Sejarah Pura Samuan Tiga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENELITIAN SEJARAH PURA SAMUAN TIGA



NAMA



: DEWA GEDE INDRA JAYA



KELAS



: X IIS



NO



: 23



SMAN 1 GIANYAR 2014/2015



Kata Pengantar



Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat Nya saya bisa menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul “Sejarah Pura Samuan Tiga” dengan tepat waktu. Dalam penyusunan makalah ini, ada sedikit hambatan yang kami hadapi, namun dengan semangat dan kerjasama dan dibantu semua pihak akhirnya makalah ini terselesaikan. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Saya sangat menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan agar dapat berbuat lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.



Penulis



DAFTAR ISI



BAB I 1.1



Pendahuluan……………………………………………………………………………………………3



BAB II 2.1



Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………..5



2.2



Pembahasan……………………………………………………………………………………………...5



2.3



Sumber-sumber Sejarah……………………………………………………………………………7



2.4



Sumber Tulis……………………………………………………………………………………………..7



2.5



Sumber Lisan…………………………………………………………………………………………….8



BAB III 3.1



Penutup…………………………………………………………………………………………………..12



3.2



Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………13



BAB I PENDAHULUAN



A . LATARBELAKANG Latarbelakang dari penyusunan makalah ini adalah tugas untuk meneliti dan mengobservasi sumber-sumber sejarah dari Pura Samuan Tiga,Blahbatuh,Gianyar,Bali yang diberikan oleh Guru Sejarah Indonesia (Drs.I Made Suartana.S.Pd)



B . TUJUAN Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggali dan menguak sejarah dan asal-usul dari Pura Samuan Tiga ini.Selain itu,ini adalah tugas dari sekolah.



C . MANFAAT Manfaat bagi pembaca setelah membaca dan menganalisis isi dari makalah ini adalah dapat memperluas wawasan dan dapat mengetahui sejarah dan asal-usul dari Pura Samuan Tiga.



BAB II



A . RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Samuan Tiga? 2. Bagaimana Kenampakan Pura Samuan Tiga? 3. Apa saja sumber-sumber dan bukti-bukti sejarah yang mendukung berdirinya Pura Samuan Tiga?



B . PEMBAHASAN Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang. Tergolong pura yang sudah tua, karena dibangun pada masa pra-sejarah, melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang, sehingga ada kemungkinan ada informasi yang hilang, seperti yang ada di salah satu halaman dalam lontar Tatwa Siwa Purana menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Candrasangka membangun pura Penataran sasih dan Samuan Tiga dan ilen-ilen (hiburan) tarkala piodalan seperti nampiyog nganten, sanghyang jaran nglamuk beha (menginjak bara), mapalengkungan siyat pajeng, pendet dan siyat sampian dengan tujuan menghilangkan sehananing leteh dan membersihkan diri.



Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan, 



“Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”



Dari data teks tentang sejarah Bali kuno, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting pada saat itu yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi. Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama.Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.



Menurut ahli sejarah Bali R. Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Budha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu. Siwa Sidanta merupakan sekte yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling utama sedangkan yang lain lebih rendah. Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan. Menyadari hal itu, raja suamiistri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini. Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara yang sangat termasyur. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu: 1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih. 2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel. 3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai. 4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis). Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan. Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesepakatan itu diambil melalui suatu musyawarah tokohtokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.



Konsepsi “three in one” ini berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya –meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan.Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa. Nah, untuk memperingati peristiwa penting tersebut Pura Penataran kerajaan tersebut diberi nama Pura Samuantiga. Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu). Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh. Pada saat piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada waktu Purnama Jehsta (Kesebelas). Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan Pusat Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu. Bukti sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok. Pada Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan 



”Pada masa itu ada lagi, Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta) yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.”



C. SUMBER-SUMBER SEJARAH SUMBER TULIS 1. Lontar Tatwa Siwa Purana (Lembar 11),menyebutkan bahwa “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga”



2. Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga, sebagai berikut : “….. ri masa ika hana malih kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah i kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Rsi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke”, yang artinya : “….. pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Resi (pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuatiga sampai sekarang”



SUMBER LISAN



A.Pendapat Dewa Ngakan Ketut Rai. Ket: Disertai dengan referensi dari buku-buku tertentu Pura Samuantiga/Samantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, belum diketemukan ada raja yang bernama Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di Pura sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/permandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul (Sutterheim, 1992 : 68-69). Bilamana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrabhayasingha Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 Masehi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun sejaman dengan Pura Tirta Empul, yaitu sekitar abad X. Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna. Ahli sejarah Bali R. Goris mengatakan bahwa setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/Laut. Pura Tirta Empul sebagai pura gunung dan Pura Samuantiga sebagai pura Penataran, yaitu pura yang berada di pusat kerajaan.Seperti disebutkan oleh R. Goris, pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain, sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Budha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Di antara sekte-sekte tersebut, Siwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardana 1989 : 56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utama dengan Nyasa (simbo;) tertentu serta berkeyakinan bahwa Dewa istadewatanyalah yang paling utama sedangkan yang lain dianggap lebih rendah. Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu desa dan lebih luas lagi suatu wilayah



atau negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniwan baik dari Bali maupun dari Jawa Timur. Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal tokoh-tokoh rohaniwan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak. Pada waktu itu di Jawa Timur dikenal ada 5 pendeta bersaudara yang sering dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima pendeta bersaudara itu adalah: Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu: 1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih 2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel. 3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai. 4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis). (Soeka, 1986 : 5) Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah maka diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakirakiran I jro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut diberi nama Pura Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama Pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul. Kedatangan Mpu Kuturan menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang berkembang di Bali dan kemudia didominasi oleh sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua sekte tersebut, Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut dipuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa. Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga untuk setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya. Mpu Kuturan, disamping ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan), beliau juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitek agung yang berlandaskan ajaran agama terutama dalam penatan berbagai pura di Bali, termasuk Pura Agung Besakih. Dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan keagamaan, sebagai berikut: “….. .ngeraris nangun catur agama, catur lokita bhasa, catur sila makadi ngawangan sanggah kamulan, ngawangun kahyangan tiga Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung” Artinya: “….. selanjutnya (mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung” (Nala 1997 : 3-6).



Dari uraian singkat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Pura Samuantiga telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran pada masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budha dan Bali Aga yang berhasil menyepakati konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pakraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujud kasukertan di masing-masing desa pakraman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pura Samuantiga adalah cikal bakal dari terwujudnya Desa Pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai wujud penerapan konsep Tri Murti di Bali.



B.Pendapat Ngakan Putu Purwa. Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedulu, Blahbatuh, kabupaten Gianyar Bali, dan berfungsi sebagai tempat memuja kekuatan alam dan nenek moyang. Tergolong pura yang sudah tua, karena dibangun pada masa pra-sejarah, melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang, sehingga ada kemungkinan ada informasi yang hilang, seperti yang ada di salah satu halaman dalam lontar Tatwa Siwa Purana menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Candrasangka membangun pura Penataran sasih dan Samuan Tiga dan ilen-ilen (hiburan) tarkala piodalan seperti nampiyog nganten, sanghyang jaran nglamuk beha (menginjak bara), mapalengkungan siyat pajeng, pendet dan siyat sampian dengan tujuan menghilangkan sehananing leteh dan membersihkan diri. Setelah ditelusuri nama Prabu Candrasangka tidak ada dalam sejarah raja-raja yang ada di Bali tapi yang ada Candrabhayasingha Warmadewa yang tersimpan dalam prasasti di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, yang berisi sejarah pembuatan pemandia tirta di Air Hampul (Tirta Empul). Sumber-sumber sangat penting untuk mengetahui lebih jelas sejarah-sejarah pura yang dibangun di Bali. Karena berdirinya setiap pura yang ada di Bali ada sejarahnya dan prasasti ataupun purana yang menyebutkan sejarah berdirinya. Jika memang yang dimaksudkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana adalah Candrabhayasingha Warmadewa (nama lain dari Prabu Candrasangka), maka dapat dikatakan pembuatan pura Samuan Tiga pada saat pembuata Tirta Empul pada abad ke-10 di masa Bali Kuna, dengan konsepsi keagamaan pada saat itu adalah setiap kerajaan harus memilik 3 buah pura utama, maka pada masa kerajaan ini. dibangunlah Pura Gunung yaitu Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Pura Penataran adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara. Pada masa Bali Kuna sering terjadi konflik sekte keagamaan, sehingga dalam perkembangannya Mpu Kuturan membuat suatu konsep Trimurti guna menyatukan semua sekte dimana dalam konsep tersebut terdapat tiga dewa utama yaitu: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa dengan pendirian desa Pakraman dengan 3 pura kahyangan desa yaitu Pura Desa, Puseh dan Dalem.



Pura Samuan Tiga berlokasi dilingkungan pedesaan yang masih asri, dan sebagai situs cagar budaya, sehingga wisatawan yang hobby dengan perjalanan tour dengan menyelami wisata sejarah, tempat di sini akan begitu menyenangkan, disekitar pura ada tumbuhtumbuhan besar sebagai perindang sehingga suasana selalu sejuk, kawasan pura memiliki tujuh mandala/ halaman dengan ketinggian tempat yang berbeda-beda, ke tujuh halaman tersebut yaitu; Mandala Jaba, Penataran Agung, Duur Delod, Beten Kangin, Batan Manggis, Samenggen dan Mandala Jeroan. Parkir yang luas tersedia untuk pengunjung yang datang ke pura.



BAB III PENUTUP Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya



Kritik: Kritik dari saya tiada lain adalah,hasil dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,sehingga alangkah baiknya apabila pembaca agar memberi kritik dan saran yang bersifat konstruktif agar makalah ini kualitasnya dapat ditingkatkan sehingga menjadi lebih baik.



Saran: Saran dari saya adalah ; kepada para pembaca hendaknyalah mengenali sejarahsejarah lokal dan budaya budaya lokal,agar ciri khas daerah kita tidak punah atau tergilas oleh perkembangan zaman,dan dengan sejarah-sejarah dan budaya-budaya tersebut adalah milik kita,maka menjaga dan melestarikannya adalah tugas dan kewajiban kita.



DAFTAR PUSTAKA http://purasamuantiga.blogspot.com http://wisata.balitoursclub.com/sejarah-pura-samuan-tiga http://komangary171.blogspot.com/2012/09/sejarah-pura-samuan-tiga.html Wawancara langsung dengan Ngakan Putu Purwa dan Dewa Nyoman Rai.