Sistem Genitourinaria [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Asuhan Keperawatan Gastrointestinal dan Genitourinaria pada Lansia BAB I PENDAHULUAN I. SISTEM GENITOURINARIA A. Sistem genitourinaria Sistem perkemihan atau sistem genitourinaria adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih). Organ Sistem Perkemihan atau Sistem Genitourinaria meliputi : 1. Ginjal Kedudukan ginjal terletak dibagian belakang dari kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, dan melekat langsung pada dinding abdomen. Bentuknya seperti biji buah kacang merah (kara/ercis),jumlahnaya ada 2 buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari pada ginjal kanan. Pada orang dewasa berat ginjal ± 200 gram. Dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Satuan struktural dan fungsional ginjal yang terkecil di sebut nefron. Tiap-tiap nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler terdiri atas pembuluh-pembuluh darah yaitu glomerolus dan kapiler peritubuler yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler terdapat kapsul Bowman, serta tubulus-tubulus, yaitu tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, tubulus pengumpul dan lengkung Henle yang terdapat pada medula. Kapsula Bowman terdiri atas lapisan parietal (luar) berbentuk gepeng dan lapis viseral (langsung membungkus kapiler golmerlus) yang bentuknya besar dengan banyak juluran mirip jari disebut podosit (sel berkaki) atau pedikel yang memeluk kapiler secara teratur sehingga celah–celah antara pedikel itu sangat teratur. Kapsula bowman bersama glomerolus disebut korpuskel renal, bagian tubulus yang keluar dari korpuskel renal disabut dengan tubulus kontortus proksimal karena jalannya yang berbelok– belok, kemudian menjadi saluran yang lurus yang semula tebal kemudian menjadi tipis disebut ansa Henle atau loop of Henle, karena membuat lengkungan tajam berbalik kembali ke korpuskel renal asal, kemudian berlanjut sebagai tubulus kontortus distal.



a)



Bagian–Bagian Ginjal Bila sebuh ginjal kita iris memanjang, maka aka tampak bahwa ginjal terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).



1. Kulit Ginjal (Korteks) Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak mengandung kapiler–kapiler darah yang tersusun bergumpal–gumpal disebut glomerolus. Tiap glomerolus dikelilingi oleh simpai bowman, dan gabungan antara glomerolus dengan simpai bowman disebut badan malphigi. Penyaringan darah terjadi pada badan malphigi, yaitu diantara glomerolus dan simpai bowman. Zat–zat yang terlarut dalam darah akan masuk kedalam simpai bowman. Dari sini maka zat–zat tersebut akan menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bowman yang terdapat di dalam sumsum ginjal. 2. Sumsum Ginjal (Medula) Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papila renis, mengarah ke bagian dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks di dalamnya disebut lobus ginjal. Piramid antara 8 hingga 18 buah tampak bergaris–garis karena terdiri atas berkas saluran paralel (tubuli dan duktus koligentes). Diantara pyramid terdapat jaringan korteks yang disebut dengan kolumna renal. Pada bagian ini berkumpul ribuan pembuluh halus yang merupakan lanjutan dari simpai bowman. Di dalam pembuluh halus ini terangkut urine yang merupakan hasil penyaringan darah dalam badan malphigi, setelah mengalami berbagai proses. 3. Rongga Ginjal (Pelvis Renalis) Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang masing–masing bercabang membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari papila. Dari Kaliks minor, urine masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renis ke ureter, hingga di tampung dalam kandung kemih (vesikula urinaria). b)



Fungsi Ginjal :



1. Mengekskresikan zat–zat sisa metabolisme yang mengandung nitrogen, misalnya amonia. 2. Mengekskresikan zat–zat yang jumlahnya berlebihan (misalnya gula dan vitamin) dan berbahaya (misalnya obat–obatan, bakteri dan zat warna). 3. Mengatur keseimbangan air dan garam dengan cara osmoregulasi. 4. Mengatur tekanan darah dalam arteri dengan mengeluarkan kelebihan asam atau basa. 2. Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing–masing bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25–30 cm dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari : a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa) b. Lapisan tengah otot polos c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan–gerakan peristaltik tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang dieskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih. 3. Vesika Urinaria (Kandung Kemih) Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam ronga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika umbikalis medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari : a. Fundus, yaitu bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari rektum oleh spatium rectosivikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferent, vesika seminalis dan prostat. b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus. c. Verteks, bagian yang maju kearah muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis. Dinding kandung kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan sebelah luar), tunika muskularis, tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).



Proses Miksi (Rangsangan Berkemih). Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres reseptor yang terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinter internus, diikuti oleh relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih. Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi spinter interus dihantarkan melalui serabut–serabut para simpatis. Kontraksi spinter eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf–saraf yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh. Bila terjadi kerusakan pada saraf–saraf tersebut maka akan terjadi inkontinensia urin (kencing keluar terus–menerus tanpa disadari) dan retensi urine (kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torakal lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torakal lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna. Peritonium melapisi kandung kemih kira–kira sampai perbatasan ureter masuk ke kandung kemih. Peritoneum dapat digerakkan membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila kandung kemih terisi penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior berpangkal dari umbilikalis bagian distal, vena membentuk anyaman dibawah kandung kemih. Pembuluh limfe berjalan menuju duktus limfatilis sepanjang arteri umbilikalis. 4. Uretra Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar. Pada laki-laki uretra berjalan berkelok– kelok melalui tengah– tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagian penis panjangnya ± 20 cm. Uretra pada laki–laki terdiri dari : a. Uretra Prostaria b. Uretra Membranosa c. Uretra Kavernosa Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis dan berjalan miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3 – 4 cm. Lapisan uretra pada wanita terdiri dari Tunika muskularis (sebelah



luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari vena – vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya sebagai saluran ekskresi. B. Perubahan Sistem Perkemihan pada Lansia Masing-masing ginjal terdiri atas 1 juta nefron yang hidup dan aktif. Pada awal usia 40 tahun terjadi penurunan ukuran dan jumlah nefron usia 80 tahun, lebih dari 50% nefron hilang. Meskipun banyak jumlah nefron yang hilang, masing-masing ginjal memiliki 25% nefron yang berfungsi normal. Kecepatan filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi mengalami kemunduran. Kemunduran GFR dipengaruhi proses penuaan seseorang pada masalah pengeluaran obat oleh ginjal (Stanley & Bare, 2006). Hilangnya glomerulus ginjal menyertai proses penuaan. Kehilangan ini bersamaaan dengan penururnan perfusi ginjal menyebabkan penururnan laju filtrasi glomerulus (GFR). Penurunan filtrasi menyebabkan penurunan pembersihan substansi secara normal (Hudak & Gallo, 1997). Peningkatan nitrogen urea darah adalah (BUN) atau kreatinin mengindikasikan luasnya penururnan GFR. Akan tetapi, kreatinin dari pemecahan otot dapat terjadi lebih sedikit pada pasien muda dan dapat menutupi peningkatan (clearense) kreatinin. Kreatinin lebih akurat pengukurannya terhadap ginjal untuk pasien lansia. Evaluasi fungsi ginjal sangat penting bila pasien menerima obat yang secara normal diekskresi melalui ginjal (Hudak dan Gallo, 1997). Pada lansia mungkin mempunyai kadar glukosa ginjal yang tinggi. Pada lansia kadar gula darah tinggi di dalam urin merupakan penyebab glukosuria dikarenakanfaktor usia, ginjal mengalami penurunan kemampuan untuk memekatkan urin karena penurunan jumlah nefron. Penurunan ini mempengaruhi keseimbangan cairan. Pada lansia dapat meningkatkan dehidrasi khususnya jika seseorang mengangap tidak penting sebelum didiagnosa atau juga yang memiliki demam, diare atau muntah. Potensi dehidrasi dapat meningkat sebagai hasil dari penurunan atau proses penuaan (Stanley & Bare, 2006). Tonus otot kandung kemih dapat hilang dan pengosongannya tidak tuntas ditambah dengan adanya retensi dapat memperberat terjadinya infeksi saluran kemih yang dapat meningkatkan dan menjadi infeksi ginjal. Hilangnya tonus otot, retensi dan hilangnya kontrol spinter menyebabkan inkontinensia pada lansia (Hudak & Gallo, 1997). Lansia juga cenderung menderita komplikasi dari infeksi. Infeksi saluran kemih yang sederhana dapat mengakibatkan terjadinya bakterimia.



C. WOC (Web of Caution ) D. Masalah-masalah pada Sistem Genitourinaria Gangguan pada saluran perkemihan: 1. Infeksi saluran perkemihan Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih dapat mengenai baik laki-laki maupun wanita dari semua umur, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Akan tetapi dari kedua jenis kelamin, ternyata wanita lebih sering daripada pria dengan angka populasi umum, kurang lebih 5-15%. Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Bakteriuria yang disertai dengan gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria simptomatis. Sedangkan yang tanpa gejala disebut bakteriuria asimptomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila terdapat lebih dari 105 koloni bakteri dalam sampel urin, sedangkan pada pasien simptomatis bisa terdapat jumlah koloni lebih rendah. Prevalensi ISK yang tinggi pada usia lanjut antara lain disebabkan karena sisa urin dalam kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih kurang efektif. Etiologi ISK pada usia lanjut dipandang dari segi penatalaksanaan sering dibedakan atas: a. ISK uncomplicated (simple) ISK yang sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing baik anatomi maupun fungsional normal. ISK sederhana ini pada usia lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab kuman tersering (90%) adalah E. coli. b. ISK complicated Sering menimbulkan banyak masalah karena kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotik, sering terjadi bakteriemia, sepsis, dan syok. Penyebab kuman pada ISK complicated adalah Pseudomonas, Proteus, dan Klebsiela. Tanda dan gejala



Gejala klinis ISK tidak khas dan bahkan pada sebagian pasien tanpa gejala. Gejala yang sering ditemukan ialah disuria, polakisuria dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan. Nyeri suprapubik dan daerah pelvis juga ditemukan. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung urin lebih dari 500 ml karena mukosa yang meradang sehingga sering kencing. Stranguria, tenesmus, nokturia, sering juga ditemukan enuresis nokturnal sekunder, prostatismus, nyeri uretra, kolik ureter dan ginjal. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi sebagai berikut. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikit-sedikit serta rasa tidak enak di daerah suprapubik. Pada ISK bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise, mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan peradangan lokal, ketidaknyamanan,infeksi 2. Gangguan pola berkemih berhubungan dengan inflamasi



1. a. b. c. d.



Intervensi Keperawatan Nyeri berhubungan dengan peradangan lokal, ketidaknyamanan,infeksi Anjurkan pasien untuk melakukan tekhnik relaksasi, seperti nafas dalam, kompres hangat yang berguna untuk mengurangi nyeri yang dialami oleh pasien. Anjurkan pasien untuk minum cairan 8000 ml/ hari jika keadaan memungkinkan Perawat dapat memberikan Phenazopyridine (Pyridium) yang bertindak sebagai analgesik lokal untuk mengurangi nyeri, gatal atau terbakar. Jika Phenazopyridine (Pyridium) diberikan, perawat memberitahu pasien bahwa urin dapat menjadi berwarna orange-merah dan dapat menodai pakaian.



2. Gangguan pola berkemih berhubungan dengan inflamasi a. b. c. d. e.



Perawat menjelaskan kepada pasien pentingnya pengosongan kandung kemih ketika buang air kecil Perawat menentukan dan membandingkan pola eliminasi yang sebelumnya dengan pola eliminasi saat ini yang terjadi pada pasien Perawat dapat melakukan palpasi pada kandung kemih untuk menilai retensi urin Untuk pasien dengan kateter, perawat dapat menyimpan catatan cairan input dan output Perawat harus memantau warna dan bau urin yang dikeluarkan



f.



Lakukan pelepasan kateter sesegera mungkin untuk membangun kembali pola berkemih yang normal g. Perawat harus berhati-hati untuk menjaga posisi pipa drainase agar dapat memudahkan pengeluaran urin 2. Inkontinensia Urin Definisi Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin tanpa disadari dan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua. Etiologi Penyebab Inkontinensia urin yang paling umum terjadi pada lansia adalah ketidakstabilan otot destrusor, kelemahan dasar panggul, hiperplasia prostat jinak, gangguan mobilitas, obatobatan tertentu dan kondisi patologis seperti infeksi. Obat-obat tertentu yang dapat menyebabkan inkontinensia adalah chlordiazepoxide ( Librium ), clonidine (Catapres), diazepam (Valium), digitalis (Lanoxin), Furosemid (Lasix), Isoproterenol (Isuprel), Levodopa (L-dopa, Larodopa), Lithium (Lithotabs, Lithane), Metadon (Methadose, Dolophine), Metronidazol (Flagyl), Neostigmine (Prostigmin), Fenitoin (Dilantin), Terbutaline (Brethine), Asam Valproik ( Depakene), Vasopresin ( Pitressin ). Klasifikasi Inkontinensia Urin Inkontinensia urin diklasifikasikan : a.



Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat



memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi



urin karena obat-obatan, atau obstruksi



anatomis



dapat



pula



menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. b. Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi : 1. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence) Tidak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolahraga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada spinter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. 2. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence) Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini



merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat. 3. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence) Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. 4. Inkontinensia urin fungsional Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.



Tanda dan Gejala Pada umumnya keluhan penderita yaitu: a. Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan b. Keluarnya kencing tidak dapat ditahan c. Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kemih penuh Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul a. Inkontinensia berhubungan dengan kerusakkan kemampuan untuk mengenali isyarat berkemih b. Inkontinensia berhubungan dengan kehilangan kemampuan motorik, sensorik, dan kognitif c. Inkontinensia berhubungan dengan adanya hambatan lingkungan ke kamar mandi Intervensi Keperawatan 1. Inkontinensia berhubungan dengan kerusakkan kemampuan untuk mengenali isyarat berkemih



 



Tekankan bahwa inkontinensia bukan berhubungan dengan usia yang tidak dapat dielakkan Jelaskan ke pasien untuk tidak membatasi masukkan cairan karena takut mengalami



 



inkontinensia Kaji adanya kerusakkan kemampuan berkemih Gunakan pampers untuk mempermudah dalam berkemih jika diperlukan Inkontinensia berhubungan dengan kehilangan kemampuan motorik, sensorik dan kognitif Tekankan bahwa inkontinensia bukan berhubungan dengan usia yang tidak dapat dielakkan Jelaskan ke pasien untuk tidak membatasi masukkan cairan karena takut inkontinensia Kaji kemunduran motorik, sensorik dan kognitif yang terjadi Untuk pasien dengan kemunduran kognitif, anjurkan pasien untuk ke kamar kecil setiap 2 jam 2.



   



setelah makan dan sebelum tidur



    



3. Inkontinensia berhubungan dengan adanya hambatan lingkungan ke kamar mandi Tekankan bahwa inkontinensia bukan berhubungan dengan usia yang tidak dapat dielakkan



Jelaskan ke pasien untuk tidak membatasi masukkan cairan karena takut inkontinensia Kaji tingkat kemampuan pasien untuk mencapai kamar mandi Anjurkan didalam kamar terdapat kamar mandi untuk mempermudah pasien dalam berkemih Bila diperlukan, pertimbangkan penggunaan pampers, kursi commode atau urin



3. Hiperplasia Prostat jinak Definisi Hiperplasia Prostat jinak adalah pembesaran nonmalignant dari kelenjar prostat yang menyempitkan uretra dan menyebabkan berbagai pembatasan aliran kemih. Etiologi Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.



Tanda dan gejala Dorongan mendesak untuk buang air kecil. Beberapa pria mungkin mengompol tanpa dapat ditahan b. Penundaan antara awal berkemih dan aliran urin c. Aliran urin lemah atau terputus-putus d. Urin tetap menetes setelah buang air kecil e. Perasaan bahwa kandung kemih tidak kosong setelah buang air kecil f. Sakit di punggung bawah, panggul atau paha atas g. Sensasi terbakar atau sakit saat buang air kecil.



a.



Gejala dapat berbeda-berbeda antar individu. Gejala juga dapat bervariasi pada masingmasing individu di sepanjang perjalanan penyakit. Perlu ditekankan bahwa gejala di atas tidak selalu menunjukkan adanya pembesaran prostat. Penyakit lain dapat menyebabkan gejala yang sama. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan pembesaran prostat b. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih c. Kecemasan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih, disfungsi seksual, perubahan dalam status kesehatan lainnya



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Intervensi Keperawatan a. Gangguan eliminasi dan Nyeri Dorong pasien untuk berkemih setiap dua jam Perawat mendokumentasikan kekuatan berkemih dan adakah nyeri yang dirasakan pasien ketika berkemih Perawat memantau asupan cairan input dan output Jika Nokturia merupakan masalah, cairan yang masuk dapat dibatasi dimalam hari Pantau TTV secara ketat Kateterisasi tidak dianjurkan namun perawat dapat membantu pasien untuk berambulasi ke toilet Antispasmodics (Oxybutynin) dapat diberikan untuk meringankan kejang kandung kemih Kecemasan Perawat harus bersedia dalam menjawab pertanyaan yang diutarakan oleh pasien Perawat memberikan informasi yang akurat Perawat mendengar kecemasan dan ketakutan pasien



b.



1. 2. 3.



E. Pengkajian secara umum Pengkajian ini meliputi identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik sistem gastrointestinal, pola aktivitas sehari-hari, serta pengkajian pola psikososial dan spiritual. a. -



Identitas klien Nama Umur Jenis kelamin Status perkawinan Agama Suku



b. Status kesehatan saat ini : - status kesehatan secara umum - keluhan kesehatan saat ini - Pengetahuan, pemahaman, dan penatalaksanaan masalah kesehatan c. -



Riwayat kesehatan masa lalu: penyakit masa kanak-kanak penyakit kronik Pernah mengalami trauma



d. Observasi penampilan umum - Pucat (kehilangan darah dari GI) - Kelelahan dan kelemahan (malnutrisi, ketidakseimbangan elektrolit, atau perdarahan). Obesitas atau penurunan berat badan yang tidak biasa. e.



Pemeriksaan fisik Inspeksi, palpasi dan perkusi abdomen terhadap kandung kemih yang sudah penuh, nyeri atau abnormalitas. Lakukan pemeriksaan pada lansia wanita terhadap inkontinensia stres dengan melakukan: 1. Berikan klien cairan sedikitnya satu gelas penuh, dan tunggu hingga klien merasakan adanya sensasi untuk berkemih. 2. Instruksikan klien untuk berdiri, jika tidak bisa cukup dengan posisi duduk yang ditegakkan. 3. Minta klien untuk memegang area periniumnya, dan minta klien untuk batuk dengan kuat.



Hasil tes negatif tidak ada kebocoran (urin yang keluar) atau hanya sedikit urin yang keluar (Eliopaolus, 2005. 1. Wawancara Wawancara yang dilakukan harus mencakup review dari fungsi sistem tanda-tanda dan gejala yang dirasakan oleh klien, pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah : - Frekuensi pengosongan Berapa kali anda berkemih selama sehari dan pada malam hari? Adakah perubahan yang terjadi pada pola berkemih anda? - Kontinensi Apakah anda pernah kehilangan kontrol untuk berkemih? Apakah urin akan keluar jika anda batuk atau bersin? Seberapa cepat anda akan ketoilet setelah merasakan adanya keinginan untuk berkemih sebelum anda kehilangan kontrol? - Retensi Apakah anda pernah merasakan bahwa kandung kemih anda tidak benar-benar kosong setelah anda berkemih? Apakah anda merasakan kandung kemih anda penuh setelah berkemih? - Nyeri Apakah terasa nyeri saat anda berkemih? Apakah anda merasakan nyeri dibagian bawah abdomen atau ada dibagian lain? Apakah ada penegangan, ketidaknyamanan, lesi atau nyeri diarea genital anda? - Discharge Apakah ada sekresi, darah atau discharge dari genital anda? - Urin Apakah anda pernah melihat adanya kristal atau partikel diurin anda? Apakah urin anda pernah berwarna pink, berdarah, discolor ? Apakah urin itu jernih atau keruh? Apakah urin anda berbau busuk? - Disfungsi seksual Dapatkan anda mencapai ereksi dan mempertahankannya selama berhubungan? Seperti apa ejakulasi anda? Apakah vagina anda sensitif atau terlau kering saat berhubungan? Apakah anda merasakan kepuasan setelah berhubungan? Apakah ada perubahan dalam pola seksual anda? http://perawatyulius.blogspot.com/2012/04/asuhan-keperawatan-gastrointestinaldan.html