Sejarah Pendidikan Bidan Dan Perkembangan Bidan Sebagai Profesi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“SEJARAH PENDIDIKAN BIDAN DAN PERKEMBANGAN BIDAN SEBAGAI PROFESI”



A.



Defenisi Bidan Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional. Pengertian bidan dan bidang praktrknya telah diakui oleh International Confederation Midwives ( ICM ) dan International Federation of Gynaecologust dan Obstetrion ( FIGO ) serta World Health Organitation ( WHO ). 1.



International Confederation Of Midwife Bidan adalah seseorang yang telah menjalani program pendidikan kebidanan, yang diakui di Negara tempatnya berada, berhasil menjalankan program studinya di bidang kebidanan dan memenuhi kualifikasi yang diperlukan untuk dapat terdaftar dan atau izin resmi untuk melakukan praktek kebidanan.



2.



Menurut WHO Bidan adalah seseorang yang telah diakui secara regular dalam program pendidikan kebidanan sebagaimana yang telah diakui skala yuridis, dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan memperoleh izin melaksanakan praktek kebidanan.



3.



Menurut Permenkes No. 1464/MENKES/PER/X/2010 Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.



1



4.



Dalam Bahasa Inggris Midwife (Bidan) berarti “with woman” (bersama wanita, mid = together, wife = a woman). Dalam bahasa Perancis, sage femme (Bidan) berarti “wanita bijaksana”, sedangkan dalam bahasa latin, cummater (Bidan) bearti ”berkaitan dengan wanita”.



5.



Defenisi Kebidanan Kebidanan adalah bagian integral dari sistem kesehatan dan berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut pendidikan, praktik dank ode etik bidan dimana dalam memberikan pelayanannya meyakini bahwa kehamilan dan persalinan adalah suatu proses fisiologi/normal dan bukan merupakan penyakit.



B.



Sejarah Pendidikan Bidan dalam Negeri 1.



Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Dalam Negeri Sejarah pelayanan kebidanan di Indonesia terjadi secara tidak langsung melalui usaha mengurangi angka kematian karena cacar. Pencacaran pertama di Indonesia dilakukan sekitar tahun 1804, setelah Yenner di Inggris menemukan vaksin cacar tahun 1796. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu hamil dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa



2



di Batavia, tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851 dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung dan diluar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberi pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan lingkungan.



3



Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara nyata dan dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. 2.



Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Dalam Negeri Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851, seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik akibat adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah. Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di Batavia pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga dibuka di Makasar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan dimana pun tenaga mereka dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-duma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922). Tahun



1911-1912



dimulai



program



pendidikan



tenaga



keperawatan secara terencana di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di Batavia



4



dengan lama pendidikan selama empat tahun. Calon murid berasal dari Holandia Indische School (SD 7 tahun) dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914, peserta didik wanita mulai diterima untuk mengikuti program pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, perawat wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama dua tahun, sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan juga selama dua tahun. Pada tahun 1935-1938, pemerintah kolonial belanda mulai membuka pendidikan bidan lulusan Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan peraturan yang mengklasifikasikan lulusan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut bidan kelas satu (Vroedvrouw eerste Klas) serta bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua (Vroedvroew tweede Klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman



pendudukan



Jepang,



pemerintah



mendirikan



sekolah



perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan



5



Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain. Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenang Kesehatan E (PK/E) atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah dua tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun. Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum memulai tugasnya menjadi bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup. Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dengan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini dilebur menjadi



6



Sekolah Guru Perawat (SGP) Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan bidan. Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi. Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan nonsarjana. Sekolah Bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil. Pada tahun 1975 sampai tahun 1985 institusi pendidikan bidan ditutup sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun, organisasi Profesi Bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan wajar. Tahun 1981 dibuka pendidikan Diploma 1 kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.



7



Pada tahun 1985, dibuka Program Pendidikan Bidan (PPB) yang menerima lulusan dari SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim. Pada tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan lulusan dari SPR dan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidikan satu tahun. Lulusan program ini dikirim ke desa-desa untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak. Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di setiap desa sebagai PNS Golongan II. Mulai tahun 1996 status bidan di desa adalah sebagai pegawai tidak tetap kontrak. Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-sebaiknya tidak hanya kemampuan klinis sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling, dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang banyak dengan harapan pada tahun 1996, sebagian besar desa sudah memiliki satu bidan. Namun hasil yang di dapat tidak sesuai dengan yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu pendek dan sangat banyaknya peserta didik. Banyaknya peserta didik ini menyebabkan kesempatan mereka untuk praktik klinik



8



sangat kecil sehingga tingkat kemampuan pelayanan mereka belum memadai. Pada tahun 1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari Akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun untuk menghasilkan tenaga pengajar Pendidikan Bidan Program A. Namun, tujuan yang diinginkan tidak tercapai karena waktu pendidikan yang sangat singkat sehingga setelah berjalan dua angkatan program ini ditutup. Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Provinsi yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan ini memiliki 3700 jam yang dapat diselesaikan selama enam semester. Selain



itu,



sejak



tahun



1994-1995



pemerintah



juga



menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan. Diklat Jarak Jauh (DJJ) Bidan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya serta diharapkan dapat memberi dampak penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.



9



Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Provinsi. Pendidikan ini dibagi menjadi empat tahap. Secara kumulatif pada tahap 1, 2, dan 3 telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Tahap keempat dilaksanakan di 26 provinsi yang setiap provinsinya diikuti oleh 60 orang kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, Sulawesi Tengah, dan Jambi. Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan material dan neonatal (Life Saving



Skill,



LSS)



yang



diselenggarakan



oleh



rumah



sakit



provinsi/kabupaten. Ditinjau dari prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif. Pada tahun 1996 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM) serta rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota IBI berjumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim yang memberikan training kepada untuk para bidan desa, bidan praktik swasta serta para dosen dari diploma kebidanan. Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan dan pres review bagi bidan rumah sakit, bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi Kalimantan Selatan.



10



Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah memberi pelatihan APN di beberapa provinsi/kabupaten. Selain pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi. Lokakarya



organisasi



dengan



materi



pengembangan



organisasi



(Organization Development,OD) dilaksanakan dua kali dalam setahun dari tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya UNICEF. 3.



Pendidikan Bidan Saat Ini di Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia sebanyak 570 desa. Untuk mencapai indonesia Sehat 2010, perlu di tingkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Sebagai faktor penting dalam menekan angka kematian ibu dan anak,. Di bentuk Strategi Sehat 2010 meliputi : a. Peningkatan Profasionalisme SDM kesehatan b. Desentralisasi c. Pemerataan pelayanan Kesehatan d. Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat Menurut data bulan Agustus 1999, bidan di Indonesia sebanyak 65.685 orang di 27 pengurus daerah IBI di provinsi dan 318 pengurus cabang IBI. Jumlah tersebut setiap tahun akan berkurang sebanyak 10% akibat : a. Usia



11



b. Alih Profesi c. Menikah d. Pensiun e. Meninggal Untuk mengatasinya, dibuka pendidikan bidan D3 yang pesertanya terdiri dari lulusan bidan D1 dan SMU. Dengan itu semua, di harapkan program Indonesia Sehat 2010 dapat tercapai. Bidan merupakan profesi yang berjenjang & berkelanjutan, berkelanjutan maksudnya



bidan



harus



terus



memperoleh



pendidikan



untuk



mempertahankan profesinya, berjenjang maksudnya bidan memiliki pendidikan D3, D4, S2, dan seterusnya.



C.



Sejarah Pendidikan Bidan Luar Negeri 1.



Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Luar Negeri Pada pertengahan abad ke-17, bidan adalah profesi penting dan dihormati di komunitas kolonial Belanda. Kebidanan hanya salah satu bentuk pelayanan yang diberikan para bidan kepada komunitas kolonial. Pada saat itu, kadangkala bidan juga berperan sebagai perawat dan merawat orang sakit dan sekarat, mengurus jenazah, sebagai herbalis, serta dokter hewan. Selain gaji sebagai imbalan, bidan juga memperoleh rumah, tanah, dan makanan sebagai bentuk penghormatan atas jasa mereka.



12



Akan tetapi, terdapat berbagi faktor yang menurunkan derajat bidan di masyarakat. Faktor-faktor tersebut mencakup perilaku religius, kebutuhan ekonomi, pengambilalihan tugas dan tanggung jawab oleh dokter, pendidikan yang tidak mendukung dan tidak adanya organisasi kebidanan, peningkatan jumlah imigran, serta status wanita yang direndahkan. 2.



Tokoh-Tokoh Yang Terkenal a. Dr. William Sippen (1736-1808) : Orang kebangsaan Philadelphia, belajar di Eropa selama 3 tahun dan berguru pada William Smili. Tahun 1672 mendirikan kursus kebidanan di Philadelphia hingga tahun 1810 mendapat gelar “Prof. Anatomi Pembedahan dan Kebidanan”. b. Dr. Thomas Challdey James : Mendapat gelar “Prof. Kebidanan”. Pertama kali penganjur partus buatan untuk ibu panggul sempit (Partus Spontan). c. Dr. Samuel Bat (1742-1821) : Belajar dari Eropa (Edenburg). Pada tahun 1768 kembali ke Amerika dalam usia 26 tahun. Orang yang menganjurkan promartemity hospital (perawatan rumah sakit bagi wanita yang melahirkan dan memerlukan perawatan lebih lanjut) bersama Dr. Ballentine.



3.



Tokoh-Tokoh Kebidanan Atau Penulis a. Daerus (1967) : Keterampilan dalam menolong proses persalinan yang didapat turun temurun oleh ibu muda yang telah menikah dan melahirkan. Sepertiga abad 16 masih dilakukan oleh wanita. b. Kirzinger (1988) : Bidan diharapkan dapat menjadi dokter. Gender yaitu kemitrasejajaran yang dapat dipertukarkan seprti fungsi, peran, dan tanggung jawab.



13



c. Witz (1992) : Institute kebidanan didirikan dengan kompetensi yang masih sedikit. 4.



Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Luar Negeri Di Amerika Serikat, pendidikan kebidanan harus memenuhi standar yang dibuat oleh American College of Nurse-Midwifes (ACNM), karena juga mencakup perawatan kesehatan untuk wanita dan bayi baru lahir. Perawat-Kebidanan bersertifikat adalah seseorang yang telah dididik dalam dua disiplin ilmu yaitu keperawatan dan kebidanan. Sertifikasi tersebut diberikan kepada orang yang telah lulus ujian nasional yang diselenggarakan oleh American College of NurseMidwive Certification Council (ACC). Setifikasi tersebut merupakan bukti bahwa orang tersebut telah memenuhi standar professional untuk melakukan praktik yang aman. Praktik Perawat Kebidanan adalah manajemen perawatan kesehatan wanita yang bersifat independen, umumnya berfokus pada periode kehamilan, kelahiran, pasca melahirkan, perawatan BBL (bayi baru lahir), perencanaan keluarga, serta kebutuhan ginekologis untuk wanita. Sedangkan pendidikan kebidanan di Inggris terdiri dari dua bagian yaitu : a. Pre-registration three year program / Direct entry. Program ini ditujukan bagi mereka yang belum pernah mengenyam pendidikan keperawatan dasar dengan lama pendidikan selama tiga sampai



14



empat tahun. Program ini sangat diminati oleh banyak wanita muda dan dewasa karena waktunya pendek serta cukup ekonomis dari segi biaya. b. Pre-registration (Shortened) 18 mounts program. Program ini ditujukan bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan keperawatan dasar, dengan lama pendidikan 18 bulan sampai 2 tahun. Organisasi professional kebidanan di Inggris : a. RCM (Royal College of Midwife), merupakan lembaga yang mendukung bidan dalam upayanya meningkatkan standar bagi ibu, bayi, dan keluarganya. Lembaga ini merupakan satu-satunya organisasi di Inggris yang berkaitan dengan bidan. Tujuan dari RCM adalah untuk meningkatkan seni dan ilmu kebidanan serta meningkatkan standar profesionalisme. Sekretariatnya berada di London, mereka memiliki anggota sekitar 37000 orang bidan dan 200 cabang di pelosok negeri untuk memudahkan akses para anggotanya. b. ICM



(International



Confederation



of



Midfifes),



merupakan konfederasi bidan dunia yang sekretariatnya berada di London. Tujuan dari ICM adalah meningkatkan standar keperawatan bagi wanita, bayi, dan keluarga di seluruh dunia melalui pembangunan, pendidikan, dan penyediaan bidan yang professional. ICM bekerjasama dengan program save motherhood WHO. ICM



15



mengadakan kongres setiap tiga tahun. Setiap empat kali dalam setahun, ICM menerbitkan buletin yang memudahkan bidan mengetahui perkembangan dan issu kebidanan di seluruh dunia. c. Erupean Community Midwfes Directive, merupakan aliansi bidan se-Eropa yang berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan kebidanan. Sampai saat ini di Inggris 105.723 orang bidan yang terdiri dari 112 pria dan 105.611 wanita. Para bidan tersebut bekerja di berbagai macam institusi : 31.496 bidan bekerja di RSNHS (National Health Services)



dan/atau



komunitas,



2.363



bidan



dipekerjakan



oleh



perserikatan bidan, 804 bidan bekerja sebagai tenaga pengajar kebidanan, 301 bidan dipekerjakan oleh sebuah agency, 106 bidan di institusi swasta, 100 bidan bekerja sendiri dalam praktik swasta. Jumlah keseluruhannya lebih dari yang terdaftar berpraktik karena banyak bidan yang menjalankan lebih dari satu jenis praktik. 5.



Sejarah Ilmu Pendidikan Kebidanan di beberapa Negara yaitu : a. Yunani Hipocratus (450-370 SM) Bapak Kedokteran dan Pengobatan Dasardasar pengobatan dan perawatan temuannya masih dipakai hingga sekarang. Ia juga berminat terhadap kebidanan dan menganjurkan wanita bersalin ditolong atas dasar kemanusiaan. Maka Yunani dan Romawi merupakan Negara yang lebih dulu merawat wanita nifas.



16



b. Italia Soranus (98-138 SM) Bapak Kebidanan. Ia berasal dari Efesus, Turki belajar di Alexandria, Mesir dan berpraktek di Roma. Bidan adalah ibu yang telah melalui sendiri kelahiran dan menjauhkan dari ketahayulan. Ia adalah orang pertama yang menemukan versi luar (memutar bayi dalam kandungan). Setelah Soranus meninggal, perannya diteruskan oleh muridnya Moscion yang menulis buku pelajaran bagi bidan (Katekismus bagi Bidan). Sepeninggal Moscion merupakan zaman gelap bagi kebidanan. Pada abad ke-sebelas barulah pengobatan mengalami kemajuan. Guru besar Italia yang banyak berjasa yaitu : Vesalfius, Febicus, Eostachius, Follopius. c. Kanada Di Kanada sulit untuk mendapatkan bidan, maka tenaga bidan didapat dari luar. Kebidanan dilakukan oleh perawat (Maternity Nursing) dan tidak mendapat surat ijin praktik. Pada tahun 1991 bidan mulai diakui keberadaannya. Di Ontario pendidikan Bidan selama tiga tahun dan penyesuaian selama satu tahun untuk mendapatkan izin praktek bidan. d. Prancis Setelah kebidanan dikenal, wanita bangsawan selalu memanggil dokter dan bidan saat melahirkan kemudian ditiru oleh semua kalangan masyarakat.



17



e. Denmark 1973 disusun pedoman untuk bidan untuk mengelompokkan pasien berisiko tinggi. f. Spanyol Pada masa pemerintahan Raja Philip II persalinan sudah ditolong bidan. Pada tahun 1994 di RS ST. Christina mulai menerima ibu-ibu yang akan melahirkan dan kemudian pada tahun yang sama bidan memiliki praktiknya sendiri (mandiri). Pelayanan pada saat itu diutamakan bagi golongan masyarakat menengah ke bawah. Tindakan-tindakan bidan antara lain : 1) Memberikan obat-obatan. 2) Tindakan dengan alat-alat kedokteran (instrumen) 3) Kelahiran sungsang, gemeli (kembar), versi luar 4) Plasenta manual (tiga puluh menit sampai satu jam plasenta tidak keluar) g. Belanda Pendidikan bidan dipisah dengan perawat hingga kemampuan dan keterampilan mereka serta tugsnya berbeda. Tugas pokok bidan di Belanda adalah : 1) Penanganan tugas fisiologis atau kasus yang normal 2) Merujuk keadaan abnormal ke dokter ahli kebidanan seperti bayi besar, sungsang, dan lain-lain. Hal ini diatur Peraturan Pemerintah Belanda tahun 1970



18



D.



Defenisi Profesi 1. Berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi : kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan normanorma sosial dengan baik. 2. Profesi juga diartikan sebagai “Suatu pekerjaan yg membutuhkan pengetahuan khusus dalam bidang ilmu, melaksanakan cara-cara dan peraturan yang telah disepakati anggota profesi itu“ (Chin Yacobus, 1993). 3. Menurut Abraham Flexman (1915) Profesi diartikan sebagai Akitivitas yang bersifat intelektual berdasarkan ilmu & pengetahuan digunakan untuk tujuan praktek pelayanan dapt dipelajari, terorganisir secara internal dan altristik. 4. Menurut Suessman (1996) Profesi berarti berorientasi kepada pelayanan memiliki ilmu pengetahuan teoritik dengan otonomi dari kelompok pelaksana. 5. Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang



19



khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, dan teknik.



E.



Bidan Sebagai Profesi 1. Ciri Profesi Bidan Profesi adalah suatu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, keguruan, dsb) tertentu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa bidan merupakan profesi, yang dapat diterangkan dengan ciri-ciri tertentu yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Disiapkan melalui pendidikannya formal agar lulusannya dapat melaksanakan/mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya secara profesional. b. Dalam menjalankan tugasnya, bidan memiliki alat yang dinamakan standar pelayanan kebidanan, kode etik, dan etika kebidanan. c. Bidan



memiliki



kelompok



pengetahuan



yang



jelas



dalam



menjalankan profesinya. d. Memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya (Kepmenkes No. 900 Tahun 2002). e. Memberikan pelayanan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.



20



f. Memiliki wadah organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas



pelayanan



yang



diberikan



kepada



masyarakatoleh



anggotanya. g. Memiliki karakteristik yang khusus dan dikenal serta dibutuhkan oleh masyarakat. h. Menjadikan bidan sebagai suatu pekerjaan dan sumber utama kehidupan. i. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam profesinya. 2. Jabatan Profesional Predikat profesional sering diberikan pada seseorang yang bekerja dibidang manapun juga. Seorang pekerja profesional dalam bahasa kesehariannya adalah seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam kerjanya, biarpun keterampilan atau kecakapan tersebut produk dari fungsi minat dan belajar dari kebiasaan. Pengertian jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan keterampilan tertentu (magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja di lingkungannya). Seorang pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi, keduanya (pekerja sosial dan teknisi) dapat saja terampil dalam unjuk kerja (misalnya : menguasai teknik kerja yang sama dapat memecahkan masalah-masalah teknisi dalam bidang kerjanya), tetapi seseorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut



21



wawasan filosofi, pertimbangan rasional dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu karyawan (T. Raka Joni, 1980). Demikian pula pendapat Scum.E.H.(dalam makalah Ma’arif Husen) menyebutkan bahwa karakteristik professional adalah : a. Berbeda dengan amatir, terikat pekerjaan seumur hidup yang merupakan sumber penghasilan utama. b. Mempunyai pilihan kuat untuk pemilihan karir profesinya dan mempunyai komitmen seumur hidup yang mantap terhadap karirnya. c. Mempunyai kelompok ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus melalui pendidikan dan pelatihan yang lama. d. Mengambil keputusan demi kliennya berdasarkan prinsip-prinsip dan teori. e. Berorientasi pada pelayanan yang menggunakan keahlian demi kebutuhan khusus klien. f. Pelayanan yang diberikan pada klien berdasarkan kebutuhan klien. g. Mempunyai otonomi dalam mempertahankan tindakan. h. Membuat perkumpulan untuk profesi. i. Mempunyai kekuatan dan status dalam bidang keahliannya dan pengetahuan mereka dianggap khusus. j. Dalam memberikan pelayanan tidak boleh advertensi dalam mencari Klien.



22



3. Ciri-Ciri Jenis Pekerjaan Professional a. Memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi pelakunya (membutuhkan pendidikan pra jabatan yang relevan) b. Kecakapan seorang pekerja profesional dituntut memenuhi syarat yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang (misalnya organisasi profesional, konsorsium, dan pemerintah) c. Jabatan tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat atau negara. Dari ciri-ciri jenis pekerjaan profesional diatas bidan tergolong jabatan professional. Secara rinci ciri-ciri jabatan profesional (termasuk bidan) adalah sebagai berikut : a. Bagi pelakunya secara nyata dituntut berkecakapan kerja (keahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya. b. Kecakapan atau keahlian seseorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan profesional menuntut pendidikan, dimana pendidikan ini terprogram secara relevan dan berbobot, terselenggara secara efektif, efisien dan tolak ukur evaluatifnya terstandar. c. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanyadidasari olehkerangka nilai tertentu, bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja



23



profesional



yang



bersangkutan



untuk



meningkatkan



(menyempurnakan) diri serta karyanya. d. Jabatan Profesional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negaranya. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan berkarya dan seklaigus merupakan tanggung jawab sosial profesional tersebut. Jabatan bidan merupakan jabatan profesional. Jabatan dapat ditinjau dari 2 aspek, yaitu : a. Jabatan Struktural Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tugas ada dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi. b. Jabatan fungsional Jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan juga berorientasi kualitatif. Dalam konteks inilah jabatan bidan adalah jabatan fungsional profesional sehingga bidan mendapat tunjangan fungsional. 4. Persyaratan keprofesionalan Bidan a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis. b. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional.



24



c. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat. d. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah. e. Mempunyai perandan fungsi yang jelas. f. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur g. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah h. Memiliki kode etik kebidanan i. Memiliki etika kebidanan j. Memiliki standar pelayanan k. Memiliki standar praktek. l. Memiliki standar praktek yang mendasari dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan. m. Memiliki



standar



pendidikan



berkelanjutan



sebagai



wahana



pengembangan kompetensi. 5. Bidan Sebagai Profesi Sebagai anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yang khusus. Sebagai pelayan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Bidan mempunyai ciri tugas yang sangat unik, yaitu : a. Selalu mengedepankan fungsi ibu sebagai pendidik bagi anakanaknya. b. Memiliki kode etik dengan serangkaian pengetahuan ilmiah yang didapat melalui proses pendidikan dan jenjang tertentu



25



c. Keberadaan bidan diakui dan memiliki organisasi profesi yang bertugas meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. d. Anggotanya menerima jasa atas pelayanan yang dilakukan dengan tetap memegang teguh kode etik profesi. Hal tersebut akan terus diupayakan oleh para bidan sehubungan dengan anggota profesi yang harus memberikan pelayanan profesional. Tentunya harus diimbangi dengan kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan, pelatihan, dan selalu berpartisipasi aktif dalam pelayanan kesehatan. 6. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mencapai Bidan Yang Professional. Bidan yang professional merupakan idaman bagi seluruh perempuan yang sudah terlanjur menjadi bidan. Berbagai upaya dapat dilakukan, antara lain dengan cara ; a. Memperkuat organisasi profesi. Mengupayakan agar organisasi profesi bidan / Ikatan Bidan (IBI) dapat terus melaksanakan kegiatan organisasi sesuai dengan : 1) Pedoman Organisasi. 2) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 3) Standar



Profesi



(Standar



Organisasi,



Standar



pendidikan



berkelanjutan, Standar kompetensi, Standar pelayanan, Kode etik dan Etika kebidanan).



26



b. Meningkatkan kualitas pendidikan bidan. Melalui berbagai jalur pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Secara formal, rencana pendidikan bidan Harni Kusno dalam makalah Profesionalisme Bidan menyongsong Era Global, sebagai berikut : 1) Pendidikan saat ini (D III Kebidanan, D IV Bidan Pendidik). 2) Rencana pendidikan bidan kedepan (S1 Kebidanan, S2 Kebidanan dan S3 Kebidanan). Secara non formal, dapat dengan cara : 1) Pelatihan - pelatihan untuk mencapai kompetensi bidan (LSS, APN, APK, dll). 2) Seminar – seminar, lokakarya dll. c. Meningkatkan kualitas pelayanan bidan Bidan berada pada setiap tatanan pelayanan termasuk adanya bidan praktek mandiri/bidan praktek swasta (BPS). Peningkatan kualitas pelayanan bidan adalah dengan cara : 1) Fokus pelayanan kepada ibu/ perempuan dan bayi baru lahir. 2) Upaya peningkatan kualitas pelayanan dilaksanakan melalui pelatihan klinik dan non klinik, serta penerapan model sebagai contoh : Bidan Delima, Bidan Keluarga, Sistem Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik/ SPMKK. 3) Kebijakan dalam pelayanan kebidanan antara lain : Kep.Menkes no. 900 tahun 2002 tentang Kewenangan Bidan, Kep.Menkes no



27



369/ 2007 tentang Standar Profesi Bidan, Jabatan Fungsional Bidan, Tunjangan Jabatan Fungsional Bidan. d. Peningkatan Kualitas Personal Bidan Peningkatan kualitas personal dan universal kebidanan sudah dimulai sejak dalam proses pendidikan bidan, setiap calon bidan sudah diwajibkan untuk mengenal, mengetahui, memahami tentang peran, fungsi dan tugas bidan. Setiap bidan harus dapat mencapai kompetensi profesional, kompetensi personal dan universal, dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1) Sadar tentang pentingnya ilmu pengetahuan / iptek, merasa bahwa proses belajar tidak pernah selesai, belajar sepanjang hayat/ life long learning dalam dunia yang serba berubah dengan cepat. 2) Kreatif, disertai dengan sikap bertanggungjawab dan mandiri. Bidan kreatif yang bertanggungjawab dan mandiri akan memiliki harga diri dan kepercayaan diri sehingga memumgkinkan untuk berprakarsa dan bersaing secara sehat. 3) Beretika dan solidaristik. Bidan yang beretika dan solidaristik, dalam setiap tindakannya akan selalu berpedoman pada moral etis, berpegang pada prinsip keadilan yang hakekatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya / bersifat tenggangrasa.



28



7. Kewajiban Bidan terhadap Profesinya a. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu pada masyarakat. b. Setiap



bidan



harus



senantiasa



mengembangkan



diri



dan



meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 8. Perilaku Profesional Bidan Bidan sebagai tenaga profesional harus mempunyai perilaku yang mencerminkan keprofesionallnya, adapun perilaku profesional bidan antara lain : a. Bertindak sesuai keahlian b. Mempunyai moral yang tinggi c. Bersifat jujur d. Tidak melakukan coba-coba e. Tidak memberikan janji yang berlebihan f. Mengembangkan kemitraan g. Terampil berkomunikasi h. Mengenal batas kemampuan i. Mengadvokasi pilihan klien 9. Manajemen Organisasi Profesi Profesi adalah pekerjaan yang perlu dukungan body of knowledge



yang



dperoleh



29



melalui



latihan



terarah



dan



berkesinambungan, memiliki kode etik serta orientasinya adalah melayani. Ditempatkan sebagai warga profesi (WP), jika : a. Profesi sebagai penghasilan utama b. Kewajiban dan tanggungjawabnya bukan karena uang semata c. Berilmu, terlatih, mampu, terampil dan berkembang d. Otonom atau melakukan atas kemauan sendiri e. Bergabung dalam organisasi profesi karena kesamaan cita-cita bukan keuntungan. OP dan WP yang baik memiliki ciri-ciri antara lain : adanya ikatan



persaudaraan



dan



kebanggaan



menjadi



anggota



dalam



kepemimpinan kolektif; menjaga martabat dan kehormatan profesi; menempuh



pendidikan



dan latihan berkelanjutan;



pengambilan



keputusan atas dasar kesepakatan. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, OP harus bepegang pada misinya yaitu merumuskan etika, kompetensi dan kebebasan profesi. Dalam mencapai misi OP menetapkan standar pelayanan, pendidikan dan latihan untuk WP, serta memperjuangkan kebijakan dan politik profesi. Kesemua itu, bertujuan menciptakan mutu pelayanan profesi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pentingnya anggota profesi (AP) praktik dengan bersendikan profesionalisme dan otonomi profesi merupakan indicator bagi organisasi



untuk



membina dan membela



30



anggotanya.



Praktik



kedokteran (juga bidan) pada dasarnya mengandung dua kondisi pertama, yaitu (1) ketidaktahuan pasien (patient ignorance) yang dapat mendorong terjadinya kondisi kedua (2) timbulnya keinginan yang berlebihan oleh pasien saat menjalani konsultasi/pengobatan (induce demand). AP yang baik harus dibela manakala praktik profesinya terganggu. Dengan demikian, kewajiban organisasi profesi sangatlah jelas, yaitu membina anggotanya agar menjadi baik dan membela anggotanya yang baik apabila mendapatkan masalah dalam praktik profesinya. Jika AP telah berulang kali dibina namun tidak menjadi baik dan pada saat yang bersamaan mendapat masalah dalam praktik profesinya maka bukanlah kewajiban utama organisasi profesi untuk membelanya. 10. Advokasi Input – Sistem Praktik yang Baik Manajemen organisasi profesi untuk menjaga harkat dan martabat dalam proses praktik AP, tidak akan berjalan baik jika inputnya tidak baik. AP yang praktik harus terseleksi dari dua aspek, yaitu : a. Seleksi aspek kompetensi teknis, misal : Adanya sertifikat kompetensi dari pendidikan berkelanjutan sebagai syarat registrasi ulang. Hal ini penting sebagai instrument seleksi untuk organisasi profesi demi menjaga kompetensi pengetahuan dan ketrampilan bagi AP



31



b. Seleksi aspek kompetensi teknis, misal : Adanya catatan khusus tentang kelalaian etika AP selama menjalankan praktik bidan. Anggota profesi yang kompeten dan baik, diharapkan dapat menjalankan praktiknya secara professional dan otonom. Namun, ini membutuhkan berbagai input lain yang berpengaruh terhadap upaya terciptanya suasana kondusif bagi AP untuk berpraktik sesuai harkat dan kehormatan profesi, meliputi pembiayaan, pedoman standar yang harus diikuti, juga manajemen yang menjamin profesionalisme dan otonomi profesi. Sistem praktik kesehatan yang baik tidak dapat menjamin harkat dan kehormatan profesi kepada diri praktisi secara individual. Mengharapkan praktisi kesehatan (missal bidan) sepenuhnya mematuhi sumpah dank ode etik profesinya atas kesadaran sendiri akan berat manakala pergeseran-pergeseran nilai dan situasi social yang terjadi tidak lagi menunjang. OP harus mengadvokasi terciptanya sistem praktik kesehatan yang baik agar dapat membantu mengeliminir pengaruh sistem sekitar yang buruk. Output dari sistem praktik kesehatan yang baik jika AP melayani masyarakat melalui praktik kesehatan bermutu sesuai kompetensi dan kewenangannya. Pelayanan



bermutu



akan



berdampak



positif



terhadap



peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pertimbangkan semangat “keadilan” bagi AP, dengan kata lain AP yang member pelayanan



32



bermutu haruslah tercukupi kesejahteraannya. Kesejahteraan yang cukup, dapat membantu AP mengembangkan dan mengabdikan ilmunya, karena AP harus terus belajar yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Manajemen OP ini diharapkan dapat melahirkan prinsip “kesamaan”, semangat kerja sama antara IBI, IDI dan OP kesehatan lain, bahu membahu mengadvokasi sistem praktik kesehatan yang beik, dengan tujuan utama : peningkatan derajat kesehatan bangsa Indonesia, sekaligus menggapai cita-cita universal OP yaitu menjaga harkat dan martabat kehormatan profesinya. 11. Peraturan dan perundangan yang mendukung keberadaan profesi Bidan dan Organisasi Bidan a. Kepmenkes



No.491/1968



tentang



peraturan



penyelenggaraan



sekolah bidan b. No. 363/Menkes/Per/IX/1980 tentang wewenang Bidan c. No. 386/Menkes/SK/VII/1985 tentang penyelenggaraan program pendidikan bidan d. No. 329/Menkes/VI/Per/1991 tentang masa bakti Bidan e. Instruktur Presiden Suharto pada siding cabinet paripurna tentang perlunya penempatan Bidan Desa f. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 572 Tahun 1994 tentang registrasi dan praktik Bidan



33



g. Peraturan pemerintah No. 32 Tahun 1961 Lembaran Negara No. 49 tentang tenaga kesehatan h. KepMenkes No. 077a/Menkes/SK/III/97 tentang petunjuk teknis pelaksanaan masa bakti bidan PTT dan pengembangan karir melalui praktik bidan perorangan di Desa i. Surat Keputusan Presiden RI No. 77 Tahun 2000 tentang perubahan atas keputusan presiden No. 23 tahun 1994 tentang pengangkatan bidan sebagai PTT j. kepMenkes No. 1464 Tahun 2010 tentang ijin dan penyelenggaraan praktik kebidanan k. KepMenkes 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar profesi bidan l. PerMenkes No. 161 Th. 2010 tentang STR 12. Hubungan waktu dengan profesi Bidan Jurnal penelitian oleh Choucri, Lesley pada tahun (2012) dengan judul penelitian Midwives and the time : a theoretical discourse and analysis, menyatakan bahwa waktu merupakan kekuatan yang kompleks tidak bisa dilihat, didengar dan dirasakan namun sangat berpengaruh terhadap kinerja seorang bidan, dimana waktu paruh kerja yang banyak menuntut tanggung jawab seorang bidan disamping keluarganya sangat berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan oleh Bidan itu sendiri. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan tenaga bidan yang dirasakan



oleh



Pemerintah



34



dan



Masyarakat,



seiring



dengan



betambahnya jumlah bidan, serta kepercayaan Pemerintah dan Masyarakat terhadap bidan dalam upaya-upaya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu - Bayi (AKI – AKB) dan meningkatkan derajat kesehatan



masyarakat,



sangat



professional.



35



diperlukan



bidan-bidan



yang



DAFTAR PUSTAKA



Alexander, Jo. 1993. Midwifery Practice. Mac Millan. London Chucri Lesrey, 2012. Evidence Based Midwifery, Midwives and the time. Vol X. USA : Royal Collage of Midwives Estiwani, dkk, 2008. Konsep Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya Harni , 2000. Mutu Pelayanan Bidan Praktek Swasta / BPS dalam Mengantisipasi Era Globalisasi, Jakarta : PP IBI ---------, 2000. Professionalisme Bidan Menyongsong Era Global, Jakarta : PP IBI ---------,



2011. Manajemen Organisasi www.mediabidan.com,



Profesi,



Jawa



Timur



Pengurus Pusat IBI. 1996. Etik dan Kode Etik Kebidanan. Jakarta : PP IBI



36



: