SALEP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III SEDIAAN SEMI SOLID



3.1 Salep 3.1.1



Definisi Salep Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), salep adalah sediaan setengah padat berupa massa lunak yang mudah dioleskan dan digunaka untuk pemakaian luar. Menurut farmakope edisi IV (1995), sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topical pada kulit atau selaput lendir. Menurut Formularium Nasional salep adalah sedian berupa masa lembek, mudah dioleskan, umumnya lembek dan mengandung obat, digunakan sebagai obat luar untuk melindungi atau melemaskan kulit, tidak berbau tengik. Salep tidak boleh berbau tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang mengandung obat keras atau narkotik adalah 10 % (Anief. 2005).



3.1.2



Persyaratan Salep Adapun persyaratan salep Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), antara lain. 1. Pemerian Salep tidak boleh berbau tengik 2. Kadar Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10%. 3. Dasar salep Kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep) digunakan vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian salep. 4. Homogenitas Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen. 5. Penandaan



Pada etiket harus tertera “obat luar” 3.1.3



Penggolongan Salep Menurut Syamsuni (2006) penggolongan salep ada empat (4) sebagai berikut. 1. Menurut Konsistensinya a. Unguenta Salep yang mempunyai konsistens seperti mentega, tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga. b. Krim (cream) Salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan air. c. Pasta Salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu salep tebal, karena merupakan penutup atau pelindung bagian kulit yang diolesi. d. Cerata Salep berlemak yang mengandung persentase lilin (wax) yang tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale). e. Gelones/Spumae/Jelly Salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis, biasanya terdiri dari campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah. Contoh: strach jellies (10% amilum dengan air mendidih). 2. Menurut Sifat Farmakologis/Terapeutik dan Penetrasinya a. Salep epidermis (salep penutup) Berguna melindungi kulit dan menghasilkan efek lokal, tidak diabsorbsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringensia untuk meredakan rangsangan atau anestesi lokal. Dasar salep yang baik adalah dasar salep hidrokarbon. b. Salep endodermis



Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lendir. Dasar salep terbaik adalah minyak lemak. c. Salep diadermis Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh melalui kulit dan mencapai efek yang dinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa merkuri, iodida, beladona. 3. Menurut Dasar Salep a. Salep hidrofobik Salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep berminyak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air, misalnya: campuran lemak-lemak, minyak lemak, malam. b. Salep hidrofilik Salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya dasar salep tipe M/A. 4. Menurut Formularium Nasional (Fornas) a. Dasar salep 1 (dasar salep senyawa hidrokarbon) b. Dasar salep 2 (dasar salep serap) c. Dasar salep 3 (dasar salep yang dapat dicuci dengan air atau dasar salep emulsi M/A. d. Dasar salep 4 (dasar salep yang dapat larut dalam air) 3.1.4



Jenis Dasar Salep Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok menurut Ansel (1989), yaitu: 1. Dasar Salep Hidrokarbon Dasar salep yang hidrokarbon (minyak) bebas air, preparat yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah sedikit. Bila lebih akan sukar larut. Dasar salep minyak dapat dipakai terutama untuk efek emollient. Dasar salep tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama dan tidak memungkinkan hilangnya lembab ke udara serta sukar dicuci dengan air.



Dasar salep minyak terdiri dari minyak hidrofob seperti: vaselin, parafin cair, minyak tumbuh-tumbuhan, dan silikon. Basis hidrokarbon bersifat melunakan lapisan kulit (emollient) karena meninggalkan lapisan dipermukaan kulit sehingga akan meningkatkan hidratasi kulit dengan menghambat penguapan air pada lapisan kulit. 2. Dasar Salep Serap Dasar salep ini dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas dasar yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (Paraffin hidrofilik dan Lanolin anhidrat) dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). 3. Dasar Salep Tercuci Air Dasar salep ini mudah dibersihkan dengan air, merupakan emulsi minyak dalam air (M/A) yang dapat tercuci dari kulit dan pakaian dengan air. Dasar salep ini nampaknya seperti krim dapat diencerkan dengan air atau larutan berair. 4. Dasar Salep Terlarut Dalam Air Dasar salep yang larut dalam air biasanya disebut greaselles karena tidak mengandung bahan berlemak. Dasar salep ini sangat mudah melunak dengan penambahan air, maka larutan air tidak efektif dicampurkan ke dalam dasar salep ini. Nampaknya dasar salep ini lebih baik digunakan untuk dicampurkan dengan bahan tidak berair atau bahan padat. 3.1.5



Peraturan Pembuatan Salep 1. Peraturan Salep Pertama “Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak, dilarutkan kedalamnya, jika perlu dengan pemanasan” 2. Peraturan Salep Kedua “Bahan-bahan yang larut dalam air, jika tidak ada peraturan lain, dilarutkan terlebih dahulu dalam air, asalkan jumlah air yang



dipergunakan dapat diserap seluruhnya oleh basis salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari basis salepnya” 3. Peraturan Salep Ketiga “Bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian dapat larut dalam lemak dan air hars diserbukkan lebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak nomor 60” 4. Peraturan Salep Keempat “Salep-salep yang dibuat dengan jalan mencairkan, campurannya harus digerus



sampai



penimbangannya



dingin” harus



bahan-bahan



dilebihkan



yang



10-20%



ikut



untuk



dilebur, mencegah



kekurangan bobotnya. (Syamsuni. 2006). 3.1.6



Metode Pembuatan Salep Salep di buat dengan metode umum: pencampuran dan pelelehan. Metode untuk pembuatan tertentu terutama tergantung pada sifat-sifat bahan pembawanya. 1. Pencampuran Dalam metode pencampuran, komponen dari dasar salep dicampur dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai. 2. Peleburan Dicampurkan dengan melebur bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponenkomponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada cairan yang sedang mengental setelah didinginkan. Bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. (Ansel. 1989).



3.1.7



Kontrol Kualitas Salep 1. Uji Daya Sebar Uji daya sebar pada salep dilakukan untuk melihat kemampuan sediaan menyebar pada kulit, dimana suatu basis salep sebaiknya



memiliki daya sebar yang baik untuk menjamin pemberian bahan obat yang memuaskan (Naibaho dkk. 2013). Caranya sebanyak 0,5 gr salep diletakkan diatas kaca bulat yang berdiameter 15 cm, kaca lainnya diletakkan diatasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter sebar salep diukur. Setelahnya, 100 gr beban ditambahkan dan didiamkan selama 1 menit lalu diukur diameter yang konstan (Astuti dkk. 2010). 2. Uji Daya Lekat Uji daya lekat pada salep dilakukan untuk melihat kemampuan salep melekat pada kulit, dimana hal ini dapat mempengaruhi kemampuan penetrasi salep ke dalam kulit untuk menimbulkan efek. Syarat untuk daya lekat pada sediaan topikal adalah tidak kurang dari 4 detik (Ulaen dkk. 2012). Caranya sebanyak 0,25 gram salep diletakkan di atas gelas obyek yang telah ditentukan luasnya. Gelas obyek yang lain diletakkan di atas salep tersebut. Setelah itu ditambahkan, beban 1 kg selama 5 menit pada gelas obyek dan dipasang pada alat tes. Beban seberat 80 gram dilepaskan, dicatat waktunya hingga kedua gelas obyek tersebut terlepas. Percobaan diulangi sebanyak 5 kali (Rahmawati dkk. 2010). 3. Uji pH Pengujian ph sangat penting dilakukan karena akan terjadi kontak langsung dengan kulit. Pengujian pH salep dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan sediaan salep terhadap kulit. Sediaan salep harus memiliki ph sesuai dengan ph kulit yaitu 46,5. Semakin kecil ph atau semakin asam sediaan semakin mudah mengiritasi



kulit



sedangkan



semakin



tinggi



nilai



ph



dapat



menyebabkan kulit kering, oleh sebab itu pengujian ph sangat penting dilakukan dalam pembuatan sediaan topical aga sediaan tidak mengiritasi kulit ketika digunakan (Yosipovitch. 2013). Caranya sebanyak 0,5 g salep diencerkan dengan 5 ml aquades, kemudian di cek pH larutannya (Naibaho dkk. 2013). 4. Uji Organoleptis



Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui warna, bau, dan tekstur salep. Caranya dengan pengamatan yang dilakukan dalam uji ini adalah bentuk sediaan, bau dan warna sediaan. Parameter kualitas salep yang baik adalah bentuk sediaan setengah padat, salep berbau khas ekstrak yang digunakan dan berwarna seperti ekstrak (Anief. 2005). 5. Uji Homogenitas Untuk melihat perpaduan bahan-bahan (basis dan zat aktif) sehingga menjadi bentuk salep yang homogen. Jika terdapat perbedaan sifat pada basis dan zat aktif akan terjadi proses penggumpalan sehingga mengakibatkan bentuk sediaan yang memiliki partikel lebih besar dari sediaan (Lachman. 1994). Uji homogenitas dilakukan dengan cara mengamati hasil pengolesan salep pada plat kaca. Salep yang homogen ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan sampai titik akhir pengolesan. Salep yang diuji diambil dari tiga tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah dari wadah salep (Depkes. 1995).



DAFTAR PUSTAKA Anief. 2005. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ansel, HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4. Jakarta: UI Press Astuti I. Y., D. Hartanti, dan A. Aminiati. 2010. Peningkatan Aktivitas Antijamur Candida albicans Salep Minyak Atsiri Daun Sirih (Piperbettle LINN.) melalui Pembentukan Kompleks Inklusi dengan β-siklodekstrin. Majalah Obat Tradisional. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Depkes. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Lachman, L., Lieberman, H. A., &Kaing J.L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri I. Jakarta: UI-Press. Naibaho, D.H., Yamkan, V.Y., Weni, Wijono. 2013. Pengaruh Basis Salep Terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi pada Kulit Punggung Kelinci yang dibuat Infeksi Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi. UNSRAT, Vol. 2 No.02 Rahmawati, D., Sukmawati, A. & Indrayudha, P. 2010. Formulasi Krim Minyak Atsiri Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val & Zijp): Uji Sifat Fisik dan Daya Antijamur Terhadap Candida albicans Secara In Vitro. Majalah Obat Tradisional. 15 (2), 56-63 Syamsuni H. A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: ECG Ulaen, Selfie P.J., Banne, Yos Suatan & Ririn A. 2012. Pembuatan Salep Anti Jerawat dari Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(2): 45-49. Yosipovitch. 2013. Skin Ph: From Basic Science To Basic Skin Care. Acta derm vanereol, 93(3); 261-267