Skripsi (Autosaved) 2 Revisi Semhas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit yang bukan disebabkan oleh proses infeksi. Gejala atau risiko PTM muncul akibat gaya hidup yang tidak sehat dan seimbang, antara lain kurangnya aktifitas fisik, diet yang tidak sehat, kebiasaan merokok, obesitas, mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterol, dan hiperglikemia PTM merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang, mempunyai durasi yang panjang, dan umumnya berkembang lambat (1). Sebanyak 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008 dan sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. Proporsi penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyakit kardiovaskular merupakan penyakit terbesar (39%), diikuti penyakit kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes (2). Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular dan salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan yang cukup serius. Seseorang dapat dikatakan menderita hipertensi jika mengalami peningkatan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (3).Hipertensi menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas masalah kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan peningkatan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler lainnya, serebrovaskuler, dan renovaskuler (4). Penyakit hipertensi dapat dikatakan penyakit yang serius karena penyakit ini seringkali disebut silent killer karena tidak adanya



2



gejala dan tanpa disardari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital (5). Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi penyakit hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia pada tahun 2007 adalah sebesar 31,7% (6). Sementara pada tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis individu persentase penduduk Indonesia yang mengidap penyakit hipertensi sebesar 25,8% atau sekitar kurang lebih 65 juta jiwa. Beberapa provinsi dengan tingkat hipertensi yang paling tinggi di Indonesia antara lain tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%), dan Gorontalo (29,4%) (1). Penduduk dengan penyakit hipertensi di provinsi Lampung juga cukup tinggi. Data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar Provinsi Lampung tahun 2007 penduduk yang menderita hipertensi sebesar 24,1% berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah (7). Prevalensi tertinggi pada tahun 2007 berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah terletak di Lampung Barat sebesar 27,2%. Di Bandar Lampung, berdasarkan hasil pegukuran tekanan daerah tercatat sebesar 22,8% (7). Data prevalensi hipertensi di Lampung pada tahun 2013 mengalami peningkatan dari tahun 2007 yaitu dari 24,1% menjadi 24,7% (1). Menurut Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2015, persentase penyakit hipertensi meningkat menjadi 30% dan menduduki peringkat pertama dalam 10 besar penyakit provinsi Lampung tahun 2015, kemudian diikuti penyakit hipertensi lainnya sebanyak 17% pada peringkat kedua (8). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pra survey pada tanggal 1 sampai 5 November 2017 didapatkan bahwa angka kejadian kasus hipertensi di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung ini dari tahun 2013 sampai tahun 2016 masuk ke dalam 10 besar penyakit yang paling sering ditangani di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Advent Bandar Lampung. Pada tahun 2016, kasus hipertensi meningkat dari 3907 (tahun 2015) menjadi 4570 kasus. Dari 100 pasien terdiagnosa hipertensi, sekitar 45% tercatat lebih dari satu kali dalam setahun menjalani pengobatan hipertensi rawat jalan di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung. Sementara itu, 25% pasien diantaranya tercatat mengalami komplikasi di tahun berikutnya setelah terdiagnosa hipertensi.



3



Prevalensi hipertensi yang tinggi merupakan masalah kesehatan yang penting sehingga evaluasi penggunaan obatnya harus dilakukan dengan baik untuk mencegah, mendeteksi, memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan untuk membuat rekomendasi terapi obat (5). Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan angka kesakitan (morbiditas) penyakit kardiovaskular dan angka kematian (mortalitas). Penggunaan obat hipertensi haruslah sesuai dengan penyakit sehingga diagnosa yang ditegakkan harus tepat, keterkaitan farmakologi obat dengan patofisiologis penyakit, dosis dan waktu pemberian yang tepat, ada tidaknya kontra indikasi serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang disesuaikan dengan kemampuan pasien tersebut (9). Masalah terkait obat atau yang sering disebut Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan oleh pasien yang mendapatkan terapi obat dan yang mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan (10). Identifikasi DRPs penting untuk meningkatkan efektivitas terapi obat pada penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang, salah satunya adalah penyakit hipertensi (11). Hasil penelitian tentang Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien hipertensi rawat jalan di Rumah Sakit Klaten tahun 2010 didapatkan hasil bahwa kategori obat salah sebanyak 7 kasus (6,336%), dosis kurang sebanyak 2 kasus (1,82%), tidak terdapat kasus dosis lebih dan interaksi obat sebanyak 18 kasus (16,36%) (12). Penelitian mengenai DRPs pada pasien hipertensi di Lampung tepatnya di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2015 menghasilkan persentase DRPs kategori indikasi tidak diobati (drug needed) sebesar 10%, tidak tepat obat (inapropiate drug) sebesar 22,5%, interaksi obat sebesar 62,5%, penggunaan obat tanpa indikasi sebesar 5%, dan tidak terdapat kasus dosis kurang atau lebih. Sementara di RSUD Ahmad Yani Metro pada tahun 2014 masih terdapat DRPs pada pasien hipertensi rawat jalan dengan kategori dosis obat tidak sesuai yaitu sebesar 18,3% (13). Salah satu tujuan yang terdapat dalam standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit adalah melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)(14). Evaluasi penggunaan obat tersebut dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan



4



menganalisa apakah terjadi DRPs pada penggunaan obat hipertensi. Healthy People 2010 for Hypertension menganjurkan perlu adanya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna mencapai pengontrolan tekanan darah secara optimal. Maka untuk mencapai semua tujuan tersebut, diperlukan partisipasi yang aktif dari tenaga kefarmasian yang bekerja sama dengan dokter untuk memberikan edukasi pada pasien mengenai hipertensi , memonitor respon pasien melalui farmasi komunitas, mengevaluasi terapi obat dan non-obat, mendeteksi dan mengenali secara dini reaksi efek samping, serta mencegah dan/atau memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemberian obat (5). Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Kejadian Drug Related Problems (DRPs) Pada Terapi Pengobatan Hipertensi di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung Periode Januari - Juni Tahun 2017”. B. Rumusan Masalah Apakah ada kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada terapi pengobatan hipertensi di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung periode Januari-Juni tahun 2017? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisa ada tidaknya kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada terapi pengobatan hipertensi di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung periode Januari-Juni 2017. 2. Tujuan Khusus Mengetahui persentase kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada terapi pengobatan pasien rawat jalan dengan diagnosis hipertensi di Rumah Sakit Advent Bandar Lampung periode Januari-Juni tahun 2017 dengan menganalisa kategori DRPs yang terdiri dari: a. Obat tanpa indikasi (Unnecessary drug related) b. Indikasi tanpa obat (Need for additional drug related) c. Obat tidak efektif (Ineffective drug) d. Dosis terlalu rendah (dosage too low) e. Efek samping obat (Adverse drug reaction)



5



f. Dosis terlalu tinggi (dosage too high). D. Manfaat Penelitian 1. Keilmuan Hasil analisa dari penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengatasi dan memecahkan masalah DRPs. 2. Peneliti Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan keilmuan tentang DRPs sehingga sebagai tenaga kefarmasian diharapkan mampu memberikan edukasi yang benar bagi masyarakat khususnya mengenai obat antihipertensi. 3. Instansi a. Bagi rumah sakit hasil analisa ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk mencegah dan mengatasi DRPs yang terjadi sehingga pemerian informasi obat, konseling, dan edukasi dapat lebih ditingkatkan lagi. b. Bagi instansi lainnya sebagai acuan pustaka untuk penelitian selanjutnya mengenai masalah-masalah terkait penggunaan obat (DRPs) dan penyebab DRPs. c. Menambah referensi penelitian dalam bidang farmasi klinis dan komunitas di Jurusan Farmasi Unversitas Tulang Bawang Lampung. 4. Masyarakat Sebagai pengetahuan tentang masalah-masalah terkait penggunaan obat (DRPs) antihipertensi.



6



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Rumah Sakit 1. Pengertian dan Klasifikasi Rumah Sakit Pengertian rumah sakit menurut Permenkes No.72 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (14). Berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit dibedakan menjadi Rumah Sakit menetap, Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan. a. Rumah Sakit menetap merupakan rumah sakit yang didirikan secara permanen untuk jangka waktu lama untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (15). b. Rumah Sakit bergerak merupakan Rumah Sakit yang siap guna dan bersifat sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahan dari satu lokasi ke lokasi lain . Rumah Sakit bergerak dapat berbentuk bus, kapal laut, gerbong kereta api, atau kontainer (15). c. Rumah Sakit lapangan merupakan Rumah Sakit yang didirikan di lokasi tertentu selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu yang berpotensi bencana atau selama masa tanggap darurat bencana (15). Rumah Sakit juga dibagi berdasarkan jenis pelayanan yaitu Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. a. Rumah Sakit Umum dibagi menjadi 1) Rumah Sakit Umum kelas A



7



2) Rumah Sakit Umum kelas B 3) Rumah Sakit Umum kelas C, dan 4) Rumah Sakit Umum kelas D. b. Rumah Sakit Umum kelas D diklasifikasikan menjadi: 1) Rumah Sakit Umum Kelas D, dan 2) Rumah Sakit Umum Kelas D pratama c. Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi; 1) Rumah Sakit Khusus Kelas A 2) Rumah Sakit Khusus Kelas B, dan 3) Rumah Sakit Khusus Kelas C 2. Rumah Sakit Umum Kelas C Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Kelas C paling sedikit meliputi; a. pelayanan gawat darurat b. pelayanan medik umum c. pelayanan medik spesialis dasar d. pelayanan medik spesialis penunjang e. pelayanan medik spesialis lain f. pelayanan medik subspesialis, dan g. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut. Pelayanan rawat inap pada Rumah Sakit Kelas C harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut (15); a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah; b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Swasta; c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta. Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas; a. tenaga medis; b. tenaga kefarmasian; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kesehatan lain;



8



e. tenaga nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas; a. sembilan dokter umum untuk pelayanan medik dasar; b. dua dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut; c. satu dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang, dan d. satu dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut. Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas; a. satu orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; b. dua apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit empat orang tenaga teknis kefarmasian; c. empat orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit delapan orang tenaga teknis kefarmasian; d. satu orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. B. Pharmaceutical Care Pharmaceutical care atau yang sering disebut dengan pelayanan kefarmasian adalah praktik yang berpusat pada pasien dimana praktisi atau tenaga kefarmasian bertanggung jawab terkait kebutuhan obat pasien dan hal ini menjadi komitmen dalam pelayanan kefarmasian (10). Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman



bagi



tenaga



kefarmasian



dalam



menyelenggarakan



pelayanan



kefarmasian. Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk (14): 1. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian 2. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan 3. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)



9



Proses pengambilan keputusan yang rasional terkait penggunaan obat oleh tenaga kefarmasian disebut dengan Pharmacotherapy Workup atau pemeriksaan farmakoterapi. Pemeriksaan farmakoterapi dilakukan untuk membuat penilaian terkait



kebutuhan



obat



pasien,



mengidentifikasi



masalah



terapi



obat,



mengembangkan rencana perawawatn, dan melakukan evaluasi tindak lanjut untuk memastikan bahwa semua masalah terapi obat dapat diselesaikan secara efektif dan aman (10). C. Hipertensi Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg pada tekanan sistolik dan atau ≥ 90 mmHg pada tekanan diastolik (16). Bagi banyak orang, tekanan darah di atas 140/90 dapat dikatakan sebagai hpertensi. Angka atas menunjukan tekanan sistolik, yang merupakan tekanan tertinggi di pembuluh darah arteri saat jantung berdetak dan mengisi arteri. Sementara angka bawah menunjukan tekanan diastolik, yang merupakan tekanan terendah pada pembuluh darah arteri saat jantung berelaksasi di antara denyut (17). Tekanan darah tingi atau hipertensi berarti tekanan tinggi di dalam arteri. Arteri adalah pembuluh yang mengangkut darah dari jantung yang memompa ke seluruh jaringan dan organ-organ tubuh. Tekanan darah tinggi bukan berarti tegangan emosi yang berlebihan walaupun tegangan emosi dan stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara (18). 1. Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi tekanan darah mencakup empat kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS)