Serat Wedhatama-Sri Mangkunegoro IV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SERAT WEDHATAMA Pintu Pembuka Rahasia Spiritual Raja-Raja Mataram



Serat Wedhatama (asal kata dalam bahasa Jawa; Wredhatama) merupakan salah satu karya agung pujangga sekaligus seniman besar pencipta berbagai macam seni tari (beksa) dan tembang. Wayang orang, wayang madya, pencipta jas Langendriyan (sering digunakan sebagai pakaian pengantin adat Jawa/Solo). Beliau adalah enterpreneur sejati yang sangat sukses memakmurkan rakyat pada masanya dengan membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng (1861-1863) dengan melibatkan masyarakat, serta perkebunan kopi, kina, pala, dan kayu jati di Jatim dan Jateng. Masih banyak lagi, termasuk merintis pembangunan Stasiun Balapan di kota Solo. Beliau juga terkenal gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Hebatnya, perlawanan dilakukan cukup melalui tulisan pena, sudah cukup membuat penjajah mundur teratur. Cara inilah menjadi contoh sikap perilaku utama, dalam menjunjung tinggi etika berperang (jihad a la Kejawen); “nglurug tanpa bala” dan “menang tanpa ngasorake”. Kemenangan diraih secara kesatria, tanpa melibatkan banyak orang, tanpa makan korban pertumpahan darah dan nyawa, dan tidak pernah mempermalukan lawan. Begitulah kesatria sejati. Selain terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh yang amat sakti mandraguna. Beliau terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya. Beliau adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja di keraton Mangkunegaran Solo. Berkat “laku” spiritual yang tinggi beliau diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan Yang Mahawisesa; yakni “warangka manjing curiga” atau meraih kamuksan; menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas. Wedhatama merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



1



bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya. Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku” spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban (meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit). Serat yang berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”. Sebab sebaik apapun ajaran itu tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di dalam “menara gadhing” yang megah. Kami sangat bersukur kepada Gusti Allah, dan berterimakasih sebesarbesarnya kepada Eyang-eyang Gusti dan para Ratu Gung Binatara yang telah njangkung lan njampangi kami dalam membedah dan medhar ajaran luhur ini, sehingga dengan “laku” yang sangat berat dapat kami susun dalam bahasa Nasional. Karena keterbatasan yang ada pada kami, mudah-mudahan tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya kemurahan Gusti Allah dan berkat doa restu dari para leluhur agung yang bijaksana, kami menyadari sungguh sulit rasanya, memahami dan menjabarkan kawruh atau pitutur yang maknanya persis sama sebagaimana teks aslinya. Mudah-mudahan hakikat yang tersirat di dalam pelajaran ini dapat diserap secara mudah oleh para pembaca yang budiman. Harapan saya mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaannya. Bagi siapapun yang lebih winasis pada sastra Jawa, saya tampilkan juga teks aslinya. Mudah-mudahan para pembaca, dapat memberikan koreksi, kritik dan saran kepada saya.



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



2



SERAT WEDHATAMA PANGKUR (Sembah Raga/Syariat)



1



2



Mingkar mingkuring angkara,



Meredam nafsu angkara dalam diri,



Akarana karanan mardi siwi,



Hendak berkenan mendidik putra-putri



Sinawung resmining kidung,



Tersirat dalam indahnya tembang,



Sinuba sinukarta,



dihias penuh variasi,



Mrih kretarta pakartining ngelmu agar menjiwai hakekat ilmu luhur, luhung yang berlangsung di tanah Jawa (nusantara) Kang tumrap neng tanah Jawa, agama sebagai “pakaian” kehidupan. Agama ageming aji. Jinejer neng Wedatama Disajikan dalam serat Wedhatama, Mrih tan kemba kembenganing pambudi



agar jangan miskin pengetahuan walaupun sudah tua pikun



Mangka nadyan tuwa pikun jika tidak memahami rasa sejati (batin) Yen tan mikani rasa, niscaya kosong tiada berguna yekti sepi asepa lir sepah, samun, bagai ampas, percuma sia-sia, Samangsane pasamuan di dalam setiap pergaulan Gonyak ganyuk nglilingsemi. 3



Nggugu karsaning priyangga,



sering bertindak ceroboh memalukan. Mengikuti kemauan sendiri,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



3



Nora nganggo peparah lamun angling,



Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),



Lumuh ing ngaran balilu, Namun tak mau dianggap bodoh, Uger guru aleman, Selalu berharap dipuji-puji. Nanging janma ingkang wus waspadeng semu



(sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak



Sinamun ing samudana, berwatak rendah hati, Sesadon ingadu manis 4



Si pengung nora nglegawa,



selalu berprasangka baik. (sementara) Si dungu tidak menyadari,



Sangsayarda deniro cacariwis,



Bualannya semakin menjadi jadi,



Ngandhar-andhar angendhukur, ngelantur bicara yang tidak-tidak, Kandhane nora kaprah, Bicaranya tidak masuk akal, saya elok alangka longkanganipun, makin aneh tak ada jedanya.



5



Si wasis waskitha ngalah,



Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,



Ngalingi marang si pingging. Mangkono ngelmu kang nyata,



Menutupi aib si bodoh. Demikianlah ilmu yang nyata,



Sanyatane mung weh reseping ati,



Senyatanya memberikan ketentraman hati, Tidak merana dibilang bodoh,



Bungah ingaran cubluk, Tetap gembira jika dihina Sukeng tyas yen denina, Tidak seperti si dungu yang selalu sombong, Nora kaya si punggung anggung gumrunggung Ingin dipuji setiap hari.



