SKRIPSI Azki 12 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SKRIPSI



HUBUNGAN KINERJA PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN NON PBI DI RUANG RAWAT INAP PUSKESMAS JATIBARANG BREBES



Disusun Oleh : Wahyu Ramaudy Nugraha C1016103



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI MANDALA HUSADA 2020



SKRIPSI



HUBUNGAN KINERJA PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN NON PBI DI RUANG RAWAT INAP PUSKESMAS JATIBARANG BREBES



Disusun Oleh WAHYU RAMAUDY NUGRAHA C1016103



Disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Sarjana Keperawatan dan Ners Di STIKes BHAMADA Slawi 2020 i



STIKES BHAMADA SLAWI PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS



HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH



Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama



: WAHYU RAMAUDY NUGRAHA



NIM



: C1016103



Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya: 1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggung jawabkan. 2. Tidak melakukan plagiasi terhadap naska karya orang lain. 3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya. 4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data. 5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini. Jika kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap dikenakan sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.



PENGESAHAN SKRIPSI ii



Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi Skripsi yang berjudul



:



HUBUNGAN



KINEJA



PERAWAT



DENGAN



TINGKAT



KEPUASAN PASIEN NON PBI DI RUANG RAWAT INAP PUSKESMAS JATIBARANG BREBES Dipersiapkan dan disusun oleh : WAHYU RAMAUDY NUGRAHA C1016103 Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal Agustus 2020 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima. Penguji 1



Khodijah, S.Kep.,Ns.,M.Kep. NIPY : 1980.03.10.06.040 Penguji II



Wisnu Widyantoro, M.Kep. NIPY : 1972.02.08.97.009 Penguji III



Ratna Widhiastuti, M.Kep. NIPY : 1988.02.04.18.115



iii



HUBUNGAN KINEJA PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN NON PBI DI RUANG RAWAT INAP PUSKESMAS JATIBARANG BREBES



Wahyu Ramaudy Nugraha1), Wisnu Widyantoro2), Ratna Widhiastuti3) 1) Program Studi Sarjana Keperawatan dan Ners, STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi 52416, Tegal Indonesia 3) 2) Dosen STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi 52416, Tegal Indonesia Email: Abstrak Kinerja perawat sebagai salah satu kualitas pelayanan keperawatan berkaitan kejadian pelayanan yang kurang memuaskan pasien disebabkan oleh salah satunya tingkat pelayanan keperawatan yang kurang bisa manjadikan respon pasien nyaman. Sikap perawat dalam memberikan pelayanan yang kurang memuaskan nantinya memiliki dampak berupa tingkat kepuasan yang tidak bagus. Salah satu metode dalam menilai kinerja perawat yaitu dengan melihat praktek standar keperawatan. Kepuasan pasien menjadi modal utama bagi puskesmas untuk tetap survive dan bersaing di industri pelayanan kesehatan masyarakat. Pasien yang merasa puas atau senang terhadap pelayanan atau kinerja seorang perawat akan dominan menceritakan pengalamannya kepada komunitasnya. Kepuasan pasien dalam kinerja keperawatan merupakan hasil kerja kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar asuhan keperawatan dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kinerja perawat dengan tingkat kepuasan pasien non PBI di ruang rawat inap Puskesmas Jatibarang. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian menggunakan pendekatan Cross sectional Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu non probability sampling dengan jenis accidental sampling dan besar sampel yang diambil yaitu 41 orang. Hasil analisis data menggunakan uji statistik Kendall’s Tau-b menunjukkan nilai P value 0,000 < 0,05 yang menandakan Ho ditolak dan Ha diterima atau terdapat hubungan kinerja perawat dengan tingkat kepuasan pasien non PBI di ruang rawat inap Puskesmas Jatibarang. Perawat diharapkan dapat melakukan pelayanan sesuai dengan SOP dan tetap menerapkan perilaku caring serta membina hubungan saling percaya dengan pasien. Kata kunci: Kinerja perawat, tingkat kepuasan, perawat, pasien



iv



RELATIONSHIP OF NURSING PERFORMANCE OF NON PBI PATIENTS WITH THE SATISFACTION IN INVENTORIES OF PUSKESMAS JATIBARANG BREBES



Wahyu Ramaudy Nugraha1), Wisnu Widyantoro2), Ratna Widhiastuti3) 1) Nursing and Nurse Undergraduate Study Program, STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi 52416, Tegal Indonesia 2) 3) Lecturer at STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi 52416, Tegal Indonesia E-mail: Abstract The performance of nurses as one of the quality of nursing services is related to the incidence of unsatisfactory services for patients due to one of which is the level of nursing service that is not enough to make the patient's response comfortable. The attitude of nurses in providing unsatisfactory services will have an impact in the form of a poor level of satisfaction. One method of assessing the performance of nurses is by looking at standard nursing practices. Patient satisfaction is the main asset for puskesmas to survive and compete in the public health service industry. Patients who are satisfied or happy with the service or performance of a nurse will predominantly tell their experiences to the community. Patient satisfaction in nursing performance is the result of quantity and quality work achieved by a nurse in carrying out her duties in accordance with nursing care standards with the responsibility given to her. This study aims to determine the relationship between the performance of nurses and the level of satisfaction of non-PBI patients in the inpatient room of the Jatibarang Health Center. This research is a quantitative research with a research design using a cross sectional approach. The sampling technique used is non-probability sampling with accidental sampling type and the sample size taken is 41 people. The results of data analysis using the Kendall's Tau-b statistical test showed a P value of 0.000 0 berarti ada hubungan dan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil uji korelasi ditentukan berdasarkan berdasarkan nilai p value yang diperoleh dari hasil cross tabulation antar variabel. Hubungan korelasi dinyatakan signifikan jika nilai p < 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel dapat diberlakukan pada populasi, sedangkan hubungan korelasi dinyatakan tidak signifikan jika nilai p ≥ 0,05 sehingga kesimpulan yang dapat ditarik adalah sampel tidak berlaku pada poluasi. 3.8 Etika Penelitian Etika penelitian ini berguna sebagai pelindung terhadap institusi tempat penelitian dan peneliti itu sendiri. Selanjutnya peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 3.8.1



Informed consent (Lembar Persetujuan)



Persetujuan dari responden merupakan hak dari responden sendiri, dimana sebelum mendapatkan persetujuan peneliti memberitahukan mengenai tujuan penelitian, prosedur pelaksanaan, manfaat penelitian, dan kerahasiaan menjadi responden. Kemudian lembar persetujuan ini ditandatangani oleh responden jika bersedia menjadi subyek penelitian. 3.8.2



Anonimity (Tanpa Nama)



Peneliti tidak mencantumkan nama jelas responden, melainkan menggunakan inisial pada lembar pengumpulan data yang diberikan kepada responden. 3.8.3



Confidentiality (Kerahasiaan)



Informasi yang diberikan kepada responden serta semua data yang dikumpulkan tanpa nama (hanya inisial) yang dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hal ini tidak dipublikasikan atau diberikan kepada orang lain tanpa seijin responden baik informasi maupun masalah-masalah



21



lainnya. 3.8.4 Respect for Justice and Inclusiveness (Keadilan dan Inklusivitas/ Keterbukaan) Penelitian ini dilakukan dengan keterbukaan, adil, jujur dan hati-hati. Penelitian mengkondisikan lingkungan dengan menjelaskan prosedur penelitian terlebih dahulu pada responden untuk memenuhi prinsip keterbukaan. Peneliti menjamin bahwa semua responden penelitian memperoleh perlakuan yang sama sesuai prosedur, tanpa membedakan jenis kelamin, agama, etis, dan sebagainya. 3.8.5 Balancing Harms and Benefits (Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian yang Ditimbulkan) Penelitian tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi responden. Penelitian ini tidak memungut biaya dari responden dan dalam melaksanakan penelitian responden mendapatkan manfaat dan kenyaman.



BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1



Hasil Penelitian



4.1.1



Tingkat Stress



Uji statistik univariat pada variabel Tingkat Stress disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat stress Tingkat Stress Stress Ringan Stress Sedang Stress Berat Total



Frekuensi 31 34 5 70



Persentase (%) 44,3 48,6 7,1 100,0



Berdasarkan tabel 4.1 hasil analisis kinerja perawat pada pasien mayoritas responden mengalami kategori stress sedang yaitu sebanyak 31 responden (44,3%). Sebanyak 34 responden (36,6%) mengalami stress ringan, sedangkan 5 responden (7,1%) mengalami stress berat. Jadi rata-rata responden mengalami stress sedang. 4.1.2



Kejadian Insomnia



Uji statistik univariat pada variabel Kejadian Insmonia Pada Lansia disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian insomnia Insomnia Insomnia Sementara Jangka Panjang Insomnia Kronis Total



Frekuensi



Persentase (%)



41



58,5



27 2 70



36,8 2,9 100,0



Berdasarkan tabel 4.2 hasil analisi kejadian insomnia pada lansia mayoritas responden mengalami insomnia sementara yaitu sebanyak 41 responden (58,5%) Sebanyak 27 responden (36,8%)mengalami insomnia jangka panjang, sedangkan 2 responden (2,9%) mengalami insomnia kronis. Jadi rata-rata kejadian insmonia pada lansia di Desa



Kersana adalah responden mengalami insomnia sementara.



4.1.3



Hubungan Antara Tingkat Stress Dengan Kejadian



Insmonia Pada Lanjut Usia Di Desa Kersana Analisa bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia pada lansia menggunakan uji Spearman Rank yang disajikan pada tabel berikut: Tabel 4.3 Hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia pada lansia Tingkat Stress



Kejadian Insomnia Sementara



Jangka Panjan g



Kronis



Total



N



%



N



%



N



%



n



%



Ringan



26



37.1



5



7.1



0



0



31



44.3



Sedang



13



18.6



19



27.1



2



2.9



34



48.6



Berat



2



2.9



3



4.3



0



0



5



7.1



Total



41



58.6



27



38.5



2



2.9



70



100



X2



PVALUE



0.439



0.000



Berdasarkan tabel 4.3 hasil perhitungan diatas maka dapat diketahui bahwa responden dengan kejadian insomnia sementara pada lansia yang mengalami tingkat stress ringan sebanyak 26 orang (31,7%). Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Spearman Rank diperoleh nilai signifikansi Pvalue sebesar 0,000 (Pvalue < 0,05) menunjukkan H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya bahwa ada hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia pada lansi di Desa Kersana, nilai keeratan hubungannya yaitu 0,439 dalam kategori cukup dan searah. Berdasarkan hasil dari kedua variabel tersebut didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia pada lansia di Desa Kersana.



4.2



Pembahasan



4.2.1



Tingkat Stress



Hasil penelitian ini menunjukkan responden yang mengalami stress ringan sebanyak 31 responden (44,3%) sedangkan 34 (48,6%) responden mengalami tingkat stress sedang dan responden yang mengalami stress berat sebanyak 5 responden (7,1%). Hasil ini merujuk pada kuesioner tingkat stres, responden yang mengalami stres berat rata-rata menjawab sering marah dalam dalam menghadapi masalah sepele terutama masalah dengan keluarga, responden juga kada-kadang tersinggung dengan hal menyangkut pribadi yang tidak disukai serta mudah murung dan gelisah disetiap harinya. Sedangkan bagi responden yang mengalami stres ringan dan sedang rata-rata responden sering gelisah pada hal yang sedang dipikirkan olehnya, sulit tidur untuk istirahat dan sulit untuk merasakan hal positif. Hasil penelitian dari Vindy, Andi & Vandri (2019) menunjukan bahwa dari 51 lansia dalam penelitian ini, sebanyak 47 lansia (92,2%) mengalami stress fisik ringan. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mengalami stress fisik ringan. Hal ini disebabkan karena para lansia kadang bahkan tidak pernah mengalami kelelahan padahal tidak mengerjakan hal-hal yang melelahkan, detak jantung meningkat setelah melakukan aktivitas, cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi misalnya berbicara lebih cepat dan merasa telah menghabiskan banyak energi. Hasil penelitian dari Jefri (2017) menunjukan bahwa kurang dari separuh (40,7%) responden mengalami tingkat stress sedang di dalam Panti Werdha Pengesti Lawang. Berdasarkan hasil penelitian maka



dapat diketahui bahwa lansia yang tinggal di dalam panti mengalami tingkat stress sedang, dikarenakan tidak tinggal dengan keluarga sehingga lansia kemungkinan dalam hidupnya merasa sendiri dan tidak ada yang memberi semangat. Hal ini sesuai dengan teori Karepouwan, dkk (2018) dimana lanjut usia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, pendengaran 67%, penglihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan yang menurun sebesar 64%. Jadi walaupun tidak atau jarang melakukan aktivitas fisik yang berat lansia pasti merasakan kelelahan dan menghabiskan banyak energi. Hasil ini sesuai dengan Rahman (2016) dimana aspek-aspek stres meliputi gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi tubuh dari seseorang, seperti; sakit kepala, sulit tidur, banyak melakukan kekeliruan dalam kerja. Gejala-gejala stress fisik seperti sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, rasa lemah, gangguan pencernaan, rasa mual atau muntah-muntah, sakit perut, nafsu makan hilang atau selalu ingin makan, jantung berdebar-debar, sering buang air kecil, tekanan darah tinggi, tidak dapat tidur atau tidur berlebihan, berkeringat secara berlebihan dan sejumlah gejala lain. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Made, M. Ikhsan & Ida (2016) di panti Sosial Tresna Werdha Puspakarma Mataram pada 26 responden didapatkan 10 responden (38,4%) dengan tingkat stres kategori ringan dan 16 responden (61,5%) dengan tingkat stres kategori sedang. Terlihat bahwa responden penelitian mengalami stres kadar dengan nilai yang berbeda-beda berarti ada perbedaan tingkat stres meskipun stimulasinya sama. Keberadaan panti untuk menampung para lansia merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah pada kelompok usia ini. Lansia yang tinggal di Panti memiliki latar belakang kehidupan dan alasan yang berbeda-beda. Latar belakang, alasan, dan kondisi yang saat ini di panti masingmasing memberikan sumbangan sebagai stresor atau sumber stres dialami para lansia panti. Tentu



sumbangan stres dari masing-masing stresor tersebut akan berbeda bergantung pada faktor individu itu pula. Dari Hasil Penelitian dari Yeniar (2013) bahwa lansia di panti Wredha Pucang Gading Semarang mengalami stres yang tinggi dengan skor yang dihasilkan lebih dari 150. Kenyataan ini didukung oleh data penelitian yang diperoleh bahwa sejumlah 26 dari 32 lansia panti atau sebesar 81,25 % subyek mengeluhkan menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan yang berat. Kategori keluhan berat tersebut didukung oleh data dari dimana seluruh subjek tergolong dalam kondisi stres berat. Hal ini dikarenakan Keluarga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam menyebabkan stres bagi lansia panti. Keberadaan keluarga dirasakan sangat penting bagi mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari latar belakang keberadaan para lansia hingga tinggal di Panti Wredha. Seperti beberapa kasus yang terjadi pada lansia panti. Beberapa diantara mereka merasa terbuang, menjadi sampah masyarakat, tidak berarti lagi dengan kondisi fisik yang semakin melemah. Mereka merasa dicampakkan oleh keluarganya, bahkan bagi beberapa lansia yang semula hidup dengan keluarganya mereka merasa tidak betah lagi berada di dunia ini dan mempertanyakan keberadaan mereka ini untuk siapa, lain halnya dengan lansia yang memang dari semula tidak memiliki keluarga sama sekali, mereka memang menyayangkan hidup mereka yang sebatang kara akan tetapi keberadaan teman sesama lansia dipanti membuat mereka merasa ada keluarga baru akan tetapi terkadang mereka pun merindukan keberadaan keluarganya sebelum mereka hidup sendiri. Kematian pasangan menjadi penyebab stres yang dirasakan oleh para lansia panti. Mereka merasa hidup sendiri dan tak berarti. Pada beberapa kasus yang terjadi di panti wredha, hampir semua lansia menceritakan bahwa pasangan mereka merupakan semangat hidup mereka dan ada beberapa lansia yang memilih untuk tidak menikah kembali setelah kematian pasangan mereka ataupun bagi



mereka yang tidak memiliki anak mereka memilih untuk menyibukan diri mereka dengan pekerjaan untuk menghilangkan kesedihan. Kesendirian di masa lanjut membuat beberapa lansia merasa putus asa dan mempertanyakan keberadaan mereka di dunia, dan mereka hanya tinggal menunggu panggilan Sang Ilahi untuk hidup lebih tenang. Peneliti berpendapat bahwa lansia yang mengalami tingkat stress sedang responden merasa sulit untuk bersantai dalam artian susah merasa tenang atau selalu memikirkan beban hidup dan responden merasa sulit untuk beristirahat. Didapatkan lansia mengalami stress berat dimana lansia sering merasa dirinya tidak berharga dan merasa bersalah. Lansia tidak mampu memusatkan pikirannya dan tidak dapat membuat keputusan dimana lansia yang mengalami stress selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab dan lansia mempersepsikan diri sendiri, sehingga menciptakan perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan. Lansia yang terpisah dari anak serta cucunya, maka muncul perasaan tidak berguna dan kesepian. Padahal mereka yang sudah tua masih mampu mengaktualisasikan potensinya secara optimal. Jika lansia dapat mempertahankan pola hidup serta cara dia memandang suatu makna kehidupan, maka sampai ajal menjemput lansia masih dapat berbuat banyak bagi kepentingan semua orang. 4.2.2



Kejadian Insomnia pada Lansia



Hasil penelitian ini menunjukkan kejadian insomna sementara pada lansia sebanyak 41 responden (58,5%) sedangkan 27 (38,6%) responden



mengalami



insomnia



panjang



dan



responden



yang



mengalami insomnia kronis sebanyak 2 responden (2,9%). Hasil ini merujuk pada hasil kuesioner bahwa responden yang mengalami insomnia sementara dan jangka panjang rata-rata responden hanya mengalami kesulitan tidur pada saat dirinya gelisah atau sedang



tertimpa masalah, hal itu hanya berlangsung satu hari atau lebih dan bersifat sementara, namun untuk insomnia jangka panjang insomnia bersifat jangka panjang dikarenakan masalah tersebut sulit diatasi dan menjadi beban hidup responden. Sedangkan hanya ada 2 responden yang mengalami insomnia kronis, hal ini disebabkan karena penyakit psikologis seperti halusinasi. Berdasarkan hasil penelitian dari El-Gilany, Saleh, El-Aziz, & Elsayed (2017) menunjukkan bahwa masalah tidur pada lansia dapat timbul karena penuaan, selain itu dapat pula karena faktor psikologis dan biologis. Insomnia dapat diklasifikasikan menjadi transient insomnia (terjadi dalam waktu lebih kurang seminggu karena perubahan lingkungan tidur, waktu tidur, depresi berat, atau stres) , gangguan tidur hanya beberapa malam saja.Insomnia ini akan berakhir dari beberapa malam sampai paling lama tiga atau empat minggu. Insomnia ini bisaanya berhubungan langsung dengan peristiwa yang membuat penderita tertekan, misalnya baru kehilangan orang yang dicintai, masalah keuangan,



dirawat dirumah sakit, menghadapi



ujian,



wawancara, pengadilan, hendak bepergian ke luar kota atau pernikahan. Jangan terlalu cemas dengan insomnia jenis ini karena semuanya akan berakhir dengan segera.; insomnia jangka panjang (karena penyakit fisik) bisaanya disebabkan oleh stres mendadak (dari pekerjaan, sekolah, ataupun masalah keluarga); dan insomnia kronik (karena penyakit psikologis seperti halusinasi) Insomnia ini akan berakhir sampai beberapa minggu, bahkan bisa berbulan-bulan atau bertahuntahun. Umumnya penderita termasuk dalam salah satu kelompok kesulitan tidur saat pergi tidur, tidur sedikit sekali atau tidak nyeyak, sering terbangun dan melek selama berjam-jam di tengah malam, terbangun pagi-pagi sekali dan tidak dapat tidur lagi. Berdasarkan penelitian dari Sumirta & Laraswati (2018) memberikan



gambaran bahwa paling banyak lansia mengalami insomnia kategori tinggi yaitu sebanyak 14 orang (46,7%) dengan skor tertinggi adalah 23 termasuk tingkat insomnia tinggi, sedangkan skor terendah adalah 4 termasuk kategori insomnia rendah, 14 responden yang mengalami insomnia kategori tinggi paling banyak yaitu 8 orang (57,1%) berumur 55-74 tahun. Hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar responden mengalami insomnia kategori tinggi, lansia banyak mengalami perubahan salah satunya adalah perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh meliputi kesulitan untuk tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang berlebihan.Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus tidur-terjaga Peneliti berpendapat bahwa pada insomnia jangka pendek dapat berakhir beberapa minggu dan muncul akibat pengalaman stress yang bersifat sementar seperti kehilangan orang yang dicintainya, tekanan ditempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan. Insomnia sementara yaitu pisode malam gelisah yang tidak sering terjadi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti jet lag, konstruksi bangunan yang bising, atau pengalaman yang menimbulkan ansietas. somnia kronis dapat berlangsung selama 3 minggu bahkan bisa sampai seumur hidup. Insomnia ini dapat disebabkan oleh karena kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis, penggunan obat tidur berlebihan, penggunaan alkohol berlebihan. 4.2.3



Hubungan Tingkat Stress Dengan Kejadian Insomnia



Pada Lanjut Usia Di Desa Kersana Berdasarkan tabel. 4.3 menunjukan, Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Spearman Rank diperoleh nilai signifikansi Pvalue sebesar 0,000



(Pvalue < 0,05) menunjukkan H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya bahwa ada hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia pada lansi di Desa Kersana. Responden yang mengalami insomnia sementara dan mengalami tingkat stress ringan sebanyak 26 responden (37,1%), stress ringan yang terjadi pada lansia ditandai dengan banyaknya responden menjawab kuesioner yang menyatakan sering merasa letih, merasa sedih, merasa asing, merasa susah tidur jika malam hari, merasa mudah terjaga dan sulit untuk tidur kembali, stress pada lansia dapat didefinisikan sebagai tekanan yang diakibatkan oleh stresor berupa perubahan-perubahan yang menuntut adanya penyesuaian dari lansia. Tingkat stres pada lansia berarti pula tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan atau dialami oleh lansia sebagai akibat dari stresor berupa perubahanperubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam kehidupan yang dialami lansia. Berdasarkan penelitian dari Indah dan Pepin (2015) menunjukkan bahwa dari 31 responden tingkat stress sedang hampir seluruhnya mempengaruhi insomnia pada lansia sejumlah 19 orang (82,6%) dan yang mengalami tingkat stress berat yang mempengaruhi insomnia pada lansia sejumlah 1 responden (100%). Dari hasil uji statistik spearman rank diperoleh angka signifikan atau nilai probabilitas (0,000) jauh lebih rendah standart signifikan dari 0,05 maka data Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti ada hubungan stress dengan insomnia pada lansia di Desa Gambiran Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang. Sebagian besar 19 responden (61,3%) berumur 60-74 tahun dengan terjadi insomnia, banyak responden yang mengalami insomnia disebabkan insomnia yang mereka alami terlalu mengganggu kualitas tidur mereka dan hanya berlangsung beberapa hari saja. Bentuk gejala insomnia yang jarang dialami responden tersebut seperti jarang



bermimpi buruk, waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur tidak terlalu lama, dan tidak merasa segar setelah bangun pagi dalam waktu 2 – 7 hari. Terjadinya insomnia tersebut karena responden memiliki kebiasaan buruk tidur siang hari dalam waktu yang lama, sehingga pada malam hari mereka sulit untuk memejamkan mata dan tidur. Rasa gelisah sebelum tidur dan rasa tidak segar setelah bangun tidur terjadi karena adanya penyakit fisik yang diderita seperti rasa pusing karena darah tinggi, sering berkemih di malam hari, rasa gatal pada salah satu bagian tubuh. Responden yang mengalami insomnia sementara dengan tingkat stress berat sebanyak 2 responden (2,9%) , secara garis besar faktor yang menyebabkan



insomnia



yaitu



stres,



depresi,



kelainan



kronis,



lingkungan, efek samping, pengobatan, pola makan yang buruk, dan kurang berolahraga. Sebagian besar lanjut usia yang mengalami stres mengalami insomnia. Semakin tinggi tingkat stres maka semakin berkurang waktu tidur lanjut usia. Stres psikologis yang dirasakan oleh lanjut usia dapat mengakibatkan insomnia, mempengaruhi konsentrasi, dan meningkatkan resiko kesehatan serta bisa merusak sistem imun. Kekurangan tidur dapat berpengaruh terhadap fisik, kognitif, dan kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Rafiqah & Tiwi (2018) Hasil perhitungan dengan metode uji statistik Chi Square yaitu hasil =25,155 dengan ρ value=0,00 (ρ