Silvia Andriani - 1103620039 - Tugas Pertemuan 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: SILVIA A.NDRIANI



NIM



: 1103620039



KELAS



: MANAJEMEN PENDIDIKAN 2020 C



DOSEN



: PROF. Dr. SARKADI,M.Si



MATA KULIAH



: KEWARGANEGARAAN



Draf Pengujian Terhadap Undang-Undang UU NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGA KERJAAN



Hal



: Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (RUU Omnimbus Law Cipta Kerja)



Kepada Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi RI Jalan Medan Merdeka Barat No.6 Di Jakarta Pusat Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama



: Silvia Andriani



Pekerjaan



: Mahasiswa



Warga Negara



: Indonesia



Alamat



: JL. Itik 8 Blok I No 272. RT/RW 008/015. Perumahan Pondok Timur Indah, Kelurahan Mustikajaya Kecamatan Mustikajaya Kota Bekasi



Nomor Telepon



: 081298779041



Email



: [email protected]



Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 81 yang menyebutkan ketentuan Pasal 64 dan 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaaan sebagaimana telah diubah terakhir kali menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang berbunyi “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis,”. dan pengujian Pasal 156 Undang-Undang Ketenaga Kerjaan Nomor 16 Tahun 2003



yang dihapuskan pada Pembaruan Undang- undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang berbunyi “pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”Terhadap Undang-undang Dasar 1945. I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”. 2. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…” 3. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….” Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” 2. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”; 3. Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4  di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi Pemohon  menyimpulkan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian undang-undang ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.



II. Kedudukan Pemohonan (Legal Standing) 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa  pemohon pengujian undangundang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” yang dalam huruf a menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: 1. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; 3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; 4. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 1. Apabila mendasarkan pada 5 (lima) parameter berdasarkan Putusan No 006/PUU-III/2005 jo Putusan No 11/PUU-V/2007, maka Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dengan alasan : 1. Sebagai warga Negara Pemohon memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 2. Hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal yang diuji melalui permohonan ini. 3. Kerugian Konstitusional Pemohon tersebut secara spesifik (khusus) dan actual karena Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48



Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Pasal 7 ayat (2) huruf “l” Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah diberlakukan dalam Praktek dilapangan. 4. Dengan demikian terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan. 5. Apabila permohonan ini dikabulkan, maka jelas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perkara ini tidak dapat diterapkan lagi kepada pemohon, sehingga hak konstitusional pemohon tidak dirugikan lagi karena pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. 1. Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUUI/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945”. 2. Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, sebagai berikut: Hak untuk memajukan diri dalam melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, memperjuangkan hak secara kolektif berdasar atas azas kekeluargaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan layak berdasarkan Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai Advokat dan Penasehat hukum yang memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela hak-hak serta kepentingan-kepentingan serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan. 2. Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan penjelasannya menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai



salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.” Peranan advokat sebagai salah satu penegak hukum ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi. Keempat aparat penegak hukum tersebut sangat berperan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu Advokat dianggap sebagai penegak hukum, advokat juga merupakan profesi hukum yang berkewajiban melindungi dan bertindak sebagai wakil kliennya 3. Bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat sebagai penegak hukum kadangkala terbentur dengan adanya aparat penegak hukum lainnya, pejabat publik dan warga Negara yang tidak patuh terhadap putusan Mahakamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap dengan berbagai macam alasan. Ada yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Positif Legislator tidak wajib untuk dipatuhi, selain itu berdasar pada makalah Yudi Kristiana (Jaksa) yang disampaikan dalam seminar “Implikasi Putusan MK No. 33 Tahun 2016 terkait Hak Mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara Pidana, di UI Tangal 10 Agustus 2016” Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan 3 (tiga) hal : (1) Putusannya tidak membumi; (2) Hakim MK telah gagal memahami bekerjanya hukum di masyarakat; (3) MK gagal menjadi living inteperator, tidak akan diikuti oleh Jaksa Penuntut Umum. 4. Bahwa salah satu contoh Konkrit tidak dipatuhinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dapat dilihat dalam beberapa Jawaban Jaksa dalam permohonan Praperadilan baik Jaksa pada Kejaksaan Agung maupun Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya dalam Permohonan Praperadilan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, SH., MSi, Hadi Poernomo, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH., MH. Dahlan Iskan dan banyak perkara Praperadilan lainnya yang menyatakan “Penetapan Tersangka Bukan Merupakan Obyek Praperadilan”, hal itu dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bersifat Positif Legislator, sehingga tidak untuk dipatuhi oleh Jaksa baik pada Kejaksaan Agung maupun pada Komisi Pemberantasan Korupsi. 5. Bahwa hal demikian juga terjadi tidak hanya pada lembaga Kejaksaan dan KPK, akan tetapi juga terjadi pada lembaga Mahkamah Agung, dimana berdasar pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 34/PUUXI/2013, dimana berdasarkan putusan nomor 34/PUU-XI/2013 tersebut, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali, MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menyatakan PK boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. III. Alasan-alasan Permohonan mengajukan pengujian Pasal 81 dan Pasal 156 Undang-undang Ketenaga Kerjaaan no 16 Tahun 2003 1. Bahwa pasal 22 ayat (3) menyatakan “Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya”. berdasarkan ketentuan tersebut sangat jelas bahwa pekerja berhak mendapatkan



pelatihan pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya, dimana hal tersebut memang peraturan yang ada pada UUD Ketenaga Kerjaan NO 16 Tahun 2003, namun pada UUD Cipta Kerja Hal ini tidak ada dan diganti dengan Outsourcing, dimana tidak ada batasan mengenai jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi. Tentu nya hal ini sudah menyangkal hak pekerja dimana mereka seharusnya bekerja sesuai dengan bidang mereka saat pertama diterima di sebuah tempat bekerja tersebut, jika ingin dialihkerjakan atau diganti penugasan harus terdapat pelatihan terlebih dahulu. 2. Negara kita adalah negara berkembang yang didalamnya begitu banyak masyarakatnya menjadi budak di negara sendiri, RUU Cipta Kerja yang menjadikan pekerja tidak memikiki batasan dalam bekerja membuat pekerja dinegara kita semakin berkurang hak mereka, selain itu hasil dari pekerjaan juga kemungkinan tidak maksimal karena batasan yang tidak ada dalam bekerja mengakibatkan pekerja tidak memiliki titik fokus pencapaian tugas yang diberikan, hal ini sama saja menyalahgunakan hak dan kewajiban pekerja



3. Selain itu masyarakat tingkat ekonomi kebawah yang rata-rata menjadi buruh tenaga kerja akan semakin tertindas jika tidak ada batasan pekerjaan, namun itu semua juga bisa disesuailkan dengan upah mereka apabila dinaikan dan harus masih dalam konteks urusan didalam perusahaan, namun yang tertera pada pembaharuan Undang-undang bahwa tidak ada pembatasan kerja serta diluar produksi. Dan lagilagi hal ini merugikan pekerja dan menguntungkan pengusaha, jika seperti ini maka satu pekerja bisa melakukan berbagai pekerjaan dengan upah yang sama.



4. Uang pesangon yang dihapuskan juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pekerja, karena pesangon itu layaknya seperti ucapan terimakasih dari perusahaan terhadap pekerja, pekerja jugalah manusia yang sama-sama memiliki hak mendapapatkan keadilan yang sama, dan pekerja yang sudah bekerja bertahun-tahun, menuai banyak keuntungan bagi perusahaan maka layak mendapatkan uang pesangon sebagai bentuk terimakasih atas pengabdiannya kepada perusahaan selama ia bekerja. Seperti dalam Pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 yang berisi: “pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” 5. Kita tidak tahu alasan seseorang resingn dari pekerjaan mereka dan uang pesangon bisa menjadi bentuk modal awal dari mereka yang sudah berhenti bekerja untuk memulai usaha baru yang dapat menopang hidup mereka setelah berhenti dari tempat mereka bekerja



IV. Petitum Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan diatas, maka pemohon dalam hal ini memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan halhal sebagai berikut : 1. Mengabulkan Seluruh Permohonan Pengujian Undang-Undang Pemohon 2. Menyatakan Pasal 81 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan dan diperbarui menjadi Undang-Undang Cipta kerja Nomor 11 Tahun 2020 bertentangan dengan Hak dan Kewajiban Pekerja 3. Menyatakan Bahwa Pasal 156 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Uang Pesangon untuk Pekerja yang dihapuskan Pada pembaruan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 tentang kesejahteraan rakyat, juga bertentangan dengan hak dan kewajiban pekerja 4. Memerintahkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Mengabulkan permohonan pengujian dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana semestinya



Atau apabila Mahkamah Konstitusi Berpendapat Lain, mohon berikan keputusam yang seadil-adilnya.



Hormat Saya



Silvia Andriani