Sapardi Waktu Itu (2020) - Ebook PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sapardi Waktu Itu Hak Cipta© tiap penulis



Bentara Budaya Jl. Suroto No. 2 Kotabaru Yogyakarta 55224 Tlp. dan Fax. (0274) 560404 Surel: [email protected] Bekerja sama dengan Majalah Basis Redaksi Jl. Pringgokusuman No. 35 Yogyakarta Tlp.: 081225225423 Fax.: (0274) 546811 Surel: [email protected] Editor: Hanputro Widyono Yunanto Sutyastomo Frans Sartono Sampul dan tata letak: kecelakaanwarna Ilustrasi dalam: Bagian 1: "Dalam Diriku" oleh Vy Patiah Bagian 2: "Hatiku Selembar Daun" oleh Vy Patiah Foto-foto: Dokumentasi Bentara Budaya Solo dan Bentara Budaya Jakarta 13 x 20 cm, xii + 168 hlm. Bell MT 12/15.5 pt 2020



Sapardi Waktu Itu Ode Bagi Sapardi Djoko Damono dalam Esai



Daftar Isi Bunga Rampai Esai Ode Bagi Sapardi Warih Wisatsana (viii) BAGIAN 1 Waktu, Manusia, dan Tuhan Taufiqurrahman (3) Obituarium Bagi yang Tidak Pernah Mati: Sebuah Telaah Singkat Pemikiran Sapardi Djoko Damono dalam Karya Risda Nur Widia (12) Kedaluwarsa Puisi-Puisi Sapardi Rizki Amir (23) Sapardi Berumah di Puisi Hanputro Widyono (30) Pada Suatu Hari Nanti, Sebuah Buku Cerita Anak Nai Rinaket (35) Anak-Anak Sapardi Vera Safitri (42) v



Berlayar Setyaningsih (50) Saya Selalu Membayangkan Duduk Bersebelahan dengan Pak Sapardi dan Berbisik Ade Ubaidil (55) Bermula Kolam, Bermula Pola Widyanuari Eko Putra (62) Bebunyian Sapardi: Puisi dan Lagu Ais Nurbiyah Al-Jum’ah (68) Tak Ada yang Abadi dalam Puisi Sapardi Rizka Nur Laily Muallifa (74)



BAGIAN 2 Sebermula adalah Kata: Sapardi Djoko Damono dalam Teks dan Ide Dymussaga (85) Sapardi Menumis Batu di Altar Perjamuan Uun Nurcahyanti (90) Sapardi Djoko Damono, Melipat Jarak dengan Alam Ani Marda (96) vi



Kesadaran dan Kesederhanaan Sapardi M.A. Mas’ud (108) Sapardi dan Upaya Menggaungkan Sastra Adib Baroya (114) Menulis dengan Sederhana: Catatan Pendek tentang Pak Sapardi Olive Hateem (120) Sapardi: Mantra dan Pengabdiannya Agus Wedi (128) Perahu Kertas Sapardi Gody Usnaat (136) Yang Paling Sunyi Dari Bulan Juni: Mengenang Maestro Sapardi Djoko Damono Wulan Dewi (142) Karya-karya Sapardi Djoko Damono, Kedekatan yang Mengekalkan Setyodewi (150) Wujud Waktu dalam Puisi Sapardi Emi Suy (156) Tentang Penulis (162)



vii



Bunga Rampai Esai



Ode Bagi Sapardi Bunga rampai esai menarik disimak, terlebih bila mengacu pada sebuah topik tertentu. Buku bertajuk “Sapardi Waktu Itu”—digagas Bentara Muda dan Bentara Budaya, merangkum sejumlah tulisan tentang sosok dan karya sastrawan Sapardi Djoko Damono, yang berpulang pada 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun. Segera mengemuka, esai 22 penulis dari berbagai kota di Indonesia ini bukan hanya mengisahkan kesan pribadi tentang sosok Sapardi, namun juga bagaimana pertemuan mereka dengan karyakarya sastrawan sohor ini. Sebagian besar penulis berusia rata-rata 25 tahun, mengetengahkan pandangan yang beragam— mencerminkan pula sisi diri mereka yang boleh dikata tergolong milenial atau generasi Net. Generasi ini hadir dengan segala kecenderungan-kecenderungan uniknya serta ciri-ciri yang membedakan dengan generasi-generasi sebelumnya, ditandai dengan pola konsumsi, pola interaksi, berikut cara menjalani kehidupan keseharian yang tak bisa viii



dipisahkan dengan dunia digital dan komputer. Mereka sigap dan inovatif, berorientasi menjalin hubungan sosial yang bersifat global. Tidak heran bila mereka amat terampil menggunakan media digital interaktif atau media sosial untuk bersosialisasi dan berkomunikasi, sehingga condong menjadi sosok-sosok yang individual; menjalani keseharian secara soliter, atau mengekspresikan sikap solider melalui komunitaskomunitas tertentu dan eksklusif. Terbersit pertanyaan, dengan rentang usia yang jauh dan latar zaman yang berbeda, mengapa mereka tertarik karya-karya dan sosok Sapardi, serta dapat mengungkapkannya dengan tinjauan yang mempribadi? Emi Suy dan Taufiqurrahman, dengan bahasa yang terbilang jernih, menuangkan pertemuan mereka dengan puisi Sapardi, terutama yang merujuk perihal Waktu. Sedangkan penulis lainnya, semisal Risda Nur Widia, Rizki Amir, Hanputro Widyono, Ade Ubaidil, Widyanuari Eko Putra, Ais Nurbiyah Al- Jum’ah, Rizky Nur Laily Muallifa, Dymussaga, Uun Nurcahyanti, Ani Marga, Gody Usnaat dan Setyodewi; mencoba menelisik karya-karya Sapardi—secara tersirat menautkannya dengan berbagai pengalaman yang melatari mereka bergiat di dunia susastra atau penulisan. Sisi lain dari dunia Sapardi, yang kerap mewarnai puisi lirisnya, tentang alam kehidupan anak-anak yang naif dan bersahaja namun penuh imajinasi menakjubkan; diurai secara akrab oleh Nai Rinaket, Vera Safitri dan Seyaningsih. ix



Esai mereka mengandaikan satu perbincangan intim antarsahabat yang lama tak bertemu. Bagaimana tentang sosok Sapardi sebagai pribadi sehari-hari, maupun sebagai sastrawan dan cendekiawan? Setidaknya ada 5 esai, ditulis M.A. Mas’ud, Adib Baroya, Olive Hateem, Agus Wedi dan Wulan Dewi, yang berupaya mendeskripsikannya dengan pendekatan yang subyektif, jauh dari ragam tulisan yang berpretensi ilmiah atau terlalu ketat dengan fakta dan data. Ya, hakikatnya esai adalah sebuah seni beragumentasi melalui bahasa, memungkinkan data dan fakta diolah sedemikian rupa menjadi Pertanyaan, Pemertanyaan, Keraguan dan Kesangsian, bahkan gambaran akan realitas yang berlapis; sebuah Dunia Rekaan, bauran antara Realita Senyatanya, Realita Virtual, dan Realitas Imajiner. Dengan demikian, tidak mengherankan bila esai datang kepada pembacanya seperti laiknya pertemuan penuh percakapan hangat yang mempribadi; tak jarang diselingi unsur gurauan yang satir, ironi, atau parodi. Bunga rampai ini jelaslah menunjukkan bahwa esai tidak menuntut satu kebulatan pikiran, melainkan sejumlah gagasan yang dilukiskan; tak hendak mewartakan kepastian kebenaran namun sebentuk sentuhan yang memungkinkan pembaca sejenak tercenung, terbawa merenung seraya tergoda untuk mengkritisi keyakinan pada sesuatu, boleh jadi hal-hal sehari-hari atau sesuatu yang hakiki. Esai-esai dalam bunga rampai ini, disadari atau tidak oleh penulisnya, sesungguhnya adalah sebuah ode bagi seorang sastrawan x



mumpuni dengan pergumulan batin yang intens, sekaligus cendekiawan paripurna; Profesor Emeritus—yang tak henti mengabdikan dirinya bagi upaya alih pengetahuan. Sudut Pandang Baru dan Jalan Lain Penulis esai, sebagaimana penyair dan kreator lainnya, sudah menjadi panggilannya untuk menemukan sudut pandang baru sebagai bagian dari laku kreatif dan kemungkinan penciptaannya. Ibarat hendak menaklukkan puncak gunung, para pendaki sejati (baca juga: esais) biasanya lebih tertantang untuk merintis jalan baru, yang belum terambah dan masih diselimuti hutan-lambang yang sungguh perawan; belukar liar gagasan, silang pandang pemikiran. Sebuah tematik yang disikapi dengan sudut pandang “baru” adalah satu celah kreatif yang menawarkan lahan kemungkinan penciptaan. Esais yang tanggap, dengan kesadaran di atas itu, akan berusaha menghadirkan kesegaran pada karyanya (tematik atau stilistik), bukan semata dipicu oleh pengalaman berbahasa (intrinsik) melainkan juga oleh sensitivitasnya akan suatu percepatan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan sosialglobalnya (ekstrinsik). Terkait hal itu, esai sesungguhnya memiliki kedekatan dengan puisi; mengolah pengalaman menjadi pemahaman melalui ragam bahasa yang lebih plastis; dan dengan sendirinya mengelak bersifat dogmatis guna menghadirkan aneka lapis pandangan; terbukalah kemungkinan tafsir yang lebih demokratis. xi



Sebagai sastrawan dan cendekiawan, karya-karya Sapardi telah teruji waktu. Sedini awal penciptaan puisinya, semisal terangkum dalam buku ‘Mata Pisau’, kebersahajaan dirinya tecermin pada diksi puisinya; kata-kata seharihari yang terangkai dalam kepaduan bunyi dan arti. Pada sisi lain, esai-esai yang ditulis Sapardi menyarankan satu kebulatan pandangan terhadap tema tertentu, dan tersampaikan dengan jernih, jauh dari beban teori dan analisa akademis yang berlebihan. Tidak heran bila karyakarya Sapardi menyapa pembacanya dengan meninggalkan kesan yang mendalam—sentuhan yang mempribadi. Hal mana inilah yang membuat para penulis bunga rampai ini terpikat karya dan sosok Sapardi. Setiap pembaca yang mendalami karya Sapardi, baik esai, cerpen, novel, dan terlebih puisi, sesungguhnya tengah mengkonfirmasi pengalamannya sendiri. Karya-karya Sapardi menyajikan sebuah cermin bening yang tembus pandang; ketika seseorang membacanya sesungguhnya tengah bercermin pada laku pengalaman yang ditemuinya sehari-hari. Demikian pula 22 penulis esai di buku ini, melalui tinjauan pada karya dan sosok Sapardi, hakikatnya tengah berbincang dengan diri sendiri.



Warih Wisatsana



xii



BAGIAN 1



1



Waktu, Manusia, dan Tuhan1 Taufiqurrahman



Sapardi Djoko Damono, dengan puisinya yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu, berhasil menampilkan pengalaman amat subtil bersama waktu. “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” Dua kalimat yang dalam sekejap mengentak selubung rutinitas dalam kehidupan kita. Sejak awal kita selalu memahami waktu sebagai “detik demi detik” yang serialitasnya terangkai “seperti bunga”: hal yang suatu hari nanti akan layu, tak berguna, sehingga “kita lupa untuk apa”. Karenanya, waktu itu fana. Dan kita, manusia, abadi. Itulah waktu yang dikonsepsikan oleh fisika. Sapardi menyadari betul kefanaan waktu yang “seperti bunga” itu. Waktu dalam konsepsi fisika itu dapat 1 Terbit pertama kali di situs web basabasi.co pada 27 Oktober 2016. 3



kita sebut sebagai “waktu objektif ”, yang tergeletak “di sana”, di luar diri kita, sebagaimana bunga dan objek-objek fisik lainnya. Waktu objektif yang menampak ke dalam kesadaran itu kemudian kita cacah-cacah menjadi tiga: waktu lalu, waktu kini, dan waktu mendatang. Kita hidup dalam rangkaian serialitas tiga waktu tersebut. Terus-menerus kita melewatinya, secara bergantian, dalam alur yang konstan. Orang yang menautkan hidupnya semata pada waktu objektif akan tampak mekanis. Ia akan selalu menyesuaikan ritme kehidupannya dengan alur waktu yang konstan. Pagi, siang, sore, dan malam, ia seperti terus diburu dan dikendalikan oleh waktu yang berada di luar (kehendak kreatif) dirinya. Lalu apa yang salah dari waktu? Tak ada yang salah! Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda kepada umatnya: “Janganlah kalian memaki waktu. Karena Allah adalah waktu.” Sabda tersebut memberi sinyal bahwa ada waktu lain selain waktu objektif. Sebab tak mungkin Nabi Muhammad menyamakan Allah seperti waktu yang terus memburu-buru manusia—yang menjadikan manusia seperti mesin dalam perputaran siklusnya. Tapi, apa waktu yang di luar waktu objektif itu? Pada bulan Juli 1924, Martin Heidegger menyampaikan kuliahnya yang berjudul Der Begriff der Zeit di Marburg. Di situlah filsuf Jerman itu, untuk pertama kalinya, membahas soal waktu yang lebih primordial, yang 4



bukan waktu objektif seperti dihitung oleh perputaran jarum jam. Melalui kuliah yang kemudian diterjemahkan oleh William McNeill ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Concept of Time itu, Heidegger mengutip satu pernyataan liris dari Agustinus: “Di dalam dirimu, wahai jiwaku, aku menghitung waktu; engkau yang aku hitung, saat aku menghitung waktu. […] Di dalam dirimu, sekali lagi aku katakan, aku menghitung waktu.” Kutipan itulah yang membuat Heidegger sampai pada satu kesimpulan yang cukup mengagetkan para pendengarnya: “Time is Dasein. Waktu adalah manusia.” Heidegger saat itu, saya kira, telah menjawab teka-teki yang disampaikan Nabi Muhammad 14 abad silam. Itulah waktu yang berbeda dari waktu yang ditunjukkan oleh jarum jam. Namun, sepintas, kesimpulan Heidegger itu tampak sangat kontradiktif dengan sabda Nabi Muhammad: “Allah adalah waktu.” Nalar teologis pasti akan menolak menyamakan Tuhan dengan manusia. Tapi dalam waktu, manusia beririsan dengan, atau lebih tepatnya dapat menjangkau, Tuhan. Persis di situlah, saya kira, persinggungan sabda Muhammad tentang waktu yang bercorak teosentris dengan kuliah Heidegger yang bercorak antroposentris. Mari kita coba pahami secara jernih. Saat bersabda “Allah adalah waktu”, pilihan kata yang dipakai Nabi Muhammad untuk merujuk pada “waktu” adalah ‘al-dahr’: “fa inna al-Lāha huwa al-dahru.” Ini 5



menandai muatan filosofis yang hendak disampaikan sabdanya. ‘Al-dahr’ berbeda dari ‘al-zamân’ yang bermakna waktu fisikal (waqt al-asy-yāi al-māddiyah wa al-jasmāniyah). Dalam makna semantiknya, al-dahr adalah waktu bagi entitas non-material (waqt li al-mujarradāt ‘an al-māddah al-‘unshuriyyah). Di situ tampak jelas bahwa waktu yang dimaksud Nabi Muhammad sebagai Allah bukanlah waktu fisikal, tetapi waktu non-material yang bersifat spiritual. Waktu bagi ruh dan jiwa. Pernyataan Heidegger “waktu adalah manusia” itu juga berkait erat dengan kemampuan manusia (Dasein) untuk menjangkau Sang Ada (Being)—yang hal itu hanya dapat dilakukan dalam temporalitasnya, dalam kemewaktuannya (Being and Time, 1996: 373-385). Artinya, manusia adalah makhluk yang dapat menghayati waktu, sehingga waktu itu tidak lagi berada jauh di luar manusia, tetapi intim di kedalaman batinnya. Bersatu padu. Dalam penghayatannya atas waktu itulah, manusia bisa menemui saat-saat penuh kecemasan yang menjadikan segala pengada yang hadir di depannya menjadi tiada, seolah semua gemerlap dunia telah jadi sirna, sehingga yang tersisa selain tiada hanyalah Sang Ada. Momen kecemasan itu, momen yang menjadikan tiada menyeruak dan lalu Ada menampak, dapat muncul seketika dalam patahan radikal manusia dengan waktu objektif. Patahan itu, oleh Sapardi, digambarkan dengan kelupaan: “kita lupa untuk apa”. Manusia yang mulanya hidup dalam waktu fisika, dalam waktu yang “seperti bunga”, 6



seketika menemui dirinya lupa; relasinya dengan waktu objektif runtuh, tak bermakna. Momen ketakbermaknaan itulah yang dimaksud “ketiadaan” (no-thing)—sesuatu yang, kata Heidegger, tak mampu dijangkau sains seperti fisika, tetapi harus dengan metafisika (Heidegger dalam “What is Metaphysics?”). Segera setelah momen patahan itu, Sapardi sungguh menyadari Ada-nya dan kefanaan waktu yang diandaikan di mula “seperti bunga”. Di situlah terjadi momen perjumpaan antara manusia dengan Ada melalui waktu yang dihayati sebagai pengalaman ketiadaan atau—meminjam bahasa Sapardi—kefanaan. Ini pun persis satu paragraf yang, saya baca, sangat powerful dalam “What is Metaphysics?”, kuliah Heidegger yang disampaikan pada 24 Juli 1929 di Universitas Freiburg: “‘Pure Being and the pure Nothing are therefore the same’. This proposition of Hegel’s is correct. Being and the nothing do belong together, not because both—from the point of view of the Hegelian concept of thought— agree in their indeterminateness and immediacy, but rather because Being itself is essentially finite and reveals itself only in the transcendence of Dasein which is held out into the nothing.” Ada dan tiada, oleh Heidegger (dengan mengafirmasi proposisi Hegel), dianggap sama—dalam arti “belong together”. Ada yang terbatas itu menyingkapkan dirinya dalam transendensi manusia yang bertahan dalam ketiadaan. Ini, pertama-tama, mengandaikan kesetangkupan Ada dan 7



tiada. Ada dialami, ditemui, dalam ketiadaan. Bersatu padu. Lalu, apa itu ada? Juga tiada? Dan bagaimana kaitan keduanya dengan manusia? Dengan waktu? Dengan Tuhan? Tiada, kata Heidegger, adalah “not a thing; not annihilation; not negation”. Artinya, sebagai “not a thing”, sebagai “yang-bukan-sesuatu”, ia tidak bisa disamakan dengan objek fisik tertentu. Ia bukan “ini” dan juga bukan “itu”. Ia juga bukan “annihilation”, peniadaan— yang mengandaikan adanya sesuatu, lalu ditiadakan seluruhnya, sehingga yang tersisa hanyalah tiada. Lebih radikal lagi, Heidegger menyebut tiada bukanlah negasi, sebab negasi hanyalah aktivitas intelek. Semisal, kita dapat memikirkan Tuhan itu ada, dengan segala argumen dan pembuktiannya, dalam pikiran kita. Namun, pada suatu saat, entah saat kuliah atau saat merenungi hasil suatu bacaan, kita menemukan satu argumen kuat yang menyanggah keberadaan Tuhan. Karenanya, kita pun menegasikan keberadaan Tuhan; menganggap Tuhan tiada, lagi-lagi, dalam pikiran kita, dalam suatu aktivitas intelek. Apakah dengan itu berarti Tuhan benar-benar tiada? “In this way we do attain the formal concept of the imagined nothing but never the nothing itself,” demikian jawab Heidegger. Dengan cara demikian kita tidak sungguhsungguh mencapai yang-tiada (the nothing), tetapi hanya tiada-yang-terbayang dalam pikiran kita. Maka Tuhan, dalam contoh di atas, bukannya sungguh tiada, tetapi 8



hanya terbayangkan tiada. Demikian juga ketika kita mesti memahami Ada. Ada bukanlah sesuatu yang bisa kita tangkap thatness-nya, esensinya. Ia bukan “ini” atau “itu”—dengan menunjuk pada objek tertentu. Juga bukan aktivitas intelek seperti saat kita berpikir bahwa “Tuhan itu ada” atau “saya ini ada”. Itulah kritik keras Heidegger terhadap metafisika Barat yang disebutnya selalu bercorak “onto-teo-logis”. Metafisika, kata Heidegger, selalu memandang Ada dalam dua cara: “in the first place, the totality of beings as such with an eye to their most universal traits, but at the same time also the totality of beings as such in the sense of the highest and therefore divine being,” (dalam “Introduction to ‘What is Metaphysic?’”). Pertama, Ada dipandang sebagai sifat-sifat universal yang meresapi dan mendasari segala-yang-ada sehingga, karenanya, ia bersifat “ontologis”; kedua, Ada dipandang sebagai yangtertinggi yang bersifat ilahiah sehingga, karenanya, ia bercorak “teologis”. Kritik metafisika Heidegger ini hendak mendestruksi konsepsi metafisika yang “onto-teologis” tersebut. Dalam konteks ketuhanan, terlepas dari fakta bahwa Heidegger seorang ateis, upaya destruksi ini memunculkan titik problematik. Menolak metafisika yang “onto-teologis” tersebut berarti menyangkal Tuhan (theos) sebagai Ada. Tuhan, karenanya, mesti dipahami tidak sebagai Ada, tetapi sebagai pengada (beings) yang status ontologisnya sama dengan kursi, meja, dan benda-benda lainnya. Sebuah 9



destruksi memang, sebuah reduksi yang sulit diterima para teolog. Lalu, apa sebenarnya Ada dan juga tiada? Setelah merenung beberapa purnama, memikirkan proyek metafisika Heidegger yang demikian ambisius (untuk tidak mengatakannya brutal), saya sampai di tepi sebuah pantai, menemukan satu horizon pemahaman, bahwa Ada dan tiada itu adalah relasi kebermaknaan. Ada adalah selalu ada-untuk-manusia; demikian juga tiada adalah selalu tiada-untuk-manusia. Oleh karena itu, tesis Heidegger, Ada dan tiada itu tersingkap dalam momen kecemasan (Angst). Ketika seseorang jatuh ke lubang gelap kecemasan, segala relasi kebermaknaan runtuh. Pacar yang cantik tampak asing dan jauh, bunga-bunga yang indah tampak sayu, mobil dan rumah mewah tak lagi beda dengan sampah. Semuanya menjadi begitu tak bermakna, sia-sia. Semuanya tiada. Namun, dalam kecemasan yang menyingkapkan ketiadaan, yang meruntuhkan relasi kebermaknaan, diamdiam, Ada menyingkapkan dirinya, menghadirkan makna pada segala-yang-ada dalam keseluruhannya: saya ada, di dunia, begitu saja, bersama dengan pengada lainnya. Momen ini hanya mungkin dialami manusia dalam kemewaktuannya, dalam waktu subjektifnya, yang bukan waktu yang diukur oleh fisika. Dalam pergulatan bersama waktu subjektif itulah, seorang Heideggerian di garis religius dapat menyelinap masuk ke ruang-ruang gelap yang menghadirkan makna 10



keberadaan Tuhan. Di titik yang sedikit problematik ini ia memahami Tuhan tidak sebagai “ini” atau “itu”. Tetapi sebagaimana Ada dalam pengandaian Heidegger, Tuhan adalah relasi kebermaknaan, yang timbul-tenggelam seturut fluktuasi iman, dalam getar ketiadaan, di titik lenyap kefanaan. “’Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?’ tanyamu. Kita abadi,” demikian bait terakhir puisi Sapardi. Dalam pengalaman kefanaan bersama waktu (ketiadaan), kita menemukan keabadian bersama Tuhan (transendensi). Maka, seperti sabda Nabi Muhammad, janganlah sekali-kali memaki waktu, karena waktu, seperti terang Heideggerian bergaris religius, adalah lintasan ketiadaan yang dapat mengantarkan kita pada relasi kebermaknaan bersama Tuhan. []



11



Obituarium Bagi yang Tidak Pernah Mati:



Sebuah Telaah Singkat Pemikiran Sapardi Djoko Damono dalam Karya Risda Nur Widia



Yang Fana adalah waktu, kita abadi —Sapardi Djoko Damono



12



Sapardi Djoko Damono: Waktu dan Keterbatasan Sapardi memang telah pergi meninggalkan kita pada tanggal 19 Juli 2020 . Tubuhnya bahkan perlahan-lahan sudah terurai di dalam liang kuburnya yang tenang, ketika tulisan ini dibuat, lalu dicetak, dan dibaca oleh seseorang entah di mana. Namun apa yang pergi di dalam diri Sapardi itu hanyalah ‘tubuh realitasnya’ semata, karena ‘tubuh konseptualnya’ sebagai seorang akedmisi, penyair, dan prosais tidak pernah pergi dari dunia ini. Sapardi tetap ada dalam setiap pemikiran atas karya-karyanya, maka benar ia, pada salah puisinya yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu, terdapat satu pernyataan filosofis bahwa yang fana dari kehidupan manusia adalah waktu, dan seluruh pemikirannya abadi. “Tapi yang fana adalah waktu, bukan?” Tanyamu/ Kita abadi.” Waktu dan keterbatasan menjadi titik tumpu, atau alusi, dalam semangat beberapa karya-karya Sapardi. Sebagai salah satu pembaca Sapardi yang tidak tekun, saya beberapa kali mendapati satu kutipan secara terpisah, atau satu teks lengkap, mengenai waktu dan keterbatasan di dalam karya-karyanya. Sosok Sapardi, mengenai waktu dan keterbatasan, bagai saling meangakrabi, layaknya sebuah medan yang melengkapi sekaligus mempertanyakannya. Misalnya, di dalam puisinya yang lain berjudul, Sementara Kita Saling Berbisik, kita akan menemui satu larik sajak yang berbunyi: “Di luar semakin sengit malam hari/ Memadamkan bekas telapak kaki/ Menyekap sisa-sisa unggun api/ Sebelum fajar/ Ada yang masih bersikeras abadi.” 13



Pada larik sajak puisinya yang berjudul Sementara Kita Saling Berbisik konsep mengenai waktu atas keterbatasan dipertanyakan, sekaligus dipikirkan oleh Sapardi secara intens dan intim pada potongan larik ‘di luar semakin sengit malam hari’, ‘sebelum fajar’, ‘ada yang masih bersikeras abadi’. Pada tiga larik tersebut, Sapardi menghadirkan ‘realitas waktu masa kini’ yang dirasakan dan direnungkannya di dalam tubuh penyairnya, ketika menulis bagian tersebut. Dapat dikatakan, kaki Sapardi hadir menginjak tanah secara material di dunia konseptualnya. Namun ketika ia menulis ‘ada yang masih bersikeras abadi’, Sapardi secara bertahap, melepaskan kakinya pada pijakan realitas material dunia—Sapardi berpijak ke ‘dunia lain’ yang lebih abstrak dan jauh mengenai keabadian yang diinginkannya dalam konsep waktu. Dunia yang diharapakan ‘abadi’ oleh Sapardi di dalam sajaknya yang berjudul Sementara Kita Saling Berbisik itu memang tidak tampak secara konkret mengenai apa. Bahkan apa yang disinggung oleh Sapardi mengenai ‘abadi’ di dalam sajaknya tersebut lebih tampak sebagai yang universal. Persepsi ini akan semakin kuat kita benarkan, ketika kita membaca sajak Sapardi secara utuh. Namun sayangnya, universalitas yang dibangun oleh Sapardi di dalam sajaknya itu sebenarnya mengandung gugatan atas konsep waktu dan keterbatasan di dalam tubuh material sebagai manusia. Waktu dan keterbatasaan seakan mengusik pikiran serta tubuh Sapardi sebagai seorang akademisi dan sastrawan; yang sangat sensitif terhadap 14



satu realitas tertentu—yang bahkan itu tampak sangat kabur. Apa yang dirasakan, digelisahkan, bahkan digeluti serta diintimi Sapardi di dalam beberapa contoh sajaknya di atas, merupakan satu gugat yang sangat manusiawi. Ditambah lagi posisi subjek Sapardi sebagai seorang akademis dan sastrawan, yang tentunya, mempunyai kesadaran filosofis berbeda dengan manusia pada umumnya. Sapardi, tentunya akan dengan senang hati, menekuni hal-hal gelap dan abstrak itu. Pandangan Sapardi mengenai waktu dan keterbatasan ini hampir sama, seperti Whithead dalam melihat objek-objek gelap di alam semesta sebagai bukanlah fakta statis yang tergeletak dalam kehampaan yang tidak dinamis, tapi suatu struktur peristiwa yang sifatnya terus menerus mengalir secara kreatif2. Boleh diartikan, alam semesta di mata Whithead, terus bergerak. Maka, alam semesta dalam ketakterbatasannya bersifat potensial. Alam semesta yang bergerak ini membuka satu ruang ‘kemungkinan’ untuk mencari satu jawaban mengenai konsep-konsep abstrak manusia—salah satunya mengenai waktu dan keterbatasan. Maka dengan memanfaatkan alam semesta dalam keterbatasan yang bersifat potensial, konsepsi mengenai waktu dan keterbatasan yang dipertanyakan oleh Sapardi pada dua contoh sajaknya di atas, barangkali dapat diurai—layaknya seorang saintis dalam menggeluti satu objek abstrak penelitiannya di laboratorium. Apalagi tidak ada yang benar-benar pasti di depan sana, kata 2 Ohaitimur, Johanis. 2006. Metafisika sebagai Hermeneutika. Jakarta: OBOR. Hlm.126 15



Derrida, maka masa depan tak dapat dikalkulasi, tetapi hanya dapat dipersiapkan3. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kemungkinan-kemungkinan yang terbuka dari alam semesta yang dinamis. Semuanya bergerak, tidak ada yang diam. Seluruh yang bergerak inilah yang dimanfaatkan oleh Sapardi dalam memahami waktu dan keterbatasan. Sapardi, dengan berpijak pada realitas yang dinamis ini meng-adakan dirinya dan memersiapkan dirinya dalam keabadian yang lain di dalam puisi dan pengetahuan. Oleh karena itu Sapardi akan tetap abadi dalam keterbatasan yang tidak terbatas, dan tidak terikat oleh waktu. Tubuh Sapardi, sebagai yang material manusia, mungkin tidak akan sampai pada titik keabadian itu, karena terbatas oleh hukum alam yang bersifat pasti—bahwa yang muda akan tua dan mati. Namun seluruh karya-karyanya, sangat memungkinkan untuk menembus ‘ruang-ruang lain’, yang akan jauh lebih dinamis di kemudian hari. Maka, keterbatasan tubuh material Sapardi sebagai seorang penulis akan bisa tetap ‘ada’ dalam bentuk abstrak di ingatan pembaca, penelaah, dan pengeritik buku-bukunya. Sapardi juga akan tetap ‘ada’ pada waktu yang tidak terbatas, selama dunia ini belum diputuskan untuk kiamat oleh Tuhan. Sapardi Djoko Damono: Waktu dan Keabadian Penyair tidak akan pernah mati, kata Neruda. Sapardi pun—seperti sedikit disinggung di atas—tidak akan 3 Al-Fayyadl, Muhammad. 2006. Derrida. Yogyakarta: LKiS 16



pernah mati di dalam arti lain. Selain meng-ada di dalam waktu, Sapardi juga meng-ada di dalam diri pembacanya melalui karyanya. Artinya, seluruh karya Sapardi akan tetap menjadi fosil atas seluruh pemikirannya, mirip seperti apa yang dinyatakannya di dalam novelnya berjudul Pingkan Melipat Jarak, bahwa: “Kenangan adalah fosil, tidak akan bisa menjadi abu, malah memiliki kekuatan untuk mendikte jarumjarum jam agar berputar.” Seluruh peninggalan Sapardi melalui, catatan kritik sastra, novel, cerpen, atau puisi, akan tetap memutar detikdetik waktu untuk meng-hadir-kan dirinya di tengah dunia yang suntuk ini. Saya, sebagai pembaca Sapardi yang tidak tekun, sekali lagi, beberapa kali menemukan beberapa potongan atau kalimat utuh mengenai pemikiran Sapardi mengenai waktu dan keabadian. Selain beberapa hal yang sebelumnya sudah saya bahas di atas, saya menemukan satu konsep Sapardi mengenai waktu dan keabadian pada potongan kalimatnya di dalam buku berjudul Pingkan Melipat Jarak. Saya pikir beberapa potong yang kecil ini, ditulis oleh Sapardi dengan cara sadar dalam memahami waktu dan keabadian. Karena, jika tidak dipahami secara mutlak oleh Sapardi, baik secara mental atau tindakan, hal itu tidak akan terungkap secara tegas di dalam buku tersebut. Ambilah contoh, konsep mengenai waktu dan keabadian ini dapat kita lihat pada potongan kalimat berikut: “Orang bergerak menyusuri waktu yang diciptakannya sendiri agar merasa bisa beranjak dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan meskipun diam saja di tempat 17



yang sama, orang bisa merasa bergeser ke tempat lain karena waktu membawanya ke sana.” Pada sepotong kutipan yang saya ambil dari novel Pingkan Melipat Jarak di atas, konsepsi waktu memang jauh terlihat secara langsung daripada konsepsi keabadian. Hanya saja bila kita membaca ulang secara cermat potongan kalimat di atas, kita akan menemui hal-hal yang ditinggalkan oleh waktu secara non-material— yaitu ingatan. Ingatan yang bersifat abstrak ini akan jauh bertahan lebih lama di dalam waktu. Di sinilah Sapardi selalu melihat ada kemungkinan dari waktu yang ‘terbatas’ untuk tetap ‘abadi’. Selain itu juga cara melihat waktu yang dilakukan oleh Sapardi ini, hampir sama seperti yang dilakukan oleh St Agustinus. Pada konsepsi St. Agustinus, waktu, dilihat menjadi dua bagian, yaitu waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif adalah waktu yang berada mandiri di luar manusia atau subjek, waktu subjektif adalah waktu menurut akal budi 4. Pada pemikiran Sapardi di atas, waktu objektif itu hadir dalam potongan ‘meskipun diam saja di tempat yang sama, orang bisa merasa bergeser ke tempat lain karena waktu membawanya ke sana’ . Hal itu terjadi karena konsepsi waktu tidak saja hadir sebagai penanda waktu, tetapi juga penanda peristiwa dan kejadian. Objekobjek yang ‘tertinggal’ atau ‘terlalui’ di dalam waktu, bagai mengekalkannya sebagai sesuatu yang ‘abadi’—untuk kemudian dapat dipanggil ke masa yang akan datang. 4 Levin, David Michel. 1988.The Opening of Vision: Nihilisme and Postmodern Situation. Routledge.



18



Sementara waktu subjektif itu hadir pada potongan “Orang bergerak menyusuri waktu yang diciptakannya sendiri agar merasa bisa beranjak dari satu tempat ke tempat lain”, karena di sini, Sapardi membentuk satu ruang mengenai waktu di dalam mental atau pikirannya. Jadi ‘waktu itu’ adalah bagian dari yang dihadirkan di dalam diri subjek mengenai hal-hal yang dilaluinya. Ruang, waktu, dan kesadaran memang selalu terkait menjadi tiga hal yang tak boleh hilang salah satunya. Manusia, sebagai makhluk yang membutuhkan eksistensi, tetap akan selalu ada di dalam ruang, waktu, dan kesadaran ini. Sapardi tentunya memahami tiga syarat eksistensi manusia tersebut. Bahkan apabila kita menarik lebih lanjut mengenai konsepsi tentang waktu dan keabadian yang dihadirkan Sapardi, melalui kutipan di atas, kita dapat sedikit berpijak pada argumen Heidegger. Heidegger menganggap bahwa waktu adalah horizon manusia, ia terlempar di dunia (Dasein)5. Bagi Heidegger, meletakan subjek untuk berhadap-hadapan dengan keberadaannya sekaligus menyadari. Apa yang diserap indrawi adalah nyata dan eksis. Dalam proses ber-ada, manusia dengan dinamisnya konsep waktu akan menghasilkan benturanbenturan eksistensial dalam ruang dan waktu di dunia. Analogi pemikiran Heidegger ini bisa kita ambil contoh, ketika kamu sedang dalam perjalan ke rumah makan Padang untuk makan dan mendapat kabar nenekmu meninggal. Tentunya kamu mengurungkan niat tujuan awal 5 Heidegger, Martin.1996. Being and Time. Terj. Joan Stambaugh. New York: State University of New York Press.



19



menuju rumah makan Padang. Kamu akan pergi menyusul nenekmu dan selama perjalan kamu akan membuat ingatan sekaligus sebuah sejarah dalam kehidupan yang berkenaan dengan kondisi nenekmu saat itu dan di masa yang sebelumnya. Dengan demikian, ketidakpastian merupakan hal yang pasti dalam keberadaan manusia. Hal yang sama seperti inilah yang ingin disampaikan oleh Sapardi, mengenai konsep waktu dan keabadian dalam kutipan tersebut. Sapardi menghadirkan waktu dalam pengalaman yang pernah terjadi dan penuh dengan ketidakpastian. Waktu pasti tersebut lantas berubah menjadi petandapetanda kecil yang membentuk struktur ingatan—bahkan pengetahuan, sehingga membuatnya abadi. Sapardi Djoko Damono: Waktu dan Pembebasan Puisi merupakan bagian dari alat pembebasan, ungkap Jose Martie, seorang penyair dan tokoh pergerakan di Kuba. Mungkin apa yang dilakukan Martie dengan puisi sebagai alat pembebasan politik di Kuba, tidak sama seperti yang dilakukan oleh Sapardi di dalam puisi. Namun kita dapat menggunakan konsep politik sebagai cara atau metode dalam meraih ‘pembebasan’ pada puisi Sapardi. Pembebasan yang dilakukan Sapardi lebih sebagai pembebasan transenden subjek manusia untuk melampaui batas-batas dirinya sebagai subjek. Bisa diartikan, bahwa puisi bagi Sapardi adalah menggugat konsep ‘ada’ di dalam dirinya sebagai makhluk di dunia ini menuju pembebasan yang lebih berarti. Pada salah satu sajaknya yang berjudul Berjalan ke 20



Barat Waktu Pagi Hari, Sapardi seakan mememberikan renungan filosofis mengenai keber-ada-an yang terasa sangat transenden sebagai subjek manusia yang ‘ada’, dapat kita lihat pada kutipan berikut ini: “Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami telah menciptakan bayang-bayang Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang seharusnya berjalan di depan.” Di sini kita dapat memahami bagaimana Sapardi membebaskan dirinya sebagai subjek dalam alusi ‘bayang-bayang’ yang diciptakan oleh ‘matahari’. Bentuk pembebasan transenden ini dilakukan dengan saling memertanyakan posisi keber-ada-an dirinya di antara bayang-bayang. Sapardi seakan memaklumi Dasein yang dinyatakan oleh Heidegger sebagai ‘being-in-the-world’. Keberadaan Dasein di tengah dunia bukanlah sesuatu yang murni bersifat spasial, layaknya anggur dalam gelas atau buku pada raknya, tetapi sebagai ada yang unik, yang bisa memikirkan adanya. Oleh karena itu meskipun ada-ditengah-dunia, memiliki ada-nya untuk mengada6. Dari sini dapat kita pahami Dasein tidak sekadar 6 Demske, J. M. . 1970. Being, Man, and Death: A Key to HeideggerLexington: The University Press of Kentuky



21



memiliki ada, tetapi harus mengada, ada-nya tidak lagi menjadi sebuah sokongan statis, tetapi sesuatu yang mesti dipenuhi atau diupayakan. Misalnya pada sajak Berjalan ke Barat Waktu Pagi ini subjek aku lirik mengupayakan dirinya yang berjalan di waktu pagi ke arah barat dengan membelakangi matahari. Ada kesadaran tidak langsung di tahap mental aku lirik untuk menciptakan etintas lain dalam bayang-bayang yang diciptakannya sendiri dari pantulan matahari. Upaya dalam menciptakan bayangbayang melalui cahaya matahari ini merupakan satu bentuk upaya dalam diri aku lirik untuk mengukuhkan subjek ‘ada’ di dalam dirinya dengan dunia. Pengukuhan itu semakin dimantapkan dengan ‘Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami telah menciptakan bayang-bayang’. Pada bagian inilah, Sapardi memisahkan dirinya antara yang berisfat transenden dengan yang material. Ia membedakannya dirinya menjadi tiga bagian yang berbeda, yaitu tubuhnya yang berjalan, bayangan, dan matahari. Ketiga bagian yang terpisah ini secara terstruktur mengupayakan kehadiran aku lirik sebagai subjek-subjek mandiri yang terpisah satu sama lain—yang memiliki eksistensinya sendiri di dunia. Maka ini berarti Dasein ‘melangkah ke depan’ ke arah ada-nya yang masih-harus-terelasisasi (still-to-be-realized being). Bagi Dasein “to-be” berarti “can-be”. Di sinilah puisi Sapardi menemukan kebebasannya dalam konsep kesadaran meruang. [] Yogyakarta, 2020 22



Kedaluwarsa PuisiPuisi Sapardi Rizki Amir



Sehari sebelum saya memutuskan untuk menulis catatan pendek ini, saya dihadapkan pada pertanyaan: mengapa harus barang-barang yang kita konsumsi ada kedaluwarsanya? Misalnya saja, roti cokelat yang hendak saya makan, nyatanya tiga hari lagi akan habis masanya. Bagaimana jika apa-apa yang kita telan sejak awal tidak berbatas tanggal? Lalu, apakah hal serupa juga berlaku pada puisi-puisi, yang juga kita konsumsi setiap hari? Puisi sebagaimana kita tahu merupakan hasil akhir dari proses kreatif (seni) yang memerlukan medium (perantara) untuk menyosialisasikan ke pembaca, dan dalam hal ini, salah satunya adalah penerbitan buku. Meski pun menulis puisi adalah satu hal, dan menerbitkan buku 23



adalah lain hal, hadirnya satu kumpulan puisi seringkali juga untuk menandai satu momen, seperti buku Melipat Jarak (2015) karya Sapardi Djoko Damono. Buku itu hasil kurasi yang dilakukan oleh Hasif Amini dan Sapardi Djoko Damono dari buku-buku puisi yang telah terbit antara tahun 1998-2015 antara lain dengan maksud untuk melengkapi Hujan Bulan Juni yang terbit pertama kali tahun 1994 yang mencakup puisi-puisi yang ditulis antara tahun 1959-1994. Puisi-puisi dalam buku itu dipilih dari beberapa buku, yakni: Arloji; Ayat-ayat Api; Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?; Mata Jendela; Kolam; Namaku Sita; Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita; dan Babad Batu. Sekilas tampak ada yang berusaha meromantisir keadaan, dengan diterbitkannya buku tersebut kita secara tidak langsung akan dituntun untuk senantiasa mengingat bahwa Sapardi pertama kali menerbitkan buku duka-Mu abadi tahun 1969 dan tetap produktif meski menginjak usia dengan kepala tujuh. Tidakkah itu terlalu berlebihan? Namun, bisa saja ada alasan lain di baliknya. Dan saya, sebagai pembaca yang celaka ini, tidak punya hak untuk menggugat pilihannya. Lagipula, hal itu cukup memberikan keyakinan pada pembaca, bahwa buku Melipat Jarak adalah proyek serius yang berisi puisi-puisi terbaik. Dari pembacaan awal saya yang terburu-buru dan penuh dugaan, saya bertemu dengan kejutan-kejutan kecil. Salah satu di antaranya adalah bagian keputusan dipilihpilahnya tujuh puluh lima puisi guna menekankan bahwa 24



Sapardi juga berusia demikian pada tahun itu. Di sisi lain, buku setebal seratus tujuh puluh delapan halaman itu juga menunjukkan bahwa puisi tetap bisa dikonsumsi dalam rentang waktu yang tak terkira. Saya tidak tenang karenanya. Saya memutuskan untuk membaca kumpulan puisi itu lagi, tentu saja, dengan lebih sabar. Ketika saya bertemu dengan puisi pertama di buku itu, berjudul Catatan Masa Kecil, 4 saya seperti berada pada ruang pengelolaan makna dengan adegan dari masa lalu sebagai dindingnya. Setiap perpindahan dari satu kalimat ke kalimat lain mengalami pendalaman emosi dari waktu yang hilang. Berikut saya kutipkan penuh puisinya: “Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua/ hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali/ satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih/ besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada/ angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga/ kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga/ malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak/ ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah/ bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut/ ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.// Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.” Tak bisa dipungkiri, puisi Sapardi ini secara bersamaan menawarkan keriangan batin dan menyuguhkan kegemasan yang abstrak tentang hidup untuk saling mengingat 25



dengan kata. Peristiwa akan tetap hadir dalam teks, walau tahun dan pembacaan terus berlalu. Di puisi lain, pada halaman tiga puluh sembilan, dengan judul Gadis Kecil kita bisa membaca ada pola ucap puitik dengan medan makna yang bergerak lambat. Berikut saya kutipkan: “Ada gadis kecil diseberangkan gerimis/ di tangan kanannya bergoyang payung/ tangan kirinya mengibaskan tangis –/ di pinggir padang ada pohon dan seekor burung.” Puisi itu jelas made in Sapardi, namun ada intertekstualitasnya, yaitu puisi-puisi Chairil Anwar khususnya pada era 1948. Memang, intertekstualitas adalah sesuatu yang sangat wajar dalam dunia sastra. Sebagaimana yang dituturkan oleh Julia Kristeva, tidak ada teks yang monolitik, karena setiap teks pasti ada kaitan dengan teks lain. Dari puisi itu pula kita juga bisa melihat bahwa kerangka pikir yang sedang digunakan adalah diakronik: taat pada cetak biru, oleh karena itu mengapa kita dapat menyebutnya sudah memenuhi kriteria kreativitas yang baku, sebagai bagian dari unity in variety—gabungan dari unsur kontemplasi, jarak estetik, dan framing. Di puisi yang berbeda, dengan judul Hawa Dingin saya temukan kejutan lain dari metafor yang bisa membawa pembaca bergerak di luar waktu: “dingin malam memang tak pernah mau/ menegurmu, dan membiarkanmu telanjang;/ berdiri saja ia di sudut itu/ dan membentakku, “Ia hanya bayang-bayang!”. Selain relatif beres dalam teknis, ia juga berhasil menggambarkan suasana tegang dengan manis. 26



Sebab, yang sederhana dan remeh temeh, kadang lebih bertahan lama gemanya dibandingkan dengan mengangkat persoalan-persoalan besar. Tiga kutipan puisi tadi hanya contoh kecil betapa Sapardi mampu menghadirkan ilusi tentang kehidupan. Dalam berbagai puisi dalam buku Melipat Jarak tersebut, ia bukan hanya sekadar menulis realita, tapi berusaha mendedah apa yang ada di belakang realita dengan cara yang santun. Ia menggunakan bahasa sebagai realita baru dari masa lalu dalam puisi dengan pijakan representasi ruang masa kini. Menjadi penulis (penyair) kiranya adalah upaya membangun ide abstrak yang ujungnya adalah ekspresi dan kekuatan batin. Mungkin bagi sebagian besar orang, kehadiran Sapardi adalah sebuah angin segar, tapi disadari atau tidak, kedaluwarsa puisi-puisinya di beberapa bagian justru menjadikan para pembaca stuck. Itu tidak terlalu penting. Jadi, tidak perlulah diudarkan. Yang ingin saya katakan sesungguhnya adalah, saya tidak terlalu mengerti mengapa orang-orang seringkali dengan mudah menyandingkan kata abadi dengan puisi Sapardi. Padahal jelas, ia hanya membongkar-pasang ruang domestik dari masa yang telah lewat. Saya mungkin bukan pembaca yang baik, atau mungkin lebih tepatnya: pembaca yang gagal, oleh karena itu bagi saya pribadi tidak ada yang spesial pada Sapardi. Tapi, sekarang atau lima puluh tahun lagi orang-orang akan tetap mencintainya, mencintai puisi-puisinya. Duh! [] 27



21 November 2015 Bedah novel "Suti" bersama Sapardi Djoko Damono di Bentara Budaya Solo. (Foto-foto: Dokumentasi BBS)







Sapardi menghadirkan waktu dalam pengalaman yang pernah terjadi dan penuh dengan ketidakpastian. Waktu pasti tersebut lantas berubah menjadi petanda-petanda kecil yang membentuk struktur ingatan—bahkan pengetahuan, sehingga membuatnya abadi. Risda Nur Widia



Sapardi Berumah di Puisi7 Hanputro Widyono



Saya mengingat rumah Sapardi Djoko Damono beralamat di puisi. Rumah itu berada di jalan yang kita sebut jalan karena ia harus jalan. Bentuknya sederhana saja, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api. Namun rumah itu juga tabah layaknya hujan di bulan Juni. Ingatan ini mendapat revisi di Minggu, 19 Juli 2020, pagi: Sapardi Djoko Damono telah berpulang ke rumah Sang Hyang Widi. Tiada berapa lama setelah kabar diterima, satu demi satu teman saya membuat status WA. Ada yang mengunggah potret Sapardi dan ada pula yang memotret puisinya. Intinya sama, teman-teman mengucapkan selamat jalan dan mengirimkan doa. 7 Terbit pertama kali di situs web detiknews.com pada 20 Juli 2020 30



Kabar pulangnya Sapardi ke rumah Sang Hyang Widi artinya juga kepindahan rumahnya yang ke sekian kali. Kita mengerti bahwa sejak kecil, Sapardi telah sering berpindah-pindah rumah. Sapardi lahir di rumah kakeknya, di Kampung Baturono, Solo, pada 20 Maret 1940. Sapardi dan orangtuanya tinggal di rumah itu selama tiga tahun. Setelah itu, mereka memutuskan pindah dan mengontrak rumah di Kampung Dawung sekitar dua tahun. Pada tahun 1945, mereka kembali berpindah ke Kampung Ngadiwijayan, menumpang di rumah kakek Sapardi dari garis ibu (Bakdi Soemanto, 2006). Di rumah ketiga ini, Sapardi dan keluarganya menetap cukup lama, sekitar 12 tahun. Maka tak heran kalau rumah ini cukup melekat di hati Sapardi. Hal ini terlihat dalam puisi-puisi awal Sapardi yang terarsip dalam buku Manuskrip Sajak (2017). Simaklah puisi berjudul Dari Hadiwidjajan Dahulu: “Tak pernah kupikir akan sampai sedjauh itu/ Rasa pisah antara keluarga antara orang jang tjinta/ Hari-hari terakir kita bertjakap, paling dekat/ Lalu berpisah sebab masing-masing mesti pindah tempat.” Di Ngadiwijayan, keluarga Sapardi memang tidak numpang sendiri. Mereka tinggal bersama 20 keluarga lainnya yang turut magersari di rumah kakeknya yang luas. Rumah itu hanya berjarak 500 meter dari rumah sastrawan WS Rendra, B Sutiman, Bakdi Soemanto, dan Sugiarta Sriwibawa. Sekian lama menetap, keluarga Sapardi harus pindah rumah lagi. Kali ini ke wilayah utara Kota Solo, tepatnya di Kampung Komplang yang sepi 31



dan tidak banyak hiburan seperti ketika di Ngadiwijayan. Meski demikian, rumah ini penting diingat sebagai rumah kelahiran puisi-puisi awal Sapardi. Seperti yang dikatakan Sapardi pada Bakdi Soemanto bahwa suasana di Komplang yang sepi membuatnya lebih banyak tinggal di rumah untuk membaca dan menulis. Tentang rumah ini Sapardi juga mengabadikannya dalam sebuah puisi. Kita kutip satu bait puisi berjudul Di Rumah Tua yang terarsip di buku Manuskrip Sajak: “Rumah tua jang baring lesu meminggir kota/ Kusua disana kedamaian bergajut pada tjita-tjita/ Singgahlah didada omong ibu bapa malam demi malam/ Dunia jang kukenal sedari masa sekolah rendah.” Puisi demi puisi bertema rumah akhirnya lahir dari tangan Sapardi. Kita menduga saja bahwa masa lalu yang akrab dengan peristiwa berpindah rumah menjadikan Sapardi memiliki makna mendalam perihal rumah. Bahkan, imaji rumah kembali Sapardi gunakan tatkala menulis puisi tentang penyair di majalah Basis edisi Juli 1966. Kita simak: “Aku telah terbuka perlahan2, seperti sebuah pintu, bagimu/ satu persatu aku terbuka, bagai daun-daun pintu,/ hingga achirnja tak ada apa2 lagi jang bernama rahasia; begitu sederhana: samasekali terbuka,/ dan engkau akan selalu mendjumpai dirimu sendiri disana”. Puisi ini mungkin petunjuk untuk memasuki jagat puisi Sapardi. Dalam perjalanan hidupnya, Sapardi telah mengalami perpindahan rumah lagi, seperti di Jogja dan di Jakarta. Sekian puluh tahun tinggal di Jakarta dan menulis puisi 32



tak membuat Sapardi bosan dengan imaji rumah. Di buku Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang (2020) karya kolaborasinya dengan Rintik Sedu, Sapardi memberikan porsi yang cukup untuk kehadiran imaji rumah. Bahkan pembaca seakanakan diajak bertamu ke “rumah” puisi. Pembaca diharuskan “mengetuk pintu” di bagian pertama, sebelum “dipersilakan masuk” di bagian kedua, dan akhirnya melangkah masuk melewati pintu untuk “sampailah sudah” di bagian ketiga. Di buku ini, kita merasakan perbedaan nuansa rumah yang dihadirkan Sapardi dari puisi-puisi rumah terdahulu. Barangkali alamat tinggal dan perubahan zaman turut memengaruhi cara seseorang memaknai “rumah”. Orang-orang di kota terlalu sering berada di luar rumah. Hampir sepanjang waktu mereka habiskan di jalan-jalan, perkantoran, pusat perbelanjaan, maupun restoran-restoran. Rumah hanya jadi semacam tempat singgah setelah memastikan tidak ada lagi tempat-tempat “penting” yang mesti dikunjungi. Seperti Bang Toyib, orang-orang di kota jarang pulang. Alhasil, Sapardi menulis: “Pulang tidak pernah/ punya Rumah/ dan tidak bisa diseret-seret/ ke mana-mana oleh setan pun/ oleh apa pun/ bahkan oleh siapa pun/ yang merasa pernah/ melahirkannya.” Tentang hal tersebut, kita telah menjadi saksi betapa sulit dan tersiksanya orang-orang kota untuk tinggal di rumah saja, bahkan di masa-masa pandemi seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. Meski begitu, bagi Sapardi, rumah bukan sekadar wujud fisik bangunan. “Rumah baru disebut rumah kalau 33



kita ada, kan?” tulisnya. Rumah lebih lekat dengan dunia batin, ruang yang memungkinkannya “ada”, yang memungkinkannya menuliskan cita-cita, harapan, dan tujuan hidupnya: puisi. Kini, setelah sekian kali berpindah rumah, Sapardi mesti juga berpindah rumah untuk terakhir kalinya. Sapardi pun berumah di puisi. []



34



Pada Suatu Hari Nanti, Sebuah Buku Cerita Anak Nai Rinaket



Buku Cerita Anak Untuk Riris Ketika kami sibuk memperkosa perempuan-perempuan itu dalam buku cerita para kurcaci sedang berdebar menyaksikan Sang Pangeran mencium kening Putri Tidur— kobaran api itu melepaskan isyarat yang tak ada lagi kuncinya



35



Puisi Buku Cerita Anak (Ayat Ayat Api, 2017) dipersembahkan Sapardi Djoko Damono untuk Riris K. Sarumpaet yang menulis salah satu penelitian penting tentang sastra anak, Bacaan Anak-anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak-anak Serta Minat Anak pada Bacaannya (1976). SDD memang tidak secara khusus menaruh perhatian pada perkembangan sastra anak dengan menuliskan sebuah tulisan panjang khusus. Tapi, tema anak dan masa kanak tidak luput dari perhatiannya di puisi. Selain Buku Cerita Anak, ada Catatan Masa Kecil 1, Catatan Masa Kecil 2, Catatan Masa Kecil 3, Di Tangan Anak-Anak, Perahu Kertas, Anak Kecil, Suatu Hari di Taman Kanak-kanak. Di antara puisi-puisi itu, kiranya hanya Buku Cerita Anak yang memberi celah pengandaian tentang perhatian Sapardi pada kepustakaan anak. Puisi menerakan cara pandang yang sering berlainan antara manusia dewasa dan anak-anak. Bagi manusia dewasa, seksualitas masih sering begitu saja dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan, kejam, tidak patut. Anak-anak (sebagai pembaca buku cerita anak) melihat peristiwa itu sebagai keindahan belaka, sebuah awal perjalanan menuju bab berikut yang sudah pasti bahagia. Setidaknya, anak-anak senantiasa memiliki harapan di masa depan. Manusia dewasa sering dilanda sinisme yang tak berkesudahan pada hidup, juga keindahan-keindahannya. Di sini, kita semacam menyaksikan daya yang bisa diberikan oleh bacaan pada anak. Bersama buku bacaan 36



yang baik, anak-anak bisa diajak untuk mengerti dan menghadapi berbagai persoalan hidup dalam cara-cara yang tidak memaksakan kehendak. Polemik tentang keharusan buku anak yang mesti bisa memberi nilai pengajaran secara eksplisit tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Puisi Buku Bacaan Anak lebih bisa mengarahkan bahasan ke sastrawan dan buku anak. Puisi ini menjelmakan sebuah persoalan diada-adakan yang beberapa kali melintas di pikiran: frasa sastra anak terdengar begitu wajar di telinga, tapi barangkali seorang yang disebut sastrawan pun akan merasa aneh mendengar sebutan sastrawan anak. Kita hanya mengenal sebutan penulis cerita anak bagi mereka yang memuliakan hidupnya menulis cerita-cerita anak. Dalam anggapan umum publik sastra Indonesia, jelas sastrawan dan penulis cerita anak setidaknya tidak berada pada pengertian yang bisa disetarakan meski seringkali pertaruhan menulis cerita anak (yang paling sederhana pun) sama besar dengan sebuah prosa yang tidak ditulis untuk anak. Sastrawan dan (Buku) Anak Salah satu keinginan kecil Romo Mangun yang tidak sempat mewujud sampai akhir hidupnya adalah menulis buku anak. Dia pernah mengatakan, “Di dalam ranah tulis-menulis yang paling sulit adalah menulis cerita anak, dan yang paling mudah, di ujung ekstremnya, adalah menulis skripsi.” Usai membaca novel-novel Romo Mangun dan buku tentang anak pertama dan terakhirnya, 37



Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak, barangkali kita bisa membayangkan buku anak macam apa yang bisa ditulisnya. Tapi toh, itu tidak pernah terjadi. Tidak ada satu pun buku anak dengan penulis tertulis di sampul: Y.B. Mangunwijaya. Barangkali, kesadaran bahwa menulis buku anak sebenarnya tidak begitu sederhana (atau sebaliknya, buku anak terlalu mudah ditulis) itulah yang membuat penulispenulis semacam memilih dengan pasti wilayahnya: sastra atau anak, seolah-olah keduanya bukan bagian dari satu sama lain. Penulis cerita anak adalah penulis cerita anak dan sastrawan bukanlah penulis cerita anak. Jika cerita anak juga bagian dari sastra, maka kita pun bisa menggugat, penulis cerita anak mestinya bisa disebut sastrawan. Djokolelono, Arswendo, Aman, Nasjah Yamin, Leila S. Chudori, dan Zawawi Imron misalnya, sepertinya disebut sebagai sastrawan tidak dengan kesadaran karya-karya mereka termasuk cerita anak. Pada masa Orde Baru, yang harus diakui juga sebagai rezim paling berhasil mencetak buku anak dan paling luas menyebarkannya, menjadi penulis buku anak jadi celah menggoda untuk dilakoni. Tiap judul buku-buku anak dicetak puluhan ribu eksemplar, mencukupkan hidup sejumlah penulis negara masa itu. Indonesia pun berkelimpahan buku anak dengan ruparupa tema, dari transmigrasi, KB, PKK, pembangunan desa tertinggal, juga lokalitas yang masih jadi tema utama 38



buku-buku anak hari ini. Buku-buku itu pun sebagiannya berasal dari sastrawan kita. Pada tahun 1986, Zazawi Imron menulis cerita anak Melihat Kerapan Sapi di Pulau Madura. Leila S. Chudori, pada masa remajanya pernah menulis kumpulan cerpen Hadiah (1977). Namun, kita jarang menandai penulis cerita anak sebagai bagian dari biografi kepengarangan mereka. Barangkali, menulis cerita anak bagi sebagian sastrawan adalah sejenis hiburan kecil, sebuah tindakan iseng yang tak perlu terlampau dipikirkan—karena “kemudahan” penulisannya. Tidak semua buku inpres tidak layak baca, tapi kita tahu mencari puluhan jarum di tumpukan jerami itu ampun-ampunan susahnya, apalagi buku-buku lawas. Setidaknya kita tahu, selama puluhan tahun, secara umum buku anak macam apa yang dicecap oleh bocah-bocah Indonesia dan akhirnya menjadi standar umum dominatif penulisan cerita anak di negeri ini. Jadi, jika Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019 tiba-tiba hadir dan menginginkan menangnya naskah sekelas Oliver Twist di sebuah negara yang telah dikungkung oleh warisan cerita anak moralis sepanjang tiga dekade, rasanya juri mestinya memang tahu mereka akan lebih banyak kecewa. Polemik yang ditimbulkan oleh sayembara itu—dan barangkali telah dilupakan!—mestinya membuka ruang pemikiran yang lebih luas tentang gagasan sastra anak di Indonesia, bukan mempertontonkan sikap elitis para sastrawan dan sikap eksklusif penulis-penulis cerita anak. 39



Keberlangsungan ekosistem sastra anak Indonesia adalah salah satu tanggung jawab utama para penulisnya, sastrawan atau penulis buku anak yang tak berkenan disebut demikian. Kesadaran akan kebutuhan buku anak yang bermutu bagus sebagai permulaan tautan anak-anak pada buku-buku bacaan, termasuk buku-buku sastra yang bagus di masa depan. Penelitian masif terhadap ribuan buku anak di 43 negara yang dilakukan oleh David C. McClelland (1987) menerakan, buku-buku anak berpengaruh besar pada kemajuan sebuah negra di masa mendatang. Hal-hal ini mestinya bisa menjadi landasan berpikir dan berjalan beriringan di jalan sastra anak bersama-sama. Kenyataannya, gagasan sastra anak memang masih belum mendapatkan perhatian serius oleh publik dan para pemikir Indonesia. Dalam hal pemikiran, rasanya kita belum bisa berhenti mengutip tulisan Christantiowati, Riris K. Sarumpaet, dan Murti Bunanta—bahkan untuk membicarakan situasi sastra anak mutakhir. Penulispenulis muda yang memiliki perhatian pada sastra anak dan terlibat secara pemikiran pun tidak bisa disebut dalam daftar panjang, salah satunya Setyaningsih yang menulis kumpulan esai tentang anak dan pustaka dalam buku Kitab Cerita (Bilik Literasi, 2019). Sastra anak pun sepertinya belum pernah jadi perhatian khusus para kritikus sastra Indonesia. Kita berharap ratusan tahun lamanya lagi sampai Indonesia memiliki penghargaan terkhusus untuk menghormati cerita-cerita anak yang digarap paling bagus. 40



Cerita-cerita anak bagus bukan tidak ada di Indonesia. Hanya, tidak semua anak beruntung memiliki orangtua yang tahu bagaimana memilih buku untuk anak-anak mereka. Ketersediaan buku-buku anak bermutu secara masif akan mengecilkan kesempatan orangtua mana saja untuk memberi buku anak tak layak baca untuk anak-anak mereka. Barangkali, di sinilah para sastrawan Indonesia berhutang budi pada buku-buku anak yang mereka baca di masa kecil. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menulis buku anak demi anak-anak Indonesia. Barangkali, kita mesti mengganti kalimat Pram yang masyhur itu menjadi seperti ini: “menulis cerita anak adalah tugas pribadi dan nasional.” Kita yakin, Sapardi memiliki setumpuk warisan kata yang belum terkabar pada publik. Mungkinkah di sela tumpukan itu, terselip sebuah saja kata-kata persembahan untuk anak-anak Indonesia? []



41



Anak-Anak Sapardi Vera Safitri



Catatan Masa Kecil, 3 ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa/ gerangan yang ada di luar semesta dan apa/ gerangan yang ada di/ luar luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada/ yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia/ terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan/ berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya/ sudah berdiri di belakangnya berkata, “biar kututup jendela/ ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang/ udara malam jahat sekali perangainya.”



42



Rasa-rasanya, Sapardi Djoko Damono memang tak ingin membiarkan pembacanya tenggelam dalam kubangan Hujan Bulan Juni. Di antara sajak-sajak dalam buku puisinya yang itu, trilogi Catatan Masa Kecil memang terasa sedang mencatatkan sesuatu. Meski tokoh “ia” dalam segala puisi terasa selalu misterius, tapi tentu pembaca boleh-boleh saja menganggap sang tokoh berwujud bocah wajar yang ingin tahu. Dalam puisi, jendela merupa mata sang bocah. Dia melihat keluar dengan takjub, menaruh tanya yang panjang, menunggu sang ibu datang. Ia tak menyangka (atau barangkali sudah) sang ibu yang ditunggu-tunggu justru menutup jendela demi “menjaga” anaknya dari marabahaya. Ketimbang menghadapi bejibun pertanyaan anakanak, orang dewasa lebih memilih untuk menutup “jendela”, yang sekaligus sedang menjauhkannya dari kemewahan memilih. Lontaran pertanyaan dari mulut anak-anak barangkali bisa disudahi hari ini, tapi di kemudian hari dia akan kehilangan jauh lebih banyak hal ketimbang sekadar pertanyaan. Spontanitas, kekuatan, penasaran, dan kesenangan anak-anak harusnya dipandang sebagai bagian-bagian yang patut dikembangkan dan dirayakan. Tapi, dalam dunia yang sepenuhnya disusun oleh orang-orang dewasa ini, bahkan untuk mengembangkan dan merayakan hal itu, anak-anak tak dibiarkan melewati garis kerangka masa kanak-kanak bayangan orang dewasa. Apa yang harusnya dikenakan oleh anak-anak, apa yang harusnya mereka 43



tonton, mereka mainkan, baca, dan lakukan, tak pernah diatur secara biologis. Semua itu hasil coba-coba orang dewasa. Kesinisan Sapardi soal ini berlanjut ke puisi Di Tangan Anak-Anak yang dia tulis sepuluh tahun setelah puisi Catatan Masa Kecil, 3: Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad/ yang takluk pada gelombang, menjelma burung/ yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;/ di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci/ ”Tuan, jangan kauganggu permainan ini.” Sapardi tampaknya jelas percaya kalau keajaiban utama anak-anak adalah kebebasan imajinasi mereka. Dalam puisi ini, dia menghadirkan orang dewasa dalam tokoh “Tuan” sebagai ancaman yang bisa kapan saja mengganggu “permainan” anak-anak. Kita boleh saja mengingat cuplikan komentar lucu Joseph, bocah lelaki yang sempat diwawancarai Neil Postman dalam pengantar bukunya Selamatkan Anak-Anak (2009). Dia bilang, “Masa kanak-kanak tidak akan hilang karena kamu menonton TV, aku pikir masa kanak-kanak akan terbuang dengan pergi ke sekolah enam hari dalam seminggu. [...] Masa kanakkanak terlalu berharga untuk dihabiskan di sekolah lebih dari separuh minggu.” Puisi (dan) Anak Ketika buku-buku anak masih belum bosan menghadirkan sosok orang dewasa yang mampir sebagai juru selamat dalam cerita, lalu membimbing si anak ke 44



jalan yang diridai orang-orang dewasa, Sapardi masih tabah menyisipkan banyak “Joseph” dalam puisinya.



Anak Kecil Anak kecil itu melihat sekuntum bunga mengembang,/ dan itu sudah cukup baginya. Bunga memang mengembang, hidup/ Anak kecil itu tidak sedang memandang matahari/ yang konon menyebabkan pohon itu membiarkan bunganya mengembang/ Matahari memang tidak pernah merasa berbuat sesuatu/dalam urusannya dengan pohon dan bunga/Anak kecil itu kebetulan tidak membayangkan dirinya sebagai bunga (dalam Kolam, 2009). Joseph memang tidak sedang melihat dirinya sebagai lelaki dewasa yang tak paham perkalian atau rumus-rumus fisika dasar. Dia melihat dirinya senang saat bermain, dan itu sudah cukup baginya. Dalam puisi Anak Kecil, Sapardi seolah sedang membisiki kita, kalau mata dewasa tak bisa begitu saja dipakai untuk menyusup ke dalam anak-anak. Di tengah ambisi para orangtua untuk menciptakan anak-anak yang literer, puisi tampaknya jadi yang paling pinggir untuk didekati. Anak-anak selalu dianggap liar dan perlu diluruskan oleh orang-orang dewasa. Itu sebabnya orangtua butuh suatu bentuk yang frontal melarang ini, melakukan itu, membentuk pondasi moral yang dibayangkan orang-orang dewasa. Orangtua tak mau berbasa-basi menghabiskan waktu untuk menjelas-jelaskan 45



satu-dua kata dalam puisi. Membacakan suri teladan di tiap akhir cerita dianggap jauh lebih mudah. Meski dalam satir, Romo Mangunwijaya sempat berujar bahwa anak-anak adalah sekelompok persona non grata atau oknum-oknum yang tak diinginkan, tapi rasarasanya peralihan sebagai orang dewasalah yang hadir sebagai fase-fase yang tak begitu diinginkan. Kita bisa menghayati kemirisan itu lewat lagu Andai Aku Besar Nanti yang dinyanyikan oleh Sherina Munaf, kala masih jadi penyanyi cilik kelas kakap Indonesia: Andai aku tlah dewasa/ Apa yang kan kukatakan/ Untukmu idolaku tersayang/ Ayah/ Andai usiaku berubah/ Kubalas cintamu Bunda pelitaku, penerang jiwaku/ Dalam setiap waktu/ Kutahu kau berjaga dalam langkahku/ Kutahu selalu cinta dalam senyummu/ Oh, Tuhan Kau kupinta/Bahagiakan mereka sepertiku. Tampaknya, Sherina makin membikin semuanya jelas, bahwa orang-orang dewasa cenderung membuat anakanak meniru mereka dalam segala hal kecuali kebahagiaan. Jadi, para penikmat lagu harap tak usah terkejut mendengar Sherina sampai harus memintakan kebahagiaan buat ayah dan ibunya pada Tuhan. Lirik “Bahagiakan mereka sepertiku”, terdengar semacam pengakuan bahwa kebahagiaan yang terasa selalu mengelilingi Sherina sebagai anak, sangat sulit didapatkan ayah-ibunya sebagai orang dewasa. 46



Semua ini mengingatkan kita pada celetukan Neil Postman (2009:91), bahwa anak-anak memiliki kapasitas tekad, pemahaman, rasa ingin tahu, dan spontanitas bawaan lahir yang dibunuh oleh literasi, pendidikan, akal, kontrol diri, dan rasa malu. Kedewasaan, yang sebenarnya adalah konsep besar rekaan kita yang lain terasa seperti gerbang yang bukannya menghubungkan antara satu masa ke masa lainnya, tapi lebih sering mengancam suatu kebebasan menuju pada kekangan yang melenakan. Sapardi pergi dalam tua, nyaris seluruh karyanya dinikmati oleh orang-orang dewasa. Tapi kita masih bisa menemukannya dalam kata-kata yang lebih muda dan lebih muda lagi. []



47



21 November 2015 Bedah novel "Suti" bersama Sapardi Djoko Damono di Bentara Budaya Solo. (Foto-foto: Dokumentasi BBS)



Sapardi tampaknya jelas percaya kalau keajaiban utama anak-anak adalah kebebasan imajinasi mereka. ... Sapardi pergi dalam tua, nyaris seluruh karyanya dinikmati oleh orang-orang dewasa. Tapi kita masih bisa menemukannya dalam katakata yang lebih muda dan lebih muda lagi. Vera Safitri



Berlayar Setyaningsih



Di Tangan Anak-anak Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. “Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.” —Sapardi Djoko Damono (1983)



Perjumpaan imajinerku dengan Sapardi Djoko Damono, mungkin juga dialami oleh beberapa orang: bermula dari puisi di buku pelajaran. Puisi itu, yang pasti diminati banyak orang, berjudul Aku Ingin. Aku memindahnya dalam bentuk tulisan tangan ke kertas 50



binder untuk menandai masa-masa SMA yang pahitmanis dengan persahabatan, kecintaanku pada kata-kata, sekaligus cinta masa remaja. Aku merasa konyol dan malu kalau mengingatnya. Puisi hanya jeda dari masa remaja, terkadang menggugah keinginan menulis puisi sendiri dengan gegabah. Terutama dari perpustakaan SMP ke perpustakaan SMA, aku cukup yakin lebih dulu menjadi pembaca prosa daripada pembaca puisi. Jika kuingat lagi bertahuntahun sampai saat ini, betapa susah membaca puisi yang benar-benar membaca dalam tataran kritik. Sekalipun saat mengutip untuk esai—aku paling sering mengutip puisi Joko Pinurbo —pembacaan masih sangat dangkal. Meresensi puisi dan obrolan di Bilik tentu saja menjadi latihan menguras mental (sebelum pikiran). Pelajaran bahasa dan sastra di sekolah pun tidak pernah menyentuh wilayah ini. Bahkan untuk prosa sering yang diajarkan sekadar unsur intrinsik, bukan pembacaan mendalam sekaligus meletakkan buku dalam konteks zaman dan peristiwa manusianya. Dalam pergaulan di Solo, berkenalan dengan acaraacara sastra, aku tidak terlalu mengingat banyak acara yang berkesan. Dan demi undangan menulis dan merayakan Sapardi, aku harus mengatakan bahwa satu-satunya acaraperjumpaanku dengan Sapardi di Toko Buku Gramedia Solo, 19 September 2017, satu di antara yang tidak berkesan. Aku memang merasa wah melihat Sapardi secara ragawi. Tapi acara itu sulit menunjukkan kesan perayaan 51



buku, penulis, dan pembaca karena dibuat sebagai acara “meet and greet”. Acara tersebut merayakan kelahiran buku Manuskrip Sajak (Gramedia Pustaka Utama, 2017) garapan Sapardi Djoko Damono dan Indah Tjahjawulan. Buku mewahelegan seharga 360 ribu berisi sajak-sajak otentik Sapardi. Kebocahan dan Pelayaran Seperti perjumpaan imajinerku dengan para penulis, Sapardi pun masuk daftar keterlambatan. Termasuk esaiesai sastra Sapardi dalam bentuk dua buku Politik Ideologi dan Sastra Hibrida dan Sihir Rendra: Permainan Makna terbitan Pustaka Firdaus. Aku membelinya di Sosial Agency, Yogyakarta. Esai-esai Sapardi masuk bacaan wajib saat mumet belajar menulis kritik sastra yang tidak hampa konteks. Aku merasa bermutu membaca esai-esai Sapardi yang jauh tidak populer dibanding puisi atau prosa. Namun, di antara puisi-puisi kebocahan, aku memiliki kesan mendalam—tapi tidak cengeng—pada Perahu Kertas dan Di Tangan Anak-anak. Dua puisi diramu bersahaja tapi mengokohkan “permainan” dan “imajinasi” dengan kunci anak-anak dan perahu. Dua puisi dengan tidak sengaja dan bahkan tidak disadari seperti mencipta titik mula keingintahuanku pada pelayaran, laut, kisahkisah penjelajahan, kapal dan peta, geografi imperial, kolonialisme, ataupun angan-rantau berpendar di masa kanak. Begitu aku mendapat buku Kisah dari Aceh garapan 52



Garin Nugroho dan Budi Riyanto Karung (2005) saat ngobrol di Bilik, pukau makin kuat. Cerita begitu kuat bukan sekadar tentang kehilangan dan trauma bencana yang berhasil disembuhkan Nur. Air dan kapal membentangkan hari-hari depan untuk dilayari bocah dalam identitas kemaritiman. Keterpukauanku memang kedengaran kontradiktif atas hari-hari sangat berorientasi kontinental. “Masa kecil saya rasanya biasa saja,” begitu Sapardi mengaku merasa tidak pantas menjadi penyair karena tidak memiliki kesengsaraan, ketabahan, dan petualangan seperti Lord Byron, Chairil Anwar, atau Arthur Rimbaud. Namun Sapardi segera meralat, “Ternyata kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu menjadi sumber bagi sebagian puisi saya, setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai mengingatkan saya pada masa kecil tersebut. Sudah sejak lama saya curiga: pasti ada sesuatu di bawah hal-hal yang sehari-harinya saya kenang tentang masa kecil saya itu” (Pamusuk Eneste, ed, 1984). Masa kecil bukan hanya babakan waktu, tapi denyut mengingat dan hidup. Termasuk saat Sapardi mengartikan ulang kisah epik si Kancil dalam cerpen Dongeng Kancil (2019), hal ini melampaui upaya membuat cerita berbeda. Sapardi juru kisah yang seketika mengubah nasib kancil cerdik menjadi tidak berdaya. Di riwayat cerita kebinatangan, seperti hanya kancil yang punya biografi, Sang Kantjil Tokoh Tjeritera Binatang Indonesia (1966) garapan Asdi S. Dipodjojo. Cerita 53



kancil tertua berjudul Serat Kantjil Amongsastra garapan pujangga Kadipaten Surakarta di masa pemerintahan Paku Buwana V, Kyai Rangga Amongsastra. Dipodjojo sekaligus memberikan transkripsi kisah kancil yang juga sangat terkenal, Hikajat Pelandoek Djinaka garapan H.C. Klinkert (1893). Bahkan karena kebajikan dan kebijakan, kancil mendapat julukan agung “Sjah ‘Alam Dirimba.” Kancil hidup di hampir setiap bocah Indonesia, juga Sapardi bocah. Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau/ layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu/ bergoyang menuju lautan (“Perahu Kertas”, 1983). Selamat berlayar lagi, Pak Sapardi! Selamat tetap menjadi bocah. []



54



Saya Selalu Membayangkan Duduk Bersebelahan dengan Pak Sapardi dan Berbisik Ade Ubaidil



1/ pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri8 8 Puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1991 (Hujan Bulan Juni, 2013). 55



Saya pernah dibuat kecewa oleh Sapardi. Saat itu kebetulan bulan Juni tapi langit tak sedang hujan. Novelnya yang berjudul sama dengan puisinya, Hujan Bulan Juni terbit. Mulanya saya enggan untuk membelinya, karena saya tak mau ekspektasi saya akan puisinya yang sudah tinggi, menurun. Namun bagaimana lagi, rasa penasaran timbul . Maka dengan niat yang bulat, berangkatlah saya ke toko buku lalu membeli novel bersampul sederhana itu; dominasi antara warna krem dan abu-abu, tanpa gambar apapun selain tulisan hujan bulan juni yang didesain seolah-olah pudar diterpa air hujan, lalu di bawahnya nama sastrawan besar itu tertera. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan novel itu dalam sekali duduk. Dua atau tiga jam saya beres membacanya. Tetapi, kekecewaan yang hadir hingga hari ini belum bisa hilang. Andai saja ia tak menulis novel yang kemudian saya tahu trilogi itu, rasa hormat saya pada puisi Hujan Bulan Juni pasti tak berkurang. Dan saya tak cukup puas sampai di sana, saya akhirnya menuliskan “kekecewaan” itu dalam bentuk resensi. Kemudian saya posting di blog pribadi saya. Saya ingat betul pertama kali saya tayangkan tulisan itu tanggal 27 Juni 2015, beberapa hari setelah novelnya terbit. Namun, hingga hari ini, resensi itu paling banyak dibaca oleh warganet di blog saya, mengalahkan semua tulisan yang pernah saya posting di sana. Bahkan, ada seorang pelajar yang sengaja menghubungi saya secara pribadi untuk meminta izin menggunakan resensi itu sebagai tugas sekolahnya. 56



Lihat, betapa besar pengaruh karya seorang Sapardi Djoko Damono bagi pembacanya. Kekecewaan ini juga rupanya bukan hanya saya yang alami. Pembaca lainnya juga sama kecewanya. Karena, bagi kami karya itu sangat personal dan sudah bukan lagi “milik” penulisnya. Ia sudah milik publik. Dan cara pembaca memandang puisi itu sudah berada di posisi “sakral” (tanpa mau saya menyebutnya fenomenal). Artinya, bagi saya khususnya, puisi Hujan Bulan Juni sudah selesai bentuknya sebagai puisi. Tak bisa dipakai dalam bentuk lain semacam novel. Jika musikalisasi Ari-Reda tentu itu lain hal. Saya sedang membahas dalam bentuk tulisan. Andai saja Sapardi menulis novel itu dengan judul lain, pasti akan berbeda sudut pandangnya. Meskipun saya menduga, kalau Sapardi menulis itu karena untuk kebutuhan komersial dan tuntutan penerbit belaka. Namun, ini hanya secuil kekecewaan saya terhadap karyanya. Meski tak bisa hilang, rasa kecewa itu sedikit berkurang ketika saya ada kesempatan untuk bertemu, mengikuti kelasnya, bahkan hingga berfoto dan berbincang langsung dengan beliau. 2/ pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati Tiga tahun setelah rasa kecewa itu, saya mendapatkan 57



kesempatan mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yakni Majelis Sastra Asia Tenggara. Sebuah agenda tahunan yang mengundang penulis-penulis dari lima negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Indonesia. Saat itu negara kami yang menjadi tuan rumah. Selama seminggu kami berada di satu tempat untuk berbicara mengenai sastra dan kesusastraan di negara serumpun ini, khususnya soal cerita pendek (cerpen). Salah satu pemateri tamunya adalah Pak Sapardi. Tak banyak penyair yang karyanya saya kagumi, barangkali terhitung jari. Pak Sapardi tentu ada di urutan nomer wahid. Selain karena saya lebih banyak menulis prosa, puisi-puisi Pak Sapardi adalah yang paling mudah saya terima dan nikmati. Saat itu Pak Sapardi tak bisa hadir langsung ke tempat acara. Maka, kami yang mengunjungi beliau di kampus tempat mengajarnya, di bilangan Jakarta. Sebagaimana yang tercitrakan di media, saya selalu mengira penyair adalah orang yang serius. Saya pasti akan bingung bagaimana memulai obrolan bila ingin berbincang dengannya. Namun rupanya, tak kenal..., maka berkenalanlah agar tahu. Aslinya Pak Sapardi jauh dari asumsi itu. Beliau sangat ramah, rendah hati, dan tentu saja “sedikit gila”. Bagaimana tidak, beliau begitu mudah membaur dengan kami para anak muda dan tak sedikit banyolan yang keluar dari bibir keriputnya. Gejolak mudanya sulit sekali beliau sembunyikan. Bahkan beliau cukup update soal media sosial. 58



Di sisa usianya, hampir setiap hari beliau mengunggah foto di akun Instagram-nya. Singkat cerita, seusai mengikuti kelasnya, kami ada kesempatan untuk melakukan tanya-jawab. Setelah itu, saya meminta berpose berdua saja, dan itu sulitnya minta ampun. Setelah berhasil meminta waktu, saya mengarahkan beliau untuk salam literasi dengan membentuk huruf L pakai jari telunjuk dan jempolnya. Walahdalah, beliau malah membentuk pistol dan menembakkannya ke arah saya. Hal remeh semacam itu justru membuat saya terkesan hingga hari ini. Saya tak betul-betul tahu kalau saat itu bakal jadi pertemuan terakhir saya dengan beliau. 3/ pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari Usianya memang sudah 80 tahun, akan tetapi rasanya masih seperti mimpi mendengar berita kepergiannya bulan Juli 2020 lalu. Kini ia telah kembali pada Sang Mahapuisi. Barangkali sekarang ia sedang menulis sajak dengan-Nya, tanpa perlu pusing diundang ke sana-kemari mengisi acara seminar sastra lagi. Kemasyhurannya sebagai sastrawan tak bisa dielakkan. Ia sudah begitu banyak melahirkan karya sastra, bahkan hingga di penghujung usianya. Saya seringkali dibuat malu oleh produktivitasnya dalam 59



melahirkan karya. Ada satu hal yang masih saya sembunyikan hingga hari ini. Tak banyak kawan-kawan saya yang tahu. Namun, sekarang mungkin waktu yang tepat untuk saya ceritakan. Awal Januari lalu, saya berkesempatan ikut proses pembuatan film yang terinspirasi dari karya beliau. Sewaktu penulis skenario cum sutradaranya saya tanya, “Apakah nanti bakal ada Pak Sapardi muncul sebagai cameo?” Jawaban yang ia beri mematahkan harapan saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Sapardi. Katanya, “Sepertinya tidak memungkinkan.” Namun dengan lekas ia berusaha membesarkan hati saya, “Barangkali sewaktu premier nanti bakal kami undang.” Mendengar itu saya gembira sekali! Ini project pertama saya terlibat langsung dalam proses pembuatan film panjang. Lantaran lokasi syutingnya di Banten, film ini kebetulan sepenuhnya berbahasa daerah Banten: Jawa dan Sunda. Saya bertindak sebagai salah satu dialek-coach untuk para talent. Puisi Hujan Bulan Juni lagi-lagi diinterpretasikan dalam medium lain. Memang, film dengan judul itu sudah pernah diproduksi dan tayang dalam bentuk film populer. Akan tetapi, film yang saya terlibat di dalamnya ini dibuat lebih “indie” dan “edgy”. Selain bakal masuk bioskop akhir tahun nanti, film ini juga akan diikutkan dalam berbagai festival film internasional. Selama dua minggu syuting, saya selalu membayangkan saat premier nanti bakal duduk bersebelahan dengan Pak Sapardi dan berbisik, “Ini saya lho yang pernah foto bareng 60



Pak Sapardi waktu itu. Sekarang saya terlibat dalam penggarapan film ini.” Ingin sekali saya mengatakan hal itu pada beliau. Namun, sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah // tubuhmu telanjang dengan rambut terurai // mengapung di permukaan air bening yang mengalir tenang -- // tak kausahut panggilanku.9 Film itu nantinya akan dikenang sebagai tribute untuk Sapardi. Saya hanya akan duduk sendiri di sudut bioskop ditemani kursi yang kosong. Akan ada percakapan yang saya karang-karang sendiri di sana, sembari menyaksikan film yang dipersembahkan untuk penyair kita yang tabah, bijak, dan arif itu. [] Cilegon, 10 September 2020



9 Puisi Sehabis Suara Gemuruh karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1973 (Hujan Bulan Juni, 2013). 61



Bermula Kolam, Bermula Pola Widyanuari Eko Putra



Saya memasuki area Taman Budaya Raden Saleh, Semarang. Segera kami gegas menuju gedung Ki Narto Sabdo karena kami merasa datang terlambat menghadiri acara diskusi buku Kolam milik Sapardi Djoko Damono. Tak sampai dua jam acara ini pun usai, dan pada akhir acara untuk kali pertama itulah saya bersua Sapardi dari jarak yang begitu dekat, sangat dekat. Momen peristiwa ini tentu tak akan pernah terjadi seumpama saya tak membawa buku bersampul keras berjudul Kolam itu. Mengenakan jas berwarna cokelat terang, dengan syal tergelung di lehernya, dan topi khasnya yang seolah tercipta hanya untuk menempel di kepalanya, Sapardi kala itu kelihatan sangat penuh aura.  Sejak itu, bertahun-tahun 62



kemudian setelahnya baru saya kembali berkesempatan menjumpai Sapardi di Solo, dalam sebuah helatan di Balai Soedjatmoko. Kisah itu terjadi sepuluh tahun silam, tepatnya pada 20 Juni 2010—saya tahu persis karena Sapardi sendirilah yang membubuhkan tanggal di bawah tanda tangan yang tertera di buku saya. Kala itu saya masih berstatus mahasiswa semester enam dan malam itulah kali pertama saya membeli buku karya Sapardi. Cukup terlambat memang, meski beberapa bukunya sudah saya baca di perpustakaan. Ingatan tentang kisah yang sudah sepuluh tahun berlalu itu muncul kembali setelah saya membaca sebuah sajak pendek berjudul Bulan Separuh: kepada Joko Pinurbo” (Kompas, 27 April 2019) karya Emi Suy, penyair kelahiran Magetan, Jawa Timur. Begini ia menulis puisinya: bulan separuh jatuh di dasar kolam matamu yang hening memantulkan cahaya bohlam kau hanyut di laut malam : kita ingin tenggelam tapi enggan karam 2019 Sajak pendek ini tampil dengan pola “mata penyair sebagai mata kamera”. Di larik pertama, mata penyair memotret gambaran bayangan bulan yang tampak di dasar kolam. Larik kedua arah fokus mata penyair bergeser ke objek lain dan langsung tertuju ke “matamu yang 63



hening”. Di larik ketigalah penyair mulai menghadirkan suasana yang mereka rasakan. Malam serupa laut yang membentang. Ada sunyi dalam gemuruh di sana, ada ketakterjangkauan di sana, ada pula kedamaian di sana. Mereka ingin larut di dalam “laut malam” tetapi mereka “enggan karam”. Ada upaya mengendalikan diri meski hasrat sedemikian kuat. Di hadapan sebuah kolam suasana sendu tercipta berkat pantulan bulan di kolam dan cahaya bohlam yang temaram. Kolam itu berperan menjadi rujukan mencipta suasana dalam puisi. Peristiwa dalam puisi itu terjadi di dekat kolam meski pada akhirnya penyair lebih mengarahkan pembaca untuk ikut larut dalam “laut malam”. Suasana kolam apalagi di malam hari memang syahdu. Dan penyair yang fasih mendeskripsikan kolam lewat sebuah puisi, Sapardilah orangnya dan puisi itu termuat di buku yang di bagian awal tulisan ini saya ceritakan. Meski sebenarnya sulit memastikan apakah di puisinya Emi Suy bertolak dari kolam tempat biasa ikan dipelihara atau kolam tempat untuk berenang. Untuk puisi Sapardi jelas sekali mengacu pada kolam yang saya  sebut pertama. Lewat puisi berjudul Kolam di Pekarangan Sapardi dengan telaten menyorot satu per satu bagian di sekeliling kolam lantas menghidupkannya lewat personifikasi atas benda-benda. Sapardi bercerita tentang daun yang jatuh dari ranting, percakapan ikan-ikan di kolam, serta tentang air kolam itu sendiri. Tentang ikan, misalnya, Sapardi menulis begini: Ikan 64



tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Dari larik ini saja terasa betul bagaimana pola “menghidupkan” benda-benda itu terbaca. Sapardi memasuki dimensi kebendaan, untuk kemudian mengenalinya satu per satu, dan menempatkan benda-benda tersebut dalam kepekaan serupa manusia. Objek benda-benda itu diberi “nyawa”. Pun pada larik tentang air berikut: Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur dan menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Bahkan tentang daun: Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa merindukannya. Membaca sajak ini saya dibikin merasakan suasana yang begitu intim tentang bagaimana benda-benda di sekitar kolam itu diimajinasikan sebagai persona yang hidup. Sapardi lewat puisi ini saja kentara sekali menawarkan pola, dan sebab itu pola maka ia menjadi sangat gampang dicangkok, diadaptasi, dicuri, yang imbasnya ialah banyak penyair yang tersedot ke sana, ke pola khas Sapardi itu. Ada yang bertahan dan tak tersedot, tetapi tak sedikit pula yang pasrah dan luruh, memberi diri menjadi penikmat dan penganut, menjadi Sapardian. Jika pembaca sekalian gemar membaca buku puisi yang terbit belakangan, tak sulit menggangsur beberapa nama yang saya maksud. Menjadi Sapardian sebagai proses tak pernah ada salahnya. []  65



28 April 2009 Pesta puisi peluncuran antopologi puisi "Kolam" karya Sapardi Djoko Damono. (Foto: Dokumentasi Bentara Budaya Solo)



21 November 2015 Bedah novel "Suti" bersama Sapardi Djoko Damono di Bentara Budaya Solo. (Foto-foto: Dokumentasi BBS)



“ Menjadi Sapardian sebagai proses tak pernah ada salahnya. Widyanuari Eko Putra



Bebunyian Sapardi: Puisi dan Lagu Ais Nurbiyah Al-Jum’ah



Pertemuan saya dengan Sapardi Djoko Damono (Sapardi) pertama kali bermula di Toko Buku Gramedia. Dalam ruangan dingin ber-AC, sebuah buku mahal dengan sampul tebal (hard cover) berhasil terbeli dari mahasiswa yang masih merengek uang saku dari orangtua. Di sampul buku itu bertulis, Hujan Bulan Juni. Sepilihan sajak Sapardi dari tahun 1959-1994 “termakamkan” dalam rumah buku berkualitas tinggi. Buku-buku sajak Sapardi dahulu tentu saja tak bisa semewah itu. Ya, barangkali saja, industri buku sudah seharusnya memodifikasi buku-buku agar lebih menarik dan unggul! Pertemuan dengan Sapardi melalui buku mahal. 68



Usai bertemu Hujan Bulan Juni, Makassar International Writers Festival (MIWF) membawa saya pada pertemuan lahiriah dengan Sapardi. Namun, pertemuan antara buku dan pembaca ternyata lebih intim dibandingkan dengan bertemu langsung sang penyairnya. Di antara sajak-sajak Sapardi yang saya baca, kami bisa saling sapa, saling menegur, bertanya jawab, berbincang tentang bintang dan binatang, atau tentang bekal apa yang seharusnya saya bawa ke kampus. Pertemuan dengan sang Sapardi di MIWF bahkan tak melahirkan percakapan apaapa. Saya yang berada di posisi penonton hanya melihat punggungnya dari jauh. Tubuhnya yang bungkuk berjalan dibantu oleh tongkat yang menopang sebagian tubuhnya. Lelaki tua itu berjalan lamban, namun semakin menjauh, hingga tubuhnya hilang bersama keriuhan festival literasi. Beberapa kali bertemu Sapardi di MIWF, di tahun 2018 kami kembali berjumpa di Universitas Indonesia (UI). Di ruang kelas itu, saya tak lagi berstatus penonton, tapi antara mahasiswa dan dosen. Mahasiwa yang diajak oleh dosennya menonton pemaparan sang dosen tentang Alih Wahana. Di usia yang sudah senja, Sapardi terlihat sangat berniat menunjukkan jiwa yang segar dan milenial. Tidak heran, selama setahun lebih kuliah di UI, saya baru menemukan slide power point sekreatif dan semelenial bahan presentasi Sapardi. Kemilenialan Sapardi mengalahkan kami mahasiswanya yang ketika diminta membuat presentasi, terkesan asal-asalan. Ia bahkan membawa speaker untuk 69



memutar lagu-lagu Beatles dan lagu-lagu Ari-Reda yang memusikalisasi puisinya. Maka dari itu, saya merasa perkuliahan saat itu lebih dari sekadar ceramah atau presentasi, tapi juga pertunjukkan. Sapardi lagi-lagi menjadikan kami penonton. Meski terkesan gaul dan milenial, Sapardi bukan berarti menegasikan keterbatasan fisiknya. Diselingi candaan, Sapardi meminta maaf kepada kami tidak hadir pada pertemuan minggu lalu karena sakit boyok (pinggang). Sapardi mengingatkan bahwa rumah dalam diri meski sudah tua harus senantiasa dihidupkan. Harus terus bergerak. Pada pertemuan itu, Sapardi membawakan mata kuliah Alih Wahana. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang hadir di dunia ini tak lepas dari proses alih wahana. Dalam karya sastra lama misalnya, kita mengenal mantra dan pantun yang pada awalnya berasal dari tradisi lisan. Atau yang lebih sering kita jumpai sehari-hari, yakni ayatayat dalam kitab suci yang dialihwahanakan menjadi doa, tajwid, ataupun nyanyian. Dalam proses membuat puisi pun, proses alih wahana tidak bisa dihilangkan. Melihat nama Sapardi Djoko Damono (Sapardi), ingatan kita melesat pada sajak-sajaknya di buku Hujan Bulan Juni. Buku tersebut menjadi salah satu buku yang telah bertahan selama bertahun-bertahun, bahkan telah melewati beberapa generasi. Bukanlah hal yang sulit jika ingin menemukan sajak-sajaknya. Ribuan orang mengutipnya, di buku pelajaran, surat cinta, undangan pernikahan, soal ujian, sampai di angkutan umum. Sapardi 70



pernah bercerita, bahwa sajak Hujan Bulan Juni pernah dijadikan kutipan dalam undangan pernikahan dengan nama pengarang yang tercetak adalah Kahlil Gibran. Sang pengutip tak percaya ada orang Indonesia yang bisa membuat puisi secanggih itu. Barangkali, begitulah nasib sajak-sajak Sapardi menyapa pembaca yang beragam. Sajak-sajak yang seringkali harus merelakan diri berpisah dari sang pembuat rumah puisi. Sebelum Hujan Bulan Juni populer, Sapardi selalu menyebut nama Ari-Reda. Dua musisi itulah di balik kepopuleran sajak-sajak Hujan Bulan Juni. “Kalau bukan Ari-Reda yang menggubah puisi saya jadi lagu, puisipuisi saya tidak akan seterkenal itu,” ucap Sapardi kepada kami saat mengisi kuliah. “Loh, saya kaget, kenapa bisa ada puisi saya di angkutan umum, beberapa waktu setelah saya kirim di surat kabar. Oh ternyata ada orang yang menyanyikannya,” lanjutnya. Puisi adalah bunyi, begitu kata-kata yang sering diungkapkan Sapardi. Hujan Bulan Juni hari ini tidak akan melalui sejarah cetak ulang beberapa kali jika puisi-puisi itu tidak dinadakan. Sebelum ada budaya menuangkan pikiran ke dalam teks, orang-orang dahulu mencipatakan dan merawat sastra melalui lisan. Ayat-ayat dalam kitab suci dan mantra-mantra sebelum menemui teknologi menulis dan mencetak mampu bertahan melalui proses hapalan lalu diturunkan. Menurut Sapardi, jenis-jenis tradisi lisan seperti mantra dan pantun memiliki pengawet yang menjadikannya mampu bertahan selama ratusan tahun. “Dalam pantun, hubungan antara sampiran dan isi 71



merupakan salah satu bahan pengawet, di samping rima atau persamaan bunyi akhir,” tulis Sapardi (2016). Puisi, saya pikir juga lebih awet jika dinadakan. Kita akan lekas menghapal dan mengingat satu teks jika dibunyikan, lalu dinadakan. Tak salah, jika sepanjang karir Sapardi, ia selalu mengingat Ari-Reda yang membunyikan puisi-puisinya. Sapardi mengingatkan, bahwa puisi tidak hanya berhenti pada tataran teks, huruf, ataupun angka, bahkan pada perkembangan selanjutnya, puisi sudah seharusnya menari-nari di atas komputer. Barangkali telah banyak penyair saat ini yang tidak melalui proses penulisan puisi (manuskrip). Puisi sudah seharusnya lahir pertama kali dan menjadi dewasa di dalam komputer, kemudian digitalisasi dalam bentuk audio dan visual. Selepas kuliah sore itu, ada cerita lucu yang hingga hari ini detail peristiwanya tidak bisa saya lupakan. Selepas sesi foto, beberapa teman kelas, meminta swafoto dengan Sapardi. Saya yang tak pernah bergairah dengan sesi fotofoto terdiam memerhatikan Sapardi melayani beberapa mahasiswa-mahasiswanya. Sejak dahulu, jika bertemu seorang tokoh, saya selalu suka memperhatikan gerakgerik, cara berbicara, kata-kata, cara mereka berjalan, atau bahkan cara mereka menyuap makanan. Sapardi yang melihat saya sejak tadi terdiam, seperti beku memanggil untuk berswafoto bersama, “Ayo sini mumpung lagi ketemu saya.” Saya mengangguk sopan. Saya pikir itu “tidak begitu niat”. Tidak disangka, ia kembali memanggil saya untuk swafoto, akhirnya, panggilan kedua ini tidak bisa 72



saya tolak sebelum akhirnya kami berpisah di ruangan. 19 Juli 2020 sekitar pukul 10.00 WIT, seorang teman dari UI mengabarkan via Whatsapp bahwa Sapardi telah meninggal. Ada perasaan sedih meski saya tak begitu sering bertemu dan mengenal Sapardi. Beragam cerita dan obituari dari sastrawan, akademisi, pelajar, dan masyarakat dari berbagai kalangan yang sering mengutip sajak-sajaknya mengiringi pusara Sapardi. Kata-kata mengantarkan kepergian Sapardi. Bermula pada kata dan berakhir dengan kata. []



73



Tak Ada yang Abadi dalam Puisi Sapardi Rizka Nur Laily Muallifa



Memoar berhamburan di hari berpulangnya Sapardi. Tak sedikit yang mengenangnya dalam riuh-rendah segala jenis karya tulis yang ia gubah. Pembaca setia maupun awam yang hanya mengenal satu-dua puisi Sapardi mengalami duka komunal, meski dengan kadar sentimentil berlain-lainan. Pembaca muda merayakan puisi Sapardi melalui beragam ekspresi. Bagi sebagian penyair yang juga pembacanya, jejak puisi Sapardi terekam dalam karyakarya mereka dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda. Profesor hujan yang pernah menulis puisi “sulit” di masa lalu itu tak bersikukuh mempertahankan satu gaya. Ia nekat menjalani hari-hari berpeluh bahasa baru. Menolak 74



sama dengan masa lalu. Esai garapan Nirwan Dewanto yang berjudul Titik Tengah mengisahkan perjalanan Sapardi sebagai penyair. Sapardi mengalami masa avant garde sekaligus berupaya keras melampaui unsur avant gardeisme. Dalam penjelasan Nirwan, puisi avant garde merujuk pada puisi-puisi yang cukup sulit dimengerti maknanya oleh pembaca dalam sekali waktu, alias menyisakan lubang misteri. Yang menyisakan banyak pertanyaan baik tentang arti kata maupun makna di baliknya. Asyik bermainmain dengan ide. Pendek kata, eksperimental. Kita boleh menengok puisi-puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Goenawan Mohamad untuk mendapat gambaran tentang puisi avant garde yang dimaksud. Sementara itu, ada dua puisi Sapardi yang disebut condong ke arah avant garde, yakni Akuarium dan Mata Pisau.



Akuarium Kau yang mengatakan: matanya ikan! Kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! Kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang 75



adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah…” Sebagai pembaca awam yang tak punya bekal pengetahuan dan pengalaman menggauli puisi, saat menulis ini saya masih belum mencapai pemahaman yang melegakan diri sendiri meski telah beberapa kali membaca Akuarium. Kecenderungan yang saya alami saat membaca menempatkan puisi ini dalam golongan avant garde. Berikut puisi Mata Pisau yang menyisakan kesan pembacaan hampir serupa bagi saya.



Mata Pisau mata pisau itu tak berkejap menatapmu kau yang baru saja mengasahnya berpikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu Puisi Mata Pisau cenderung lebih mudah saya baca daripada puisi Akuarium. Meski demikian, tetap ada lubang pertanyaan dan hening yang tercipta dalam diri saya setelah membacanya. Tak lekas yakin dengan tafsiran saya sendiri. Dua puisi ini memang tampak berbeda dengan puisi-puisi baru Sapardi yang justru saya jumpai lebih dulu 76



daripada dua puisi “sulit” di atas. Di luar dua puisi agak angker bagi awam, Sapardi lebih banyak hadir dengan puisi-puisi yang menggunakan perangkat bahasa keseharian. Ia sendiri mengakuinya di berbagai kesempatan, salah satu yang mutakhir yakni ceritanya kepada Podcast Main Mata edisi 21 Maret 2020. Dalam siniar bertajuk Cara Konsisten Menulis Setiap Hari, penyair hujan itu menyatakan bahwa bahasa paling dasar adalah bahasa lisan. Hal ini yang kemudian diwujudkan dalam puisi-puisinya. Bagi lelaki kelahiran Solo itu, puisi adalah bahasa lisan yang tertulis. Maka, sebagaimana bahasa lisan yang menjadi modal utama komunikasi kita sehari-hari, puisinya pun wajar dipahami dengan mudah oleh sebagian besar orang. Kesaksian Ibnu Wahyudi, pengajar FIB UI yang punya hubungan personal maupun profesional dengan Sapardi memperkuat maksud kekaryaan sang profesor hujan. “Sapardi sangat sadar bahwa dia menulis untuk dibaca. Bukan menulis untuk kenikmatan sendiri,” terang Ibnu dalam Festival Hujan Bulan Juni 2020 bertajuk Yang Wajar dan Yang Harus yang dihelat Ikatan Alumni UI (ILUNI) dan Kedai Teroka. Puisi-puisi Sapardi yang hadir ke sidang pembaca memang lebih banyak yang mudah diterima kalangan awam. Kita cerap puisi berikut ini: kutanggalkan mantel serta topiku yang tua ketika daun penanggalan gugur lewat tengah malam. Kemudian kuhitung 77



hutang-hutangku pada-Mu mendadak terasa: betapa miskinnya diriku di luar hujan pun masih kudengar dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring di kursi, letih sekali masih patutkah kuhitung segala milikku selembar celana dan selembar baju ketika kusebut berulang nama-Mu: taramtemaram bayang bianglala itu Puisi berjudul Sajak Desember itu saya kira mudah dimengerti awam. Sebagai pembaca, kita mudah mencerap perasaan puisi di atas tanpa perlu mengeja hasil bacaan kita terhadap puisi di hari-hari sebelum ini. Menghadapi puisi ini, saya sepakat dengan Nirwan. Puisi-puisi Sapardi terasa bulat, koherensi atau keterkaitan pilihan kata sekaligus gaya penyampaiannya mudah terjalin dengan mata dan pemaknaan pembaca. Pilihan diksi dan gaya penyampaian yang lugas menjadi wajar saat mengetahui kredo kepenyairan Sapardi. Sebagai penyair, Sapardi menganggap bahasa tulisan sebagai residu dari bahasa lisan. Sementara bahasa lisan dalam pengamatannya adalah bahasa yang kontinu, terus-menerus berubah. Maka residu dari bahasa itu pun otomatis demikian. Puisi-puisi Sapardi sengaja tak mempertahankan satu gaya penyampaian dan diksi, tetapi mengalir mengikuti arus zaman. Berupaya beriringan dan 78



akrab dengan pembaca di zaman terbaru. Selaiknya bahasa lisan. Penyair Tak Turun dari Langit Seperti frasa yang sering dikatakannya, penyair tak turun dari langit. Begitu pula Sapardi. Kematangan puisinya lahir dari proses pembacaan dan ketekunan panjang menjahit kata-kata. Dalam ranah puisi, ia menyebut penyair Inggris TS Eliot dan sastrawan WS Rendra sebagai dua sosok yang sangat berpengaruh dalam perjalanannya mengarungi puisi. Buku sajak Eliot yang berjudul The Waste Land (1922) yang tak sengaja ditemukan di perpustakaan kota dekat SMA memukau mata baca Sapardi remaja. Ia begitu terkagum-kagum dengan karya Eliot itu. “Ini puisi betulan,” katanya. Bersamaan dengan pertemuan tak sengaja itu, ia mengaku sedang membaca buku puisi pertama Rendra, Balada Orang-orang Tertjinta (1957). Puisi-puisi Rendra menurut pembacaan Sapardi, adalah puisi yang mudah dimengerti. Rupanya menulis puisi bisa mudah dan sederhana, termasuk menggarap tema-tema dekat seperti kesedihan dan cinta. Kira-kira begitu kesan pembacaan Sapardi terhadap Rendra. Sapardi juga menyebut prinsip Picasso mempengaruhinya dalam berkarya. Picasso dikenal luas sebagai pelukis dengan gaya melukis yang beraneka ragam. Bahkan, ia sendiri pernah mengalami fase tidak paham apa yang ia lukis. Namun, Picasso bahagia mengalami 79



perkembangan dirinya itu. Orang-orang di seluruh dunia kemudian juga mengenal karya-karya Picasso yang tak cuma mempertahankan satu gaya. Saya kira proses inilah yang kemudian membentuk jalan panjang kepenyairan Sapardi sehingga menghasilkan puisi-puisi mudah terbaca sekaligus mudah membekas di ingatan kita hari ini. Sapardi emoh menjiplak dirinya sendiri dengan mengulang menulis puisi yang sama dengan yang pernah ditulisnya. Sapardi yakin orangorang yang membaca puisi-puisinya yang berlainan tetap bisa mengetahui “ada dirinya” dalam seluruh puisi itu. Pensiunan pengajar Pascasarjana UI dan IKJ itu menulis setiap hari. Bekal menulis baginya adalah niat. Ia sendiri tak pernah percaya inspirasi. Niat yang dimaksud tentu saja bukan asal niat yang kosong tanpa isi. Tapi niat yang dibekali pengalamannya sebagai pembaca, pelaku, pengamat, penerjemah buku, realitas sosial, dan segala hal yang dapat dijangkaunya. Niat menulis Sapardi adalah niat yang isi, bulat dan bertekad. Kecenderungan Sapardi mengikuti laju zaman juga selaras dengan caranya menulis. Ia mengalami masa penulis bersenjata andalan tangan, lalu mesin tik, kemudian laptop. Sejak mengenal laptop, ia selalu menulis menggunakan alat teknologi itu. Proses menulis diakuinya lebih mudah lantaran dengan laptop, ia lebih leluasa mengutak-atik tulisannya. Jika di masa mesin tik, ia harus mencoret kata yang salah dan menyisipkan penggantinya dengan tulisan tangan yang berukuran kecil saja, tantangan itu tak ia 80



alami lagi saat menggunakan laptop. Banyak puisi-puisi yang dihasilkannya dalam sekali duduk, setengah jam atau bahkan seperempat jam. Namun, beberapa puisi juga membutuhkan waktu lama. Misalnya puisi tentang Marsinah yang termaktub dalam buku puisi Ayat-ayat Api (2000). Puisi-puisi dalam buku tersebut, diakui Sapardi sebagai puisi marah. Proses menulis puisi marah yang panjang barangkali menemukan Sapardi pada pemahaman baru. Menurutnya, orang marah tidak seharusnya menulis puisi. Lebih baik menyalurkan kemarahan dengan demonstrasi atau memecahkan piring. Pasalnya, saat marah, penyair sangat mungkin tertaut dengan penyebab kemarahan yang bermaksud diluapkan dalam bentuk puisi. Hasilnya, puisi yang ditulis dalam keadaan marah rentan cengeng dan sentimental lantaran penyair tak berjarak dengan objek. Mendengar ungkapan Sapardi ini saya seperti diguyur petuah renyah dan reflektif. Sebagai penulis puisi paling tidak puitis, saya cukup sering terlibat dengan puisi saya. Tak ada jarak estetika yang membentang dalam kamus penulisan saya. Sehingga ketika membaca ulang, puisi-puisi yang pernah saya tulis terkesan cengeng. Menurut Sapardi, jarak estetika penting bagi penulis secara umum maupun pembaca. Saat menyadari buku, film, lukisan yang ada di hadapan kita sebagai karya rekaan seseorang, kita bisa lebih jernih menilai dan mengkritisinya. Tak kalut dalam kesedihan dan nestapa mendalam lantaran tokoh dalam cerita melulu ketiban 81



sial. Juga tak kepalang bahagia dan berandai-andai saat mendapati pasangan romantis di segala waktu dan tempat. Ada kesadaran menempatkan karya-karya tersebut sebagai “hiburan” atau “pelajaran ringan” dalam rimba kehidupan yang kian keras. Tsah! []



82



BAGIAN 2



83



84



Sebermula adalah Kata:



Sapardi Djoko Damono dalam Teks dan Ide Dymussaga



Jika ada tongkat sihir yang bisa mengabulkan apa saja permintaanku, salah satu yang ingin aku minta adalah memiliki kemampuan untuk meramu pikiran ke dalam tulisan yang bisa dibaca oleh siapa saja. Tapi tentu saja, mengurai benang-benang kusut dalam kepala memerlukan keterampilan dan ketelatenan. Juga kejujuran. Dari dulu aku selalu membayangkan bagaimana cara seorang sastrawan bekerja. Dalam seni populer seperti film dan novela, sastrawan selalu digambarkan sebagai sosok yang serius berkontemplasi 24/7 demi menghasilkan 85



sebuah magnum opus. Juga ketika sekira satu dekade lalu aku mulai kuliah di jurusan sastra, beberapa teman bertanya apakah kerjaanku di kampus adalah merenung di pinggir danau mencari inspirasi. Jawabannya tentu saja tidak. Aku tidak tahu ada berapa banyak kumpulan tulisan Pak Sapardi yang telah kubaca, sebab banyak pula tulisan beliau yang terserak di sana-sini. Namun, dari entahberapa-ratus puisi atau cerpen beliau, aku menemukan sesuatu: tulisan-tulisan Pak Sapardi bukanlah sekadar puisi atau cerita pendek (saja), melainkan tulisan yang jujur dalam menyikapi perasaan sedih atau bahagia. Tanpa tendensi apa-apa. Pernah, dalam suatu kesempatan wawancara oleh sekelompok mahasiswa, Pak Sapardi diberi sebuah pertanyaan yang kira-kira menanyakan apa yang dilakukan Pak Sapardi pada kesehariannya di rumah. Jawaban beliau begitu enteng, “Mandi, makan, dan tidur.” Dalam standar seni populer seperti yang tadi kusebutkan, tentu ini jawaban yang kurang dramatis. Ini yang sering kutemui dalam tulisan-tulisan Pak Sapardi. Bagi kawan-kawan yang gemar berteori, barangkali akan bingung ketika tidak bertemu dengan konflik atau leraian cerita yang memuaskan dalam puisi atau cerita-cerita pendek Pak Sapardi. Tapi, cerita seharihari memang sering tanpa leraian—hanya mandi, makan, dan tidur—hanya saja kita sering mengotak-kotakkannya ke dalam bingkai-bingkai seolah semua cerita pasti ada awal yang jelas dan akhir yang jelas pula. 86



Atau mungkin kita yang terlampau nurut dengan Aristotelian plot dan lupa bahwa seringkali hidup memang tidak melulu mengenai konflik, melainkan hanya twisttwist kecil saja. Kebudayaan Timur ternyata lebih akrab dengan twist semacam ini. Dalam Bahasa Jepang, ini disebut kishotenketsu, yang, menurutku, lebih manusiawi dan grounded daripada exposition - climax - revolution. Lebih jujur. Kejujuran semacam itu, menurutku, yang membuat kita menjadi manusia. Pak Sapardi merekam pengalaman dan perasaannya sebagai manusia: rasa penasarannya pada bayangan yang lebih tinggi daripada dirinya seperti dalam puisi Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari—puisi kesayangannya, yang sering disebut di berbagai kesempatan; juga sepasang sepatu kulit tua yang mungkin berasal dari dua ekor sapi yang berbeda dalam cerpen Sepasang Sepatu Tua. Dalam cerpen yang pertama kali kubaca di antologi cerpen Membunuh Orang Gila (2006) itu, si pemilik sepatu yang selama puluhan tahun akrab dengan pertengkaran sepasang sepatu hanya bisa merelakan ketika sepatu kulit tuanya dibuang oleh anak istrinya. Apakah sepasang itu kemudian berhenti bertengkar begitu mendarat di gerobak tukang loak? Tidak ada yang tahu. Apakah pemilik sepatu lega bisa lepas dari keributan sepasang sepatunya atau justru merasa sedih? Tidak ada yang tahu. Barangkali perasaan-perasaan yang muncul dari insiden-insiden harian seperti di atas hanya sedikit saja dan sepertinya tidak signifikan. Tapi tidak semua 87



harus signifikan dan grandeur sehingga layak dicatat dan dipertimbangkan. Tidak semua harus jadi luar biasa dan adiluhung. Barangkali memang kita harus lebih membumi, bahkan dalam menghadapi perasaan sendiri. Perasaan adalah data yang valid dan empiris. Perasaan adalah pengalaman yang, jika dicatat, akan menghasilkan sebuah temuan dan gagasan. Dasar-dasar semacam ini yang kemudian tidak hanya bisa ditemukan dalam karya-karya fiksi, melainkan juga pada karya-karya non-fiksi Pak Sapardi. Beliau selalu berangkat dari pengalaman dan perasaan yang terbentuk dari kebudayaan. Pengalaman begitu beragam dan banyak sekali faktor yang bekerja di dalamnya. Jika kita cukup cermat dan kritis, pengalaman-pengalaman itu bisa dirumuskan menjadi sebuah formula. Itulah yang disebut teori, yang selama ini dilekatkan dengan ilmu filsafat. Yang selama ini sering dianggap ngeri. Padahal, tidak ada yang ngeri dari sintesis atas kumpulan pengalaman. Pak Sapardi tahu betul hal itu. Pak Sapardi juga tahu betul bagaimana cara menggiring para mahasiswanya untuk berpikir secara kritis atas perkaraperkara besar maupun kecil yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, segala gagasan akan begitu mudah dipahami. Sebab Foucault adalah kita, juga Marx dan Engels, atau Deleuze dan Guattari. Bukan deretan nama yang harus ditakuti dan dihapal mati-matian sebelum ujian, apalagi hanya sekadar untuk terlihat intimidatif jika menyebut nama-nama tadi. 88



Mari kembali ke awal tulisan ini, mengenai kemampuan meramu pikiran ke dalam tulisan yang bisa dibaca oleh siapa saja. Kupikir, Pak Sapardi adalah satu dari sedikit orang yang bisa melakukannya dengan sangat baik. Fiksinya lugas terhadap perasaannya, kegelisahan yang bisa dipahami secara universal dan tidak meletakkan dirinya terlalu tinggi dari permukaan tanah. Sementara, sebagai seorang guru, tulisan-tulisannya tidak pernah menggurui. Kita bisa bersepakat bahwa buku-buku nonfiksi Pak Sapardi yang kebanyakan menyoal kebudayaan selalu bisa dibaca dengan mudah, seperti membaca buku cerita. Sampai tulisan ini dibuat, aku masih mati-matian mempelajari bagaimana Pak Sapardi melipat jarak antara rasa dan karsanya hingga menjadi sebuah karya yang bisa dipahami semua orang dari berbagai kalangan. Namun setidaknya, kejujuran yang selalu Pak Sapardi gunakan dalam menulis merupakan peninggalan yang begitu berarti. Setidaknya itu yang mampu kucatat dari pembacaan-pembacaanku terhadap banyak sekali karya beliau, juga kelas-kelas, dan perjumpaan-perjumpaan yang selalu bermakna. []



89



Sapardi Menumis Batu di Altar Perjamuan Uun Nurcahyanti



Imajinasi rupa-rupa pangan dan rasa yang direbut secara sengit oleh negara di masa Orde Baru tersungkur di haribaan puisi. Barangkali, penyair tinggal memunguti sisa-sisa kata yang terlalu riuh diproduksi departemen bahasa milik negara. Tak apa. Represi adalah rahim subur puisi. Para penyair terlahir di sudut tersempit garis bahasa. Puisi Di Restoran (1989) menjadi satu dari sekian perayaan kata dan membuktikan Sapardi Djoko Damono mengelak takdir kematian kata-kata. Bahasa boleh dibelenggu, namun dapur syiar kerap nekat dan enggan tamat. Waktu 90



barangkali tak mampu tuntas menyapu reruntuhan rasa. Duka lara tentu perlu diabadikan. Sapardi boleh jadi sejenis manusia tua yang tengah gelisah menyaksikan pentas ngiras semakin giras menandai zaman pembangunan. Makan di luar rumah dikembangbiakan iklan. Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial kehilangan jiwa keberagaman. Hidup bersama bermakna politis. Kebersamaan berarti kemandegan. Kita menyaksi kelihaian Sapardi meracik puisi. Berpenampilan romantis namun dibebat judeg ini: “kita berdua saja, duduk. Aku memesan/ ilalang panjang dan bunga rumput—/ kau entah memesan apa. Aku memesan/ batu di tengah sungai terjal yang deras“. Sapardi membuka puisi dua bait itu dengan peristiwa khas kaum berjamaah: berteman. Kata ganti orang pertama jamak digunakan untuk menegaskan keberadaan sang pembicara bersama para kawan, sahabat, tetangga ataupun kerabat lainnya. Barangkali juga liyan. Jumlah bisa menjadi semacam keriuhan dalam keguyuban. Namun, Sapardi memilih adanya batasan jumlah. Cukup berdua saja. Makan di luar rumah, atau ngiras dalam bahasa Jawa, membutuhkan ongkos di atas anggaran makan masakan rumahan dengan menu sederhana. Hanya nasi dengan garam, misalnya. Jelas peristiwa makan ini melanggar himbauan rezim yang mencanangkan pola makan empat sehat lima sempurna. Kesadaran jelata membuat Sapardi membatasi dan mawas diri. Cukup berdua saja. Dua sudah cukup. Toh itu juga seturut aturan Negara Kesatuan 91



Republik Indonesia. Dua tidak satu atau tiga. Juga tidak lebih dari tiga. Bukan sendirian. Dua sudah termasuk dalam hukum sah kaum sosial. Kebersamaan yang tidak memerlukan banyak biaya. Sapardi sungguh penuh perhitungan. Membuka puisi dengan kecermatan nan teliti tanpa melanggar hukum negara. “Didik” adalah peristiwa di sekolah, sementara “duduk” merupakan narasi di restoran. Didik bergerak melakukan pencarian yang diawali dengan ajuan pertanyaan dan kecermatan pengamatan. Duduk di kedai makan bisa sedikit jumawa sebab ditanyai. Cukup berdiam diri, menonton keadaan sekitar, lantas memesan hidangan yang dimaui. Tak memerlukan kalimat tanya, apalagi the power of question. Restoran memberi ruang dan waktu untuk memerintah, menyuruh, atau dengan bahasa yang sedikit lebih sederhana: memesan. Ah, Sapardi memang lihai petak umpet kata! Makanan pembuka Di Restoran tak berkuah. Penyair memesan ilalang panjang dan bunga rumput. Menandai musim sudah melakukan ritual peribadatan dengan menabur doa cukup lama. Kini saatnya menjelang musim penghujan. Sawah telah usai panen dan para bocah asyik bermain layang-layang. Kemarau akan segera berakhir. Paceklik sudah cukup mencekik. Penyair memesan menu penutup. Bukan puding nan empuk dan manis, dengan godaan kuah lembut vla vanila. Sang Hujan Bulan Juni memilih batu. Cukup batu. Sebab di tengah sungai terjal yang deras, urap bebatuan, ilalang dan rumput pasti 92



mampu memberi sedikit kenyang. Mengganjal perut yang disesaki kesedihan. Sakralitas Rasa Puisi bermain kata ganti. Mengisahkan aku dengan memisahkan diri aku dan liyan. Diri lain di luar aku. Diri yang memiliki keberadaan, tetapi dihapuskan jejaknya tanpa cerita. Diberi ruang hidup, namun dinihilkan. Kita simak bagaimana ‘kau’ membuka bait puisi: “kau entah memesan apa. Tapi kita berdua/ saja, duduk. Aku memesan rasa sakit”. Sapardi mengajarkan konsep hidup bebarengan di dekade kedua kekuasaan Presiden Soeharto yang getol mendorong kerja bakti serta gotong royong di semua lini kehidupan. Kebersamaan didorong agar tumbuh dan hidup, namun kebebasan masyarakat dihabisi secara represif oleh kerja bahasa. Dimulai dari ejaan. Ada kesadaran krusial dalam larik sajak ini: meskipun kita berdua, berbarengan, berkawan baik, bahkan nungkin sangat akrab dan dekat, sesungguhnya yang ada hanya aku dan pesananku. Oh, tentu saja kau boleh pesan. Apa saja. Sebanyak apapun. Namun, sekalipun diperbolehkan pesan, kau hanyalah anonim belaka. Kesadaran tidak datang pada mereka yang tidak memiliki kesabaran. Sebagai peracik hidangan kata, kesabaran Sapardi Djoko Damono dalam mengajarkan kesadaran keberadaan terlihat begitu teguh dalam larik puisi Di Restoran. Mengingatkan kisah perjuangan para aktivis mahasiswa dalam novel Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori (2017). Di rumah kontrakan mereka yang dinamai 93



Rumah Hantu Seyegan, diskusi, pergulatan pemikiran, rapat dan menyusun pendampingan atas isu-isu dihidupkan di setiap ruang rumah. Mahasiswa tidak bergerak untuk aksi tampilan diri. Mereka turut menggerakkan gelora aksi penanaman jagung di Desa Blangguan tahun 1993. Hidup berpindah-pindah sejak 1991 hingga akhirnya banyak yang ditangkap sejak tahun 1996. Penjabaran Leila S. Chudori lewat novel dan puisi pendek Sapardi ini menggenapi ingatan publik akan situasi politik nasional yang semakin mendidih di awal dekade 2000-an. Rasa manis kerap menghukum lidah manusia. Mengutuknya dengan ikatan rasa. Terasa akrab, lantas melekat. Rajin datang untuk berulang-ulang dicecapi kembali. Sapardi berusaha mengelak dari godaan kehidupan penuh gulali di bait kedua. Pilihan menu berasa hambar, sepat, dan mungkin pahit mengkhatamkan puisi: “kau entah memesan apa. Tapi kita berdua/ saja, duduk. Aku memesan rasa sakit/ yang tak putus dan nyaring lengkingnya,/ memesan rasa lapar yang asing itu.” Pilihan penyair untuk memilih rasa sakit sebagai hidangan kehidupan mengabarkan keuletan nan tekun dalam penerimaan akan derita. Jika para mahasiswa sanggup menjalani pertaruhan nyawa demi perubahan fundamental di negeri mereka Indonesia, para dosen selazimnya tidak tinggal diam sekadar menonton pentas kekuasan bergelimang darah. Sapardi memiliki dan menjaga kelaziman tersebut lewat bait-bait puisi sederhana, sesederhana pilihannya untuk memesan kesakitan panjang dengan hidangan 94



pendamping sepinggan rasa lapar yang asing itu. Rasa lapar pastilah terasa asing bagi mereka yang setiap saat makan. Bagi mereka yang akrab dengan rasa sakit, rasa lapar bukan sesuatu yang asing. Memesan rasa lapar yang asing itu, barangkali sebentuk perih yang menghujam diri hingga seluruh tulang terasa ngilu. Rasa lapar akan perbaikan kondisi negeri yang semakin carut –marut, sayangnya, bahkan hingga hari ini. []



95



Sapardi Djoko Damono, Melipat Jarak dengan Alam Ani Marda



Sewaktu kecil saya memiliki hobi mengumpulkan undangan pernikahan, dan dari sanalah kemudian terjadi perkenalan pertama terhadap karya Sapardi, dalam puisinya yang berjudul Aku Ingin. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 96



Puisi itu acapkali digunakan sebagai kutipan romantis di dalam undangan pernikahan bahkan seperti telah menjadi template tetap. Sayangnya, kala itu saya tak pernah menjumpai nama Sapardi Djoko Damono ikut termaktub, sehingga perkenalan pertama saya yang paripurna adalah semasa SMA, ketika membaca puisi Hujan Bulan Juni yang bisa saya nikmati sekaligus mencoba memahami. Sapardi, bagi saya adalah penyair yang mudah dikenali lewat karya-karyanya selain Chairil Anwar. Orang-orang tidak perlu menjadi penggemar puisi untuk membaca puisipuisinya. Sajaknya tersebar luas, terkutip, dimusikalisasi, bahkan kata ‘hujan’ melekat erat dengan sosok Sapardi. Sapardi, laki-laki yang akrab tampil dengan topi petnya ini memang salah satu penyair yang terus aktif berkarya bahkan sampai mendekati waktu berpulangnya pada 19 Juli 2020 lalu. Ia tidak hanya menulis sajak, namun juga cerpen, novel, pun menerjemahkan karya sastra asing beberapa di antaranya yaitu Lelaki Tua dan Laut karya Hemingway, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, Amarah I dan II karya John Steinbeck. Menariknya lagi Sapardi juga aktif untuk mengikuti perkembangan teknologi, memiliki media sosial, hadir dalam banyak wawancara video blogger, podcast, maupun acara TV. Inilah kemudian yang menjadi arsip penting bagi para penggemar karya Sapardi kemudian hari, bahkan ketika beliau sudah tidak di sini, untuk terus mengetahui proses kreatif dan pemikiran-pemikirannya. Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989), A. Teeuw 97



mengungkapkan bahwa Sapardi adalah “seorang penyair yang orisinil dan kreatif, dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan, tetapi dalam segala kerendahan hatinya, boleh jadi menjadi petunjuk tentang perkembangan-perkembangan mendatang.” Sapardi yang dikenal secara umum dengan banyak puisi berhembuskan cinta maupun keilahian, serta menggunakan banyak diksi dan personifikasi dari alam sekitar bisa dilihat dalam kumpulan sajaknya, Hujan Bulan Juni. Kata bunga, pohon, hujan, daun, matahari, burung serta bulan, jamak dijumpai dalam judul maupun larik puisi. Tak hanya sebagai metafora untuk puisi romantis, Sapardi juga memakainya sebagai manifestasi alam dan keilahian itu sendiri. Seperti pada puisi yang berjudul Sonet: Hei Jangan Kau Patahkan, Sapardi menulis: Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca. Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan dengan gaib, dari rahim Alam. Jangan; saksikan saja dengan teliti 98



bagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam Kasih sayang, dalam rindu-dendam Alam; lihat: ia pun terkulai pelahan-lahan dengan indah sekali, tanpa satu keluhan. Puisi tersebut berkisah larangan untuk mematahkan atau menjamah ‘kuntum bunga’ yang sedang mengembang, di situ ‘kau’ bisa diartikan sebagai manusia yang kerap sekali mengeksploitasi alam. Alam, seperti pepohonan digambarkan karib dengan perubahan cuaca. Akar-akar dari pepohonan berguna untuk menyerap air yang mana kemudian memudahkan siklus air sehingga menyebabkan turunnya hujan dan mendinginkan ‘setiap bumi hampir hangus terbakar’. Penyebutan Alam dan Kasih yang menggunakan huruf kapital juga bisa diartikan sebagai kehadiran Ilahi yang merupakan sang pencipta alam dan mungkin menjadi alam itu sendiri yang penuh kasih sayang. Maka kehidupan dan kematian setiap bagian dari alam biarlah terjadi secara alami, tanpa harus dijarah berlebihan. Sapardi, Masa Kecil dan Alam Sapardi tidak menampik banyaknya kosa kata dari alam yang ia gunakan dalam puisi-puisinya. Hal tersebut ia akui karena masa kecilnya yang dekat dengan alam. Dalam sebuah wawancara bersama Iwan Esjepe 2017 silam, 99



Sapardi bercerita bahwa semasa kecil ia bersama temannya kerap berkeliling di kampung-kampung Solo yang kini telah berubah menjadi Solo Baru untuk memburu burung. Di sanalah ia mengenal alam yang akhirnya menancap di benaknya, burung-burung kerap bertengger di pohon yang tinggi membuat Sapardi harus jeli mengamati alam sekitar dan pepohonan. Selain itu ia harus membuat mainan sendiri, seperti ketapel, yang membutuhkan pengetahuan tentang pelbagai jenis pohon untuk mendapatkan kayu yang pas. Kemudian hal-hal itulah yang akhirnya mempengaruhi sajak-sajaknya di masa mendatang. Nyatanya alam bagi Sapardi bukan sekadar ingatan masa kecil yang ia tuliskan dalam sajak-sajaknya. Namun seiring dengan pergeseran kehidupan masyarakat yang semakin urban dan menyusutnya interaksi manusia dengan alam, serta dampak aktivitas manusia yang mencemari lingkungan, Sapardi mengungkapkan kegelisahannya dalam sebuah puisi berjudul Pohon di Tepi Jalan: Pohon, yang biasa disiram dua kali sehari yang berdiri sejajar tiang listrik di tepi jalan itu, tak bosan-bosannya menggoda mobil tua yang merayap di aspal yang suka meleleh. di bawah matahari; pohon, yang sudah lupa asal-usulnya, suka menghirup asap knalpot dan menyebutnya kekasih, sumber kehidupan kota; kita tak pernah sempat memahami kelakar mereka.



100



Pepohonan yang didesak oleh kebutuhan kehidupan manusia seperti aspal telah membuatnya tidak memiliki tempat yang layak sehingga ‘pohon yang sudah lupa asalusulnya, suka menghirup asap knalpot’. Tidak hanya perihal pohon dan aspal, hujan dan tiang listrik pun juga bersaing untuk merebut hati manusia yang semakin menjauh dari alam, seperti yang Sapardi tulis dalam sajak berjudul Percakapan Malam Hujan: Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang”. Hujan berkata kepada tiang listrik untuk tidur karena ia akan menjaga malam. Hujan akrab digunakan untuk membangun suasana yang haru, menentramkan sehingga bermaksud untuk menemani manusia di malam hari. Namun tiang listrik­— yang merupakan buatan tangan manusia membantah kalau dialah sahabat manusia, sebab manusia ‘suka terang’, sedangkan hujan di malam hari bisa saja menimbulkan suasana yang sepi, dingin dan ‘serba kelam’. Hujan juga serba gaib, dan ‘serba suara desah’ yang bisa berarti berisik, tiang listrik menyuruhnya 101



kembali pada alam, pada laut, langit, dan bumi. Manusia yang Berjarak dengan Alam Sapardi dengan ingatan masa kecilnya yang lekat dengan alam kerap menjajarkan posisi yang sama terhadap manusia dan alam alih-alih menganggap hanya manusia pusat kekusaan dan yang utama dalam berkehidupan di bumi. “Saya menganggap benda dan orang itu sama. Seperti anak kecil, saya menganggap benda sebagai teman,” tutur Sapardi Djoko Damono pada Tirto. Hal ini terutama banyak dibuktikan dalam puisi-puisi kumpulan Hujan Bulan Juni yang ditulis antara 1964 sampai dengan 1994. Contoh yang paling populer tentu saja puisi yang berjudul Hujan Bulan Juni: Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak Dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya  Yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan Diserap akar pohon bunga itu



102



Kala puisi ditulis pada tahun 1989, pada tahuntahun itu hujan tak lazim turun pada bulan Juni yang harusnya masih musim kemarau. Itulah mengapa hujan bulan Juni adalah hujan yang tabah, bijak dan arif. Sebab pohon berbunga membutuhkan airnya, yang mana kemudian ‘diserap akar pohon bunga itu’ demi kelangsungan hidupnya. Dan sifat-sifat seperti tabah, bijak, dan arif biasanya kita gunakan untuk manusia dipadankan dengan karakter hujan yang turun pada bulan Juni. Ketika teknologi hadir, Sapardi mulai menyentil kata yang mungkin asing pada tahun 60-an, yaitu laptop yang menjadi bukti ia tak pernah absen memperhatikan lingkungan sekitar, pada kumpulan sajak Babad Batu yang terbit tahun 2016. Di masa kini Sapardi yang ikut menikmati teknologi mulai membaca perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia seperti yang ditulis dalam puisi berjudul Laptop yang Tidak Diprogram untuk Menjawab Pertanyaan yang Diajukannya sebagai berikut: lho, ke mana raibnya? kemarin anak-anak masih menyanyikan tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting sambil menendangnendang kaleng-kaleng kosong yang bertebaran sepanjang jalan kecil itu ke mana gerangan? ia duduk 103



di depannya terbuka laptop yang tidak diprogram untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya Kini anak-anak mulai mudah menemukan kesenangan dalam game online dan dengan senang hati duduk berjamjam berada di depan layar laptop maupun ponsel. Anakanak tidak tertarik lagi untuk bermain di luar, apalagi menyanyikan lagu hujan atau bermain bersama hujan. Sajak itu juga bisa melampaui makna yang lebih tinggi, ‘laptop yang tidak diprogam untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya’ bisa berarti manusia yang tidak akan pernah bisa menemukan jawaban-jawaban spiritual dalam alat komunikasi modern tersebut yang telah berhasil membius dan menjauhkannya dari yang Kekal. Meski demikian, dalam beberapa sesi wawancara, Sapardi kerap mengungkapkan bahwa ia iri dengan generasi zaman sekarang sebab tekonologi modern memudahkan mendapatkan akses keleluasaan apa yang disukainya dalam internet dan memiliki pikiran-pikiran yang luar biasa luasnya. Mencari karya sastra dalam internet pun menjadi tidak terbatas, berbeda dengan zaman dulu yang susah untuk mencari majalah atau buku-buku sastra. []



104



105



22 Maret 2017 77 Tahun Sapardi Djoko Damono (Foto-foto: Dokumentasi Bentara Budaya Jakarta)



Nyatanya alam bagi Sapardi bukan sekadar ingatan masa kecil yang ia tuliskan dalam sajak-sajaknya. Namun seiring dengan pergeseran kehidupan masyarakat yang semakin urban dan menyusutnya interaksi manusia dengan alam, serta dampak aktivitas manusia yang mencemari lingkungan, Sapardi mengungkapkan kegelisahannya dalam sebuah puisi berjudul Pohon di Tepi Jalan. Ani Marda



Kesadaran dan Kesederhanaan Sapardi M.A. Mas’ud



Aku baru bertemu Sapardi dalam wujud tulisan di Bilik Literasi tahun 2014. Menemukan buku puisi berjudul Ayat-ayat Api (2006) di antara ribuan buku di rumah joglo milik Bandung Mawardi. Kubaca dan khatam. Aku takjub dengan kesederhanaan bahasa dan kesadaran Sapardi. Aku ingat, ia berkisah iklan: ia penggemar iklan/ iklan itu sebenar-benar hiburan/ kata lelaki itu/ siaran berita dan cerita itu sekadar selingan/ ia tahan seharian di depan televisi/ istrinya suka menyediakan kopi/ dan kadang-kadang kacang/ atau kentang goreng untuk menemaninya mengunyah iklan. Aku kagum bagaimana Sapardi membaca iklan sebagai 108



acara asli teve. Membalik sinetron, film, dan berita sebagai iklannya. Hal sederhana yang luput kubaca. Bagi puisi-puisi Sapardi, aku mungkin iklan pembaca. Kadang-kadang saja menjadi pembaca. Buku-buku terbaca dan terlantarkan. Seringkali puisi-puisi tidak masuk melalui mata, melainkan telinga. Tentu, lewat suara Ari-Reda yang merdu. Marsinah di Mata Sapardi Aku beruntung, salah satu puisi Sapardi mengenalkanku pada perempuan bernama Marsinah dengan bahasa yang sederhana. Wajah Marsinah sering kutemui di poster dan kaos. Tapi Sapardi, menghadirkan wajah yang lain sama sekali. Dongeng Marsinah ditulis Sapardi selama tiga tahun. Berjeda setiap marah. Kisah Marsinah memang sangat memprihatinkan, menjadikan diri emosional. Kita simak bait pertama: Marsinah buruh pabrik arloji,/ mengurus presisi:/ merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;/ waktu memang tak pernah kompromi,/ ia sangat cermat dan hatihati/ Marsinah itu arloji sejati,/ tak lelah berdetak/ memintal kefanaan/ yang abadi:/ “Kami ini tak banyak kehendak,/ sekedar hidup layak,/ sebutir nasi”. Sapardi mengenalkan Marsinah dengan sederhana saja bahwa ia seorang buruh pabrik arloji. Kita kenal arloji sebagai pewarta waktu. Sapardi menyebut Marsinah sebagai arloji sejati karena berdetak sebagaimana mestinya. Detak yang dimaksud Sapardi adalah suara dan gerak; kebenaran “Kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi”. Marsinah menyuarakan hak buruh atas kenaikan gaji 109



sesuai kebijakan pemerintah yang tak semuanya dipatuhi pabrik-pabrik. Pada bait kedua, Sapardi mengisahkan “kesalahan” Marsinah di mata entah siapa. Kita baca: Marsinah, kita tahu, tak bersenjata/ ia hanya suka merebus kata/ sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana/ “Ia suka berpikir,” kata Siapa,/ “itu sangat berbahaya”/ Marsinah tak ingin menyulut api,/ ia hanya memutar jarum arloji/ agar sesuai dengan matahari/ “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,/ “dan harus dikembalikan/ ke asalnya, debu”. Sapardi melihat Marsinah sebagai sosok pemikir yang melek pengetahuan perburuhan dan kebijakan-kebijakan. Justru, ia lebih berbahaya daripada senjata. Maka, Marsinah mesti dijadikan debu karena paham dan berani menyuarakan kebenaran yang dimetaforakan Sapardi dengan “ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari”. Barangkali berkata jujur memang hal sederhana yang sangat berbahaya. Bait ketiga pun sampai pada ritual penyiksaan. Ditulisnya: Di hari baik bulan baik,/ Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan/ Ia diantar ke rumah Siapa,/ ia disekap di ruang pengap,/ ia diikat ke kursi;/ mereka kira waktu bisa disumpal/ agar lengking detiknya/ tidak kedengaran lagi/ Marsinah tidak diberi air,/ ia tidak diberi nasi;/ detik pun gerah/ berloncatan ke sana ke mari/ Dalam perhelatan itu,/ kepalanya ditetak,/ selangkangnya diacakacak,/ dan tubuhnya dibirulebamkan/ dengan besi batangan/ Detik pun tergeletak/ Marsinah pun abadi. Sapardi tampaknya berhasil berdamai dengan 110



kemarahannya sehingga tidak terburu-buru menuduh aktor utama kasus Marsinah yang penuh misteri. Ia lebih memilih kata “siapa” daripada “oknum pemerintah” atau “pemilik pabrik”. Sapardi menyampaikan kronologi penyiksaan Marsinah dengan frase-frase yang sederhana. Selalu menghubungkan Marsinah dengan pekerjaannya yakni waktu. Bagi Sapardi penyiksaan pada Marsinah hanya berujung pada “detik” yang dikerjakan Marsinah. Jadilah, saat Marsinah disekap, detik yang gerah, saat ia dibunuh, detiklah yang mati. Sedang Marsinah, abadi. Kita disuguhi pertanyaan-pertanyaan oleh Sapardi yang mungkin sudah manunggal merasai Marsinah: Di hari baik bulan baik,/ tangis tak pantas/ Angin dan debu jalan,/ klakson dan asap knalpot,/ mengirimkan jenazahnya ke Nganjuk/ Semak-semak yang tak terurus/ dan tak pernah ambil peduli,/ meregang waktu bersaksi:/ Marsinah diseret/ dan dicampakkan/ sempurna, sendiri/ Pangeran, apakah sebenarnya/ inti kekejaman? Apakah sebenarnya/ sumber keserakahan? Apakah sebenarnya/ azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya/ hakikat kemanusiaan, Pangeran?/ Apakah ini? Apakah itu?/ Duh Gusti, apakah pula/ makna pertanyaan? Kesederhanaan Marsinah –di mata Sapardi– melahirkan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang barangkali luput kita pikirkan sebab terbawa emosi. Kita akan terpikirkan pertanyaan rumit perihal pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia atau kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru. Imajinasi kesederhanaan Sapardi melampaui ruang 111



dan waktu. Ia menembus dunia setelah mati. Menyajikan sosok Marsinah yang terus dibicarakan. Bagi Sapardi, Marsinah berada di surga dengan segala trauma. Ia memilih diksi neraka sebagai penjelas dunia Marsinah. Di mata Sapardi, Marsinah tidak berharap dirinya menjadi garang sebab penyiksaan yang dialaminya. Ia tetap sederhana; menyuarakan kebenaran waktu. Imajinasinya itu diabadikan di bait kelima:“Saya ini Marsinah,/ buruh pabrik arloji/ Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir/ ke dunia lagi; jangan saya dikirim/ ke neraka itu lagi”/ (Malaikat tak suka banyak berkata,/ ia sudah paham maksudnya)/ apa sebaiknya menggelinding saja/ bagai bola sodok,/ bagai roda pedati?”/ (Malaikat tak suka banyak berkata,/ ia biarkan gerbang terbuka)/ “Saya ini Marsinah, saya tak mengenal/ wanita berotot,/ yang mengepalkan tangan,/ yang tampangnya garang/ di poster-poster itu;/ saya tidak pernah jadi perhatian/ dalam upacara, dan tidak tahu/ harga sebuah lencana”/ (Malaikat tak suka banyak berkata,/ tapi lihat, ia seperti terluka). Puisi ditutup dengan ingatan dan kesadaran akan kehadiran Marsinah pada setiap diri kita. Marsinah adalah waktu. Marsinah adalah detik dan detak di diri kita. Sapardi menutup kisah: Marsinah itu arloji sejati,/ melingkar di pergelangan/ tangan kita ini;/ dirabanya denyut nadi kita,/ dan diingatkannya/ agar belajar memahami/ hakikat presisi/ Kita tatap wajahnya/ setiap hari pergi dan pulang kerja,/ kita rasakan detak/ detiknya/ di setiap getaran kata/ Marsinah itu arloji sejati,/ melingkar di pergelangan/ tangan kita ini. 112



Terima kasih, Pak Sapardi. Izinkan aku turut bersaksi: Marsinah itu arloji sejati! []



113



Sapardi dan Upaya Menggaungkan Sastra Adib Baroya



Sapardi dikenal dan diagungkan sebagai pujangga kondang di arus perpuisian Indonesia. Puisi-puisi liris, apik, nan moncer itu ada di benak khalayak luas. Puisi gubahan Sapardi pun dimiliki dan diingat oleh banyak orang, khususnya pembaca sastra di seluruh Indonesia. Sekian pihak membaca dan mengapresiasi pelbagai karangan yang dilahirkan Sapardi. Hal itu membuktikan bahwa ia telah mewariskan banyak karya: cerpen, puisi, novel, maupun esai. Di majalah Tempo, edisi 30 Maret 1991, Sapardi pernah menyuguhkan esai berjudul Indonesia. Esai dimuat dalam 114



kolom yang disajikan atas kerjasama Mobil Oil Corporation. Esai tampak memberi aksentuasi pada upaya mengenalkan dan menyebarluaskan sastra Indonesia secara universal. Saya rasa, esai itu cukup penting untuk memahami situasi sastra Indonesia, meski judulnya sama sekali tak mencantumkan diksi “sastra”. Selain, untuk menyimak gagasan Sapardi dalam menginisiasi arah bahtera sastra Indonesia, esai bisa jadi jembatan untuk mengerti keadaan sastra Indonesia di masa lampau, yang nyaris berjarak 30 tahun dari sekarang. Sapardi membandingkan gairah pengenalan kebudayaan Indonesia ke publik luar negeri. Kita memang acap mendengar kebudayaan Indonesia itu ditampilkan di negeri jauh, mengudara di seberang samudra. Seni pertunjukkan itu meliputi wayang kulit, gamelan, tarian tradisional, dan reog. Menurut pengamatan Sapardi, pergelaran wayang kulit memang sangat menggoda rasa keingintahuan khalayak asing. Mereka, warga mancanegara, berminat untuk memahami kebudayaan Indonesia. Hanya dengan sebuah perhelatan wayang kulit, khalayak mau berkumpul di gedung pertunjukkan atau teater. Namun, Sapardi merasa kurang marem. Ia ingin sastra turut hadir-ada “memuliakan” adab dan budaya antarbangsa. Sebab, ucap Sapardi, sastra malah juga “bisa diam-diam masuk ke kamar orang-orang yang menyediakan waktu untuk mengahayatinya”. Sastra diharapkan untuk tidak abstain. Sapardi lantas menengarai 115



dan membandingkan upaya pengenalan sastra Indonesia dengan sebuah pementasan wayang di luar negeri. “Menyebarluaskan kebudayaan bangsa lewat terjemahan memang lebih praktis karena tidak memerlukan panitia, persiapan, dan berbagai kegiatan yang nggedabhyah, yang sibuk, repot, dan memerlukan banyak biaya.” Sebab, lebih lanjut, “Misi kesenian mungkin sekali bisa mengumpulkan khalayak yang besar pada waktu yang singkat. Tetapi terjemahan karya sastra bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dan,…, diam-diam menyusup ke pembaca.” Sapardi menjelaskan tata cara penerjemahan sastra itu tak serumit pementasan wayang. Pada penghujung esai, Sapardi memberi konklusi untuk tak usah malu, ragu, atau setengah-setangah dalam upaya menjunjung tinggi sastra Indonesia di kancah dunia. Sapardi berseru untuk maju, bertemu-padu mengembangkan dan menggelorakan kebudayaan Indonesia melalui (medium) sastra. Kita pun setuju dan berdoa. Amiin. Pilihan Menerjemahkan Buku Beberapa tahun setelah seruan di majalah Tempo itu, Sapardi (dalam Buku dalam Indonesia Baru, 1999) menyebut kegiatan menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia tampak meningkat. Berbeda dengan tulisan Indonesia, Sapardi menjelaskan bagaimana posisi sastra Indonesia di antara sastra dunia. Semula, tulisan-tulisan yang terhimpun di Buku dalam Indonesia Baru adalah makalah simposium bertajuk 116



“Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia”. Simposium digelar pada tanggal 10-11 Februari 1999. Nah, di dalam acara yang dihelat Yayasan Obor Indonesia (YOI) bersama The Japan Foundation itu, Sapardi mengajukan makalah berjudul Sastra Kita dan Sastra Dunia. Tapi, saat sudah terbit menjadi buku, makalah itu berganti judul Kita dan Sastra Dunia. Kedudukan dan keberpihakan terhadap sastra diharapkan jadi semacam jalan pintas, menjumpai dan mengenali kebudayaan dari bangsa lain. Di situ, Sapardi mengatakan, “Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa karya sastra kita hanya bisa mendapatkan informasi mengenai berbagai hal. Sastra memang bisa informatif, tetapi ia juga kreatif. Yang ditawarkannya tidak hanya informasi tetapi juga pengalaman estetis, pengalaman masuk ke dalam dunia keindahan yang disajikan atau disalurkan lewat bahasa.” Pikat bahasa dalam sastra memang bisa memberi pukau tiada terkira. Sapardi turut hadir, urun rembuk dalam ambisi memajukan bahasa, sastra, dan perbukuan di Indonesia. Dalam makalah tersebut, Sapardi juga menerangkan bagaimana posisi dan prosesi penerjemahan sastra. Usaha mempromosikan negeri kita lewat kebudayaan ini, harus ditunjang dengan ikhtiar penerjemahan sastra secara terus-menerus dan profesional. Selain itu, Sapardi juga mengajak untuk sama-sama tak perlu risau, kalau-kalau pengaruh dari banyaknya sastra asing akan menggusur kebudayaan kita sendiri. 117



Sungguh, keberadaan karya sastra memang senantiasa menggoda, mengolah nalar-imajinasi, dan merogoh hati kita. Sapardi ingin sastra turut menjadi simbol kebudayaan Indonesia, tak melulu wayang kulit, reog, tari tradisional, atau gamelan. Pun demikian, kita juga bisa mengingat karya sastra yang diterjemahkan Sapardi, termasuk 3 Tahun (Bentang, 2017) garapan Anton Chekov dari Rusia, Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and The Sea) milik Ernest Hemingway dari Amerika Serikat, dan lain-lain. Penerjemahan buku sastra jadi bukti nyata dari pernyataan-pernyataan Sapardi, dalam dua esai sebelumnya. Saya justru lebih dulu menjumpai hasil terjemahan Sapardi lewat novel 3 Tahun. Sapardi lebih memilih menerjemahkan sastra (novel) ketimbang buku-buku Karl Marx, Antony Giddens, atau Hannah Arendt. Di novel 3 Tahun, Sapardi—mau tidak mau harus— mencoba menghadirkan “atmosfer” kebudayaan Rusia. Karya Anton Chekov yang ditulis tahun 1885 ini, diterjemahkan agar terbaca umat pembaca di Indonesia. Pembaca, dengan demikian, bisa merasuki iklim dan pergolakan-pergolakan yang sedang bergulir di tanah Rusia. Peran otoritas gereja, kemunculan kelas sosial, relasi antaranak manusia, perdebatan tentang seni, ketabahan hidup, pendidikan, dan spiritualitas menjadi sorotan dalam novel tersebut. Saat membaca sastra terjemahan, kita sebagai pembaca diajak untuk melanglang buana bersama dunia rekaan pengarang. Mencoba mengalami sekaligus merasai 118



kebudayaan di negeri jauh. Tentu, saya pantas mengucap terima kasih pada Sapardi, karena telah menerjemahkan dan mengenalkan karya Anton Chekov. Dua teks esai dan penerjemahan novel yang dilakoni Sapardi pun memiliki relevansi. Bukan omong kosong belaka. Kehadiran Sapardi di ranah kesusastraan Indonesia tak bisa diremehkan begitu saja. Kini, Sapardi telah meninggalkan warisan penting bergelimang makna. Tentu, warisan berupa esai yang saya coba bahas, hanyalah “secuil” di antara rerimbun buah pena Sapardi. Sapardi pun telah pergi, berpulang ke pangkuan Illahi. Selamat jalan penyair “Hujan Bulan Juni”, di bulan Juli. []



119



Menulis dengan Sederhana: Catatan Pendek tentang Pak Sapardi Olive Hateem



Selembar angin yang melayang entah dari mana dan tak ingin jatuh ke bumi—dan udara menjadi biru seperti langit yang memantulkan warna laut. Kita mungkin memang diciptakan agar ada yang pernah merasa bahagia. —Sapardi Djoko Damono, dalam Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?



120



Jika kebanyakan pembaca seumuran saya mengenal Pak Sapardi dari puisi-puisi cintanya, saya justru kenal beliau pertama kali melalui terjemahan The Old Man and the Sea—salah satu karya Hemingway yang cukup fenomenal dan beliau terjemahkan menjadi Lelaki Tua dan Laut. Buku tipis itu saya temukan di pojok rak perpustakaan sekolah dan langsung menjadi buku favorit saya pada masa itu. Dari sanalah, perjalanan saya dalam membaca karya-karya beliau yang lain dimulai—dari cerpen, puisi, esai, sampai terjemahan-terjemahan yang lain. Kata-kata, menurut Pak Sapardi, lahir dari kepekaan mendengar. Beliau selalu mencari kesunyian demi ruang-ruang longgar yang membuat hatinya lega serta menjaga produktivitasnya dalam menulis. Keluaran dari produktivitas tersebut jelas dapat kita ikuti secara langsung tiap tahunnya, termasuk dari peluncuran tujuh buku pada perayaan hari lahir beliau yang ke-77 pada 2017 lalu. Kehadiran Pak Sapardi bisa dibilang menjadi salah satu turning point saya dalam keseriusan menulis. Saya harus mampu menulis setidaknya dua buku sebelum 20 tahun, pikir saya dulu. Saya harus juga serius belajar bahasa asing agar bisa menjelajah secara lebih luas melalui bacaan, mendapatkan teman baru dari belahan dunia yang lain, juga menerjemahkan karya dari atau ke dalam bahasa Indonesia demi memperkenalkan peradaban melalui bentuk representasi terbaiknya—sebagaimana yang dilakukan oleh Pak Sapardi.



121



Saat Sebelum Berangkat mengapa kita masih juga bercakap hari hampir gelap menyekap beribu kata di antara karangan bunga di ruang semakin maya, dunia purnama sampai tak ada yang sempat bertanya mengapa musim tiba-tiba reda kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini di luar para pengiring jenazah menanti Sebagai salah satu pionir puisi liris, Pak Sapardi selalu membahas bagaimana beliau selalu berhati-hati dalam memilih dan menggunakan kata. Alih-alih memberi ciri kepada bahasa tulisnya yang banyak dijadikan acuan bagi sastrawan lainnya dalam menulis, Pak Sapardi memilih untuk ikut berkembang sesuai zaman. Mungkin karena itulah karya-karyanya selalu bisa dinikmati dan diterima oleh berbagai generasi. “Saya nggak suka mengulang diri sendiri—menjiplak diri sendiri,” kata Pak Sapardi pada obrolannya di Podcast Main Mata. “Saya percaya bahwa bahasa, pada dasarnya lisan. Saya sebetulnya meniru bahasa lisan, yang kemudian saya tulis.” Pandangan-pandangan inilah yang juga sangat saya syukuri bisa saya konsumsi melalui berbagai hasil wawancara, tulisan, maupun secara langsung pada gelar wicara yang beliau isi. Pak Sapardi punya caranya sendiri 122



dalam membagikan ilmu yang ia miliki, terlebih soal sastra dan bahasa, secara sederhana tetapi meninggalkan kesan yang begitu dalam. Semua orang mungkin sekarang sudah bisa menulis puisi cinta, cerita pendek, esai sastra, atau menerjemahkan berbagai tulisan. Tetapi tidak semuanya mampu menjadi Pak Sapardi. Sesosok penulis yang dapat mengambil jarak dari karya dan melihatnya sebagaimana adanya, dengan kualitas hening yang sangat kuat pada karya-karyanya. Ada waktu di mana saya mendengarkan karya-karya Pak Sapardi digubah menjadi musikalisasi puisi sebagai teman menulis. Berkat Pak Sapardi, secara tidak langsung saya menemukan ‘suara’ dalam menulis sekaligus terlibat berbagai proyek kepenulisan dan literasi. Mengutip Nirwan Dewanto tentang Pak Sapardi: “Setiap kali kita merasa puisi Indonesia bergerak terlalu jauh—ke kiri atau ke kanan—kita membaca kembali puisi Sapardi Djoko Damono. Barangkali tidak sekadar membaca kembali, tetapi membaca terus-menerus. Titik Pak Sapardi menjadi titik moderat manakala di ujung kiri puisi kita menjadi pucat-pasi, menjadi puisi amanat; dan di ujung kanan, puisi menjadi gelap tak tertembus, menjadi barang untuk dirinya sendiri. Puisi Sapardi Djoko Damono sesungguhnya adalah puisi yang wajar, namun dalam khazanah perpuisian kita, ia menjadi puisi yang harus.” Tulisan Di Batu Nisan Tolong tebarkan atasku bayang-bayang hidup yang 123



lindap Kalau kau berziarah ke mari Tak tahan rasanya terkubur, megap Di bawah terik matahari Pak Sapardi membuat kita percaya bahwa hal-hal yang kecil dalam keseharian pun bisa diangkat, bahwa hal-hal yang dekat dan sederhana juga layak ditulis. Terima kasih, Pak Sapardi. Yang fana adalah waktu, namamu abadi. []



124



125



Sapardi menjelaskan tata cara penerjemahan sastra itu tak serumit pementasan wayang. Pada penghujung esai, Sapardi memberi konklusi untuk tak usah malu, ragu, atau setengah-setangah dalam upaya menjunjung tinggi sastra Indonesia di kancah dunia. Adib Baroya



11 Oktober 2018 Sapardi Djoko Damono dalam acara Gitaris Indonesia Peduli Negeri. (Foto-foto: dokumentasi Bentara Budaya Jakarta)



Sapardi: Mantra dan Pengabdiannya Agus Wedi



Sesungguhnya, posisi penting Sapardi Djoko Damono dalam susur galur susastra Indonesia adalah karya dan “pengabdiannya”. Karya-karyanya berlaga di medan penyadaran untuk mendongkel kualitas sastra menjadi sesuatu yang dekat dengan publik. Di lembar pengabdian Sapardi, terlihat bagaimana dia berada di lingkaran inti “proyek” besar sastra (lirik) untuk dicurahkan sehabishabisnya bagi publik Indonesia. Kerjanya lahir dari kesadaran “empati” yang mencerminkan sastrawan cumakademisi tidaklah berjarak jauh pada realitasnya. Begitulah Sapardi. Dalam hal ini, dia memahatkan pemaknaan bahwa sastra atau ilmu semestinya diajarkan dan disebarkan dengan rendah hati, tanpa mengurangi 128



kualitasnya. Sebab, dengan kerendahhatian akan tampak signifikansinya pada aktivitas sastra yang gemilang. Dari sosok Sapardi, kita bisa mendapatkan karakter sastrawan Indonesia yang “bijak” dan teguh: tidak mau kalah pada “kritikan” dan waktu. Bentangan waktu telah dibuatnya menjadi sesuatu yang fantastik: menulis puisi, tukang edit, tukang kliping, menerjemah, mengajar, berorator, dan berasmara. Di lembar waktu, Sapardi telah membuahkan banyak karya. Tulisan ini bermaksud mengulas karya Sapardi paling mutakhir, Mantra Orang Jawa (Gramedia Pustaka, 2020). Buku ini merupakan teks penting dari Sapardi. Di mana dia menjejak sebagai orang Jawa dan merefleksikan panorama dinamika Jawa beserta isinya, tak terkecuali halhal yang telah “(di)terlupa(kan)”: mantra. Sejarah Jawa adalah sejarah mantra. Diakui atau tidak, di bentangan sejarah manusia Jawa, mantra menjadi nafas atau senjata mistik utama. Bahkan, mantra-mantra yang berkecambah di tanah Nusantara, hampir semuanya berbahasa Jawa. Meski bahasa murni mantra hampir tidak bisa dimengerti baik secara fonetis maupun sintaksis. Tetapi bagi manusia Jawa itu harus dirapalkan demi menyibak segala rahasia, atau demi mencapai sesuatu yang ilahiah. Dalam teks ini, barangkali Sapardi mengingat itu, dan jika boleh dikatakan demikian, membicarakan (karya) manusia Jawa atau mengkaji susastra Jawa, dengan tidak mengikutkan mantra di dalamnya merupakan keteledoran besar yang kadangkala tidak disadari. 129



Mari kita lihat saja (halaman awal) buku ini. Sapardi menulis: “Konon, di zaman lampau mantra memiliki kekuatan yang bisa dimanfaatkan nenek-moyang kita untuk berbagai keperluan hidup sesuai dengan maksudnya. Kata mantra tidak bisa dipisahkan dari Japa, jadi Japa Mantra. Japa berarti dibisikkan atau didesahkan atau diucapkan. Jadi mantra harus dilisankan. Dalam buku ini saya telah menjadikannya puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu meskipun tetap harus dilisankan”. Sapardi masih mengingat mantra! Kerja mantra pun masih diingatnya, termasuk asal-usulnya. Sebagai orang Jawa yang sadar mantra, Sapardi seperti ingin mengenalkan ke khalayak, jika tidak bisa diselamatkan (oleh manusia Jawa) dari kepunahan. Kesadaran etis Sapardi mengantarkan mantra menjadi karya, sebut saja karya paling panoramik Sapardi, Mantra Orang Jawa. Kekuatan karya adalah kekuatan mantra. Bisa jadi, kekuatan mantra adalah kekuatan karya. Sapardi memberi pesan, “Siapa tahu masih ada kekuatan [mantra] tersembunyi yang tersisa dalam puisi ini. Kalau memang demikian halnya, kita manfaatkan sajalah [mantra/ puisi] yang ada dalam buku ini sebaik-baiknya’. Untuk memotret harapan manusia Jawa dan kontestasi bentangan perjalanannya hidupnya yang dibangun dari mantra, kita bisa saja memberi daftar panjang pustaka. Tetapi karena ini spesial, kita bidik saja teks buku Sapardi. Kita tahu sejarah manusia (Jawa) adalah sejarah 130



mantra. Sejak manusia dilahirkannya, mantra ikut dikomatkamitkannya. Bahkan, dalam peristiwa-peristiwa kecil atau besar dan ketika maut memisahkannya, bacaan atau japa mantra turut serta mengantarnya. Dalam hal ini, puisipuisi Sapardi mengantar pada konteks itu. Kalau begitu, kita buka puisi Mantra Hari Lahir: aku memohon kepada Hyang Maha kepada kulit kepada daging kepada urat kepada tulang kepada sumsum * semoga tahu saja bahwa aku ada Renung Sapardi, keberadaan manusia sebentuk dengan keberadaan Tuhan dan ekosistem tubuh. Keduanya saling jumpalitan dan bahkan bisa jadi saling berkaitan. Tapi tidak harus dihadap-hadapkan. Penyuwun Sapardi kepada Tuhan di langit, Hyang Maha dan keberadaan tubuhnya untuk selalu mengasihi sepanjang rentetan hidupnya. Sapardi seperti mengemis, dalam bentangan hidup, keduanya tidak boleh tidak ada, dan harus selalu saja ada: tidak menyiksa dan tidak disiksa olehnya. Tuhan dan tubuhnya dipinta untuk ada dalam menjaga keberadaan normalnya. Saya kira, itu sah-sah saja dalam hakikat menghamba. 131



Disadari, dalam kehidupan normal, kadang manusia memang selalu lupa. Kita lupa mengingat bagaimana ia ada dan tercipta. Melupakan bisa mengantarkan pada keberjarakan. Keberjarakan terhadap yang mencipta atau yang menemani ke-ada-annya (dalam hal ini tubuhnya), bisa jadi ia juga mencipta malapetaka: penyakit selalu datang tak henti-henti, kejadian nahas, himpitan kemiskinan, dan petaka lainnya. Bahkan, kalau dirunut ke akarnya, petaka hadir karena manusia telah menyimpang dari jalannya, sebab melupakan khaliknya. Dalam hal ini, Sapardi tegap, ia meminta pengasihan. Dari lahir hingga berada di puncak karir tak menjadikan ia lupa bahkan “buta” pada hakikat hidupnya. Sekali lagi, ia mengingat, ia meminta. Tumbuh suburnya panorama kehidupan tiada lain atas restu Tuhan. Tetapi, sebagai hamba yang lemah (terbatas), tidak harus bersikap fatalistik (menganggap Tuhan segalanya) atau free will (manusia bebas menentukan segalanya). Dikursus kehidupan cukup dengan berusaha dilandasi kesadaran menyimbangkan yang langit dan bumi: moderat. Mengkonsep persoalan hidup butuh keberpihakkan “kesadaran menjadi hamba” dan perlu disabuk dengan japa mantra kasih (doa pinta). Pada itu, Sapardi menulis Mantra Agar Dikasihi: bapa masuk atas nama Hyang Maha masuklah ke rahim si Dadap 132



turuti sepenuhnya apa yang kumaui turuti apa saja yang kuhendaki turuti apa saja apa yang kuucapkan * datanglah kasih datanglah sayang kasih sayang bagi diriku Rumusan Sapardi, ketika orang-orang (terkasih) mengasihi, itu adalah gerak Tuhan yang hadir dalam batin manusia: si Dadap. Pinta atau kemauan yang dikehendaki atau dituruti dan menjadi nyata bentuk keniscayaan belas kasih Tuhan. Bahkan, di puisi lanjutnya, puisi Mantra Pengasihan, 1; Mantra Pengasihan, 2; Mantra Pengasihan, 3; hingga puisi Mantra Pengasihan, 9; Sapardi dengan mantap mengatakan, “segala kasihnya adalah kehendak Hyang Maha. Sekadar memberi contoh, misalnya, Mantra Pengasihan, 9: sudahlah, mau apa lagi kau dalam genggamanku aku dalam genggamanmu sudahlah, mau apa lagi ini tak lain cinta sejati 133



yang disiramkan ke tubuhku ke tubuhmu agar basah agar menyerah di hari dan wuku pada kehendak Hyang Tunggal Pada hakikatnya, segala yang ada hanyalah manifestasi Hyang Tunggal. Kekuasaan dan gelayutan hidup manusia, baik problem sosial dan asmara menjadi hal yang nyata untuk dibawa ke hadapan Hyang Tunggal. Pengakuan terhadapnya adalah menjanjikan derma dalam sebuah aktivitas suluk spiritual. Dalam prosesnya, seperti puisi Sapardi, “baik yang bisa digenggam atau tak bisa digenggam”, harus dikembalikan lagi atau mengembangkan cara pandang yang humanis terhadap Hyang Tunggal, juga manusia. Sebab, Hyang Tunggal bisa ditemui bukan hanya di perjalanan (suluk) sunyi, tetapi juga di jalan asmara yang ramai. Tetapi, mengacu ke laku Sapardi, mantra-mantra tidak selalu harus diperuntukkan ke Hyang Tunggal. Nyanyian langit tidak perlu dijaga ketat kerahasiannya, tetapi juga dipahatkan pada si jelita hati: manusia. Sebentuk permohonan atau berbelas kasih. Untuk hal ini, kita bisa cerap puisi Mantra Menjelang Tidur:



134



aku berniat tidur berkasur raga berbantal nyawa berselimut sukma dijaga para bidadari nikmat mulia sejati Sapardi memberi citra sentilan, permintaan, penuturan yang imajinatif. Puisi mantra magis ini ingin melepaskan katalogsasi ragam peristiwa harian, sekaligus ingin menyusun kenang yang terbiarkan masuk dan tertinggal dalam tidur panjang: kematian. Atau mungkin, ini adalah japa mantra keheningan total Sapardi, suatu penyerahan total pada Hyang Tunggal, Tuhan. Dalam ilmu supranatural, mantra dikenal bisa membuka tabir kehidupan, juga bisa mengubah formulasi pandangan manusia dari sesuatu yang lazim menjadi biasa. Tapi puisi-puisi Sapardi sepertinya tak ingin mengarah ke situ: tidak untuk mengamati, mengintip atau membuka rahasia-rahasia langit yang ritmenya hanya bisa dipahami oleh pribadi-pribadi suci. Namun berangkali, kita yang telah kena ritme mantra puisi-puisi Sapardi. Wah! []



135



Perahu Kertas Sapardi Gody Usnaat



Saya mengenal Sapardi Djoko Damono (SDD) sejak saya mulai belajar menulis puisi. Seingat saya di tahun 2007 ketika Bapak Ignas Kleden dan Ibu Maria Matildis Banda menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK)-Ledalero; dalam seminar itu, Ibu Maria memperdengarkan puisi SDD, Aku Ingin: “aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” Di waktu senggang, sebagaimana burung kakaktua pada buah matoa, saya cari puisi itu sampai menemukan 136



dan baca puisi itu lagi dan saya tertegun dan menikmati bangunan dan suasana puisi ini. Saya membayangkan cinta yang sederhana itu kisah kayu dan api juga isyarat awan kepada hujan. Dan saya disihir Aku Ingin—mencintai dan suntuk mempelajari puisi. Ada banyak kumpulan puisi yang ditulis SDD dan buku puisinya yang pertama duka-Mu abadi, terbit tahun 1969, Mata Pisau, Akuarium, Perahu Kertas dan masih banyak lagi selain novel, buku terjemahan dan esai. Dari kumpulan puisinya Perahu Kertas—yang sejak 2018 selalu saya baca—saya belajar, misalnya membangun imaji, bunyi, dan suasana dalam puisi. Saya tergolong penyair yang telat mempelajari SDD. Ketika saya miliki buku Perahu Kertas, Babad Batu dan buku apresiasi puisi Bilang Begini Maksudnya Begitu, saya berusaha mendalami puisi-puisinya dengan membaca berulang kali. Buku apresiasi puisi Bilang Begini Maksudnya Begitu, bagiku merupakan salah satu buku pelajaran bagaimana menulis puisi. Dalam buku ini, SDD yang jauh seolah terbang dengan pesawat, kemudian berkendaraan beberapa jam lalu dengan menggunakan tongkatnya ia jalan kaki ke pedalaman Papua hanya untuk mengajari saya menulis puisi. Saya merasakan sentuhan seorang guru. Ketika membaca bukunya, serasa ia duduk di samping saya, ulasannya detail menguraikan hal-hal mendasar dalam membangun sebuah puisi. Saya membacanya, dan dengan pena saya menggarisbawahi hal-hal penting. Di kemudian hari saya sering membaca lagi dan mulai memperbaiki 137



puisi-puisi saya. Buku Bilang Begini Maksudnya Begitu dibagi ke dalam sepuluh bagian; saya sendiri selalu terkesan dengan bagian kedua “Puisi sebagai Bunyi” dan bagian ke sepuluh “Memanfaatkan Dongeng”. Pertama, puisi sebagai bunyi. Ketika pertama kali belajar menulis puisi saya selalu berusaha bagaimana membangun metafora. Tapi itu tak cukup. Di kemudian hari, beberapa teman kasih masukan, agar saya memperhatikan juga bunyi. Unsur bunyi, menurut SDD dalam jenis-jenis tradisi lisan seperti mantra dan pantun memiliki bahan pengawet yang menyebabkannya mampu bertahan ratusan tahun, bahkan dalam bentuk dan isi yang boleh dikatakan tetap. Dalam pantun, hubungan antara sampiran dan isi merupakan salah satu bahan pengawet, di samping rima atau persamaan bunyi akhir. Pada halaman lain ia secara khusus menekankan pentingnya bunyi dalam puisi disusun untuk menegaskan makna, atau setidaknya untuk membangun suasana. Saya pun berlatih bikin bunyi di dalam puisi-puisi yang saya tulis, agar makna dan suasana kelak sampai di dalam pikiran dan perasaan pembaca. Kedua, memanfaatkan dongeng. Di pedalaman Papua ada banyak dongeng, segala hal dan barang dan tempat selalu punya cerita. Sebenarnya ada beberapa penyair yang memanfaatkan cerita-cerita dongeng atau wayang, dan saya ingin seperti misalnya Gunawan Maryanto yang mengalihkan cerita-cerita itu ke dalam puisi, tetapi saya seperti ibu rumah tangga yang belum lihai mengolah 138



bahan-bahan yang ada. “Penyair,” kata SDD, “bisa saja menggunakan dongeng untuk menggarisbawahi apa yang selama ini tersirat di dalamnya, tetapi juga-sebaliknyamemelintirnya sedemikian rupa sehingga merupakan hasil upaya untuk menawarkan nilai-nilai dan cara baru dalam memandang kehidupan.” Saya pelajari bagian buku ini dan mulai berlatih. Sampai hari ini saya selalu menganggap SDD adalah salah satu guru saya. Ia begitu detail mengulas apa yang mesti saya bangun agar puisi menjadi rumah yang kokoh dan nyaman dan punya suasana unik. Singkatnya ia memperkenalkan kepada saya dengan suaranya nyaris tak terdengar tapi telinga saya begitu enteng menangkap dan tangan saya semakin hari semakin lincah bermain dengan cerita, gagasan, suasana dan sebagainya. Kadang saya meragukan kemampuan saya dalam berpuisi, tapi, suatu saat, saya baca ujarannya di Majas menanggapi peranan bakat, “Terus berlatih dan belajar,” ia bilang begitu. Saya membaca buku kumpulan puisi Perahu Kertas beberapa kali. Buku kumpulan puisi ini pertama kali terbit pada tahun 1983. Buku ini memuat di antaranya puisi, Yang Fana Adalah Waktu, Tuan, Sihir Hujan dan beberapa lainnya. Saya membacanya dan seolah diajak masuk, mendengar bunyi dan menikmati suasana yang ia bangun. SDD di dalam buku ini sungguh detail. Ia seolah penuntun jalan yang baik dan ramah juga sabar. Ia misalnya menghantar saya bertemu anak-anak, di lain kesempatan mengajak saya berlayar dengan perahu kertasnya untuk mengunjungi 139



taman dan duduk di atas batu. Di dalam kumpulan ini juga Sapardi selalu menulis dengan sederhana dan jernih dalam menyajikan imaji. Saya sangat menikmati pemandangan yang tersuguhkan dalam setiap perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa puisi dalam kumpulan ini, seperti Seruling, Yang Fana Adalah Waktu, Tuan, dan Perahu Kertas berhasil saya baca pelan dan hayati. Seruling Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubanglubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak pernah kaubayangkan merdunya… Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga. Saya selalu membaca puisi ini seperti gerak langkah kaki, pelan, sementara telingaku berusaha mendengar bunyi kicau burung dan seruling di kejauhan. Selain kesederhanaan imaji, bunyi dalam kumpulan puisi ini sangat terasa. Ia seolah menegaskan apa yang ia katakan dalam buku Bilang Begini Maksudnya Begitu bahwa bunyi dalam puisi disusun untuk menegaskan makna, atau setidaknya untuk membangun suasana. Tanggal 19 Juli 2020, SDD meninggal dunia dalam usianya yang ke-80. Beberapa teman mengirim pesan duka 140



itu lewat pesan WA. Selama tiga hari saya mengenang beliau dengan membaca puisi-puisinya dalam kumpulan Perahu Kertas. Saya pun membaca ulasan tentang hidup dan karya almarhum. Ketika membaca puisi-puisinya, serasa melihat dan merasakan kehidupan sebagaimana air dan darah yang mengalir di dalam tubuh. Dan setiap kali membaca satu puisi saya seolah di dalamnya. SDD sedang mengajak untuk menikmati dan mengakrabi keseharian saya sambil terus berbahagia menulis puisi. []



141



Yang Paling Sunyi Dari Bulan Juni:



Mengenang Maestro Sapardi Djoko Damono Wulan Dewi



Bulan Juli adalah waktu yang dipilih Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono untuk kembali kepada kesunyian. Beliau wafat pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB di Eka Hospital BSD, Tanggerang Selatan. Semesta memanggil Sang Maestro Puisi. Cintanya pada puisi berhasil mengajak orang larut dalam puisi-puisinya. Sapardi telah menginspirasi banyak anak-anak muda untuk berkarya. Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti, adalah puisi-puisi Sapardi yang paling populer dan menyentuh batin. Terlebih saat 142



dijadikan musikalisasi puisi oleh Ari- Reda.



Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Begitulah puisi yang menjadi bacaan wajib para penyair pemula, atau bagi para insan yang kasmaran. Hari ini, beberapa puisinya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti marak di media sosial. Para pegiat seni seakan kompak mengantarkan beliau dengan puisi ini. Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi, tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari 143



Puisi-puisi beliau juga dirayakan pada tahun 2015 oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha. Festival Sastra kala itu mengusung tema Sapardi Djoko Damono. Karya-karya beliau mulia dari puisi, cerpen, hingga novel dijadikan materi diskusi mulai dari riwayat kepenyairan, kekhasan karya, dan digubah menjadi pementasan. Tentu jika membicarakan karakteristik puisi, Sapardi sudah mencapai puncaknya. Dalam kumpulan buku puisi Sapardi bertajuk Duka-Mu Abadi (2012), Jeihan menulis: puncak seni; puisi puncak puisi; filsafat puncak filsafat; sufi – Sapardi telah sampai di wilayah ini Sapardi pun sudah sampai di puncak takdirnya. Sungguh bernilai bila kita berpuisi sebagai mantra pengantar kepergian. Pilihlah puisi favoritmu. Saya yakin, masing-masing kita pasti mempunyai puisi favorit dari Sapardi . Hingga kini, “Mata Pisau” masih menjadi unggulan saya.



Mata Pisau mata pisau itu tak berkejap menatapmu: kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja 144



sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. Saya pertama kali berjumpa dengan beliau pada tahun 2013. Kala itu, beliau menjadi pembicara di Bali Emerging Writers Festival. “Kalau ada yang ingin menjiplak puisi saya, atau ada yang meniru cara saya menulis, silakan, toh nanti mereka bosan sendiri. Itu sebuah proses,” tuturnya menjawab pertanyaan moderator. Beliau menambahkan “Karena bagi saya, sajak yang terbaik adalah sajak yang belum ditulis,” kata penyair bertopi pet itu. Gaya busana Sapardi kala itu sangat sederhana dengan topi pet hitam, kemeja biru, dan jam tangan hitam. Ia tampak nyaman dengan busana casual hingga membuatnya senang melayani penggemar yang meminta tanda tangan. Di awal tahun 2020, sempat terjadi pergunjingan, saat Sapardi turut melakukan gerakan populer dengan media Tiktok. Beberapa kelompok menghujatnya, mengatakan bahwa Sapardi sebagai seorang penyair senior tidak perlu turun kasta mengikuti budaya pop. Mungkin para penghujat ini juga lupa, bahwa dulu semasih mahasiswa, Sapardi juga seorang gitaris pop pada masa kuliahnya. Tak lupa pula, saya mengingat resep awet muda ala Sapardi, “Perbanyak bergaul dengan anak-anak muda, itu yang membuat saya tetap semangat berkarya dan tetap muda.” Berkat keluwesan Sapardi, puisi-puisi beliau kerap dijadikan musikalisasi puisi oleh anak-anak muda yang kala itu berkuliah di UI. Pada saat itulah, puisi-puisinya 145



menjadi populer bahkan hingga kini masih melekat di hati penikmatnya. Baginya, puisi harus mengalami alih wahana. Dalam buku Alih Wahana (2012) Sapardi menjelaskan bahwa puisi adalah bunyi. Maka, jika puisi dikembalikan menjadi bunyi, tentu akan lebih bermakna. Namun, bila puisi hanya disimpan di buku, maka tidak ada yang membacanya. Di beberapa wawancara Sapardi juga kerap mengatakan bahwa “bahasa cepat berubah, cepat bergerak, dan kita rekam dalam sastra.” Sapardi membuktikan bahwa di usia berapa pun, tak ada alasan untuk tak berkarya. Terbukti di umur 78 tahun, Sapardi dianugerahi Life Time Achievement oleh UWRF pada tahun 2018. Hingga kini, kita dapat menikmati karya teranyar Sapardi yakni Menghardik Gerimis (2019): “Aku mencintai hujan sebab kalau jatuh bilang terus terang dan jelas suaranya, tidak membiarkan aku terpeleset.” Mungkin kita akan merindukan karya-karya beliau. Kita rindu pesan-pesan beliau agar penyair muda lebih bernas berkarya. Sapardi telah membuktikan bahwa sastra adalah jalan hidupnya. Sastra sebagai tujuan hidupnya. Bahkan sampai di ujung waktu, karyanya tetap menyala. Suatu hari nanti, karyanya dirayakan. Selamat jalan, Eyang. []



146



147



Ketika membaca puisi-puisinya, serasa melihat dan merasakan kehidupan sebagaimana air dan darah yang mengalir di dalam tubuh. Dan setiap kali membaca satu puisi saya seolah di dalamnya. SDD sedang mengajak untuk menikmati dan mengakrabi keseharian saya sambil terus berbahagia menulis puisi. Gody Usnaat



28 November 2018 Pembukaan Pameran Cerita Makan Beng Rahadian (Foto: dokumentasi Bentara Budaya Jakarta)



Karya-karya Sapardi Djoko Damono, Kedekatan yang Mengekalkan Setyodewi



Puisi tertulis dalam skripsi? Rasanya wajar jika skripsinya adalah skripsi mahasiswa Jurusan Sastra atau Bahasa. Tetapi bagaimana jika puisi itu ada dalam skripsi seorang mahasiswa Jurusan Teknik? Yang dikaji juga tentang teknik, dengan spesialisasi bidang telekomunikasi. Tentu saja puisi tersebut tidak menjadi bahasan, tetapi ada di salah satu halaman depan. Entah apa yang dimaksud si Penulis. Sebagai pemanis, kutipan yang indah, atau memang mungkin ditujukan kepada seseorang yang diabadikan dalam karya ilmiahnya. Siapa penyair yang puisinya 150



sampai masuk ke dalam skripsi mahasiswa Jurusan Teknik Industri tersebut? Tak lain adalah Sapardi Djoko Damono, atau yang akrab dengan sebutan SDD. Di skripsi teman saya inilah, pada tahun 2001, saya pertama kali membaca puisi Pak Sapardi yang berjudul “Aku Ingin”. Saya tak pernah lupa momen itu. Pasalnya, saya langsung terngiang-ngiang dengan kata-kata dalam puisi tersebut, yang lalu saya hapalkan. Pilihan kata yang sederhana dengan makna yang dalam dan sangat menyentuh. Itu yang saya simpulkan setelah membaca puisi itu. Tak hanya dalam skripsi. Saya pernah membaca artikel yang menyebutkan bahwa puisi ”Aku Ingin” juga dikutip dalam undangan pernikahan. Bisa jadi dalam materi tulisan lain juga ada. Kalau zaman sekarang bisa kita jumpai dalam berbagai media terutama media sosial. Platformnya juga bermacam-macam. Instagram, Facebook, juga Whatsapp. Posting foto, lalu caption-nya nyomot puisi Pak Sapardi. Misalnya puisi beliau yang berjudul Yang Fana adalah Waktu atau puisi Tentu, Kau Boleh. Ya memang, sah-sah saja mengutip dengan tetap menyebutkan penulis aslinya. Buat anak milenial zaman sekarang, daripada susah membuat keterangan gambar atau caption yang diunggah ke media sosial, cara tercepat ya dengan mengutip kata-kata indah dari motivator atau para penyair. Lalu, apa yang bisa ditelaah dari peristiwa ini? Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan dan akademisi yang ternyata mampu merangkul segala lini masyarakat 151



dari sisi literasi. Tak hanya penikmat puisi dan sastra, masyarakat awam pun saya kira turut menikmati indahnya karya-karya SDD. Bahkan meskipun dalam penulisannya ada kesalahan. Saya pernah merevisi tulisan teman dalam sebuah status whatsappnya, karena kesalahan penulisan nama SDD. Pernah juga saya ingatkan bahwa puisi yang ditulisnya adalah ciptaan SDD tetapi dia tulis sebagai karya penyair lain. Menurut saya, animo masyarakat terhadap literasi menjadi cukup tinggi dengan dijembatani oleh karya-karya SDD ini. Terlebih sajian romantika dalam kesederhanaan kata, tak banyak metafora, namun tetap penuh makna. Ini yang disuka masyarakat kita. Pengulangan kata yang justru menguatkan makna dan memudahkan pemahaman. Akses ke dunia literasi yang semakin mudah juga menjadi faktor pendukung. Era digital membuat segala informasi ada dalam genggaman. Bisa jadi masyarakat umum menjadi lebih melek literasi juga karena ini. Tentu tak hanya dari buku saja. Masyarakat menjumpai karya Pak Sapardi dari media lain juga. Film salah satunya, yaitu berupa musikalisasi puisi yang menjadi latar film. Puisi berjudul Aku Ingin menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti. Lalu musikalikasi puisi Pada Suatu Hari Nanti yang dinyanyikan duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu, sangat menawan dijadikan soundtrack film Negeri Dongeng. Penonton yang semula hanya menikmati film, akhirnya jadi ikut menelisik juga. Alunan nada yang syahdu, dengan lirik yang menarik dan dalam, sederhana 152



tapi dekat. Kedekatan kata, kemudahan dicerna, inilah yang menurut saya menjadikan Pak Sapardi dekat dengan masyarakat, tanpa batas, no boundaries. Sisi-sisi romantisme dalam karya yang juga banyak disukai oleh kalangan anak muda membuat tulisan beliau populer serta mudah tersebar luas di kalangan milenial. Kata-kata “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” laksana sihir yang membuat anak-anak muda jadi punya “bahan” inspirasi atau ide untuk ungkapan cinta, tanpa harus mendayu-dayu atau penuh rayu. Satu insight bahwa tulisan yang lembut dan manis bisa didapati dari diksi sederhana yang mengena. Jika melihat biografi Pak Sapardi yang seorang sastrawan, akademisi, yang karya-karyanya tak hanya seputar sastra puisi, namun juga berupa novel, cerpen, esai, sangat lengkap baik fiksi dan nonfiksi, bahkan karya terjemahan, maka beliau adalah sosok yang mendekatkan literasi dengan masyarakat dengan caranya sendiri. Hal yang sangat istimewa di mana sosok seorang guru besar sastra menjadi dekat dengan masyarakat. Bagi khalayak, kehadiran beliau menjadi sebuah pembelajaran literasi dan pengenalan dunia kesusastraan Indonesia. Bagi saya pribadi, setidaknya ada 3 momen tak terlupakan yang menautkan pikiran saya dengan Pak Sapardi selain dengan membaca karya beliau. Momen membaca puisi dalam skripsi teman saya, menikmati musikalisasi puisi dalam film Negeri Dongeng yang saya tonton, di mana saya langsung mencari videonya di Youtube 153



setelahnya. Satu lagi adalah saat melihat penampilan beliau secara langsung membacakan puisi di acara “Syair Solidaritas - Gitaris Indonesia Peduli Negeri” yang digelar Bentara Budaya Jakarta sekitar 2 tahun lalu. Bagi penikmat puisi, SDD adalah dekat. Pun bagi masyarakat penyuka tulisan-tulisan sederhana. Satu hal yang menunjukkan kedekatan Pak Sapardi dengan kaum milenial yang akrab menyapanya dengan sebutan Eyang Sapardi adalah kolaborasinya dengan salah satu penulis muda, Rintik Sedu, yang membuahkan buku berjudul Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang. Buku bergenre puisi ini tentu menyasar pembaca di semua kalangan, terutama anak muda dengan tetap menampilkan kekhasan tulisan Pak Sapardi. Saya belum membacanya, namun berdasarkan ulasan yang saya baca, saya yakin kolaborasi ini sungguh apik. Buku duet ini adalah bukti bahwa jejak karya Pak Sapardi yang terus diukirnya hingga usia senja justru sanggup merangkul berbagai lapisan. Merangkul lalu menjadi dekat, diingat lalu berbuah pada sebuah kekekalan. Karya beliau akan tetap abadi sepanjang masa. Maka hingga akhir hayatnya beliau telah menciptakan kedekatan yang mengekalkan.



Ketika Berhenti di Sini ketika berhenti di sini ia mengerti ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin 154



begitu diucapkan, dan tak sampai kepada siapa pun —Sapardi Djoko Damono Sebagai penyuka puisi, bagi saya karya Pak Sapardi tak akan pernah berhenti. Kata-kata yang dituliskannya akan selalu sampai kepada pembaca setianya. Hujan mati, tapi penyair yang menuliskannya tak pernah mati, karena ada aksara yang akan selalu menghidupkannya. Sang Legenda Hujan memang telah tiada, namun ia tetaplah dekat dan kekal abadi di hati para penikmat puisi. [] Banyubiru, September 2020



155



Wujud Waktu dalam Puisi Sapardi Emi Suy



Saya mengenal sosok Sapardi Djoko Damono (Solo, 20 Maret 1940)—atau kita kenal sebagai Sapardi, SDD— ketika membaca puisi romantis beliau yang begitu banyak dikutip para penyair maupun bukan penyair di media sosial, seperti di Instagram, Facebook, dan Twitter. Setiap waktu saya menemukan cuplikan puisi cinta Sapardi yang dipetik dari beberapa puisi yang menurutnya sesuai untuk menggambarkan suasana hati yang sedang putus cinta, jatuh cinta dan patah semangat, yang semua itu telah ditulis terlebih dahulu sebagaimana yang terdapat pada judul Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, dan Pada Suatu Hari Nanti. Namun, terlepas dari semua itu, kesukaan saya pada puisi Sapardi bukan berarti karena banyak penyair atau 156



jemaah remaja milenial mengutip puisinya. Saya sebagai penyuka karya Sapardi, seperti mencari kilau permata di kedalaman air. Semakin dalam menyelam ke dalam puisinya akan semakin memberi saya rasa ingin untuk mencari dan mengumpulkan permata itu. Saya mengagumi Sapardi. Ia adalah penyair liris yang baik dan tekun merawat kesabaran untuk tetap melahirkan diksi-diksi meneduhkan sekalipun tema yang dituliskannya itu tentang peristiwa menegangkan sebagaimana yang tertulis dalam puisi Dongeng Marsinah, salah satu puisi yang paling saya sukai. Selengkapnya saya kutip satu bait puisi tersebut dari dalam bukunya yang berjudul Melipat Jarak: Marsinah itu arloji sejati melingkar di pergelangan tangan kita ini dirabanya denyut nadi kita dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata Ketika membaca puisi ini, ingatan saya bercabang dua. Pertama, ingatan langsung langsung ke masa lalu di mana 157



kekerasan fisik terjadi pada diri salah satu aktivis buruh pabrik arloji yang sedang menuntut kenaikan upah di Jawa Timur pada Mei 1993 silam. Siapa lagi kalau bukan Marsinah. Kedua, pikiran saya menangkap kenangan dari ucapan Sapardi mengenai proses kreatifnya: “Saya nulis, marah, saya nulis, marah. Sampai hari ini masih marah, tapi karena sudah jadi puisi, jadi tidak marah. Menurut saya, orang marah tidak usah menulis puisi, demo saja, deh!” Dari ungkapan Sapardi di atas dapat kita simpulkan, bahwa kemarahan pada suatu peristiwa menegangkan bisa diredakan dengan cara menulis puisi. Sebaliknya, rasa marah itu akan hilang dalam hati dan pikiran ketika kita menulis puisi tentang momen tersebut. Kita tahu, pernyataan di atas merupakan proses kreatifnya dalam menulis puisi berjudul Dongeng Marsinah, dan Sapardi membutuhkan waktu tiga tahun untuk merampungkan puisi tersebut (1993-1996). Namun hasilnya tidak sia-sia, Sapardi sangat tepat dalam cara memilih kata, meletakkan personifikasi dan metafora untuk mewakili atau menggambarkan secara detail setiap sisi peristiwa dan situasi yang baginya sangat penting untuk diungkapkan dalam puisi tersebut. Seolah ia menyampaikan suatu peristiwa, tanpa ingin membangkitkan emosi setiap orang yang membaca puisi Dongeng Marsinah. Sebab setiap kekejaman dan kepedihan yang terjadi pada Marsinah, mampu diungkapkannya secara halus dengan menggunakan metafora yang cukup unik dan menarik. Seolah-olah kita diajak untuk menghayati peristiwa itu 158



dengan lapang dada dan juga memperingatkan diri kita untuk selalu berpegang teguh pada perikemanusiaan. Dari situ kita dapat belajar pada kematangan puisi-puisi SDD yang sejati. Tema puisi yang sangat mendominasi puisi-puisi cenderung pada ranah romantisisme ketimbang tema politik. Tentulah romantisme Sapardi berbeda dengan romantisme penyair lain sebagaimana yang ia tuangkan dalam beberapa potongan puisinya yang sangat familiar. Seperti saya kutip beberapa potongan puisinya di bawah ini. Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak kurelakan sendiri. Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu 159



Dari tiga cuplikan puisi SDD di atas, kita bisa memahami bahwa karyanya mampu mewakili segenap perasaan orang lain dari generasi yang berbeda. Sebagai misal bagi perempuan yang sedang galau dan putus asa pada cinta. Perasaan sedih dan emosi akibat ditinggalkan seorang lelaki yang telah lebih dulu pergi dapat diungkapkannya dengan cara membaca atau memosting puisi Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin di berbagai laman media sosial. Selain menulis puisi sendiri, sekadar meredakan kesedihan yang dialami. Mungkin juga demikian pada masing-masing orang. Sebagaimana kita lihat dan baca di zaman kini, dimana separuh suasana hati manusia duka maupun senang tertuang dalam media sosial. Kita tak bisa memungkiri kalau penduduk Indonesia sebagian besar baper-isme, terutama bagi anak-anak milenial yang belum tahu memperlakukan cinta sebagaimana mestinya. Maka setiap putus cinta atau putus harapan pada hidup datang dari berbagai lini, media sosial mereka gunakan untuk memosting kecamuk perasaan ragam persoalan masingmasing hati melalui puisi. Itulah kelebihan Sapardi dibandingkan dengan penyair lain, lantaran puisi dikenal sebagai puisi liris dengan berbagai tema melankolis. Saya melihat daya ungkap, diksi, serta pernyataan dan suasana yang terciptakan dalam puisinya sangat bersahaja dan tak lepas dari ekonomi bahasa dan estetika puisi. Maka begitulah sekelumit pemahaman saya membaca/memahami puisi-puisi Sapardi. Selebihnya masih saya cari kelebihannya sebagai tenaga dan pelajaran 160



bagi saya dalam menulis puisi dengan lebih baik. *** Sedih saya menggenang saat mendengar penyair Sapardi Djoko Damono berpulang ke dalam keabadian yang nyata pada 19 Juli 2020. Mungkin beginilah wujud waktu yang sebenarnya. Sebab setiap yang hidup akan mati, setiap yang tegak akan tumbang jua pada akhirnya. Apakah karya SDD akan tetap hidup dan abadi dalam puisi maupun di ingatan para penyair sesudahnya? Memang, sang waktu telah menghentikan detak nadi SDD dalam wujud fisiknya, tetapi dalam dunia kesusastraaan Indonesia, namanya akan terus abadi dalam perjalanan waktu, sebagaimana nama Chairil Anwar dalam tonggak sejarah sastra Indonesia. Ratusan bahkan ribuan penyair dan peminat sastra lainnya akan terus menulis puisi seperti yang ditinggalkan oleh Sapardi. Para penyair dan masyarakat sastra memberikan tempat tersendiri bagi kepenyairan Sapardi. Di akhir tulisan ini saya hanya ingin berucap pada yang sudah tak terlihat seiring waktu: Sapardi adalah kesabaran puisi yang berjalan. Keteduhannya dalam bertutur telah memengaruhi berbagai penulisan kreatif, khususnya puisi. Benar, seperti tertulis dalam puisi “Yang Fana adalah Waktu”, tetapi nama Sapardi tetap menjadi “duka abadi” yang indah dalam galeri kesusastraan Indonesia. [] Jakarta, 31 Agustus 2020 161



Biodata Penulis



Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Pemimpin Redaksi di www.kurungbuka.com dan Relawan di Rumah Dunia. Buku terbarunya kumpulan cerpen berjudul, “Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?” (Epigraf, 2019). Arsip tulisan lainnya bisa dilihat di: www.quadraterz.com. Kini ia aktif mengelola Rumah Baca Garuda. Adib Baroya Al Fahmi lahir di Blora tahun 2000, dan besar di Sragen, saat ini masih kuliah di UIN Raden Mas Said Surakarta, selain kuliah di sela waktu longgarnya aktif menulis. Agus Wedi, Pembaca buku dan aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta. Tulisannya tersiar di koran Tempo, Suara Merdeka, Solopos, Koran Jakarta, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Kabar Madura, Radar Madura, detik.com, Arnolduswea, KurungBuka, Iqra.id, Islam Santun, Harakatuna, dan beberapa lainnya. 162



Ais Nurbiyah Al-Jum’ah. Lahir di Pangkep, 7 Juli 1994. Pernah jadi mahasiswa Alih Wahana SDD. Sekarang sedang sibuk baca buku sastra sambil rebahan. Ani Mardatila. Reporter media daring yang suka membaca berbagai genre buku dan masih belum bisa fokus. Bermain bersama di Diskusi Kecil Sastra Pawon dan sesekali mengerjakan konten Podcast Jangan Nyasar. Dymussaga menghabiskan hidupnya untuk melakukan riset seni dan budaya. Berusaha mengakali untuk bisa tetap berkarya di sela-sela waktu. Bisa disapa melalui alamat surelnya [email protected]. Saat ini bekerja di Pusat Studi Urban IKJ. Emi Suy yang bernama lengkap Emi Suyanti lahir di Magetan, Jawa Timur, dan besar di Jakarta. Aktif dalam berbagai kegiatan kesusastraan di Jakarta, Emi telah menerbitkan beberapa buku puisi baik sendiri mau pun kelompok. Gody Usnaat. Lulusan STFK Ledalero. Finalis Majelis Sastra Asia Tenggara 2017. Guru SD YPPK Akar Indah Semografi Keerom-Papua sejak 2014. Katekis di Paroki Ubrub. Hanputro Widyono. Penulis kepsyen dan tukang buku di IG tokobukukalangan. Tinggal di Solo coret meski resmi lahir di kota yang sama dengan Sapardi Djoko Damono. Muhammad Ali Mas’ud. Aktif sinau di Detak Aksara, 163



Malang. Baru pulang kampung setelah enam tahun lebih kuliah di Universitas Islam Malang (Unisma). Kini, di Sidoarjo sepakat sinau bersama di wadah baru bernama Sidosinau dengan dua program: Sidokumpul (menggelar pertemuan dan obrolan) dan Sidomoco (menerbitkan buletin). Bisa dihubungi di [email protected]. Nai Rinaket. Penulis dan ilustrator buku anak. Kurator buku anak di Toko Buku Kalangan. WA: 085601455874. Olive Hateem, perempuan kelahiran Palembang ini menghabiskan masa sekolah menengah di Jakarta, kemudian melanjutkan kuliah di Fak Filsafat UGM, Olive pernah menjadi Duta Baca. Selain menulis karya sastra, Olive juga aktif dalam berbagai kegiatan kesusastraan di Yogya. Risda Nur Widia. Lahir di Nusa Tenggara Barat, Narmada, 1991 (NTB). Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (2010). Kini melanjutkan studi di Universitas Negeri Yogyakarta (2018). Penulis sekarang tinggal secara tetap di Karangnongko RT 09, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Banyak karyanya pernah di muat di media lokal dan nasional. Rizka Nur Laily Muallifa. Lahir dan besar di Bojonegoro, Jawa Timur. Saat ini menjadi buruh ketik di merdeka.com. Memutuskan tinggal sementara di Jogja demi belajar hidup menyeluruh. Dalam hal kepenulisan, 164



ingin semahir Sapardi yang bisa dan menikmati menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan karya ilmiah. Pamer tulisan buruk di instagram @bacaanbiasa dan bacaanbiasa. wordpress.com. Rizki Amir, lahir dan tinggal di Sidoarjo. Terlibat dalam Komunitas Rabo Sore. Buku kumpulan puisinya Rahasia Pasar (2017) dan Sarden yang Ringan (2020). Selain menulis, sebagian waktunya juga digunakan untuk berdagang. Setyaningsih. Pekebun di sedekalacerita.wordpress.com. Merintis Babon, penerbit kecil di Ngemplak, Boyolali. Setyodewi, aktif di kegiatan seni gamelan jawa, tergabung di komunitas Bentara Muda Karawitan -  Bentara Budaya Jakarta (Kompas) serta komunitas gamelan anak muda Samurti Andaru Laras. Selain itu aktif sebagai freelancer baik elaborasi naskah, freelance translator, maupun pekerjaan penulisan tertentu seperti document enhancement dan pembuatan dokumen bilingual. Taufiqurrahman lahir di Sumenep, 19 Juli 1995. Ia menyelesaikan studi filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada 2019 lalu. Saat ini, selain bekerja sebagai editor dan penerjemah serabutan, ia juga aktif sebagai peneliti bidang Filsafat Akal Budi di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics. Uun Nurcahyanti, pengajar Bahasa Inggris dan Bahasa 165



Indonesia di Pare, Kediri atau Kampung Bahasa. Pegiat literasi di Rumah Anak Bangsa (RAB). Menulis esai dan puisi. Buku puisinya yang telah terbit: Selarung Jejak (2018) dan Kereta Puisi Pasar Api (2019). Vera Safitri. Lulusan Sosiologi UNS. Editor buku anak. Widyanuari Eko Putra, lahir di Purbalingga pada 25 Januari 1989. Sejak tahun 2007 ia menetap di Semarang. Kurator Penerbit Beruang, Semarang. Buku terbarunya yang baru terbit: Tentang Ulah Presiden dan Penyair: Sehimpun Bacaan Ringan dan Yang Tinggal Hanyalah Kata: Pujian dan Kutukan untuk Puisi Koran. Keduanya terbit tahun 2020, oleh Penerbit Beruang. WA 085225036797. Wulan Dewi, berasal dari Desa Busung Biu, Buleleng. Lahir di Denpasar, 10 Juli 1994. Telah menempuh pendidikan S1 di Undiksha, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian mendalami linguistik di Pascasarjana Universitas Udayana. Kini menjadi guru bahasa Indonesia untuk penutur asing di Yayasan Cinta Bahasa. Saat ini bergabung di Komunitas Mahima dan Teater Kalangan. Antologi puisinya bertajuk Seribu Pagi Secangkir Cinta telah terbit pada tahun 2017.



166



General Manager Fitricia Juanita Manager Operasional Dinartisti Ismadi Team Bentara Budaya Ika W Burhan AA Gede Rai Sahadewa Muh Safroni Ni Made Purnama Sari Yunanto Sutyastomo Aryani Wahyu Jepri Ristiono Ni Wayan Idayati I Putu Aryastawa Juwitta K Lasut Annissa Maulina CNR Putri Farah Fadilah Ham Wibowo Rini Yulia Hastuti Agus Purnomo Aristyanto Sukidi



Tim Kerja Buku Kumpulan Esai Tentang Sapardi Djoko Damono Bentara Budaya Ni Made Purnama Sari Yunanto Sutyastomo Aryani Wahyu Ni Wayan Idayati Annissa Maulina CNR Bentara Muda Nai Rinaket Hanputro Widyono Vy Patiah Kondang Siswan Dewi