S2 2015 357287 Introduction [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang. Bali memiliki bentuk-bentuk kebudayaan yang cukup beraneka ragam, kebiasaan masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara adat, upacara kematian, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan baik pada saat kelahiran salah seorang anggota keluarga maupun pada saat setelah meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memang memiliki begitu banyak nilai sehingga tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia, maka dari itu, manusia tetap melaksanakan tradisi dalam hidup dan kehidupannya, dikarenakan peran para leluhur yang mewariskan tradisi tersebut dari generasi ke generasi. Terkait dengan tradisi dalam ajaran Agama Hindu, masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama artinya empat jenjang kehidupan yang harus dijalani untuk mencapai moksa atas dasar keharmonisan hidup dalam ajaran Hindu.1 Catur Asrama dapat pula diartikan sebagai empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup seperti di mana pada tiap-tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan



1



Satyarsti,2012,“SeputarHindu”, http://www.satyakrsti.blogspot.com/2012_01_01_archive.html. diakses tanggal 25 Maret 2015



1



masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan masingmasing tentang dalam setiap jenjang menunjukkan ketenangan rohani. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut Brahmacari Asrama, Grahastha Asrama, Wanaprastha Asrama, Bhiksuka Sanyasin Asrama.2 Salah satu bagian Catur Asrama yaitu Grahasta Asrama merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata Grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, Stha artinya berdiri. Jadi Grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas dasar saling cinta mencintai dan ketulusan. Rumah tangga adalah lembaga yang didalamnya terdapat sepasang suami istri, dan kemudian anak-anaknya yang akan dibesarkan oleh suami istri itu sebagai ayah dan bunda. Ini adalah pengertian rumah tangga secara definitif. Dasar-dasar dalam rumah tangga dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu



2



K.M. Suhardana, 2007, Catur Purusartha Empat Tujuan Hidup Umat Hindu. Paramita, Surabaya, hlm 144



2



keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.3 Bagi para pemeluk agama, khususnya dalam ajaran agama hindu perkawinan bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Perkawinan



dihubungkan



dengan



upacara



keagamaan



sehingga



menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dari hukum agama, di mana syarat-syaratnya pun harus memenuhi ketentuan hukum agama4. Menurut Choilil Mansyur dalam buku sosiologi masyarakat kota dan desa adalah sebagai berikut: “Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya. Sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.” 5 Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang harus dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik norma agama maupun norma hukum dan keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang menentukan proses yang harus dilalui beserta ketentuan-ketentuan yang menentukan akibat hukumnya dinamakan dengan hukum perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha



3



Djoko Prakoso dan I Ketut Murdika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 1 4 Anak Agung Ngurah Gede Dirksen, 1986, Seri Hukum Perdata Hukum Perkawinan dan Permasalahannya, Setia Kawan, Denpasar, hlm.167. 5 Cholil Mansyur, 1994, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 19



3



Esa. Substansi pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk lainnya, tetapi perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.6 Pada Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berlakunya hukum adat dalam masyarakat sampai saat ini memberikan suatu gambaran bahwa keberadaan hukum adat masih diakui dan dilaksanakan sebagai suatu kepatuhan terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kalangan masyarakat hukum adat masih kuat mempertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (genealogis), maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga



yang bersangkutan.



Menurut



Hilman



Hadikusuma menyebutkan bahwa suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh dan retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula perkawinan itu bersangkut paut dengan warisan kedudukan dan harta kekayaan. 7 Melihat arti dan fungsi perkawinan menurut hukum adat, maka pengertian perkawinan menurut hukum adat lebih luas dari pengertian perkawinan menurut hukum perundang-undangan. Pelaksanaan perkawinan baik untuk pria dan wanita



6



Penjelasan UU No. 1 tahun. 1974, Penjelasan Umum, No. 4 a. Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 23 7



4



yang belum cukup dewasa mapun yang sudah dewasa dan mampu untuk mandiri, ada campur tangan dari orang tua keluarga dan kerabat ke dua pihak. Perkawinan sangat terkait dengan sistem kekerabatan yang dapat dilihat berdasarkan garis keturunan. Berbicara masalah sistem kekerabatan orang Bali, menurut T.O Ihromi yang diacu penulisan skripsi oleh I Nyoman Retiana berpendapat desain hidup dalam kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan ditentukan oleh prinsip patrilinial8. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa hanya anak laki-laki yang diakui sebagai penghubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seorang memperhitungkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan (menjadi konstruksi konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang menghubungkan para lelaki sebagai penghubung garis keturunan. Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial lainnya dalam kaitan dengan pengaturan permasalahannya yang berkenaan dengan kekerabatan, termasuk diantaranya norma-norma sosial bahwa seorang istri harus mengikuti suaminya tinggal disekitar kerabat suami, serta sesudah meninggal atau masih hidup harta dari seorang ayah diwariskan kepada anak laki-laki. Masyarakat hukum adat Bali merupakan salah satu masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial. Patrilinial dimaknai sebagai konsep yang status dan kedudukan kaum pria berada lebih tinggi dibandingkan dengan status



8



I Nyoman Retiana, 1998,“Hak Dan Kewajiban Wanita Bali Dalam Pewarisan Di Desa Pejaten Kabupaten Tabanan (Kasus Dalam Perkawinan Nyentana)”, Skripsi, Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, hlm.2



5



dan kedudukan kaum wanita dalam semua dimensi. Dimaksud dengan masyarakat hukum Patrilinial diantara sebagai berikut:9 1. Masyarakat hukum yang berdasarkan atas atau menarik garis keturunan hanya melalui garis bapak (laki-laki) saja. 2. Semua yang termasuk keluarga dalam arti ikatan hukum kekeluargaan adalah garis bapak/keturunan dari bapak. 3. Dalam perkawinan istri masuk kedalam keluarga bapak dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut adalah menjadi keluarga bapak. 4. Istri putus hubungan hukum dengan keluarga asalnya. 5. Hak dan kewajiban baik dilihat dari hukum perkawinan, keluarga dan hukum waris terletak di tangan garis keturunan keluarga bapak, termasuk dalam hubungannya dalam masyarakat. Bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan laki-laki pada masyarakat patrilinial, merupakan akhir cerita dari keluarga mereka, karena akan diteruskan oleh ahli waris dari keturunan keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah. Anak laki-laki bagi masyarakat patrilinial merupakan pelita dalam keluarga yang akan memberikan cahaya bagi orangtua dan masa depan keluarganya. Sejalan dengan sistem patrilinial yang dianut masyarakat hukum adat Bali, perkawinan yang biasa digunakan adalah perkawinan biasa. Sesuai dengan namanya, perkawinan biasa adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan Hindu di Bali yang diadakan dirumah keluarga besar suami. Perempuan dilamar sebelumnya, dalam perkawinan ini suami dikatakan berstatus sebagai purusa yang mempunyai hak dan kewajiban dirumahnya. Perempuan yang menjadi istri akan meminta doa restu pada leluhur di tempat sembahyang keluarga asal setelah kawin. Konsekuensi dari sistem kekeluargaan patrilinial atau



9



I.G.N. Sugangga, 1988, Hukum Adat Waris Pada Masyarakat Hukum Adat yang Bersistem Patrilinial di Indonesia, Semarang, hlm.15-16



6



kapurusa yang diikuti, selanjutnya dalam masyarakat hukum adat Bali dikenal dua bentuk perkawinan, yaitu:10 1. Perkawinan biasa atau dikenal dengan nganten biasa, dalam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya; 2. Perkawinan nyentana atau nyeburin, dalam hal ini pihak laki-laki yang yang meawak luh (berstatus wanita atau predana) dan meninggalkan keluarganya untuk masuk menjadi anggota keluarga istrinya yang meawak muani (berstatus sebagai laki-laki atau Purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat perkawinan dilangsungkan. Wanita yang dikawini secara Nyeburin berstatus sebagai Sentana Rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya. Berbeda halnya perkawinan yang dilakukan masyarakat hukum adat Bali di daerah Tabanan adalah melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan Nyentana adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dimana si suami sesudah kawin tinggal di kerabat istrinya dan melepaskan hubungan kekerabatan dengan keluarga asalnya. Dengan demikian secara agama dan hukum adat si istrilah yang berkedudukan sebagai ”laki-laki” (Purusa) dan sang suami berkedudukan sebagai perempuan (Predana) dalam perkawinan tersebut. Pada kenyataannya perkawinan nyentana dalam masyarakat hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan mengalami banyak masalah atau konflik-konflik yang ditimbulkannya. Dari hasil pra penelitian yang dilakukan di Desa Batan Pole 10



Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 85.



7



Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan masalah timbul karena sering terjadi pertengkaran dan percekcokan terus menerus sehingga tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga11. Perceraian tidak dapat dihindarkan, walaupun berbagai usaha dan upaya dilakukan telah dikerahkan untuk mempersatukan kembali keluarga. Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalanpersoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut.12 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut masalah yang dirumuskan peneliti dalam perkawinan nyentana di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan nyentana yang dijalankan dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? 2. Apa penyebab sengketa perkawinan nyentana yang terjadi dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? 3. Bagaimana penyelesaian sengketa perkawinan nyentana yang dilakukan dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan?



11



Wawancara dengan Narasumber Ida Bagus Surya Manuaba, umur 60 tahun selaku Bendesa Adat Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, pada tanggal 16 februari 2015 12 Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. I, hlm.1.



8



C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan dan mengalisis pelaksanaan perkawinan nyentana dilakukan dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. 2. Mendeskripsikan dan mengalisis penyebab sengketa perkawinan nyentana yang terjadi dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan 3. Mendeskripsikan dan mengalisis penyelesaian sengketa perkawinan nyentana yang dilakukan dalam masyarakat hukum adat Bali di Desa Batan Pole, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi kemajuan masyarakat hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan dalam pemahaman atas nilai-nilai hukum perkawinan dan pewarisan sebagai bagian dari nilai luhur yang diwariskan nenek moyang mereka. 2. Manfat teoritis Nilai akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai referensi dalam melakukan studi perbandingan dan pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan hukum perkawinan dan pewarisan



9



masyarakat hukum adat, khususnya menyangkut adat perkawinan nyentana dan perceraian di Kabupaten Tabanan. E. Keaslian Penelitian. Berdasarkan eksplorasi penulis, belum ada penulis lain yang melakukan kajian tentang penelitian ini dalam bentuk skripsi, tesis atau penelitian yang lain. Namun demikian, ada beberapa tulisan lain yang mirip dengan tema ini, yaitu terhadap penelitian yang berjudul : 1. Pelaksanaan perkawinaan nyeburin beda wangsa menurut hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan, ditulis oleh I Nyoman Mangku pada Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk :13 1) Mendeskripsikan Faktor-faktor yang mendorong terjadinya beda wangsa menurut Hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan. 2) Mengetahui pelaksanaan perkawinan nyeburin beda wangsa menurut hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan. 3) Mengetahui kedudukan suami-istri akibat perkawinan nyeburin beda wangsa menurut hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan. 2. Faktor penyebab laki-laki melakukan perkawinan nyeburin di Desa Kukuh Kabupaten Tabanan, ditulis oleh Putu Setyaningrum pada Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi laki-laki bersedia menjadi sentana keceburin pada perkawinan nyeburin di Desa Kukuh. 2) mengetahui kewajiban sentana 13



I Nyoman Mangku,“Pelaksanaan Perkawinan Nyeburin Beda Wangsa Menurut Hukum Adat Bali di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2010



10



keceburin terhadap kehidupan rumah tangga dan kerabat istrinya di desa kukuh. 3) mengetahui sanksi yang dikenakan terhadap sentana keceburin jika tidak dapat menjalankan kewajiban tersebut.14 3. Kedudukan laki-laki setelah perkawinan nyeburin putus menurut hukum adat Bali di Tabanan. Studi kasus di Desa Adat Megati dan Desa Adat Pandat Gede, Kabupaten Tabanan, ditulis oleh Ketut Wirata pada Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk : bentuk perkawinan nyeburin mempelai laki-laki berubah statusnya menjadi perempuan (predana), sedangkan mempelai perempuan berubah statusnya menjadi laki-laki (purusa); Pihak laki-laki yang putus perkawinan karena perceraian dalam perkawinan nyeburin tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban pada keluarga isterinya, namun jika ia putus perkawinan karena kematian isterinya maka ia tetap memiliki hak dan kewajiban terhadap keluarga isterinya. Seorang sentana nyeburin yang bercerai dengan isterinya berhak atas pembagian harta benda perkawinan yang berasal dari harta bersama (pegunakaya), sedangkan terhadap harta perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua isterinya ia tidak berhak.15 Berdasarkan judul dan tujuan penelitian yang telah dilaksanakan para penelitian tersebut, maka penelitian tentang Perkawinan Nyentana dalam



14



Putu Setyaningrum,“ Faktor Penyebab Laki-Laki Melakukan Perkawinan Nyeburin Di Desa Kukuh Kabupaten Tabanan” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013 15 Ketut Wirata “Kedudukan laki-laki setelah perkawinan nyeburin putus menurut hukum adat Bali di Tabanan :: Studi kasus di Desa Adat Megati dan Desa Adat Pandak Gede, Kabupaten Tabanan”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2009.



11



masyarakat hukum adat Bali di Kabupaten Tabanan memiliki kesamaan dalam hal kajian terhadap perkawinan nyentana pada masyarakat hukum adat khususnya di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Perbedaannya adalah pada obyek yang menjadi tujuan penelitian yaitu penyelesaian sengketa perkawinan nyentana dalam Hukum adat Bali dan Hukum Perkawinan di Indonesia.



12