian hak tertentu yang dimiliki masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, ataupun atas hukum adat dan kebiasaaan atas ruang pada masyarakat setempat.



(2)



Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang melembaga pada masyarakat secara turun temurun dapat dilanjutkan sepanjang telah memperhatikan faktor daya dukung lingkungan, estetika, struktur pemanfaatan ruang wilayah yang dituju, serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 86



Dalam pemanfaatan ruang, masyarakat wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 87 (1)



Pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d untuk kawasan milik umum yang aksesibilitasnya memenuhi syarat: a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.



(2)



Kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang terbuka publik dan fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku. Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 88



Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam perencanaan tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.



72



Pasal 89 Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf a terdiri atas: (1) Memberi masukan mengenai: a. persiapan penyusunan rencana tata ruang; b. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; c. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; d. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau e. Penetapan rencana tata ruang. (2) Bekerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 90 Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf b terdiri atas: a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 91 Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf c terdiri atas:



ruang



a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; c. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan



73 d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 92 Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.



BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN (1)



(2)



(3) (4)



(5)



(6)



(7)



Pasal 93 Dalam hal terbitnya peraturan dan/atau keputusan perubahan kawasan hutan oleh Menteri yang menangani urusan pemerintahan bidang kehutanan terhadap kawasan hutan yang dilakukan holding zone dan outline, maka dilaksanakan pengintegrasian perubahan kawasan hutan tersebut dalam Peraturan Daerah ini dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Batas kawasan hutan yang diacu adalah batas kawasan yang telah dilakukan penunjukan kawasan hutan, tata batas kawasan hutan dan/atau penetapan kawasan hutan yang didasarkan kepada surat keputusan terakhir dari menteri yang membidangi kehutanan. Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 (dua puluh) yaitu tahun 2017– 2037 dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial provinsi yang di tetapkan dengan peraturan perundang-undang, RTRW Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang Kabupaten dan/atau dinamika internal Kabupaten. Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten dilengkapi dengan Buku Rencana dan Album Peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan.



74 Pasal 94 (1) Untuk operasionalisasi RTRW Kabupaten, disusun rencana rinci tata ruang terdiri atas: a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten; dan b. Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten. (2)



Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kawasan perkotaan Sipirok; b. Kawasan perkotaan Batang Toru; c. Kawasan perkotaan Pintu Padang; d. Kawasan perkotaan Pargarutan; e. Kawasan perkotaan Simarpinggan; dan f. Kawasan perkotaan Sitinjak.



(3)



Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:



(KSK)



a. KSK Batang Toru berada di Kecamatan Batang Toru; b. KSK Minapolitan Muaru Upu berada di Kecamatan Muara Batang Toru; c. KSK Agropolitan Sitinjak berada di Kecamatan Angkola Barat; d. KSK Agropolitan Sipirok berada di Kecamatan Sipirok; dan e. KSK Agropolitan Pintu Padang berada di Kecamatan Batang Angkola. (4)



Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



BAB XII KETENTUAN PERALIHAN (1)



(2)



(3)



Pasal 95 Penetapan peruntukan kawasan pada Peraturan Daerah ini tidak menghalangi dan menggugurkan hak kepemilikan orang atau badan terhadap hak atas tanah atau lahan dengan pemanfaatan pada lahan sebagaimana dimaksud tetap mengacu kepada rencana peruntukan kawasan. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:



75 1) untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah ini; 2) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruangnya dilakukan dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan 3) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak berdasarkan musyawarah mufakat. c. Pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan daerah ini dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini; d. Pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut : 1) yang bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini pemanfaatan ruang yang bersangkutan diterbitkan dan disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2) yang sesuai dengan Ketentuan peraturan daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan. Pasal 96 RTRW Kabupaten yang diatur dan ditetapkan dalam peraturan daerah ini dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun dan atau dilaksanakan evaluasi untuk penyesuaian terhadap kondisi dan kebutuhan daerah. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 97 Buku Materi Teknis dan Album Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun 2017-2037 serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 98 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.



76 Pasal 99 Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Ditetapkan di Sipirok pada tanggal BUPATl TAPANULI SELATAN



ttd SYAHRUL M. PASARIBU Diundangkan di Sipirok pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN ttd



PARULIAN NASUTION



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2017 ........... NOMOR NOMOR REGISTRASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA: (5/145/2017)



Salinan sesuai dengan aslinya Plt.KEPALA BAGIAN HUKUM



MOH. SAID, SH. Pembina Tk.I NIP. 19660409199503 1 002



77 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR



TAHUN 2016



TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2017 – 2037



I.



