SEMINAR PROPOSAL - Stunting Ai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS FAKTOR DETERMINAN TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS PADA BALITA STUNTING DI MASA PANDEMI COVID-19 DI KECAMATAN BIRINGKANAYA



Oleh AULIA ALMUKARRAMAH 14120170059



PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2021



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa anak di bawah lima tahun merupakan periode penting dalam pertumbuhan dan perkembangan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan setiap perkembangan anak selanjutnya. Tumbuh kembang merupakan proses pertumbuhan fisik, perkembangan kemampuan otak untuk proses pembelajaran, keterampilan motorik, bicara dan berbahasa, serta sosial dan kemandirian (Annisa Rahmidini, 2020). Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun (Anna dkk, 2020) Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Stunting disebabkan karena lambatnya kematangan sel-sel saraf terutama di bagian “cerebellum” yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik (Elly dkk, 2017) dan diakibatkan karena terjadinya kekurangan zat gizi (khususnya energi lemak dan protein) jangka panjang. Hal tersebut menghambat proses pembentukan dan pematangan jaringan otot, sehingga kemampuan mekanik otot berkurang dan menyebabkan rendahnya kemampuan motorik (Eka dkk, 2020). Stunting juga dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan motorik, baik pada anak yang normal maupun anak yang mengidap



penyakit tertentu. Penurunan fungsi motorik pada anak stunting berkaitan dengan rendahnya kemampuan dari otot trisep akibat lambatnya kematangan fungsi otot (Ruth Hanani, 2016) Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot dan otat. Perkembangan Motorik ditujukan pada proses kemampuan gerak seorang anak, karena sejak bayi dilahirkan ia akan memulai perkembangan motoriknya. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. (Etri dkk 2020). Motorik halus merupakan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan di lakukan oleh sebagian otot-otot kecil tubuh. Gerakan halus ini tidak memerlukan banyak tenaga tetapi memerlukan kerja sama antara mata dan anggota badan, misalnya



kemampuan



untuk menggambar, memegang sesuatu, dan lain-lain yang dihasilkan dari gerakan tenaga dan jari (Yasita, 2018) Kemampuan motorik anak di katakan terlambat apabila anak tersebut tidak dapat mengembangkan keterampilan baru nya dan tidak menunjukkan kemajuan seperti anak lain seusianya. Anak- anak yang mengalami



keterlambatan



dalam



perkembangan



motorik



halus



mengalami kesulitan dalam menggerakkan tangan dan jari jemarinya secara fleksibel (Dian Afriani, 2016). Berdasarkan data dari UNICEF menunjukkan bahwa kejadian gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak khususnya gangguan perkembangan motorik masih tinggi yaitu sebesar 27,5%. Sedangkan menurut data nasional dari Kementerian Kesehatan Indonesia anak yang mengalami kelainan pertumbuhan dan perkembangan yaitu sebesar 11,5% (Uswatun dkk, 2020) Data Global Health Observatory (GHO) World Health Organization (WHO) menunjukkan 21,3% dari semua anak di bawah 5 tahun di dunia



mengalami stunting pada 2019 (World Health Organization, 2020). Diketahui prevalensi stunting untuk wilayah South-eastern Asia tahun 2020 adalah 24,1% (18%–31,5%) dengan perkiraan jumlah kasus stunting sebanyak 13,5 juta (10,1%–17,6%) (World Health Organization, 2020). Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019 menunjukkan, di Indonesia persentase balita usia 0-59 bulan yang sangat pendek (11,5%) dan balita pendek (19,3%). Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu persentase balita usia 0- 59 bulan sangat pendek sebesar 9,8% dan balita pendek sebesar 19,8% (Eka dkk, 2020) Prevalensi stunting balita di Indonesia berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 tercatat sebesar 30,8% terdiri atas 11,5% sangat pendek dan 19,3% pendek, tetapi relatif menurun dibanding dengan prevalensi pada tahun 2013 sebesar 37,2%.3 Angka prevalensi stunting di Jawa Barat mencapai 29,2% atau sekitar 2,7 juta. Kabupaten Bandung memiliki prevalensi stunting yang cukup tinggi, yaitu 38,7% merupakan urutan kedua jumlah stunting tertinggi di Jawa Barat (Dewi dkk, 2018) Data Survei lapangan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017 menunjukkan bahwa ada tujuh Kabupaten/Kota yang mengalami masalah gizi sangat pendek dan pendek pada tahun 2017 dengan kategori sangat tinggi (>40,0%) yaitu Enrekang, Sinjai, Tana Toraja Utara, Pangkep, Maros dan Bone. Sedangkan yang mengalami masalah



dengan



kategori



Tinggi



(30,0%-39,9%)



sebanyak



15



Kabupaten/Kota, dan hanya dua Kabupaten/Kota yang memiliki masalah gizi dengan kategori Sedang (20,0%-29,9%) yaitu Kota Makassar dan Kabupaten Luwu Timur. Pendidikan ibu merupakan hal dasar untuk tercapainya gizi balita yang baik. Tingkat pendidikan ibu seperti kemudahan ibu dalam menerima informasi tentang gizi dan kesehatan dari luar. Ibu dengan tingkat



pendidikan yang lebih tinggi akan mudah menerima informasi dari luar dan ibu rumah tangga yang berpendidikan akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dari segi mutu dan jumlahnya dibanding dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah (Sofia Mawaddah, 2019) Pemberian ASI Ekslusif di Indonesia masih jauh dari harapan, masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI Ekslusif kepada bayi dan hanya diganti dengan susu formula. Jika bayi mendapatkan makanan pendamping ASI terlalu dini (sebelum enam bulan) maka akan meningkatkan risiko penyakit diare dan infeksi lainnya. Selain itu juga akan menyebabkan jumlah ASI yang diterima bayi berkurang, padahal komposisi gizi ASI pada 6 bulan pertama sangat cocok untuk kebutuhan bayi (Mustamin dkk, 2018) Pertumbuhan fisik dan motorik antara anak perempuan dan laki-laki berbeda, anak laki-laki lebih aktif daripada anak perempuan dan anak lakilaki cenderung memiliki proporsi tubuh lebih besar dan pola aktivitasnya lebih besar oleh karena itu kebutuhan nutrisi, energy dan protein nya lebih banyak, sehingga lebih berisiko untuk mengalami kekurangan gizi apabila kebutuhannya tidak terpenuhi (Famarida dkk, 2020) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: 1. Apakah ada faktor Pola Asuh terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? 2. Apakah ada faktor Pola Makan terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya?



3. Apakah ada faktor Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? 4. Apakah ada faktor Pemberian ASI terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? 5. Apakah ada faktor Status Imunisasi terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? 6. Apakah ada faktor Pengetahuan Ibu terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi motorik halus pada balita stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui faktor Pola Asuh terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? b. Untuk mengetahui faktor Pola Makan terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? c. Untuk mengetahui faktor Riwayat Penyakit Infeksi terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya?



d. Untuk mengetahui faktor Pemberian ASI terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? e. Untuk mengetahui faktor Status Imunisasi terhadap Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? f. Untuk



mengetahui



faktor



Pengetahuan



Ibu



terhadap



Perkembangan Motorik Halus pada balita Stunting di Masa Pandemi Covid-19 di Kecamatan Biringkanaya? D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Sebagai sumber informasi mengenai perkembangan motorik halus pada balita stunting pada masa pandemi covid-19 di Kecamatan Biringkanaya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Sebagai tambahan pengalaman, wawasan, serta pengetahuan penulis



dan



pembaca



dalam



melakukan



penelitian



tentang



perkembangan motorik halus pada balita stunting pada masa pandemi covid-19 di Kecamatan Biringkanaya. b. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi institusi pendidikan khususnya dalam bidang kepustakaan sebagai sumber kajian terkait dengan penelitian.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Stunting 1. Definisi Stunting Stunting merupakan penurunan laju pertumbuhan panjang badan atau



tinggi



badan



dalam



keseluruhan



proses



pertumbuhan



perkembangan yang ditentukan dengan nilai height for age atau tinggi badan menurut dibawah dari -2 standar deviasi (WHO, 2014). Stunting menurut keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil pengukuran yang berada pada nilai standar atau z-score< -2 SD sampai dengan -3 SD untuk pendek (stunted) dan < -3 SD untuk sangat pendek (severely stunted). Stunting atau pendek merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengkibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Stunting merupakan kondisi serius yang terjadi saat seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat dalam waktu yang lama (kronik). 2. Epidemiologi Stunting Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bahwa masih ada 30,8% balita di Indonesia yang stunting. Meskipun angka ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya yaitu balita pendek dang sangat pendek sebanyak 37,2% (Riskesdas 2013).



Angka kejadian stunting pada balita tiap tahun Provinsi Sulawesi Selatan menempati peringkat empat tertinggi yaitu sebesar 32,5% pada tahun 2018, telah mengalami penurunan dari tahun 2013 yaitu sebesar 37,2%. Menurut Riskesdas (2018) daerah di Indonesia yang memiliki kejadian stunting tertinggi ada di daerah Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 42,6%.



Sumber : Riskesdas 2018 3. Penyebab Stunting Dalam buku Epidemiologi Stunting yang di tulis oleh dr. Aryu Candra M.Kes, 2020 penyebab stunting ada 7, yaitu: a. Faktor genetik Menurut penelitian di kota Semarang pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa Ibu pendek (3-5 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan (Andriani dan Wirjatmadi, 2012). 2. Karakteristik balita Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia dibawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari



tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia prasekolah (Proverawati dan wati, 2010). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya sehingga anak batita sebaiknya diperkenalkan dengan berbagai bahan makanan. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi sering karena perut balita masih lebih kecil sehingga tidak mampu menerima jumlah makanan dalam sekali makan. D. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stunting pada balita, yaitu sebagai berikut: 1. Pendidikan Ibu Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan balita, karena akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah seseorang dalam



menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya. Rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi perkembangan optimal anak. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasiinformasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, senitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya. 2. Pemberian ASI Eksklusif Rendahnya kesadaran ibu akan pentingnya memberikan ASI pada balita dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosiokultural,



terbatasnya



petugas



kesehatan



dalam



memberikan



penyuluhan, tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahirkan. Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi delayed initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (delayed initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai tumbuh kembang optimal.



Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada bayi. Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak. Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi ASI eksklusif (pemberian ASI