Sendi-Sendi Dakwah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SENDI-SENDI DAKWAH



Disusun Oleh : MUSLIKAH (…………………………………….)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK 2022



1



TADHARRU’ DAN TAHALLUL DALAM HAJI DAN UMRAH



MAKALAH Diajukan Kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Untuk memenuhi tugas Semester 5



Disusun Oleh : MUSLIKAH (NIM…………………………………….)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK 2022



i



KATA PENGANTAR Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Nganjuk, 28 Desember 2022



ii



DAFTAR ISI JUDUL ............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Ruusan Masalah ................................................................................. 1 C. Tujuan ................................................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Tadharru’........................................................................... 2 2. Pengertian Tahallul ............................................................................. 2 3. Jenis-Jenis Tahallul dan Cara Melaksanakannya ............................... 6 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 12 B. Saran ................................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13



iii



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang



Dakwah adalah suatu aktifitas keagamaan yang diwajibkan kepada setiap individu atau penganut ajaran agama Islam. Agama Islam dapat menyebar ke seluruh belahan muka bumi, membawa perubahan dan perkembangan peradaban dunia adalah akibat dari adanya pelaksanaan dakwah. Secara umum, dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik dan yang lebih baik. Dakwah mengandung ide tentang progresivitas, sebuah proses terus-menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah tersebut.



Dalam



praktiknya,



dakwah



merupakan



kegiatan



untuk



mentransformasikan nilai-nilai agama yang mempunyai arti penting dan berperan langsung dalam pembentukan persepsi umat tentang berbagai nilai kehidupan.1 Idealnya pengembangan dakwah yang efektif mengacu pada masyarakat untuk meningkatkan kualitas keislamannya, sekaligus juga kualitas hidupnya. Dakwah tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang religius Islami namun juga menumbuhkan etos kerja.2 B.



Rumusan Masalah



1.



Apa yang dimaksud dakwah ?



2.



Unsur apa saja yang ada dalam sendi-sendi dakwah?



C.



Tujuan



1.



Untuk mengetahui apa yang dimaksud dakwah.



2.



Untuk mengetahui unsur-unsur sendi-sendi dakwah.



1 2



Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 17. M. Munir, Metode Dakwah, …, h. 233



1



BAB II PEMBAHASAN A.



Pengertian Dakwah Kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan,



panggilan, atau undangan. Jadi definisi ilmu dakwah secara umum ialah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntunan-tuntunan, bagaimana seharusnya



menarik



perhatian



manusia



untuk



menganut,



menyetujui,



melaksanakan, suatu ideologi pendapat-pendapat pekerjaan yang tertentu. Di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, diterangkan dengan jelas teoriteori atau cara-cara berdakwah, atau dengan perkataan lain didalam ayat itu Allah SWT telah memberikan pedoman-pedoman atau ajaran-ajaran pokok untuk menjadi patokan, bagaimana seharusnya cara-cara dalam melaksanakan dakwah yang artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. B.



Sendi-Sendi Dakwah 1.



Persiapan Dakwah Persiapan Diri dalam Berdakwah As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-



Maliki di dalam kitab Qudwah al- Hasanah menyampaikan beberapa hal dalam pendidikan diri untuk berdakwah, dijelaskan tentang pendidikan dakwah, yaitu persiapan yang perlu dipelajari bagi muslim. Pendidikanpendidikan dakwah didahulukan dengan persiapan pribadi muslim melalui pendidikan jiwa (diri). Di dalam kitab al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj adDakwah Ila Allah (Kesuritauladanan yang baik di dalam metode dakwah kepada Allah), yaitu ada enam hal sebagai berikut; Keenam materi pelajaran yang fokus pada kesungguh-kesungguhan dalam pendidikan jiwa di antaranya adalah;



2



a. Bersungguh-sungguh dalam mendidik jiwa dengan konsekuensitas melangkah menjalani hidup memperhatikan kesuritauladanan baginda nabi Muhammad. b. Besungguh-sungguh di dalam mendidik jiwa untuk kembali (berpasrah) kepada Allah. c. Bersungguh-sungguh di dalam pendidikan jiwa dengan penghiasan di dalam kejelasan ketauladaan. d. Bersungguh-sungguh di dalam mengorbankan jiwa. e. Ajakan untuk berhijrah/bersungguh-sungguh di dalam mendidik jiwa dengan meninggalkan kampung halaman dan berpisah dengan keluarga disaat persoalan menuntut. f. Bersungguh-sungguh di dalam mendidik jiwa dengan kederma- wanan dan berinfak. Persiapan dakwah bagi dai dengan tetap konsekuen menetapi ajaran Islam, dalam hal ini adalah bersikap dan berperilaku dalam mengemban risalah melalui ketauladanan baginda Nabi, baik saat dalam bersabar menghadapi ujian, tetap merangkai persatuan umat, terus memohon keberhasilan kepada Allah. Disisi lain, persiapan diri dalam dakwah juga dikembangkan pada wilayah terdekat bagi da>’i, sebagai pertimbangan dakwah masa kini dan masa depat, dan perlunya persiapan dakwah yang menyangkut pihak lain, yaitu di antaranya; Memperhatikan aspek lingkungan keluarga, masyarakat, dan golongan serta aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan memper- timbangkan untuk persiapan tersebut dakwah diharapkan bisa lebih teratur dan terencana dengan maksimal. 2.



Kesiapan Ketika Berdakwah dan Sikap Setelah Berdakwah Kesiapan Ketika Berdakwah An-Nahl: 125, ayat ini berisi panduan khusus mengenai bagaimana



berdakwah yang cerdas. Sekalipun dakwah kepada Allah merupakan amal shalih, tetapi seorang aktivis dakwah dalam mengerjakan tugasnya tidak boleh asal-asalan. Sekadar bermodal keyakinan bahwa Allah pasti menolongnya. Tidak, tidak demikian seharusnya seorang aktivis dakwah.



3



Aktivis dakwah harus cerdas dalam menjalankan tugasnya. Sebab, kerja dakwah bukan pekerjaan biasa. Ia pekerjaan yang sangat mulia, menuntut perhatian khusus dan cara-cara penyampaian yang kreatif. Jika tidak, dakwah akan berjalan di tempat. Namanya saja disebut dakwah, sementara pengaruhnya sangat tumpul. Benar, berdakwah kepada Allah merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab, yang memerintahkannya adalah Allah yang Maha Agung. Perhatikan kata ud’u ilaa sabiili rabbika (serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu), ini menunjukkan bahwa tugas dakwah datang langsung dari Allah swt. sebagai bukti pentingnya tugas tersebut. Rasulullah saw. yang menerima tugas ini telah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Seluruh hidupnya bila kita pelajari secara mendalam, tidak lebih dari cerminan dakwah kepada Allah. Setelah Rasulullah wafat tugas dakwah ini secara otomatis dioper alih kepada umatnya. Karenanya Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.” (Ali Imran:110) Tidak bisa dipungkiri bahwa berdakwah di jalan Allah pasti akan berhadapan dengan tantangan yang sangat berat. Renungkan kata ilaa sabiili rabbika, di sini Anda akan mendapatkan kesan bahwa tugas utama manusia sebenarnya adalah mengikuti jalan Allah swt. Tetapi karena setan bekerja keras untuk membuat manusia tergelincir, akhirnya banyak dari manusia yang keluar dari jalan Allah. Seorang aktivis dakwah yang cerdas hendaknya senantiasa berusaha untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Tentu saja di sini maksudnya bukan hanya orang kafir, melainkan banyak juga orang-orang Islam yang lemah iman ikut juga tergelincir. Karenanya, fokus utama dakwah selain mengislamkan orang-orang kafir, juga mengembalikan orang-orang Islam ke porosnya yang benar. Untuk ini sangat dibutuhkan langkah-langkah cerdas. Al-Qur’an –sebagaimana pada



4



ayat di atas– mengajarkan tiga langkah, dengannya dakwah akan menjadi efektif di manapun disampaikan: Berdakwah Dengan Hikmah Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kokoh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kokoh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digandengkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahwa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah kandas di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam kondisi apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang bisa diterobos demi tegaknya kebenaran ditempuhnya dengan lapang dada. Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom). Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masingmasing mad’u berbeda. Diupayakan setiap satuan tugas yang diberikan sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan kondisi: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan. Karenanya surat-surat periode Makkah lebih terkonsentrasi kepada masalah keimanan. Baru setelah hijrah ke Madinah, di mana iman para sahabat telah kokoh, Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat. Siti A’isyah r.a. pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan:



5



jangan kau minum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609). Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak langsung sekaligus, melainkan melalui empat tahap: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahwa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezki yang baik: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahwa khamer itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan. Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk karena khamer untuk melakukan shalat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahwa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan



6



permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 9091) Jelas sekali bahwa metodologi Al-Qur’an dalam mengembalikan manusia ke titik fitrahnya sungguh sangat bijak. Demikian juga seorang aktivis dakwah yang cerdas, dia selalu berjalan sebagaimana tuntunan AlQur’an. Maka ia tidak memaksakan kehendak dengan cara mencaci-maki dan menjelek-jelekkan orang lain yang tidak mau bergerak dalam satu fikrah (baca: visi dan misi perjuangan). Dia selalu tenang, sekalipun dicacimaki atau dijelek-jelekan. Baginya berdakwah di jalan Allah adalah kemuliaan. Tetapi dengan syarat ilmu yang ia dakwahkan harus benar (baca: bashirah), bukan asal dakwah. Sebab di antara makna hikmah –menurut Ibn Abbas– adalah ilmu tentang Al-Qur’an (lihat mufradat alfadzil Qur’an, Ar Raghib Al Ashfahani, h.250). Jadi, tidak cukup jika hanya bermodal semangat, sementara pemikiran yang dianutnya salah. Karenanya Allah berfirman: “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108). Jadi, tidak disebut hikmah –sekalipun ia tenang dan bijak– jika ia mengajak kepada kesesatan dan permusuhan terhadap umat Islam yang lain. Berdakwah Dengan Mau’idzah Hasanah Kata wa’dz lebih dekat pengertiannya kepada makna memberikan nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa wa’dz bermakna zajrun muqatrinun bit takhawiif (peringatan digabung dengan kabar penakut). Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’dz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggunakan kata wa’zd untuk makna tersebut, di antaranya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari



7



perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (ya’idzukum) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90). Dalam surat Yunus 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mau’idzah) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dalam surat Ali Imran 138: (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran (mau’idzah) bagi orang-orang yang bertakwa. Ketika digabung dengan sifat hasanah, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat yang menyentuh hati dan melembutkannya.



Seorang



aktivis



dakwah



yang



cerdas



selalu



menyampaikan apa yang di hatinya. Tidak dibuat-buat, dan tidak pula membuat orang-orang semakin bingung dan ketakutan. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bahwa berdakwah dari hati ke hati sangat besar pengaruhnya terhadap orang lain. Sebuah ungkapan terkenal menarik untuk dikutip di sini bahwa: “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati” (maa jaa’a minal qalbi yashilu ilal qalbi). Bila kita telusuri secara mendalam, Al-Qur’an selalu menggunakan cara ini dalam menyampaikan kebenaran. Hal yang sangat jelas adalah kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an mengenai umat terdahulu selalu memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi umat manusia. Allah swt. tidak pernah bosan mengulang-ulang kisah kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’un, supaya manusia yang hidup sesudahnya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, mengenai hari kiamat, surga, dan neraka, selalu Allah ulang-ulang dalam setiap surat-surat Al-Qur’an. Itu tidak lain agar manusia terketuk hatinya lalu bergerak mengisi usianya dengan amal shalih. Perhatikan bagaimana cara ini telah demikian jauh menukik ke dalam hati manusia dari masa ke masa, sehingga banyak dari mereka yang tersadarkan lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Silakan baca hadits-hadits Rasulullah saw., Anda akan mendapatkan banyak contoh mengenai mau’idzah hasanah yang beliau sampaikan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa semua hadits-hadits Rasulullah saw. adalah



8



mau’idzah hasanah. Rasulullah saw. tidak pernah berpesan kecuali kebaikan dan kebenaran yang mengajak kepada keimanan kepada Allah dan ketaatan kepadaNya, menjauhi segala laranganNya dan senantiasa menegakkan akhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat “wamaa yanthiqu ‘anal hawaa in huwa illaa wahyun yuuhaa (dan tiadalah yang diucapkannya itu –AlQur’an– menurut kemauan hawa nafsunya) (An-Najm: 3). Berdialog Dengan Cara Yang Lebih Baik Langkah berikutnya adalah wajaadilhum billatii hiya ahsan. Kata wajadilhum (bantahlah) menunjukkan agar seorang aktivis dakwah senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan menolak setiap pendapat yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi cara menolaknya harus dengan cara yang cerdas, dalam arti lebih baik dari cara mereka billatii hiya ahsan. Sebab jika tidak, penolakan itu akan menjadi tidak berguna. Bahkan, tidak mustahil akan menyebabkan mereka semakin kokoh dengan kebatilan yang mereka tawarkan. Simaklah perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, ketika hendak menghadapi Fir’aun. Di sini Allah swt mengajarkan sebuah cara yang sangat baik. Allah berfirman: “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 42-43). Di sini nampak bahwa di antara cara efektif untuk meluruskan pemahaman orang lain, adalah tidak cukup dengan hanya hujjah-hujjah yang kuat, melainkan lebih dari itu harus ditopang dengan cara penyampaian yang lembut, tidak menghina dan mencerca. Bahkan tidak sedikit kebenaran yang ditolak hanya karena penyampaiannya tidak menarik. Dan berapa banyak kebatilan yang diterima hanya karena disampaikan dengan tenang, memukau, meyakinkan, dan menarik hati. Di antara makna billatii hiya ahsan adalah ia menjauhi pembicaraan yang merendahkan orang lain. Sebab baginya maksud utama bukan menjatuhkan atau mengalahkan lawan, melainkan mengantarkannya kepada kebenaran. Perhatikan Rasulullah saw. ketika suatu hari datang seorang



9



anak muda berkata: “Wahai Nabi izinkan aku berzina?” (orang-orang ketika itu berteriak. Tetapi Rasulullah saw. minta agar anak muda tersebut mendekat, sampai duduk di sampingnya). Lalu Rasulullah bertanya, “Jika ada orang mau berzina dengan ibumu, kamu terima?” “Tidak, bahkan aku siap mati karenanya,” jawab anak muda. Rasulullah menjawab, “Demikian juga orang lain. Tidak ada yang rela jika ibunya dizinai. Bagaimana jika ada orang mau berzina dengan saudarimu, kamu terima?” “Tidak, bahkan aku siap mati karenanya,” jawab anak muda. Rasulullah menjawab, “Demikian juga orang lain. Tidak ada yang rela jika saudarinya dizinai.” Lalu Rasulullah meletakkan tangannya ke dada anak muda itu, dan berdo’a, “Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, jagalah kemaluannya.” Maka sejak itu tidak ada yang lebih dibenci oleh anak muda tersebut selain perzinaan. Supaya para aktivis dakwah selalu tenang dan tidak emosional dalam menghadapi berbagai tantangan, Allah swt. menutup ayat di atas dengan penegasan: “Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.” Maksudnya, Allah sebenarnya mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang mendapatkan petunjuk, adapun berdialog dengan mereka itu hanyalah sebuah usaha manusiawi, siapa tahu cara tersebut beirama dengan ketentuan-Nya. Toh kalaupun ternyata segala cara yang paling cerdas kita tempuh secara maksimal, tetapi ternyata masih juga belum tercapai target yang diinginkan, segeralah kembali kepada ayat: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56). Dalam surat Al-Baqarah ayat 272: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendakiNya. Sikap Setelah Berdakwah Sikap setelah berdakwah adalah sebagai berikut :



10



1.Bersikap santun dan tidak menyombongkan diri 2.berusaha akrab dengan audien 3.menjaga tata krama dan adab 4.bersikap seperti adanya tidak usah over 5.berusaha berlaku pada apa yang ia sampaikan C.



Unsur –Unsur Dakwah



Unsur-unsur dakwah terdapat dalam buku “Dasar-Dasar Retorika Komunikasi dan Informasi” oleh Latief Rousydiy yang terbit tahun 1995, yaitu: - Da’i atau juru dakwah, adalah yang bertugas sebagai komunikator yang berkewajiban untuk menyampaikan isi dakwah, baik kepada pribadi, kelompok ataupun masyarakat. - Materi dakwah, adalah isi pesan atau isi dakwah yang dikombinasikans ecara efektif kepada penerima dakwah. - Penerima dakwah, adalah audience, public atau massa yang menjadi sasaran, ke mana dakwah ditujukan. - Media dakwah, adalah saluran dakah dengan saluran mana dakwah disampaikan. Apakah melalui lisan, tulisan, visual dan audio visual bahkan saluran uswatun hasanah (teladan yang baik) dan amal usaha. - Efek dakwah, adalah hasil yang dapat dicapai dengan dakwah yang telah disampaikan. Kata lain dari isi dakwah yang disampaikan itu dapat mencapai sasarannya.



11



BAB III PENUTUP A.



Kesimpulan Dakwah adalah tugas bagi semua muslim, kita harus berdakwah dengan



hikmah dan mau’idhoh hasanah. Persiapan sebelum, saat dan setelah berdakwah perlu dilakukan agar dakwah yang dilakukan tetap sasaran dan pesan-pesannya tersampaikan.



12



DAFTAR PUSTAKA



https://hot.liputan6.com/read/4769793/macam-macam-dakwah-pengertiandan-unsur-unsurnya-dalam-islam https://www.pelajaran.co.id/persiapan-dan-tatacara-ceramah-dalam-tabligdan-dakwah/



13