KETENTUAN UMUM



Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota, disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang perairan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa wilayah Kabupaten yang berkedudukan sebagai wilayah administrasi, terdiri atas wilayah darat dan wilayah perairan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah antara lain disebutkan bahwa pemberian kedudukan Kabupaten sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi dilakukan dengan pertimbangan untuk memelihara hubungan serasi antara pusat, propinsi dan daerah, untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas Kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom menyebutkan bahwa kewenangan Kabupaten sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kewenangan dalam bidang tertentu, termasuk bidang penataan ruang. Dalam menentukan kewenangan Kabupaten digunakan kriteria yang berkaitan dengan pelayanan pemanfaatan ruang dan konflik kepentingan pemanfaatan ruang di setiap wilayah Kecamatan. Ruang merupakan suatu wadah atau tempat bagi manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola. Ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. Ruang sebagai salah satu sumberdaya alam tidak mengenal batas wilayah. Berkaitan dengan pengaturannya, diperlukan kejelasan batas, fungsi dan sistem dalam satu ketentuan. Wilayah Kabupaten Tapanuli selatan meliputi daratan, perairan dan udara, meliputi wilayah kecamatan yang merupakan suatu ekosistem. Wilayah



78 kecamatan sebagai suatu subsistem memiliki kegiatan meliputi aspek politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya. Penataan Ruang Kabupaten Tapanuli selatan adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten di wilayah yang menjadi kewenangan Kabupaten, dalam rangka optimalisasi dan mensinergikan pemanfaatan sumberdaya daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Tapanuli selatan. Penataan ruang Kabupaten Tapanuli selatan yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lainnya dan pada pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lainnya, sehingga akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan serta dalam pengaturan ruang yang dikembangkan perlu suatu kebijakan penataan ruang Kabupaten Tapanuli selatan yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Selanjutnya dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Tapanuli selatan harus sesuai dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli selatan yang disepakati. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Cukup Jelas Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4 Cukup Jelas



Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas



79 Pasal 7 Cukup Jelas Pasal 8 Cukup Jelas Pasal 9 Cukup Jelas Pasal 10 Cukup Jelas



Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Cukup Jelas Pasal 13 Cukup Jelas Pasal 14 Cukup Jelas Pasal 15 Cukup Jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup Jelas Pasal 18 Cukup Jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup Jelas



80 Pasal 21 Cukup Jelas Pasal 22 Cukup Jelas Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Cukup Jelas Pasal 25 Cukup Jelas Pasal 26 Cukup Jelas Pasal 27 Cukup Jelas Pasal 28 Cukup Jelas Pasal 29 Cukup Jelas Pasal 30 Cukup Jelas Pasal 31 Cukup Jelas Pasal 32 Cukup Jelas Pasal 33 Cukup Jelas Pasal 34 Cukup Jelas Pasal 35 Cukup Jelas



81 Pasal 36 Cukup Jelas Pasal 37 Cukup Jelas Pasal 38 Cukup Jelas Pasal 39 Cukup Jelas Pasal 40 Cukup Jelas Pasal 41 Cukup Jelas Pasal 42 Cukup Jelas Pasal 43 Cukup Jelas Pasal 44 Cukup Jelas Pasal 45 Cukup Jelas Pasal 46 Cukup Jelas Pasal 47 Cukup Jelas Pasal 48 Cukup Jelas Pasal 49 Cukup Jelas



82 Pasal 50 Cukup Jelas Pasal 51 Cukup Jelas Pasal 52 Cukup Jelas Pasal 53 Cukup Jelas Pasal 54 Cukup Jelas Pasal 55 Cukup Jelas Pasal 56 Cukup Jelas Pasal 57 Cukup Jelas Pasal 58 Cukup Jelas Pasal 59 Cukup Jelas Pasal 60 Cukup Jelas Pasal 61 Cukup Jelas Pasal 62 Cukup Jelas Pasal 63 Cukup Jelas Pasal 64 Cukup Jelas



83 Pasal 65 Cukup Jelas Pasal 66 Cukup Jelas Pasal 67 Cukup Jelas Pasal 68 Cukup Jelas Pasal 69 Cukup Jelas Pasal 70 Cukup Jelas Pasal 71 Cukup Jelas Pasal 72 Cukup Jelas Pasal 73 Cukup Jelas Pasal 74 Cukup Jelas Pasal 75 Cukup Jelas Pasal 76 Cukup Jelas Pasal 77 Cukup Jelas Pasal 78 Cukup Jelas Pasal 79 Cukup Jelas



84 Pasal 80 Cukup Jelas Pasal 81 Cukup Jelas Pasal 82 Cukup Jelas Pasal 83 Cukup Jelas Pasal 84 Cukup Jelas Pasal 85 Cukup Jelas Pasal 86 Cukup Jelas Pasal 87 Cukup Jelas Pasal 88 Cukup Jelas Pasal 89 Cukup Jelas Pasal 90 Cukup Jelas Pasal 91 Cukup Jelas Pasal 92 Cukup Jelas Pasal 93 Cukup Jelas Pasal 94 Cukup Jelas Pasal 95 Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR