Sejarah Perkembangan E-Learning Dan E-Government [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH PERKEMBANGAN E-LEARNING dan E-GOVERNMENT 1. Sejarah Perkembangan E-Learning E-learning sebenarnya sudah mulai dipopulerkan sejak tahun 1960, ketika ditemukannya program Computer Based Training pertama (CBT program). Program ini juga dikenal dengan nama PLATO (Programmed Logic for Automated Teaching Operations). Program tersebut dibuat untuk para mahasiswa yang belajar di University of Illinois, namun akhirnya program tersebut digunakan di sekolah-sekolah hampir di seluruh daerah disana. Sistem e-learning pertama benar-benar hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi untuk para siswa (trainee). Namun ketika memasuki tahun 70-an, e-learning mulai menjadi lebih interaktif. Universitas di Inggris sangat ingin menggunakan e-learning. Sistem pendidikan mereka telah berfokus pada pembelajaran jarak jauh. Pada saat itu, materi kursus yang disampaikan melalui pos dan komunikasi dengan pengajar (trainer) masih melalui surat. Sedangkan dengan internet, Universitas Terbuka mulai menawarkan jangkauan yang lebih luas dari pengalaman belajar interaktif serta komunikasi lebih cepat dengan siswa melalui e-mail. Kemudian di tahun 1990, saat CBT masih populer digunakan, mulai bermunculan aplikasi elearning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Di dalamnya terdapat isi materi berbentuk tulisan maupun multimedia (video dan audio) dalam format mov, mpeg-1, atau avi. Materi-materi pembelajaran tersebut di tahun 1994, muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan kemudian diproduksi secara massal. Produksi materi-materi pembelajaran masih berlangsung hingga berkembangnya komputer dan internet pada akhir abad 20 dan desain e-learning pun semakin berkembang. Penemuan Mac pada tahun 80-an membuat orang-orang dapat memiliki komputer di rumah dan menjadikan pembelajaran lebih mudah. Kemudian dalam dekade berikutnya, lingkungan belajar virtual mulai benar-benar berkembang, sehingga orang-orang bisa mengakses informasi secara online. Pada tahun 1997, Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta tempat sudah bukan lagi hambatan. Dari sinilah Learning Management System muncul. Perkembangan Learning Management System (LMS) yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya



standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Committee), IMS, SCORM, IEEE LOM, ARIADNE, dan sebagainya. Pada tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia , video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar, dan berukuran kecil.     Dengan perkembangan teknologi peradaban manusia semakin menjadi bergantung pada fungsi alat teknologi. Termasuk dalam dunia pendidikan, seperti munculnya pembelajaran elektonik (E-Learning) dan berikut ini perkembangan E-Learning dengan beberapa aplikasi perangkat lunak : 1) Perkembangan E-Learning Dengan Claroline Perkembangan E-Learning tidak terlepas dari Claroline, karena Claroline merupakan online aplikasi. Claroline adalah sumber online terbuka yakni aplikasi pembelajaran yang memungkinkan sejumlah lembaga pendidikan untuk mendaftar dan mengelola berbagai kursus online mereka. Claroline digunakan di lebih dari 80 negara dan tersedia dalam 30 bahasa. Seluruh aplikasi ini dirancang dengan cara membantu tutor khusus dalam merancang kursus dengan demikian memungkinkan manajemen yang efisien. Beberapa fungsi yang meliputi pengembangan jalur untuk belajar, dokumen penerbitan dan informasi dalam PDF, teks, HTML, atau format video. Salah satu keuntungan yang signifikan darii Claroline adalah bahwa mungkin untuk men-download secara gratis menggunakan web browser pilihan seseorang. Format teknologi seperti MySQL dan PHP digunakan dalam komposisi dan mungkin menggunakan Claroline sesuai dengan sistem operasi umum seperti Windows, Linux, Mac OS. 2) Perkembangan E-Learning Dengan Joomla Bagi dunia pendidikan, E-Learning merupakan suatu potensi dan solusi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, akan tetapi pembuatan E-Learning memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, diantaranya yaitu : harus mengetahui bahasa pemograman seperti php, html, java, dan proses pembuatannya yang memerlukan waktu yang lama. Namun dengan



teknolgi yang semakin canggih ada cara yang lebih praktis dalam pembuatan E-Learning, yaitu dengan aplikasi Joomla. Dengan aplikasi Joomla pembuatan E-Learning menjadi lebih muda karena tidak diperlukannya bahasa pemograman. Sehingga pengerjaannya memerlukan waktu yang relative lebih singkat. Program E-Learning berbasis Joomla menawarkan konsep yang dinamis, yang diasumsikan akan lebih baik dibandingkan dengan hanya mengandalkan keberadaan guru di kelas. Dalam hal ini siswa dapat mempelajari materi pelajaran dimanapun dan kapanpun. Dengan demikian siswa diharapkan dapat menguasai materi pelajaran secara maksimal, serta menguntungkan siswa. 3) Perkembangan E-Learning Dengan Moodle Moodle merupakan salah satu LMS (Learning Management System) open sources yang dapat diperoleh secara bebas melalui http://moodle.org. Moodle dapat dengan mudah dipakai untuk mengembangkan sistem E-Learning. Dengan Moodle portal E-Learning dapt dimodifikasi sesuai kebutuhan. Saat ini terdapat lebih dari 18 ribu situs E-Learning tersebar di lebih dari 163 negara



yang dikembangkan



dengan Moodle. Dengan memanfaatkan



Moodle maka



pengoptimalan implementasi akan diperoleh sistem E-Learning dengan maksimal. 4) Perkembangan E-Learning di Indonesia E-learning di Indonesia mulai ada sejak tahun 90-an dengan didahului oleh perkembangan teknologi informasi. Namun demikian akibat adanya krisis moneter yang menimpa indonesia sekitar tahun 1997 hingga tahun 2000 para perintis e-learning mendapati masalah keuangan pula. Mulai tahun 2000, setelah krisis mulai mereda banyak organisasi yang kembali merintis perkembangan e-learning. Namun demikian terdapat beberapa masalah dalam penyelenggaraan e-learning di Indonesia yakni meskipun terdapat lebih dari 60 situs e-learning, kebanyakan masyarakat saat itu belum memiliki fasilitas yang memadai sebagai sarana pembelajaran elearning. Hanya sekitar 20 juta dari lebih dari 223 juta penduduk yang sudah memiliki telepon. Menggunakan hanphone untuk mengakses internet juga masih sangat mahal, sementara penyedia layanan internet juga masih sedikit. Di sisi lain saat itu meskipun penyedia e-learning biasanya adalah institusi pendidikan dan sasaran e-learning adalah para pelajar khususnya mahasiswa, sebagian besar isi dari materi yang dijelaskan tidak menjangkau standard intelektual mahasiswa. Selain itu tak ada koordinasi dalam pelaksanaan e-learning karena masing-masing institusi



pemerintah menyediakan layanan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi. Masalah yang terakhir adalah masalah kebudayaan masyarakat Indonesia. Masyarakat umumnya lebih menyukai berbicara daripada membaca. Contohnya daripada membaca buku mahasiswa lebihmanyukai berinteraksi dengan mahasiswa yang lain atau langsung dengan pengajar. Artinya mereka lebih senang untuk berbicara secara langsung dibanding secara virtual seperti yang biasanya ada dalam e-learning. Oleh karena itu saat ini Indonesia membutuhkan koordinasi yang lebih baik dari para operator e-learning, strategi e-learning yang lebih baik dari para pemimpin serta membuat e-learning bukan hanya sebagai media pembelajaran saja namun juga sebagai sarana bagi para pelajar agar selalu up to date dan membuat teknologi informasi menjadi bahan ajar yang fleksibel. 2. Sejarah Perkembangan E-Learning di Indonesia Istilah e-Government di Indonesia terus naik daun sejak milenium baru dimulai. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2001 yang mendorong penggunaan teknologi telematika guna menyukseskan target good governance serta mengakselerasi terwujudnya demokrasi yang dicita-citakan. Secara pengertian, e-Government (atau sering disingkat menjadi e-Gov) sendiri merupakan pemakaian teknologi informasi dan komunikasi yang bertujuan untuk meningkatkan interkonektivitas antara pemerintah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Di dalam e-Government terdapat keterlibatan otomatisasi serta komputerisasi atas prosedur paper-based. Hal tersebut akan menciptakan pola kepemimpinan baru, cara berdiskusi alternatif untuk penetapan strategi, munculnya mekanisme baru terkait transaksi bisnis, memudahkan komunikasi dua arah dari warga/komunitas ke pemerintah maupun sebaliknya, hingga menyediakan platform baru dalam pengorganisasian dan penyampaian informasi. e-Government ini tidak hanya berjalan di satu-dua instansi, tetapi di seluruh instansi yang ada. Hasil akhirnya tentu saja berujung pada keberadaan sistem yang akurat dan terintegrasi. Sayangnya, perjalanan proyek e-Gov di Indonesia masih menemui banyak kendala. Bagian yang menarik adalah, kendala itu muncul justru karena adanya salah pengertian dan pandangan. Pada awal pengembangan, banyak yang mengira bahwa e-Gov hanyalah situs web lembaga pemerintah, padahal sistem ini tidak sesempit itu. Persepsi ini ditakutkan akan mereduksi makna



dari e-Gov itu sendiri. e-Government merupakan sebuah kesatuan sistem yang terintegrasi antarinstansi di dalam suatu negara. Karena namanya yang tergolong modern, kemudian muncul pihak-pihak yang beranggapan bahwa e-Gov terbatas pada ketersediaan infrastruktur. Nyatanya, e-Gov tidak bisa diidentikkan dengan infrastruktur. Sifatnya yang “lunak” membuat e-Gov lebih condong ke arah menumbuhkan



pemberdayaan,



sedangkan



infrastruktur



umumnya



dimanfaatkan



untuk



kepentingan yang lebih besar. Karena hal ini, maka kehadiran IT konsultan menjadi penting. Setelah itu, muncul keraguan bahwa e-Gov terbatas pada pembangunan sistem informasi. Persepsi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi selama ini pandangan instansi di Indonesia terhadap sistem terlanjur berfokus pada proses birokrasi yang kesannya berjalan sendiri-sendiri. Pemahaman lebih tepat adalah sistem ini ada karena digunakan untuk mendukung proses penyelenggaraan pemerintahan sehingga bisa optimal. Dengan target cakupan yang besar, kendala lain buat e-Gov di Indonesia adalah kesan “mahal”. Sebenarnya, minimnya biaya bukan merupakan halangan untuk menyukseskan e-Gov, melainkan menjadi salah satu fakta lapangan. Hal yang lebih penting dari sekadar biaya sebenarnya ada pada masalah perbedaan tingkat kesiapan di level masyarakat dalam menerima teknologi yang diterapkan di e-Gov. Selain itu, sistem ini justru bisa disebut mahal kalau berbagai aspek investasi pendukungnya (termasuk infrastruktur dan sistem informasinya) tidak bisa memenuhi target. e-Gov bakal efektif apabila implementasi TIK-nya mampu menciptakan multiplier effect yang menghasilkan output kemanfaatan lebih besar dari nilai investasi. Ada pula anggapan yang muncul di perjalanan bahwa e-Gov membutuhkan SDM TIK dedikatif. Seperti halnya bidang-bidang lain: kemampuan teknis tanpa didukung kemampuan manajerial hasilnya tidak akan optimal. Leadership penting untuk menghasilkan implementasi eGov yang sesuai harapan. Selain itu, pekerjaan yang berhubungan dengan sistem seperti IT konsultan bisa diaplikasikan dengan sistem lepasan. Berbagai tantangan yang muncul di perkembangan e-Government di Indonesia justru memberikan ruang yang cukup luas untuk perbaikan-perbaikan implementasinya. Salah satu pewujudan e-Government terkini yang patut diapresiasi adalah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Melalui



Peraturan Menteri (Permen) Nomor 5 Tahun 2018 pemerintah memperjelas mekanisme pedoman evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Seiring dengan pekembangan TIK dan tuntutan masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik, praktik e-government juga mengalami pekembangan yang berimbas terhadap pola interaksi, aktor, konten, dan konteks implementasinya. (Reddick, 2004) mengadakan penelitian empirik tentang implementasi e-government di kota-kota Amerika Serikat berpendapat bahwa ada dua perkembangan pola interaksi yaitu cataloguing dan transactions dimana tahap pertama adalah penyediaan informasi publik pada pada web pemerintah, sedangkan tahab kedua meliputi fasilitas untuk bertransaksi dalam pelayanan publik. Pada penjelasan lebih lanjut, tahap ini ditujukan pada konsep one-stop service secara online bagi warga negara. 1) Perkembangan E-Government model (Reddick, 2004) Berbeda dengan dua pola perkembngan tersebut, (West, 2001) membagi perkembangan egovernment menjadi 4 tahapan yang membedakan peran dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, the bill-board stage yang ditandai dengan penggunaan website pemerintah sebagai papan pengumuman yang hanya memungkinkan diseminasi informasi publik kepada masyarakat. Pola interaksi yang terjadi adalah komunikasi satu arah dimana pengunjung website pemerintah hanya mendapatkan informasi, tetapi tidak bisa menanggapi atau berinteraksi terkait informasi yang diberikan. Disamping itu, layanan yang diperoleh sangan bergantung pada update informasi yang diunggah pemerintah ke dalam website nya. Tahap kedua adalah, partial service delivery, atau pelayanan sebagian yang memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan kepada pengunjung website. Namun demikian, jenis layanan yang disediakan relatif terbatas dan tidak secara komprehensif. Misalnya, seorang peneliti membutuhkan data hasil survei tentang lahan produktif di suatu



luas



daerah. Meskipun data tersebut tidak ditampilakan di dalam



website, peneliti bisa meminta data tersebut melalui fasilitas website. Namun, untuk data-data yang lebih rinci, selaiin luas lahan produktif belum bisa dilayani secara online. Ketiga adalah one-stop government portal, yaitu fasilitas portal terintegrasi yang menyediakan layanan secara online. Seluruh unit- unit dalam pemerintahan sudah terintegrasi dalam satu portal layanan. Proses pelayanan publik dari masing-masing unit pemerintahan dapat di eksekusi dalam satu platform pelayanan online. Tahap terakhir adalah interactive democracy yang memberikan fasilitas kepada warga negara untuk ikut serta mengontrol jalannya pemerintahan dengan



mekanisme pengukuran akuntabilitas yang jelas. Secara lebih teknis level ini menurut (West, 2001) menyediakan fasilitas umpan balik, komentar, dan laporan pengaduan terhadap pengguna layanan sehingga meningkatkan responsivitas dan akuntabilitas publik. 2) Perkembangan e-government model (West, 2001) Sejalan dengan (West, 2001), (Hiller, 2001) mengembangkan model e- government dengan lima tahap perkembangan yaitu: information (fasilitas dasar website pemerintah), two-way communication (adanya komunikasi dua arayh antara pemerintah dengan warga negara), transaction (pelayanan online dan transaksi finansial tersedia), integration (integrasi berbagai macam pelayanan dalam satu portal), dan participation (adanya fasilitas partisipasi politik termasuk pemungutan suara). Dengan terminologi yang agak berbeda (Moon, 2002) juga membagi dalam lima tahap yaitu: pertama, simple information dissemination (merupakan komunikasi satu arah dimana pemerintah mengunggah informasi melalui website), tahapan kedua, sama persis dengan apa yang disebutkan oleh (Hiller, 2001), sebagai two-way communication. Dalam tahap ketiga, model dari (Moon, 2002), memungkinkan secara lebih rinci sebagai service and finacial transactions yang memungkinkan adanya transaksi pelayanan dan finansial. Tahapan keempat adalah integration yang menandakan adanya integrasi vertikal dan horizontal antar departemen atau unit pemerintahan. Kemudian, tahap terakhir adalah political participation yang memfokuskan pada aktivitas partisipasi politik waga negara. 3) Perkembangan e-government model (Moon, 2002) Agak berbeda dengan berbagai model diatas, (Lee & Kwak, 2012), mengusulkan perkembangan e-government dalam koridor pemerintahan terbuka (open government), media sosial, dan web 2.0 melalui kajian Institusi kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Tahap pertama adalah initial conditions yang ditandai dengan diseminasi informasi dari pemerintah kepada publik. Tahap kedua adalah data transparency yaitu adanya keterbukaan informasi yang disampaikan kepada masyarakat secara online. Tahap ketiga open participation sebagai tahapan dimana fasilitas media sosial dan web 2.0 dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang meliputi e-voting dan e-petition. Keempat adalah open collaboration yang menghasilkan kolaborasi antara pemerintah dengan aktor non pemerintah berbasis website dalam penyediaaan pelayanan publi kdan pengambilan kebijakan. Tahap terakhir adalah ubiquitous engagement yang mencakup komunikasi dua arah, keterbukaan informasi, partisipasi masyarakat, dan kolaborasi yang terintegrasi dalam satu layanan portal pemerintah.



4) Perkembangan e-government model (Lee & Kwak, 2012) Uraian perkembangan e-government di atas menempatkan partisipasi politik dan pelibatan masyarakat, serta akuntabilitas publik dalam dimensi penyelenggaraan layanan. Sementara itu, beberapa hasil studi lain, misalnya (Nation, 2008), (Layne & Lee, 2001) dan (Andersen & Henriksen, 2006) lebih berfokus pada interkoneksitas tata kelola dan tidak memasukkan dimensi partisipasi masyarakat dalam e-government. United Mation mengidentifikasikan perkembangan e-government dalam 5 tahap: 1.



Emerging, yaitu sebagai tahap awal dimana fasilitas e-government masih terbatas, bersifat statis, dan tidak interaktif.



2.



Enhanced, yaitu fasilitas penyediaan informasi publik melalui website sudah update dan relatif lebih lengkap dengan tersedianya data secara komprehensif dari arsip, laporan, dan pengaturan perundang-undangan.



3.



Interactive, pelayanan online yang memungkinkan pengunjung untuk mengunduh informasi, berkomunikasi dengan administrator website, dan transaksi pelayanan publik yang masih terbatas.



4.



Transactional, fasilitas transaksi dalam pelayanan publik antara pemerintah dengan warga negara (Government to Citizen/ G to C) dan atau sebaliknya.



5.



Connected, adalah integrasi total pelayanan publik dari berbagai unit layanan yang ada dalam satu portal layanan.



5) Perkembangan e-government (UN, 2008) Mirip dengan klasifikasi perkembangan di atas, (Layne & Lee, 2001), membagi perkembangan e-government dalam 4 tingkatan, yaitu: 1.



Catalogue,adalah website pemerintah dibangun untuk menyediakan informasi publik kepada masyarakat.



2.



Transaction, pengguna website dapat bertransaksi dalam proses pelayanan publik yang disediakan secara online.



3.



Vertical integration, integrasi vertikal dari otoritas yang ada di atasnya yang



menyediakan layanan fungsional sejenis. 4.



Horizontal integration, one stop service yang menginteraksikan seluruh unit- unit pelayanan online dalam satu portal layanan.



6) Perkembangan e-government model (Layne & Lee, 2001) Sebagai ekstensi dan penyempurnaan dari konsep (Layne & Lee, 2001), (Andersen & Henriksen, 2006) membangun model perkembangan e-government dengan



memberikan



penilaian terhadap implementasi e-government pada 110 lembaga pemerintahan di Denmark. Adapun perkembangan itu dibedakan dalam empat tahapan, yaitu: 1.



Cultivation, yang mana penggunaan internet sebagai mekanisme interaksi antar lembaga pemerintahan baik vertikal maupun horisontal.



2.



Maturity, yang mana menunjukkan proses yang lebih siap dengan integrasi data dan transparansi antar lembaga pemerintahan dan masyarakat pengguna.



3.



Extension, pengguna internet secara luas dan menjadi titik awal penggunaan berbasis website.



4.



Revolution, penggunaan, mobilitas, dan kepemilikan data dapat dilakukan antar organisasi dan masyarakat pengguna.



7) Perkembangan e-government model (Andersen & Henriksen, 2006) Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat menyimpulakan tiga idea atau pemikiran utama pemanfaatan TIK dalam tata kelola pemerintahan. Pertama adalah e-officeleadministration/traditional e-government yaitu penggunaan TIK lingkup pemerintahan dengan tujuan utama untuk membantu operasionalisasi organisasi dan manajemen sektor publik. Dalam lingkup internal, dapat disebut sebagai e-officele-administration yang menunjuk pada otomatisasi proses bisnis internal organisasi pemerintah degan relasi ke dalam (antar internal pemerintah). Aktivitas yang dominan terjadi adalah koordinasi, konsultasi, standarisasi, dan otomatisasi. Kemudian dalam lingkup eksternal, pemerintah berinteraksi dengan warga negara dan dunia bisnis. Namun demikian, komunikasi yang terbentuk cenderung masih bersifat satu arah (one-way) dengan aktivitas utama diseminasi informasi publik dan upaya untuk mewujudkan transparansi. Dalam kajian literatur, pola ini analog dengan konsep cataloguing (Layne & Lee, 2001; Moon, 2002), atau Initial condition (Lee & Kwak, 2012). Kedua adalah e-government yaitu pemanfaatan TIK dalam praktik pemerintah dengan



karakteristik komunikasi dan transaksi dua arah antar aktor tata kelola (pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat) yang terintegrasi dalam satu platform digital. Aktivitas dominan yang terjadi diantaranya komunikasi dua arah, transaksi data dan finansial, dan partisipasi masyarakat. Sesuai dengan istilahnya governance, merujuk pada konsepsi jaringan aktor yang terintegrasi dan saling mempengaruhi dalam kebijakan dan pelayanan publik. dengan demikian, e- governance lebih luas dari pengertian e-government dari segi terminologi maupun praksi interaksi antara aktor dilapangan. Dalam kajian literatur, pola ini analog dengan konsep transaction (Hiller, 2001). Ketiga adalah We-Governance yang mengacu pada prefix we (kami atau kita) yang mengandung pengertian melalui pemanfaatan TIK, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dapat bersinergi mengatur atau mengelola pemerintahan. Istilah ini adalah adaptasi dari tulisan (Linders, 2012), we-government dapat diartikan pemerintah milik bersama dengan pelibatan maksimal seluruh aktor-aktor governance dalam menjalankan roda pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik.