Save Remaja Milenial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DETEKSI DINI POTENSI KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY) DAN SOLUSI “Save Remaja Milenial” Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) Dr. Sri Widati, S.Sos, M.Si. Dr. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes.



DETEKSI DINI POTENSI KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY) DAN SOLUSI “Save Remaja Milenial” Penulis :



Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) Dr. Sri Widati, S.Sos, M.Si. Dr. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes.



© 2019 Diterbitkan Oleh:



Cetakan Pertama, Agustus 2019 Ukuran/ Jumlah hal: 15,5x23 cm / 158 hlm Layout : Wisnu Cover: Wisnu



ISBN :



Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan petunjuk-Nya, Buku Deteksi Dini Potensi kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) Dan Solusi ini dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini membahas tentang faktor prediktor yang digunakan untuk mendeteksi dan memprediksi potensi Juvenile Delinquency. Buku ini dilengkapi dengan tool aplikasi untuk melakukan deteksi dini potensi Juvenile Delinquency dan manual penggunaannya.



Terima kasih dan penghargaan secara khusus kepada kedua orang tua (almarhum) yang senantiasa menjadi inspirasitor dalam perjuangan hidup saya. Mertua, Suami tercinta Bpk Harsono dan ananda tercinta Aidah Amaliah Azhar yang selalu memanjatkan doa, setia, sabar dan penyemangat serta penuh pengorbanan dalam memberi dukungan. Saudara-saudaraku yang selalu menjadi pendukung, penguat dan penyemangat dalam setiap langkahku. Terima kasih tak terhingga dan penghargaan setinggitingginya kepada yang terhormat Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Dr. Sri Widati, S.Sos. M.Si. dan Dr. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes. yang senantiasa memberikan motivasi dan masukan yang berharga untuk selesainya buku ini.



iii



Penghargaan dan ucapan terima kasih tak terhingga kepada yang terhormat Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDMK) Kementerian Kesehatan RI, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk selalu berkarya dan memfasilitasi studi lanjut sampai selesainya pendidikan Doktor pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Ucapan terimakasih yang tulus dan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat:



1. Prof. Dr. M. Nasih, SE, MT., Ak. CMA, selaku Rektor Universitas Airlangga Surabaya. 2. Budi Susatia, S.Kp. M.Kep. selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Malang.



3. Prof. Dr. Tri Martina, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Dr. Santi Martini, dr., M.Kes. selaku Wakil Dekan I, Dr. Thini Nurul Rochman, Dra. Ec., M.Kes selaku Wakil Dekan II dan Dr. Ira Nurmala, SKM, MPH., Ph.D selaku Wakil Dekan III. 4. Dr. Nyoman Anita Damayanti, drg., M.S., selaku Koordinator Program Studi S3 Kesehatan Masyarakat yang selalu memberikan arahan dan motivasi.



5. Prof. Kuntoro, dr., MPH, Dr. PH, Dr. Rahmat Hargono, dr. M.Kes., Dr. Shrimarti Rukmini Devy, Dra. M.Kes., Dr. Ahsan, S.Kp. M.Kes., Dr. Esti Yunitasari, S.Kp. M.Kes. dan Dr. Sri Utami, S.Kp. M.Kes. yang banyak memberikan masukan yang berarti



iv



6. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kota Malang, Batu dan Kabupaten Malang, serta Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di SMA, SMK dan SMP di Kota Malang untuk menemukan faktor prediktor terjadinya juvenile delinquency.



7. Kepala Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi



Manusia Propinsi Jawa Timur dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Kota Blitar yang telah memberikan ijin melakukan penelitian untuk menemukan faktor prediktor terjadinya juvenile delinquency.



8. Kepala SMP Negeri 4, SMP Negeri 11, SMP Negeri 20, SMP Laboratorium, SMP Kartika IV-8, dan SMP Katolik Kolese Santo Yusuf I Kota Malang serta guru-guru Bimbingan Konseling dan penanggung jawab kesiswaan yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi untuk pengambilan data.



9. Kepala SMP Negeri 5, SMP Negeri 7, SMP Negeri 24, SMP Kartika IV-9, SMP Taman Siswa, SMP Islam Al-Amin, SMP Islam, SMP Ma’Arif, SMP Muhamdyah 1, SMP Katolik Santha Maria 2, SMP Kristen Aletheia, Kepala SMA Negeri 1, SMA Negeri 10, SMK Negeri 4, SMK Negeri 10, SMA Panjura, SMK Grafika Karya Nasional, SMK YP 17-1, SMK Pekerjaan Umum, SMK Muhamadyah 1, SMA Advent Dwi Abdi Kota Malang, serta guru-guru Bimbingan Konseling dan penanggung jawab kesiswaan yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian.



v



10. Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMP Kota Malang (Tini Yunarita, S.Pd.), Ketua MGBK SMA Kota Malang (Dra Tina Suprapti), dan Ketua MGBK SMK Kota Malang (Dra. Kusrini Tri Wahyuni), serta perwakilan



guru-guru BK Kota Malang yang telah memfasilitasi dan teribat dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD).



11. Bpk Suyanto, S.Psi (Psikolog), Ibu Ida Nur Indriani, M.Psi (Psikolog), dan Bpk Anang Nur Wiyono, S.Kp. M.Kep. Sp. Jiwa, sebagai pakar yang terlibat dalam diskusi pakar dan memberikan masukan berdasarkan pengalaman klinis, serta membantu membuat keputusan yang relevan.



12. Dr. Achmad Zakaria, SKM, M.Kes dan Tim Teknologi dan Informasi(TI) mas Achmad Riski Ramadhani, mas Adi Maulana Rifa’i, dkk yang terlibat diskusi secara intensif



dan membantu mengembangkan tool aplikasi berbasis web.



13. Kepala SMP Negeri 6, SMP Kartika IV-9, SMP Kristen Aletheia, SMP Muhamadiyah 1, SMA Negeri 4, SMA Panjura, SMA Katolik Frateran, SMK 4, dan SMK Muhamadiyah 1 yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi untuk uji coba tool aplikasi deteksi dini kenakalan remaja.



14. Para sahabat (S3) program Doktor Kesehatan Masyarakat, yang senantiasa saling memberikan dukungan dan motivasi untuk “Berani Lulus Bareng” dan semua pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga buku ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dan praktik khususnya



vi



di bidang kesehatan dan keperawatan jiwa remaja. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin. Surabaya,



Oktober 2019



Penulis



vii



DAFTAR ISI



COVER LUAR.............................................................. COVER DALAM.......................................................... KATA PENGANTAR.................................................... DAFTAR ISI................................................................. DAFTAR TABEL........................................................... DAFTAR GAMBAR..................................................... BAB 1 FENOMENA REMAJA SAAT INI.................... BAB 2 REMAJA DAN PERMASALAHANNYA.......... 2.1 Remaja................................................................................ 2.2 Perkembangan Anak - Remaja.................................. 2.3 Respon Maladaptasi dan Gangguan Perilaku Remaja ............................................................................... 2.4 Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)........... 2.5 Proses Terjadinya Juvenile Delinquency................ 2.6 Multilevel Theory of Behavior Change: Social-ecological Framework..................................... BAB 3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY)......................................................... 3.1 Faktor Individu................................................................ 3.2 Faktor Mekanisme Koping..........................................



viii



i iii viii xi xii 1 9 9 12 18 20 39 42



51 51 63



3.3 Faktor Keluarga............................................................... 3.4 Faktor Lingkungan Sekolah........................................ 3.5 Faktor Teman Sebaya.................................................... 3.6 Faktor Gaya Hidup......................................................... 3.7 Faktor Teknologi.............................................................



67 75 76 79 81



BAB 4 PENCEGAHAN JUVENILE DELINQUENCY... 4.1 Teori Pencegahan........................................................... 4.2 Upaya Pencegahan Juvenile Delinquency............. 4.3 Interprofesional Penanganan Anak-remaja Delinkuen..........................................................................



85 85 92



BAB 5 STRATEGI PENANGANAN MASALAH ANAK BERFOKUS PADA DIRI ANAK DI BERBAGAI SETTING.................................................. 5.1 Fokus pada Individu Anak.......................................... 5.2 Setting Lingkungan Keluarga.................................... 5.3 Setting Lingkungan Teman Sebaya......................... 5.4 Setting Lingkungan Sekolah...................................... BAB 6 DETEKSI DINI KENAKALAN REMAJA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN............................... 6.1 Pengertian Deteksi Dini Kenakalan Remaja......... 6.2 Peran Teknologi dalam Bidang Kesehatan........... 6.3 Pengembangan Tool Aplikasi.................................... 6.4 Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score”..................................................................................



97



99 102 103 103 103



105 105 107 110 124



ix



Bab 7 Implementasi Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score”..................................... 7.1 Hasil Penerapan Tool Aplikasi.................................... 7.2 Rekomendasi....................................................................



129 129 131



DAFTAR PUSTAKA .................................................... PROFIL PENULIS........................................................



133 142



x



DAFTAR TABEL



Tabel 2.1 Teori Remaja......................................................... Tabel 6.1 Daftar Pertanyaan dan Penilaian Berdasarkan Indikator...................................... Tabel 7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja dengan Tool Tri - Health Millenial Score...



17 117 130



xi



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1.1 Fenomena Kenakalan remaja saat ini....... Gambar 2.1 Gaya Remaja....................................................... Gambar 2.2 Stimulasi Periode Emas Usia 4-5 thn........ Gambar 2.3 Aktivitas Bermain Bagian Dari Stimuasi Proses Tumbuh Kembang............................. Gambar 2.4 Rentang Respon Perilaku Adaptif – Maladaptif........................................................... Gambar 2.5 “Gang” Remaja................................................... Gambar 2.6 Perjudian di Kalangan Remaja..................... Gambar 2.7 Remaja Berkumpul Setelah Meninggalkan Rumah dan Membentuk “Gang Punk”....................................................... Gambar 2.8 Minuman Keras................................................. Gambar 2.9 Pengguna Minuman Keras di Kalangan Remaja.................................................................. Gambar 2.10 Pengguna Zat di Kalangan Remaja......... Gambar 2.11 Pengrusakan Properti Oleh Remaja........ Gambar 2.12 Remaja ditilang tidak punya SIM & Tidak Pakai Helm........................................... Gambar 2.13 Ngebut-ngebutan di Jalan Raya.............. Gambar 2.14 Meminta dengan Ancaman....................... Gambar 2.15 Tawuran Remaja.............................................. Gambar 2.16 Perilaku Merusak............................................



xii



1 9 13 15 19 23 24



25 26 26 27 28 28 29 30 32 33



Gambar 2.17 Free Sex.............................................................. Gambar 2.18 Sex Sesama Jenis............................................ Gambar 2.19 Membawa Sajam Ke Sekolah.................... Gambar 2.20 Kejahatan Internet......................................... Gambar 2.21 Remaja “Punk”................................................. Gambar 2.22 Remaja Jalanan “Antara Harapan dan Kenyataan”....................................................... Gambar 2.23 Cumulative Effect Model for Juvenile delinquency..................................................... Gambar 2.24 Bronfenbrenner’s Bio-ecological SystemsTheory............................................... Gambar 2.25 Juvenile Counseling and Assessment Program Model (JCAPModel) ................. Gambar 3.1 Pembelajaran Hard Skills “Bermain Musik” dan “Menari”....................................... Gambar 3.2 Soft Skills “Sopan dan Sabar” Menunggu Giliran Pentas............................. Gambar 3.3 Pembelajaran Agama sejak Dini................. Gambar 3.4 Kemiskinan Sebagai Faktor Risiko Kenakalan Remaja............................................ Gambar 3.5 Komunikasi Sebagai Jembatan Penghubung Orang Tua-Anak.................... Gambar 3.6 Fungsi Keluarga................................................. Gambar 3.7 Bonding Ibu - Bayi........................................... Gambar 3.8 Teknologi Telah Menguasai Anak Remaja.................................................................. Gambar 4.1 Level Pencegahan............................................. Gambar 4.2 Model Sistem Neuman..................................



34 35 36 37 39 39 41 44 47 53 55 62 68 70 71 74 83 85 88



xiii



Gambar 6.1 Kendalikan Perilaku Kenakalan Remaja dengan Deteksi Dini....................................... Gambar 6.2 Rentang Skor Potensi Kenakalan Remaja (Juvenile delinquency).................... Gambar 6.3 Splash screen Aplikasi “Tool Siswa”........... Gambar 6.4 Tampilan Username dan Password Tool siswa...................................................................... Gambar 6.5 Splash Screen Aplikasi Tool BK.................... Gambar 6.6 Tampilan Username dan Password Tool BK...........................................................................



xiv



105 122 125 125 126 127



BAB 1



FENOMENA REMAJA SAAT INI



Gambar 1.1 Fenomena Kenakalan remaja saat ini Sumber: internet diakses 3 Nopember 2014



Anak dan remaja adalah aset bangsa dan merupakan salah satu sumber daya manusia yang penting untuk meneruskan cita-cita bangsa. Hal ini sesuai dengan Undang undang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah dilakukan oleh generasi sebelumnya (Presiden Republik Indonesia, 1979). Anak dan remaja adalah generasi penerus pada masa yang akan datang. Kualitas anak dan remaja pada masa sekarang, menentukan kualias bangsa pada masa yang akan datang (Anjaswarni, 2014).



1



Selama proses menuju pendewasaan, tidak semua anak dan remaja dapat melaluinya dengan baik. Tidak sedikit dari mereka yang gagal dalam menyelesaikan tugas perkembangannya sehingga mereka gagal mencapai kompetensi yang diharapkan, bahkan dapat terjadinya penyimpangan perilaku (Anjaswarni, Nursalam, Widati, & Yusuf, 2019). Salah satu masalah perilaku serius dan perlu mendapat perhatian adalah kenakalan remaja yang melibatkan hukum atau menjurus kepada tindakan kriminal yang dikenal sebagai juvenile delinquency.



Juvenile delinquency semakin marak terjadi dan cenderung semakin meningkat jumlahnya. Juvenile delinquency tidak hanya menjadi permasalah di Indonesia tetapi juga menjadi permasalahan dunia. Steketee & Gruszczyńska (2010) dikutip Anjaswarni, Nursalam, Widati, & Yusuf (2019) menjelaskan bahwa fenomena kenakalan remaja terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan, di kota maupun di desa, dari kalangan sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Durkheim dan Merton dikutip oleh Badan Pusat Statistik (2010) Kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja, umumnya dikategorikan sebagai bentuk perilaku menyimpang yang diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan dan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.



Hasil studi di Uni Eropa (EU) yang dilakukan oleh Steketee & Gruszczyńska (2010), terhadap siswa remaja di enam negara anggota EU yang baru berhasil diidentifikasi lima belas jenis kenakalan remaja yang dikelompokkan



2



menjadi empat yaitu (1) perilaku kekerasan, (2) pelanggaran properti orang lain, (3) Penyalahgunaan zat, dan (4) hacking atau kejahatan internet. Untuk jenis penyalahgunaan zat yang menojol pada remaja, terdiri dari dua bentuk yaitu menggunakan dan pengedaran narkoba. Hacking atau kejahatan internet adalah perilaku yang cenderung meningkat secara kuantitas dan kualitas (Anjaswarni et al., 2019).



Mengutip hasil studi Badan Pusat Statistik (2010) yang dilakukan di empat Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak di Palembang, Tangerang, Kutoarjo, dan Blitar berhasil diidentifikasi lima jenis kenakalan terbanyak secara berturutturut adalah: (1) pencurian (60%), (2) narkoba (9,5%), (3) kecelakaan lalu lintas fatal (5%), (4) perkosaan/ pencabulan (4%) dan (5) penganiayaan (4%). Hasil studi menjelaskan bahwa faktor pendorong terjadinya perilaku nakal adalah dorongan kebutuhan uang atau barang dan pengaruh teman (Anjaswarni et al., 2019). Tingkat Propinsi khususnya di Jawa Timur, hasil studi di Lembaga Pemasayarakat Khusus Anak (LPKA) Kota Blitar pada tahun 2018, didapatkan bahwa dari 60 remaja di LPKA didapatkan 5 jenis kenakalan terbanyak, yaitu penggunaan Zat (NAPZA) (26,7%), perampokan atau pencurian (25%), perkelahian atau tawuran atau tindak kekerasan (20%), selanjutnya pencabulan (13,3%) dan pembunuhan (13,3%) (Anjaswarni et al., 2019). Studi lain terhadap remaja, dilakukan oleh Anjaswarni, Nursalam, Widati, & Yusuf (2019) di beberapa SMP di salah



3



satu kota besar di Jawa Timur. Hasil studi berdasarkan catatan Guru Bimbingan Konseling (BK) selama 3 tahun yaitu 2015, 2016 dan 2017 didapatkan bahwa jumlah siswa bermasalah dihitung berdasar jumlah rata-rata kasus dalam tiga tahun



terakhir (695 kasus) dibandingkan jumlah rata-rata seluruh siswa (4168 siswa) adalah 17%. Lebih lanjut diidentifikasi bahwa perilaku remaja SMP yang masuk kategori nakal dan melanggar aturan sekolah serta berpotensi melibatkan hukum sejumlah 21,35%. Perilaku tersebut secara berturutturut mulai prevalensi tertinggi adalah membolos, merokok, berkelahi, mencuri, pengrusakan, miras, pencabulan, dan narkoba (Anjaswarni et al., 2019).



Fenomena yang terjadi pada anak remaja dewasa ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam proses tumbuh kembang remaja. Seyogyanya remaja yang berhasil dalam proses tumbuh kembang akan menunjukkan perilaku adaptif, asertif, komunikatif, produktif dan mampu menjalankan peran sosial dengan baik. Kenyataannya, banyak remaja bermasalah yang bersinggungan dengan hukum dan termasuk dalam juvenile delinquency. Banyak hasil-hasil penelitian yang mencoba mengungkapkan faktor risiko terjadinynya juvenile delinquency. Studi terkait faktor penyebab juvenile delinquency dilakukan oleh Kim & Kim, 2008 (dikutip oleh Anjaswarni, Nursalam, Widati, & Yusuf, 2019). Hasil studi menunjukkan bahwa remaja nakal (juvenile delinquency) lebih banyak terjadi pada pasangan orang tua yang memiliki tingkat



4



dinamika tinggi, keluarga disfungsional, keluarga miskin, dan tingkat kekerasan yang tinggi. Juvenile delinquency juga lebih banyak terjadi pada remaja yang mempunyai kepribadian antisosial, serta gejala lain dan tingkat frustrasi psikosomatik yang lebih tinggi.



Model The Juvenile Counseling and Assessment Model and Program (JCAP) adalah model yang dikembangkan



oleh Calhoun, Glaser, & Bartolomucci (2011) dengan menggunakan model Sosial Ekologis Bronfenbrenner sebagai dasar untuk pengembangan model. Model JCAP mencoba mengembangkan pendekatan teoritis untuk mengkonseptualisasikan juvenile delinquency dan intervensi yang diperlukan. Model JCAP bertujuan mengidentifikasi penyebab dan intervensi perilaku juvenile delinquency. Dalam model JCAP dijelaskan bahwa perilaku nakal anak (delinkuen) berhubungan dengan faktor internal anak sendiri dan variabel ekologi. Diri anak adalah faktor penting yang berperan dalam menentukan perilaku delinkuen. Anak berada dalan suatu lingkungan (ekologi) yang mempengaruhi diri anak dan menjadi faktor risiko terjadinya juvenile delinquency (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



Dijelaskan bahwa anak adalah faktor risiko juvenile delinquency yang bersumber dari diri anak sendiri. Faktor anak ini meliputi genetik, herediter, dan gender, dimensi kepribadian dan kecerdasan, kompetensi sosial (life skill), serta proses kognitif. Respon maladaptif pada anak, akan menimbulkan kurangnya kontrol diri dan harga diri rendah yang menjadi risiko terjadinya masalah perilaku pada anak



5



(Stuart, 2013).



Faktor penting lain dalam diri anak yang perlu diidentikasi yang juga berperan dalam perkembangan dan kesehatan anak adalah self efficacy dan religi. Rendahnya self efficacy, membuat anak tidak cukup percaya diri (Stuart, 2013). Keraguan, inkonsisten dan tidak adanya dukungan beribadah sesuai agama, berpotensi terjadi konflik pada



diri remaja dan membuat anak melakukan tindakan dengan control diri yang rendah (Leininger dikutip Alligood, 2014).



Ekologi (lingkungan) adalah situasi dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan dan kesehatan anak. Dalam model JCAP dijelaskan ada empat faktor ekologi yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency yaitu ekologi keluarga, teman sebaya, sekolah dan masyarakat. Juvenile delinquency terjadi karena adanya interaksi di antara variabel tersebut dengan diri individu (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



Juvenile delinquency penting mendapat perhatian khusus karena berdampak luas bagi diri remaja, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kegagalan mengatasi remaja delinkuen, dapat mengakibatkan kehancuran bangsa karena remaja adalah aset bangsa. Penanganan juvenile delinquency harus secara komprehensif melalui berbagai faktor risiko dan berfokus pada upaya pencegahan dengan melibatkan multi disiplin dari berbagai praktisi meliputi keperawatan jiwa masyarakat, praktisi pendidikan, psikologi, tokoh agama, keluarga dan tokoh masyarakat serta pemerintah, bahkan proaktif masyarakat (Howell, Lipsey, Wilson, & Howell, 2014).



6



Buku ini membahas tentang remaja dengan berbagai permasalahan, faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency, program intervensi pencegahan dan deteksi dini potensi atau risiko juvenile delinquency pada remaja dengan menggunakan tool aplikasi berbasis web “Tri Anjaswarni Health of Milenial Score” atau “Tri Health Milenial Score” . Secara detail pembahasan terkait faktor risiko, program intervensi dan deteksi dini menggunakan tool aplikasi dibahas pada bab 2, 3, 4, 5, 6 dan 7



7



8



BAB 2



REMAJA DAN PERMASALAHANNYA



Sumber: Internet diakses 11 Oktober 2019



2.1 Remaja



Gambar 2.1 Gaya Remaja



Istilah remaja adalah konsep yang relatif  baru. Saat ini belum ada undang-undang yang memberikan batasan tegas terkait remaja. Di dalam Undang-Undang di berbagai Negara di dunia, termasuk di Indonesia tidak mengenal istilah remaja, karena termasuk rentang usia anak. Dijelaskan dalam



Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa anak adalah seseorang yang berusia belum sampai 18 Tahun (Presiden Republik Indonesia, 2002). Mengacu dari definisi tersebut



9



maka dapat dijelaskan bahwa remaja adalah anak dalam kelompok usia tertentu yang merupakan fase akhir sebelum masuk ke usia dewasa.



Berbeda dengan Undang-undang Perlindungan Anak, dalam Undang-Undang hukum pidana memberikan batasan 18 tahun sebagai usia dewasa (atau 18 tahun tetapi sudah menikah). Batasan usia ini mempunyai makna bahwa jika remaja bertingkah laku dan melanggar hukum misalnya: “mencuri”, atau “menganiaya”, maka hal tersebut belum disebut kejahatan kriminal, akan tetapi disebut sebagai kenakalan (delinquency).



Anak dan remaja adalah salah satu sumber daya manusia yang penting untuk meneruskan cita-cita bangsa. Mereka adalah aset bangsa yang perlu dibina dan dilindungi. Dalam Undang Undang Kesejahteraan Anak dijelaskan bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah dilakukan oleh generasi sebelumnya (Presiden Republik Indonesia, 1979). Pembinaan dan perlindungan anak dan remaja adalah penting dilakukan agar mereka dapat berkembang menjadi orang dewasa yang kompeten dan produktif. Berikut ini Pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 sebagai dasar hukum pentingnya pembinaan dan perlindungan terhadap anak dan remaja:



10



Pasal 2 ayat 1: “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk



tumbuh dan berkembang dengan wajar.” Pasal 2 ayat 2: “ Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan



kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.” Pasal 2 ayat 3 “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”. Pasal 2 ayat 4 “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar” Tidak semua anak dan remaja dapat melalui setiap tahap perkembangan dengan baik. Banyak diantara mereka yang gagal dalam menyelesaikan tugas perkembangannya sehingga gagal mencapai kompetensi yang diharapkan sehingga mengalami masalah perilaku. Untuk anak yang mempunyai masalah perilaku tersebut perlu mendapatkan perlindungan dan pengasuhan agar mereka mampu menjadi individu yang kompeten.



Remaja disebut sebagai masa transisi, yaitu suatu masa dimana mereka tidak cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa tetapi juga tidak layak untuk disebut anak-anak. Masa transisi adalah masa yang serba sulit bagi remaja. Dukungan lingkungan sangat berperan dalam proses tumbuh kembang remaja. Jika mereka gagal melewati masa ini, maka akan mengalami kegagalan adaptasi dan



11



menunjukkan perilaku menyimpang. Stimulasi yang kurang adekuat dapat menimbulkan kesulitan atau masalah pada anak ( Stuart, 2013; Anjaswarni, 2014). Batasan remaja menurut Stuart (2013) adalah fase perkembangan yang unik terjadi antara usia 11 sampai 20 tahun.



Para ahli perkembangan membagi usia remaja menjadi 3 kelompok dan sebelum masuk kelompok usia remaja, lebih dahulu memasuki suatu masa yang disebut sebagai pra remaja yaitu usia antara 10 – 12 tahun. Tiga kelompok usia remaja menurut ahli adalah sebagai berikut: 1. Masa remaja awal (usia 12 – 15 tahun),



2. Masa remaja pertengahan (usia 15 -18 tahun) 3. Masa remaja akhir (usia 18 – 21 tahun).



Batasan remaja dalam makalah ini adalah anak yang sedang mengalami masa transisi menuju dewasa berusia antara 12 sampai 19 tahun. Batasan ini sesuai dengan pakar psikologi perkembangan “Adolescence—the transition period between childhood and adult-hood—encompasses ages 12 to 19” (Zgourides, 2000).



2.2 Perkembangan Anak-Remaja Awal kehidupan seorang anak yang disebut sebagai usia dini adalah masa keemasan atau “Golden Age”, yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan anak yang terjadi pada usia 0 sampai 6 tahun Sit (2017). Batasan “Golden Age” ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional



12



Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (14) bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0 – 6 tahun. Masa ini disebut masa keemasan karena terjadi perkembangan yang menakjubkan dalam aspek fisik maupun psikolgis. Pada periode “Golden Age”, otak dan mental emosional anak mengalami perkembangan yang pesat. Masa emas perkembangan anak adalah masa yang penting dan tidak akan pernah kembali. Masa emas ini perlu diperhatikan dan distimulasi oleh orang tua agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Terjadinya masalah perkembangan pada periode ini disebabkan karena kegagalan stimulasi.



Sumber: Dokumen pribadi



Gambar 2.2 Stimulasi Periode Emas Usia 4-5 thn



Perkembangan anak berdasarkan teori ekologi Bronfenbenner menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh empat sistem lingkungan (ekologi) yaitu microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem



13



(Shumaker, Ockene & Riekert, 2009). Pembahasan secara terperinci akan diuraikan pada bagian 2.6 tentang Multilevel Theory of Behavior Change: Social-ecological Framework. Masa remaja disebut sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja akan mengalami perubahan yang luar biasa. Remaja mengalami pertumbuhan fisik, emosional, dan intelektual dengan kecepatan yang luar biasa. Perkembangan ini akan menantang remaja untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan fisik baru, identitas sosial, dan pandangan dunia yang luas (Zgourides, 2000). Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal dan menjadi individu yang kompeten, maka anakremaja membutuhkan stimulus yang adekuat ( Stuart, 2013). Untuk perkembangan fisik, anak membutuhkan



asupan gizi cukup, bebas penyakit dan bebas dari trauma fisik, serta bebas dari ancaman fisik. Untuk perkembangan psikologis, anak butuh kasih sayang, perhatian, rasa aman dan penerimaan dari orang tua. Anak juga perlu stimulasi pendidikan yang memadai, perlu dihargai dan dihormati. Untuk perkembangan sosial-kultural, anak butuh sosialisasi dan penerimaan dari orang lain, anak juga butuh teman untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Anak juga membutuhkan dukungan spiritual, pembelajaran nilai dan tanggung jawab beragama (Stuart, 2013). Berbagai faktor yang mendukukung proses tumbuh kembang ini, jika tidak diberikan secara adekuat, akan menjadi penyebab terjadinya masalah perilaku pada anak ( Stuart, 2013).



14



Stuart (2013) menjelaskan bahwa proses tumbuh kembang adalah hasil kolaborasi antara sistem internal dan eksternal, serta sebagai hasil dari proses pematangan dan belajar, pengalaman budaya, pengalaman sosialisasi dan hubungan interpersonal termasuk aktivitas bermain. Selama periode perkembangan, anak dan remaja mempunyai tugas yang harus diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan tugas perkembangan akan mengakibatkan terjadinya regresi dan respon koping yang maladaptif yang menghambat perkembangan selanjutnya (Stuart, 2013).



Sumber: Dokumen pribadi



Gambar 2.3 Aktivitas Bermain Bagian Dari Stimuasi Proses Tumbuh Kembang



Havighurst(1972)(dikutipStuart,2013mengidentifikasi ada 7 tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja selama masa proses perkembangannya yaitu: 1. Menerima kematangan baru terkait kelamin yang berbeda.



usia pada jenis



15



2. Menerima sifat maskulin atau feminin sesuai peran sosial 3. Menerima pertumbuhan tubuhnya secara efektif.



fisik



dan



menggunakan



4. Ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lain



5. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga,



6. Menyiapkan karir untuk kehidupan yang akan datang,



7. Menerapkan sejumlah nilai dan sistem etik yang membimbing perilaku dan perkembangan ideologinya.



Bagi remaja masa transisi adalah masa yang sulit karena mereka menghadapi tuntutan adaptasi dalam perubahannya dari masa anak-anak ke masa dewasa yang bertanggung jawab. Ketidakmampuan orang tua memfasilitasi kebutuhan dalam masa perkembangan remaja dan ketidakmampuan mereka beradaptasi dapat mengakibatkan masalah atau penyimpangan perilaku (Stuart, 2013).



Berikut ini 7 pandangan teori terkait remaja yang penting dipahami dalam mengkawal tumbuh kembang remaja:



16



Tabel 2.1 No



Teori Remaja Teori



Biologikal Psikoanalisis



Psikososial



Attachment



Kognitif



Kultural



Penjelasan Teori ini menekanankan pada pertumbuhan fisik, perilaku, dan lingkungan, yang memengaruhi perasaan, pikiran, dan tindakan remaja. Teori ini menekankan pada masa pubertas yang disebut sebagai tahap genital. Pada tahap ini minat atau dorongan seksual remaja bangkit dan akan mencari kepuasan serta bereksplorasi. Perubahan biologis mengganggu keseimbangan antara ego dan id, dan solusi baru harus dinegosiasikan



Teori menekankan pada upaya remaja untuk membangun identitas dalam lingkungan sosial. Mereka berusaha mengoordinasikan keamanan diri, keintiman, dan kepuasan seksual dalam interaksinya.



Teori ini memfokuskan pada kualitas kelekatan (bonding) yang diartikan sebagai kerentanan remaja terhadap perubahan perkembangan, dan memandang kelekatan yang tidak aman sebagai faktor risiko terjadinya respons maladaptif terhadap kehilangan atau trauma.



Teori ini menekankan pada tahap lanjut fungsi kognitif atau kemajuan fungsi kognitif dari berpikir secara objek konkret pada masa kanak-kanak sekitar usia 12 tahun ke berpikir simbol atau abstraksi, disebut berpikir formal. Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses yang berkelanjutan dan menjadi sebuah fenomena budaya, dan setiap orang bereaksi terhadap harapan sosial. Semakin banyak perubahan budaya, semakin besar kesenjangan generasi terjadi. Teori ini memandang remaja sebagai masa ketika seseorang percaya bahwa hak istimewa orang dewasa layak diterapkan tetapi dikontrol. Tahap ini berakhir jika remaja telah berstatus sebagai orang dewasa.



17



Multidimensional



Teori multidimensi menjelaskan bahwa padangan terhadap remaja, berfokus pada tiga tema utama (meeks, 1990) yaitu:



1. Profle ego dan perkembangan moral digunakan untuk menentukan karakteristik remaja.



No



Teori



2. Memberikan perhatian pada integrasi biologi, psikologi, sosiologi dan kultur, dimana variabel ini akan merubah remaja dengan cepat dan berdampak pada perilaku serta pandangan terhadap dirinya. Penjelasan



3. Masalah perkembangan, kematangan psikologi dan biologi adalah factor yang mempengaruhi adaptasi dan fungsi remaja.



Sumber: Stuard (2013)



Teori menekankan bahwa masa remaja adalah proses adaptasi pada kontinum perkembangan serta pengaruh biologis, psikologis, dan lingkungan



2.3 Respon Maladaptasi dan Gangguan Perilaku Remaja Telah dijelaskan bahwa masa remaja adalah masa transisi, yaitu masa peralihan yang serba sulit dan penuh problematika yang perlu penyesuaian. Remaja mempunyai banyak kebutuhan yang menuntut mereka untuk memenuhinya. Tuntutan kebutuhan inilah yang menjadi sumber dari problematika remaja. Jika mahasiswa berhasil memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalahnya, maka mereka akan menjadi individu yang sukses. Sebaliknya jika mereka gagal memenuhi kebutuhan dan gagal menyelesaikan



18



masalahnya, maka terjadinya respon maladaptasi dan mengakibatkan terjadinya perilaku menyimpang. Respon perilaku ini berentang adaptif – maladaptive seperti pada gambar 2.4



Sumber: diadaptasi dari Stuart (2013)



Gambar 2.4 Rentang Respon Perilaku Adaptif – Maladaptif



Banyak respon maladaptif secara spesifik sering terjadi pada remaja yang menggambarkan perilaku yang tidak tepat. Respon tersebut antara lain aktivitas sexual yang tidak tepat, menjadi ibu di luar nikah, bunuh diri, melarikan diri, gangguan tingkah laku, perilaku kekerasan, penggunaan obat, preokupasi dengan tubuhnya, masalah berat badan, keterlibatan dengan hal gaib atau ide-ide aneh. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak-anak bermasalah ini mengalami kesulitan koping yang signifikan di keluarga, sekolah atau masyarakat sehingga berdampak terjadinya gangguan perilaku (Stuart, 2013).



19



Gangguan perilaku yang terjadi pada remaja sebagai respon maladaptif tersebut di atas, ada yang berpotensi bersinggungan dengan hukum atau melanggar norma yang berlaku di masyarakat dan mengarah pada tindakan kriminal,



yaitu kenakalan remaja (juvenile delinquency). Gangguan ini harus mendapatkan perhatian khusus karena merupakan bentuk gangguan jiwa masyarakat serius yang berbahaya bagi remaja sendiri dan masyarakat.



2.4 Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency) Bagian ini menjelaskan teori perilaku yang relevan, pengertian juvenile delinquency dan berbagai bentuk gangguan perilaku yang diidentifikasi sebagai juvenile delinquency. Teori perilaku yang relevan dengan terjadinya penyimpangan perilaku remaja (juvenile delinquency) yang dijelaskan adalah teori Multilevel Theory of Behavior Change: A Social Ecological Framwork. Penggunaan teori ini cukup beralasan karena juvenile delinquency merupakan gangguan perilaku yang secara teori berhubungan dengan berbagai faktor dalam berbagai tingkatan (level). Dalam model ekologi ini para ilmuwan berkeyakinan bahwa masalah kesehatan, perilaku, dan penyakit dipengaruhi oleh beragam faktor penyebab yang terletak pada berbagai tingkatan analisis mulai dari tingkatan molekuler dan genetik terhadap tingkat perilaku, lingkungan, dan sosial (Shumaker, Ockene, Riekert, 2009). Secara terperinci, teori ini akan dijelaskan pada bagian 2.6.



20



Juvenile delinquency berasal dari dua kata yaitu juvenile yang artinya remaja atau anak muda, dan delinquency yang berarti kenakalan atau kejahatan. Dengan demikian Juvenile delinquency dapat diartikan sebagai kenakalan yang dilakukan oleh orang muda (remaja). Istilah juvenile delinquency sering digunakan kaitannya dengan perilaku nakal remaja yang telah melibatkan hukum peradilan. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Kratcoski & Kratcoski (2004) bahwa juvenile delinquency adalah tindakan yang dilakukan anak muda (remaja) dimana tindakannya tersebut menyebabkan mereka berhubungan dengan pengadilan remaja. Juvenile delinquency adalah remaja berusia kurang dari 18 tahun yang menunjukkan perilaku menyimpang dalam bentuk kenakalan yang yang mengarah pada tindakan kriminal karena melanggar hukum atau kode moral. Istilah lain juvenile delinquency yang sering digunakan adalah juvenile offending atau youth crime. Perilaku juvenile dilinquency, biasanya terjadi pada remaja dengan kepribadian anti sosial, yaitu bentuk gangguan kepribadian dimana remaja melakukan pelanggaran moral secara aktif dan sudah meresahkan atau menggaggu masyarakat. Perilaku antisosial dalam definisi tersebut meliputi penyalahgunaan ruang publik, mengabaikan keamanan masyarakat dan kesejahteraan pribadi, melakukan tindakan yang ditujukan pada orang lain, dan melakukan kerusakan lingkungan (Kenny, Blacker & Allerton, 2014). Stuart (2013) & Burlian (2016) menjelaskan bahwa orang dengan gangguan kepribadian antisosial



21



(antisocial personality disorder) secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal dalam membina hubungan interpersonal dan pekerjaan. Meski demikian Remaja delinkuen sering menujukkan kharisma dalam penampilan luar dan memiliki intelegensi di atas rata-rata. Perilaku yang secara umum muncul dan tampak ektrim pada individu dengan kepribadian antisosial ditunjukkan dengan perilaku sebagai perampok, pembohong, homoseks dan pembunuh.



Disamping gambaran perilaku tersebut di atas, gejala perilaku lain yang muncul pada individu dengan gangguan antisosial adalah sikap mengabaikan perasaan orang lain,  sikap sangat tidak bertanggung jawab dan tidak peduli terhadap norma, peraturan dan kewajiban sosial, tidak mampu mempertahankan interaksi dengan cukup lama, mudah frustasi dan agresif, melakukan tindak kekerasan, tidak mampu belajar dari pengalaman, sangat cenderung menyalahkan orang lain atau tidak mampu melakukan rasionalisasi yang dapat diterima (Burlian, 2016). Definisi lain juvenile delinquency diberikan oleh ahli psikologi Kartono (2014), yaitu perilaku jahat (dursila) atau kenakalan anak muda atau remaja yang merupakan gejala patologis secara sosial yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Lebih lanjut Kartono menjelaskan bahwa anak delinkuen disebut sebagai anak sakit



22



mental atau cacat sosial yang disebabkan oleh pengaruh sosial di masyarakat. Kratcoski & Kratcoski, 2004 (dikutip Anjaswarni, 2014) mengidentifikasi bentuk-bentuk atau tipe perilaku remaja yang termasuk kategori Juvenile delinquency, yaitu: 1. Meninggalkan Sekolah (Membolos)



Membolos sekolah termasuk perilaku yang menyimpang karena remaja telah melanggar hukum dalam hal ini aturan atau norma yang berlaku khusus di sekolah. Perilaku membolos biasanya dilakukan karena mereka merasa tidak nyaman dengan aturan sekolah. Remaja menilai bahwa aturan membuat mereka tidak bebas sehingga berusaha lari (mbolos) dari sekolah (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).



Sumber: internet diakses 3 Nopember 2014



Gambar 2.5 “Gang” Remaja



23



2. Melakukan panggilan telepon anonim Melakukan panggilan telepon tanpa menyebutkan nama termasuk dalam kenakalan, karena perilaku tersebut dapat menimbulkan kebingungan dan ketakutan bagi penerima. Perbuatan ini termasuk antisosial karena dapat meresahkan masyarakat apalagi kalau disertai dengan ancaman (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 3. Berjudi Menggunakan uang dengan cara berjudi atau berspekulasi dengan melakukan perjudian termasuk bentuk juvenile delinquency. Judi adalah perbuatan yang dilarang karena melanggar larangan agama, hukum dan norma sosial di masyarakat (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Remaja melakukan judi biasanya karena dorongan ingin mendapat uang banyak dalam waktu cepat untuk mencukupi kebutuhannya, atau sekedar “iseng” besama teman sebaya untuk coba-coba berentungan.



Gambar 2.6 Perjudian di Kalangan Remaja



Sumber: Internet diakses 9 September 201



24



4. Meninggalkan rumah Meninggalkan atau Lari dari rumah termasuk perilaku kenakalan karena perilaku remaja tersebut menimbulkan keresahan orang tua. Remaja lari dari rumah, biasanya



karena merasa tidak nyaman, ada ketidakcocokan dengan aturan di rumah, atau adanya pengaruh teman sebaya di luar rumah. Para remaja biasanya berkumpul dengan teman sebaya atau hidup di jalanan bersama kelompoknya untuk mencari kesenangan dan kebebasan (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.7 Remaja Berkumpul Setelah Meninggalkan Rumah dan Membentuk “Gang Punk” Sumber: Dokumen pribadi



5. Membeli atau minum minuman keras Minuman keras dalam agama Islam hukumnya adalah haram. Membeli dan mengkonsumsi minuman keras termasuk dalam perilaku juvenile delinquency, karena dapat meresahkan masyarakat. Dampak minuman keras bagi pengguna adalah terjadinya gangguan kesadaran, bicara tidak jelas, teriak, marah atau bahkan melakukan tindakan atau perilaku agresif. Pengguna mungkin melakukan tindakan di



25



luar kesadaran seperti mengancam, melempar dan perilaku lain yang berbahaya bagi orang lain (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar: 2.8 Minuman Keras



Sumber: Internet diakses 9 September 2019



Sumber: Internet diakses 9 September 2019



Gambar: 2.9 Pengguna Minuman Keras di Kalangan Remaja



6. Membeli, menggunakan, atau menjual obat terlarang Perilaku membeli, menggunakan atau menjual obat terlarang adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum dan agama, dan termasuk dalam tindakan kriminal. Bagi pengguna, dalam keadaan intoksikasi, maka akan



26



menunjukkan perilaku yang aneh dan membayakan diri atau orang lain. Bagi penjual apa yang dilakukan adalah kriminal karena dapat merusak generasi muda. Bagi pelaku jual beli ‘drugs’ dapat terjadi dampak yang luas karena



dapat mengakibatkan kerusakan pada diri pengguna sendiri maupun orang lain (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).



Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014



Gambar 2.10 Pengguna Zat di Kalangan Remaja



7. Merusak bangunan atau properti lainnya



Perilaku merusak merupakan bentuk pelanggaran sosial dan hukum karena dapat merugikan masyarakat. Melakukan pengrusakan bangunan atau milik orang lain adalah dilarang dan termasuk dalam tindakan kriminal karena membahayakan diri dan orang lain (masyarakat) (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).



27



Sumber: Internet diakses 9 September 2019



Gambar 2.11 Pengrusakan Properti Oleh Remaja



8. Mengendarai mobil tanpa Surat Ijin Mengemudi (SIM) Perilaku berkendaraan tanpa mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM) termasuk dalam juvenile delinquency. Hal ini cukup beralasan karena mengendarai mobil tanpa SIM adalah tindakan illegal dan melawan hukum karena melanggar aturan atau hukum Negara yang berlaku (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.12 Remaja ditilang tidak punya SIM & Tidak Pakai Helm Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019



28



9. Ngebut Perilaku ngebut di jalan raya adalah bentuk perilaku delinquency. Hal ini cukup beralasan karena aktivitas tersebut melanggar hukum berlalu lintas karena perilaku mereka mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat pengguna jalan. Hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat akibat ngebut ngebutan di jalan raya antara lain suara



kendaraan yang keras, asap dan kecepatan berkendaraan tinggi dapat menggangu dan membahayakan orang lain misalnya kecelakaan atau menabrak orang lain (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 10. Balapan Liar Sama halnya ngebut ngebutan, balapan liar adalah perilaku yang dilarang karena melanggar hukum dan membahayakan diri remaja serta menggangu kententraman masyarakat. Umumnya balapan liar menggunakan jalan umum untuk masyarakat, tanpa mau memperhatikan kenyamanan dan keselamatan orang lain (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.13 Ngebut-ngebutan di Jalan Raya Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014



29



11. Menggunakan Ancaman untuk Mendapatkan Sesuatu dari Orang Lain Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ‘memalak’ berasal dari kata ‘palak’ yang artinya sangat berani atau nekat. Kata memalak sering digunakan untuk seorang yang meminta secara paksa bahkan mungkin meminta dengan ancaman atau dengan kekerasan. Orang



yang memalak disebut pemalak atau pemeras. Memalak ini termasuk bentuk penyimpangan perilaku sosial karena menimbulkan rasa takut, meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini termasuk kriminal karena memaksa hak orang lain dan melanggar hukum (Kratcoski & Kratcoski, 2004). Gambar 2.14 Meminta dengan Ancaman



Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019



12. Mengendarai Mobil Orang Lain Tanpa Izin Dalam dunia remaja pada umumnya, saling pinjam barang bahkan kendaraan adalah hal yang biasa. Namun demikian perlu diketahui bahwa memakai kendaraan orang lain tanpa ijin, termasuk dalam perilaku Juvenile delinquency. Memakai kendaraan orang lain tanpa ijin dapat membuat



30



pemilik kendaraan merasa khawatir. Perilaku tersebut melanggar hukum dan tidak sesuai dengan norma sosial (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 13. Mencuri Barang di Toko Dalam agama Islam mencuri adalah dosa besar,



sehingga Islam melarang umatnya untuk mencuri harta milik orang lain dan memberikan hukuman yang berat kepada orang yang mencuri, memotong tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang telah merekan lakukan. Mencuri atau mengambil barang milik orang lain (termasuk mengambil barang di toko tanpa membayar) dalam koridor hukum Negara adalah termasuk tindakan kriminal dengan sanksi hukum pidana. Dengan demikian bagi remaja, perilaku mencuri ini termasuk juvenile delinquency karena melanggar agama, hukum dan norma sosial (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 14. Menentang Otoritas Orang Tua Pola asuh yang diterapkan orang tua ada bermacammacam, salah satunya adalah pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang diterapkan dengan kontrol yang ketat dimana anak harus mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Penerapan pola asuh demikian biasanya bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan dan tanggung jawab anak. Akan tetapi perlu diketahui bahwa menyatakan bahwa orang tua otoriter dan melawan otoritas orang tua



31



adalah termasuk perilaku delinquency. Hal ini cukup beralasan karena biasanya perlawanan remaja terhadap otoritas orang tua pada dasarnya hanya karena mereka menginginkan kebebasannya sendiri dan tidak mau diarahkan orang tua.



Anak dengan delinkuen, cenderung melawan pola aturan yang ditetapkan orang tua atau masyarakat dan biasanya dikenal sebagai anak yang suka membangkang atau menentang (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 15. Tawuran antar gang Tawuran adalah aktivitas yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Biasanya tawuran di antara remaja terjadi karena rasa solidaritas antar kelompok (gang). Mereka terlibat tawuran karena membela kelompok walaupun mungkin mereka tidak mengetahui permasalahan yang terjadi. Keterlibatan remaja dalam perkelahian antar gang (tawuran) dapat meresahkan masyarakat dan termasuk bentuk gangguan perilaku sosial. Perilaku ini termasuk kriminal karena berpotensi terjadinya penganiayaan dan pembunuhan (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.15 Tawuran Remaja



Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014



32



16. Menghancurkan barang milik orang lain Perilaku merusak adalah termasuk criminal. Remaja yang melakukan pengrusakan milik orang lain termasuk dalam perilaku delinquency. Hal ini sangat beralasan karena



merusak property orang lain termasuk pelanggaran sosial, norma dan hukum karena tanpa hak membuat orang lain menderita kerugian (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.16 Perilaku Merusak



Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019







17. Mengirimkan alarm kebakaran secara tidak tepat Arti alarm secara umum adalah bunyi peringatan atau pemberitahuan. Biasanya alarm berbunyi atau dibunyikaan jika ada hal-hal yang perlu diwaspdai sebagai tanda peringatan. Mengirimkan alarm yang tidak tepat pada orang tanpa tujuan yang jelas termasuk dalam perilaku delinquency karena apa yang mereka lakukan dapat mengganggu ketentraman dan meresahkan orang lain. Bunyi alarm dapat membuat orang merasa cemas atau menimbulkan rasa takut, sehingga membunyikan alarm dengan tujuan tidak jelas atau untuk menakut nakuti termasuk dalam tindakan kriminal



33



(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). 18. Melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (Tanpa Ikatan Perkawinan) Free sex atau melakukan hubungan sexual tanpa status jelas dengan lawan jenis adalah dosa besar. Agama Islam



melarang free sex dan hukuman yang pedih diberlakukan bagi yang melakukannya. Free sex dikalangan remaja biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan tanpa mau tanggung jawab. Perilaku free sex pada remaja termasuk juvenile delinquency karena melanggar norma agama, tata aturan dan norma sosial di masyarakat. Free sex dapat merusak nilai-nilai agama dan anak bangsa. Dalam hal kesehatan, free sex sangat berbahaya secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Free sex juga sangat meresahkaan masyarakat karena berpotensi untuk terjadinya penularan penyakit seksual dan menjadi penyakit sosial di masyarakat (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.17 Free Sex



Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014



34



19. Hubungan Homoseksual Melakukan seksual sesama jenis juga sangat dilarang dalam ajaran agama Islam. Siksa yang pedih juga diberlakukan bagi mereka yang melakukan sex sesame jenis. Melakukan



hubungan seksual sesama jenis termasuk dalam perilaku delinquency karena mereka melakukan pelanggaran terhadap norma agama dan norma sosial, karena perilaku ini tidak lazim dan menyalahi kodrat manusia yang pada prinsipnya adalah berpasang-pasangan (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014). Gambar 2.18 Sex Sesama Jenis Sumber: Internet diakses 12 Oktotober 2019



20. Membawa Senjata Tajam Membawa senjata tajam di kalangan anak muda (remaja) saat ini juga marak terjadi, antara lain pisau, clurit, obeng dll. Mereka membawa senjata tajam ini biasanya dengan alasan untuk menjaga diri jika terjadi kejahatan. Hal ini berbeda dengan di Luar negeri yang dapat membawa senjata dalam bentuk pistol atau senjata laras panjang. Membawa senjata tajam termasuk juvenile delinquency, karena berpotensi untuk disalahgunakan untuk melakukan tindak kejahatan yang mengganggu masyarakat.



35



Gambar 2.19 Membawa Sajam Ke Sekolah



Sumber: Internet diakses 12 Oktotober 2019



Steketee & Gruszczyńska (2010) dalam studinya mengidentifikasi dan mengelompokkan perilaku juvenile delinquency menjadi empat kelompok, yaitu:



1. Perilaku kekerasan. Termasuk dalam perilaku kekerasan menurut Steketee & Gruszczyńska (2010) adalah perkelahian, tawuran antar gang, penyerangan, membawa senjata tajam dan vandalisme. Vandalisme menurut KBBI adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya orang lain atau barang berharga lainnya secara kasar dan brutal.



2. Perilaku pelanggaran atau pengrusakan properti orang lain. Termasuk dalam perilaku pengrusakan properti menurut Steketee & Gruszczyńska (2010) ada 8 jenis, yaitu (1) mengutil atau mencuri dalam jumlah kecil yang tidak bermakna, (2) mengambil paksa milik orang lain (jambret atau perampasan), (3) mengambil barang milik orang lain dengan penyerangan, (4) meminta dengan paksa atau memalak, (5) pencurian sepeda,



36



(6) pengrusakan mobil, (7) pencurian mobil, dan (8) perampokan.



3. penyalahgunaan zat. Termasuk dalam penyalahangunaan zat menurut Steketee & Gruszczyńska



(2010) adalah pengguna maupun pemakai zat adiktif meliputi narkotika, alkohol, psikotropik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).



4. Kejahatan internet atau hecking. Termasuk dalam Kejahatan internet atau hecking menurut Steketee & Gruszczyńska (2010) yaitu kegiatan memasuki sistem melalui sistem operasional yg lain. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, semakin berkembang juga kejahatan yang dilakukan dalam dunia maya yang bersifat merugikan. Pelaku kejahatan dalam dunia maya disebut sebagai hacker. Gambar 2.20 Kejahatan Internet



Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019



Berdasarkan ulasan terkait juvenile delinquency tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa Juvenile delinquency adalah salah satu bentuk gangguan kesehatan jiwa, yang



37



secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi derajat kesehatan jiwa masyarakat. Berbagai dampak dapat terjadi akibat perilaku juvenile delinquency, baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang.



Dampak jangka pendek adalah membahayakan kesehatan dirinya dan kelompoknya. Perkelahian, tawuran, ngebut-ngebutan, berpotensi untuk terjadinya cidera bahkan



mungkin terjadinya kematian. Narkoba dapat mengakibatkan gangguan mental dan pikiran, bahkan mengancam diri individu pengguna dengan kematian. Narkoba juga menjadi momok bagi masyarakat karena pengguna dan pengedarnya masif berada ditengah-tengah masyakat tanpa diketahui. Perilaku seks bebas berpotensi untuk terjadi penyakit seksual menular (PSM) , Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), serta dampak lain yang membahayakan. Perilaku anakremaja delinkuen dapat mengakibatkan kecemasan, perasaan tidak aman, curiga, atau khawatiran di masyarakat. Dampak jangka panjang adalah ancaman hilangnya masa depan remaja yang pada akhirya mereka kelak tidak bisa ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsa. Ancaman fisik, mental dan sosial akibat perilaku delinkuen remaja perlu diwaspadai, tetapi mereka para remaja delinkuen juga perlu diselamatkan karena remaja adalah aset bangsa yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Juvenile delinquency merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang serius karena berbahaya bagi remaja dan masyarakat luas. Gangguan perilaku ini perlu penanganan



38



serius karena berbahaya bagi kesehatan fisik, psikologis, sosial dan spiritual remaja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Gambar 2.21 Remaja “Punk” Sumber: Dokumen Pribadi



Gambar 2.22 Remaja Jalanan “Antara Harapan dan Kenyataan” Sumber: Dokumen Pribadi



2.5 Proses Terjadinya Juvenile Delinquency Banyak teori yang mencoba menjelaskan terjadinya juvenile delinquency. Bagian ini akan menjelaskan proses terjadinya juvenile delinquency menggunakan Model “Three theoretical models for the development of criminal behaviour from early childhood to adulthood”. Ketiga model teori tersebut yaitu: 1) Simple Linier Model, 2) Multiple Pathways Model, dan 3) Cumulative Effect Model (Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015), seperti pada gambar 2.23.



39



Teori pertama Simple Linier (Gottfredson dan Hirschi) menjelaskan bahwa konsep sentral terjadinya perilaku kriminal adalah pengendalian diri (dikutip oleh Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015). Individu yang mempunyai kontrol diri kuat akan menolak peluang kriminal lebih sering daripada mereka yang memiliki kontrol diri lemah. Gottfredson dan Hirschi menyatakan pentingnya produk pengendalian diri yang diperoleh pada masa kanak-kanak atau pada masa perkembangan anak.



Teori kedua Multiple Pathways Model (Loeber), menjelaskan ada tiga jenis pelanggaran yaitu agresif dan penghancuran properti, pelanggar properti eksklusif, dan penyalahgunaan zat. Jenis pelanggaran dibedakan berdasarkan jenis masalah perilaku di masa kanak-kanak, usia munculnya masalah perilaku, tingkat perkembangan perilaku kriminal, dan probabilitas mereka akan berhenti dari perilaku kriminal. Model jalur perkembangan kriminal menggambarkan bahwa intervensi pencegahan harus berfokus pada faktor risiko dan usia yang berbeda (dikutip Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015). 1. Simple Linier Model (Gottfredson and Hirschi) 2. Multiple Pathways Model (Loeber)



Aggression Poor relations Aggression & Property crime Lying



40



Good peer relations Property crimes



School Problems Bad peer association



No problems No problems Substance abuser



No problems



3. Cumulative Effect Model (Yoshikawa)



Sumber: Tremblay & Craig dalam Blanc (2015)



Gambar 2.23 Cumulative Effect Model for Juvenile delinquency



Teori ketiga Cumulative Effect Model (Yoshikawa) dijelaskan bahwa faktor kemiskinan dan ketidakmampuan secara fisik dapat menyebabkan terjadinya tindakan kriminal pada juvenile delinquency. Kemiskinan secara langsung mengakibatkan pola asuh kurang, akibatnya ikatan pengasuhan orang tua anak kurang sehingga mengakibatkan tindakan kriminal. Keterbatasan fisik berpengaruh langsung untuk terjadinya pola asuh yang kurang, selanjutnya ikatan pengasuhan orang tua-anak kurang akan mengakibatkan tindakan kriminal. Keterbatasan fisik secara langsung juga mengakibatkan temperamen yang sulit dan gangguan kognitif. Temperamen yang sulit mengakibatkan ikatan orang tua anak dan ikatan sosial kurang serta bermasalah di sekolah. Gangguan kognitif juga mengakibatkan terjadinya



41



masalah di sekolah. Kurangnya ikatan pengasuhan orang tuaanak, hubungan sosial dan adanya masalah di sekolah dapat mengakibatkan perilaku kriminal (Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015). 2.6 Multilevel Theory of Behavior Change: Socialecological Framework Juvenile delinquency merupakan gangguan perilaku yang secara teori berhubungan dengan berbagai faktor dalam berbagai tingkatan (level) yang dikenal dengan Multilevel Theory of Behavior Change: Social-ecological Framework. Model ekologi kesehatan, perilaku, dan penyakit didorong oleh keyakinan dan pengakuan ilmuwan yang menyatakan bahwa etiologi masalah kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beragam faktor penyebab yang terletak pada berbagai tingkatan analisis mulai dari tingkatan molekuler dan genetik terhadap tingkat perilaku, lingkungan, dan sosial. Teori ini menyoroti asumsi dan prinsip utama analisis ekologis bertingkat tentang perubahan perilaku kesehatan dan kesehatan (Shumaker, Ockene, Riekert, 2009). Schwartz, 1982; Stokols, 2000 (dikutip oleh Shumaker, Ockene & Riekert, 2009) menjelaskan bahwa analisis ekologi sosial memberikan penekanan lebih besar pada peran kondisi lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan seseorang atau kelompok. Pengaruh lingkungan terhadap perilaku kesehatan, ditemukan dalam kehidupan seharihari baik pada tingkat mikro, misalnya di rumah atau tempat kerja, maupun pada tingkat makro yang menyebar luas



42



dalam komunitas seseorang, misalnya tingkat sosial mulai dari pengangguran, modal sosial, dan perbedaan pendapatan yang ada dalam masyarakat tertentu. Analisis ekologi sosial juga menekankan proses sistem dalam kesehatan dan kondisi sakit, seperti cara paparan kronis terhadap stresor lingkungan dan mengatasi tantangan rusaknya fungsi imunologis. Sistem proses adaptasi,



homeostasis, dan perilaku mengatur individu untuk interaksi dengan lingkungan sehari-hari mereka dan merupakan aspek utama analisis ekologis tentang resistensi manusia dan kerentanan terhadap penyakit (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009).



Model ekologi sosial adalah perspektif meta-teoritis yang mencakup beberapa tema dan strategi penelitian terkait etiologi penyakit, perilaku kesehatan, dan kesejahteraan. Model ini melakukan analisis kontekstual, berorientasi sistem, interdisiplin, analisis penelitian multilevel yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuatitatif (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009).



Perspektif ekologis sosial tentang perilaku kesehatan juga secara inheren bersifat interdisipliner. Ekologi sosial mencakup beberapa bidang yang berbeda, termasuk ilmu saraf, kedokteran, epidemiologi, psikologi kesehatan, sosiologi, antropologi, pendidikan kesehatan, dan promosi kesehatan masyarakat. Analisis ekologi sosial juga menekankan tidak hanya keputusan dan perilaku kesehatan pribadi tetapi juga perilaku lainnya yang bersifat institusional yang disebabkan oleh dokter, manajer kasus di organisasi



43



perawatan atau pelayanan kesehatan (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009). Model socio-ecology ini membahas intervensi dalam rangka promosi kesehatan berdasarkan pada tingkatan ekologi mulai tingkat individu, keluarga, kelompok, sekolah dan masyarakat serta budaya.



Multilevel Theory of Behavior Change mengacu pada teori Sistem Bioekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner‘s



Bioecological Systems Theory) (1992) dalam Shumaker, Ockene & Riekert (2009). Teori Sistem Bioekologi Bronfenbrenner menjelaskan tentang perkembangan anak dan faktor yang mempengaruhi. Dijelaskan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak memiliki banyak “lapisan” yaitu 4 lapisan lingkungan yaitu: microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem, seperti pada Gambar 2.24.



Sumber: Shumaker, Ockene & Riekert (2009)



Gambar 2.24 Bronfenbrenner’s Bio-ecological Systems Theory



44



Microsystem terkait dengan struktur dimana anak memiliki kontak secara langsung. Struktur dalam microsystem yang mempengaruhi perkembangan anak adalah lingkungan keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitar. Struktur ini pada akhirnya membentuk perilaku anak.



Mesosystem adalah struktur kedua dalam sistem sosial. Dalam struktur ini dijelaskan bahwa perkembangan



anak terkait dengan hubungan antara berbagai struktur di dalam microsystem yaitu hubungan antara faktor lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sekitarnya (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009). Exosystem adalah sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak berinteraksi secara langsung, tetapi dapat mempengaruhi mikrosistemnya. Termasuk exosystem ini adalah kebijakan tempat kerja orang tua yang dapat membatasi ketersediaan orang tua kepada anak selama jam kerja. Termasuk juga Undang-undang Pendidikan, yang tidak berinteraksi langsung dengan individu anak tetapi berdampak pada perilaku.



Macrosystem adalah lapisan paling luar dalam system sosial yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, meliputi nilai budaya, adat istiadat, norma sosial dan hukum. Pengaruh distal pada anak dimediasi oleh mikro, meso, dan eksosistem. Secara keseluruhan model Bronfenbrenner ini merupakan contoh yang baik untuk menggabungkan beberapa tingkat sosial terkait faktor yang mempengaruhi perkembangan anak (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009).



45



Ahli lain yang menggunakan model sosial ekologis Bronfenbrenner ini menganggap bahwa hasil perilaku adalah produk interaksi terus menerus dalam domain individu, interpersonal, organisasi, komunitas, dan antar budaya. Orang



tua perlu memfasilitasi perkembangan anak-anak mereka, mulai dari keintiman dalam keluarga ke sistem sosial yang kompleks dimana anak harus belajar untuk berfungsi dengan baik. Karakteristik bawaan orang tua, pengalaman awal kehidupan mereka, termasuk hubungan dengan pengasuh mereka berinteraksi dengan pengalaman hidup saat ini yang menentukan tingkat penyesuaian psikososial yang dapat dicapai dan kemampuan untuk mengatasi masalah (Kenny, Blacker & Allerton, 2014).



Mengacu pada konteks Bio-ecological, dikembangkan model konseptual dan intervensi untuk juvenile delinquency. Model konsep yang dikembangkan berdasarkan konteks Bioecological ini adalah “The Juvenile Counseling and Assessment Model and Program (JCAP Model): A Conceptualization and Intervention for Juvenile delinquency”, seperti gambar 2.25.



Model JCAP menyediakan kerangka kerja terkait dengan empat hal yaitu: (1) Etiologi kenakalan; (2) Strategi penangan (merawat) anak nakal di berbagai setting; (3) Strategi pendekatan, berdasarkan teori konseling, dan (4) menggunakan penelitian untuk mengkaji faktor terkait kenakalan remaja dan mengevaluasi penggunaan terapi modalitas yang digunakan (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



46



Berdasarkan gambar 2.25 dapat dijelaskan bahwa model JCAP menggambarkan hubungan empat faktor ekologi yang saling terkait yaitu ekologi keluarga, sekolah, teman sebaya dan komunitas. Model ini menjelaskan tentang



karakteristik anak (remaja) dalam konteks ekologikal dimana remaja hidup, interaksi antar variabel yang mempengaruhi, dan juga menjelaskan intervensi antar variabel. Model menjelaskan bahwa intervensi untuk penanganan juvenile delinquency dilakukan melalui berbagai variabel yang ditampilkan dalam model (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011)







Sumber: Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011)







Gambar 2.25 Juvenile Counseling and Assessment Program Model (JCAPModel)







47



1. Variabel Individu Anak (Child Variables) Berdasarkan teori bio-ecological dijelaskan bahwa variabel anak merupakan faktor internal dalam diri anak yang mempengaruhi terjadinya masalah perilaku (juvenile delinquency). Gambar 2.16 menjelaskan bahwa variabel anak sebagai individu yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency ada empat, yaitu: (a) faktor genetik dan herediter, (b) kompetensi sosial atau ketrampilan hidup (life skill), (c) faktor kepribadian dan kecerdasan, serta (d) variabel proses kognitif. Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011). 2. Variabel Ekologikal (Ecological Variables) Variabel ekologi (lingkungan) adalah situasi dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan dan kesehatan anak. Variabel ekologikal yang berpotensi mempunyai pengaruh terhadap perilaku remaja ada empat, yaitu (a) ekologi keluarga (Family Ecology), (b) ekologi teman sebaya (peer group ecology), (c) ekologi sekolah (School Ecology), dan (d) ekologi masyarakat (Neighborhood Ecology) (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011). Dalam model JCAP dijelaskan bahwa faktor ekologi keluarga yang berperan untuk terjadinya masalah perilaku pada anak adalah kompetensi orang tua, fungsi keluarga, pola pengasuhan anak (pola asuh) dan pengaruh Sibling. Faktor ekologi teman sebaya yang berperan untuk terjadinya masalah perilaku adalah adanya paparan drug atau alcohol,



48



sikap otoriter dari peer dan hubungan pertemanan. Faktor ekologi sekolah yang berperan dalam masalah perilaku anak adalah pola kedekatan pertemanan, hubungan guru dengan murid, hubungan anak dengan sekolah, serta kompetensi akademik. Faktor ekologi komunitas yang berperan dalam terjadinya masalah perilaku anak adalah status social ekonomi, religious atau spiritualitas, keterlibatan dalam kasus polisi atau peradilan dan hubungan anak dengan masyarakat.



Berdasarkan gambar 2.16 tampak bahwa individu anak dan keempat faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Hal ini dapat dimaknai bahwa keempat faktor tersebut saling menguatkan untuk terjadinya masalah perilaku anak (juvenile delinquency). Semakin banyak faktor tidak baik dalam diri individu dan semakin banyak factor lingkungan yang tidak baik di sekitar individu anak, maka akan semakin meningkatkan risiko terjadinya kenakalan. 3. Proses Interaksi (Interactive Processes) Model JCAP tidak hanya menjelaskan variabel atau faktor yang dipertimbangkan berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency, tetapi juga menjelaskan interaksi antar variabel sebagai kunci dari model JCAP. Juvenile delinquency adalah hasil interaksi antara factor yang ada dalam diri individu anak dengan variabel teman sebaya, variabel sekolah, variabel keluarga dan masyarakat (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



49



4. Komponen Intervensi Component)



JCAP



(JCAP



Intervention



Calhoun, Glaser & Bartolomucci, (2011) menjelaskan bahwa pendekatan intervensi dan prevensi Model JCAP



meliputi beberapa strategi. Strategi yang digunakan yaitu: kenseling individu, konseling kelompok, dan konsultasi dengan sekolah dan keluarga sebagai pendekatan yang holistik terhadap remaja. Semua strategi tersebut perlu dilakukan untuk merubah pola perilaku kenakalan remaja. Selain faktor individu, keluarga, sekolah dan teman sebaya, faktor lain yang diuraikan dalam buku ini adalah faktor gaya hidup dan faktor teknologi. Pada era global dewasa ini faktor gaya hidup dan teknologi sangat dekat dengan kehidupan anak remaja dan dapat menjadi faktor risiko yang berpotensi terjadinya masalah perilaku pada remaja (juvenile delinquency). Faktor gaya hidup dan teknologi saat ini sudah menjadi budaya remaja yang penting di bahas terkait perannya dalam terjadinya masalah perilaku juvenile delinquency.



50



BAB 3



FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY)



Pada bab sebelumnya telah dijelaskan dalam teori Bioekologikal Bronfenbrenner dan Model Juvenile Counseling and Assessment Program Model (JCAPModel) bahwa ada beberapa factor dalam diri individu dan lingkungan luar individu yaitu factor lingkungan yang berpengaruh dalam perkembangan anak remaja. Berbagai faktor ini akan menjadi faktor risiko terjadinya gangguan perilaku juvenile delinquency jika dalam kondisi individu dan lingkunga sekitarnya tidak baik.



3.1 Faktor Individu



Faktor individu yang akan dijelaskan pada bagian ini meliputi empat aspek, yaitu kompetensi sosial atau kemampuan hidup (life skill), self efficacy, religi dan faktor kecerdasan yang diidentifikasi dari kemampuan akademik sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency (Stuart & Laraia, 2005; Alligood, 2014, Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



51



1. Life skill Berdasarkan asal kata, life skill berasal dari dua kata dasar, yaitu life yang berarti hidup dan skill yang berarti ketrampilan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa life skill adalah ketrampilan hidup atau kemampuan hidup atau kecakapan hidup. Berdasarkan paduan kata tersebut maka dapat didefinisikan bahwa life skill adalah kemampuan atau kecakapan individu berupa ketrampilan tertentu yang penting dikuasai untuk menjalankan kehidupan sosialnya.



Pengertian tersebut sesuai definisi yang diberikan oleh World Health Organization (WHO) (1997), bahwa life skill adalah kemampuan untuk berperilaku yang adaptif dan positif yang membuat seseorang dapat menyelesaikan kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif



(Alfabetwritter, 2010). Life skill dapat diperoleh melalui pendidikan, baik formal maupun non formal. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 26 ayat 3 Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 bahwa Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dijelaskan bahwa life skill, secara umum dibedakan dua, yaitu life skill terkait kemampuan teknis (hard skill) dan kemampuan hidup yang bersifat non teknis (soft skill). Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 mengartikan kecakapan hidup Hard skill sebagai kecakapan vokasional atau ketrampilan kerja. Robles (2012) menjelaskan bahwa: “Hard



52



skills are the technical expertise and knowledge needed for a job”. Berdasarkan pendapat Robles tersebut dapat dijelaskan bahwa supaya individu kompeten dalam pekerjaan, maka harus mempunyai keahlian teknis dan pengetahuan tertentu sebagai hal yang harus dikuasai.



Dalam kehidupan sehari-hari kecakapan hard skill ini diperlukan untuk kebutuhan hidup. Hard skill dapat diamati, dapat didefinisikan dengan jelas dan mudah diukur. Anakanak dapat mempelajari beberapa hard skill primer di sekolah. Beberapa contoh hard skill yang dipelajari di sekolah antara lain menulis, berhitung, bahasa, menyelesaikan proyek, penelitian dan sebagainya. Ketrampilan hard lain sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang diajarkan di sekolah adalah bermain musik, merajut, menjahit, melukis, bernyanyi dan sebagainya.



Sumber: Dokumen Pribadi



Gambar 3.1 Pembelajaran Hard Skills “Bermain Musik” dan “Menari”



Berbeda dengan hard skill, kecakapan hidup Soft skill adalah kualitas antar pribadi dan atribut pribadi yang dimiliki seseorang. Soft skill adalah perilaku personal dan



53



interpersonal untuk mengembangkan dan memaksimalkan penampilan atau kinerja manusia (Robles, 2012). Jika soft skill baik maka akan meningkatkan kesuksesan individu, sebaliknya jika soft skill buruk akan berakibat terjadinya kegagalan individu, yang berpotensi untuk terjadinya penyimpangan perilaku.



Berikut ini 10 atribut soft skill yang penting dimiliki



untuk menjadi individu sukses yang diidentifikasi Robles (2012): 1. Integritas



2. Komunikasi 3. Kesopanan



4. Tanggung jawab



5. Keterampilan sosial 6. Sikap positif



7. Profesionalisme 8. Fleksibilitas 9. Kerja tim



10. Etika kerja



54



Gambar 3.2 Soft Skills “Sopan dan Sabar” Menunggu Giliran Pentas



Sumber: Dokumen Pribadi



Duerden et al. (2012) mengidentifikasi ada sepuluh (10) atribut Life skill yang mempengaruhi individu yaitu: 1. Kemampuan komunikasi (communication) 2. Berpikir kritis (critical thinking)



3. Pengambilan keputusan (decision making) 4. Penyelesaian masalah (problem solving). 5. kepemimpinan (leadership) 6. Harga diri (self esteem)



7. Tanggung jawab diri (self responsibility). 8. Sukarelawan (community volunteering),



9. Warga negara yang bertanggung jawab (responsible citizenship) 10. kerja tim (teamwork).



55



Duerden et al. (2012) menjelaskan komunikasi adalah kemampuan individu untuk bertukar pikiran, ide, dan pesan, serta memberikan makna. Individu yang mampu atau kompeten akan menunjukkan komunikasi dengan baik, lancar, dan mudah dipahami. Individu yang kompeten akan berkomunikasi dengan orang lain tanpa ada rasa takut atau kekhawatiran.



Berpikir kritis (critical thinking) adalah kemampuan berpikir dan melakukan tindakan sesuai dengan hasil evaluasi. Problem solving adalah proses perilaku kognitif di mana seseorang mencoba mengidentifikasi atau menemukan cara-cara efektif atau adaptif untuk mengatasi masalah situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pengambilan keputusan (decision making) adalah kemampuan individu untuk menentukan masalah, memilih berbagai alternatif, mengidentifikasi risiko dan konsekuensi untuk setiap alternatif, pemilihan alternatif, dan mengevaluasi (Duerden et al., 2012).



Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan untuk berinteraksi dan memberikan pengaruh dalam kelompok untuk untuk mencapai tujuan bersama kelompok. Harga diri (self esteem) adalah persepsi diri terkait ideal diri (harapan) dengan kenyataan berdasarkan perbandingan dengan dan umpan balik dari orang lain. Tanggung jawab diri (self responsibility) adalah kebiasaan memiliki dan menerima konsekuensi dari tindakan pribadi. Ada dua sub-domain yaitu tanggung jawab kepemilikan (mengambil kepemilikan atas tindakan seseorang) dan



56



tanggung jawab koreksi (bersedia menerima koreksi dan konsekuensi yang diakibatkan tindakan seseorang). Kerja tim (teamwork) adalah kemampuan menjadi anggota tim yang efektif berdasarkan pengetahuan, keterampilan, sikap,



atau perilaku yang tepat (Duerden et al., 2012). Hasil studi yang dilakukan terhadap remaja nakal pengguna narkoba menunjukkan bahwa program pelatihan kecakapan hidup dapat memfasilitasi pencegahan kenakalan dan rehabilitasi yang efektif bagi remaja nakal tersebut (Kenny, Blacker, & Allerton, 2014).



Warga negara yang bertanggung jawab (responsible citizenship) adalah kemampuan individu terlibat dalam masyarakat sipil dan berdemokrasi, serta keinginan memberikan kontribusi positif dan partisipasi kepada masyarakat dalam kegiatan yang lebih baik. Termasuk dalam kecakapan hidup menurut (Duerden et al., 2012) adalah mampu menjadi sukarelawan masyarakat (community volunteering). Kecakapan ini merupakan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bakat dan keikhlasan menyediakan waktu yang tidak terkompensasi kepada orang lain.



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Kota Blitar, mendapatkan bahwa life skills remaja LPKA cenderung sama dengan remaja siswa. Life skill yang diukur sebagai kecakapan individu meliputi hard skill dan soft skill. Hard skill meliputi kemampuan menulis, berhitung, bahasa, dan kemampuan menyelesaikan



57



proyek atau tugas, serta kemampuan dalam bidang seni dan olah raga misal bermain musik, merajut, menjahit, melukis, bernyanyi, sepak bola, basket dan yang lainnya. Soft skill yang akan diukur meliputi: kemampuan komunikasi, berpikir kritis, pengambilan keputusan, kepemimpinan, tanggung jawab diri dan kerja tim. Hal ini menunjukkan bahwa remaja siswa dan remaja LPKA mempunyai ketrampilan sosial yang sama untuk menjalankan peran sosial di masyarakat. 2. Self Efficacy Stuart and Laraia (2005) mendefinisikan “Self efficacy is a belief in one’s personal capabilities”. Hal ini mempunyai makna bahwa self efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya secara personal. Self-efficacy adalah persepsi kemampuan diri meliputi kemampuan, keyakinan, keefektifan terkait tingkat keterlibatan kognitif individu dalam suatu tugas. Self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang terkait keberhasilannya dalam menyelesaikan tugas khusus (Bandura, & Schunk dikutip oleh Silver, Smith JR, & Greene, 2001). Model preventif sebagai intervensi, perlu memperhatikan self efficacy anak sebagai indikator dalam faktor individu yang mempengaruhi perilaku dan perkembangan (Stuart & Laraia, 2005).



Sejalan dengan Bandura, pakar psikologi Alwisol (2009) menjelaskan self efficacy  adalah persepsi individu dalam menilai kemampuan dirinya untuk berfungsi dalam situasi tertentu atau berhubungan dengan keyakinan diri atas kemampuannya untuk melakukan tindakan sesuai yang



58



diharapkan.  Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang akan kemampuan diri khususnya dalam mencapai suatu tugas yang telah ditetapkan.



Tingkat self efficacy dapat berpengaruh terhadap pikiran, motivasi, suasana hati, dan kesehatan fisik seseorang. Self efficacy yang rendah cenderung untuk menghindari



tugas yang sulit. Mereka dengan self efficacy rendah akan memfokuskan pada diri sendiri dalam keraguannya dan tidak mampu berpikir bagaimana untuk menjadi orang yang sukses. Mereka mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan, dan mudah menjadi korban depresi. Sebaliknya jika self efficacy tinggi maka individu akan mampu menghadapi tugas yang sulit. Mereka menilai bahwa tugas yang sulit dianggap sebagai tantangan dan harus dikuasai (Bandura dalam Zimmerman, 2014; Arnold and Boggs, 2016). Hal ini mempunyai arti bahwa jika self efficacy seseorang tinggi maka dia akan menjadi orang tangguh dan tidak mudah menyerah. Jika self efficacy rendah maka akan cenderung menghindari tugas dan menyerahkan tugas yang berat kepada orang lain. Karena pentingnya self efficacy, maka perlu intervensi untuk meningkatkannya. Intervensi self efficacy secara efektif dapat membantu meningkatkan koping remaja, sehingga mereka lebih adaptif dan mempunyai semangat juang untuk berkompetisi (Brown, Malouff, & Schutte, 2013). Hasil penelitian Efendi (2013) didapatkan bahwa motivasi, kompetensi, niat, disiplin dan tanggung jawab adalah faktor yang mempengaruhi self efficacy. Penelitian lain



59



menemukan bahwa semakin tinggi keyakinan self-efficacy yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi pula motivasi berprestasi yang dimiliki oleh siswa tersebut dan begitu pula sebaliknya (Novanda, Kurniati, & Rizmahardian, 2018).



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota



Blitar, didapatkan bahwa self efficacy remaja LPKA cenderung kurang baik jika dibandingkan dengan remaja siswa. Self efficacy dengan indikator kurang baik 43,3% terjadi pada remaja LPKA dan 31,5% terjadi pada remaja siswa. 3. Religi dan Religiusitas Thaha & Rustan (2017) menjelaskan bahwa agama (religi) adalah fitrah dan penting bagi kehidupan manusia. Agama adalah sumber nilai, petunjuk, dan pedoman yang digunakan oleh manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehingga terbentuk motivasi, tujuan hidup dan perilaku manusia yang lebih baik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap seseorang sangat erat kaitannya dengan religiusitas. Orientasi religius merupakan cara pandang individu mengenai agamanya dan bagaimana menggunakan agama atau keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat religiusitas akan menyelaraskan kehidupan dengan aturan agamanya sehingga individu patuh dan berfikir positif bahwa segala yang telah ditetapkan oleh Allah harus dilaksanakan (Thaha & Rustan, 2017).



60



Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religi (agama) adalah faktor yang penting dan tidak ada keraguan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan anak. Penanaman nilai-nilai religi sejak dini dalam keluarga adalah hal yang penting dan dapat mempengaruhi perkembangan religi anak pada masa yang akan datang. Inkonsistensi dan tidak adanya dukungan kuat dalam menjalankan ibadah sesuai agama, akan berpotensi untuk terjadinya konflik pada diri remaja. Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa remaja LPKA cenderung mempunyai religi kurang baik jika dibandingkan dengan remaja siswa. Lebih lanjut diketahui bahwa hasil uji regresi logistic didapatkan bahwa religi berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya Juvenile delinquency dengan P-value = 0,000 pada α =0,05. Penanaman religi sejak dini adalah hal yang penting untuk mencegah gangguan perilaku (kenakalan) pada anak dan remaja. Faktor religi sebagai unit analisis yang diukur dalam penelitian adalah keyakinan beragama dan ketaatan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.



61



Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 3.3 Pembelajaran Agama sejak Dini



4. Kompetensi Akademik



Faktor individu selanjutnya yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency adalah kecerdasan. Kompetensi akademik adalah bagian dari kecerdasan. Kata kecerdasan berasal dari kata cerdas. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cerdas memiliki arti sempurna dalam perkembangan akal budi seseorang manusia dalam berfikir, mengerti, mempunyai pikiran yang tajam dan juga sempurna pertumbuhan tubuhnya. Kompetensi akademik atau kemampuan akademik dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam bidang akademik meliputi ilmu pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dinilai dalam pendidikan formal. Kemampuan akademis ini mengarah pada kemampuan kecerdasan atau IQ yang dimiliki. Prestasi belajar sebagai hasil dari capaian



62



pembelajaran yang diraih siswa di sekolah, diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka kuantitif yang diperoleh tes atau ujian baik ujian kognitif maupun praktik atau ketrampilan tanpa mengabaikan capaian sikap dan tata nilai.



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa kompetensi akademik remaja siswa mempunyai kecenderungan yang sama dengan remaja LPKA. Hal ini mempunyai makna bahwa remaja delinkuen juga mempunyai kemampuan akademik yang tidak jauh beda dengan remaja siswa, dan dapat diartikan mempunyai kecerdasan yang tidak jauh beda dengan remaja siswa. Namun demikian hal ini perlu pembuktian dalam penelitian ilmiah. Kecerdasan yang diukur dalam kompetensi akademik adalah hasil capaian belajar meliputi prestasi yang didapat, perolehan nilai, kejuaraan dibidang akademik yang didapatkan.



Penelitian Anjaswarni et al. (2019) juga menemukan bahwa secara keseluruhan berdasarkan hasil tabulasi silang terkait faktor individu ketahui kenakalan remaja cenderung terjadi pada individu dengan karakteristik yang kurang baik. Semakin kurang baik faktor individu remaja, maka semakin berpotensi terjadinya kenakalan.



3.2 Faktor Mekanisme Koping ahli.



Definisi mekanismen koping, banyak diberikan Mekanisme koping biasanya dikaitkan dengan



63



stress. Folkman & Lazarus, 1980 (dikutip oleh Baqutayan, 2015) mendefinisikan koping adalah upaya kognitif dan perilaku untuk menguasai, mengurangi, atau mentoleransi tuntutan terhadap stress. Koping akan mencari cara untuk



meringankan dampak masalah yang terjadi akibat stress. Lazarus dan Folkman menjelaskan ada dua jenis strategi koping yaitu strategi yang berfokus pada masalah (problemfocused coping) dan strategi yang berfokus pada emosi (emotion-focused) (Baqutayan, 2015). Lebih lanjut Lazarus dan Folkman menjelaskan bahwa problem-focused coping ditujukan untuk memecahkan masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stress. Sedangkan emotion-focused coping adalah strategi yang ditujukan untuk mengurangi atau mengelola tekanan emosional yang berkaitan dengannya situasi. Menurut Lazarus dan Folkman, problem focused coping antara lain koping konfrontatif (mempertanyakan), mencari dukungan sosial, merencanakan pemecahan masalah, dan mencari dukungan Sosial. Emotional focused coping antara lain kontrol diri, Mencari, membuat jarak (menjauh), penilaian positif, menerima tanggung Jawab, dan melarikan / menghindari (Baqutayan, 2015). Ahli lain menjelaskan mekanisme koping adalah usaha langsung dalam mengelola stress untuk mempertahankan diri supaya berperilaku adaptif. Mekanisme koping dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Mekanisme koping yang konstruktif terjadi jika individu yang cemas merasakan adanya tanda-tanda dalam dirinya, menerima respon tersebut



64



dan berusaha untuk menyelesaikan masalah. Koping yang destruktif terjadi jika individu yang mempunyai masalah tidak berusaha melakukan penyelesaian masalahnya dan hanya menghindar dari masalah tersebut (Stuart & Laraia, 2005).



Stuart & Laraia (2005) menjelaskan ada 3 tipe mekanisme koping yang digunakan individu dalam menghadapi masalah yaitu :



1. Problem-focused coping mechanisms : termasuk penyelesaian masalah dan usaha langsung misalnya melalui negosiasi, konfrontasi dan nasehat. 2. Cognitively-focused Coping Mechanisms : Seseorang berusaha mengontrol makna atau arti masalah dan menetralkannya, termasuk ‘positive comparison’, mengabaikan secara selektif, reward penggantian, devaluasi terhadap obyek.



3. Emotion-focused coping mechanisms : berorientasi pada emotional distress, termasuk penggunaan ‘ego defense mechanisms’ seperti : denial, supresi, atau proyeksi, dsb.



Arnold & Boggs, (2016) menjelaskan bahwa pola koping biasanya berkaitan dengan perilaku asertif. Perilaku dan komunikasi asertif penting dalam kehidupan sehari-hari dan sangat perlu dikembangkan untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Lebih lanjut Arnold & Boggs (2016) menjelaskan bahwa orang yang gagal asertif akan menunjukkan koping yang tidak adekuat dan menjadi faktor risiko Juvenile delinquency. Perilaku asertif mempunyai



65



hubungan kausatif dengan mekanisme koping individu. Perilaku asertif akan mempengaruhi mekanisme koping individu dan sebaliknya mekanisme koping individu akan mempengaruhi perilaku asertif seseorang.



Hampir sama dengan Folkman & Lazarus dan Carver dan Weintraub (dikutip oleh Baqutayan, 2015), dijelaskan bahwa disamping problem-focused coping dan Emotionfocused coping, dia menambahkan satu model lagi yang disebut coping disfungsional. Problem-focused coping meliputi koping aktif, perencanaan, pengendalian diri, mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental, dan penindasan aktivitas yang bersaing. Emotion-focused coping meliputi reinterpretasi dan pertumbuhan positif, agama, humor, penerimaan, dan mencari dukungan sosial untuk alasan emosional. Disfungsional coping, meliputi memfokuskan, melampiaskan emosi, penolakan, pelepasan perilaku, pelepasan mental, dan penggunaan alkohol / narkoba. Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa remaja delinkuen cenderung menggunakan koping disfungsional dan koping gabungan, sedangkan remaja siswa cenderung menggunakan koping berfokus pada masalah dan koping berfokus pada emosi.



Dalam penelitian tersebut, Anjaswarni et al. (2019) memasukkan mekanisme koping gabungan di samping tiga mekanisme koping yang merujuk pada pendapat Folkman & Lazarus dan Carver &Weintraub (dikutip oleh Baqutayan, 2015) yaitu strategi koping yang berfokus pada masalah



66



(problem-focused coping), strategi yang berfokus pada emosi (emotion-focused) dan koping yang disfungsi ( disfungsional coping). Memasukkan mekanisme koping gabungan ini dirasakan perlu karena tidak semua individu menggunakan satu mekanisme koping secara dominan. Koping gabungan digunakan jika responden cenderung kuat menggunakan 2 atau 3 jenis mekanisme koping.



3.3 Faktor Keluarga Keluarga adalah sistem pendukung yang penting bagi perkembangan remaja. Pola dukungan yang baik akan menghasilkan perkembangan yang baik bagi remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Sancahya & Susilawati (2014) bahwa perkembangan remaja berhubungan dengan keluarga di setiap aspeknya. Keluarga adalah lingkungan sosial pertama bagi remaja untuk berkembang. Rohmatun (2014) memperjelas bahwa pendidik pertama bagi anak adalah orang tua. Orang tua adalah guru pertama yang memberikan pendidikan pada anak, yang disampaikan melalui pengasuhan kepada anaknya.



Faktor ekologi keluarga yang berpengaruh terhadap terjadinya kenakalan remaja yang dijelaskan dalam bagian ini meliputi: status ekonomi keluarga, komunikasi dan relasi keluarga, fungsi keluarga, pengasuhan (pola asuh) dan kedekatan orang tua anak (bonding) (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011; Henggeler, Edwards & Borduin, 1987; Kim & Kim, 2008; Sriyanto et al, 2014).



67



1. Status ekonomi keluarga Yoshikawa dikutip Tremblay & Craig dalam Blanc (2015) dalam Model Cummulative Effect menjelaskan bahwa kemiskinan (proverty) dapat mempengaruhi pola asuh dan



ikatan orang tua-anak (bonding). Kemiskinan dalam keluarga mengakibatkan pola asuh buruk (poor parenting), dan pola asuh yang buruk mengakibatkan ikatan ibu-anak menjadi buruk (poor bonding). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ikatan orang tua – anak yang buruk mengakibatkan relasi teman sebaya dengan anak menjadi buruk, akhirnya terjadi perilaku menyimpang (kriminal) (Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015).



Sumber: Internet diakses 12 Oktober 2019



Gambar 3.4 Kemiskinan Sebagai Faktor Risiko Kenakalan Remaja



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa dalam status ekonomi keluarga tidak ada beda antara remaja siswa dengan remaja LPKA. Hal



68



ini mempunyai makna bahwa, kenakalan tidak ditentukan oleh faktor kemiskinan. Fenomena yang terjadi dewasa ini, kenakalan remaja, banyak juga terjadi pada keluarga kaya. 2. Komunikasi dan relasi keluarga (Anjaswarni, 2016) menjelaskan bahwa komunikasi



adalah bagian penting dalam kehidupan dan selalu menyatu dalam kehidupan. Artinya bahwa kehidupan akan sepi dan mati tanpa ada komunikasi. Individu setiap saat berkomunikasi dan menggunakannya dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Kata-kata yang diucapkan secara verbal adalah komunikasi, diam adalah komunikasi, tertawa adalah komunikasi, dan menangis adalah komunikasi. Komunikasi akan membuat kehidupan menjadi interaktif dan lebih dinamis.



Komunikasi Komunikasi adalah jembatan penghubung relasi antara orang tua dengan anak. Tanpa komunikasi yang baik dalam hubungan orang tua dengan anak, dapat mengakibatkan hubungan mereka menjadi buruk. Kondisi ini sangat tidak nyaman bagi anak dan akhirnya anak mencari komunikasi dan relasi yang menyenangkan di luar rumah. Komunikasi adalah aspek penting dalam hubungan antara orang tua dengan anak.



69







Sumber: Dokumen Pribadi



Gambar 3.5 Komunikasi Sebagai Jembatan Penghubung Orang Tua-Anak



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa bahwa komunikasi relasi remaja LPKA cenderung kurang baik jika dibandingkan remaja siswa. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga yang mempunyai komunikasi relasi tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya kenakalan remaja. Komunikasi relasi yang diukur dalam penelitian meliputi pola komunikasi yang diterapkan dalam keluarga dan harmonisasi hubungan ayah – ibu dengan anak. 3. Fungsi keluarga Tanner-Smith dkk (2013) (dalam Howell et al., 2014) menjelaskan bahwa faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency adalah keterampilan mengasuh anak dan kohesi keluarga. Terkait fungsi keluarga dijelaskan bahwa keluarga yang disfungsional adalah



70



keluarga yang tidak mampu berfungsi dengan baik dalam mengayomi anggotanya. Keluarga disfungsional ditunjukkan dengan adanya perilaku kekerasan pada anggota keluarga, hubungan orang tua anak yang buruk, pengawasan yang



buruk dan dukungan keluarga yang kurang. Situasi dan kondisi yag demikian akan berpotensi terjadinya perilaku menyimpang pada anak.



Sumber: internet diakses 13 Oktober 2018 Gambar 3.6 Fungsi Keluarga



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa fungsi keluarga remaja LPKA cenderung kurang baik jika dibandingkan remaja siswa. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga yang mempunyai fungsi yang tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya kenakalan remaja.



71



4. Pola Asuh (Pengasuhan) Parental Nurturance atau parenting dalam Bahasa Indonesia sering disebut sebagai pola asuh atau pengasuhan. Chapman (2012) menjelaskan bahwa pola asuh adalah pola yang menggambarkan interaksi antara anak dengan orangtua. Pola asuh berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis, serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.



Chapman (2012) membagi pola asuh anak terdiri dari empat gaya yang menggabungkan otoritas orang tua dengan pengasuhan, yaitu: a. Pola asuh berwibawa (otoritas tinggi dan pengasuhan tinggi)



b. Pola asuh otoriter (otoritas tinggi dan pengasuhan rendah); c. Pola asuh permisif (otoritas rendah dan pengasuhan tinggi) d. Pola asuh acuh tak acuh atau lalai (otoritas rendah dan pengasuhan rendah).



Beberapa tipe pola asuh yang umum dikenal adalah pola asuh demokratis, otoriter, permisif dan otoritatif. Pola asuh ini penting dalam rangka meningkatkan kompetensi anak dalam kehidupannya. Kenny, Blacker, & Allerton (2014) dalam studinya menjelaskan bahwa pola asuh yang efektif ditunjukkan sebagai kegiatan yang eksplisit seiring dengan pertumbuhan anak dan akan direspon dengan cepat oleh mereka saat



72



tumbuh kembangnya dari keterantungan total masa bayi menuju kemandirian di masa remaja. Kualitas perawatan dini dan ikatan emosional yang dibangun orang tua dengan anak, sangat penting untuk perkembangan pro-sosial yang sehat. Ikatan orang tua dan anak ini akan menopang kualitas keterikatan anak dengan orang tua, dan mempengaruhi semua tahap perkembangan sepanjang masa kanak-kanak sampai dengan remaja.



Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter akan menghasilkan self – efficacy anak yang kurang berkembang dengan optimal karena anak tidak mempunyai kesempatan berpendapat atau mengemukakan ide, gagasan dan pemikirannya. Otoriter juga menyebabkan inisitif anak hilang sehingga mereka menjadi pribadi yang pesimis dan mempunyai sikap yang tidak peduli terhadap sekitar (Rohmatun, 2014). Pendapat ini sejalan dengan Chapman (2012) dan Sari & Akmal, (2018) yang menjelaskan bahwa otoritas orang tua dan bonding akan berdampak pada kemampuan fungsional remaja. Segala bentuk interaksi antara orangtua dengan bayi atau anak akan menjadi suatu pengalaman bagi anak dan akan berkembang sebagai hubungan kelekatan yang dapat mempengaruhi self-efficacy, self-confidence, dan self-esteem yang semuanya penting untuk keberhasilan akademik anak. Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa pola asuh remaja LPKA cenderung kurang baik jika dibandingkan remaja siswa. Indikator pola



73



asuh kurang baik 45% untuk remaja LPKA dan 25,5% untuk remaja siswa. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga yang pola asuhnya tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya kenakalan remaja. 5. Kedekatan Orang Tua Anak (Bonding)



Parentang bonding atau disingkat bonding adalah



hubungan antara seseorang dengan orang yang lain sehingga terbentuk attachment (bonding attachment). Istilah Bonding attachment sering dikaitkan dengan ikatan kasih sayang antara bayi atau anak dengan orang tua. Bonding merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi bayi karena dengan bonding maka bayi belajar mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan dalam hubungan sosial. Dalam implementasinya, bonding dapat diwujudkan dalam bentuk kontak dini antara ibu dan bayi segera setelah bayi dilahirkan, sentuhan, kontak mata, suara, dan kehangatan serta pelukan di dada ibu (Chapman, 2012).



Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019 Gambar 3.7 Bonding Ibu - Bayi



74



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa bonding remaja siswa cenderung lebih baik daripada bonding remaja LPKA. Penelitian Anjaswarni et al. (2019) juga menemukan bahwa secara keseluruhan berdasarkan hasil tabulasi silang terkait faktor keluarga ketahui bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada keluarga yang kurang baik. Semakin tidak baik faktor keluarga, semakin berpotensi untuk terjadinya kenakalan remaja. 3.4 Faktor Lingkungan Sekolah Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011) menjelaskan bahwa ekologi sekolah adalah lingkungan sekolah yang mempengaruhi perilaku anak. Pola perilaku tersebut meliputi pola kedekatan pertemanan, hubungan guru murid, hubungan anak dengan sekolah dan kompetensi akademik. Dalam lingkungan sekolah, unsur penting yang perlu dimasukkan adalah kebijakan atau aturan sekolah. Hal ini penting karena penerapan kebijakan yang bersifat mengikat dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah remaja di sekolah, misalnya tidak setuju atau berontak dari aturan yang diterapkan.



Berdasarkan model Cummulative Effect Yoshikawa dikutip oleh Tremblay & Craig dalam Blanc (2015) terkait proses terjadinya juvenile delinquency dijelaskan bahwa gangguan biologikal mengakibatkan terjadinya defisit fungsi



75



kognitif. Defisit fungsi kognitif mengakibatkan terjadinya problem sekolah dan pada akhirnya terjadi perilaku kriminal pada anak (remaja). Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa remaja LPKA cenderung mempunyai kategori kurang baik pada semua indikator dalam faktor lingkungan sekolah yaitu kebijakan sekolah, pola kehadiran, hubungan guru murid, dan hubungan anak dengan sekolah untuk jika dibandingkan dengan remaja siswa.



Hasil analisis regresi logistik didapatkan pola kehadiran dan hubungan guru - murid berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya juvenile delinquency dengan P-value = 0,000 (pola kehadiran) dan P-value = 0,008 (hubungan guru – muid). Berdasarkan hasil analisis tabulasi silang, didapatkan bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada lingkungan sekolah yang kurang baik atau kurang kondusif bagi remaja. Semakin tidak baik lingkungan sekolah bagi remaja, maka semakin berpotensi untuk terjadinya kenakalan. sebaliknya semakin baik lingkungan sekolah semakin tidak berpotensi untuk terjadinya kenakalan (Anjaswarni et al., 2019).



3.5 Faktor Teman Sebaya Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011) menjelaskan bahwa ekologi teman sebaya adalah lingkungan teman sebaya yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak. Lebih terperinci Willis, (2017) menjelaskan bahwa pertemanan



76



sebaya biasanya dilakukan dalam bentuk kumpulan atau kelompok anak-anak remaja yang mempunyai pemahaman dan kebutuhan yang sama. Kelompok teman sebaya biasanya dikenal dengan istilah ‘gang’ remaja. Ada dua macam ‘gang’



remaja, yaitu ‘gang’ remaja di sekolah dan ‘gang’ remaja di luar sekolah Lebih lanjut Willis (2017) menjelaskan bahwa ‘gang’



remaja di sekolah adalah kumpulan remaja di sekolah terdiri dari 3 – 5 orang yang mempunyai kesamaan hobi, minat, kesetiakawanan sebagai sahabat dan mempunyai motivasi bersama dalam belajar. Kelompok gang’ remaja di sekolah ini melakukan aktivitasnya dengan ngobrol bersama terkait isu yang sedang tren, diskusi tentang hobi atau kesenangan, ‘cuhat’ masalah pribadi atau diskusi terkait mata pelajaran. Kelompok gang’ remaja di sekolah ini akan bermanfaat jika digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang diberikan guru. (Willis, 2017) selanjutnya menjelaskan bahwa ‘gang’ remaja di luar sekolah adalah kumpulan remaja yang tidak betah tinggal di rumah karena banyak masalah. Pertemuan remaja di luar rumah ini dilakukan karena kesamaan masalah ekonomi (kemiskinan atau kekayaan), kesamaan masalah orang tua, kurang perhatian karena kesibukan orang tua dalam pekerjaan, atau kesamaan dalam kebutuhan. Biasanya mereka berkumpul untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan psikologis. Pertemanan sebaya adalah faktor dominan yang menjadi faktor risiko terjadinya kenakalan remaja.



77



Pertemanan sebaya ini penting karena sangat menonjol dikalangan remaja. Remaja dalam proses tumbuh kembangnya, lebih nyaman bersama teman sebaya daripada dengan keluarga. Hal ini cukup beralasan karena dengan teman sebaya, mereka akan bebas berkomunikasi tanpa ada aturan etika yang membatasi. Mereka bebas cerita, tertawa, berdebat, berkumpul dan beraktivitas karena dalam level perkembangan yang sama. Yoshikawa (dikutip oleh Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015), hubungan pertemanan yang buruk dapat berakibat terjadinya masalah di sekolah yang akhirnya dapat terjadi perilaku kriminal pada anak. Pola pertemanan sebaya yang berisiko untuk terjadinya kenakalan remaja dapat diidentifikasi dari pola relasi sebaya, ada tidaknya paparan zat dalam lingkungan teman sebaya dan sikap peer.



Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa terpapar zat (NAPZA) remaja LPKA cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja siswa, namun demikian sebagian dari remaja siswa sudah terpapar zat dalam kategori cukup atau sedang (54,9%). Sikap peer berupa tuntutan toleransi dan mengikuti aturan peer cenderung tinggi pada remaja remaja LPKA dibandingkan remaja siswa. Selanjutnya Anjaswarni et al. (2019) menemukan bahwa terpapar zat dan sikap peer berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya juvenile delinquency.



78



Lebih lanjut Anjaswarni et al. (2019) menemukan bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada remaja yang melakukan pertemanan sebaya dengan sangat kuat (sangat solid). Semakin solid pertemanan sebaya, semakin



berpotensi untuk terjadinya kenakalan. Lebih lanjut didapatkan bahwa remaja delinkuen di LPKA, terpapar zat (NAPZA) lebih tinggi dibandingkan dengan remaja siswa di sekolah, namun demikian sebagian dari remaja siswa sudah terpapar zat dalam kategori cukup atau sedang (54,9).



3.6 Faktor Gaya Hidup (Life Style) Gaya hidup (Life style) merupakan pola perilaku yang sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan bagi individu.



Seorang psikolog Austria, Alfred Adler pada tahun 1929 mendefinisikan bahwa gaya hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah bergantung zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah gaya hidupnya (Emanuel, 2018). Gaya hidup bersifat relatif tergantung dari penilaian orang lain, ada gaya hidup baik dan gaya hidup buruk.



Dewasa ini, kehidupan di jaman modern berbeda dengan kehidupan masa lalu baik secara fisik maupun sosial. Perbedaan lingkungan pada masa lalu dan masa sekarang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis manusia. Berbagai perbedaan tersebut antara lain sarana transportasi, penggunaan mesin-mesin, perkembangan teknologi. Hal-hal tersebut akan menggantikan pola hidup yang alami menjadi pola hidup yang modern (Heath & Berman, 2008).



79



Hasil penelitian Ilardi, Karwoski, Lehman, Stites, dan Steidtmann, 2007 (dikutip oleh Heath & Berman, 2008), menyebutkan ada enam elemen gaya hidup yang mempengaruhi kesehatan mental yaitu tidur, nutrisi



omega-3, olahraga, renungan, sinar matahari, dan sosialisasi. Dijelaskan bahwa kesehatan mental dapat terganggu jika kebutuhan akan gaya hidup ini tidak tercukupi. Gaya hidup modern tidak lagi menyediakan enam kebutuhan gaya hidup tersebut dalam jumlah yang cukup. Gaya hidup baik antara lain pola aktivitas olah raga yang teratur, pola makan sehat, pola istirahat dan lain lain (Tomba, 2012; Emanuel, 2018). Gaya hidup baik akan berpengaruh terhadap kesehatan (Tomba, 2012). Gaya hidup buruk antara lain berbicara tidak sopan, makan sembarangan, minum-minuman keras, istirahat (tidur) yang buruk dan lain-lain (Emanuel, 2018). Terkait dengan pola istirahat tidur dijelaskan bahwa gangguan tidur atau pola tidur yang buruk akan menggangu stabilitas emosi, individu menjadi iritabel dan mudah marah (Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn, 2011). Gangguan emosi yang terjadi karena gangguan atau pola tidur yang tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya kekerasan.



Gaya hidup lain yang menjadi budaya bagi individu pada jaman modern ini adalah pemanfaatan waktu luang dan rekreasi. Kedua bentuk gaya hidup ini merupakan budaya baru di masyarakat yang dapat berhubungan dengan juvenile delinquency yang perlu pembuktian (Tekin, 2010). Pemanfaatan waktu luang dan budaya rekreasi yang kurang



80



tepat akan berdampak terhadap kesehatan.



Hasil penelitian yang dilakukan di Sekolah dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) menunjukkan bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada remaja dengan life style yang kurang baik. Pola tidur dan pemanfaatan waktu luang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya juvenile delinquency (Anjaswarni et al., 2019).



3.7 Faktor Teknologi Dewasa ini, teknologi merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia dan sudah menjadi gaya hidup yang sulit dipisahkan dari individu. Teknologi sudah menjadi kebutuhan masyarakat untuk berbagai kepentingan. Perkembangan teknologi terjadi sangat pesat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat di perkotaan maupun di pedesaan.



Dalam kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks, serta hasil perkembangan teknologi modern dan industri yang pesat, mengakibatkan perubahan kehidupan sosial manusia. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat serta fenomena masyarakat modern yang tidak terbendung, dapat berdampak positif maupun negative (DeLisi et al., 2012; Sriyanto et al., 2014). Dampak positif perkembangan teknologi adalah semakin cepatnya aksesibilitas informasi untuk berbagai kepentingan diberbagai sektor antara lain di bidang perekonomian, pendidikan, perdagangan, kesehatan dan



81



sebagainya. Dalam dunia kesehatan, teknologi sudah banyak digunakan untuk kepentingan manajemen, pemeriksaan kesehatan dan penyelesaian berbagai masalah kesehatan. Teknologi yang dikembangkan bermanfaat sebagai tool atau



alat kerja. Dampak negative dari pemanfaatan teknologi yang salah dan tak terkendali khususnya dalam penggunaan gadget adalah terjadinya penyimpangan perilaku misalnya pemarah, melakukan tindak kekerasan, dan lainnya sebagai akibat terjadinya adiksi.



Hasil penelitian Sriyanto at al. (2014) pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jawa Barat, menunjukkan bahwa media massa berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya juvenile delinquency. DeLisi et al. (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bermain video game kekerasan berkorelasi dengan terjadinya agresi pada remaja nakal yang dipenjarakan (juvenile delinquency).



Hasil penelitian Anjaswarni et al.(2019) yang dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Lembaga Pembinaan Anak Khusus (LPKA) menunjukkan bahwa kenakalan remja cenderung terjadi pada remaja yang sering menggunakan teknologi untuk hal yang tidak baik. Makin sering menggunakankan teknologi untuk hal yang tidak baik, makin berpotensi terjadi kenakalan. Lebih lanjut didapatkan bahwa remaja delinkuen lebih sering menggunakan teknologi untuk tontonan negative dan permainan video game. Kedua hal ini berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kenakalan remaja.



82



Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019 Gabar 3.8 Teknologi Telah Menguasai Anak - Remaja



83



84



BAB 4



PENCEGAHAN JUVENILE DELINQUENCY



Sumber: internet diakses 13 Oktober 2019 Gambar 4.1 Level Pencegahan



4.1 Teori Pencegahan Penanganan individu (remaja) juvenile delinquency berfokus pada intervensi pencegahan dan dilakukan secara komprehennsif dengan melibatkan berbagai disiplin praktik. Konsep pencegahan dalam pembahasan ini menggunakan



85



Model Sistem dari Betty Neuman yang mengintegrasikan teori model pencegahan yang dikembangkan oleh Caplan. Caplan (dikutip oleh Gail W. Stuart & Laraia, 2005) menjelaskan pomosi kesehatan mental (mental health promotion) dan pencegahan sakit mental (mental illness prevention) adalah bagian penting dari asuhan keperawatan psikiatri. Caplan menjelaskan ada tiga tingkat intervensi pencegahan (three levels of preventive intervention), yaitu pencegahan primer (primary prevention), pencegahan sekunder (secondary prevention) dan pencegahan tersier (tertiary prevention).



Model Sistem Neuman mengacu pada teori sistem secara umum yang berfokus pada klien sebagai suatu sistem, yaitu sebagai individu, keluarga, kelompok atau masyarakat dan respon klien terhadap stressor. Sistem klien terdiri dari lima variabel yaitu fisiologis, psikologis, sosial – budaya, tumbuh kembang, dan spiritualits yang merupakan satu bagian dari lingkaran konsentris. Stresor adalah stimulus yang menekan individu yang bersifat intrapersonal, interpersonal atau ekstrapersonal. Model Sistem Neuman mempunyai bagian penting yaitu teori stabilitas klien dan pencegahan sebagai suatu intervensi yang dilakukan secara mutidisiplin (Alligood, 2014). Teori pencegahan adalah pernyataan tentang hubungan kausal antara eksposur atau faktor risiko dan kejadian penyakit (pencegahan primer) dan perkembangan (pencegahan sekunder). Lebih fokus definisi teori pencegahan dalam perilaku kesehatan adalah sebagai pernyataan tentang hubungan kausal antara perilaku kesehatan dan kejadian



86



penyakit dan perkembangan (Shumaker, Ockene & Riekert, Sally et al., 2009).



Berdasarkan populasi sasaran, ada tiga tipe intervensi preventif, yaitu (1) universal, (2) selective dan (3) indicated. Universal adalah tipe intervensi preventif dengan target kelompok populasi umum tanpa mempertimbangkan faktor risiko. Selective adalah tipe intervensi preventif dengan target individu atau kelompok yang mempunyai risiko tinggi secara signifikan untuk terjadi gangguan. Indicated adalah tipe intervensi preventif dengan target individu berisiko tinggi yang mempunyai gejala mirip gangguan mental tertentu atau tanda-tanda biologis yang menunjukkan kecenderungan gangguan mental ( Stuart, 2013). Pencegahan



sebagai



suatu



intervensi



menurut



Neuman adalah tindakan yang bertujuan membantu klien mengatasi dan memelihara stabilitas sistem, yang dapat terjadi sebelum maupun sesudah garis pertahanan dan garis resistensi ditembus stresor. Neuman menyatakan bahwa intervensi awal dilakukan jika ada stresor yang mencurigakan atau dapat diidentifikasi sejak awal. Intervensi dilakukan berdasarkan tingkat kemungkinan atau aktual suatu reaksi (Alligood, 2014). Kegunaan pencegahan sebagai intervensi adalah untuk memperoleh stabilitas pada sistem klien secara maksimal, selanjutnya menggunakan proses keperawatan dengan menempatkan klien sebagai penerima asuhan keperawatan yang secara aktif berpartisipasi bersama perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (Alligood, 2014). Model Sistem Neuman seperti pada gambar 4.2.



87



Sumber: Alligood (2014)



Gambar 4.2 Model Sistem Neuman



1. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah pencegahan yang digunakan jika stresor telah dapat diduga atau diidentifikasi, reaksi belum terjadi tetapi tingkat risiko sudah diketahui (Neuman dikutip Alligood, 2014). Tujuan intervensi (1) menurunkan 74 faktor risiko atau angka kejadian penyakit atau masalah kesehatan, (2) mencegah penyakit atau kondisi kesehatan yang buruk melalui promosi kesehatan dan proteksi, (3) mengurangi kasus baru melalui identifikasi kelompok



88



berisiko, (4) memanfaatkan strategi koping untuk mengatasi stress atau menyelesaikan masalah, dan (5) menguatkan kemampuan atau daya tahan terhadap stres (Stuart & Laraia, 2005; Nursalam, 2015; Anderson & McFarlane, 2011).



Karakteristik pencegahan primer adalah promosi kesehatan untuk meningkatkan adaptasi melalui penggunaan sumber-sumber koping untuk menjaga kesehatan mental seseorang (Nursalam, 2015). Hal ini sesuai dengan pendapat yang menjelaskan bahwa upaya preventif sebagai intervensi dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan (Health Education). Intervensi preventif terkait pendidikan kesehatan dapat membantu individu khususnya remaja untuk mengendalikan kehidupan mereka dan memulai proses perubahan yang diatur sendiri dan dipandu oleh rasa ketahanan (sense of resiliency) dan keampuhan pribadi (personal atau self efficacy) (Gail W. Stuart & Laraia, 2005). 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah intervensi yang dilakukan setelah munculnya gejala akibat stres yang terjadi. Sumber daya internal dan eksternal klien digunakan untuk memperkuat garis pertahanan resistensi internal, mengurangi reaksi, dan meningkatkan faktor resistensi (Neuman dikutip oleh Alligood, 2014). Adapun tujuan pencegahan sekunder adalah: a. Menurunkan prevalensi dan jumlah kasus



b. Menurunkan perkembangan penyakit atau masalah



89



kesehatan



c. Mencegah komplikasi dan disabilitas d. Mencegah penyebaran penyakit.



Berdasarkan tujuan tersebut maka para ahli menyimpulkan bahwa komponen penting dalam pencegahan sekunder adalah temuan kasus dini (early case finding), screening, diagnosis dan treatment yang tepat sesuai kasus atau masalah (Stuart & Laraia, 2005; Nursalam, 2015; Anderson & McFarlane, 2011). Terkait dengan kenakalan remaja, maka temuan kasus dini (deteksi dini) dan screening penting dilakukan pada kelompok remaja yang sudah atau sering terpapar oleh faktor risiko. Hal ini penting dilakukan agar segera dapat dilakukan pembatasan paparan faktor risiko kenakalan remaja melalui edukasi dan promosi kesehatan untuk menurunkan prevalensi dan jumlah kasus. JIka paparan faktor sudah tinggi tetapi belum terjadi masalah perilaku pada remaja, maka perlu dilakukan konseling pribadi, meningkatkan ketahanan diri, pengobatan yang diperlukan atau konsultasi untuk penyelesaian masalah. 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah intervensi yang dilakukan setelah tindakan aktif atau setelah tindakan tahap pencegahan sekunder. Tindakan pencegahan tersier akan



mengarahkan klien kembali pada siklus pencegahan primer. Tujuan intervensi tersier menurut Neuman dikutip oleh Alligood (2014); Nursalam (2015); Shumaker, Ockene &



90



Riekert (2009); Anderson & McFarlane (2011) adalah:



a. Mempertahankan keadaan optimal dengan mencegah reaksi berulang. b. Mencegah komplikasi.



c. Menurunkan atau mengurangi ketidakmampuan atau disabilitas sebagai dampak dari masalah kesehatan d. Mencegah komplikasi melalui program rehabilitasi



Berdasarkan tujuan dalam pencegahan tersier, dapat dijelaskan bahwa bentuk intervensi yang penting dilakukan adalah melakukan treatmen secara intensif untuk mencegah masalah semakin lebih berat dan komplikasi, serta mengembalikan kemampuan fungsional individu melalui program rehabilitasi. Hal ini bisa dilakukan melalui program rujukan dan penanganan oleh ahli yang bekerjasama secara interprofesional. Misal: remaja yang terpapar drug / zat dan sudah mulai kecanduan, maka harus dilakukan penanganan melalui program rujukan di rumah sakit. Untuk mengatasi masalah fisik karena intoksikasi zat, maka perlu program penghilang racun yang dilakukan oleh tim medis. Untuk meningkatkan fungsi sosial, kemampuan kemandirian dan meningkatkan kemampuan koping, diperlukan edukasi dan pembelajaran oleh tim keperawatan. Untuk membantu penyelesaian masalah psikologis perlu konseling individu oleh psikolog atau psikiater. Mendatangkan ahli agama sangat diperlukan untuk memulihkan kembali religiusitas dan spiritualitas dalam beragama dan beribadah.



91



4.2 Upaya Pencegahan Juvenile Delinquency Berdasarkan model konsep pencegahan Model Sistem dari Betty Neuman yang mengintegrasikan teori model pencegahan yang dikembangkan oleh Caplan, dapat dijelaskan bahwa pencegahan sebagai suatu intervensi dilakukan berdasarkan 3 level pencegahan yaitu pencegahan primer terkait upaya promosi dan prevensi, pencegahan sekunder terkait temuan dini dan penangan kasus, serta pencegahan tersier terkait penangannan kasus untuk mencegah masalah lebih berat melalui program rehabilitasi. Berikut ini upaya yang penting dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja. 1. Promosi dan Edukasi Kesehatan (Health Promotion and Education)



World Health Organization (WHO) mendefiniskan bahwa promosi kesehatan adalah adalah suatu proses membantu seseorang agar mampu meningkatkan kontrol diri dan memperbaiki kesehatan mereka. Pendapat lain menjelaskan bahwa promosi kesehatan adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya baik fisik, psikologis (mental) dan sosial.



Stuart (2013) menjelaskan bahwa strategi promosi dan pendidikan kesehatan dalam pencegahan primer dilakukan dengan cara memberikan penguatan kompetensi individu dan kelompok. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa respon maladaptif adalah hasil dari kurangnya kompetensi individu, kurangnya



92



kontrol diri, dan harga diri rendah. Willis (2017) menjelaskan, termasuk dalam program edukasi adalah pendidikan agama. Hal ini penting karena agama adalah pedoman hidup yang membimbing perilaku setiap individu dan memberikan arah dalam kehidupan.



Pendidikan kesehatan terkait membangun kompetensi atau meningkatkan self efficacy ada empat aspek, yaitu: a. Meningkatkan kesadaran diri akan kejadian yang dialami terkait sehat dan sakit.



b. Meningkatkan pemahaman terkait stressor potensial, kemungkinan akibat yang terjadi baik adaptif maupun adaptif, dan meningkatkan penggunaan koping alternatif. c. Meningkatkan pengetahuan terkait sumber-sumber yang diperlukan.



d. Meningkatkan kemampuan aktual individu / kelompok, antara lain meningkatkan atau memaksimalkan ketrampilan koping seperti: penyelesaian masalah, ketrampilan komunikasi, toleransi terhadap stress, motivasi, pengharapan, managemen marah dan harga diri.



2. Pemeriksaan Kesehatan fisik dan Jiwa Remaja



Pemeriksaan kesehatan jiwa remaja secara rutin perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan primer. Upaya ini dilakukan melalui program kerjasama pihak sekolah, baik melalui Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) atau Program Bimbingan Konseling (BK). Stuart (2013),



93



data yang penting dikumpulkan dalam pemeriksaan kesehatan remaja adalah sebagai berikut: a. Penampilan umum



b. Pertumbuhan dan perkembangan remaja



c. Status biofisikal (penyakit, kecelakaan, disabilitas)



d. Status emosi (interaksi, afek, dan status mental termasuk mood dan temuan gangguan berpikir, iden bunuh diri atau ide pembunuhan. e. Latar belakang kultur, religi, dan sosial ekonomi



f. Penampilan aktivitas sehari-hari di rumah atau sekolah. g. Pola koping



h. Pola interaksi dengan keluarga, peer, atau masyarakat i. Perilaku seksual



j. Penggunaan drug, alkohol atau zat adiktif lainnya.



k. Persepsi remaja dan kepuasannya terhadap kesehatannya (masalah dan keluhan kesehatan) l. Tujuan kesehatan jangka pendek dan panjang



m. Kemampuan menggunakan sumber-sumber: teman, sekolah dan komunitas.



3. Deteksi Dini Potensi Kenakalan Remaja



Menurut KBBI, deteksi dini adalah usaha untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan atau kerusakan atau gangguan perkembangan mental atau perilaku



94



anak. Deteksi dini terkait potensi kenakalan remaja ini perlu dilakukan dengan menggunakan alat atau tool yang spesifik. Deteksi dini kenakalan remaja sebagai upaya pencegahan sekunder dan tool aplikasi yang digunakan akan di bahas secara khusus di Bab 6.



4. Konseling Remaja



Konseling adalah proses memberikan bantuan yang dilakukan seorang ahli (konselor atau pembimbing) kepada individu yang mengalami masalah (konseli) untuk mengatasi masalah. Bimbingan dan konseling (BK) adalah proses interaksi antara konselor dengan konseli, dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu konseli agar dapat mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalahnya. Konseling bisa dilakukan secara individu (konseling individu) atau bersama kelompok (konseling kelompok). Konseling individu dilakukan untuk membantu konseli dalam mengatasi masalah yang bersifat pribadi. Konseling kelompok adalah konseling dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan individu atau upaya bimbingan atau konseling individu yang dilakukan melalui suasana kelompok.



5. Pembinaan



Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan agar memperoleh hasil dengan lebih baik (berdaya guna dan berhasil guna). Permbinaan juga diartikan sebagai perbaikan terhadap pola kehidupan yang direncanakan. Untuk masalah anak-remaja



95



dengan kenakalan, yang dimaksud pembinaan adalah usaha membina pribadi anak – remaja sesuai tumbuh kembangnya agar mampu mandiri dan kompeten, serta penuh tanggung jawab.



Anak-remaja delinkuen, akan berperilaku yang selalu menantang atau melawan dan kurang bertanggung jawab. Pembinaan pada anak-remaja delinkuen dilakukan agar



mereka mempunyai perbaikan kehidupan melalui tujuan yang direncanakan, kompeten, mandiri dan bertanggung jawab atas perilakunya.



6. Konsultasi



Konsultasi menurut KBBI adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan saran, nasihat, atau masukan yang sebaik-baiknya. Berkonsultasi adalah meminta pertimbangan untuk membuat keputusan atau meminta nasihat terkait masalah kesehatan, pendidikan, perilaku dan sebagainya.



Berdasarkan pengertian tersebut diketahu bahwa konsultasi ini bersifat aktif dari individu yang mempunyai masalah atau individu yang menginginkan saran atau masukan buat dirinya. Pada anak-remaja yang delinkuen upaya ini kurang tepat karena biasanya mereka bersikap cuek terhadap apa yang terjadi pada dirinya.



7. Program Rujukan



Program rujukan adalah proses memberikan pelayanan kepada individu dengan kualitas yang lebih baik. Program rujukan biasanya dilakukan untuk penanganan



96



yang memerlukan bantuan ahli atau fasilitas yang lebih memadai. Pada masalah juvenile delinquency, program rujukan pelayanan kesehatan dilakukan pada kasus remaja pengguna narkoba atau zat adiktif lain yang



sudah kecanduan atau mengalami intoksikasi, anakremaja yang mengalami game adiksi, agresif, marah tidak terkontrol dan perilaku lain yang berbahaya bagi diri dan orang lain. Program rujukan ini dilakukan sebagai upaya pencegahan sekunder dan tersier agar anak-remaja tidak mengalami masalah yang lebih berat.



4.3 Interprofesional Penanganan Anak-remaja Delinkuen Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pencegahan dan penanganan kenakalan remaja harus dilakukan secara serius dengan melibatkan multidisplin ilmu secara terintegrasi. Masing-masing praktisi berkerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya dan secara bersama-sama membantu individu mengatasi masalah yang dialaminya. Berikut ini para professional yang diharapkan dapat terlibat dalam pencegahan dan penangan kenakalan remaja. 1. Praktisi Pendidikan (Guru Bimbingan Konseling dan Konselor Sekolah): Meliputi guru Bimbingan Konseling (BK) atau konselor yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan membantu pencapaian kompetensi anak-remaja



97



di sekolah. Guru BK juga berperan dalam membantu mengatasi kesulitan belajar, mengatasi masalah siswa, atau hal lain yang diperlukan.



2. Praktisi Kesehatan (Perawat, Psikolog, Dokter Jiwa):



Adalah seseorang yang karena keahliannya mempunyai kewenangan memberikan pelayanan dibidang kesehatan meliputi pelayanan keperawatan (oleh perawat), pelayanan medis (oleh dokter), dan pelayanan psikologi (oleh psikolog)



3. Ahli Agama:



Adalah orang yang mendalami ilmu agama dan kompeten dalam memberikan nasihat nasihat terkait agama, keimanan dan keyakinan. Ahli agama dalam kesehariannya dikenal sebagai ulama, ustadz atau kyai.



4. Pekerja Sosial:



Adalah seseorang yang mempunyai keahlian tertentu dan berwenang untuk melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan individu dalam melaksanakan fungsi sosialnya, misalnya berkomunikasi dan membuat relasi dengan sekitarnya.



98



BAB 5



STRATEGI PENANGANAN MASALAH ANAK BERFOKUS PADA ANAK DAN DI BERBAGAI SETTING Telah dijelaskan tidak semua anak berhasil dalam menyelesaikan tugas perkembangannya. Penanganan anak - remaja bermasalah adalah kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat. Dasar hukum sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menangani anak bermasalah adalah Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pasal 16 ayat 1 dan 2 Pasal 16 ayat 1



“Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya”.



99



Pasal 16 ayat 2



“Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim”.



Undang-Undang tersebut dengan jelas menyebutkan tentang komitmen pemerintah dalam memberikan kesejahteraan pada anak melalui berbagai upaya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal untuk menjadi penerus bangsa. Dasar kebijakan lain sebagai komitmen pemerintah adalah Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, Pasal 28 ayat 2. PMK tersebut menjelaskan bahwa Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja dilakukan dengan tujuan agar mereka mempunyai keterampilan sosial yang baik sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara optimal yang akhirnya dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Lebih lanjut pasal 28 menjelaskan bahwa Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja dilakukan melalui usaha kesehatan sekolah (UKS) dan pelayanan kesehatan peduli Remaja (PKPR) yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan guru pembina usaha kesehatan sekolah, guru bimbingan dan konseling, kader kesehatan sekolah dan konselor sebaya.



Pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa Usaha Kesehatan Sekolah dilaksanakan melalui koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor. Pasal 30 ayat 1 dijelaskan bahwa



100



Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan melalui pelayanan konseling, pelayanan klinis medis, pelayanan rujukan, pemberian komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan Remaja, partisipasi Remaja, dan keterampilan sosial. Pelayanan kepada remaja tersebut dapat dilakukan di dalam atau di luar gedung untuk perorangan atau kelompok.



Berdasarkan Teori yang telah dijelaskan terkait faktor penyebab, intervensi pencegahan dan dasar hukum tersebut, maka perlu dikembangkan strategi yang penting dalam penanganan anak – remaja bermasalah (juvenile delinquency). Strategi penanganan maasalah anak-remaja berfokus pada diri anak – remaja tersebut sebagai individu dan lingkungan yang memberikan pengaruh kepada dirinya.



Strategi Komprehensif sebagai pendekatan praktis untuk menurunkan gangguan perilaku remaja yang serius, kekerasan dan kronis dikemukakan oleh (Wilson & Howell, 1993, 1994 dikutip oleh Howell, Lipsey, Wilson, & Howell, 2014). Strategi pada tingkat pertama dilakukan untuk pencegahan perkembangan kenakalan remaja dan program intervensi dini, agar remaja berisiko tidak masuk dalam sistem peradilan anak-anak. Dalam kerangka Strategi Komprehensif, komponen pengawasan dan kontrol dengan tujuan untuk keselamatan publik dengan perkembangan sosial individu (Howell, Lipsey, Wilson, & Howell, 2014). Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa intervensi dan pencegahan juvenile delinquency berfokus pada remaja sebagai klien, yang dilakukan pada lapisan



101



sistem mikro (microsystem) dan meso (mesosystem). Secara mikro intervensi diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi melalui konseling individu untuk melakukan koreksi terhadap self efficacy, religi, soft skill dan life skill.



Secara meso intervensi diarahkan untuk menyelesaikan masalah dan memperbaiki hubungan anak di keluarga dan sekolah melalui konseling dan konsultasi dengan sekolah dan keluarga. Hal ini sesuai dengan komponen intervensi dalam model JCAP bahwa strategi yang digunakan untuk intervensi anak remaja juvenile delinquency meliputi beberapa strategi yaitu: konseling individu, konseling kelompok, dan konsultasi dengan sekolah dan keluarga sebagai pendekatan yang holistik terhadap remaja (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).



5.1 Fokus pada Individu Anak-Remaja 1. Meningkatkan kesadaran diri (Awareness) sebagai individu yang berarti



2. Meningkatkan Tingkat Religiusitas



3. Meningkatkan Kemampuan penyelesaian masalah 4. Meningkatkan self efficacy 5. Meningkatkan Life skills



6. Meningkatkan kompetensi akademik



7. Pengendalian diri terhadap gaya hidup



8. Pengendalian dan Bijak dalam Memanfaatkan Teknologi



102



5.2 Setting Lingkungan Keluarga 1. Meningkatkan komunikasi dan relasi 2. Meningkatkan fungsi keluarga



3. Meningkatkan Pola asuh dan Bonding



5.3 Setting Lingkungan Teman Sebaya 1. Bijak dalam memilih teman sebaya 2. Bimbingan Kelompok Sebaya



5.4 Setting Lingkungan Sekolah 1. Kebijakan Pembelajaran dengan Enjoy Learning 2. Perbaikan hubungan Guru Murid



3. Perbaikan hubungan anak dengan sekolah



103



104



BAB 6



DETEKSI DINI KENAKALAN REMAJA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN



Sumber: Internet diakses 13 Oktober2019



Gambar 6.1 Kendalikan Perilaku Kenakalan Remaja dengan Deteksi Dini



6.1 Pengertian Deteksi Dini Kenakalan Remaja Deteksi dini atau early detection terdiri dari 2 kata, yaitu deteksi dan dini. Deteksi menurut KBBI adalah usaha



105



untuk menemukan dan menentukan keberadaan, anggapan atau kenyataan. Mendeteksi artinya adalah melacak atau menemukan sesuatu. Dini artinya adalah awal atau lebih awal atau secepatnya.



Berdasarkan dua kata tersebut maka deteksi dini adalah usaha untuk menemukan, mengetahui, mendeteksi ada atau tidaknya kelainan atau gangguan perkembangan mental atau perilaku anak secara dini. Deteksi dini terkait potensi kenakalan remaja pada bab ini adalah deteksi yang dilakukan untuk mendetek atau menemukan ada atau tidaknya potensi kenakalan pada remaja dengan menggunakan tool aplikasi berbasis web. Tool aplikasi berbasis web ini dikembangkan secara spesifik berdasarkan faktor risiko yang secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kenakalan remaja (juvenile delinquency). Tool aplikasi yang digunakan untuk deteksi dini adalah bernama “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score” atau “Tri Health Milenial Score” secara terperinci diuraikan pada 6.3. Pelaksanaan deteksi dini perilaku juvenile delinquency ini penting untuk mengetahui sedini mungkin potensi kenakalan pada remaja. Semakin dini ketahui adanya potensi kenakalan, semakin cepat dilakukan upaya-upaya untuk mencegah semakin beratnya masalah perilaku nakal pada anak-remaja.



106



6.2 Peran Teknologi dalam Bidang Kesehatan Dewasa ini peran teknologi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Pemanfaatan teknologi semakin cepat dan luas dalam berbagai bidang dan dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan. Dalam bidang kesehatan, teknologi banyak digunakan untuk kepentingan manajemen dan berbagai informasi kesehatan. Pemanfaatan teknologi juga banyak digunakan untuk berbagai pemeriksaan dan penyelesaian berbagai masalah kesehatan dimana teknologi dikembangkan sebagai tool atau alat kerja. Hal ini sesuai pendapat Maftuhah, Suryanto & Esti (2009), bahwa perkembangan teknologi informasi (TI) dapat menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan manusia dalam berbagai bidang kehidupan yang harus dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan teknologi pengembangan tool perangkat lunak untuk deteksi dini kecenderungan gangguan kesehatan masyarakat tertinggal dan daerah pesisir, dilakukan oleh



Ilham (2015). Tujuan penelitian adalah menghasilkan model perangkat lunak yang mampu mendeteksi dini kecenderungan risiko penyakit masyarakat desa tertinggal dan pesisir yang memiliki pola hidup tidak sehat dalam bentuk konstruksi struktur dan menghasilkan probibilitas nilai kecenderungan penyakit yang ditimbulkan. Walaupun demikian model struktur ini belum pernah diaplikasikan secara langsung di lapangan. Teknologi Informasi (TI) adalah istilah umum terkait teknologi yang dimanfaatkan manusia untuk membantu



107



mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan / atau menyebarluaskan informasi (Maftuhah, Suryanto, Esti, 2009). Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam bidang kesehatan penting karena berperan besar dalam meningkatkan layanan kesehatan dengan cepat, tepat dan akurat. Akselerasi penggunaan TIK dalam dunia kesehatan semakin meningkat dan mudah dengan adanya partisipasi Google Inc yang mulai menyediakan layanan Medical Record Service.



Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Maftuhah et al., 2009).



Berdasarkan definisi di atas maka informasi elektronik bukan hanya sekedar tulisan atau simbol yang di upload melalui media elektronik tetapi lebih kepada bagaimana informasi yang disampaikan dapat dipahami dan bermanfaat buat orang lain.



Djalil, S.A., (2005) menjelaskan, secara umum peranan teknologi dalam bidang kesehaan adalah: mengumpulkan informasi, menyiapkan informasi, menyimpan dan memproses informasi untuk dipublikasikan, menganalisis dan mengumumkan informasi dan menyebarkan informasi.



108



Secara khusus peranan teknologi dalam bidang kesehatan adalah: 1. Sebagai pusat informasi kesehatan yang menyimpan data base kesehatan.



2. Sebagai penyedia informasi yang handal dan dapat memberikan informasi tentang status kesehatan masyarakat



3. Sebagai sarana untuk melakukan analisis kesehatan yang bersumber dari masyarakat atau dari semua unit-unit kesehatan. 4. Sarana komunikasi pusat dan daerah untuk melakukan komando dalam menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.



5. Sebagai sarana untuk memantau dan mengendalikan masalah kesehatan melalui sistem monitoring yang akurat dan dapat dipercaya.



6. Sebagai sarana untuk identifikasi masalah kesehatan dan konsultan bagi masyarakat, baik secara online (web) maupun off line.



Lebih lanjut Djalil, S.A., (2005) menjelaskan tujuan penggunaan teknologi dalam bidang kesehatan adalah:



1. Meningkatkan kapasitas layanan informasi dan pemberdayaan potensi masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat berbasis informasi.



2. Mempercepat informasi dari masyarakat ke pemangku kepentingan dan dari pemangku kepentingan kepada



109



masyarakat.



3. Mempercepat masyarakat



akses



layanan



kesehatan



kepada



4. Mendorong peningkatan aplikasi layanan publik dan



industri aplikasi untuk meningkatkan layanan melalui industrasi aplikasi.



Berdasarkan uraian tentang peran teknologi dan tujuan penggunaan teknologi di bidang kesehatan, maka sangat penting mengembangkan tool baru berupa aplikasi berbasis web untuk melakukan deteksi dini dan diagnosa juvenile delinquency. Hal ini sebagai tindak lanjut dari pengembangan indeks prediktor perilaku juvenile delinquency. Setelah melakukan deteksi, tool akan mengarahkan rencana intervensi yang harus dilakukan. Tool yang dikembangkan ini memanfaatkan teknologi dalam bentuk software aplikasi yang dapat digunakan remaja secara mandiri dalam rangka menunjang program kesehatan jiwa remaja di fasilitas kesehatan maupun sekolah melalui program bimbingan konseling (BK).



6.3 Pengembangan Tool Aplikasi Tool aplikasi yang digunakan untuk deteksi dini potensi atau risiko kenakalan remaja (juvenile delinquency), dikembangkan berdasarkan empat faktor risiko yang secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya Juvenile delinquency (Anjaswarni et al., 2019). Empat faktor ini diperoleh setelah bersama-sama dilakukan



110



analisis terhadap tujuh faktor risiko yang berpotensi terhadap terjadinya Juvenile delinquency, yaitu faktor individu, mekanisme koping, faktor keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah, life style dan teknologi (Anjaswarni et al.,2019).



Hasil analisis menunjukkan bahwa dari tujuh faktor risiko terjadinya juvenile delinquency, terdapat empat faktor risiko yang berpengaruh secara signifikan secara berturutturut yaitu faktor teknologi, keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Keempat faktor merupakan faktor risiko yang secara bersama-sama menentukan terjadinya juvenile delinquency sebesar 80% sedangkan 20% dipengaruhi oleh faktor lain (Anjaswarni et al.,2019). Sebelum dilakukan pengembangan tool aplikasi,



dilakukan Foccus Group Discussion (FGD) dengan guruguru BK untuk mengklarifikasi hasil temuan penelitian berdasarkan pengalaman mereka dalam menangani anak bermasalah di sekolah. Hasil FGD dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Faktor Teknologi



Faktor teknologi saat ini adalah faktor yang paling dominan sebagai penyebab masalah kenakalan pada anak - remaja. Pemanfaatan teknologi yang salah dan tidak bijak berpotensi terjadinya kenakalan remaja. Saat ini remaja lebih senang menggunakan gadget untuk chating berjam jam dan sulit dikendalikan. Gadget juga banyak digunakan untuk bermain game on line, atau game kekerasan dan balap liar. Pemanfaatan teknologi untuk tontonan yang berpeluang



111



untuk terjadinya kenakan remaja antara lain untuk menonton adegan kekerasan dan melihat gambar atau adegan porno (Anjaswarni et al.,2019). Remaja bermasalah di sekolah banyak berkaitan dengan penggunaan gadget yang tidak terkendali. Penggunaan gadget oleh remaja, saat ini sudah sulit dikendalikan dan bahkan sampai pada taraf kecanduan. Kondisi ini hampir terjadi pada semua kelompok usia. Hal ini dapat berdampak luas bagi individu dan masyarakat, tidak hanya berdampak terhadap kesehatan fisik tetapi juga berdampak terhadap psikologi, sosial dan spiritual. Faktor teknologi ini perlu dikendalikan penggunaannya melalui pengawasan orang tua bersama guru dan kontrol diri remaja untuk menggunakan teknologi secara bijak (Anjaswarni et al.,2019). 2. Faktor teman Sebaya Faktor teman sebaya adalah faktor kedua yang saat ini menjadi faktor risiko kenakalan remaja. Hal ini cukup beralasan karena pada usia remaja, mereka akan merasa lebih nyaman dan senang dengan teman sebayanya daripada dengan keluarga. Ikatan pertemanan yang kuat atau tinggi (solidaritas yang tinggi) berpotensi kuat terjadinya kenakalan remaja. Soliditas yang kuat membuat para remaja selalu membela kelompoknya untuk menunjukkan kekompakan dan dukungannya. Pertemanan sebaya di sekolah, di rumah dan lingkungan remaja perlu mendapatkan perhatian guru dan orang tua karena salah dalam memilih teman dapat berdampak buruk bagi remaja (Anjaswarni et al.,2019).



112



3. Faktor keluarga Faktor keluarga sebagai tempat belajar pertama bagi anak, juga berperan penting sebagai penyebab kenakalan anak. Keluarga adalah faktor risiko yang berperan dalam terjadinya kenakalan remaja, tetapi saat ini factor yang lebih berperan adalah teman sebaya disamping pemanfaatan teknologi yang salah. Seyogyanya orang tua menjadi contoh peran yang baik bagi anaknya, mempunyai ikatan dan komunikasi yang baik. Penyebab anak bermasalah (kenakalan) adalah karena kurangnya perhatian orang tua dan tidak adanya contoh yang baik dari orang tua, contohnya anak merokok karena sering melihat orang dekat (ayah) yang merokok (Anjaswarni et al.,2019). 4. Faktor lingkungan sekolah Faktor lingkungan sekolah juga perlu ditingkatkan kondusifitasnya untuk anak belajar, karena inkonsistensi kebijakan sekolah akan menjadi peluang bagi remaja untuk berbuat nakal. Aturan sekolah yang ketat dan mengeluarkan siswa dari kelas sebagai sanksi akan berpeluang bagi mereka untuk bertemu teman sebayanya. Implementasi kurikulum dan jadwal belajar yang padat juga menjadi peluang remaja untuk menjadi nakal. Remaja akan banyak membuat alasan, misalnya mengerjakan tugas-tugas hingga larut malam, diskusi kelompok bersama teman dan sebagainya jika mereka terlambat masuk sekolah karena terlambat bangun tidur (Anjaswarni et al.,2019).



113



Setelah melakukan FGD dengan guru BK, hasil tersebut didiskusikan kembali dengan tim pakar. Adapun hasil diskusi pakar sebagai berikut: 1. Faktor Teknologi



Saat ini kasus anak bermasalah akibat penggunaan HP meningkat terjadi pada anak mulai usia 7 tahun. Anak menolak sekolah karena mengalami game adiksi yang jumlahnya meningkat dan berakibat gangguan konsentrasi, prestasi belajar menurun, dan dalam kondisi berat anak mengalami gangguan mental (perilaku tantrum / menyerang). Abused banyak disebabkan oleh penggunaan teknologi yang salah. Anak yang terpapar gadget terus menerus akan mengakibatkan penurunan komunikasi dan interaksi. Anak akan terisolasi dan tersisih dari pergaulan nyata. Faktor teknologi adalah prioritas pertama sebagai penyebab kenakalan anak / remaja, menggeser faktor keluarga (Anjaswarni et al.,2019). 2. Faktor Teman Sebaya



Tontonan dan game online bersama sebaya dapat membentuk karakter yang kuat pada anak misal karakter penyerang, pemarah, dsb. Pertemanan sebaya perlu pengawasan orang tua karena kenakalan remaja sering bersumber dari pertemanan yang terlalu solid. Orang tua harus bisa menjadi sahabat remaja. Faktor teman sebaya adalah prioritas kedua penyebab kenakalan anak / remaja setelah faktor teknologi karena pertemenan yang solid di luar rumah adalah akibat pola hubungan dalam keluarga yang tidak baik (Anjaswarni et al.,2019).



114



3. Faktor Keluarga Telah terjadi perubahan pola asuh orang tua, dengan gadget sebagai media. Orang tua menggunakan fasilitas HP sebagai sarana interaksi dan bermain anak. Hal ini bertujuan agar mereka tenang dan anak tidak keluar rumah. Penelantaran anak sering terjadi pada keluarga dengan komunikasi dan interaksi yang tidak baik. Faktor keluarga



adalah prioritas ketiga sebagai penyebab kenakalan anak / remaja setelah faktor teman sebaya (Anjaswarni et al.,2019). 4. Faktor Lingkungan sekolah



Permasalahan anak di sekolah bisa terjadi karena hubungan yang tidak baik antara anak dengan guru, perasaan takut atau tertekan sehingga merasa tidak nyaman di sekolah. Tugas-tugas akademik dan tuntutan sekolah yang berat adalah penyebab anak menjadi stress dan malas ke sekolah. Faktor lingkungan sekolah adalah prioritas keempat sebagai penyebab kenakalan anak / remaja setelah faktor factor keluarga (Anjaswarni et al.,2019).



Anjaswarni et al. (2019) memberikan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil diskusi pakar dan FGD adalah sebagai berikut: 1. Hasil FGD dan diskusi pakar memperkuat hasil analisis bahwa ada empat faktor utama sebagai faktor risiko yang menjadi prediktor terjadinya juvenile delinquency berturut-turut dari faktor yang pengaruhnya paling kuat yaitu faktor teknologi, teman sebaya, keluarga, dan lingkungan sekolah.



115



2. Faktor teknologi adalah faktor paling dominan sebagai penyebab juvenile delinquency dan menggeser peran keluarga dan teman sebaya sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan, selanjutnya faktor



teman sebaya, keluarga, dan lingkungan sekolah. Faktor keluarga mulai berkurang pengaruhnya, fenomena kenakalan remaja yang terjadi dewasa ini banyak dipengaruhi oleh faktor teknologi, yaitu penggunaan gadget yang tidak terkendali. Melalui gadget, anak dapat memperoleh informasi apapun yang mereka inginkan, dapat berkomunikasi dan berteman dengan siapa saja yang mereka inginkan, dan dengan gadget mereka dapat melakukan transaksi apapun yang mereka inginkan. Pertengkaran dan tawuran bisa terjadi karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi dalam dunia maya dengan fasilitas gadget.



3. Perlu upaya-upaya pencegahan agar anak remaja tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang (juvenile delinquency), yaitu melalui deteksi dini potensi terjadinya kenakalan remaja dengan menggunakan empat faktor risiko yaitu teknologi, keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Deteksi dini merupakan salah satu upaya pencegahan sekunder yang penting dilakukan, agar dapat dilakukan tindakan nyata untuk mencegah masalah semakin luas.



116



Tabel 6.1 Daftar Pertanyaan dan Penilaian Berdasarkan Indikator No A.



Indikator



Skor



Pernyataan



9



HP selalu dekat dengan saya dan tidak pernah lepas dari tangan untuk Chatting dan main-main dengan teman



Faktor 4 (Teknologi)



Penggunaan Gadget (HP)



Pola Relasi elektronik



5



Dengan hp yang saya miliki, saya dapat berinteraksi dengan teman tanpa pilih pilih, kapanpun dan dimanapun dengan perasaan senang dan nyaman.



B.



Faktor 3 (Teman Sebaya)



No



Indikator



1.



Terpapar zat adiksi



Skor 7



Pernyataan



1. Saya sering bersama teman yang merokok, minum-minuman keras atau menggunakan narkoba. 2. Saya sering melihat iklan rokok, atau berita terkait pengguna narkoba



STS



TS



S



SS



Formula



4



3



2



1



Nilai =



4



3



2



1



Nilai =



STS



TS



S



SS



4



3



2



1



4



3



2



1



(SP/4) x9



(SP/4) x5



Formula



Nilai =



(SP/8) x7



117



2.



Sikap peer



Tontonan Bersama Sebaya



Video game Sebaya C.



7



8



Saya senang nonton adegan film kekerasan dari HP, youtube atau video, dan senang melihat gambar porno dari gadget atau internet bersama teman atau sendiri



Saya senang bermain game kekerasan atau balap liar bersama teman sebaya.



Indikator



9



Skor



1.



Ayah berbicara dengan lembut dan berhubungan baik (harmonis) dengan saya



Pernyataan 2. Ibu berbicara dengan lembut dan berhubungan baik (harmonis) dengan saya



118



4



3



2



1



Nilai =



4



5



2



1



Nilai =



4



3



2



1



Nilai =



1



2



3



4



Faktor Keluarga



Komunikasi dan Relasi Keluarga No



6



Teman sebaya mengharapkan saya mempunyai toleransi dan solidaritas tinggi, mengikuti aturan mereka dan melakukan pembelaan atau melakukan sesuatu bersama kelompok



STS



1



TS



2



S



SS



3



4



(SP/4) x6



(SP/4) x7



(SP/4) x8



Nilai =



(SP/8) x9



Formula



Pola Asuh



Bonding



8



8



1. Ayah adalah pribadi yang sabar, penuh perhatian dan kasih sayang, selalu memotivasi dan mengajarkan saya untuk mandiri.



2. Ayah / ibu memberikan kebebasan kepada saya untuk memilih sekolah atau lainnya sesuai keinginan saya, tidak otoriter



1. Ayah adalah sahabat buat saya, wajah dan sikapnya menyenangkan, saya merasa tenang dan nyaman bersa-ma ayah dari-pada bersama orang lain. 2. Ibu adalah sahabat buat saya, wajah dan sikapnya menyenangkan, saya merasa tenang dan nyaman bersa-ma ibu dari-pada bersama teman atau orang lain.



3. Saya merasa nyaman di da-lam rumah ber-sama keluarga daripada di luar rumah dengan teman



1



2



3



4



1



2



3



4



Nilai =



(SP/12) x8 1



2



3



4



Nilai =



(SP/12) x8



1



2



3



4



1



2



3



4



119



No



4.



5.



Indikator



Fungsi Keluarga



Status ekonomi



Skor



6



Pernyataan 1. Suasana di rumah menyenangkan dan tidak ada kekerasan atau pemaksaan



2. Ayah dan ibu mengajak diskusi jika saya punya masalah



3



1. Orang tua membe-likan baju sesuai keinginan saya, menyediakan ma-kanan lengkap setiap hari, tempat tinggal yang layak (dari tembok, bersih, lantai porselin, ventilasi bagus, luas), kamar pribadi saya. 2. Orang tua membiayai sekolah tanpa kesulitan dan memberikan uang saku 10.000 – 20.000 atau lebih tiap hari



D.



1



TS



2



S



SS



3



4



1



2



3



4



1



2



3



4



1



2



3



4



7



Saya dapat kerjasama dan mempunyai hubungan baik dengan semua guru (tidak ber-musuhan / tidak membenci/ tidak ada konflik), taat perintah atau tugas yang diberikan guru.



Formula



Nilai =



(SP/8) x6



Nilai =



(SP/8) x3



Faktor Lingkungan Sekolah Hubungan guru murid



120



STS



1



2



3



4



Nilai =



(SP/4) x7



No



Kebijakan sekolah



8



Indikator



Skor



Hubungan anak sekolah



7



Pola kehadiran



3



Saya dapat mengikuti pendidikan sesuai kurikulum dan selalu disiplin / patuh terhadap tata tertib sekolah. Pernyataan



Saya merasa nyaman di sekolah dan sebagai tempat untuk mengembangkan kemampuan diri



Saya tidak pernah membolos atau meninggalkan jam belajar tanpa alasan dan selalu datang tepat waktu.



(Anjaswarni et al.,2019) STS TS S SS



1



STS



2



TS



3



S



4



SS



1



2



3



4



1



2



3



4



Nilai =



(SP/4) x8



Formula Nilai =



(SP/4) x7



Nilai =



(SP/4) x3



= Sangat Tidak Setuju = Tidak Setuju = Setuju = Sangat Setuju



Hasil skoring dapat dibuat skala potensi terjadinya kenakalan (delinquency) yang berentang dari adaptif sampai maladaptif. Semakin tinggi skor penilaian semakin rendah potensi terjadinya juvenile delinquency. Rentang skor potensi seperti pada gambar 6.2



121



Tidak ada risiko/



Potensi Rendah



Potensi Sedang



Potensi



Risiko / Potensi Tinggi



83 - 101



64 – 82



45 – 63



< 45



Risiko 0



Risiko 1



Risiko 2



Risiko 3



Sumber: Anjaswarni et al.(2019)



Gambar 6.2 Rentang Skor Potensi Kenakalan Remaja (Juvenile delinquency)



Berdasarkan gambar 6.2 dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:



1. Tidak ada risiko atau tidak ada potensi (risiko 0) artinya bahwa remaja tidak ada kecenderungan atau tidak ada potensi untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa adalah “Luar Biasa” atau “Excellent”. Skor 83 – 101 menunjukkan bahwa perilaku remaja adalah sehat jiwa atau tidak ada penyimpangan perilaku sehingga mempunyai potensi untuk menjadi remaja milenial yang sukses. Reward dan skor potensi dapat dilihat dari tool aplikasi saat mereka mengakhiri tes. Pada rentang potensi risiko 0 ini upaya yang dilakukan guru BK adalah melakukan pencegahan primer melalui promosi kesehatan dan bimbingan klasikal.



2. Potensi rendah (risiko 1) artinya bahwa remaja mempunyai peluang rendah atau mempunyai kecenderungan rendah untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa adalah Baik – sangat baik (Good – very good)). Skor 64 – 82 menunjukkan bahwa perilaku



122



remaja sedikit ada penyimpangan perilaku, akan tetapi remaja masih mempunyai potensi untuk menjadi remaja milenial yang sukses. Reward dan skor potensi dapat dilihat dari tool aplikasi saat mereka mengakhiri tes. Pada rentang potensi risiko 1 ini upaya yang dilakukan guru BK adalah melakukan pencegahan primer melalui promosi kesehatan dan bimbingan klasikal, serta lebih intensif dengan bimbingan yang teratur dan lebih sering dari pada siswa dengan risiko 0.



3. Potensi Sedang (risiko 2) artinya bahwa remaja mempunyai peluang cukup kuat atau mempunyai kecenderungan yang cukup kuat untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa adalah “Cukup”. Skor 45 - 63 menunjukkan bahwa ada penyimpangan perilaku perilaku remaja. Pada rentang potensi risiko 2 ini upaya yang dilakukan guru BK adalah melakukan pencegahan sekunder melalui melalui konseling individu dengan melibatkan orang tua, dan atau melibatkan ahli untuk berkonsultasi dan penanganan masalah. 4. Potensi Berat (risiko 3) artinya bahwa remaja mempunyai peluang kuat atau kecenderungan kuat untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa adalah “Kurang”. Skor < 45 menunjukkan bahwa remaja telah ada penyimpangan perilaku. Remaja memerlukan penanganan khusus dengan melibatkan ahli untuk membantu mengatasi masalahnya supaya tidak menjadi masalah yang lebih luas. Pada rentang potensi risiko 3



123



ini upaya yang dilakukan guru BK adalah melakukan pencehan tersier. Guru BK melibatkan orang tua secara aktif untuk berkonsultasi kepada ahli dalam penanganan masalah anak (terapi) dan program rehabilitasi yang



diperlukan di fasilitas kesehatan terdekat (Anjaswarni et al.,2019). Instrumen tersebut dimasukkan dalam sistem aplikasi berbasis web sebagi tool untuk deteksi kenakalan remaja dan diberi nama “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score” atau disingkat “Tri Health of Milenial Score”. 6.4 Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score”



Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score” atau disingkat “Tri Health of Milenial Score” yang dikembangkan dibagi menjadi dua bagian yaitu aplikasi yang dibuat untuk siswa dengan nama Tool Siswa dan aplikasi



yang dibuat untuk guru bimbingan konseling (BK) dengan nama Tool BK. Tool ini dibuat secara terintegrasi. Jika siswa selesai mengisi pernyataan dalam tool maka secara otomatis data tersimpan dalam tool guru BK sehingga guru BK dapat mengetahui potensi kenakalan yang diukur. Kedua aplikasi ini membutuhkan tidak lebih dari 3mb pada proses instalasinya dan dapat di download di bk.zonain.id untuk Tool Siswa dan bk.zonain.id/admin untuk Tool guru BK. (Anjaswarni et al.,2019)..



124



1. Hasil pengembangan Tool Aplikasi Siswa Cara kerja alat ini dimulai dengan melakukan instalasi (pastikan terkoneksi jaringan internet. Setelah masuk aplikasi “tool”, maka sistem akan mengarahkan ke splash screen seperti gambar 6.3. dan selanjutnya memasukkan username dan password seperti gambar 6.4



Gambar 6.3 Splash screen Aplikasi “Tool Siswa”



Gambar 6.4 Tampilan Username dan Password Tool Siswa



125



Secara terperinci langkah-langkah penggunaan dapat dilihat dalam buku saku Manual Penggunaan Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni-Health od Milenial Score”. 2. Hasil Pengembangan Tool Aplikasi BK



Gambar 6.5 Splash Screen Aplikasi Tool BK



Cara kerja tool aplikasi BK juga dimulai dengan melakukan instalasi. Setelah masuk aplikasi “tool” BK, maka sistem akan mengarahkan ke splash screen seperti gambar 6.5. dan selanjutnya login menggunakan username dan password sekolah gambar 6.6.



126



Gambar 6.6 Tampilan Username dan Password Tool BK



Sistem secara otomatis mengarahkan guru BK ke beranda untuk melihat hasil siswa. Secara terperinci langkahlangkah penggunaan dapat dilihat dalam buku saku Manual Penggunaan Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni-Health od Milenial Score”.



127



128



BAB 7



IMPLEMENTASI TOOL APLIKASI “TRI ANJASWARNI - HEALTH OF MILLENIAL SCORE” 7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja Menggunakan Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni Health of Milenial Score” Anjaswarni et al. (2019) melakukan implementasi untuk Uji coba tool pada kelompok risiko yaitu siswa di sekolah dengan tujuan untuk melihat tingkat kemampuan atau sensitivitas tool dalam mendeteksi tingkat risiko terjadinya juvenile delinquency. Uji coba dilakukan di 8 sekolah menengah meliputi SMP, SMA dan SMK kota Malang yang mewakili sekolah negeri, swasta umum, berbasis Agama Islam dan Agama Kristen / Protestan. Jumlah responden yang digunakan untuk masing-masing sekolah adalah 6 orang sehingga jumlah seluruhnya adalah 48 orang siswa.



129



Pemilihan responden dilakukan secara inklusi yaitu 3 siswa termasuk anak tidak bermasalah dan 3 orang anak bermasalah berdasarkan catatan guru BK. Berdasarkan kriteria tersebut maka dari 8 sekolah yang digunakan untuk melakukan uji coba, didapatkan jumlah siswa bermasalah adalah 24 orang dan jumlah siswa tidak bermasalah adalah 24 orang. Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja seperti tabel 7.1 Tabel 7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja dengan Tool Tri - Health Millenial Score No.



Responden



Persentase (%)



Status Siswa



Jumlah



Sesuai



Bermasalah



24 (50%)



13 (27 %)



Tidak Bermasalah



24 (50%)



48 (100%)



Sumber: Anjaswarni et al. (2019)



19 (40 %)



32 (67%)



Tidak Sesuai 11 (23 %) 5 (10 %)



16 (33%)



Tabel 7.1 menunjukkan bahwa hasil implementasi tool Aplikasi Tri Anjaswarni Health of Milenial Score” yang dilakukan terhadap 48 siswa, mampu mendeteksi dengan tepat (sesuai) sejumlah 32 orang siswa (67 %). Siswa tidak bermasalah lebih banyak yang sesuai daripada siswa yang bermasalah. Berdasarkan hasil klarifikasi dengan guru BK diketahui bahwa adanya siswa tidak bermasalah tetapi dalam hasil test menunjukkan bahwa mereka bermasalah karena masalah siswa tersebut baru teridentifikasi dan belum masuk dalam catatan BK. Adapun masalah yang dihadapi siswa tersebut antara lain konflik atau perceraian orang



130



tua. Untuk siswa bermasalah tetapi hasil tes menunjukkan bahwa mereka tidak bermasalah kemungkinan ada dua hal, yaitu masalah sudah teratasi melalui program bimbingan konseling di sekolah atau mereka takut jika masalahnya diketahui oleh BK sehingga mereka memberikan jawaban dengan tidak jujur Anjaswarni et al. (2019)



7.2 Rekomendasi Sebagai tindak lanjut dari temuannya, Anjaswarni et al. (2019) memberikan rekomendasi terkait hasil penerapan atau penggunaan tool aplikasi “Tri Anjaswarni Health of Millenial Score” sebagai berikut: 1. Tool aplikasi sangat mudah digunakan dan waktu penggunaannya singkat sehingga mudah diterapkan di sekolah-sekolah.



2. Tool aplikasi yang dikembangkan menjadi instrumen baru yang dapat digunakan di masyarakat terutama di sekolah-sekolah, agar sedini mungkin dapat diketahui adanya potensi remaja bermasalah atau kenakalan yang serius. 3. Tool aplikasi Tri - Health Millenial Score untuk mengukur potensi juvenile delinquency penting diimplementasikan di SMP, SMA dan SMK melalui Dinas Pendidikan yang dimasukkan dalam program BK. Penggunaan tool ini penting dilakukan saat awal penerimaan siswa baru pada masa orientasi pendidikan, dan untuk mendeteksi potensi terjadinya juvenile delinquency agar sedini



131



mungkin masalah remaja dapat diatasi sedini mungkin. Penggunaan Tool ini dapat diulangi setiap tahun sebelum memulai pembelajaran, untuk temuan dini pada remaja yang belum terdeteksi pada test sebelumnya.



4. Dalam asuhan keperawatan, tool aplikasi berbasis web ini penting digunakan untuk melakukan pengkajian asuhan keperawatan jiwa di komunitas khususnya komunitas



sekolah dengan metode self assessment bagi remaja. Tool sebagai alat kerja perawat, petugas kesehatan lainnya atau mitra kerja bidang kesehatan untuk mendeteksi secara dini risiko perilaku juvenile delinquency dalam konteks perawatan jiwa remaja di masyarakat.



5. Reward dan rekomendasi dalam aplikasi setelah test dilakukan adalah petunjuk penting untuk melakukan penanganan remaja bermasalah dalam konteks keperawatan jiwa masyarakat. Intervensi dapat dilakukan secara primer melalui promosi kesehatan, sekunder melalui penanganan dini remaja bermasalah dan tersier melalui upaya rujukan dengan melibatkan ahli.



132



DAFTAR PUSTAKA



Alfabetwritter. (2010). Apa itu life skill. Retrieved July 25, 2018, from https://tbalfabet.wordpress.com/2010/05/24/ apa-itu-life-skill-adalah/ Alligood, M. R. (2014). Nursing theorists and their work. (M. R. Alligood, Ed.) (8th ed.). St. Louis, Missouri: Elsiver Mosby. Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian (Edisi Revisi). Malang: Universitas Muhamadyah Press.



Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2011). Community as partner: Theory and Practice in Nursing (Sixth Edition). Philadelphia - New York - Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.



Anjaswarni, T. (2014). Juvenile delinquency, kenakalan anak remaja: Teori, hasil penelitian dan aplikasi asuhan keperawatan (pertama). Sidoarjo: Zifatama Publisher. Anjaswarni, T. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan , Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Retrieved from http:// bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/ wp-content/



133



uploads/2017/08/Komunikasi-dalam-KeperawatanKomprehensif.pdf



Anjaswarni, T., Nursalam, Widati, S., & Yusuf, A. (2019). Pengembangan indeks prediktor perilaku juvenile delinquency. Universitas Airlangga Surabaya Indonesia. Arnold, E. C., & Boggs, K. U. (2016). Interpersonal relationship (7th Editio). St. Louis: Elsevier. Badan Pusat Statistik. (2010). Profil kriminalitas remaja 2010: Studi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak di Palembang, Tangerang, Kutoarjo, dan Blitar. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Retrieved from https://www. bps.go.id Baqutayan, S. M. S. (2015). Stress and coping mechanisms : A historical overview. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(2), 479–488. https://doi.org/10.5901/ mjss.2015.v6n2s1p479



Blanc, M. Le. (2015). Identification of potential juvenile offenders. ResearchGate: 94 European Journal on Criminal Policy and Research, (Juni 1997), 33–49. https://doi. org/10.1007/BF02677605



Brown, L. J., Malouff, J. M., & Schutte, N. S. (2013). Self-Efficacy Theory (pp. 13–38). New England, Australia. https:// doi.org/10.1007/ 978-1-4419-6868-5_1 Burlian, P. (2016). Patologi sosial. (R. Damayanti, Ed.) (Edisi Pert). Jakarta: Bumi Aksara.



134



Calhoun, G. B., Glaser, B. A., & Bartolomucci, C. L. (2001). Practice & theory: The juvenile counseling and assessment model and program: A conceptualization and intervention for juvenile delinquency. Journal Of Counseling & Development, 79, 3–13. Retrieved from j.1556-6676.2001.tb01952.x



Calhoun, G. B., Glaser, B. A., & Bartolomucci, C. L. (2011). The Juvenile Counseling and Assessment Model and Program: A Conceptualization and Intervention for Juvenile Delinquency. Wiley Online Library: Journal of Counseling & Development, 1(online 23 December 2011). https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.2001. tb01952.x



Chapman, A. V. (2012). Parental authority , parental nurturance



, depression and self-Esteem among Latino Emerging Adults. University Of MiamiL, Coral Gables, Florida. Retrieved from https://scholarlyrepository.miami. edu/cgi/ viewcontent.cgi?article=1916&context=oa_ dissertations



DeLisi, M., Vaughn, M. G., Gentile, D. A., Anderson, C. A., & Shook, J. J. (2012). Violent video games , delinquency , and youth violence : New evidence. Sage: Youth Violence and Juvenile Justice, 11(2), 132–142. https:// doi.org/10.1177/1541204012460874 Duerden, M. D., Witt, P. A., Fernandez, M., Bryant, M. J., & Theriault, D. (2012). Measuring life skills : Standardizing the assessment of youth development Indicators. Journal of Youth Development, (March), 99–



135



147. https://doi.org/10.5195/JYD.2012.155



Efendi, R. (2013). Self Efficacy: Studi Idigenous pada Guru Bersuku Jawa. Journal of Social and Industrial Psychologysychology, 2(2), 10–18. Retrieved from https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sip/ / article/view 2595/2385 Emanuel. (2018). Gaya Hidup. Retrieved May 7, 2018, from https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gaya_Hidup



Heath, C. J., & Berman, J. S. (2008). Evolutionary lifestyle and mental health. Evolutionary Psychology, 6(1), 67–76. https://doi.org/10.1177/147470490800600107



Howell, J. C. (Buddy), Lipsey, M. W., Wilson, J. J., & Howell, M. Q. (2014). A practical approach to evidence -based juvenile justice system. Journal of Applied Juvenile Justice Services, 1–21. Retrieved from JAJJS-ArticleHowell-et-al-edited-kd-2014 Ilham. (2015). Rekayasa perangkat lunak deteksi dini kecenderungan gangguan kesehatan masyarakat tertinggal dan pesisir dengan bayesian network. Jurnal Informatika, 13(2), 39–43. https://doi.org/10.9744/ informatika.13.2.39-43 Kenny, D. T., Blacker, S., & Allerton, M. (2014). Reculer pour mieux sauter: A review of attachment and other developmental processes inherent in identified risk factors for J juvenile delinquency and juvenile offending. Laws, 3, 439–468. https://doi.org/10.3390/ laws3030439



136



Kim, H., & Kim, H. (2008). The Impact of family violence , family functioning, and parental partner dynamics on korean juvenile delinquency. Child Psychiatry Hum Dev, 39, 439–453. https://doi.org/10.1007/s10578-0080099-4



Kratcoski, P. C., & Kratcoski, L. D. (2004). Juvenile delinquency (5th Editio). New Jersey, Englewood Cliffs: PrenticeHall, Inc.



Maftuhah, A., Suryanto, S., & Esti, L. (2009). Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). (Redaksi New Merah Putih, Ed.) (1th ed.). Yogyakarta: New Merah Putih.



Novanda, B. F., Kurniati, T., & Rizmahardian, A. K. (2018). Hubungan Antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas XI IPA dalam Mata Pelajaran Kimia Di SMA Negeri 3 Pontianak. Ar-RaziJurnal Ilmiah, 6(2), 8–17. https://doi.org/10.3975/cagsb.2015.05.08 Nursalam. (2015). Metodologi penelitian ilmu keperawatan (Edisi 4). Jakarta: Salemba Medika. Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Pub. L. No. Nomor 4 tahun 1979, 1 (1979). Indonesia. Retrieved from file:///C:/Users/user/ Downloads/IDN91142 IDN (1).pdf



Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002: Tentang Perlindungan Anak, Pub. L. No. Undang-undang Republik Indonesia



137



Nomor 23 Tahun 2002, 14 (2002). Indonesia. Retrieved from http://www.kinerja.or.id/pdf/86547a83-b8d6461f-afae-f16f968fae8e.pdf



Robles, M. M. (2012). Executive perceptions of the Top 10 Soft Skills Needed in Today’s Workplace. Business Communication Quarterly, 75(4), 453–465. https://doi. org/10.1177/1080569912460400



Rohmatun. (2014). Hubungan antara pola asuh otoriter dengan self-efficacy pada mahasiswa yang sedang menyelesaikan di universitas islam sultan agung semarang. Proveksi, 9(2), 1–14. Retrieved from http:// jurnal.unissula.ac.id/index.php/ proyeksi/article/ download/2873/2089 Sancahya, A. A. G. A., & Susilawati, L. K. P. A. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Self Esteem Pada Remaja Akhir Di Kota Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1(3), 440–450. Retrieved from http://ojs. unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/25126 Sari, R. N., & Akmal, S. Z. (2018). Hubungan gaya kelekatan dengan self-efficacy akademik siswa SMA di Jakarta. Insight : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 14(1), 37–48. https://doi.org/10.32528/ins. v14i1.1054 Shumaker, S., A., Ockene, J., K., & Riekert, K., A. (2009). The handbook of health behaviour change. (A. Shumaker, Sally, K. Ockene, Judith, & A. Riekert, Kristin, Eds.) (3th Editio). New York: Springer Publishing Company.



138



Silver, B. B., Smith JR, E. V., & Greene, B. A. (2001). A study strategies self-efficacy instrumen for use with community college students. Sage Publications, 61(5), 849–865. https:// doi.org/10.1177/00131640121971563



Sit, M. (2017). Psikologi perkembangan anak usia dini (Edisi Pert). Depok: Kencana.



Sriyanto, Abdulkarim, A., Zainul, A., & Maryani, E. (2014). Perilaku asertif dan kecenderungan kenakalan remaja berdasarkan pola asuh dan peran media massa. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 41(1), 74–88. https://doi.org/http://dx.doi. org/10.22146/jpsi.6959 Steketee, M., & Gruszczyńska, B. (2010). Juvenile delinquency in six new EU member states. Springer: Eur J Crim Policy Res, 16, 111–125. https://doi.org/10.1007/s10610010-9123-x Stuart, Gail W., & Laraia, M. T. (2001). Principles and practice of psychiatric nursing. (Gail W. Stuart & M. T. Laraia, Eds.) (7th Editio). St. Louis: Mosby.



Stuart, Gail W., & Laraia, M. T. (2005). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. (Gail W. Stuart & M. T. Laraia, Eds.) (8th Editio). St. Louis: Mosby.



Stuart, Gail Wiscarz. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed.). St. Louis: Elsivier Mosby. Retrieved from https://www.scribd.com/ document/401120906/Principles-and-Practice-ofPsychiatric-Nursing-Stuart-Gail-Wiscarz-Stuart-PhD-



139



RN-FAAN-Principles-and-Practice-of-PsychiatricNursing-10e-Mosb



Taylor, C., Lillis, C., LeMone, P., & Lynn, P. (2011). Fundamental of Nursing: The art and science of nursing care. (C. Brandon, Ed.) (7th Editio). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.



Tekin, A. (2010). Wild life recreation : Utilizing wilderness adventure therapy to prevent delinquency in minors. International Journal of Human Sciences, 7(2), 640–654. Retrieved from file:///C:/Users/user/ Downloads/1366-4109-1-PB.pdf Thaha, H., & Rustan, E. (2017). Orientasi Religiusitas dan Efikasi Diri dalam Hubungannya dengan Kebermaknaan Pendidikan Agama Islam pada Mahasiswa IAIN Palopo. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 13(2), 163–179. https://doi.org/10.23971/jsam.v13i2.551} Thornberry, T. P., & Krohn, M. D. (2017). The self-report method for measuring delinquency and crime. Measurement and Analysis of Crime and Juctice, 4(September), 33– 82. Retrieved from https://www.researchgate.net/ publication/237571868_The_Self-Report_Method_for_ Measuring_Delinquency_and_Crime Tomba, E. (2012). Assessment of Lifestyle in relation to health (Vol. 32, pp. 72–96). Laboratory of Psychosomatics and



Clinimetrics, Department of Psychology, University of Bologna, Bologna, Italy Abstract. Retrieved from https:// www.karger.com/WebMaterial/ShowFile/881499



140



Tremblay, R. E., & Craig, W. M. (1995). Developmental juvenile delinquency prevention. European Journal on Criminal Policy and Research, 5(2), 33–49. Retrieved from bf02677606 Willis, S. S. (2017). Remaja & Masalahnya: Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja narkoba, freesex dan pemecahannya. Bandung: Alfabeta.



Zgourides, G. (2000). Developmental psychology (Updated Ed). New York, United States: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company. Retrieved from http:// scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q



Zimmerman, B. J. (2014). Self-efficacy and educational development. (A. Bandura, Ed.). Cambridge, New York: ResearchGate: Cambridge University Press. Retrieved from https://www.researchgate.net/ profile/Barry_Zimmerman/publication/247480203_ Self-efficacy_and_educational_ development/ links/549b67770cf2b80371371ad5/Self-efficacyand-educational-development.pdf



141



PROFIL PENULIS



Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep., lahir di Madiun / 19 Mei 1967 adalah putri ketiga dari enam bersaudara dari pasangan almarhum bpk Moesdjait dan almarhumah Ibu D. Darmijati. Saat ini sebagai Dosen Keperawatan pada Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala (Asosiate Professor) Riwayat Pendidikan: Menamatkan Sekolah Dasar Kestraian 5 Malang tahun 1980, SMP Islam Malang 1983, SMA Negeri 2 Malang tahun 1986. Melanjutkan pendidikan Diploma 3 Keperawatan di Akademi Keperawatan Malang lulus tahun 1989, Program Sarjana Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung lulus tahun 1998, Program Magister Keperawatan Minat Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Lulus 2002 dan Program Doktor Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga lulus tahun 2019.



Riwayat Organisasi: Penulis aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Pendidikan Vokasi Keperawatan Indonesia



142



(AIPViKI) bidang Diklat dan menjadi Tim pengembang Kurikulum Pendidikan Diploma 3 dan Diploma 4 Keperawatan. Penulis juga menjadi Pengurus Himpunan Perawat Manajer (HPMI) Jatim dan pengurus DPD PPNI Kota Malang.



Riwayat publikasi tiga tahun terakhir: Analyses of factors related to Juvenile Delinquency at Juvenille Court Blitar East Java –Indonesia. Publikasi: International Conference



on Public Health 2017 (oral Presentation), Kuala Lumpur, Malaysia 27 – 29 July 2017; Early Marriage and Cultural Stigma of Madurese Young Woman Based on Review of SocioEcological Factors - ISOPH 2017 - The 2nd International Symposium of Public Health (Publikasi: SCITEPRESS – Science and Technology Publications, Lda); Analysis of Risk Factors Occurrence of Juvenile Delinquency Behavior (Jurnal Ners); dan Self Efficacy’s Model Development Within Junior And Senior High School Students Based On Religion And Family Determinants: A Cross Sectional Approach. Accepted. Februari 2019 (International Journal of Adolescent Medicine and Health (IJAMH)-Q3). Produk buku lima tahun terakhir: 1) Juvenille Delinquency: Kenakalan Anak Remaja: Teori, Penelitian Dan Aplikasi Asuhan Keperawatan. Tahun 2014 (Zifatama Publisher); 2) Komunikasi dalam Keperawatan: Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan (Modul Teori dan Praktik). Tahun 2016 (Kemenkes RI Badan PPSDM Kesehatan); 3) Saunders 360 Review untuk Uji Kompetensi DIII Keperawatan Indonesia (Edisi 1) Tahun 2016 (Elsivier Singapore); 4) Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah tahun 2017 (AIPViKI);



143



5) Kurikulum Pendidikan Diploma III Keperawatan Indonesia (Update 2018) 2018 (AIPViKI); 6) Saunders 360 Review untuk Uji Kompetensi DIII Keperawatan Indonesia (Edisi 2) tahun 2019 (Elsiver Singapura).



144