Sejarah Penanggulangan Terorisme [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sejarah Penanggulangan Terorisme Sejarah penanggulangan aksi terorisme di Indonesia bisa dibagi ke dalam dua macam pendekatan, yakni hard approach (pendekatan keras) dan soft approach (pendekatan lunak). Dua macam pendekatan ini muncul karena faktor latar belakang aksi terorisme dan landasan yang dipakai untuk menanggulangi terorisme. Metode hard approach berciri khas penindakan bersenjata terhadap organisasi teror melalui kekuatan militer. Pendekatan ini berlandaskan pada Penetapan Presiden RI No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi,yang dikeluarkan pada era Orde Lama. Aturan ini digunakan untuk menindak aktivitas yang dianggap mengganggu kedaulatan negara, termasuk aksi terorisme. Sementara metode soft approach mengedepankan tindakan yang terinregrasi dan komprehensif dalam menangani masalah radikalisme, mulai dari akarnya. Metode ini memakai cara-cara persuasif, dialog, mengajak keterlibatan masyarakat dalam menangkal faham radikalisme. Pendekatan semacam ini dimulai sejak pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Penanggulangan terorisme di era Orde Lama Di era Orde Lama, berbagai aksi teror dilatarbelakangi oleh motivasi separatisme atau ingin melakukan kudeta. Ini bisa dilihat pada kasus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Memang ada gerakan yang berlandaskan pada simbol keagamaan tertentu seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dengan tokoh seperti Kahar Muzakar, Kartosuwiryo dan Daud Beureuh, namun semangatnya adalah separatisme. Semua gerakan tersebut ditanggulangi oleh negara melalui metode hard approach, melibatkan konfrontasi bersenjata dengan kekuatan militer. Beberapa contoh di antaranya adalah PRRI yang ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Selain itu Permesta yang bebeberapa kali terlibat kontak bersenjata dengan pemerintah, sebelum menyadari posisinya makin sulit dan kemudian memutuskan kembali ke NKRI dan menyatakan pembubaran diri. Penanggulangan terorisme di era Orde Baru Di era Orde Baru mulai muncul aksi terorisme yang berlandaskan pada penafsiran ajaran agama tertentu. Hal ini bisa dilihat pada kasus pembajakan sebuah pesawat Garuda, pada 28 Maret 1981, atau pengeboman Candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Saat itu negara masih menggunakan pendekatan hard approach. Namun begitu, Orde Baru lebih mengandalkan strategi intelijen yang relatif lebih sunyi ketimbang strtaegi konfrontasi bersenjata sebagaimana dipraktikkan pada era Orde Lama. Penetapan Presiden RI No. 11/1963 yang sebelumnya menjadi landasan untuk memberantas tindak terorisme, sempat dianggap tidak berlaku ketika era Orde Baru dimulai. Tapi pada tahun 1969, aturan tersebut dikuatkan menjadi UU No. 11/PNPS/1963, yang kemudian kembali menjadi dasar penindakan aksi terorisme dengan metode hard approach. Penanggulangan terorisme di era Reformasi Di era Reformasi, UU No. 11/PNPS/1963 resmi dicabut melalui penetapan UndangUndang No. 26 Tahun 1999. Sementara aksi terorisme seperti pengeboman dan bom bunuh diri terus bermunculan, kali ini mengincar rumah-rumah ibadah, pusat keramaian dan kedutaan besar negara-negara sahabat.



Aksi terorisme di Indonesia yang paling banyak menyedot perhatian adalah peristiwa Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002. Kejadian ini direspon dengan cepat oleh pemerintah. Setelah selama beberapa tahun penanggulangan terhadap aksi terorisme tidak memiliki payung hukum yang spesifik, kali ini pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002. Peraturan ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Langkah ini disusul Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang memberi mandat kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) untuk membuat strategi dan kebijakan nasional dalam menangani terorisme. Menkopolkam kemudian mengeluarkan keputusan dengan nomor 26/Menko/Polkam/11/2002, mengenai pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Melihat fenomena organisasi terorisme yang makin sistematik dalam merekrut dan melakukan kaderisasi, pemerintah memandang upaya terpadu dan strategis untuk merespon hal ini. Hal ini direspon oleh DPR, melalui Rapat Kerja antara Komisi 1 DPR RI dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), pada 31 Agustus 2009. DPR RI melalui Komisi 1 menyatakan mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi dan memberantas pemerintah, serta merekomendasikan beberapa poin yang kemudian diwujudkan dalam pendirian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pendirian lembaga ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pendirian BNPT ini menandai dimulainya babak baru dalam metode penanggulangan terorisme yang mengedepankan metode soft approach. Landasannya adalah penegakan hukum, di mana terorisme dianggap sebagai tindakan kriminal yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Dalam upaya penanggulangan terorisme, BNPT menekankan upaya yang integratif dan komprehensif, mengedepankan pendekatan persuasif dengan berbagai program yang menyentuh akar persoalan, yakni ideologi, sosial, ekonomi dan ketidakadilan. Dalam pelaksanaan programnya, BNPT melibatkan seluruh komponen bangsa, baik pemerintah (K/L) maupun masyarakat. Dalam posisi inilah BNPT menjadi leading sector yang mengkoordinasikan seluruh potensi daya dari berbagai elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme. BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta strategi dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme. Arahan kebijakan pelaksanaan pencegahan radikal terorisme harus dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, terlembaga, dan berkelanjutan. Arah kebijakan ini meliputi pencegahan penyebaran ideologi dan kelompok radikal terorisme melalui sosialisasi, intelijen pencegahan dan fasilitasi pelatihan. Hal ini juga harus sejalan dengan meningkatkan dukungan masyakarat terhadap gerakan upaya melawan pemikiran dan aksi radikal terorisme sebagai upaya pencegahan terorisme yang dapat mengancam stabilitas keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk merealisasikan pendekatan kepada berbagai elemen masyarakat, sekaligus memacu partisipasi mereka dalam pencegahan infiltrasi faham-faham terorisme, BNPT telah membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di berbagai daerah. Forum ini bertujuan untuk menghimpun dukungan masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terorisme dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal masing-masing daerah.



Dalam menjalankan programnya, struktur Pencegahan Terorisme yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme terdiri dari: Pengawasan dan kontra propaganda Pengawasan dan Kontra Propaganda merupakan bagian dari Pencegahan Terorisme dengan tugas utamanya merumuskan, menkoordinasikan dan melakukan pengawasan, baik pengawasan administratif maupun pengawasan fisik serta strategi kontra propaganda melalui media center maupun media lainnya. Hal yang terkait pemantauan dan pengendalian di bidang pengawasan dan strategi kontra propaganda juga dilakukan untuk mengantisipasi aksi terorisme. Kewaspadaan Kewaspadaan dalam pencegahan teror meupakan upaya deteksi dini dalam mencegah aksi teror. Bidang Kewaspadaan bertugas merumuskan kebijakan dan strategi di bidang peringatan dini dalam rangka pencegahan ancaman terorisme, menyiapkan koordinasi peringatan dini dan hal-hal yang terkait informasi awal tentang rencana kegiatan terorisme terutama pemetaan, jaringan dan pendanaan terorisme. Hal terpenting adalah melaksanakan kebijakan dan strategi di bidang peringatan dini dalam rangka pencegahan ancaman terorisme serta memantau dan mengendalikan pelaksanaan peringatan dini dalam rangka pencegahan ancaman terorisme. Penangkalan Bidang penangkalan dalam pencegahan Terorisme berarti merumuskan, melakukan koordinasi dan melaksanakan program penangkalan ideologi dan aliran radikal serta tindak kekerasan. Demikian juga upaya memantau serta melakukan pengendalian pelaksanaan program-program penangkalan ideologi dan aliran radikal serta tindak kekerasan dalam rangka pencegahan terorisme. Perlindungan Perlindungan dalam Pencegahan Terorisme di bagi menjadi dua sub bidang yaitu perlindungan terhadap Obvitnas, VVIP serta transportasi dan Perlindungan terhadap lingkungan. Perlindungan terhadap Obvitnas, VVIP dan transportasi bertugas menyiapkan bahan perumusan, koordinasi dan pelaksanaan pengamanan serta melakukan pemantauan dan pengendalian program terkait objek vital nasional, transportasi dan VVIP dalam rangka perlindungan. Objek vital nasional adalah telekomunikasi, transportasi (darat, laut, udara), jasa keuangan dan perbankan, ketenagalistrikkan, minyak dan gas, pasokan air besih, unit layanan darurat seperti rumah sakit,kepolisian dan pemadam kebakaran serta kantor pemeintahan. Perlindungan terhadap lingkungan berfungsi merumuskan kebijakan dan strategi di bidang pengamanan wilayah pemukiman serta wilayah publik dalam rangka perlindungan. Mengkoordinasikan dan melaksanakan program-program pengamanan wilayah pemukiman dan wilayah publik dalam rangka perlindungan. Pemantauan dan pengendalian program juga dilakukan untuk melakukan perlindungan, sebagai bagian dari pencegahan terorisme. Sumber: 1. Dokumen Blueprint Pencegahan Terorisme, BNPT, 2014 2. Dokumen Perkembangan Terorisme di Indonesia, BNPT, 2013 https://damailahindonesiaku.com/terorisme/sejarah-terorisme/ ==============



Penanganan Terorisme Sabtu, 1 Desember 2012 Oleh Suhardi Alius Teroris kini tumbuh seperti jamur di musim hujan. Maka dibutuhkan pemahaman yang lebih kritis dan obyektif untuk merespons peristiwa sesaat, tetapi berorientasi pada pengembangan konsep pencegahan yang lebih luas. Indonesia memilih pemberantasan terorisme dengan model law-enforcement. Sebagai negara demokrasi baru yang telah meninggalkan otoritarianisme seharusnya ini menjadi proyek percontohan negara yang berhasil memberantas terorisme dengan sistem yang berbasis criminal-justice (melalui penindakan oleh polisi dan diproses melalui pintu pengadilan berlapis). Criminal justice system yang dipilih Indonesia tetap lebih baik dibanding menggunakan pendekatan lain terhadap terorisme yang kadang proses penangkapan terhadap pelaku terorisme tidak dapat diungkap kepada publik. Beberapa negara yang memilih pendekatan militer, seperti Pakistan dan Yaman, justru menimbulkan kerawanan terhadap instabilitas politik dalam negeri. Namun, penanganan teroris di Indonesia lebih lunak dibandingkan Amerika Serikat sebagaimana diungkap Sidney Jones. Ia mengatakan, Indonesia lebih baik menangani terorisme dan dampak-dampaknya ketimbang negara lain. Perbedaannya dengan Amerika adalah Indonesia mampu mengadili para pelaku terorisme secara lebih terbuka dibanding Amerika yang menerapkan pengadilan tertutup, seperti halnya sekarang di Guantanamo. Memang masih banyak kritik terhadap operasi pemberantasan terorisme oleh Polri. Namun, di lain sisi juga perlu dipahami, apa yang dilakukan Polri adalah dalam rangka melindungi masyarakat dan kepentingan umum, termasuk mencegah berkembangnya paham yang tidak sesuai dengan makna ajaran agama dan nilainilai Pancasila, sekaligus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendekatan keras Teror harus ditindak, tetapi dengan tetap menjunjung tinggi code of conduct ataupun rule of engagement sehingga apa pun yang dilakukan dalam melawan terorisme terbebas dari persoalan pro dan kontra sehingga mendapatkan legalitas dan legitimasi. Pendekatan keras (hard approach) selama ini tidak sepenuhnya efektif dalam penanggulangan terorisme. Selain rugi karena hilangnya rantai penghubung bila jumlah pelaku yang tertembak mati banyak, hal ini juga menghambat informasi tentang sel dan organisasi teror itu. Selain itu, tembak mati teroris menyisakan duka dan dendam keluarga serta komunitas yang ditinggalkan. Maka pendekatan keras harus dibarengi sentuhan serta pencerahan agar dendam tidak berkelanjutan dan bahkan menjadikan aparat pemerintah target pembalasan. Penindakan teroris tidak boleh berhenti kepada pelaku, tetapi dilanjutkan dengan upaya pendekatan terhadap keluarga serta komunitasnya. Karena itu, muncul upaya agar sedapat mungkin tidak menembak mati terduga pelaku terorisme, sepanjang tidak membahayakan petugas/masyarakat dan kemudian menangkap hidup-hidup. Pendekatan keras masih diperlukan, tetapi harus dibatasi penggunaannya hanya pada kondisi paling darurat. Sejumlah alternatif dalam operasi di lapangan dapat ditempuh dan menjadi prosedur standar. Pendekatan lain adalah pendekatan lunak (soft approach). Ini lazim dilakukan melalui program deradikalisasi seperti mengedepankan fungsi intelijen dan



pembinaan masyarakat tingkat mabes dan kewilayahan yang mencakup kemitraan, serta kebijakan berbasis persetujuan dan legitimasi publik, bukan sekadar menerapkan peraturan. Selanjutnya perlu tindakan preventif bukan reaktif, pendekatan interagensi dan memperkuat kewaspadaan masyarakat agar tidak terpengaruh terorisme dan tidak bersimpati kepada gerakan terorisme. Pemerintah sebaiknya menyelesaikan akar masalah lokal (seperti dalam kasus Poso dan daerah konflik lainnya) serta bekerja sama dengan instansi terkait untuk mengidentifikasi daerah dan masyarakat yang terkena paham radikal untuk menetralkannya. Sistem keamanan lingkungan yang pernah ada dengan wajib lapor bagi orang asing bisa dihidupkan lagi. Di sisi pendidikan, perlu pengayaan kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Deradikalisasi Program deradikalisasi pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Oleh karena itu, upaya memerangi terorisme lebih efektif melalui deradikalisasi. Esensinya adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang dianggap salah. Caranya dengan memberikan pengalaman baru yang didapat bukan dari medan perang, tetapi dari kehidupan sosial lewat interaksi antarmanusia secara terbuka dan inklusif agar mendapat pemahaman yang benar soal jihad dan terorisme. Dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan hukum, sosial, dan budaya bangsa karena bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif. Oleh karena itu, strategi mengatasi terorisme akan berbeda antarnegara. Pendekatan lunak adalah upaya deradikalisasi yang dilakukan Polri secara lintas sektoral terhadap akar kejahatan terorisme. Caranya dengan masuk ke dalam kehidupan masyarakat lewat deteksi dini, upaya pencegahan, serta pembinaan terhadap para eks pelaku teror dan pendukungnya. Prioritas dalam pendekatan ini adalah para keluarga serta komunitas para teroris yang telah ditindak. Tidak semua kekerasan dapat dipadamkan melalui tindak kekerasan. Penanggulangan terorisme membutuhkan kebijakan yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kebijakan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang umum dan menyeluruh. Pada dasarnya penanggulangan terorisme tidak hanya terkait penindakan saja, tetapi juga terkait aspek lain yang melibatkan instansi lain, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informasi, BIN, unsur-unsur TNI di daerah, serta unsur lainnya. Pemangku kepentingan lain, seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, juga perlu dilibatkan. Menangkal teroris dengan pendekatan lunak akan lebih berdampak positif. Caranya dapat dimulai dengan mendekati eks para pejuang dari Afganistan, Filipina, dan dari negara lain yang ada di wilayah Indonesia. Pemerintah juga harus mampu merangkul pondok pesantren ataupun organisasi kemasyarakatan Islam dalam mengontrol masuknya ideologi yang keliru dalam memaknai jihad dan penghalalan cara untuk membunuh orang lain. Perlu ditegaskan oleh Kementerian Agama bahwa para teroris bukanlah produk agama karena semua agama mengajarkan kebaikan. Berbagai cara harus dilakukan untuk menyadarkan bahwa tindakan teroris itu tidak dibenarkan oleh agama apa pun sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan, warga sipil, dan bangsa lain.



Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melaksanakan pendekatan lunak secara komprehensif dalam menyelesaikan kasus terorisme itu. Pendekatan ini yang mungkin akan bisa menjawab pertanyaan mengapa terorisme itu muncul di Indonesia dan bagaimana cara untuk menghadapinya. Implementasi memerangi aksi terorisme dilakukan dalam bentuk resosialisasi, reintegrasi, dan sekaligus keteladanan bahwa langkah pemerintah tidak diskriminatif dan perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melapor bila menemukan indikasi atau kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Dari semua uraian di atas tampaknya sudah sangat mendesak untuk secara terintegrasi pemerintah melaksanakan operasionalisasi serta implementasi dari semua kebijakan, konsep, dan rekomendasi yang telah ada agar bermanfaat langsung. Suhardi Alius Kepala Divisi Humas Polri http://regional.kompas.com/read/2012/12/01/04025762/Penanganan.Terorisme ===============



Pencegahan Terorisme Oleh Khamami Zada Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Osama bin Laden dikabarkan telah tewas oleh operasi militer Amerika Serikat. Tewasnya orang nomor satu yang paling diburu AS ini setidaknya akan menyita pandangan masyarakat Muslim di Indonesia. Paling tidak, kata “syahid” akan menyelimuti pandangan umat Islam. Antara teroris dengan syahid memang dua kata yang sulit dipisahkan, sehingga orang yang berjihad dengan tindakan terorisme dipandang sebagai pejuang yang mati syahid. Pemahaman ini masih melekat dalam diri umat Islam. Inilah yang semakin mempersubur radikalisme dan terorisme di Indonesia. Faktor yang utama bukan saja karena pemahaman agama yang sempit. Tetapi juga kebebasan yang telah diberikan negara ini dalam mengekspresikan agama. Di dalam iklim demokrasi yang telah berlangsung lebih dari satu dekade, negara seakan tidak berani melakukan pembatasan terhadap aktivitas keagamaan, termasuk di dalamnya upaya mencegah aksi terorisme. Padahal, modus terorisme di Indonesia sudah semakin variatif. Bukan lagi aset-aset asing yang menjadi sasaran, tetapi sudah mengarah pada kepentingan nasional. Masjid di Kantor Kepolisian saja sudah menjadi sasaran pengeboman. Sayangnya, perdebatan tentang terorisme di Indonesia lebih difokuskan pada soal jaringan terorisme. Yakni, tentang siapa saja yang terlibat dalam jaringan pengeboman dan model terorisme yang dilakukan. Tak heran jika yang diperbincangkan dalam aksi terorisme adaah siapa pelakunya dan masuk dalam jaringan mana serta bagaimana model terorisme yang dilakukan. Ini memang penting dalam mengungkap genealogi terorisme. Tetapi, fokus seperti ini hanya akan mengungkap jaringannya saja. Padahal inti dari penanggulangan terorisme adalah pencegahan. Yaitu, mencegah terjadinya aksi terorisme.



Upaya pencegahan terorisme sesungguhnya sudah sering disampaikan kepolisian, khususnya Densus 88 agar kepolisian tidak hanya sibuk ketika telah terjadi aksi pengeboman. Di dalam pencegahan terorisme, kepolisian dapat mendeteksi dan memproses secara hukum siapa saja yang diduga melakukan tindakan yang mengarah terorisme. Misalnya, pidato-pidato keagamaan yang memprovokasi terorisme, menggerakkan massa baik sembunyi-sembunyi ataupun secara terbuka untuk melakukan penyerangan, pelatihan perang, menulis buku-buku yang memprovokasi dan menebar kebencian kepada negara dan agama, membuat pernyataan sikap yang mengarah pada kegiatan terorisme. Semuanya ini dapat dikelompokkkan ke dalam kegiatan pra terorisme. Ironisnya, jika kegiatan pra aksi terorisme dapat diproses di pengadilan, maka kelompok pro demokrasi akan berteriak sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Memang selama ini, aparat kepolisian gamang untuk melakukan pencegahan terhadap terorisme karena menghadapi kritik dari kelompok pro demokrasi dan akan mendapat ancaman dari kelompok-kelompok agama yang selama ini melakukan terorisme. Inilah yang membuat tumbuh suburnya terorisme di Indonesia tanpa adanya proses pencegahan yang berarti. Karena itulah, pencegahan terhadap terorisme sudah saatnya menjadi fokus utama dalam penanggulangan terorisme, baik dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang moderat maupun memasukkan komponen pencegahan dalam revisi Undangundang Terorisme. http://www.masjidrayavip.org/index.php? option=com_content&view=article&id=161:pencegahanterorisme&catid=62:khamami-zada&Itemid=99 ============ Pola Penanggulangan Terorisme Di Indonesia: Studi Kebijakan Kriminal Jodi Afila Ryandra Fraud Investigator di Astra Credit Companies Rabu, 18 Februari 2015 Dalam kajian secara kriminologi, fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu mengenai kejahatan telah mengalami perubahan dalam skala cepat. Kejahatan yang pada awalnya dikaji dan dibahas hanya berdasarkan jenis kejahatan maupun penyebabnya secara individual sekarang telah berkembang hingga kelompok kejahatan. Demikian pula dengan tipologi kejahatan yang dilakukan. Saat ini kejahatan transnasional merupakan tipologi kejahatan yang menarik untuk dijadikan pembahasan.Dalam konteks kejahatan transnasional, terdapat beberapa unsurunsur yang saling berkaitan dan terhubung seperti bidang politik, sosial, budaya, komunikasi, danteknologi yang berperan dalam pengembangan globalisasi itu sendiri (Beck,2000). Kejahatan transnasional ternyata memiliki banyak definisi yang berkembang, salah satunya dari United Nations Convention on Transnational Organized Crime. Dalam konvensi internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini secara lebih rinci menjelaskan bahwa kejahatan transnasional adalah tindakan pelanggaran yang berkaitan dengan sedikitnya dua negara. Secara lebih lanjut, konvensi tersebut juga membagi berbagai kategori dari kejahatan transnasional yang mencakup pencucian uang, aktivitas teroris, pencurian hak atas kekayaan intelektual, penipuan finansial, perdagangan obat



terlarang, korupsi, pembajakan pesawat, terorisme, dan kejahatan lintas negara lainnya. Salah satu contoh kejahatan transnasional yang menarik untuk dibahas adalah kejahatan terorisme yang saat ini menjadi lebih sering untuk dibahas oleh pemerintah di berbagai negara. Kejahatan terorisme menjadi sangat menarik untuk dibahas hingga saat ini diakibatkan oleh peristiwa 11 September 2001. Kejahatan terorisme dapat diketahui secara lebih jelas apabila memahami terminologi dari kata teror, teroris, dan terorisme. Perumusan definisi mengenai tiga kata tersebut sampai saat ini belum memiliki persamaan pemikiran dari masingmasing ahli yang ingin membatasi ruang lingkupnya. Khusus untuk teror, perbedaan pandangan dari para ahli dalam mengungkapkan unsur-unsur ataupun kriteria dalam tindakan teror telah menjadikan banyaknya rumusan mengenai definisi teror ini. Kata teror berasal dari bahasa Latin “terrorem” yang berarti rasa takut yang luar biasa. Dalam kata kerja, “terrere” berarti membuat takut atau menakut-nakuti. "Kata teror berasal dari bahasa Latin “terrorem” yang berarti rasa takut yang luar biasa" Menurut Webster’s New World Dictionary, kata terorisme berasal dari bahasa Perancis yang pertamakali digunakan pada pasca terjadinya revolusi Perancis dan awal Reign of Terror di Perancis sekitar tahun 1793-1794, pemerintahan yang berkuasa mempraktekan cara-cara teror dalam menerapkan kebijakankebijakannya. Sedangkan menurut Islamic World Organization dari Abdulhadi Alshehri (2010), terorisme didefinisikan sebagai tindakan agresi yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau negara terhadap manusia yang berkaitan dengan agama, darah, pikiran, uang dan kehormatan, mencakup tipe-tipe yang menakutkan, berbahaya, mengancam, dan membunuh tanpa hak, dan berhubungan dengan perang, perampokan. Semua tindakan kekerasan atau yang ancaman mungkin menjadi pelaksanaan proyek dari individu atau kejahatan kolektif dengan tujuan teror kepada orang-orang dengan merugikan mereka. Mulai banyaknya peristiwa terorisme yang terjadi di dunia internasional pada awal abad 21, termasuk Indonesia, telah diupayakan untuk diantisipasi dalam berbagai macam kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan pun bermacam-macam bentuk pendekatannya. Adapun pendekatan yang saat ini dikenal terbagi atas dua, yaitu hard approach dan soft approach. Hard approach atau yang dikenal dengan pendekatan keras dapat disebutkan sebagai penggunaan kebijakan yang bersifat militer atau menggunakan teknik bersenjata seperti penggunaan tentara, intelijen, dan penyusupan. Soft approach atau dikenal sebagai pendekatan penegakan hukum yang lebih bersifat kepada proses mengubah individu menjadi lebih moderat dengan menghilangkan aspek radikal pada diri mereka (Hearne & Laiq, 2010). Sebagai bentuk reaksi sosial terhadap kejahatan, pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai macam aturan hukum maupun pendirian lembaga yang bertugas untuk menangani permasalahan ini dalam berbagai kebijakan yang berbentuk sistem terpadu penanggulangan terorisme di Indonesia. Dalam obyek penelitian kriminologi, reaksi sosial (masyarakat) terhadap kejahatan dimasukkan ke dalamnya selain peristiwa kejahatan, pelaku, dan korban kejahatan sendiri.



Adapun definisi dari reaksi sosial terhadap kejahatan adalah pola bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga masyarakat secara bersama-sama, dalam rangka menghadapi atau menyikapi kejahatan (Mustofa, 2007). Secara lebih mendalam dapat disebutkan bahwa reaksi sosial terhadap kejahatan dapat terbagi menjadi tiga, yaitu:  Reaksi sosial terhadap kejahatan yang bersifat formal.  Reaksi sosial terhadap kejahatan yang bersifat informal.  Reaksi sosial terhadap kejahatan yang bersifat non-formal. Reaksi sosial terhadap kejahatan yang bersifat formal oleh negara dapat juga disebut sebagai kebijakan kriminal sebab mengacu kepada penjelasan Gilsinan (1990) yang menyebutkan bahwa inti dari pembuatan kebijakan bertumpu pada pembuatan kebijakan, pelaksanaan, dan advokasi kebijakannya, maka kebijakan kriminal merupakan serangkaian kebijakan khusus yang berkaitan dengan kejahatan yang dibuat oleh negara. Pembahasan mengenai konsep kebijakan kriminal juga terdapat dalam berbagai literatur ilmiah, seperti menurut Buchholz dan Rosenthal (2004 dalam Rismawanharsih, 2012) bahwa kebijakan kriminal sebenarnya memiliki kesamaan dengan kebijakan publik. Kebijakan publik sendiri memiliki beberapa rangkaian proses untuk dapat dirumuskan sebagai sebuah kebijakan. Hal tersebut dapat disebut sebagai Policy Process. Proses pembuatan kebijakan publik terdiri dari berbagai lingkaran-lingkaran tertentu yang dapat dinamakanPolicy Cycle yang mencantumkan proses formulasi, implementasi, dan evaluasi dalam kebijakan publik. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menciptakan berbagai macam kebijakan strategis yang terbagi antara dua bagian, yaitu bagian dalam negeri maupun luar negeri guna menanggulangi kejahatan terorisme. Adapun kebijakan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri oleh pemerintah dapat dibagi dalam tiga periode waktu, yaitu periode Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perubahan dalam pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dari hard approach seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru menjadi kombinasi antara hard approach dengan soft approach ternyata menurut Mukhtar (2013) disebabkan oleh kegagalan dalam penanggulangan teror secara keras dengan merujuk kepada data bahwa sepanjang tahun 1999 hingga saat ini peristiwa teror tetap muncul. Bahkan Mukhtar (2013) juga menyebutkan bahwa sebagian pelaku teror memiliki genealogi dengan jaringan lama, misalnya regenerasi aktor terorisme dan pendekatan yang dilakukan sebelumnya dapat memicu aksi balasan oleh aktor terorisme pula. Menurut Hasan (2012) perlunya untuk melakukan perubahan pendekatan dalam penanggulangan terorisme adalah untuk merespon bentuk terorisme baru yang lebih bermotif kepada agama maupun ideologi. Pendekatan secara soft approach juga dibutuhkan untuk mengimbangi pendekatan hard approach yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia diperlukan agar dapat mempersuasi pelaku teroris untuk meninggalkan kegiatan terorisnya, membantu aparat hukum untuk memberikan informasi intelijen terkait dengan jaringan dan aktivitas teroris, dan dapat menyuruh rekan-rekannya selaku teroris untuk mau bekerjasama dengan aparat hukum (Hasan, 2012). Hasan (2012) juga menambahkan bahwa berdasarkan assessmen yang dilakukan oleh International Crisis Group, pendekatan secara soft approach sangat efektif



dalam mempersuasikan teroris untuk meninggalkan aktivitas terornya dan dapat bekerjasama dengan aparat hukum untuk menanggulangi kejahatan terorisme. Secara garis besar, kelebihan dari pendekatan hard approach yang digunakan oleh pemerintah selama Orde Lama dan Orde Baru adalah dapat mendeteksi jaringan maupun kegiatan dari kelompok teroris melalui kegiatan intelijen sekaligus memberikan ancaman sanksi pidana secara maksimal melalui pengerahan kekuatan bersenjata. Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, seperti rawan pelanggaran hak asasi manusia mengingat menggunakan kekuatan militer, tidak terlalu berfokus kepada pencegahan kejahatan, dan juga diketahui melalui penelitian Hasan (2012) tidak terlalu efektif dalam menanggulangi kejahatan terorisme. Lalu untuk pendekatan kombinasi hard approach dan soft approach yang mulai dijalankan pemerintah saat Reformasi melalui BNPT selaku lembaga koordinator juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah kebijakan yang lebih melindungi hak asasi manusia melalui deradikalisasi kepada narapidana terorisme, mengutamakan penyelesaian jalur hukum, melibatkan masyarakat dalam pengendalian terorisme, dan berperan dalam pencegahan sekaligus penyelesaian akar masalah terorisme. "Pendekatan kombinasi hard approach dan soft approach yang mulai dijalankan pemerintah saat Reformasi melalui BNPT selaku lembaga koordinator juga memiliki kelebihan dan kekurangan" Kekurangan dari pendekatan gabungan ini adalah memicu permasalahan koordinasi dalam hal intelijen dan pelibatan TNI apabila dibutuhkan dalam penanggulangan terorisme mengingat peraturan hukum yang ada kurang menjelaskan secara lebih rinci. Sumber Beck, Ulrich. (2000). What is globalizations?. Cambridge: Polity Press. Gilsinan, James F. (1990). Criminology and public policy: an introduction. New Jersey: Prentice Hall. Golose, Petrus Reinhard. (2009). Deradikalisasi terorisme: Humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Hearne, Ellie B. & Laiq, Nur. (2010). A new approach?: Deradicalization programs and counterterrorism. New York: International Peace Institute. Mustofa, Muhammad. (2007). Kriminologi: Kajian sosiologi terhadap kriminalitas, perilaku menyimpang, dan pelanggaran hukum. Depok: FISIP UI Press. Chau, Andrew. (2008). Security community and southeast asia: Australia, the U.S., and ASEAN's counter-terror Strategy. Asian Survey, 48, 626-649. Chow, Jonathan T. (2005). ASEAN counterterrorism cooperation since 9/11. Asian Survey, 45, 302-321. Haque, Shamsul. (2002). Government responses to terrorism: Critical views of their impacts on people and public administration. Public Administration Review, 62, 170180. Mukhtar, Sidratahta. (2013). Deradikalisasi dan soft power dalam menghadapi terorisme. Jurnal Studi Kepolisian. April-Juni 2013. 28-34. Mustofa, Muhammad. (2002). Memahami terorisme: Suatu perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, 2(3), 30-38.



Ogilvie-White, Tanya. (2006). Non-proliferation and counter-terrorism cooperation in southeast asia: Meeting global obligations through regional security architectures. Contemporary Southeast Asia, 28, 1-26. Waugh Jr, William L., & Sylves, Richard T. (2002). Organizing the war on terrorism. Public Administration Review, 62, 145-153. Alshehri, Abdulhadi. (2010). Soft power as an alternative to hard power in counterterrorism in saudi arabia. USAWC Strategy Research Project. U.S. Army War College, Carlisle Barracks. Diunduh dari http://www.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/a522010.pdf. Hadibroto, Ariasa. (2005). Tindakan-tindakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi terorisme. Tesis Program Pascasarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia. Depok. Tidak Diterbitkan. Hasan, Noorhaidi, et al. (2012). Counter terrorism strategies in Indonesia, Algeria and Saudi Arabia. The Hague. WODC. Diunduh dari http://english.wodc.nl/images/1806-volledige-tekst_tcm45-435986.pdf. Rismawanharsih, Dessy. (2012). Kebijakan kriminal di negara-negara anggota ASEAN tentang perdagangan manusia dan perdagangan narkoba sebagai bentuk transnational organized crimes (TOCs). Skripsi Program Studi Kriminologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. Tidak Diterbitkan. Syaiful, Reza Ahmad. (2010). Pembentukan badan gabungan khusus untuk penanggulangan teror di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Depok. Tidak Diterbitkan. https://www.selasar.com/politik/penanggulangan-terorisme-di-indonesia ==============



Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme Supra Nasional Dalam Perspektif Hukum Nasional DALAM sejarah kebangsaan kita banyak sekali ancaman yang telah berhasil kita lalui, antara lain berupa teror yang terdapat dalam konflik-konflik bersenjata dalam Agresi Militer Belanda yang juga dikenal dengan sebutan Clash I pada tahun 1947 dan Clash II pada tahun 1948. Juga, teror yang terdapat di dalam pemberontakan bersenjata PKI di Madiun 1948 pimpinan Muso. Di tahun 1949, teror terdapat di dalam pemberontakan bersenjata oleh DI/TII/NII pimpinan Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sedangkan di tahun 1958, teror secara berdiri sendiri (bukan dalam kandungan suatu konflik bersenjata) dilakukan oleh Allan Lawrence Pope dan Michael Powers yang didalangi oleh CIA. Selang dua tahun, di tahun 1960, teror pernah dilakukan melalui kegiatan intelijen penggalangan, dengan menggerakkan seorang perwira muda bangsa kita sendiri, untuk melakukan penembakan terhadap Presiden RI dari pesawat tempur MIG 17. Tiga tahun sebelumnya, teror dilakukan dalam bentuk usaha assassination (pembunuhan dengan sasaran tertentu) terhadap Presiden RI di



Sekolah Dasar Cikini, Jakarta Pusat, pada tangal 30 Nopember 1957, yang telah menyebabkan banyak orang terutama anak-anak kecil tewas dan cacat. Demikian pula halnya peristiwa G-30-S pada tahun 1965. Kesemuanya itu mempunyai berbagai macam tujuan, namun secara empirik terbukti bahwa korban yang berjatuhan adalah manusia yang tidak tahu apa-apa tentang hal yang dipersengketakan. Akhir-akhir ini teror dalam bentuk assassination terjadi di berbagai tempat, berupa penembakan terhadap sembarang anggota POLRI. Pada tanggal 27 Juli 2013, Ajun Inspektur Patah Saktiyono, anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat, ditembak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. (megapolitan.kompas.com) Pada bulan berikutnya, Rabu 7 Agustus 2013, Ajun Inspektur Dwiyatno anggota Bimas Polsek Metro Cilandak, Jakarta Selatan, tewas ditembak orang tak dikenal di Gang Mandor jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. (tribunnews.com) Sembilan hari kemudian, Jumat 16 Agustus 2013, dua anggota polisi tewas ditembak. Mereka adalah Ajun Inspektur Kushendratna, anggota Binamas Pondok Kacang Barat, dan Brigadir Ahmad Maulana, anggota Reskrim Polses Pondok Aren. (regional.kompas.com) Penembakan ini berlanjut pada bulan berikutnya. Pada hari Jumat tanggal 13 September 2013, Brigadir Ruslan Kusuma, anggota Sabhara Polri, ditembak orang tak dikenal di Jalan Raya Pekapuran, Sukamaju Baru, Tapos, Depok. (megapolitan.kompas.com) Beberapa hari kemudian, Rabu 18 September 2013, Brigadir Syahri Rahmad, anggota Kepolisian Sektor Kota Langsa, Nangroe Aceh Darussalam, menjadi korban penembakan hingga cacat seumur hidup. (jpnn.com) Masih di bulan September, Ajun Inspektur Sukardi tewas ditembak di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, pada hari Selasa 24 September 2013 malam. (Kompas.com)



Hostis Humani Generis Dalam era globalisasi ini, kita justru menyaksikan terorisme semakin marak. Terorisme yang nilai kebenarannya terletak hanya pada dirinya sendiri itu, telah dilakukan baik oleh negara berdaulat seperti USA beserta negara-negara NATO, maupun oleh jaringan supra-nasional Al-Qaeda. Konsep Barat terhadap negaranegara Timur Tengah dalam rangka demokratisasi sistem politik di sana memang tidak dapat dikatakan sebagai terorisme, tetapi serangan militer fisik itu tentu saja mengandung terorisme. Serangan militer fisik tidak mungkin menghindar, dari



jatuhnya korban orang-orang yang tak bersalah. Tujuan manusia untuk membangun demokrasi sebagai tatanan sosio-politik yang ideal dan tujuan manusia untuk mencapai sistem politik kekhalifahan yang agamis, sama-sama tidak dapat digunakan untuk menghalalkan terorisme. Kita harus memandang suatu perbuatan itu secara dan dari sisi obyektif atau dari sisi sasarannya (obyeknya). Jika korbannya adalah innocent persons atau manusia yang tidak terlibat apapun dengan persoalan-persoalan atau masalah-masalah yang sedang dipersengketakan, maka secara definitif perbuatan itu merupakan ‘Terorisme’. Selama idealisme yang jenius maupun keyakinan manusia diiringi dengan praktik terorisme, yang akan dituai kelak adalah krisis filsafati yang meruntuhkan, seperti yang dialami Marxisme dalam sejarah sistem politik dunia. Masyarakat dunia bisa kembali ke zaman biadab, yang menginjak-injak nilai peri kemanusiaan. Para korban terorisme tidak akan pernah peduli, siapakah yang telah merenggut nyawa orangorang yang mereka kasihi, apakah dia itu penjahat atau pahlawan. Mereka yang melakukan kejahatan terhadapnya adalah teroris, yang merupakan musuh kemanusiaan: Hostis Humani Generis.Musuh kemanusiaan tersebut merupakan sasaran untuk kita cegah dan tanggulangi bersama-sama, demi keamanan nasional dan keselamatan individu bangsa Indonesia. Peran hukum nasional kini menjadi semakin sentral. Terorisme Supra Nasional yang aktual, hanya dapat dihadapi dengan konsep hukum yang berazaskan pada “kebaikan” dan “kebenaran” hakiki.



Terorisme Jaringan: Patah Tumbuh, Hilang Berganti Sejak lebih dari satu dekade terakhir kita digoncang oleh aksi teror bom dan telah banyak teroris yang ditangkap, dihukum bahkan ditembak mati, tetapi sampai sekarang teror masih saja terjadi terhadap bangsa Indonesia. Para teroris bak patah tumbuh, hilang berganti. Mereka dianalogikan oleh para ilmuwan Yunani, laksana Unslayable Hydra, binatang imajiner yang tidak bisa mati. Para teroris juga seperti Chanda Bhirawa, ajimat Raden Narasoma dalam cerita wayang Jawa yang Esa Hilang, Dua terbilang. Metode yang mereka pilih dimulai dari peledakan serangkaian bom yang kemudian berkembang menjadi pembunuhan terhadap anggota Polri, yang merupakan aparat penegak hukum di garda terdepan keamanan dan ketertiban masyarakat bangsa Indonesia. Para teroris bagai daun-daun dari sebatang pohon, yang selalu bertumbuh tunas dan berkembang kembali dengan subur, setiapkali daun-daun yang terdahulu gugur ataupun ditebas. Karena itu layak jika kita membangun suatu model analitik sebuah pohon yang kita sebut: Pohon Terorisme.



Kerapkali kita mendengar ulasan dari para pakar yang menyatakan, bahwa penyebab terorisme adalah ketidak adilan dalam kehidupan sosial (social injustice). Apakah artinya jika keadilan di dunia ini tercapai, terorisme tidak akan terjadi lagi? Mereka barangkali lupa, bahwa keadilan di dunia ini tidak akan ada. Keadilan abadi hanya ada kelak di hari kemudian, yang akan ditentukan oleh Allah SWT sebagai Yang Maha Adil. Keadilan empirik yang eksis di dunia ini bak sinar matahari, yang memberikan kesempatan kepada dedaunan untuk hidup. Itupun melalui proses hukum alam yang disebut reaksi photosynthesa. Sinar matahari secara alami menyinari pohon-pohonan di dunia, namun ada yang tersinari penuh, ada yang sebagian, dan ada yang tidak tersinari sama sekali. Itulah keadilan dalam bentuknya di dunia. Untuk dapat menggunakan keadilan dalam hidup perlu proses, yaitu perjuangan hidup di dalam diri sendiri, sebagaimana reaksi photosynthesa, yang tidak harus membunuh orang lain. Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization menyatakan, bahwa benturan antar peradaban telah melahirkan terorisme aktual. Dia barangkali lupa, bahwa benturan antar peradaban manusia selalu terjadi bak atmosphere di udara terbuka sejak jaman dahulu kala. Dalam peradaban suatu suku ras bangsa eskimo di kutub utara, demi cinta anak kepada orang tuanya yang renta, daripada orangtua mereka nantinya mati kesakitan, lebih baik diletakkan saja di luar rumah agar mati kedinginan. Peradaban demikian tentu saja clash (berbenturan) dengan peradaban kita, yang Mikul dhuwur, mendhem jero orangtua kita dengan penuh kecintaan. Apakah keadaan demikian itu menyebabkan terjadinya terorisme? Tentu saja tidak.



Arubusman mensinyalir, bahwa konstelasi geopolitik global merupakan sebab dari terorisme. Pertanyaan kita, apakah kalau masalah Palestina selesai, terorisme akan tidak ada lagi? Sejarah menulis bahwa sebelum ada masalah Palestina pun, pada awal abad ke 20 terorisme sudah ada. Hanya saja dahulu para terorisnya adalah orang-orang Yahudi. Menachem Begin yang PM Israel adalah teroris dari organisasi Stern Gang, yang jika saja dia dulu tertangkap, pasti akan dihukum gantung sampai mati oleh kolonialis Inggris. Dengan demikian maka konstelasi politik global hanya merupakan pupuk penyubur bagi pohon terorisme, yang hidup matinya lebih bergantung kepada akar terorisme. Akar terorisme jaringan supra nasional adalah ideologi politik, yang paling kuat penetrasinya jika menggunakan simbol-simbol agama (sebagai tudung akarnya). Akar ini tidak akan mati, selama tanahnya (kelompok masyarakat fundamentalis) masih subur.



Himpitan Imajiner Walaupun implementasi sistem politik demokrasi masih diwarnai oleh kekerasan USA bersama NATO yang menyalahi prinsip etika politik seperti yang kini terjadi di Timur Tengah, namun kepercayaan masyarakat dunia atas sempurnanya teori politik tersebut telah ber-metastasi (menjalar) dengan sangat cepat. Kedudukannya di era globalisasi kini yang semakin sentral, juga diiringi oleh konsep-konsep lain yang bersifat individualisme seperti human rights, civil society dan good governance. Dengan kelengkapan tersebut akhirnya globalisasi telah membawa teori demokrasi, sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia. Perkembangan konsep Liberal Kapitalisme yang mengusung individualisme, cenderung merupakan keadaan lingkungan strategis dari negara bangsa Indonesia baik global, regional dan nasional. Perkembangan keadaan lingkungan strategis yang beraliran individualisme, berhadapan di tataran nasional kita dengan kolektivisme yang diusung oleh 4 (empat) pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Di antara kedua aliran yang antagonistik ini kita bangsa Indonesia berada pada himpitan imajiner, untuk memilih metoda mana yang paling tepat dalam menanggulangi terorisme jaringan yang bersifat supra-nasional tersebut. Himpitan imajiner tersebut semakin lama akan semakin keras menjepit diri kita sebagai bangsa, sehingga selain ketepatan dalam metoda, kita juga membutuhkan kecepatan dalam bertindak. Kecepatan yang dalam bahasa Latin disebut velox mendampingi ketepatan yang disebut exactus sedemikian rupa bagaikan dua sisi mata uang logam yang sama, merupakan filsafat dari ilmu yang terdiri dari berbagai teori intelijen. Dua sisi mata uang tersebut tidak berada dalam ruang hampa, tetapi dalam ruang negara hukum RI. Hukum nasional harus dapat memayungi intelijen, untuk mencegah dan menanggulangi terorisme.



Intelijen lahir dari tiga fungsi, atau ada tiga fungsi yang membuat intelijen itu eksis atau ada. Yaitu, karena penyelidikan (detection), pengamanan (security) dan penggalangan (preconditioning). Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan lunak (misalnya memberi uang), cerdas (mengalahkannya via diskusi) dan keras (dengan kekuatan militer fisik). Ontologi intelijen menyangkut being atau keberadaan intelijen di dalam kehidupan, sebagaimana halnya otak dan panca indera manusia. Sebagai panca indera intelijen berfungsi untuk melihat, mendengar, mencium, merasa, meraba dan kemudian menyampaikannya kepada otak, untuk berfikir dengan segenap kecerdasannya. “Saya berfikir, karena itu maka saya ada”, demikian dikatakan oleh Rene Descartes. Mustahil manusia hidup tanpa otak, karena mahluk yang hidup tanpa otak untuk dapat berfikir bukanlah manusia. Kecerdasan membuat intelijen bebas dari segala macam bentuk mistik atau logika gaib. Bahkan logika metafisika justru merupakan predator, yang dapat membunuh eksistensi intelijen. Sebagai suatu proses, intelijen berangkat dari logika materiil dan ilmu pengetahuan (science, sains). Yang dimaksud dengan logika materiil di sini bukanlah berarti materialisme filosofis, yang mengartikan segala yang ada itu adalah materi atau berasal dari materia, tetapi hanyalah suatu penjelasan bahwa intelijen itu cenderung bersifat empirik. Intelijen bukan khayalan atau takhayul, yang kerap bersumber dari ‘orang pinter’, dukun, mantra, sesajen dan doa-doa ritual. Kecerdasan itu pula yang membawa intelijen kepada keberadaannya (ontologis) dan sumber pengetahuannya (epistemologis). Secara ontologis intelijen dihadapkan kepada pilihan, sebagaimana halnya manusia pada umumnya di dalam hidup ini. Jika manusia sebagai individu dan makhluk sosial dihadapkan pada pilihan antara yang suci dan yang profan, maka manusia akan memilih dalam dualisme ontologisnya itu, kepada eksistensi pengabdian total kepada Allah SWT. Dalam konteks intelijen negara, pilihan terhadap dualisme ontologis sebagai pengabdi individu atau mahluk sosial, intelijen memilih totalitas pengabdiannya kepada negara, di mana segenap individu manusia Indonesia berada di dalamnya. Artinya, jiwa intelijen adalah pengabdian total kepada negara, karena tanpa pengabdian total tersebut intelijen tidak ada (sirna) di dalam kehidupan suatu bangsa. Pengabdian total merupakan keyakinan terhadap takdir tentang yang baik dan buruk, melebihi pemikiran terhadap konsensus sosial tentang yang benar dan salah. Saya ambil contoh, seorang intelijen mengetahui ada seorang teroris berlari membawa bom untuk bunuh diri, menuju ke arah dalam mesjid di mana banyak kaum muslimin sedang bersembahyang Jum’at. Dengan cepat intelijen menembak teroris itu sehingga ia mati. Secara hukum, intelijen itu patut dipersalahkan, karena



teroris belum melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian apapun. Dalam bahasa hukum perbuatan pidana yang dilakukannya belum selesai, sehingga ia belum patut untuk diadili apalagi langsung dieksekusi dengan hukuman tembak mati. Namun moral intelijen terpaksa melakukan hal itu, demi menyelamatkan banyak orang yang sedang bersembahyang Jum’at. Secara hukum ia bisa dinyatakan salah, karena hukum memang menentukan benar atau salahnya seseorang, tetapi secara aksiologis ia tetap seorang intelijen yang bermoral baik, karena derajat pengabdian total kepada negaranya menentukan dia sebagai intelijen yang baik atau buruk. Keadaan di saat sang teroris tadi berlari menuju sasarannya (masjid) tersebut, menurut Adian (2011) dinamakan iustitium atau kedaruratan (bukan keadaan darurat). Kedaruratan dalam teori Giorgio Agamben adalah suatu keadaan hampa hukum, paralel dengan keadaan di dalam lingkupnya yang lebih besar dengan suasana himpitan imajiner yang serba dilematis. Dalam suasana himpitan imajiner yang dilematis antara kolektivisme dan individualisme, maka hukum intelijen berada dalam peranan yang sentral untuk memerangi terorisme jaringan. Hukum intelijen mengandung arti berlakunya aturan perundang-undangan, di dalam hirarki hukum yang bersifat: “LEX SUPERIORI DEROGAT LEGI INFERIORI”. Dengan demikian berarti bahwa UU Intelijen Negara harus dapat memayungi strategi dan pola operasional intelijen negara, sebagaimana UU Intelijen Negara harus teruji oleh UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara.



Cara Mencegah dan Menanggulangi Metode penanggulangan terorisme jaringan supra nasional merupakan pernyataan perang terhadapnya. Perang zaman sekarang bukan lagi perang fisik, tapi perang adu kuat konsep dan pikiran manusia. Perang tidak lagi simetris, di mana jelas diketahui siapa melawan siapa. Perang kini bersifat asimetris, yang tidak jelas siapa melawan siapa, apa lawan apa, bilamana waktunya, di mana, dari mana dan bagaimana wujud atau bentuknya secara konkrit. Selain asimetris, perang jaman sekarang juga merupakan perang hybrida. Perang hybrida melibatkan segenap potensi nasional. Semua berbaur dalam satu tujuan perang, yaitu merebut kemenangan. Terorisme jaringan supra nasional masa kini dilakukan oleh para teroris generasi ketiga. Generasi pertama adalah jaringan Al-Qaeda dan segenap jajarannya, yang tersebar di berbagai Nation States (negara-negara bangsa). Generasi kedua adalah mereka yang direkrut oleh jaringan tersebut. Sedangkan generasi ketiga adalah mereka yang terobsesi oleh ideologi Islam politik yang serba ghuluw (ekstrim).



Metoda asimetris para teroris generasi ketiga ini adalah bergerak secara sendirisendiri, tanpa suatu organisasi yang signifikan dalam pengendaliannya. Ideologi yang merupakan akar terorisme generasi ketiga ini tumbuh dan berkembang di habitatnya, yaitu masyarakat muslim yang menyukai kekerasan. Masyarakat radikal yang menyukai kekerasan tanpa gugatan, dapat berkembang makin luas. Meluasnya masyarakat yang intoleran demikian semakin menyuburkan pohon terorisme. Tergalangnya seluruh komponen masyarakat, dapat melancarkan perang hybrida dalam waktu yang tidak terlalu lama. Perlawanan masyarakat mayoritas terhadap mazhab yang menyukai kekerasan tersebut, berada di panggung perang psikologi. Masyarakat mayoritas yang diam saja, merupakan penyebab utama berkembangnya radikalisme. Perkembangan perang pada umumnya dapat disimak dalam empat generasi. Pertama, perang massal. Perang generasi pertama ini mengadu kekuatan dalam jumlah atau banyaknya prajurit yang maju ke medan laga. Puncak perang generasi pertama ini pada peperangan yang terjadi pada masa Napoleon Bonaparte, sehingga terumuskan secara matematis kekuatan penyerang terhadap yang bertahan minimal harus tiga berbanding satu. Kedua, perang teknologi, yang mengadu kekuatan dalam teknologi persenjataan. Andalan dalam perang generasi kedua ini adalah daya tembak. Puncak perang generasi ini adalah Perang Dunia I. Ketiga, perang mobil, yang mengadu kekuatan dalam daya tembak, daya gerak dan daya gempur. Pasukan tentara yang berhadapan tidak lagi mengandalkan kendaraan lapis baja yang tebal serta tank-tank yang besar dan berat, tetapi tanktank yang kecil dan ringan dengan daya manuver (kecepatan bergerak) yang maksimal. Senjata pemusnah massal seperti bom atom menjadi andalan, yang diikuti oleh PerangNubika (Nuklir, Biologi dan Kimia). Puncak Perang generasi ini adalah Perang Dunia II. Keempat, perang psikologi (Perang Urat Syaraf atau PUS), yang merupakan perang pikiran manusia dalam wujud dan sifat yang asimetris dan hybrid. Di sini yang beradu bukan untuk memperebutkan teritorial, tetapi hegemoni kultural. Perang generasi keempat demi memperebutkan hegemoni kultural ini bersifat universal (global). Dalam Perang Urat Syaraf (Psy War) kekuatan masing-masing pihak berada pada konsistensi keberfihakan opini masyarakat, yang merupakan massa pendukungnya masing-masing. Pada perang generasi keempat ini, dislokasi musuh-musuh kita tidak lagi seperti zaman dulu, yang dibatasi dengan berbagai pengertian seperti FEBA (Front Edge of Battle Area) atau BDDT (Batas Depan Daerah Tempur), daerah penyangga, daerah komunikasi dan garis belakang. Semua batasan itu kini tidak ada lagi. Musuh kita ada di mana-mana, di depan, di belakang, di luar dan di dalam negara kita sendiri.



Musuh kita dengan berbagai sarana yang dulu tak dikenal juga kini telah mulai digunakan di dalam PUS. Terorisme di masa depan jika dibiarkan terus meluas, akan lebih dikenal publik sebagai cyber-terorism dan bio-terorism, yang menebarkan virus dan baksil serta berbagai hasil rekayasa genetik. Dengan demikian teroris jaringan yang mengancam ketertiban dan keamanan negara kita, bisa datang dari pihak eksternal (dari luar negeri) dan bisa juga internal (dari dalam negeri sendiri). Mereka berada dan hidup di antara kita, yaitu pada lingkungan kelompok masyarakat fundamentalis. Lingkungan kelompok masyarakat yang merupakan habitat terorisme jaringan adalah masyarakat yang ekstrim (berlebihan). Habitat atau lingkungan hidup terorisme dalam model analitis dapat dianalogikan dengan tanah, jika terorisme diumpamakan sebagai pohon yang mempunyai akar, batang, ranting dan daun. Untuk membahas tanah, kita harus membahas pohonnya dulu. Karena, hal ini menyangkut pohon apa yang hidup di sana. Dari sana kita baru dengan terang dapat membahas tanah yang bagaimana yang kondusif untuk hidupnya pohon terorisme itu. Penyelesaian aksi terorisme di Indonesia tidak selalu harus menggunakan pendekatan hukuman, apalagi hukuman mati. Lex est perire, non poena (mati adalah sebuah hukum, bukan hukuman). Para teroris yang mati dapat dengan mudah diganti oleh daun-daun baru. Para teroris yang menderita brain washed, harus ditolong untuk memperoleh kembali kesadarannya melalui usaha, pekerjaan dan kegiatan deradikalisasi. Usaha-usaha tersebut perlu melibatkan berbagai personil dan organisasi sosial keagamaan dalam operasi-operasi penggalangan dengan pendekatan cerdas, di bawah payung Undang-undang Intelijen yang berlaku. Undang-undang tersebut masih perlu direvisi sedemikian rupa, sehingga UU Intelijen berada di luar The Criminal Justice System. Alasannya sederhana saja, yaitu intelijen bukanlah aparat penegak hukum. Para teroris yang ditangkap terutama sebelum melakukan aksi teror bukanlah untuk dihukum, tetapi untuk disadarkan kemudian digunakan dalam operasi intelijen membongkar seluruh organisasi dan meredam kegiatan-kegiatan mereka. Kebanyakan teroris yang telah sadar dari ‘cuci otak’ yang dideritanya, siap untuk melakukan dialog filsafati, sehingga memerlukan bantuan (intervensi) eksternal yang positif. Peran umat Islam Moderat menjadi semakin sentral untuk memobilisasi dan mengorganisir diri mereka, guna menanduskan tanah kelompok fundamentalis agar akarnya mati.



Para da’i Pancasilais itu perlu diwadahi untuk digelar di berbagai fora, menggalang masyarakat luas utamanya kaum muslimin untuk menjauhi berbagai jenis praktik kekerasan yang mengatas-namakan agama Islam yang rahmatan-lil-alamin. Dengan cara itu habitat terorisme akan sirna dan ideologi sebagai akarnya akan mati dengan sendirinya. Kematian akar terorisme akan berakibat langsung kepada matinya keseluruhan pohon. Daun-daun (para teroris) tidak lagi dapat ber-patah tumbuh hilang berganti. Kesaktiannya sebagai The Unslayable Hydraakan tetap tinggal sebagai binatang imajiner Yunani. Demikian pula aji Chanda Bhirawa yang ada pada Raden Narasoma akan tetap tinggal dalam dongeng wayang Jawa. (Orasi Ilmiah ini disampaikan pada tanggal 03 Oktober 2013 di forum Dies Natalis ke 18 dan Wisuda ke-14 Sarjana dan Pascasarjana Tahun 2013 Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, yang berlangsung di Auditorium STIK/PTIK, Jalan Tirtayasa Raya No. 6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan).



http://www.hendropriyono.com/?p=1722 =============



Analisis Intelijen Gerakan ISIS di Indonesia By Stanislaus Riyanta | July 6, 2015 Pendahuluan Dunia dikejutkan gerakan Islam garis keras beberapa tahun terakhir ini. Kelompok yang menamakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini bergerak dengan kekejian luar biasa. ISIS berhasil merekrut warga dari banyak negara untuk berjihad di Suriah. Banyak anak muda yang bergabung dengan ISIS, tidak hanya dari negara Asia, tetapi juga dari Australia dan Eropa yang basis masyarakatnya bukan muslim. Indonesia dengan penduduk muslim yang besar patut waspada dan siaga dengan fenomena ISIS. Rangkaian teror yang dilakukan Islam garis keras selama ini seharusnya sudah cukup menjadi catatan buruk bagi masyarakat Indonesia. Kekerasan yang dilakukan oleh ISIS terhadap oposisi di Suriah menunjukkan bagaimana ISIS mencapai tujuannya secara keji dan tidak manusiawi. Model seperti ini jangan sampai terjadi di Indonesia dan di belahan bumi manapun juga walaupun mengatasnamakan jihad. Dari beberapa video yang dirilis oleh ISIS, beberapa warga negara Indonesia sudah terdeteksi bergabung dengan ISIS. Tren relawan yang akan bergabung ke ISIS dengan modus umroh terdeteksi oleh pemerintah. Turki menjadi negara transit para relawan sebelum menyeberang ke Suriah. Penggalangan ISIS tentu sangat



mengkhawatirkan. Hal ini berbahaya, terutama jika para relawan ini kembali ke Indonesia. Arus balik relawan ISIS yang berasal dari Indonesia wajib untuk diwaspadai agar tidak menjadi pendadakan strategis bagi negara.



Teknik Analisis Kontraterorisme Dalam melakukan kajian kontraterorisme diperlukan suatu metode kajian tertentu sehingga dapat diketahui langkah-langkah antisipasi gerakan terorisme tersebut. Teknik analisis kontraterorisme juga berguna untuk membaca sinyal pendadakan strategis. Prunckun dalam bukunya yang berjudul Handbook of Scientific Methods of Inquiry fo Intelligence Analysis (2010) menyebutkan bahwa ada beberapa rangkaian teknik yang dapat digunakan dalam analisis kontraterorisme sebagai berikut :



1.



Treath Analysis



Ancaman (treath) adalah tekad/kemauan seseorang atau organisasi untuk menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Ancaman dapat dilakukan terhadap sebagian besar entitas orang, organisasi, dan negara. Potensi bahaya bisa dalam berbagai bentuk dan dapat menyebabkan penderitaan secara fisik atau emosional / mental. Dalam melakukan ancaman, pengancam (teroris) tidak perlu secara terbuka menyatakan tekad mereka. Namun kata-kata atau tindakan secara eksplisit memudahkan identifikasi dan analis untuk menilai ancaman tersebut. Terjadinya ancaman tidak begitu saja, ada dua hal utama pendorong ancaman terjadi, yaitu niat/intensitas (intent) dan kapabilitas (capability) atau kemampuan. Sementara itu niat akan didorong oleh oleh faktot kemauan / hasrat (desire) dan harapan (expectation). Kapabilitas akan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan (knowledge) dan sumber daya (resources).



2.



Vulnerability Analysis



Kerentanan (Vulnerability) adalah kelemahan dalam organisasi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar. Kerentanan juga merupakan kemampuan organisasi untuk bertahan dari ancaman. Kerentanan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu daya tarik (attractiveness), kemudahan untuk diserang (ease of attack), dan dampak (impact).



Objek yang mempunyai daya tarik kuat akan mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi. Sebagai contoh di Indonesia, simbol-simbol negara barat seperti kedutaan, rumah makan cepat saji, hotel dengan tamu mayoritas orang asing akan lebih sering untuk dijadikan sasaran terorisme daripada objek lain. Kemudahan suatu objek untuk diserang dan dampak serangan juga akan menjadi pertimbangan utama terorisme untuk menetapkan sasaran.



3.



Risk Analysis



Risiko (risk) merupakan fungsi dari kemungkinan dan konsekuensi. Teknik analisis risiko dapat digunakan untuk berbagai situasi dan organisasi. Salah satu fungsi analisis risiko adalah untuk menilai suatu obyek pada situasi yang mungkin menjadi target para pelaku kriminal atau terorisme. Analisis risiko akan menghasilkan sebuah rekomendasi kepada organisasi atau pengambil keputusan untuk menerima risiko yang akan terjadi atau memperlakukan/ mengendalikan risiko (menghindari, mengurangi, atau menunda).



4.



Prevention, Preparation, Response, and Recovery (PPRR) Planning



PPRR Planning terdiri dari empat bagian yaitu pencegahan (prevention), persiapan (preparation), respon/tanggapan (response), dan pemulihan (recovery). Pencegahan adalah suatu langkah untuk menghentikan risiko yang akan terjadi. Persiapan adalah bagaimana organisasi mempersiapkan diri jika risiko terjadi. Respon / tanggapan tindakan apa yang akan dilakukan jika risiko terjadi. Terakhir adalah fase pemulihan, yaitu langkah-langkah yang akan dilakukan setelah risiko terjadi.



Kajian tentang estimasi intelijen gerakan ISIS di indonesia dengan menggunakan teknik analisis kontraterorisme sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini didasarkan atas pengalaman Indonesia yang sering kali mengalami serangan dari teroris yang memakan korban jiwa tidak sedikit. Faktor ancaman global dari teroris terutama ISIS yang sekarang menjadi perhatian dunia tidak bisa dianggap remeh. Indonesia sebagai negara Islam yang besar diharapkan berperan aktif dalam program kontra terorisme terutama menyangkut gerakan ISIS di dunia. Analisis kontraterorisme diharapkan menghasilkan rekomendasi bagi pengambil keputusan untuk mengambil tindakan bagi pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia.



Aplikasi Teknik Analisis Kontraterorisme Gerakan ISIS di Indonesia Terorisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aksi kekerasan terencana dengan motivasi politik. Kekerasan dalam terorisme bisa terjadi terhadap negara atau terhadap kelompok tertentu. Aksi terorisme bertujuan untuk intimidasi atau memaksakan kepentingan tertentu karena dianggap cara lain sudah tidak mungkin dilakukan. Selain itu hal tersebut, teroris mempunyai keyakinan bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang diperkuat dengan tafsir dogma secara parsial. Definisi tersebut linear dengan arti terorisme yang merujuk pada KBBI Pusat Bahasa edisi IV yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Sebelum memahami potensi-potensi teror di Indonesia, maka perlu ada pembagian latar belakang terorisme yang terjadi di Indonesia. Pertama adalah terorisme yang dilatarbelakangi oleh motifasi politik. Gerakan seperatisme di berbagai daerah yang terjadi selama ini adalah salah satu terorisme politis. Mereka melakukan aksi teror dan perlawanan kepada pemerintah dengan tujuan memperoleh kemerdekaan dan lepas dari NKRI. Teror-teror politis dalam skala lebih kecil terjadi ketika Pemilu, kampanya secara tidak sehat sebenarnya adalah bagian dari terorisme politis. Kedua adalah terorisme dengan latar belakang ideologis. Teror ini dilakukan secara terbatas oleh kaum dengan padangan ideologis tertentu. Cara-cara radikal mereka dengan bom bunuh diri yang menimbulkan korban baik jiwa maupun materi yang sangat besar adalah bentuk terorisme dengan tujuan untuk memaksakan ideologi yang mereka anut. Gerakan ISIS di Timur Tengah merupakan terorisme ideologis walaupun kemungkinan ada motif-motif turunan seperti ekonomi. Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut : 







Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror. Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka capai demi







kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan. Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.



Ratusan jiwa tewas dan lebih banyak lagi korban luka di Indonesia akibat aksi teroris. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris. Peristiwa terorisme international di Timur Tengah yang dilakukan oleh ISIS lebih mengerikan lagi. Berbagai berita mengabarkan bagaimana aksi ISIS yang penuh kebrutalan dan kekejaman terhadap kelompok dengan ideologi berbeda dan kaum minoritas. Aksi ISIS patut diwasapadai oleh Pemerintah Indonesia mengingat ada beberapa warga negara Indonesia turut hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Para simpatisan ISIS ini jika kembali lagi ke Indonesia tentu akan sangat berbahaya. Aksi-aksi simultan serangan bom dari teroris di Indonesia dan aksi teroris di negara lain menujukkan betapa kejamnya teroris dalam mencapai tujuan. Pemerintah Indonesia perlu suatu strategi yang komprehensif untuk menangani terorisme. Salah satu strategi adalah dengan menggunakan pendekatan intelijen. Ancaman terorisme di Indonesia tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga luar negeri. Sebagian besar pelaku terorisme di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang sudah hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman dan membangun jaringan secara global. Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia maka kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia [1]. Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia. Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya. Dari beberapa kasus di atas maka aksi terorisme yang sangat terkenal adalah aksi pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981.



Aksi pembajakan pesawat tersebut berhasil ditumpas oleh RPKAD dengan pimpinan Benny Moerdani dan komandan lapangan Sintong Panjaitan. Aksi pasukan RPKAD tersebut berhasil menewaskan semua teroris/pembajak pesawat (Machrizal, Zukfikar, Wendy Mohammad Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah) dan berhasil menyelamatkan semua penumpang, walaupun Pilot dan seorang anggota RPKAD gugur tertembak. Pembajakan pesawat Woyla ini menujukkan bahwa keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia sangat kuat dan menggunakan cara-cara kekerasan dengan senjata [2]. Sebagai negara besar yang pernah mengalami aksi terorisme, Indonesia menjadi salah satu daerah operasi bagi gerakan radikal Islam. ISIS sebagai seuatu kelompok radikal Islam yang sedang membesar di Timur Tengah sudah mulai menggurita di Indonesia. Kelompok yang melakukan teror secara keji ini bahkan memamerkan kebiadabannya ke media sosial. Aksi pemenggalan kepala manusia yang dianggap musuh terus dilakukan, bahkan dalam beberapa kasus melibatkan anak-anak. Kelompok radikal ISIS cukup ampuh untuk menarik minat para pemuda dan pemudi dari berbagai negara untuk ikut berjuang / jihad di Suriah. ISIS, kelompok Islam garis keras yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi sukses merekrut relawan dari banyak negara termasuk dari Indonesia. Kelompok terorisme Islam garis keras di Indonesia yang sebelumnya terdiri dari banyak kelompok sekarang seolah-olah melebur jadi satu menumpang ISIS yang sedang naik daun. Seperti diketahui bahawa sebelum ISIS muncul menjadi fenomena gerakan radikal Islam, gerakan terorisme Islam radikal di Indonesia terdiri dari tiga kelompk besar. Kelompok pertama adalah kelompok NII (Negara Islam Indonesia), Jemaah Islamiyah, dan Jamaah Ansharut Tauhid. Pada mulanya kelompok-kelompok tersebut mempunyai tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Namun, dengan aktifnya kepolisian melakukan pemberantasan terorisme dan bersamaan pula ISIS melancarkan aksinya di Suriah, maka kelompok-kelompk Islam radikal di Indonesia terlihat melebur bersimpatisan kepada ISIS. Selain itu kelompok radikal Islam di Indonesia mempunyai tujuan yang sama untuk mewujudkan khilafah Islamiyah. Analisis ancaman dari gerakan ISIS di Indonesia adalah sebagai berikut : kelompok garis keras adalah kelompok yang mempunyai hasrat yang sangat tinggi. Mereka akan melakukan apapun dan mengorbankan apapun demi tercapainya hasrat yang dimiliki. Bahkan kelompok garis keras ISIS cenderung bangga dalam melakukan kekerasan dengan dibuktikan munculnya video di sosial media tentang kekerasan yang dilakukan ISIS. Harapan yang dimiliki oleh ISIS adalah terbentuknya khilafah islamiyah. Ideologi yang tertanam sangat kuat. Walaupun beberapa fakta menunjukkan bahwa simpatisan ISIS dari daerah Jawa Timur yang tertangkap di Malaysia saat akan



mencoba hijrah ke Suriah mempunyai motif ekonomi selain motif ideologi. Namun harapan tersebut dapat dinilai tinggi mengingat para simpatisan rela menjual harta bendanya di kampung halaman sebagai modal keberangkatan ke Suriah. Kemauan dan harapan para simpatisan ISIS di Indonesia yang terwujud dalam suatu niat untuk hijrah dan bergabung dengan gerakan ISIS di Suriah tidak dapat dianggap kecil. Bahkan dapat dikatakan sangat tinggi. Simpatisan mempunyai kemauan untuk menuju khilafah islamiyah dan tentu saja harapan untuk hidup lebih sejahteran dibandingkan sebelumnya. Proses rekrutmen ISIS yang dilakukan secara rapi mampu menamkan kemauan dan harapan bagi para simpatisan dengan sangat kuat. Tentu saja perekrut mempunyai pengalaman dan kepentingan yang besar terhadap suksesnya perekrutan ini. Pengetahuan para simpatisan ISIS pada saat berangkat ke Suriah mungkin biasabiasa saja. Bahkan bisa disebutkan bahwa mereka tidak mempunyai pengetahuan untuk perang atau melakukan teror. Tetapi keyakinan bahwa mereka akan dilatih untuk berperang mewujudkan khilafah islamiyah tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika benar-benar para simpatisan tersebut dilatih di Suriah, tentu akan menjadi sangat berbahaya jika suatu saat mereka kembali ke Indonesia dan melakukan gerakan menegakkan khilafah islamiyah dengan segala cara. Ledakan bom di sebuah mall yang berlokasi di Depok Jawa Barat pada 23 Februari 2015 menunjukkan bahwa pelaku menggunakan gas klorin, jenis bom ini khas digunakan oleh kelompok ISIS. Tentu menjadi wajar jika banyak pihak menduga bahwa pelaku dari peledakan ini adalah orang yang pernah ke Suriah atau Irak. Hal ini dapat menjadi suatu barometer bagaimana berbahayanya pengetahuan simpatisan ISIS yang pernah ke Suriah. Dugaan-dugaan bahwa para simpatisan mendapatkan pelatihan tertentu masih didalami. Jika hal ini terjadi maka akan ada bekal pengetahuan bagi para simpatisan untuk melakukan aksi lanjutan di daerah lain. Indonesia dipilih sebagai salah satu daerah sumber rekrutan untuk relawan ISIS di Suriah karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim yang besar dan mayoritas. Selain itu gerakan garis keras Islam beberapa kali mampu melakukan pendadakan strategis di Indonesia hingga mempunyai dampak secara internasional. Perekrutan kader simpatisan dari Indonesia untuk membantu perjuangan di Suriah tentu menjadi suatu pengalaman yang cukup bagi simpatisan tersebut jika suatu saat harus kembali ke Indonesia dan melakukan aksi yang sama. Kapabilitas simpatisan ISIS dari Indonesia yang terdiri dari dua faktor, pengetahuan dan sumber daya manusia cukup untuk menjadi ancaman di Indonesia. Dari analisis ancaman tersebut di atas maka dapat dikelompokkan dan dihitung tingkat ancamannya seperti pada tabel di bawah ini :



Tabel 1 : Analisis Ancaman



Componen



Scale



Tall y



Acute



5



High



4



Desire / kemauan Kemauan untuk mencapai tujuan sangat tinggi, bahkan kelompok garis keras cenderung melakukan hal-hal yang sadis bahkan mengorbankan nyawa demi terpenuhi kemauannya Expectation / harapan Kelompok ISIS mempunyai harapan terbentuknya khilafah islamiyah di dunia. Kuatnya harapan itu membuat para simpatisan siap mengorbankan segalanya. Pemahaman yang masih dangkal dan sepotong-potong membuat harapan menjadi kuat tanpa melihat realita. Walaupun diketahui harapan para simpatisan tidak murni ideologi tetapi ada juga yang berlatar belakang ekonomi. Intent / Niat



9



Knowledge / Pengetahuan Pengetahuan para simpatisan ISIS cukup untuk melakukan teror yang mematikan. Meskipun tidak setinggi para veteran Afganistan yang melakukan teror di Indonesia seperti Bom Bali. Beberapa simpatisan yang berangkat ke Suriah dan dapat dicegah oleh pemerintah Indonesia berlatar belakang tanpa pengalaman teror.



Mediu m



3



High



4



Resources / Sumberdaya Dilihat dari jumlahnya, maka Indonesia potensial menjadi sumber rekrutan untuk ISIS. Masyarakat Indonesia terkenal militan, ini terbukti dengan veteran-veteran Afganistan yang cukup mempunyai nama di gerakan Islam garis keras. Capability / kapabilitas



7



Threat Coefisient



16



(negligible=1, minimum=2, medium=3, high=4, acute=5)



Tabel 2 : Koefisien Ancaman Threat



Coefisient



Negligible



4-6



Minimum



7-10



Medium



11-15



High



16-18



Acute



19-20



Dari distribusi ancaman ke dalam tabel analisis di atas dapat disimpulkan bahwa ancaman gerakan kelompok ISIS di Indonesia mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan nilai ini maka pemerintah wajib memberikan perhatian khusus agar ancaman-ancaman tersebut tidak menjadi kenyataan yang berakhir pada timnbulnya korban jiwa atau bahkan hancurnya sebuah negara.



Untuk mengimbangi analisis ancaman, maka perlu dilakukan analisis kerentanan (vulnerability analysis). Kerentanan sebuah badan atau organisasi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu daya tarik, kemudahan untuk diserang, dan dampak yang akan terjadi. Dalam konteks gerakan ISIS di Indonesia maka analisis kerentanan dapat dijelaskan dalam penjabaran di bawah ini. Indonesia mempunyai daya tarik yang sangat besar bagi gerakan Islam. Dengan jumlah penduduk yang besar dan mayoritas beragama Islam, maka Indonesia mempunyai magnet yang kuat bagi aktivis-aktivis gerakan Islam untuk menanamkan pengaruhnya. Daya tarik Indonesia bagi gerakan garis keras Islam secara tidak langsung justru dipermudah oleh peraturan perundangan yang lemah. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Dalam Undang-Undang itu menyebutkan bahwa seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan jika secara sukarela masuk ke dinas negara asing. Permasalahannya adalah ISIS bukan suatu negara. Celah ini tentu bisa dimanfaatkan oleh ISIS dan simpatisan dari Indonesia untuk melakukan hijrah ke Suriah dan kembali lagi ke Indonesia dengan risiko yang relatih kecil jika sanksinya menyangkut kewarganegaraan. Salain sebagai basis masyarakat pemeluk agama Islam, Indonesia juga mempunyai budaya masyarakat timur yang permisif dan membuka diri bagi orang asing, apalagi jika orang asing tersebut mempunyai persamaan ideologi. Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia ini dimanfaatkan oleh ISIS untuk menebarkan ideologi dan rayuannya sehingga masyarakat Indonesia tertarik untuk bergabung. Pintu untuk masuk ke Indonesia terbuka lebar mengingat Indonesia mempunyai area perbatasan yang cukup luas dengan pengawasan yang lemah. Orang asing



yang akan masuk ke Indonesia bisa melalui jalur darat dan laut dari Malaysia dan Filipina. Orang asing bisa dengan mudah transit terlebih dahulu untuk menyesuaikan diri di perbatasan-perbatasan Indonesia yang lemah dalam pengawasan aparat. Tipikal masyarakat yang terbuka dan permisif, serta geografis yang luas dengan wilayah perbatasan yang cukup luas dan kurang pengawasan membuat Indonesia termasuk sebagai negara yang mudah disusupi oleh orang asing. Beberapa kali aksi terorisme di Indonesia oleh kelompok garis keras bisa dilakukan dan menimbulkan korban jiwa tidak sedikit, hal ini juga merupakan indikasi bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang mudah diserang atau belum siap jika terjadi pendadakan strategis dari pihak oposisi. Beberapa kali terjadi aksi pendadakan strategis seperti bom bunuh diri di Bali dan beberapa aksi bom di Jakarta menunjukkan dampak yang cukup besar. Aksi-aksi tersebut berhasil mempengaruhi situasi negara Indonesia dan menjadi pemberitaan dunia. Dampak dari aksi teroris di Indonesia yang cukup besar ini tentu harus diwaspadai karena kemungkinan terjadi kejadian yang sama dengan pelaku simpatisan ISIS sangat mungkin terjadi. Dari analisis kerentanan tersebut dapat didistribusikan dalam sebuah tabel untuk menghitung koefisien kerentanan sebagai berikut :



Tabel 3 : Tabel Analisis Kerentanan Indonesia Terhadap Gerakan ISIS



Factor



Situation



Scale



Tall y



Attractivene ss



daya tarik besar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar



mediu m



3



Ease Attack



penduduk yang permisif, terbuka, dan daerah perbatasan yang kurang pengawasan aparat



high



4



pengalaman beberapa kali terjadi aksi teroris bom bunuh diri



high



4



Impact



of



Vulnerability Coefficient



(negligible=1, minimum=2, medium=3, high=4, acute=5)



Tabel 4 : Koefisien Kerentanan



11



Vulnerablity



Coefficient



Negligible



1-3



Minimum



4-6



Medium



7-9



High



10-12



Acute



13-15



Dari analisis kerentanan di atas dapat disimpulkam bahwa tingkat kerentanan Indonesia terhadap gerakan ISIS adalah tinggi. Faktor yang dominan adalah wilayah geografis yang cukup luas dengan pengawasan yang terbatas dan beberapa kali aksi bom bunuh diri oleh gerakan Islam garis keras terjadi di Indonesia memakan korban jiwa dan membawa dampak cukup signifikan.



Potensi pendadakan strategis gerakan ISIS di Indonesia bisa dianalisi dengan menggunakan analisis risiko. Prinsip utama dari risiko adalah fungsi dari kemungkinan/ kekerapan dengan konsekuensi/dampak. Jika dilihat dari tren terorisme yang terjadi di Indonesia maka kemungkinan terjadinya terorisme di Indonesia termasuk kecil (unlikely) dengan catatan kejadian ini bisa terjadi dalam beberapa waktu. Dampak atau konsekuensi akibat aksi terorisme dapat digolongkan dalam kategori utama (major) karena aksi terorisme di Indonesia terbukti menyebabkan dampak yang nyata termasuk adanya korban jiwa. Selain kerugian maksimal berupa korban jiwa, gerakan ISIS dapat diperkirakan membawa pola yang sama dengan gerakan garis keras Islam yang pernah terjadi di Indonesia, mengingat sebagian pelakunya adalah sama. Dalam melakukan aksinya, pelaku terorisme garis keras Islam biasanya didahului dengan pencarian/penggalangan dana. Dana gerakaa terorisme berasal dari berbagai sumber seperti perampokan, bantuan dari jaringan luar negeri, atau hasil iuran sumbangan dari internal kelompok tersebut. Jika mengikuti tabel Risk Rating Matrix maka dengan tingkat kemungkinan kecil (unlikely) dan konsekuensi utama (major) akan diperoleh risk rating = high (tinggi).



Tabel 5 : Risk Rating Matrix



CONSEQUENCES LIKELIHOOD



Insignificant



Minor



Moderate



Major



Catastrophic



Almost Certain



Moderate



High



Extreme



Extreme



Extreme



Likely



Moderate



High



High



Extreme



Extreme



Possible



Low



Moderate



High



Extreme



Extreme



Unlikely



Low



Low



Moderate



High



Extreme



Rare



Low



Low



Moderate



High



High



Dari tiga analisis yang telah dilakukan yaitu analisis ancaman (treath analysis), analisis kerentanan (vulnerability analysys) dan analisis risiko (risk analysis) ternyata mempunyai nilai yang sama yaitu: tinggi (high). Setelah diketahui bahwa terorisme di Indonesia mempunyai tingkat ancaman, kerentanan dan risiko yang tinggi maka perlu ditetapkan suatu langkah-langkah sebagai solusi atas potensi pendadakan strategis dari terorisme gerakan ISIS di Indonesia. Dari analisis di atas dapat diperkirakan / estimasi gerakan ISIS di Indonesia, jika dunia international gencar melakukan perlawanan terhadap ISIS di Suriah maka ISIS akan kalah dan tercerai berai. Simpatisan ISIS akan kembali ke negara asal. Namun jika dunia international tidak melakukan perlawanan terhadap ISIS maka ISIS akan membesar dan aksi ISIS akan lebih strategis dengan melakukan perlawanan terhadap negara-negara sasaran. Apapun yang terjadi simpatisan ISIS, jika masih hidup, diperkirakan akan kembali ke negara asal. Arus balik simpatisan ini yang harus diwaspadai. Pemerintah Indonesia wajib melakukan penguatan-penguatan di masyarakat agar tidak mudah menjadi sasaran gerakan radikal. Masyarakat perlu diberi dibiasakan untuk membaca sinyal-sinyal dari gerakan radikal dan melakukan aksi bersama untuk mencegahnya. Negara tidak mampu bergerak sendiri untuk melakukan kontraterorisme karena gerakan terorisme mengakar di masyakarakat.



Solusi Intelijen untuk Mencegah Pendadakan Strategis Gerakan ISIS di Indonesia Untuk mencegah pendadakan strategis gerakan ISIS di Indonesia diperlukan suatu metode atau sistem yang berbasiskan teknik analisis kontraintelijen. Dalam hal ini dipilih suatu metode PPRR Planning. PPRR Planning terdiri dari empat bagian yaitu



pencegahan (prevention), persiapan (preparation), respon/tanggapan (response), dan pemulihan (recovery).



Pencegahan Salah satu usaha efektif untuk mencegah terorisme adalah dengan deradikalisasi. Secara sederhana deradikalisasi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat orang tidak radikal. Sasaran dari program deradikalisasi adalah teroris yang sudah tertangkap, bekas teroris, kelompok potensial yang bisa direkrut teroris maupun masyarakat umum. Deradikalisasi dilakukan sebagai upaya pendamping penanggulangan teroris dengan cara hard approach yang telah berhasil dilakukan oleh Densus 88/AT. Program deradikalisasi di Indonesia dijalankan oleh BNPT[3]. Untuk menjalankan program ini BNPT bekerja sama dengan banyak pihak seperti ulama, lembaga pendidikan, Ormas, instansi pemerintah, dan masyarakat umum. Peran intelijen dalam proses deradikalisasi sangat penting. Metode intelijen seperti penggalangan sangat tepat dilakukan untuk mengubah opini kelompok dari radikal menjadi tidak radikal. Penggalangan sangat tepat dilakukan karena tidak mengandung unsur kekerasan yang bisa dianggap melanggar HAM. Deradikalisasi akan menitik beratkan pada akar masalah pelaku terorisme. Pendekatan persuasif dengan mengedepankan tokoh agama, pendidik, budayawan, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang ada diharapkan dapat mengubah persepsi dan konsep aksi radikal menjadi tidak radikal. Tokoh agama menjadi kunci program deradikalisasi mengingat terorisme dan kekerasan terjadi karena sempitnya pemahaman tentang jihad[4]. Aksi kekerasan oleh teroris dianggap benar mengatasnamakan jihad. Petugas intelijen yang sudah tersebar di seluruh Indonesia dapat diberi tugas untuk mendeteksi potensi-potensi kelompok yang radikal. Dengan kemampuan penggalangan maka petugas intelijen dapat dimanfaatkan untuk menjalankan deradikalisasi terhadap sasaran sehingga potensi kelompok radikal tidak berkembang menjadi aksi terorisme.



Persiapan Persiapan dalam menghadapi pendadakan strategis gerakan terorisme ISIS maka pemerintah perlu membuat perangkat hukum sebagai landasan untuk melakukan tindakan. Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI sangat diperlukan. UU yang saat ini menyebutkan bahwa seseorang bisa



kehilangan kewarganegaraan jika secara sukarela masuk ke dinas negara asing harus diperluas termasuk jika beperang melawan negara sahabat. Kewenangan Intelijen Negara yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 5 disebutkan bahwa: Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional. Untuk mewujudkan tujuan ini tentu diperlukan suatu kemampuan dan perangkat yang memadai sehingga Intelijen Negara dapat mendeteksi sinyal pendadakan strategis yang akan terjadi. Persiapan yang mutlak dilakukan oleh negara adalah menyiapkan sumber daya intelijen yang mampu mendeteksi dan menganalisis sinyal pendadakan strategis. Persiapan untuk tim penindakan dan penanggulangan harus dilakukan secara beriringan. Densus-88/AT Polri yang dibentuk untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia harus ditingkatkan kemampuannya mengingat teroris juga melakukan perkembangan model dalam melakukan aksinya. Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan[5]. Intelijen menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti awal dari laporan intelijen memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk melakukan penangkapan. Fungsi intelijen dalam struktur organisasi dari Densus 88/AT sangat strategis. Densus 88/AT dalam organisasinya memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan. Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88/AT, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis, terakhir pada Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi. Personel Densus 99/AT sudah dilengkapi kemampuan intelijen pengamanan. Kemampuan tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani terorisme. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat negara dalam menangani terorisme sering kali membuat berbagai pihak cenderung resisten. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan analisis-analisis dan metode



intelijen sehingga menjadi bahan acuan dalam melakukan operasi penanaganan terorisme yang lebih tepat sasaran dan humanis dengan tetap mengedepankan keselamatan rakyat di atas segalanya.



Respon / Tanggapan Dari berbagai pengalaman kejadian teror di Indonesia, pemerintah Indonesia cukup baik dalam melakukan respon. Pengolahan tempat kejadian perkara, penanganan korban, penyelidikan, penangkapan, dan pengungkapan jaringan terorisme berhasil dilakukan. Prestasi aparat penegak hukum di Indonesia dapat dibanggakan. Namun hal itu tentu saja tidak boleh mengurangi porsi untuk terus berlatih dan berkembang dalam menghadapi aksi-aksi berikutnya.



Pemulihan Jika terjadi pendadakan strategis oleh aksi radikal ISIS maka pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk pemulihan. Subjek yang perlu mendapat pemulihan adalah sebagai berikut : 1.



Korban aksi radikal terorisme, dalam beberapa kasus korban aksi terorisme meninggal dunia, tidak sedikit pula yang mengalami cacat dan trauma psikis. Perlu adanya lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani dan menjamin kehidupan bagi korban-korban terorisme di Indonesia. 2. Pelaku terorisme dan keluarganya / kelompoknya. Pemulihan juga bisa dilakukan kepada pelaku terorisme yang telah dikenai tindakan hukum termasuk keluarga dan kelompoknya. Program deradikalisasi harus dilaksanakan agar tindakan hukum yang dilakukan oleh negara tidak menimbulkan kebencian baru yang akan mengakar secara turun temurun. 3. Aparat penegak hukum yang melakukan penindakan dan penanggulangan kelompok teroris kemungkinan bisa mengalami trauma. Jika hal ini terjadi maka perlu disiapkan strategis khusus agar trauma tersebut tidak berakibat negatif bagi karir dan kehidupan selanjutnya. 4. Jika sasaran teror adalah kelompok atau organisasi maka pemulihan juga perlu dilakukan. Sebagai contoh jika ISIS melakukan serangan kepada kelompok Syiah di Indonesia, maka jika hal ini terjadi kemungkinan korban akan cukup banyak, tidak hanya perorangan tetapi juga kelompok. Pendampingan dari pemerintah dan lembaga keagamaan perlu dilakukan untuk pemulihan korban kelompok.



Fase pemulihan harus disiapkan oleh pemerintah walaupun pada proses pencegahan sudah dilakukan secara maksimal, Gerakan radikal ISIS juga akan berkembang dan mempelajari strategi yang dilakukan oleh organisasi yang dianggap sebagai musuh. Pemerintah harus tetap menyiapkan kondisi dalam skenario terburuk.



Penutup Gerakan Islam radikal yang tergabung dalam kelompok ISIS mengejutkan dunia internasional. Bergabungnya simpatisan dari banyak negara termasuk dari negara dengan basis non muslim menjadi catatan tersendiri. ISIS menjadi ancaman yang sangat nyata dan mempunyai tingkat ancaman, kerentanan dan risiko yang tinggi. Gerakan ISIS di Suriah tidak bias dipandang remeh, karena sinyal-sinyal keberadaan ISIS di Indonesia sudah terdeteksi. Analisis atas gerakan islam radikal ISIS diharapkan mampu menyumbangkan saransaran dan strategi bagi negara untuk melakukan kewaspadaan, pencegahan, penindakan, penanggulangan, sekaligus menyiapkan diri untuk melakukan pemulihan jika kemungkinan terburuk terjadi. Negara harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap aksi terorisme. Intelijen diharapkan sebagai garda terdepan mampu memberikan sinyal-sinyal atas pendadakan strategis ini sehingga negara mampu melakukan antisipasi untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara.



Catatan kaki: [1] H. Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, hal 12 : Ide gerakan inilah yang diadopsi oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan mendirikan Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara untuk meneruskan perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia yang telah ada sejak 1950-an, dengan menerapkan syariat Islam. [2] Julios Pour, Benny Tragedi Seorang Loyalis, hal 228: Diungkapkan juga olek Pangkopkamtib, surat dari Imran Muhammad Zein, pimpinan pembajak Wolyla, kepada Ayatollah Khomeini, surat minta bantuan dengan menggunakan nama Dewan Revolusi Islam Indonesia. Mereka mengaku sebuah gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan rezim Soeharto dan menjadikan Indonesia Negara Islam. [3] http://www.damailahindonesiaku.com/suara-cegah-terorisme/139-deradikalisasi-terorisme.html, untuk meng atasi masalah radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan deradikalisasi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari kementerian dan lembaga, Polri, TNI, perguruan tinggi, hingga masyarakat sipil seperti ormas dan LSM. Desai Deradikalisasi memiliki empat komponen yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.



[4] H. Ansyaad Mbai dalam Buku Dinamika Baru dalam Jejaring Teror di Indonesia hal 169: Sebagaimana diketahui bahwa aksi-aksi radikal terorisme terjadi tidak lepas dari sempitnya pemahaman tentang jihad dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Pemaknaan-pemaknaan yang tekstual dan tanpa dibarengi kajian tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran) dan asbab al-wurud (sebab-sebab turunnya hadis) serta makna kontekstual dari ayat-ayat Al Quran dan Hadis, turut menyumbang kemunculan aksi-aksi radikal-teror yang mengatasnamakan jihad. [5] Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28).



http://jurnalintelijen.net/2015/07/06/analisis-intelijen-gerakan-isis-di-indonesia/ ==============