6



Ugungan sadina dina



Janganlah begitu caranya orang hidup.



Aja mangkono wong urip. Urip sepisan rusak,



Hidup sekali saja berantakan,



Nora mulur nalare ting saluwir,



Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



4



7



Kadi ta guwa kang sirung,



Umpama goa gelap menyeramkan,



Sinerang ing maruta,



Dihembus angin,



Gumarenggeng anggereng



Suaranya gemuruh menggeram,



Anggung gumrunggung,



berdengung



Pindha padhane si mudha,



Seperti halnya watak anak muda



Prandene paksa kumaki. Kikisane mung sapala,



masih pula berlagak congkak Tujuan hidupnya begitu rendah,



Palayune ngendelken yayah wibi, Maunya mengandalkan orang tuanya, Bangkit tur bangsaning luhur,



Yang terpandang serta bangsawan



Lha iya ingkang rama,



Itu kan ayahmu !



Balik sira sarawungan bae durung Sedangkan kamu kenal saja belum,



8



Mring atining tata krama,



akan hakikatnya tata krama



Nggon anggon agama suci. Socaning jiwangganira,



dalam ajaran yang suci Cerminan dari dalam jiwa raga mu,



Jer katara lamun pocapan pasthi, Nampak jelas walau tutur kata halus, Lumuh asor kudu unggul,



Sifat pantang kalah maunya menang sendiri



Semengah sesongaran,



Sombong besar mulut



Yen mangkono keno ingaran katungkul,



Bila demikian itu, disebut orang yang terlena Puas diri berlagak tinggi



Karem ing reh kaprawiran, Tidak baik itu nak ! 9



Nora enak iku kaki. Kekerane ngelmu karang,



Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)



Kekarangan saking bangsaning gaib,



Rekayasa dari hal-hal gaib



Iku boreh paminipun,



Itu umpama bedak.



Tan rumasuk ing jasad,



Tidak meresap ke dalam jasad,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



5



10



Amung aneng sajabaning daging Hanya ada di kulitnya saja nak kulup, Bila terbentur marabahaya, Yen kapengok pancabaya, bisanya menghindari. Ubayane mbalenjani. Marma ing sabisa-bisa, Karena itu sebisa-bisanya, Bebasane muriha tyas basuki,



Upayakan selalu berhati baik



Puruita-a kang patut,



Bergurulah secara tepat



Lan traping angganira,



Yang sesuai dengan dirimu



Ana uga angger ugering kaprabun,



Ada juga peraturan dan pedoman bernegara, Menjadi syarat bagi yang berbakti,



Abon aboning panembah, yang berlaku siang malam. 11



Kang kambah ing siyang ratri. Iku kaki takok-eno,



Itulah nak, tanyakan



marang para sarjana kang martapi Kepada para sarjana yang menimba ilmu Mring tapaking tepa tulus,



Kepada jejak hidup para suri tauladan yang benar,



Kawawa nahen hawa, dapat menahan hawa nafsu Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu, Tan mesthi neng janma wredha



12



Yang tidak harus dikuasai orang tua,



Tuwin mudha sudra kaki. Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak ! Sapantuk wahyuning Gusti Allah, Siapapun yang menerima wahyu Tuhan, Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,



Dengan cermat mencerna ilmu tinggi, Mampu menguasai ilmu kasampurnan,



Bangkit mikat reh mangukut, Kesempurnaan jiwa raga, Kukutaning jiwangga, Bila demikian pantas disebut “orang tua”. Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,



Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



6



Lire sepuh sepi hawa,



13



14



Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)



Awas roroning atunggil Tan samar pamoring sukma, Tidak lah samar sukma menyatu Sinuksmaya winahya ing ngasepi, meresap terpatri dalam keheningan Sinimpen telenging kalbu, semadi, Pambukaning warana,



Diendapkan dalam lubuk hati



Tarlen saking liyep layaping aluyup,



menjadi pembuka tabir,



Pindha pesating sumpena,



berawal dari keadaan antara sadar dan tiada



Sumusuping rasa jati.



Seperti terlepasnya mimpi



Sejatine kang mangkana,



Merasuknya rasa yang sejati. Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,



Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi, Kembali ke alam yang mengosongkan, Bali alaming ngasuwung,



tidak mengumbar nafsu duniawi,



Tan karem arameyan,



yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu



Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula ulanira. Mulane Oleh karena itu, wong anom sami. wahai anak muda sekalian…



(lanjut ke SINOM)



15



SINOM (Sembah Cipta/Kalbu/Tarekat) Nulada laku utama Contohlah perilaku utama,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



7



Tumrape wong Tanah jawi,



bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),



Wong agung ing Ngeksiganda, orang besar dari Ngeksiganda (Mataram), Panembahan Senopati,



Panembahan Senopati,



Kepati amarsudi,



yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),



Sudane hawa lan nepsu, serta siang malam Pinepsu tapa brata, Tanapi ing siyang ratri,



16



Amamangun karyenak tyasing sesama. Samangsane pasamuan, mamangun marta martani,



selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang)



Dalam setiap pergaulan, membangun sikap tahu diri.



Sinambi ing saben mangsa, Setiap ada kesempatan, Kala kalaning asepi, Di saat waktu longgar, Lelana teki-teki, mengembara untuk bertapa, Nggayuh geyonganing kayun, menggapai cita-cita hati, Kayungyun eninging tyas, hanyut dalam keheningan kalbu. Sanityasa pinrihatin, Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.



17



Saben mendra saking wisma,



Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu), dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur. Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),



Lelana lalading sepi, Ngingsep sepuhing supana,



berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),



Mrih pana pranaweng kapti,



menghirup tingginya ilmu,



Tis tising tyas marsudi,



agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.



Mardawaning budya tulus,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



8



Mesu reh kasudarman,



Hati bertekad selalu berusaha dengan tekun,



Neng tepining jalanidhi,



memperdayakan akal budi



Sruning brata kataman wahyu dyatmika.



menghayati cinta kasih, ditepinya samudra.



18



Wikan wengkoning samodra,



Kuatnya bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati). Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,



Kederan wus den ideri, “kesaktian” melimputi indera Kinemat kamot hing driya, Rinegan segegem dadi,



Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,



Dumadya angratoni,



Kangjeng Ratu Kidul,



Nenggih Kangjeng Ratu Kidul, Naik menggapai awang-awang, Ndedel nggayuh nggegana,



(kemudian) datang menghadap dengan penuh hormat,



Umara marak maripih, kepada Wong Agung Ngeksigondo.



19



Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda Dahat denira aminta, Sinupeket pangkat kanthi,



20



Memohon dengan sangat lah beliau, agar diakui sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,



Jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi,



tempatnya berkelana setiap sepi.



Sumanggem anyanggemi,



Bersedialah menyanggupi,



Ing karsa kang wus tinamtu,



kehendak yang sudah digariskan.



Pamrihe mung aminta,



Harapannya hanyalah meminta



Supangate teki-teki,



restu dalam bertapa,



Nora ketang teken janggut suku Meski dengan susah payah. jaja. Prajanjine abipraya, Perjanjian sangat mulia,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



9



Saturun-turuning wuri,



untuk seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.



Mangkono trahing ngawirya, Begitulah seluruh keturunan orang luhur, Yen amasah mesu budi, bila mau mengasah akal budi Dumadya glis dumugi, akan cepat berhasil, Iya ing sakarsanipun,



Nugrahane prapteng mangkin,



apa yang diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.



Trah tumerah dharahe padha wibawa. Ambawani tanah Jawa,



Menguasai tanah Jawa (Nusantara),



Kang padha jumeneng aji,



yang menjadi raja (pemimpin),



Satriya dibya sumbaga,



satria sakti tertermasyhur,



Tan lyan trahing Senopati,



tak lain keturunan Senopati,



Pan iku pantes ugi,



hal ini pantas pula



Tinelad labetipun,



sebagai tauladan budi pekertinya,



Ing sakuwasanira,



Sebisamu, terapkan di zaman nanti,



Enake lan jaman mangkin,



Walaupun tidak bisa



Sayektine tan bisa ngepleki kuna. Lowung kalamun tinimbang,



persis sama seperti di masa silam.



Wong agung Ngeksiganda,



21



22



Mending bila dibanding orang hidup tanpa prihatin,



Ngaurip tanpa prihatin, namun di masa yang akan datang (masa kini), Nanging ta ing jaman mangkya, yang digemari anak muda, Pra mudha kang den karemi, meniru-niru nabi, rasul utusan Tuhan, Manulad nelad nabi, Nayakengrat gusti rasul,



yang hanya dipakai untuk menyombongkan diri,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



10



23



Anggung ginawe umbag,



setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,



Saben seba mampir masjid,



Mengharap mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).



Ngajab-ajab tibaning mukjijat drajat. Anggung anggubel sarengat,



Hanya memahami sariat (kulitnya) saja, sedangkan hakekatnya tidak dikuasai,



Saringane tan den wruhi, Dalil dalaning ijemak,



Pengetahuan untuk memahami makna dan suri tauladan tidaklah mumpuni



Kiyase nora mikani,



Mereka lupa diri, (tidak sadar)



Ketungkul mungkul sami,



bersikap berlebih-lebihan di masjid besar,



Bengkrakan mring masjid agung,Bila membaca khotbah Kalamun maca kutbah,



berirama gaya dandanggula (menghanyutkan hati),



Lelagone Dandanggendis,



24



25



Swara arum ngumandhang cengkok palaran Lamun sira paksa nulad,



suara merdu bergema gaya palaran (lantang bertubi-tubi). Jika kamu memaksa meniru,



Tuladhaning Kangjeng Nabi,



tingkah laku `Kanjeng Nabi,



O, ngger kadohan panjangkah,



Oh, nak terlalu naif,



Wateke tan betah kaki,



Biasanya tak akan betah nak,



Rehne ta sira Jawi,



Karena kamu itu orang Jawa,



Sathithik bae wus cukup,



sedikit saja sudah cukup.



Aywa guru aleman,



Janganlah sekedar mencari sanjungan,



Nelad kas ngepleki pekih,



Mencontoh-contoh mengikuti fiqih,



Lamun pangkuh pangangkah yekti karahmat.



apabila mampu,



Naging enak ngupa boga,



memang ada harapan mendapat rahmat. Tetapi seyogyanya mencari nafkah,



Reh ne ta tinitah langip,



Karena diciptakan sebagai makhluk lemah,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



11



26



Apata suweting Nata,



Apakah mau mengabdi kepada raja,



Tani tanapi agrami,



Bercocok tanam atau berdagang,



Mangkono mungguh mami,



Begitulah menurut pemahamanku,



Padune wong dahat cubluk,



Sebagai orang yang sangat bodoh,



Durung wruh cara arab,



Belum paham cara Arab,



Jawaku wae tan ngenting,



Tata cara Jawa saja tidak mengerti,



Parandene paripaksa mulang putra. Saking duk maksih taruna,



Namun memaksa diri mendidik anak.



Sadhela wus anglakoni,



Keburu menempuh belajar pada agama,



Aberag marang agama,



Berguru menimba ilmu pada yang haji, maka yang terpendam dalam hatiku, menjadi



Dikarenakan waktu masih muda,



Maguru anggering kaji, sangat takut akan hari kemudian, Sawadine tyas mami, Keadaan di akhir zaman, Banget wedine ing mbesuk, Tidak tuntas keburu “mengabdi” Pranatan ngakir jaman, Tidak sempat sembahyang terlanjur dipanggil. Tan tutug kaselak ngabdi,



27



Nora kober sembahyang gya tinimbalan. Marang ingkang asung pangan, Kepada yang memberi makan, Yen kesuwen den dukani,



Jika kelamaan dimarahi,



Abubrah kawur tyas ingwang,



Menjadi kacau balau perasaanku,



Lir kiyamat saben ari,



Seperti kiyamat saban hari,



Bot Allah apa Gusti,



Berat “Allah” atau “Gusti”,



Tambuh tambuh solahingsun,



Bimbanglah sikapku,



Lawas lawas nggraita,



Lama-lama berfikir,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



12



Rehne ta suta priyayi,



Karena anak turun priyayi,



Yen mamriha dadi kaum temah Bila ingin jadi juru doa (kaum) dapatlah nista, nistha. 28



Tuwin ketip suragama,



begitu pula jika aku menjadi pengurus dan juru dakwah agama.



Pan ingsun nora winaris, Karena aku bukanlah keturunannya, Angur baya ngantepana, Lebih baik memegang teguh Pranatan wajibing urip, aturan dan kewajiban hidup, Lampahan angluluri, Menjalankan pedoman hidup Kuna kumunanira, Kongsi tumekeng samangkin,



29



warisan leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.



Kikisane tan lyan amung ngupa Ujungnya tidak lain hanyalah mencari nafkah. boga. Bonggan kan tan merlok-na, Salahnya sendiri yang tidak mengerti, Mungguh ugering ngaurip,



Paugeran orang hidup itu demikian seyogyanya,



Uripe lan tri prakara, hidup dengan tiga perkara; Wirya arta tri winasis, Kalamun kongsi sepi, Saka wilangan tetelu,



Keluhuran (kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan. Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,



Telas tilasing janma, habis lah harga diri manusia. Aji godhong jati aking,



30



Lebih berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis dan Temah papa papariman terlunta. ngulandara. Kang wus waspadha ing patrap, Yang sudah paham tata caranya, Manganyut ayat winasis,



Menghayati ajaran utama,



Wasana wosing jiwangga,



Jika berhasil merasuk ke dalam jiwa,



Melok tanpa aling-aling,



akan melihat tanpa penghalang,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



13



31



32



Kang ngalingi kalingling,



Yang menghalangi tersingkir,



Wenganing rasa tumlawung,



Terbukalah rasa sayup menggema.



Keksi saliring jaman,



Tampaklah seluruh cakrawala,



Angelangut tanpa tepi,



Sepi tiada bertepi,



Yeku ingaran tapa tapaking Hyang Suksma.



Yakni disebut “tapa tapaking Hyang Sukma”.



Mangkono janma utama,



Demikianlah manusia utama,



Tuman tumanem ing sepi,



Gemar terbenam dalam sepi (meredam nafsu),



Ing saben rikala mangsa,



Di saat-saat tertentu,



Masah amemasuh budi,



Mempertajam dan membersihkan budi,



Laire anetepi,



Bermaksud memenuhi tugasnya sebagai satria,



Ing reh kasatriyanipun,



berbuat susila rendah hati,



Susilo anor raga,



pandai menyejukkan hati pada sesama,



Wignya met tyasing sesami,



itulah sebenarnya yang disebut menghayati agama.



Yeku aran wong barek berag agama. Ing jaman mengko pan ora, Arahe para taruni,



Di zaman kelak tiada demikian, sikap anak muda bila mendapat petunjuk nyata,



Yen antuk tuduh kang nyata, tidak pernah dijalani, Nora pisan den lakoni, Lalu hanya menuruti kehendaknya, Banjur njujurken kapti, Kakeknya akan diajari, Kakekne arsa winuruk, dengan mengandalkan gurunya, Ngandelken gurunira, yang dianggap pandita negara yang pandai, Panditane praja sidik, serta sudah menguasai makrifat.



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



14



Tur wus manggon pamucunge Mring makripat



33



Ngelmu iku



PUCUNG (Sembah Jiwa/Hakekat) Ilmu (hakekat) itu



Kalakone kanthi laku



diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan,



Lekase lawan kas dimulai dengan kemauan. Tegese kas nyantosani Setya budaya pangekese dur angkara



Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama, Teguh membudi daya



34



Angkara gung



Menaklukkan semua angkara Nafsu angkara yang besar



Neng angga anggung gumulung ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan Gegolonganira Triloka lekeri kongsi



35



36



berubah menjadi gangguan.



Yen den umbar ambabar dadi rubeda. Beda lamun kang wus sengsem Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai, Reh ngasamun Watak dan perilaku memaafkan Semune ngaksama pada sesama Sasamane bangsa sisip selalu sabar berusaha Sarwa sareh saking mardi martatama menyejukkan suasana,



Taman limut



Dalam kegelapan.



Durgameng tyas kang weh limput



Angkara dalam hati yang menghalangi,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



15



37



Karem ing karamat



Larut dalam kesakralan hidup,



Karana karoban ing sih



Karena temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung



Sihing sukma ngrebda saardi pengira Yeku patut tinulat tulat tinurut



Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti



Sapituduhira, seperti semua nasehatku. Aja kaya jaman mangkin Jangan seperti zaman nanti Keh pra mudha mundhi diri



38



39



40



41



Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat Rapal makna Durung becus kesusu selak besus Belum mumpuni sudah berlagak pintar. Amaknani rapal



Menerangkan ayat



Kaya sayid weton mesir



seperti sayid dari Mesir



Pendhak pendhak angendhak



Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.



Gunaning jalma Kang kadyeku



Yang seperti itu



Kalebu wong ngaku aku



termasuk orang mengaku-aku



akale alangka



Kemampuan akalnya dangkal



Elok Jawane denmohi



Keindahan ilmu Jawa malah ditolak.



Paksa langkah ngangkah met



Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di Mekah,



Kawruh ing Mekah Nora weruh



tidak memahami



rosing rasa kang rinuruh



hakekat ilmu yang dicari,



lumeketing angga



sebenarnya ada di dalam diri.



anggere padha marsudi



Asal mau berusaha



kana kene kaanane nora beda Uger lugu



sana sini (ilmunya) tidak berbeda, Asal tidak banyak tingkah,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



16



Den ta mrih pralebdeng kalbu



agar supaya merasuk ke dalam sanubari.



Yen kabul kabuka



Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.



Ing drajat kajating urip



42



Kaya kang wus winahya sekar srinata Basa ngelmu



Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas). Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.



Mupakate lan panemune Dapat dicapai dengan usaha yang gigih. Pasahe lan tapa Bagi satria tanah Jawa, Yen satriya tanah Jawi



43



44



45



dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga Kuna kuna kang ginilut tripakara perkara yakni; Lila lamun kelangan nora Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal, gegetun Sabar jika hati disakiti sesama, Trima yen ketaman Ketiga ; lapang dada sambil Sakserik sameng dumadi berserah diri pada Tuhan. Tri legawa nalangsa srah ing Bathara Bathara gung Tuhan Maha Agung Inguger graning jajantung



diletakkan dalam setiap hela nafas



Jenek Hyang wisesa



Menyatu dengan Yang Mahakuasa



Sana pasenedan suci



Teguh mensucikan diri



Nora kaya si mudha mudhar angkara



Tidak seperti yang muda,



Nora uwus



mengumbar nafsu angkara. Tidak henti hentinya



Kareme anguwus uwus



gemar mencaci maki.



Uwose tan ana



Tanpa ada isinya



Mung janjine muring muring



kerjaannya marah-marah



Kaya buta buteng betah anganiaya



seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



17



46



Sakeh luput



Semua kesalahan



Ing angga tansah linimput



dalam diri selalu ditutupi,



Linimpet ing sabda



ditutup dengan kata-kata



Narka tan ana udani



mengira tak ada yang mengetahui,



Lumuh ala ardane ginawa gada bilangnya enggan berbuat jahat



47



Durung punjul



padahal tabiat buruknya membawa kehancuran. Belum cakap ilmu



Ing kawruh kaselak jujul



Buru-buru ingin dianggap pandai.



Kaseselan hawa



Tercemar nafsu selalu merasa kurang,



Cupet kapepetan pamrih



dan tertutup oleh pamrih,



tangeh nedya anggambuh



sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.



mring Hyang Wisesa



48



GAMBUH (Langkah Catur Sembah) Samengko ingsun tutur Kelak saya bertutur, Sembah catur supaya lumuntur Empat macam sembah supaya dilestarikan; Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki



Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku !



Ing kono lamun tinemu Di situlah akan bertemu dengan Tandha nugrahaning Manon 49



Sembah raga punika



pertanda anugrah Tuhan. Sembah raga adalah



Pakartine wong amagang laku



Perbuatan orang yang lagi magang “olah batin”



Susucine asarana saking warih



Menyucikan diri dengan sarana air,



Kang wus lumrah limang wektu Yang sudah lumrah misalnya lima waktu Wantu wataking weweton



Sebagai rasa menghormat waktu



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



18



50



Inguni uni durung



Zaman dahulu belum



Sinarawung wulang kang sinerung



pernah dikenal ajaran yang penuh tabir,



Lagi iki bangsa kas ngetokken anggit



Baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan, memamerkan ke-bisa-an nya



Mintokken kawignyanipun amalannya aneh aneh 51



Sarengate elok elok Thithik kaya santri Dul



Kadang seperti santri “Dul” (gundul)



Gajeg kaya santri brai kidul



Bila tak salah, seperti santri wilayah selatan



Saurute Pacitan pinggir pasisir



Sepanjang Pacitan tepi pantai



Ewon wong kang padha nggugu Ribuan orang yang percaya.



52



Anggere padha nyalemong Kasusu arsa weruh



Asal-asalan dalam berucap Keburu ingin tahu,



Cahyaning Hyang kinira yen karuh



cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,



Ngarep arep urub arsa den kurebi



Menanti-nanti besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata Orang tidak paham yang demikian itu



Tan wruh kang mangkono iku Nalarnya sudah salah kaprah 53



54



Akale kaliru enggon Yen ta jaman rumuhun



Bila zaman dahulu,



Tata titi tumrah tumaruntun



Tertib teratur runtut harmonis



Bangsa srengat tan winor lan laku batin



sariat tidak dicampur aduk dengan olah batin,



Dadi nora gawe bingung



jadi tidak membuat bingung



Kang padha nembah Hyang Manon Lire sarengat iku



bagi yang menyembah Tuhan



Kena uga ingaran laku



dapat disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.



Sesungguhnya sariat itu



Dhingin ajeg kapindone ataberi Anakku, hasil sariat adalah dapat menyegarkan SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



19



55



Pakolehe putraningsun



badan



Nyenyeger badan mrih kaot Wong seger badanipun



agar lebih baik, badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,



Otot daging kulit balung sungsum



Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.



Tumrah ing rah memarah



Ketenangan hati membantu



Antenging ati



Membersihkan kekusutan batin



Antenging ati nunungku



56



Angruwat ruweding batos Mangkono mungguh ingsun



Begitulah menurut ku !



Ananging ta sarehne asnafun



Tetapi karena orang itu berbeda-beda,



57



Beda beda panduk pandhuming Beda pula garis nasib dari Tuhan. dumadi Sebenarnya tidak cocok Sayektine nora jumbuh tekad yang pada dijalankan itu Tekad kang padha linakon Nanging ta paksa tutur Namun terpaksa memberi nasehat



58



Rehne tuwa tuwase mung catur Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah. Bok lumuntur lantaraning reh utami Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama. Sing sapa temen tinemu Barang siapa bersungguh-sungguh akan Nugraha geming kaprabon mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan. Samengko sembah kalbu Nantinya, sembah kalbu itu Yen lumintu uga dadi laku Laku agung kang kagungan Narapati



jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual. Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.



Patitis tetesing kawruh Tujuan ajaran ilmu ini; Meruhi marang kang momong SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



20



59



Sucine tanpa banyu Mung nyunyuda mring hardaning kalbu



60



untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer) Bersucinya tidak menggunakan air Hanya menahan nafsu di hati



Pambukane tata titi ngati ati



Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)



Atetep telaten atul



Teguh, sabar dan tekun,



Tuladan marang waspaos



semua menjadi watak dasar,



Mring jatining pandulu



Teladan bagi sikap waspada. Dalam penglihatan yang sejati,



Panduk ing ndon dedalan satuhu Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar. Lamun lugu legutaning reh maligi Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi Lageane tumalawung Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan Wenganing alam kinaot



61



Yen wus kambah kadyeku



Itulah, terbukanya “alam lain” Bila telah mencapai seperti itu,



Sarat sareh saniskareng laku



Saratnya sabar segala tingkah laku.



Kalakone saka eneng ening eling Berhasilnya dengan cara; Ilanging rasa tumlawung



Membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan.



Kono adiling Hyang Manon



62



Gagare ngunggar kayun



Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan) Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)



Tan kayungyun mring ayuning Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa kayun sejati, Bangsa anggit yen ginigit nora dadi



Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



21



63



Marma den awas den emut



Maka awas dan ingat lah



Mring pamurunging kalakon Samengko kang tinutur



dengan yang membuat gagal tujuan Nanti yang diajarkan



Sembah katri kang sayekti katur Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa). Mring Hyang Sukma sukmanen saari ari Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari Arahen dipun kacakup



64



Sembaling jiwa sutengong Sayekti luwih perlu



Sungguh lebih penting, yang



Ingaranan pepuntoning laku



disebut sebagai ujung jalan spiritual,



Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin



Tingkah laku olah batin, yakni



Sucine lan awas emut



65



66



67



Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku !



menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.



Mring alaming lama maot Ruktine ngangkah ngukut



Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga Ngiket ngruket triloka kakukut jagad yang dikuasai. Jagad agung ginulung lan jagad Jagad besar tergulung oleh jagad kecil, alit Pertebal keyakinanmu anakku ! Den kandel kumadel kulup Akan kilaunya alam tersebut. Mring kelaping alam kono Kaleme mawi limut Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”, Kalamatan jroning alam kanyut Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan, Sanyatane iku kanyatan kaki Sejatine yen tan emut



Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku !



Sayekti tan bisa awor



Sejatinya jika tidak ingat



Pamete saka luyut



Sungguh tak bisa “larut” Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



22



dan batin) Sarwa sareh saliring panganyut Lamun yitna kayitnan kang mitayani



68



Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”



Tarlen mung pribadinipun



Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya



Kang katon tinonton kono Nging away salah surup



yang tampak terlihat di situ Tetapi jangan salah mengerti



Kono ana sajatining urub



Di situ ada cahaya sejati



Yeku urub pangareb uriping budiIalah cahaya pembimbing,



69



Sumirat sirat narawung



energi penghidup akal budi.



Kadya kartika katonton



Bersinar lebih terang dan cemerlang,



Yeku wenganing kalbu



tampak bagaikan bintang Yaitu membukanya pintu hati



Kabukane kang wengku winengku



Terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).



Wewengkone wis kawengku neng sireki



Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai Tapi kau (roh) juga dikuasai



Nging sira uga kawengku



70



oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang. Mring kang pindha kartika byor Samengko ingsun tutur Nanti ingsun ajarkan, Gantya sembah ingkang kaping Beralih sembah yang ke empat. catur Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan. Sembah rasa karasa wosing dumadi Terjadinya sudah tanpa petunjuk,



71



Dadine wis tanpa tuduh



hanya dengan kesentosaan batin



Mung kalawan kasing batos Kalamun durung lugu



Apabila belum bisa membawa diri,



Aja pisan wani ngaku aku



Jangan sekali-kali berani mengaku-aku,



Antuk siku kang mangkono iku mendapat laknat yang demikian itu anakku ! kaki SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



23



Kena uga wenang muluk



72



Kalamun wus padha melok Meloke ujar iku Yen wus ilang sumelanging kalbu



73



Artinya, seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata. Menghayati pelajaran ini Bila sudah hilang keragu-raguan hati.



Amung kandel kumandel



Hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir



Amarang ing takdir



itu harap diwaspadai, diingat,



Iku den awas den emut



dicermati bila ingin menguasai seluruhnya.



Den memet yen arsa momot Pamoting ujar iku



Melaksanakan petuah itu



Kudu santosa ing budi teguh Harus kokoh budipekertinya sarta sabar tawekal legaweng ati Teguh serta sabar Trima lila ambeg sadu tawakal lapang dada Weruh wekasing dumados Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya



74



Sabarang tindak tanduk



Mengerti “sangkan paraning dumadi”. Segala tindak tanduk



Tumindake lan sakadaripun,



dilakukan ala kadarnya,



Den ngaksama kasisipaning sesami,



memberi maaf atas kesalahan sesama, menghindari perbuatan tercela,



Sumimpanga ing laku dur, (dan) watak angkara yang besar. 75



Hardaning budi kang ngrodon. Dadya weruh iya dudu, Yeku minangka pandaming kalbu, Ingkang buka ing kijab bullah agaib,



Sehingga tahu baik dan buruk, Demikian itu sebagai ketetapan hati, Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan, Tersimpan dalam rahasia,



Sesengkeran kang sinerung, Terletak di dalam batin. SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



24



76



Dumunung telenging batos. Rasaning urip iku, Krana momor pamoring sawujud,



Rasa hidup itu dengan cara manunggal dalam satu wujud, Wujud Tuhan meliputi alam semesta,



Wujudollah sumrambah ngalam sakalir, bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya. Lir manis kalawan madu,



77



Endi arane ing kono. Endi manis endi madu,



Mana manis mana madu,



Yen wis bisa nuksmeng pasang apabila sudah bisa menghayati gambaran itu, semu, Bagaimana pengertian sabda Tuhan, Pasamoaning hebing kang Mahasuci, Hendaklah digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin. Kasikep ing tyas kacakup,



78



Kasat mata lair batos. Ing batin tan kaliru



Dalam batin tak keliru,



Kedhap kilap liniling ing kalbu, Segala cahaya indah dicermati dalam hati, Kang minangka colok celaking Yang menjadi petunjuk dalam memahami Hyang Widhi, hakekat Tuhan, Widadaning budi sadu,



Selamatnya karena budi (bebuden) yang jujur (hilang nafsu),



Pandak panduking liru nggon. 79



Nggonira mrih tulus,



Agar dapat merasuk beralih “tempat”. Agar usahamu berhasil,



Kalaksitaning reh kang rinuruh, Dapat menemukan apa yang dicari, Nggyanira mrih wiwal warananing gaib,



upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,



Paranta lamun tan weruh,



Apabila kamu tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur.



Sasmita jatining endhog. 80



Putih lan kuningipun,



Putih dan kuningnya,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



25



Lamun arsa titah, bila akan mewujud (menetas), titah teka mangsul, wujud datang berganti,



81



82



Dene nora mantra-mantra yen ing lair,



tak disangka-sangka,



Bisa aliru wujud,



bila kelahirannya



Kadadeyane ing kono.



dapat berganti wujud,



Istingarah tan metu,



Kejadiannya di situ ! Dipastikan tidak keluar,



Lawan istingarah tan lumebu,



juga tidak masuk,



Dene ing njro wekasane dadi njawi,



Kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,



Rasakna kang tuwajuh,



Rasakan sunguh-sungguh,



Aja kongsi kabasturon. Karana yen kebanjur,



Jangan sampai terlanjur tak bisa memahami. Sebab apabila sudah terlanjur,



Kajantaka tumekeng saumur,



akan tak tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,



Tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi,



Menjadi orang hina yang bodoh,



Dadi wong ina tan weruh,



dirinya sendiri malah dianggap tamu.



Dheweke den anggep dayoh.



SERAT WEDHATAMA (lanjutan) Melanjutkan wejangan atau pitutur Serat Wedhatama terdahulu. Serat Wedhatama terdiri dari empat pupuh yakni; pangkur, sinom, gambuh, dan kinanthi. TEMBANG KINANTHI



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



26



83 Mangka kanthining tumuwuh, Salami mung awas eling, Eling lukitaning alam, Dadi wiryaning dumadi, Supadi nir ing sangsaya, Yeku pangreksaning urip. 84 Marma den taberi kulup, Anglung lantiping ati, Rina wengi den anedya, Pandak panduking pambudi, Bengkas kahardaning driya, Supaya dadya utami.` 85 Pangasahe sepi samun, Aywa esah ing salami, Samangsa wis kawistara, Lalandhepe mingis mingis, Pasah wukir reksamuka, Kekes srabedaning budi. 86 Dene awas tegesipun, Weruh warananing urip, Miwah wisesaning tunggal, Kang atunggil rina wengi, Kang mukitan ing sakarsa, Gumelar ngalam sakalir. 87 Aywa sembrana ing kalbu, Wawasen wuwus sireki, Ing kono yekti karasa, Dudu ucape pribadi, Marma den sembadeng sedya, Wewesen praptaning uwis. 88 Sirnakna semanging kalbu, Den waspada ing pangeksi, Yeku dalaning kasidan, Sinuda saka sethithik, Pamothahing nafsu hawa, Linalantih mamrih titih. 89 Aywa mematuh nalutuh, Tanpa tuwas tanpa kasil, Kasalibuk ing srabeda, Marma dipun ngati-ati, Urip keh rencananira, Sambekala den kaliling. 90 Umpamane wong lumaku, Marga gawat den liwati, Lamun kurang ing pangarah, Sayekti karendhet ing ri. Apese kasandhung padhas,



Padahal bekal hidup, selamanya waspada dan ingat, Ingat akan pertanda yang ada di alam ini, Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara. Begitulah memelihara hidup. Maka rajinlah anak-anakku, Belajar menajamkan hati, Siang malam berusaha, merasuk ke dalam sanubari, melenyapkan nafsu pribadi, Agar menjadi (manusia) utama. Mengasahnya di alam sepi (semedi), Jangan berhenti selamanya, Apabila sudah kelihatan, tajamnya luar biasa, mampu mengiris gunung penghalang, Lenyap semua penghalang budi. Awas itu artinya, tahu penghalang kehidupan, serta kekuasaan yang tunggal, yang bersatu siang malam, Yang mengabulkan segala kehendak, terhampar alam semesta. Hati jangan lengah, Waspadailah kata-katamu, Di situ tentu terasa, bukan ucapan pribadi, Maka tanggungjawablah, perhatikan semuanya sampai tuntas. Sirnakan keraguan hati, waspadalah terhadap pandanganmu, Itulah caranya berhasil, Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu, Latihlah agar terlatih. Jangan terbiasa berbuat aib, Tiada guna tiada hasil, terjerat oleh aral, Maka berhati-hatilah, Hidup ini banyak rintangan, Godaan harus dicermati. Seumpama orang berjalan, Jalan berbahaya dilalui, Apabila kurang perhitungan, Tentulah tertusuk duri, celakanya terantuk batu,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



27



Babak bundhas anemahi. 91 Lumrah bae yen kadyeku, Atetamba yen wus bucik, Duweya kawruh sabodhag, Yen tan nartani ing kapti, Dadi kawruhe kinarya, Ngupaya kasil lan melik. 92 Meloke yen arsa muluk, Muluk ujare lir wali, Wola wali nora nyata, Anggepe pandhita luwih, Kaluwihane tan ana, Kabeh tandha tandha sepi. 93 Kawruhe mung ana wuwus, Wuwuse gumaib gaib, Kasliring thithik tan kena, Mancereng alise gathik, Apa pandhita antiga, Kang mangkono iku kaki, 94 Mangka ta kang aran laku, Lakune ngelmu sejati, Tan dahwen pati openan, Tan panasten nora jail, Tan njurungi ing kahardan, Amung eneng mamrih ening.



95 Kaunanging budi luhung, Bangkit ajur ajer kaki, Yen mangkono bakal cikal, Thukul wijining utami, Nadyan bener kawruhira, Yen ana kang nyulayani. 96 Tur kang nyulayani iku, Wus wruh yen kawruhe nempil, Nanging laire angalah, Katingala angemori, Mung ngenaki tyasing liyan, Aywa esak aywa serik. 97 Yeku ilapating wahyu, Yen yuwana ing salami, Marga wimbuh ing nugraha, Saking heb Kang mahasuci, Cinancang pucuking cipta, Nora ucul ucul kaki. 98 Mangkono ingkang tinamtu,



Akhirnya penuh luka. Lumrahnya jika seperti itu, Berobat setelah terluka, Biarpun punya ilmu segudang, bila tak sesuai tujuannya, ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih. Baru kelihatan jika keinginannya mulukmuluk, Muluk-muluk bicaranya seperti wali, Berkali-kali tak terbukti, merasa diri pandita istimewa, Kelebihannya tak ada, Semua bukti sepi. Ilmunya sebatas mulut, Kata-katanya di gaib-gaibkan, Dibantah sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu, Apakah yang seperti itu pandita palsu,..anakku ? Padahal yang disebut “laku”, sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya, Tidak iri hati dan jail, Tidak melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa. Luhurnya budipekerti, pandai beradaptasi, anakku ! Demikian itulah awal mula, tumbuhnya benih keutamaan, Walaupun benar ilmumu, bila ada yang mempersoalkan.. Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal, tetapi secara lahir kita mengalah, berkesanlah persuasif, sekedar menggembirakan hati orang lain. Jangan sakit hati dan dendam. Begitulah sarat turunnya wahyu, Bila teguh selamanya, dapat bertambah anugrahnya, dari sabda Tuhan Mahasuci, terikat di ujung cipta, tiada terlepas-lepas anakku. Begitulah yang digariskan,



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



28



Tampa nugrahaning Widhi, Marma ta kulup den bisa, Mbusuki ujaring janmi, Pakoleh lair batinnya, Iyeku budi premati. 99 Pantes tinulat tinurut, Laladane mrih utami, Utama kembanging mulya, Kamulyan jiwa dhiri, Ora ta yen ngeplekana, Lir leluhur nguni-uni. 10 Ananging ta kudu kudu, 0 Sakadarira pribadi, Aywa tinggal tutuladan, Lamun tan mangkono kaki, Yekti tuna ing tumitah, Poma kaestokna kaki.



Untuk mendapat anugrah Tuhan. Maka dari itu anakku, sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain, nyaman lahir batinnya, yakni budi yang baik. Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru, Wahana agar hidup mulia, kemuliaan jiwa raga. Walaupun tidak persis, seperti nenek moyang dahulu. Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri, Jangan melupakan suri tauladan, Bila tak berbuat demikian itu anakku, pasti merugi sebagai manusia. Maka lakukanlah anakku !



SERAT WEDHATAMA – Sri Mangkunegoro IV Poestaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana



29