Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta Dari Awal Hingga Sekarang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta Dari Awal Hingga Sekarang



Gambar 1. Istana Keraton Yogyakarta



A. Latar Belakang Daerah Istimewa Jogjakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta, merupakan kota yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya, seperti keraton. Masyarakat percaya bahwa keraton merupakan referensi budaya mereka. Dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa studi yang dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat kepada keraton sangat tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak raja dapat menggabungkan kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan modern. Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal ratu, pusat pemerintahan ratu, atau ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal dari kata “raj” mendapat awalan “ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat tinggal raja yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja. Menurut Darsiti Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat kediaman raja. Sedang arti yang lebih luas lagi, dapat di uraikan secara sederhana bahwa, lingkungan



seluruh struktur dan bangunan wilayah keraton mengandung arti tertentu yang berkaitan dengan salah satu padangan hidup jawa yang sangat esensial, yaitu, Sangkan Paraning Dumadi (Dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati) . Nama Keraton Kasultanan Yogyakarta, tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita, kerajaan yang hingga sekarang ini masih eksis ini merupakan daya tarik pariwisata tersendiri khususnya bagi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tahun 1756 di wilayah hutan Beringan. Nama hutan tersebut kemudian diabadikan untuk nama pasar di pusat kota yaitu,yang terkenal dengan nama Pasar Beringharjo. Sedang istilah Yogyakarta berasal dari kata YOGYA dan KARTA. Yogya artinya baik dan Karta artinya makmur. Namun pengertian lain menyatakan bahwa Yogyakarta atau Ngayogyakarta itu berasal dari kata Ayu+Bagya+Karta (Baca : Ngayu+Bagya+Karta), menjadi Ngayogyakarta. Keraton Yogyakarta ini menghadap ke arah utara dengan halaman depan berupa lapangan yang disebut alun-alun Lor (Alun-alun Utara), yang pada zaman dahulu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit kraton, dan tempat penyelenggaraan upacara adat serta untuk keperluan lainya. Pada masa sekarang fungsi alun-alun Lor hanya untuk upacara Garebeg dan perayaan Sekaten. Dibagian tengah alun-alun Lor terdapat dua pohon beringin yang dikelilingi tembok, yang disebut Beringin Kurung (Waringin Kurung). Dua pohon beringin yang bersebelahan itu masing-masing mempunyai nama (Kyai Dewadaru-barat) berasal dari Majapahit dan (Kyai Wijayadaru-timur) yang bibitnya berasal dari Pajajaran. Pusat wilayah Keraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter pesegi, dengan dikelilingi tembok benteng setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Disetiap sudutnya terdapat penjagaan atau Bastion, untuk melihat/mengawasi keadaan diluar maupun di dalam Benteng Keraton. Garis besarnya wilayah Kraton Yogyakarta yang memanjang sepanjang 5 Km, dari Panggung Krapyak di sebelah selatan hingga Tugu Kraton di sebelah utara,terdapa garis linier dualisme terbalik yang bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan keutara mulau dari Panggung Krapyak, melambangkan arti proses terjadinya manusia, mulai ketika masih berada di dalam arwah (Tempat Tinggal), samapai hadir kedunia lantaran ibu dan bapak. Disini keraton sebagai badan jasmani manusia, sedang Raja/Sultan adalah lambing jiwa



sejati yang hadir kedalam badan jasmani.



Sedang dari utara keselatan,melambangkan proses perjalanan manusia pulang kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,sebagai asal dari segala apa yang ada (DUMADI). Oleh karena itu sebutan Sangkan Paraning Dumadi adalah Sebutan lain untuk Tuhan dalam pandanga hidup Jawa. Panggung Krapyak adalah tempat tinggi, dalam hal ini adalah lambing tempat asalnya manusia secara esensial disisi Tuhan sebagai tempat yang tinggi. Gambaran yang sederhana adalah, Tugu Kraon Yogyakarta sebagai penjelmaan LINGGA (Laki- laki), dan (Perempuan). Kraton Yogyakarta sebagai



Panggung



Krapyak



sebagai



penjelmaan



YONI



lambing badan jasmani manusia yang berasal dari laki-



laki/Bapak (LINGGA) dan Perempuan atau ibu (YONI). Jadi, LINGGA + YONI = KRATON YOGYAKARTA (Sangkan Paraning Dumadi).



B. Sejarah Awal Keraton (Kerajaan Mataram) Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan. Tanah kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Pajang pada tahun 1558 Masehi setelah Ki Ajeng Pamanahan berhasil mengalahkan musuhnya yaitu Aryo Penangsang. Sebuah keraton di daerah Kota Gede dibangun pada tahun 1577 oleh Ki Ageng Pamanahan sebagai pusat pemerintahan hingga akhirnya beliau mangkat pada tahun 1584 sebagai pengikut Sultan Pajang. Setelah Ki Ageng wafat, kekuasaan Mataram diteruskan oleh putera dai Ki Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya. Ternyata pengangkatan Sutawijaya sebagai penguasa baru Mataram adalah hal yang sangat fatal karena dia tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang. Sutawijaya berniat menghancurkan Kasultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Akhirnya Sultan Pajang mengetahui niat tersebut dan memutuskan menyerang Mataram pada tahun 1587. Namun tak dapat disangka, pasukan Sultan Pajang yang berupaya menyerang Mataram



ini



terkena dampak letusan Gunung Merapi yang begitu besar pada saat itu, dan akhirnya menghancurkan seluruh pasukan Kesultanan Pajang. Berkat kejadian yang tidak diduga tersebut Sutawijaya & pasukan Mataram dapat selamat. Satu tahun setelahnya, Mataram menjadi sebuah kerajaan & Sutawijaya menasbihkan dirinya sebagai Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati, Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang berarti Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Mulai saat itu Kerajaan Mataram berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan yang besar & menjadi penguasa Pulau Jawa yang besar dan disegani. Setelah mangkatnya Panembahan Senopati pada tahun 1601 Raja Mataram selanjutnya digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang dikenal juga dengan gelar Panembahan Sedaing Krapyak. Setelah wafatnya pada tahun 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh anaknya yaitu Pangeran Arya Martapura & dilanjutkan oleh kakaknya yakni Raden Mas Rangsang yang juga lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman. Pada masa Kekuasaan Raden Mas Rangsang atau Sultan



Agung



inilah



kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaannya & berkembang dengan sangat pesat disegala bidang. Kerajaan Mataram semakin kuat dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung dan digantikan oleh puteranya yaitu Amangkurat I pada tahun 1645.



C. Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta Berawal Dari Perjanjian Giyanti Masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami kemunduran. Kejadian-kejadian yang berbau konflik perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana akhirnya meruntuhkan Kerajaan Mataram. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh VOC pada masa penjajahan Belanda. Akibat



dari itulah, muncul pergerakan anti Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Gerakan tersebut berujung pada perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada tanggal 13 Februari 1755 atau pada penanggalan jawa yakni pada Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ. Perjanjian tersebut dipelopori oleh Belanda dengan bantuan tokoh lokal Patih Pringgalaya. Pada Perjanjian Giyanti ini memutuskan untuk membagi kekuasan Kerajaan Mataram menjadi 2 yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian Giyanti tersebut, diatur pula bagaimana kedua kerajaan ini saling membedakan diri mulai dari tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan hingga tari-tarian serta hal lainnya. Dan dalam perjanjian itu juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah segala urusan pembagian antara kedua Kerajaan tersebut usai melalui Perjanjian Giyanti, kemudian pada tanggal 13 Maret 1755 atau Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ, proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat disampaikan kepada warga oleh Sultan Hamengku Buwono I. Sejak saat itulah Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat berdiri hingga kini. Kemudian, yang tercatat dalam sejarah singkat keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755 mulailah Keraton Yogyakarta dibangun atas inisiatif Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan bangunan utama serta rencana pengaturan kota selesai pada tahun berikutnya yakni 1756. Hingga kini, bangunan Keraton Yogyakarta masih berdiri meski tidak selengkap dulu. Dalam sejarahnya, Keraton Yogyakarta telah mengalami beberapa serangan militer. Mulai dari pada abad ke 18 atau tepatnya 1812, 1200 pasukan Inggris yang dipimpin oleh Stamford Raffles menyerang Keraton Yogyakarta dengan mudah karena saat itu warga Yogya tidak memiliki persiapan untuk perlawanan meski jumlahnya lebih banyak. Beberapa bangunan rubuh dan terbakar karenanya. Bangunan Keraton Yogyakarta yang saat ini berdiri hingga sekarang sebagian besar merupakan hasil pembangunan dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah sejak tahun 1921 hingga 1939. Sejak saat itu, dalam sejarah singkat keraton Yogyakarta telah mengalami dua kali gempa yakni pada tahun 1876 dan tahun 2006 lalu yang melumpuhkan Kota Yogya.



D. Sejarah Keraton Yogyakarta Dari Sisi Filosofi Dan Mitologi Sejarah Keraton Yogyakarta yang panjang itu tentu saja membuat Keraton Yogyakarta tidak dibangun dengan begitu saja. Banyak sekali nilai-nilai folosofis yang ditanam dalam pembangunan Keraton Yogyakarta ini. Arsitektur Keraton Yogyakarta sendiri adalah Sri sultan Hamengku Buwono I yang merupakanseorang arsitek yang sangat hebat pada masanya.



Beliau tidak begitu saja merancang bentuk bangunan keraton, namun beliau benar-benar memikirkan dan menerapkan juga berbagai nilai kehidupan dalan arsitektur bangunan maupun letak keraton. Secara umum Keraton Yogyakarta sendiri dibangun dengan sangat strategis di antara 2 sungai besar yaitu Sungai Code di timur dan sungai Winongo di Barat. Selain itu juga terlatak dalam satu garis lurus antara Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan yang tentu saja hal tersebut memiliki makna folosofis yang sangat dalam. Masih banyak sekali nilai-nilai filosofis kehidupan yang terdapat pada arsitektur Keraton Yogyakarta mulai dari interior dan eksterior. Hal inilah yang membuat Sejarah Keraton Yogyakarta (Keraton Jogja) sangat menarik dan membuat Keraton Yogyakarta juga sebagai warisan budaya yang sangat bernilai di mata dunia.



E. Penduduk Yogyakarta Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan [abdi Dalem] & rakyat [kawula Dalem] yg menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yg menggunakan sistem lungguh [tanah jabatan]. Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522. 300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1. 447. 022 jiwa. Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan [bandara], pegawai [abdi Dalem] & rakyat jelata [kawula Dalem]. Sultan yg merupaken anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dlm sistem sosial.



Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yg pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 [anak, cucu, anak dari cucu, & cucu dari cucu] dari Sultan yg termasuk Keluarga Kerajaan dlm artian mereka memiliki kedudukan & peran dlmupacara kerajaan. Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yg dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, & Kapanewon, serta pegawai yg diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli & pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yg bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yg berdiam di wilayah kesultanan.



F. Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta



Gambar 2. Denah Kompleks inti keraton Jogjakarta.



Keraton Yogya terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam beberapa bagian. Secara garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama dengan kompleks dan bangunan di dalamnya.



Arsitektur umum Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas. Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut denganBangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi. Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan



biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya. Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan. Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.



1.



Kompleks Depan Dalam bagian kompleks depan Keraton, terdapat beberapa pembagian wilayah dan bangunan yaitu:



1) Gladhag-Pangurakan Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari arah utara merupakan gerbang berlapis yaitu Gapura Gladhag dan Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu tedapat di ujung utara Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun saat ini sudah tidak ada lagi. Smentara di sebelah selatannya terdapat Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang pertama yang dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.



2) Alun-Alun Lor (Alun-Alun Utara) Alun-alun Utara adalah lapanan berumput yang terletak di sisi utara Keraton Yogya. Pinggiran alunalun ditanami dengan pohon beringin dan secara khusus di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zaman dahulu hanya Sultan dan Pepatih Dalem yang boleh berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini juga menjadi lokasi rakyat bertatap muka berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya kepada Sultan saat terjadinya Pisowanan Agung.



Gambar 3. Denah tata ruang inti keraton Jogjakarta.



2.



Kompleks Inti



1) Kompleks Pagelaran Bangunan utama dari bagian ini adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal pula sebagai Tratag Rambat. Zaman dahulu bagian ini digunakan sebagai tempat di mana punggawa kesultanan menghadap Sultan dalam upacara resmi. Saat ini tempat ini masih digunakan untuk upacara adat keraton, namun juga dimanfaatkan untuk acara-acara pariwisata dan religi.



Terdapat pula sepasang Bangsal Pemandengan yang terltak di sisi sebelah timur dan barat dari Pagelaran. Dahulu Bangsal Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang yang dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara. Di dalam sayap timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal Pengrawit. Bangsal ini digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini sisi selatan dari kompleks Pagelaran dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini juga memiliki nilai historis lain, yaitu sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan Universitas Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar sebelum kampus UGM yang sekarang di Bulak Sumur dibangun.



2) Kompleks Siti Hinggil



Gambar 4. Bangsal siti hinggil



Kompleks Siti Hinggil merupakan kompleks utama yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru. Kompleks ini terletak di sisi selatan Pagelaran. Pada 19 Desember 1949 di kompleks ini dilaksanakan peresmian Universitas Gajah mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi utara dan selatannya.



Di kompleks Siti Hinggil ini terdapat beberapa bangunan yaitu: a) dua Bangsal Pacikeran yang digunakan abdi dalem mertolulut dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926. b) bangunan Tarub Agung yang berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang. Tempat ini befungsi untuk tempat singga sejenak para pembesar menunggu romongannya masuk ke dalam istana c) Bangsal Kori, yaitu tempat yang digunakan para abdi dalem Kori dan abdi dalem Jaksa untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada Sultan. d) Bangsal Manguntur Tangkil, terletak di tengah-tengah Siti Hinggil. Bangunan ini merupakan tempat Sultan duduk di atas singgasananya saat acara-acara resmi kerajaan spert pelantikan Sultan maupun Pisowanan Agung. e) Bangsal Witono, digunakan untuk menyimpan lambang-lambang serta pusaka kerajaan pada saat ada acara resmi kerajaan f)



Bale Bang sebagai tempat penyimpanan Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga WIlaga.



g) Bale Angun-angun, sebagai tempat penyimpanan tombak KK Suro Angun-Angun



Gambar 5. Bangsal Kencana



3) Kamandhungan Lor Di bagian selatan dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang mebujur dari timur-barat. Pada bagian selatan dinding lorong tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama Regol Brojonolo yang menghubungkan Siti HInggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat dari sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan. Untuk memasuki kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari bisa melalui Gapura Keben di sisi barat dan timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi penghubung ke Rotowijayan dan Kemitbumen. Kompleks Kamandhungan Lor sering juga disebut Keben karena banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah halaman, sebagai bangunan utama di kompleks ini, berdirilah Bangsal Ponconiti. Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara yang secara langsung dipimpin oleh Sultan dalam proses pengadilannya. Ada pula yang mengatakan digunakan utuk mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini bangsal tersebut digunakan untuk acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di selatan Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan tamu dari kendaraan mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.



4) Sri Manganti Kompleks Sri Manganti berada di sebelah selatan Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan Regol Sri Manganti.



Bangunan yang terdapat di kompleks ini yaitu:



a) Pada sisi barat kompleks terdapat Bangsal Si Manganti yang dahulu digunakan untuk menerima tamu penting kerjaan. Saat ini bangsal ini digunakan untuk menyimpan beberapa pusaka keraton berupa gamelan dan juga untuk kepentingan wisata keraton b) Bangsal Traju Mas, terletak di sisi timur, dahulu merupaan tempat pejabat kerjaan mendampingi Sultan saat menyambut tamu. Saat ini digunakan untuk menempatkan pusaka berupa tandu dan meja hias c) Di sebelah timur bangsal terdapat dua meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa Cina. Di sebelah timurnya terdapat Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu gedung administrasi tinggi istana. Terdapat pula beberapa bangunan lainnya seperti Pecaosan Jaksa, Pecaosan Prajurit, dan lain-lain.



5) Kedhaton



Gambar 6. Kedhaton



Dari sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkannya denan kopleks Kedhaton. Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan bangunan Keraton.



Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman yaitu: a) Pelataran Kedhaton yang merupakan tempat tinggal Sultan. Pada bagian ini terdapat Bangsal Kencono yang merupakan balairung utama istana. Bangsal ini berfungsi untuk tempat pelaksanaan berbagai upacara khusus keluarga kerajaan. Terdapat pula Tratag Bangsa Kencana yang dulu digunakan sebagai tempat latihan tari; Ndalem Ageng Proboyakso sebagai pusat dari istana secara keseluruhan yang menjadi tempat disimpannya pusaka kerajaan, tahta sultan, serta lambang-lambang kerajaan lainnya; Gedhong Kenen sebagai tempat tinggal resmi Sultan yang bertahta; Gedhong



Purworetno sebagai kantor resmi sultan; Bangsal Manis sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan dan tempat membersihkan pusaka pada bulan Suro; serta masih ada banyak bangsal dan gedhong lainnya. b) Keputren yang merupakan tempat tinggal istri dan para putri Sultan, secara khusus bagi putri Sultan yang belum menikah. Sejak dahulu sampai sekarang tempat ini selalu tetutup untuk umum. c) Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para putra Sultan, terutama yang belum menikah. Di dalamnya terdapat Pendapa Kesatriyan, Gedhong Prignggadani, dan Gedhong Srikaton. Saat ini tempat ini sering digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara pariwisata.



6) Kamagangan Menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Kompleks ini dahulu digunakan untuk penerimaan calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat ujian, dan apel kesetiaan para abdi dalem yang masih magang.



Dalam kompleks ini terdapat beberapa bagian yaitu: a) Bangsal Magangan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, yaitu pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton b) Pawon Ageng yang merupakan dapur istana, terdiri dari Sekul Langgen di timur dan Pawon Ageng Gebulen di barat c) Panti Pareden, tempat pembuatan gubungan menjelang upacara garebeg.



3.



Kompleks Belakang



Kompleks belakang dari Keraton terdiri dari dua bagian yaitu: 1) Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan) Alun-alun Kidul sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker yang berarti belakang. Alun-alun ini dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura, satu di selatan dan masingmasing dua di timur dan barat. Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun Selatan hanya ada dua pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan Alun-alun terdapat jalan Gading yang menghubungkanya dengan Plengkung Nirbaya.



2) Plengkung Nirbaya Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan dari poros utama Keraton. Tempat ini merupakan tempat di mana Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya untuk pertama kalinya saat terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi rute keluar prosesi pemakaman



Sultan ke Imogiri. Oleh karena alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.



G. Potensi Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta merupakan tempat yang mengandung warisan kebudayan Nasional yang wajib dilestarikan. Kraton Yogyakarta ini merupakan kerajaan yang masih eksis keberadaannya dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan kepada rakyatnya ditengah era modernisasi dan globalisasi yang sedang meningkat ini. Kemenarikan bangunan Kraton Yogyakarta bukan hanya terletak pada sofistikasi arsitektur Jawa, tetapi lebih-lebih pada kandungan nilai-nilai kultural-edukatif yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol. Melalui bangunan kraton nilai-nilai luhur yang telah tersaring dari berbagai rekaman sejarah dan budaya secara non-verbal divisualisasi dan disosialisasikan agar menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi setiap generasi dalam memperjuangkan keluhuran martabat manusia. Nilai kebudayaan yang dimiliki oleh Kraton Yogjakarta sudah sepatutnya dikenal oleh orang banyak, baik itu secara Nasional ataupun Internasional, sehingga akan menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang dan mengunjungi Kraton Yogyakarta. Hal ini tentunya akan menjadi magnet untuk bidang pariwisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi Kraton Yogyakarta dalam kepariwisataan tentunya sangat tinggi, bahkan rencananya Kraton Yogyakarta akan dijadikan BCB (Bangunan Cagar Budaya) bertaraf Internasional, walaupun hal itu masih dalam tahap pengajuan. Kepariwisataan di DIY khususnya untuk wisata ke Kraton Yogyakarta tentunya akan s angat potensial dan menguntungkan banyak pihak, baik itu dari golongan atas seperti para pengusaha penginapan dan pengrajin, maupun dari kalangan bawah yakni para penjual cindramata, oleh-oleh khas jogja dan lain-lain. Apabila Kraton Yogyakarta ini dimanfaatkan secara maksimal, misalnya dengan meningkatkan infrastruktur dan prasarana, tentunya akan lebih banyak membuat wisatawan baik lokal maupun mancanegara tertarik dan datang mengunjungi Kraton Yogyakarta ini. Dengan begitu, selain dapat mempertahankan budaya Nasional, dari satu bidang kepariwisataan ini, DIY bisa mendapatkan pendapatan lebih untuk daerahnya.



Kagungan Dalem Masjid Gedhe



Gambar 6. Interior Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta Masjid Raya Yogyakarta, atau lebih dikenal sebagai Kagungan Dalem Masjid Gedhe, merupakan bagian tak terpisahkan dari Kesultanan Yogyakarta. Keberadaan Masjid Gedhe menegaskan keberadaan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam. Masjid Gedhe dibangun di sisi barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo, tidak jauh dari bangunan keraton. Tata ruang ibu kota kerajaan yang menempatkan keraton sebagai pusat pemerintahan, pasar sebagai pusat ekonomi, dan tempat peribadatan sebagai pusat agama dalam posisi seperti ini, telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Jawa semenjak era Majapahit. Masjid Gedhe didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi, atau 6 Rabi'ul Akhir 1187 Hijriah/Alip 1699 Jawa. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut tertulis pada prasasti di serambi masjid. Masjid Gedhe didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton. Adapun rancang bangunnya dikerjakan oleh Kiai Wiryokusumo. Gaya arsitektur Masjid Gedhe mewarisi gaya Masjid Demak. Karakteristik dari masjid ini adalah keberadaan empat pilar utama atau dikenal dengan saka guru dengan atap berbentuk tajug lambang teplok. Tajug lambang teplok adalah bentuk atap bersusun tiga. Secara filosofis, tiga tingkatan pada atap menggambarkan tahapan dalam menekuni ilmu tasawuf, yaitu syari’at, thareqat, ma’rifat. Tiga tingkat pada atap tersebut juga dapat dimaknai sebagai iman, islam, dan ikhsan. Terdapat 48 (empat puluh delapan) pilar di dalam bangunan masjid ini, sementara atapnya terdiri dari 16 (enam belas) sisi dengan tiga tingkat. Bagian-bagian masjid terdiri dari mi’rab atau tempat pengimaman, liwan yaitu ruangan luas untuk jamaah, serambi yang merupakan bagian luar bangunan, dan tempat wudhu. Di dalam Masjid Gedhe terdapat ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid, berada di baris (shaf) terdepan, dikenal dengan nama maksura.



Sebagai ciri bahwa masjid ini milik Sultan, maka di puncak atap dipasang hiasan mahkota berbentuk bunga. Hiasan pada puncak atap semacam ini disebut sebagai mustaka. Mustaka pada puncak-puncak masjid milik Sultan merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir. Gada melambangkan keesaan Allah. Daun kluwih mengarah pada kata ‘linuwih’ atau lebih, yaitu manusia akan memiliki kelebihan jika telah melewati tiga tahapan ilmu tasawuf. Sedang bunga gambir melambangkan arum angambar atau keharuman yang menebar.



Gambar 7. Mustaka masjid yang merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir.



Bangunan Masjid Gedhe diperluas karena jamaah yang bertambah banyak, hanya dua tahun sejak didirikan. Perluasan ini berbentuk pembangunan serambi dengan bentuk limasan dua tingkat, ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Tunggal Windu Pandhita Ratu (1701 J). Pembangunan serambi tersebut bersamaan dengan pembangunan dua bangunan tambahan yang disebut sebagai pagongan. Dua bangunan tersebut dipergunakan sebagai tempat dua rangkaian gamelan pusaka, yakni Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Kedua gamelan ini dimainkan selama berlangsungnya upacara Sekaten.



Pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, masjid ini juga dipergunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama masalah perkara perdata. Pimpinan pengurus masjid adalah penghulu keraton yang berada di dalam struktur Abdi Dalem Pamethakan. Salah satu Abdi Dalem penghulu keraton yang pernah bertugas di masjid ini bernama Raden Ngabei Ngabdul Darwis, kelak dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sebagai Khatib Amin, ia memiliki tiga tugas utama. Memberikan khotbah Jumat bergantian dengan delapan khatib yang lain, piket di serambi masjid, dan menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.



Prosesi penyelesaian permasalahan hukum dilaksanakan di serambi masjid yang juga disebut sebagai Al Mahkamah Al Kabirah. Selain sebagai tempat pengadilan agama, juga berfungsi sebagai tempat pertemuan para alim ulama, pengajian dakwah islamiyah, dan peringatan hari besar. Pada tahun 1840, dibangun regol atau pintu gerbang masjid. Regol masjid yang berbentuk Semar Tinandhu ini diberi nama Gapuro. Gapuro berasal dari kata ghofuro yang berarti ampunan dari dosa. Sedang bentuk Semar Tinandhu melambangkan sosok teladan yang mengasuh para ksatria dan raja, sehingga layak mendapat penghargaan setinggi-tingginya. Pada tahun 1867, terjadi gempa besar yang memporak-porandakan Yogyakarta. Regol dan serambi Masjid Gedhe runtuh menimpa Kiai Penghulu hingga meninggal. Kala itu Sri Sultan Hamengku Buwono VI lalu memberikan Kagungan Dalem Surambi Munara Agung, yaitu material yang sedianya dipergunakan untuk membangun Pagelaran Keraton dialihkan untuk membangun kembali serambi Masjid Gedhe. Pembangunan kembali ini sekaligus memperluas serambi menjadi dua kali luas semula. Sedang Regol dibangun kembali dua tahun kemudian, ditandai candra sengkala yang berbunyi Murti Trus Giri Narpati (1798 J). Setelah peristiwa itu paling tidak dua kali Masjid Gedhe mengalami renovasi. Pada tahun 1917 dibangun Pajagan (gardu penjaga) di kanan dan kiri regol. Lalu pada tahun 1933, atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, atap masjid dirombak. Kayu sirap masjid yang sudah lapuk diganti dengan seng wiron (seng bergelombang), sedang lantai serambi yang tadinya terbuat dari batu kali, diganti dengan tegel kembang. Dilanjutkan pada tahun 1936, lantai batu kali di ruang sholat utama diganti dengan marmer dari Italia. Sebagai bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe pun turut dalam dinamika bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, bangunan Pajagan digunakan sebagai markas Asykar Perang Sabil yang membantu Tentara Nasional Indonesia melawan agresi militer Belanda. Para pahlawan yang gugur kemudian dimakamkan di sisi barat masjid ini. Selain itu, Masjid Gedhe terus menjadi sarana perjuangan. Baik bagi Komponen Angkatan '66 dalam menumbangkan Orde Lama, maupun bagi pejuang reformasi dalam menumbangkan Orde Baru.



Gambar 8. Serambi Masjid Gedhe saat ini.



H. Fungsi Kraton Yogyakarta Fungsi Kraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Kraton pada masa lalu dan fungsi Kraton pada masa kini. Pertama- tama, kami akan menjelaskan mengenai fungsi Kraton pada masa lalu. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para raja. Kraton didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari Kraton ini, terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah putraputra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang sudah merupakan aturan pada Kraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Kraton pada masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak terlupakan pula fungsi Kraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu sebagai tempat tinggal Sultan. Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Kraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.



I. Manfaat Keraton Yogyakarta 1. Sebagai tempat tinggal Sultan dan lambang pusat pemerintahan Yogyakarta Sejak Sultan HB I pindah ke Keraton pada tahun 1756, tempat ini memang difungsikan sebagai tempat tinggal Sultan sekaligus pusat pemerintahan. Sultan sendiri bekerja di lingkungan Keraton dan dalam kesempatan-kesempatan tertentu seperti misalnya saat Pisowanan Agung Sultan berinteraksi dengan rakyatnya. 2. Sebagai tempat penyimpanan pusaka kerajaan Keraton Yogya memiliki berbagai pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, seperti misalnya gamelan, tombak, kereta, dan barang-barang lainnya. Barang-barang pusaka ini disimpan di berbagai ruang di dalam Keraton dan secara berkala dibersihkan dan dicuci, biasanya menjelang bulan Suro setiap tahunnya. 3. Sebagai tempat terjadinya beberapa peristiwa bersejarah Indonesia Keraton Yogyakarta juga menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta sempat



dijadikan ibu kota sehingga Keraton pun dimanfaatkan dalam beberapa kesempatan. Contohnya adalah pemanfaatan Kompleks Pagelaran sebagai cikal bakal Universitas Gadjah Mada dan pemanfaatan Siti Hinggil Lor sebagai tempat pelantikan Soekarno menjadi presiden RIS pada 17 Desember 1949. 4. Sebagai objek wisata budaya Keraton Yogyakarta saat ini juga telah menjadi salah satu objek wisata budaya paling popular di Yogyakarta. Turis domestik maupun mancanegara memadati Keraton setiap hari libur. Keraton Yogyakarta sendiri memanfaatkan hal ini dengan cara mengubah beberapa bagian Keraton menjadi ruang pamer benda-benda bersejarah atau benda-benda budaya, menyelenggarakan pertunjukan seni, membangun restoran dan toko cinderamata, serta mengorganisir tur bagi para turis. Meskipun demikian, Keraton Yogyakarta tetap mempertahankan beberapa tradisi yang tidak dibiarkan terpengaruh aktivitas pariwisata tersebut, misalnya sampai dengan saat ini kompleks Keputren masih tertutup bagi umum, hanya boleh dimasuki oleh orang lingkungan dalam Keraton saja.



Kesimpulan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu simbol utama dari Yogyakarta. Pembangunan Keraton Yogyakarta sendiri tidaklah sembarangan tetapi diperhitungkan dengan matang dan dipengaruhi banyak filosofi serta kepercayaan mitologis yang mencerminkan kuatnya tradisi masyarakat Yogyakarta. Keraton juga menunjukkan kuatnya akulturasi antara tradisi Jawa tradisional dengan budaya Islam melalui berbagai simbolisasi yang tersebar di banyak bagian kompleks Keraton. Keraton Yogyakarta juga tidak hanya menjadi bangunan yang penting bagi keluarga kesultanan dan masyarakat Yogya, namun juga memiliki peranan dalam sejarah nasional bangsa Indonesia. Pemanfaatan Keraton Yogyakarta pada masa sekarang memang sudah sangat berkembang dan mengalami berbagai perubahan. Salah satu yang paling mencolok adalah pembukaan Keraton sebagai objek wisata. Meskipun demikian, di tengah arus modernisasi tersebut, Keraton masih dapat mempertahankan tradisi kehidupan Keraton sehingga nilai-nilai kehidupan Keraton masih dapat terpelihara dengan baik.



Daftar Pustaka: Darto Harnoko. 2001. Fungsi, Arti Serta Makna Bangunan Kraton Yogyakarta dan Sekitarnya, dalam Jurnal Kebudayaan KABANARAN. Yogyakarta: vol.1, Retno Aji Mataram Press Yayasan Pustaka Nusatama, p.91-112. Dewan Takmir Masjid Gedhe Kauman. Tanpa tahun. Booklet Profil Masjid Gedhe Kauman.Yogyakarta: Dewan Takmir Masjid Gedhe Kauman. Anonim. 1956. Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th. Dradjat Suhardjo. 2003. Mangaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Muhammad Syoedja. Tanpa tahun. Cerita Tentang Kiyai Ahmad Dahlan. Dyah Widiyastuti. 2012. Memorable Square: Identities, Meanings and the Production of Urban Space in Yogyakarta, Indonesia dalam Proceedings REAL CORP “RE-MIXING THE CITY - Towards Sustainability and Resillience V. Wiratna Sujarweni. 2012. Yogyakarta - Episode Jejak-jejak Mataram Islam. Yogyakarta: Global Media Informasi.



http://www.keratonjogja.com/ http://www.berdesa.com/sejarah-singkat-keraton-yogyakarta-yang-harus-anda-ketahui/ http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2014/02/sejarah-keraton-kasultananyogyakarta.html http://eprints.uny.ac.id/13616/4/BAB%20I%20.pdf http://fanystipram.blogspot.com/2012/03/contoh-makalah-tentang-kerathon.html



TUGAS UAS Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta Dari Awal Hingga Sekarang



DISUSUN OLEH :



Nama



: Hafis Nugroho



Nim



: 160406063



Mata Kuliah



: Sejarah dan Teori Arsitektur I



Dosen



: Ir. Sri Gunana Sembiring, MT.



DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA