Proposal Stunting [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT ANALISIS DATA RIKESDAS TAHUN 2018



Disusun Oleh : Rifan Setyawan Ashari



(181520004)



PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT K. SINTANG FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK 2021



HALAMAN JUDUL



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii RINGKASAN....................................................................................................................1 BAB I.................................................................................................................................3 PENDAHULUAN.............................................................................................................3 I.1 Latar belakang..........................................................................................................3 I.2. Rumusan Penelitian.................................................................................................7 I.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................................8 I.3.1 Tujuan Umum....................................................................................................8 I.3.2 Tujuan khusus....................................................................................................8 BAB II...............................................................................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3 II.1. Stunting..................................................................................................................3 II.2. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Balita................................4 II.3. Kerangka Teori.....................................................................................................13 II.4. Kerangka Konsep.................................................................................................14 BAB III............................................................................................................................16 METODE PENELITIAN................................................................................................16 III.1. Rancangan Penelitian..........................................................................................16 III.2. Tempat Dan Waktu Penelitian............................................................................16 III.3. Subjek penelitian.................................................................................................16 III.3.1. Populasi........................................................................................................16 III.3.2. Sampel..........................................................................................................17 III.4. Tahapan-Tahapan Penelitian...............................................................................17 III.5. Analisis Data.......................................................................................................17 BAB IV............................................................................................................................19 JADWAL PENELITIAN................................................................................................19 IV.1. Jadwal Penelitian...............................................................................................19



iii



DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20 LAMPIRAN....................................................................................................................24 Lampiran 1, Biodata Pengusul.....................................................................................24 Lampiran 2, Biodata Dosen Pembimbing 1.................................................................25 Lampiran 3, Biodata Dosen Pembimbing 2.................................................................25



1



RINGKASAN Di dunia ada 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) yang stunting dengan luas mayoritas di South-Central Asia dan sub-Sahara Afrika. Prevalensi balita stunting diseluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara bekembang sebesar 31,2%. Untuk benua Asia prevalensi balita stunting sebesar 30,6%, kejadian ini jauh lebih tinggi dibanding prevalensi stunting di Amerika Latin dan Karibia, yaitu sebesar 14,8% Prevalensi balita stunting di Asia Tenggara adalah 29,4% lebih tinggi dibandingkan dengan Asia Timur (14,4%) dan Asia Barat (20,9%) (Kementerian PPN/BAPPENAS, 2019). Hasil Pemantauan Status Gizi yang dilakukan secara nasional pada tahun 2017 maka terjadi fenomena kenaikan prevalensi stunting di tingka nasional yang pada tahun 2016 sebesar 27,5% menjadi 29,6%. Terjadi kenaikan prevalensi stunting sebesar 2,1%. Posisi Kalimantan Barat dari hasil PSG tahun 2017 didapatkan hasil prevalensi 36,5%. Terjadi kenaikan prevalensi stunting sebesar 1,6% dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu sebesar 34,9%. Kalimantan Barat berada pada posisi ke lima terendah setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (40,3%). Provinsi Sulawesi Barat (40%), Provinsi Kalimantan Tengah (39%), Provinsi Nusa Tenggara Barat (37,2%) (Hartono, et al, 2017). Hasil dari penelitian ini adalah akan didapatkannya hubungan serta besarnya resiko yang berpotensi menjadi tingginya kejadian stunting. Penyebab masalah gizi Stunting dipengaruhi oleh faktor penyebab seperti



penyebab langsung antara lain



Badan Lahir Rendah (BBLR), Riwayat Imunisasi, Pemberian ASI Eksklusif dan MPASI, Pemberian Makanan Tambahan, Riwayat Penyakit Infeksi, Riwayat Ibu Hamil, Pemeriksaan dan Status Kehamilan, Pemantauan Pertumbuhan, Pengukuran, dan Pemerikasaan Balita, Riwayat Persalinan, Pelayanan Nifas, Pelayanan KB Pasca Salin, Penolong dan Tempat Persalinan. Penyebab tidak langsung yaitu Personal Hygiene, Lingkungan Tempat Tinggal, Pekerjaan, Akses Pelayanan Kesehatan, Pendidikan Ibu, dan Jenis Kelamin diwilayah Kalimantan Barat. Tempat dan waktu penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 di wilayah Kalimantan Barat. Populasi adalah



2



wilayah generalisasi



terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan



karakteristik tertentu. Ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh balita usia 0 – 59 bulan, anak-anak , dan remaja yang ada di provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2018. Sampel penelitian ini adalah jumlah sampel yang dilakukan oleh Riskesdas 2018



3



BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Kekurangan gizi terus mempengaruhi puluhan juta anak, terlihat di tubuh anakanak yang terhambat kekurangan nutrisi yang memadai pada 1.000 hari pertama kelahiran. Anak-anak ini mungkin membawa beban stunting dini untuk seumur hidup mereka dan mungkin tidak pernah mendapatkan potensi fisik dan intelektual penuh dari diri mereka. Pada tahun 2018, sebanyak 149 juta anak di bawah usia 5 tahun terhambat pertumbuhannya dan hampir 50 juta anak meninggal dunia. Di Asia Timur dan Pasifik, terdapat 13 juta anak di bawah usia 5 tahun terhambat pertumbuhannya dan 4,5 juta anak meninggal dunia (BAPPENAS & UNICEF, 2017). Di dunia ada 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) yang stunting dengan luas mayoritas di South-Central Asia dan sub-Sahara Afrika. Prevalensi balita stunting diseluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara bekembang sebesar 31,2%. Untuk benua Asia prevalensi balita stunting sebesar 30,6%, kejadian ini jauh lebih tinggi dibanding prevalensi stunting di Amerika Latin dan Karibia, yaitu sebesar 14,8% Prevalensi balita stunting di Asia Tenggara adalah 29,4% lebih tinggi dibandingkan dengan Asia Timur (14,4%) dan Asia Barat (20,9%) (Kementerian PPN/BAPPENAS, 2019). Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua tahun. Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting (Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara garis beras, stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan sosial. (Seketarian Wakil Presiden RI, 2017) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen. Namun, pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar



4



(Riskesdas), angkanya terus menurun hingga 23,6 persen, Dari data yang sama, diketahui pula stunting pada balita di Indonesia pun turun menjadi 30,8 persen. Adapun pada Riskesdas 2013, stunting balita mencapai 37,2 persen, Perlu diketahui bahwa riskesdas memang dirilis setiap lima tahun sekali. Sedangkan stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang antara lain disebabkan gizi buruk, Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Atau dalam bahasa yang lebih umum adalah kuntet. Dari Riskesdas 2018 itu, sangat pendek mencapai 6,7 Penurunan angka stunting di Indonesia adalah kabar baik, tapi belum berarti sudah bisa membuat tenang., karena batas maksimalnya adalah 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita (Kemenkes RI, 2018). Stunting atau Kejadian Balita Pendek adalah kondisi dimana anak usia balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang dibandingkan dengan umumnya. Kondisi gagal tumbuh kembang anak balita terjadi akibat rendahnya asupan gizi dalam waktu yang lama serta terjadinya infeksi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pola asuh yang tidak baik terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode 1.000 HPK yang meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi dilahirkan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Apabila mengalami masalah gizi pada periode tersebut, anak akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi kejadian stunting yang cukup tinggi dibandingkan dengan negaranegara dengan pendapatan menengah lainnya. Secara nasional prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 29,6%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya dengan prevalensi balita sangat pendek dan pendek sebesar 27,54% (Kemenkes RI, 2017). Berdasarkan acuan Pemantauan Status Gisi (PSG) angka nasional tahun 2015 didapatkan data bahwa Provinsi Kalimantan Barat berada pada posisi ke tujuh peringkat terendah untuk angka stunting di bawah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, dengan angka prevalensi stunting sebesar 34,1% Angka ini berada jauh angka nasional yaitu sebesar 29%. Pada tahun 2016 juga dilakukan Pemantauan Status Gizi secara Nasional dengan menempatkan Kalimantan Barat pada posisi ke empat dibawah Provinsi Sulawesi Barat (35,6 %), Provinsi Nusa Tenggara Timur (38,7%), dan Provensi Sulawesi Selatan



5



(35,6%) dengan prevalensi stunting sebesar 34,9%. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun sebelum nya yaitu sebesar 34,1% atau mengalami kenaikan sebesar 0,8%. Sementara untuk prevalensi stunting ditingkat nasional mengalami penurunan dari tahun 2015 sebesar 1,5%, dimana prevalensi stunting pada tahun 2016 yaitu sebesar 27,5%. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka prevalensi stunting di Kalimantan Barat masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yaitu sebesar 7,4% (Kemenkes RI, 2016). Hasil Pemantauan Status Gizi yang dilakukan secara nasional pada tahun 2017 maka terjadi fenomena kenaikan prevalensi stunting di tingka nasional yang pada tahun 2016 sebesar 27,5% menjadi 29,6%. Terjadi kenaikan prevalensi stunting sebesar 2,1%. Posisi Kalimantan Barat dari hasil PSG tahun 2017 didapatkan hasil prevalensi 36,5%. Terjadi kenaikan prevalensi stunting sebesar 1,6% dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu sebesar 34,9%. Kalimantan Barat berada pada posisi ke lima terendah setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (40,3%). Provinsi Sulawesi Barat (40%), Provinsi Kalimantan Tengah (39%), Provinsi Nusa Tenggara Barat (37,2%) (Hartono, et al, 2017). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas, 2018) Stunting di Indonesia sudah mengalami penurunan sebesar 6,4%, akan tetapi masih terdapat 30,8% data stunting yang harus dihadapi. Kalimantan barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki masalah prevalensi stunting yang tinggi dibandingkan dengan prevalensi stunting nasional yaitu sebesar 36,5 %. Realisasi Prevalensi Stunting per kabupaten/kota Pada Balita tahun 2019 di Kalimantan Barat sebesar 27.30%, tertinggi berada di Kabupaten Kapuas Hulu (35,26%) sedangkan terendah berada di Kota Singkawang (16,93%). Hampir disetiap kabupaten/kota terdapat perbedaan untuk prevalensi stunting, namun jika di lihat dari sebaran wilayah, prevalensi kabupaten di daerah pedalaman lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pesisir. Hal tersebut dapat dipengaruhi karena rendahnya sanitasi lingkungan khususnya seperti Sanitasi Total berbasis Masyarakat (STBM), jamban dan air bersih yang masih sangat rendah (Dinkes, 2019) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada balita yakni faktor langsung yaitu asupan makanan dan status imunisasi serta faktor tidak langsung



6



yaitu pengetahuan gizi (pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, ASI eksklusif, pola asuh serta status imunisasi). Masalah anak pendek merupakan cerminan keadan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan anak pendek adalah masalah gizi yang sifat nya kronis. Stunting yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh yang tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan (Kemenkes, 2015). Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita tahun 2016-2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil kurang kalori dan protein, 7 dari 10 Balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita kurang protein. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak (Kemenkes, 2018). Kejadian stunting dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lewa (2016), menggunakan uji fisher's exact menyatakan bahwa didapatkan nilai p=0,000(pvalue< 0,05) yang artinya secara statistik ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita umur 6-23 bulan di puskesmas Pantoloan Kecamatan Tawaeli Tahun 2015. Berdasarkan hasil penelitian oleh Hendrayati dan Asbar, (2019), dikatakan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi yang meliputi ASI eksklusif dengan p value = 0, 384 dan makanan pendamping ASI pahe = 0.447 merupakan faktor pelindung kejadian stunting pada anak usia 12 hingga 60 bulan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dapat diketahui bahwa ada hubungan antara kejadian stunting dengan pengetahuan ibu dimana nilai p = 0.012(p < 0.05) dan nilai rasio prevalensinya yaitu 1,644, maka dapat diartikan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang baik memiliki resiko sebesar 1,644 kali memiliki balita stunting dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan baik. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Fitri (2018), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian



7



stunting diperoleh nilai p value=0.021 artinya p < 0, 05 Asupan gizi yang kurang optimal pada anak balita dikatakan dapat menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Untuk memenuhi asupan gizi anak balita diawal kelahirannya agar tetap optimal dalam pertumbuhannya adalah dengan memberikan ASI yang dilakukan secara ekslusif selama 6 bulan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahayuh dkk (2016). menunjukkan adanya hubungan antara riwayat status BBLR p rolue = 0, 015 dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Rendahnya status gizi seorang ibu dimasa kehamilan dapat berakibat fatal pada kualitas fisiknya dan sangat berpengaruh pada kesehatan janinnya. Salah satu akibat dari kurangnya asupan gizi saat ibu hamil adalah terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada bayi yang dilahirkan. Riwayat bayi dengan masalah BBLR ini dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak dimasa yang akan datang, salah satunya yaitu stunting. Berdasarkan uraiaan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Kalimantan Barat”.



I.2. Rumusan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Apakah ada hubungan antara pemberian makanan tambahan dengan kejadian stunting? 2) Apakah ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting? 3) Apakah ada hubungan antara faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian stunting? 4) Apakah ada hubungan antar riwayat imuniasi dengan kejadian stunting? 5) Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting? 6) Apakah ada hubungan antara riwayat ibu hamil dengan kejadian stunting? 7) Apakah ada hubungan antara pemeriksaan dan status kehamilan dengan kejadian stunting? 8) Apakah ada hubungan antara



pemantauan Pertumbuhan, pengukuran, dan



pemerikasaan balita dengan kejadian stunting?



8



9) Apakah ada hubungan antara riwayat persalinan dengan kejadian stunting? 10)



Apakah ada hubungan antara pelayanan nifas dengan kejadian stunting?



11)



Apakah ada hubungan antara pelayanan KB pasca salin dengan kejadian stunting?



12)



Apakah ada hubungan antara penolong dan tempat persalinan dengan kejadian stunting?



13)



Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting?



14)



Apakah ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting?



15)



Apakah ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting?



16)



Apakah ada hubungan antara lingkungan tempat tinggal dengan kejadian stunting?



17)



Apakah ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian stunting?



Dari penjabaran rumusan masalah diatas, dapat disimpulkan bahwa peneliti ingin mengetahui tentang "Faktor-Faktor Apa Saja Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting”.



I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja Faktorfaktor yang Berhubungan dengan



Kejadian Stunting pada Balita di Provinsi



Kalimantan Barat tahun 2018



I.3.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di Kalimantan Barat tahun 2018. 2) Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dengan kejadian stunting.



9



3) Mengetahui hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting. 4) Mengetahui hubungan antara faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian stunting. 5) Mengetahui hubungan antara riwayat imuniasi dengan kejadian stunting. 6) Mengetahui hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting. 7) Mengetahui hubungan antara riwayat ibu hamil dengan kejadian stunting. 8) Mengetahui hubungan antara pemeriksaan dan status kehamilan



dengan



kejadian stunting. 9) Mengetahui hubungan antara



pemantauan Pertumbuhan, pengukuran, dan



pemerikasaan balita dengan kejadian stunting. 10) Mengetahui hubungan antara riwayat persalinan dengan kejadian stunting. 11) Mengetahui hubungan antara pelayanan nifas dengan kejadian stunting. 12) Mengetahui hubungan antara pelayanan KB pasca salin dengan kejadian stunting. 13) Mengetahui hubungan antara penolong dan tempat persalinan dengan kejadian stunting. 14) Mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting. 15) Apakah ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting? 16) Mengetahui hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting. 17) Mengetahui hubungan antara lingkungan tempat tinggal dengan kejadian stunting. 18) Mengetahui hubungan antara personal hygiene dengan kejadian stunting.



10



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stunting A. Pengertian Stunting Stunting (balita pendek) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Stunting yang dialami anak dapat disebabkan oleh tidak terpaparnya periode 1000 hari pertama kehidupan dan tidak mendapat perhatian khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depannya. Stunting dapat pula disebabkan oleh tidak terlewatinya periode emas yang dimulai dari 1000 hari pertama kehidupan yang merupakan pembentukan tumbuh kembang anak pada 1000 hari pertama. Pada masa tersebut nutrisi yang diterima bayi saat di dalam kandungan dan menerima ASI memiliki dampak besar dalam jangka panjang terhadap kehidupan saat dewasa. Jika hal ini dapat terlampaui, maka akan terhindar dari terjadinya stunting pada anak-anak dan status gizi yang kurang (Kemenkes RI, 2015). A.



Dampak Stunting



Stunting memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dan juga berdampak pada perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. 1. Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme. 2. Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual. Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat



11



permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada produktivitasnya saat dewasa. Kekurangan gizi tidak saja membuat stunting, tetapi juga menghambat kecerdasan, memicu penyakit, dan menurunkan produktivitas. II.2. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Balita Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosialekonomi, budaya dan politik. (RANPG, 2006) II.2.1. Penyebab Langsung A. Pemberian Makanan Tambahan PMT Ibu Hamil merupakan suplementasi gizi berupa biskuit lapis yang dibuat dengan formulasi khusus dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada ibu hamil dengan kategori Kurang Energi Kronis (KEK) untuk mencukupi kebutuhan gizi. Prinsip dasar pemberian makanan tambahan dilakukan untuk memenuhi kecukupan gizi ibu hamil, ketentuan PMT diberikan pada ibu hamil KEK yaitu ibu hamil yang memiliki ukuran LILA dibawah 23,.5 cm; PMT pada ibu hamil terintegrasi dengan pelayanan Antenatal Care (ANC); tiap bungkus Makanan Tambahan (MT) ibu hamil berisi 3 keping biskuit lapis (60 gram); pada kehamilan trimester I diberikan 2 keping per hari hingga ibu hamil tidak lagi berada dalam kategori KEK sesuai dengan pemeriksaan LILA; pada kehamilan trimester II dan III diberikan 3 keping per hari hingga ibu hamil tidak lagi berada dalam kategori KEK sesuai dengan pemeriksaan LILA; pemantauan pertambahan berat badan sesuai standar kenaikan berat badan ibu hamil. Apabila berat badan sudah sesuai standar kenaikan berat badan selanjutnya mengonsumsi makanan bergizi seimbang (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2017). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah kegiatan pemberian makanan kepada balita dalam bentuk kudapan yang aman dan bermutu beserta



12



kegiatan pendukung lainnya dengan memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan. Serta mengandung nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan sasaran. Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi yang disebabkan karena kualitas dan kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi tingkat kesehatan individu. Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan normal serta perkembangan fisik dan kecerdasan bayi, anak-anak serta seluruh kelompok umur. Penelitian Ridha Cahya Prakhasita menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola pemberian makan dengan kejadian stunting pada balita usia 12-59 bulan (p=0,002; -0,326) di Wilayah Kerja Puskesmas Tambak Wedi Kota Surabaya. B. Riwayat ASI Eksklusif dan MP-ASI ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan makanan padat). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi, tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/minuman prelaktal sebelum ASI keluar. Penelitian Anita Sampe menunjukan hasil uji chisquare p = 0.000 (0.000 < 0.05), hal ini menunjukkan ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita. Hasil dari penelitian Dwi Agista Larasati dkk ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kehamilan remaja dengan kejadian stunting pada balita (p = 0,016) dengan nilai Odds – ratio adalah 3,86. C. Berat Badan Lahir Rendah Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (