Sefalometri Analisis Sefalometri Ricketts [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ANALISIS RICKETTS Disusun sebagai tugas mata kuliah Sefalometri



Pembimbing: drg. Iwan Ahmad, SpKGA(K)



Disusun oleh: Heidy Stefanie Y.



160421180006



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2018



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI .................................................................................................................. 1 BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 5 2.1 Titik dan Bidang Yang Digunakan pada Analisis Ricketts ................................... 5 2.1.1 Titik yang digunakan pada analisis Ricketts .................................................. 5 2.1.2 Bidang yang digunakan pada analisis Ricketts ............................................... 7 2.2 Interpretasi Analisis Ricketts ................................................................................. 9 2.3 Variabel dan Norma ............................................................................................. 16 2.4 Visualisasi Objektif Perawatan (Visual Treatment Objective) ............................ 16 BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 20



1



BAB I PENDAHULUAN



Radiografi sefalometri adalah suatu metode yang sudah distandarisasi untuk menghasilkan gambaran radiograf dari kranium, yang sangat berguna dalam membuat pengukuran dari kranium dan kompleks orofasial. Sefalometri dapat berguna sebagai alat untuk diagnosa dan evaluasi. Radiografi sefalometri mulai diperkenalkan dalam orthodonti sekitar tahun 1930, tetapi metodenya baru diterima secara luas untuk aplikasi praktek selama 20 tahun terakhir. Selama bertahun-tahun seluruh analisis telah dikembangkan oleh sejumlah pengarang. Tujuan dari perkiraan cenderung bervariasi mulai dari studi pada perkembangan fasial, letak malformasi, studi tentang etiologi terhadap penafsiran dari respon perawatan, sebagai bagian analisa status pada orthodonti, dan lain-lain. Lebih dari 100 analisa telah di kembangkan. Analisa tersebut dapat diklasifikasi dari berbagai sudut pandang, dalam sistem yang dirancang oleh berbagai pengarang. Dr. Ricketts bekerja selama bertahun-tahun, yaitu selama akhir tahun 1950, 1960, hingga awal 1970. Dr. Ricketts secara jelas telah memberikan banyak kontribusi pada bidang ortodonti sehingga para klinisi dapat lebih baik dalam mendiagnosa dan menangani pasien. Banyak ide dan metode yang dia pionirkan masih digunakan oleh ortodontis saat ini. Salah satu kontribusinya yaitu perkembangan analisis sefalometri dan metode diagnosis. Dia mengatakan, “Untuk menjadi kritis dan deskriptif, akan lebih bermanfaat dengan mengekspresikan



2



dimensi pada pengukuran sudut atau garis. Tujuan dari analisis yaitu objektif dan meliputi 4 C dari sefalometri, yaitu: untuk mengkarakterisasi atau menggambarkan kondisi yang ada (characterize), untuk membandingkan satu individu dengan yang lain atau dengan individu yang sama kelak (compare), untuk mengklasifikasi deksripsi



tertentu



ke



dalam



beberapa



kategori



(classify),



dan



untuk



mengomunikasikan seluruh aspek tersebut kepada klinisi, sesama peneliti, atau kepada orang tua (communicate).” (Roos, 2003) Pendekatan sefalometri yang pertama kali dikembangkan oleh Ricketts digunakan dalam sistem sefalometri komputer, dan digunakan secara luas pada saat itu. Kelemahan terbesarnya adalah data normatif dari banyak pengukurannya didasarkan pada sampel yang tidak spesifik yang dikumpulkan oleh Ricketts. Selama setengah abad sefalometrik ini telah digunakan secara klinis, lusinan bahkan ratusan pola pengukuran lain telah dipublikasikan dalam analisis ini. Pada beberapa metode, tampak jelas hubungan apa yang dapat diperkirakan dari pengukurannya, dan tampak jelas pula darimana data normatifnya berasal. Pada metode lain, pengukuran dan normanya hanya berdasarkan pada hal-hal mistis. Bila tidak berhati-hati, sangat mudah untuk kehilangan tujuan sebenarnya dari analisis sefalometrik yang dilakukan: untuk memperkirakan hubungan, secara vertikal dan horizontal, dari rahang ke basis cranii dan ke rahang lain, dan hubungan dari gigigeligi terhadap tulang pendukungnya (Proffit, 2000). Sampel normatif Ricketts terdiri dari 1000 kasus yang dirawat dan tidak dirawat dalam tiga studi. Ricketts pun banyak bekerja di area Visual Treatment Objective (VTO) dengan mempelajari pertumbuhan dan perkembangan, kemudian membuat



3



kalkulasi prediksi pertumbuhan dari pasien. Banyak pengukuran angular dan linear yang digunakan pada analisis Ricketts juga digunakan untuk analisis VTO (Roos, 2003). Analisis Ricketts telah beberapa kali mengalami modifikasi. Versi pertama hanya terdiri dari lima variabel. Analisis tersebut kemudian diperluas dengan memperkenalkan beberapa titik dan garis baru. Asalnya, titik Ricketts adalah: Xi – pusat geometrik ramus mandibula; PM – titik batas depan simpisis antara titik B dan Pog; DC – titik pada pusat leher kondilus pada pada titik silang dengan garis BaN. Selain itu, Ricketts memperkenalkan perubahan yang terjadi selama pertumbuhan pada analisisnya, dan memprediksi hasil akhir perawatan (VTO – Visual Treatment Objective). Di samping analisis sefalometrik dan prediksi pertumbuhan sebagai pedoman dalam terapi, diapun menjelaskan rencana “intuitif” dari terapi yang menjadi sama pentingnya (Miksic, 2003).



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Titik dan Bidang Yang Digunakan pada Analisis Ricketts 2.1.1 Titik yang digunakan pada analisis Ricketts



Gambar 1. Titik-titik yang digunakan dalam analisis Ricketts



A



: Subspinal, titik terdalam dari kurva maksila antara spina nasalis anterior dengan alveolar gigi (prostion)



ANS



: Ujung paling depan dari spina nasalis anterior



BA



: Basion, titik paling posterior dan bawah pada tulang osipital



CC



: Titik perpotongan dimana bidang basion dan nasion (BA-NA) dan sumbu fasial



DC



: Titik yang terletak di tengah-tengah leher kondilus yang terletak pada bidang nasion dan basion (BA-NA)



5



Nasion : Titik paling anterior dari sutura nasofrontal, terletak pada bidang median PM



: Supra pogonion, titik pada tepi anterior simfisis diantara titik B dan pogonion dimana kurvatura berubah dari konkaf ke konveks



PoG



: Pogonion, titik paling anterior dari simfisis yang bersinggungan dengan bidang fasial



CF



: Pusat fasial, persilangan antara bidang Frankfort dengan pterigoid vertikal



PT



: Pterygoid, persilangan antara tepi inferior foramen rotundum dengan dinding posterior fosa pterigomaksilaris



Gambar 2. Titik-titik perpotongan bidang (CF dan PT).



XI



: Pusat geometrik dari ramus mandibula Lokasi titik XI mengunci secara geometris terhadap Frankfurt Horizontal Plane (FHP) dan Pterygoid Vetikal (PTV). Berlokasi dengan cara membuat empat bidang, dua bidang tegak lurus terhadap Frankfurt Horizontal Plane melalui titik R1 dan R2 dan dua bidang lainnya bidang horizontal yang paralel terhadap FHP melalui titik R2 dan R3, selanjutnya membuat titik tengah (XI) dengan menghubungkan keempat sudut segiempat tersebut. Tahapan pembuatannya adalah sebagai berikut:



6



1.



Membuat sebuah bidang tegak lurus terhadap FHP dan PTV.



2.



Bidang ini bersinggungan dengan titik R1, R2, R3, R4 pada dasar ramus, dimana R1 adalah titik terdalam dari kurva pinggiran anterior dari ramus, setengah dari jarak antara kurva inferior dan superior, R2 adalah titik yang berlokasi pada pinggiran posterior dari ramus mandibula berlawanan dengan R1, R3



adalah



titik



yang



berlokasi pada tengah-tengah dan aspek paling inferior dari sigmoid notch pada mandibula, dan R4 adalah titik pada pinggiran bawah mandibula langsung inferior terhadap tengah-tengah sigmoid notch pada ramus. 3.



Bidang ini membentuk segiempat menutupi XI, dan XI berlokasi pada tengah-tengah dari segiempat pada perpotongan diagonal diantara sudut-sudutnya.



Gambar 3. Lokasi titik XI.



2.1.2 Bidang yang digunakan pada analisis Ricketts



7



Gambar 4. Bidang pada analisis Ricketts



Frankfort Hotizontal Plane (FHP) : perpanjangan dari porion ke orbital Bidang Fasial



: perpanjangan dari nasion ke pogonion



Bidang Mandibula



: perpanjangan dari gonion ke gnation



Pterygoid Vertical (PTV)



: garis vertikal yang digambar melalui outline distal dari fisura pterigomaksilaris dan tegak lurus dengan FHP



Bidang Basion-Nasion (BA-NA) : perpanjangan dari basion ke nasion Bidang Oklusal



: bidang oklusal fungsional direpresentasikan dengan garis perpanjangan melalui molar pertama dan premolar



Garis A-PoG



: garis dari titik A ke pogonion, sering direferensikan sebagai bidang dental



8



Garis E



: garis estetik atau bidang perpanjangan dari jaringan lunak ujung hidung ke jaringan lunak dagu



Gambar 5. Garis A-Pog dan garis E



2.2 Interpretasi Analisis Ricketts



Gambar 6. Bidang yang digunakan dalam analisis Ricketts



9



1. Sumbu Fasial (Facial Axis) Sudut yang terbentuk dari bidang basion nasion dan bidang dari foramen rotundum (PT) ke gnation. Nilai rata-ratanya adalah 90° dengan standar deviasi ± 3°. Bila sudut kurang dari nilai standar maka menunjukkan retroposisi dari dagu, sedangkan jika sudut lebih dari nilai standar maka menunjukkan pertumbuhan dagu yang protrusive/maju.



Gambar 7. Sumbu Fasial (Facial Axis)



2. Sudut Kedalaman Fasial (Facial angle depth) Sudut yang dibentuk melalui perpotongan bidang fasial (N-PoG) dengan Frankfort Horizontal Plane, seperti yang ditentukan oleh Downs. Untuk menentukan FHP dipakai tepi dari External auditory canal. Nilai rata-ratanya: 85.4° ± 3.7°. Sudut ini menunjukkan posisi antero-posterior dari titik yang paling anterior dari mandibula (Pogonion) atau untuk menyatakan perbedaan posisi dari dagu terhadap titik Nasion. Bila sudut fasialnya kurang dari normal berarti



10



retrognatik, sedangkan bila lebih dari normal prognatik. Perbedaan 1° sesuai dengan 1,5 mm.



Gambar 8. Sudut Kedalaman Fasial (Facial angle depth)



3. Sudut Bidang Mandibular (Mandibular Plane Angle) Sudut yang dibentuk melalui perpotongan bidang mandibula dan bidang Frankfort Horisontal dan sudut ini menunjukkan kemiringan dari korpus mandibula. Rata-ratanya besarnya 26° ± 6°. Sudut ini 26° pada umur 9 tahun dan berkurang kurang lebih 1° setiap tiga tahun. Sudut bidang mandibular yang tinggi dapat diartikan adanya gigitan terbuka (open bite) yang dimungkinkan karena karakteristik morfologi skeletal mandibular. Sedangkan sudut yang rendah diartikan sebaliknya (deep bite)



Gambar 9. Sudut bidang mandibula



11



4. Konveksitas dari titik A (Convexity of point A) Merupakan jarak horisontal dari titik A ke bidang fasial (N-PoG) dalam mm. Sudut ini untuk melihat hubungan antara maksila dan mandibula dalam jurusan antero-posterior. Nilai rata-rata adalah 2 mm ± 2 mm. Konveksitas yang besar menunjukkan pola skeletal kelas II, konveksitas yang kecil dan negatif menunjukkan pola skeletal kelas III.



Gambar 10. Konveksitas dari titik A (Convexity of point A).



5. Jarak Insisif rahang bawah terhadap garis A-Pog (Lower Incisor to A-Pog) Garis yang diukur melalui perpotongan puncak mahkota insisif sentral bawah dengan garis A-Pog. Jarak ini menunjukkan posisi insisif rahang bawah relatif terhadap mandibula dan maksila. Posisi insisif bawah merupakan kunci rencana perawatan ortodonti. Setiap gerakan ke anterior dari insisif bawah akan mempengaruhi panjang lengkung gigi. Jadi, pengukuran ini sangat berperan dalam penentuan kebutuhan pencabutan. Nilai rata-ratanya 1 mm ± 2 mm. berkisar antara +10 mm dan -10 mm.



12



Gambar 11. Jarak Insisif Rahang Bawah terhadap Garis A-Pog.



6. Posisi Molar Pertama Rahang Atas ke PTV (Upper Molar to PTV) Jarak linear antara titik paling distal dari molar permanen pertama rahang atas dengan PTV (Pterygoid Vertical), diukur sejajar dengan bidang oklusal. Ukuran ini menunjukkan posisi horisontal gigi molar pertama rahang atas. Digunakan untuk menentukan penyebab dari maloklusi posterior. Nilai rata-ratanya adalah ± 3 mm, dengan standar deviasi ± 2 mm.



Gambar 12. Upper Molar to PTV.



13



7. Inklinasi insisif bawah (Mandibular Incisor Inclination) Sudut yang dibentuk melalui perpotongan panjang sumbu insisif sentral bawah dengan bidang A-Pog. Nilai rata-ratanya adalah 22° dengan standar deviasinya ± 4°. Sudut ini untuk mengetahui kedudukan insisif rahang bawah dalam jurusan antero-posterior pada mandibula.



Gambar 13. Inklinasi insisif bawah (Mandibular Incisor Inclination).



8. Facial Esthetic Line Suatu faktor penting dalam analisis profil jaringan lunak adalah garis estetik (aesthetic line / Ricketts E-line) yang menghubungkan titik pogonion atau tepi dagu dengan ujung hidung, atau titik pronasal ujung hidung. Garis referensi ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan estetik fasial dan posisi bibir. Yang diukur disini adalah jarak antara bibir bawah ke bidang estetik tersebut (E plane). Evaluasi ukuran ini agak subjektif, karena tergantung pada nilai estetik antara klinisi dengan pasien. Pengaruhnya tidak hanya oleh gerakan ke anterior gigi tetapi juga oleh pertumbuhan hidung dan dagu. Nilai rata-ratanya adalah -2 mm dengan standar deviasi sebanyak ± 2 mm.



14



Pada masa geligi campuran, kedua bibir berada pada garis tersebut. Seiring dengan umur, bibir teretraksi, bergeser ke belakang aesthetic line pada dewasa muda, yaitu bibir bawah 2 mm, bibir atas 3 mm. Analisis ini membuat perbedaan antara tiga tipe wajah: 1. Cekung, dimana bibir terletak di belakang E-line di atas rata-rata. 2. Datar, dimana posisi bibir rata-rata (bibir bawah 2 mm, bibir atas 3 mm di belakang E-line). 3. Cembung, dimana kedua bibir menyentuh atau berada di depan E-line.



Tinggi bibir atas dan garis kontak antara bibir dan bidang oklusal di analisa pada profil juga. Jarak antara titik subnasal dan titik kontak bibir, dihitung. Bidang oklusal normalnya 3,5 mm di bawah garis kontak bibir (pada usia 8-9 tahun). Tiap tahun, jarak berkurang hingga 0,1 mm hingga pertumbuhan lengkap. Perkiraan tinggi bibir atas penting dalam menentukan posisi optimal insisif. Jika bidang oklusal tinggi, gigi tersembunyi di belakang bibir, dan untuk alasan estetik disarankan bahwa posisi bidang oklusal dirubah sebisa mungkin mendekati hubungan normalnya terhadap bibir (Miksic, 2003).



Gambar 14. Bibir Bawah ke Bidang E (Lower Lip to E-Plane).



15



2.3 Variabel dan Norma No 1 2 3 4 5 6 7 8



Measurement Facial Axis Facial Angle / Depth Mandibular Plane Convexcity of Point A Lower Incisor to APog Upper Molar to PTV Mandibular Incisor Incl. Lower Lip to E Plane



Means 90° 85.4° 26°



Clinical Dev. ±3° ±3.7° ±6°



Means Change Per Year No Change with Age Change= +1° Every 3 Years Change= -1° Every 3 Years



2 mm



±2 mm



Change= -1 mm Every 3 Years



+ 1 mm



±2 mm



No Change with Age



3 mm



±2 mm



Change +1 mm/Year



22°



±4°



No Change with Age



2 mm



±2 mm



Less Protrusive by 2 mm Per Year



Tabel 1. Nilai norma dan deviasi klinis yang digunakan dalam sepuluh faktor analisis.



2.4 Visualisasi Objektif Perawatan (Visual Treatment Objective) Visualisasi objektif perawatan atau lebih popular dipakai istilah Visual Treatment Objective (VTO) dapat disamakan dengan rancangan (blueprint) seorang arsitek dalam merencanakan sesuatu bangunan. Dalam bidang ortodonti, VTO ini merupakan rancangan visual yang digunakan untuk meramal pertumbuhan yang normal dari penderita dan untuk mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin terjadi oleh karena suatu perawatan, serta untuk menetapkan perawatan yang tepat bagi seorang penderita. Perawatan yang diterapkan pada penderita yang sedang dalam masa tumbuh kembang harus direncanakan dan ditujukan ke wajah dan struktur yang kelak dapat diantisipasi, bukan pada struktur skeletal yang mula-mula ada pada pasien. Apabila memungkinkan sebaiknya rencana perawatan dapat memanfaatkan aspek yang menguntungkan dari pertumbuhan dan mengurangi efek pertumbuhan yang tidak kita ingini. 16



Pada deskripsi pola dasar fasial dan struktur-struktur skeletal, pengukuranpengukuran sefalometri dapat menjelaskan perubahan-perubahan pada dagu, maksila, gigi geligi dan profil jaringan lunak, dimana perubahan tersebut merupakan perubahan normal yang terjadi pada basis kranialis, perubahan pada daerah yang dipengaruhi oleh tindakan ortopedi, pergerakan gigi geligi di dalam tulang rahang untuk memperoleh relasi yang normal, dan akibat yang terjadi pada bibir atas dan bibir bawah serta pada profil jaringan lunak fasial. Visualisasi



objektif



perawatan



(VTO)



memungkinkan



adanya



perkembangan berbagai alternatif rencana perawatan. Sekali perawatan telah dimulai, maka perlu terus menerus diamati untuk tujuan visual sehingga kemajuan perawatan dapat diukur dan dipantau. Dengan cara menghimpitkan penapakan yang dibuat setelah ada kemajuan dan penapakan semula serta dibandingkan dengan tujuan yang diramalkan, para ahli ortodonti dapat mengevaluasi kemajuan melalui suatu cara yang sudah baku. Setiap penyimpangan dari kemajuan yang diharapkan akan nampak dengan segera dan perlu untuk dilakukan perbaikan secepat mungkin. Meskipun pada umumnya individu akan bereaksi seperti yang diharapkan terhadap perawatan yang diterapkan, namun ada juga individu-individu tertentu yang menyimpang dari pola yang umum dan memerlukan beberapa alternatif dalam strategi perawatan. Perbedaan dalam memberikan tanggapan terhadap perawatan dapat diakibatkan oleh karena kurangnya kooperatif penderita, variasi dalam pola pertumbuhan atau dari alat ortodonti yang tidak efektif. Perlunya pemantauan semacam ini adalah penting dalam menyesuaikan perawatan yang dilakukan dengan individu yang beranekaragam.



17



Ramalan visualisasi objektif perawatan bermanfaat untuk para ortodontis dalam meningkatkan kemampuannya, sehingga dia dapat menetukan tujuan perawatan terlebih dahulu dan membandingkan dengan hasil perawatan. Pengenalan adanya perbedaan antara tujuan dan hasil akan memberi dia gambaran objektif daerah-daerah dimana perawatannya dapat ditingkatkan.



18



BAB III KESIMPULAN



Meskipun disajikan lebih dari setengah abad yang lalu, teknik Ricketts masih modern. Tidak diragukan lagi bahwa perkenalan analisis sefalometri Ricketts dan VTO pada diagnosa ortodonti sangat signifikan. Saat ini hampir tidak ada software diagnostik yang tidak memasukkan parameter-parameter analisis Ricketts sebagai elemen kunci. E-line Ricketts tidak hanya merupakan bagian penting dari analisis jaringan lunak, tetapi juga berhubungan dengan estetik yang merupakan bagian penting dari ortodontik kontemporer. Kelemahan paling besar dari analisis ini adalah sampel untuk data normatif dan pengukurannya tidak spesifik dan tidak terkontrol, yang dikumpulkan oleh Ricketts. Sehingga yang perlu dipertimbangkan dalam analisis ini adalah keterbatasan dan aplikasi yang benar dari norma yang ditetapkan. Norma-norma tersebut masih bersifat deskriptif. Adanya variasi lokasi landmark seperti Pt, Xi, dan Pm juga membatasi penggunaan dari analisis Ricketts ini.



19



DAFTAR PUSTAKA



Athanasiou, A.E. 1995. Orthodontic Cephalometry. Mosby-Wolfe. Kusnoto, H. 1996. Penggunaan Cephalometri Radiografi Dalam Bidang Orthodonti. FKG Universitas Trisakti. Kusnoto, H. 1996. Visualisasi Objektif Perawatan. EGC. Miksic, M. 2003. Bioprogressive Therapy and Diagnostics. Croatia. Proffit, W.R & H.W. Fields, Jr. 2000. Contemporary Orthodontics. 3rd Ed. Mosby. Roos, Bryan. 2003. A Comparison of Soft Tissue Prediction Tracing Using the Andrews and Ricketts Diagnostic Techniques. Morgantown. Thurow, R.C. 1977. Atlas of Orthodontic Principles. The CV. Mosby Company.



20