Skripsi Fakultas Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh :



OBRIKA SIMBOLON NIM. 030200151 BAGIAN HUKUM PIDANA



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh :



OBRIKA SIMBOLON NIM. 030200151 BAGIAN HUKUM PIDANA Disetujui oleh : Ketua Bagian Hukum Pidana



(Abul Khair, SH, Mhum) NIP. 131 842 854



Pembimbing I



(Tambah Sembiring SH.)



Pembimbing II



(Berlin Nainggolan SH.,M.Hum.)



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 20007



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Dia yang punya kuasa atas segala hidup manusia di bumi, Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan penyertaannya kepada penulis sehingga di dalam penyelesaian skripsi ini penulis dalam keadaan sehat. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun dengan lapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini. Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasuh yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang dirlukan dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yanh sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., MHum., sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen wali.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 4. Bapak M. Husni, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Abul Khair, SH., MHum., sebagai ketua bagian departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 6. Ibu Nurmalawaty, SH., MHum., sebagai sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 7. Bapak Tambah Sembiring, SH., sebagai Dosen Pembingbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi. 8. Bapak Berlin Nainggolan, SH., MHum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi. 9. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajari dan memberikan ilmunya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini. 10. Bapak Pudja, SH. selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil di kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. 11. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. Osmar Simbolon dan Ibunda R. br. Sitepu, SPd., dengan segala kerendahan hati ku presembahkan karya sederhana ini. Treima kasih buat doa, kasih saying,erta dukungannya, baik moril maupun materil yang tiada hentinya mengalir dicurahkan kepada penulis. Tak lupa buat adik-adik ku, Florikana br. Simbolon, Yulisriana br. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Simbolon dan Michael Simbolon, terima kasih buat doa dan kasih sayangnya selama ini. 12. Teman-teman stambuk 2003, terima kasih buat dukungannya selama ini. 13. Trima kasih buat adik-adik stambuk 2004, 2005, 2006, dan 2007, terima kasih buat dukungannya. 14. Buat kawan-kawan GmnI komisariat Fakultas Hukum USU, KMK St. Fidelis Fakultas Hukum, dan PERMAHI Cabang Medan. 15. Pada pihak-pihak lain yang telah memberkan bantuan kepada penulis untuk Menyusun skripsi ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, kaena masih banyak ditemui tutur kata yang tidak pada tempatnya serta bobot ilmiah yang masih jauh dari yang diharapkan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan petunjuk dan saran dari pembaca semua. Akhir kata penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat berguna bagi kita semua. Serta dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah refrensi bagi pihakpihak yang berkepentingan dalam mengatasi permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini. Medan, 1 September 2007 Penulis



OBRIKA SIMBOLON Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv ABSTRAKSI..................................................................................................................... vi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................................... 4 C. Tujuan Penulisan.................................................................................................... 4 D. Manfaat Penuisan ................................................................................................... 5 E. Keaslian Penulisan ................................................................................................. 6 F. Tinjauan kepustakaan ............................................................................................. 6 G. Metode penelitian................................................................................................... 24 H. Sistematika Penulisan............................................................................................. 26 BAB II : PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING A. Peraturan mengenai Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia ........................... 28 B. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging ................................................. 42 C. Faktor-ni yang mempengaruhi Tindak Pidana Illegal Logging ............................. 48 BAB III : PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING A. Peran PPNS dalam Tindak Pidana Illegal Logging ................................................. 57 B. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri ............................................................ 66 Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



C. Pelaku dan modus perandi tindak pidana llegal logging .......................................... 71 BAB IV : KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PPNS A. Kendala yang dihadapi PPNS dalam penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging ................................................................................................................. 75 B. Upaya-upaya yang dilakukan ................................................................................ 84 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan. ........................................................................................................... 92 B. Saran . .................................................................................................................... 95



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



ABSTRAK



Pembalakan hutan di Indonesia menjadi salah satu kejahatan yang berat dan sulit di berantas. Hutan yang berfungsi sebagai sakah satu penentu penentu system penyangga kehidupan. Keadaannya sekarang cenderung menurun kelestariannya. Oleh karena itu pemerintah berusaha mengadakan pengaturan-pengaturan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Untuk itu diperlukan adanya pengawasan hutan secara terpadu sehingga dapat meminimalkan kerusakan yang terjadi. Dalam skripsi ini penulis mengangkat persoalan bagaimana peran Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam pemberantasantindak pidana illegal logging, dan apa-pa saja kendala yang dihadapi oleh Penyidik Pegawai Negri SIpil dalam usaha pemberantasan tindak pidana illegal logging, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk pemberantasan tindak pidana illegal logging. Penelitian ini dilakukandengan cara penelitian lapangan dengan studi kepustakaan, yaitu dengan melakukan penelusuran terhadap buku-buku literature-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana llegal logging juga melakkan wawancara secara langsung dngan pihk-pihak yang terkait dengan pihak-pihak yang terkait dengan penyidik PNS dengan menggunakan data di atas pada Bab Pembahasan dijelaskan dan diuraikan hasil-hasil penelitian melalui data primer dan sekunder yang kemudian di seleksi serta dianalisa sedangkan data yang diperoleh di lapangan di edit sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai jawaban dari permaslahan yang dibahas yaiu mengenai peran Penyidik PNS. UU No. 41 Tahun 1999 merupakan upaya untuk menanggulangi tindak pidana illegal logging akan tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan bagaimana variatifnya modus operandi tindak pidana illegal logging. Dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana illegal logging maka tunduk kepada UU No.41 Tahun yang tidak terlepas dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP Peran Penyidik PNS bidang kehutanan dalam tindak pidana illegal logging lebih efektif dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal loging hal ini disebabkan karena keterbatasan yang selalu dihadapi Polri Khususnya keterbatasan personil di bidang penyidik dan keterbatasan di bidang pengetahuan di bidang tertentu yang menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi. Dan berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa. Kendala-kendala yang dihadapi Penyidik PNS dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging secara umum adalah : lemahnya koordinasi antar penegak hukum, pelaku utama (actor intelektual) yang sulit ditembus oleh hukum, adanya otonomi daerah, kurangnya sarana dan sarana dan prasarana, dan keterbatasan dana. Bahwa supaya peangulangan tindak pidana illegal logging adalah dengan mningkatkan pemberantasan illegal logging di seluruh Indonesia, mempersiapkan aparatur penegak hukum baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan memberlakukan peraturan tentang hutan sebaik-baiknya. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar belakang Negara Indonesia merupakan negara yang subur akan kekayaan alam yamg



terkandung di dalamnya. Di Indonesia hutan terancam kekayaan alamnya baik itu dari alam ataupun dari tangan manusia itu sendiri. Untuk itu pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya hutan sebagai ekosistem secara adil, demokratis, efisien, dan profesional guna menjamin keterlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan bagi masyarakat. Kerusakan hutan di berbagai belahan bumi sudah terjadi sejak pecahnya perang Dunia I memasuki abad teknologi industri di Prancis dan Inggris. Di Negara berkembang, kersakan hutan tampak makin mencemaska dengan pesatnya daya pengelolaan hutan yang tidak diikuti dengan norma-norma yang tela ditetapkan secara yuridis. 1 Persoalan yang paling mencolok di bidang kehutanan adalah marakanya praktek pembalakan liar atau illegal logging. Penebangan liar (illegal logging) nyatanya hingga saat ini masih hampir terjadi di seluruh dunia, namun yang paling parah justru banyak dilakukan di kawasan Asia pasifik, khususnya di Negara-negara Amerika latin, Benua Afrika, dan ASEAN yang keadaanya makin hari semakin mengkhawatirkan. Diduga illegal logging yang menghancurkan jutaan hektare hutan hujan tropis ini, diatur oleh semacam sindikat yang terkoordinasi rapi hingga pihak berwajib pun sulit untuk membongkarnya. 1



Zain,Alam Setia, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan. Penerbit Rineka cipta, 1997, hal 14



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Menghadapi kenyataan seperti ini diperlukan langkah-langkah pengamanan yang efisien dan sefektif mungkin, dengan cara pengamanan hutan oleh Polri dan masyarakat serta seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga dan memelihara keamanan dalam negri termasuk keamanan hutan Lahirnya Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai dasar penegakan hukum terhadap aksi illegal logging di Indonesia memang dirasakan belum maksimal. Polri sebagai institusi yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana masih banyak mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan merupakan salah satu bentuk penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negri Sipil. Penyidikan ini dimaksudkan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau yang berkenaan laporan atau keterangan berkenaan tindak pidana di bidang illegal logging. Dalam melakukan tugasnya penyidik di bidang tindak pidana kehutanan selaku penyidik Pegawai Negri Sipil harus berlandaskan kepada Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan KUHAP. Selanjutnya berdasarkan pasal 7 ayat (2) KUHAp dinyatakan adanya koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri. Pada hakekatnya penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan merupakan salah satu upaya untuk menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan kehutanan. Penyidikan merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan yang diinstruksikan untuk disidik.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Penyidik menurut pasal 1 huruf 1 KUHAP adalah Polisi NegaraRepublik Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil didorong oleh suatu kebutuhan akan aparat penegak hukum di bidang tertentu yang disebabkan perkembanagan dewasa ini. Keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil secara implisit diatur di dalam pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP dengan wewenang sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya. Keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam sistem peradilan pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan Polri sehingga oleh karenanya KUHAP mengatur pula bahwa di dalam pelaksanaan tugas penyidikan Pegawai Negri Sipil berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal ini sesuai denganm ketentuan Pasal 6 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat(1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Hal ini disebabkan karena keterbatasan yang selalu dihadapi Polri khususnya keterbatasan personil di bidang penyidik, dan keterbatasan pengetahuan di bidang tertentu menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi. Meskipun kewenangannya selaku penyidik umum memungkinkan Polri menjangkau semua jenis tindak pidana. Dengan keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil tersebut, maka tindak pidana tertentu yang terjadi di luar KUHP telah ada organ yang menanganinya, Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



termasuk tindak pidana di bidang kehutanan yang penyidikannya



dan



penanganannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil.



B.



PERMASALAHAN



Tindak pidana di bidang kehutanan seperti yang tercantum dalam UndangUndang 41 tahun 1999 bukan merupakan delik aduan. Oleh sebab itu Penyidik dalam bidang kehutanan baik Polisi maupun Penyidik Pegawai Negri Sipil dapat melakukan penyidikan baik setelah menerima laporan atau pengaduan maupun belum menerima laporan dari masyarakat dan orang yang dirugikan. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini, sebagai berikut : 1.



bagaimana kinerja Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging?



2.



Bagaimana kendala-kendala Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam menanagani Tindak pidana illegal logging serta upaya yang dilakukan?



C.



TUJUAN PENULISAN



Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah: 1.



Untuk mengetahui peran Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam penanggulangan tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal logging.



2.



untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Peyidik Pegawai Negri Sipil dalam penanggulangan tindak pidana Illegal logging.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



3.



Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang illegal logging.



D.



MANFAAT PENULISAN



Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah: 1.



secara toritis diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas mengenai peran Penyidik Pegawai Negri Sipil, yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembanagan hukum pidana Indonesia.



2.



Secara praktis a.



sebagai masukan atau pedoaman bagi aparat penegak hukum maupun praktisi hukum dalam menentukan kebijakan untuk menangani dan menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana illegal logging khususnya



b.



Memberikan sumbangan pikiran dan kajian tentang peran Penyidik, terutama Penyidik Pegawai Negri Sipil di bidang kehutanan.



c.



Memberikan sumbangan pemikian bagi masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai wewenang penyidik di bidang tindak pidana kehutanan.



E.



KEASLIAN PENULISAN



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Skripsi ini berjudul “ Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging” Penulisan ini dilakukan oleh peneliti dimulai dengan mengumpulkan bahanbahan yang berkaitan dengan tindak pidana illegal logging, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan degan keaslian judul skripsi ini, pada saat penulis menulis skripsi ini belum ada judul yang sama, walaupun ada judul yang berbicara tentang “illegal logging” namun judul dan objek pembahasan yang dibicarakan tidak sama. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi, maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Peyidikan 1.1 Pengertian Penyidikan Sebelum sampai pada tahap Penyidikan terhadap suatu peristiwa yang daianggap sebagai tindak pidana terlebih dahulu harus dilakukan suatu proses yang disebut penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Dengan kata lain penyelidikan tersebut dilakukan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana. Sedangkan yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) seperti yang termuat dlam pasal 4 KUHAP. Pada tahap penyelidikan ini penyelidik berusaha atas inisiatif sendiri menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah benar merupakan tindak pidana sehingga dapat diproses lebih lanjut. Berita Acara Penyelidikan dan melaporkannya kepada Penyidik untuk diproses lebih lanjut. Berita Acara Penyelidikan ini akan dijadikan Penyidik sebagai dasar dalam rangka proses Penyidikan. Terutama dalam menentukan tindakan-tindakan apa yang diperlukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan sehingga menjadi jelas tindak pidananya (criminal act) dan siapa pelaku yang akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang terjadi tersebut.(criminal responsibility) 2. Dalam pasal 1 angka1 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Dalam pelaksanaanya lebih lanjut pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa: 1) Penyidik adalah : a. pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertenti sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. 2) dalam hal di suatu tempat sektor Kepolisian tidak ada Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah Penyidik



2



Djoko Prakoso,Eksistensi Jaksa Di Tengah-Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985,hal 48



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjuk oleh kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 4) Wewenang peunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh mentri atas usul dari Departemen yang membawahkan Pegawai Negri tersebut. Mentri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepolisian Republik Indonesia. 6) Wewenang Pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Mentri3. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 1 angka 1 KUHAP ada dua badan yang berhak dan berwenang melakukan penyidikan yaitu: a.



Pejabat Polisi Negara republik Indonesia



b.



Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.



Namun selain kedua penyidik di atas ada dikenal juga penyidik perwira TNIAL dan kewenangan melakukan penyidikan oleh Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus sepertiTindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Subversi, dan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatkan bahwa dalam dua tahunsetelah berlakunya KUHAP masih diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. 4 Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa Polisi memiliki tugas ganda yaitu selain dibebanitugas sebagai Penyidik, polisi juga dibebani tugas sebagai seorang penyidik. Dari Pengertian Penyelidikan dan Peyidikan yang tercantum dalam KUHAP menunjukkan bahwa antara Penyelidikan dan Penyidikan adalah merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dan saling menunjang 3



M.Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 97 4 IGM Nurjana,dkk,Korupsi dan Illegal Logging DAlam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2005,cetakan I,hal 131. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



antara satu dengan yang lain. Proses Penyelidikan yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan memperlancar proses Penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Di samping pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 6 KUHAP, dalam Pasal 10 KUHAP ditentukan pula tentang pejabat Penyidik pembantu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983, ditentukan penyidik pembantu adalah : 1) Penyidik Pembantu adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi. (Serda). b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu dalam Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul Komandan atau Pimpinan Kesatuan Masingmasing. c. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Reublik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 5 Dengan demikian istilah “Kepolisian Sebagai Penyidik Tunggal” tidaklah tepat dan idak lebih tepat lagi bila istilah tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 yang menyatakan : “ Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik yang berwenang lainnya” 6 1.2 kewenanagan penyidikan Dari pengertian penyidikan yang tercantum dalam pasal 1 angka 2 KUHAP: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Dari rumusan pengertian penyidikan di atas maka tugas utama penyidik adalah : 5 6



M. Yahya Harahap, Op.Cit,hal.98 Ibid, hal.102



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



a.



Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi.



b.



Menemukan tersangka



Demi tercapainya tugas utama penyidik diberikan kewenangan-kewenangan dalam melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam pasal 7 KUHAP yaitu:



1) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewjibannya mempunyai wewenang “ a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana ; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian ; c. menyuruh berhenti seorang tersangka atau memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan,dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar atau didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. 2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang Yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a. 3) Dealam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Secara umum hak seorang Penyidik pegawai Negri Sipil dengan Penyidik Polri itu adalah sama, hanya saja ruang lingkup dan kewenangan masing-masing yang berbeda. Kewenangan Penyidik Pegawai Negri Sipil itu terbatas pada kejahatan tertentu dalam ruang lingkup tugas instansi di tempat pejabat tersebut berada. Ketentuan mengenai penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur secara khusus dalam Pasal 77 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dimana dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun1999 dinyatakan bahwa: Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



“ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagai penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” 7 Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini adalah merupakan penjabaran dari Pasal 6 ayat(1) KUHAP. Dalam penjelasan Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negri Sipil di tingkat pusat maupun tingkat daerah yag mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan. Mengenai kewenangan dari PPNS Kehutanan tersebut diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai bentuk penjabaran dari Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa wewenang PPNS diatur dalam Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan : Pejabat Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk : a.



b.



c. d.



e.



7



Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan ,dan hasil hutan; Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; Memeriksa tanda pengenal seorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutansesuai dengan peraturan perundangn yang berlaku; Menerima keterangan dan barang bukti dari orang atau badan huklum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan kawasan hutan,dan hasil hutan;



Undang-Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999, Penerbit Eko Jaya, Jakarta,2004.hal 92



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



f.



g. h.



Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Membuat dan menendatangani berita acara; Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. 8



Sedangkan mengenai kewenangan yang lainnya adalah berbeda. Perbedaanperbedaan itu ditemukan di dalam melakukan penahanan dan penangkapan. Penyidik Pegawai Negri Sipil tertentu dikatakan sebagai seorang penyidik apabila telah memenuhi syarat yang antara lain harus sehat jasmani dan rohani serta sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (II/b). setelah memenuhi syarat-syarat tersebut



maka penyidik tersebut



haruslah mempunyai surat



pengangkatan dari Mentri Kehakiman atas usul Departemen yang membawahi pejabat tersebut, dengan terlebih dahulu mendengar Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Selain PPNS Kehutanan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ada juga dikenal Polisi Hutan (polhut) yang bertugas melakukan perlindungan hutan yang dahuklu dikenal dengan istilah “jagawana”. Mengenai kewenangan Polhut ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu disebutkan bahwa : “ Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaanya diberikan wewenang kepolisin khusus”. Kewenangan Polisi Kehutanan (polhut) ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Yaitu: 8



Ibid, hal 92-93



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



a.



mengadakan Patroli / perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya



b.



memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;



c.



menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;



d.



mencari keterangan dan baranag bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;



e.



dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang.



f.



Membuat



laporan dan



menendatangani



laporan tentang



terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Bila dibandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat dalam pasal 7 KUHAP, maka PPNS Kehutanan dan Polisi Hutan (Polhut) tidak mempunyai kewenangan : a.



melakukan penangkapan dan penahanan



b.



melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat



c.



mengambil sidik jari dan memotret seseorang



d.



mendatangi seorang ahli



e.



mengadakan tindakan lain yang menurut hukum bertanggungjawab.



Mengenai mekanisme tata kerja PPNS Kehutanan diatur juga secara khusus dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu dimuat dalam Pasal 77 ayat (3) : Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



“ Pejabat Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikandan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” Bila kita perhatikan rumusan dari pasal 77 ayat (3) ini agak menyimpang dari apa yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP menngenai mekanisme tat kerja PPNS. Di dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya PPNS berada di bawah pengawasan dan koordinasi penyidik Polri namun dalam pasal 77 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 secara tegas memberikan kewenangan kepada PPNS kehutanan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus Kehutanan yang



langsung diserahkan berkasnya kepada Penuntut Umum untuk



proses hukum lebih lanjut, ini berarti dapat dilakukan penyidikan tanpa koordinasi dengan Polri. Tumpang tindihnya kebijakan ini akan membawa dampak negatif yaitu akan muncul arogansi masing-masing penyidik yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan perlindungan dan penanggulangan tindak pidana di bidang kehutanan. Selain Penyidik Polri dan Penyidik PPNS Kehutanan dan Polisi Hutan (Polhut) penyidik perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan departemen kehutanana juga diberikan kewenangan dalam rangka peyidikan terhadap penyeludupan kayu illlegal yang merupakan bagian dari kejahatan illegal logging 9. Kondisi seperti ini tentu memungkinkan sekali terjadi tumpang tindih penyidikan terhadap satu tersangka tindak pidana illegal loggiong masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi ke dalam suatu lembaga penyidikan yang terpadu sehingga berpotensi menciptakan konflik antar penyidik tersebut. 2 9



TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING IGM Nurjana.dkk, Op Cit, hal 11



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



2.1 Pengertian tindak pidana Pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu straf, yang kadang-kadang disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah asing terdapat di dalam hukum pidana Belanda (WvS) yang dikenal dengan istilah “stafbaarfeit”, dimana seperti kita ketahui bahwa WvS Hindia Belanda yangsekarang menjadi KUHP kita adalah merupakan terjemahan dari WvS Belanda. Tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai arti dan isi dari istilah tersebut, baik dalam WvS Belanda maupun dalam WvS Hindia Belanda (KUHP). Tindak pidana adalah prilaku yang ada pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum. 10 Istilah stafbaarfeit ini terdiri dari (3) tiga kata yaitu : 1.



Straf diterjemahkan sebagai pidana atau hukuman



2.



Barr diterjemahkan sebagai dapat atau boleh



3.



Feit diterjemahkan sebagai perbuatan



Jadi istilah Strafbaar feit secara etiomologi dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau dihukum.



10



Jan Remelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-Undang Hukum Pidana Belandadan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003, hal 61 Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Istilah lain yang sering dipergunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strsfbaarfeit adalah : a.



tindak pidana, yang merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan kita yang sering digunakan. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana, baru menjadi penting dalam hukum pidana,apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia baik aktif maupun pasif. Tindak pidana menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif atau aktif. Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatn untk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP.



b.



Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan starfbaarfeit. Delik merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana 11.



c. 11



Pelanggaran Pidana.



Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga,Jakarta,hal 9



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



d.



Perbuatan yang boleh dihukum



e.



Perbuatn yang dapat dihukum



f.



Perbuatan Pidana Karena tidak adanya penjelasan yang resmi mengenai arti dan isi dari



istilah “straffbaarfeit” tersebut maka beberapa ahli hukum berusaha memberikan pendapat mereka mengenai defenisi dari istilah “straffbaarfeit” tersebut antara lain: Pompe, ia merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah titindak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 12 Sedangkan R. Tresna merumuskan bahwa peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 13 Dari rumusan defenisi strafbaarfeit (tindak pidana) yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strafbaarfeit (tindak pidana) adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman dan atas perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: 1.



Harus merupakan suatu perbuatan manusia



2.



Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.



12 13



Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 72 Ibid



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



3.



Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut. (Simon) 14



Dari sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundangundangan yang ada. Dalam KUHP terdapat adanya beberapa unsur dari tindak pidana, yaitu : a.



Unsur tingkah laku



b.



Unsur melawan hukum



c.



Unsur kesalahan



Di samping itu dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis yindak pidana, diantaranya adalah: 1.



Menurut dari sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP, dimana kejahatan dijatuhkan terhadap tindak pidana yang berat, misalnya pembunuhan. Pelanggaran diatur dalam Buku III KUHP, pelanggaran dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan, seperti tidak memakai helm pada waktu berkendaraan di jalan raya.



2.



Menurut cara perumusannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya, dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang, jadi tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan perundangundangan pidana. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu perbuatan melarang



14



Satochid K, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, hal 65



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



untuk mengambil milik orang lain. Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang. Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Misalnya Pasal 338 KUHP, akibat yang dilarang tersebut adalah hilangnya nyawa orang lain. 3.



Berdasarkan macam perbuatannya dibedakan, antara tindak pidana komisi dan tindak pidana omisi. Tindak pidana komisi adalah tindak pidana yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang. Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang terjadi karena seseorang tidak berbuat sesuatu. Misalnya tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan.



4.



Berdasarkan bentuk kesalahannya dibedakan antara dolus dan culpa, dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau karena kealpaan.



5.



Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan antara tindak pidana aduan (klachtdelict) dan tindak pidana biasa. Tindak pidana aduan



adalah tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat



dilakukan penuntutan, apabila ada pengaduan. Misalnya Pasal 284 KUHP, mengenai tindak pidana perzinahan. Tindak pidana aduan ada dua macam, yaitu tindak pidana aduan mutlak atau absolut dan tindak pidana aduan relatif. Tindak pidana aduan mutlak, yaitu tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu harus ada. Sedangkan tindak pidana aduan relatif adalah sebaliknya,



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



ialah hanya dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat maka tindak pidana itu menjadi aduan. Tindak pidana biasa maksudnya tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. 6.



Berdasarkan sumbernya, tindak pidana dibagi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP, yaitu yang terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP, sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang pengaturannya terdapat di luar KUHP, seperti Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Walupun sudah ada kodifikasi tetapi adanya tindak pidana di luar KUHP adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Karena perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.



7.



Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya. Tindak pidana yang terjadi seketika, bahwa untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau dalam waktu singkat. Tindak pidana yang berlangsung lama,. Yakni setelah perbuatan dilakukan. Tindak pidana itu masih berlangsung terus, tindak pidana itu dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan keadaan terlarang.



Pengertian illegal logging



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam peraturan Perundang-undangan yang berlakau tidak ada yang secara eksplisiy menyebutkan defenisi dari istilah illegal logging secara tegas. Bahkan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah ada di temukan istilah illegal looging, istilah illegal logging ini pernah digunakandalam Inpres RI No. 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (illegal logging ) dan Peredaran Hasil huutan ilegal di kawasan ekosis tem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting dimana istilah Illegal logging ini disamakan dengan Penebangan Kayu Illegal tetapi dengan berlakunya Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia maka Inpres No. 5 Tahun 2001 tidak berlaku lagi. Dalam Inpres No. 4 tahun 2005 tersebut tidak ada menggunakan istilah “ Penebangan Kayu Secara Illegal” begitu pula halnya sdengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga tidak ada menggunakan istilah “illegal logging” Secara terminologi istilah illegal logging yang merupakan bahasa Inggris terdiri dari 2 kata : 1. illegal, yang artinya tidak sah, dilarang arau bertentangan dengan hukum, haram. 2. Log, yang artinya batang kayu, kayu bundar dan gelondongan. Sehingga kata logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. 15 Dari pengertian “Illegal logging” tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari illegal logging adalah menebang kayu dan kemudian membawa ke



15



Jhon M Echols, An English-Indonesian Dictionary, Cetakan XXIII, Gramedia, Jakarta,1996, hal 363 Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau menebang kayu secara tidak sah menurut hukum. Forest Wacth Indonesia (FWI) dan Global Forest Wacth (GFW) menggunakan istilah :Pembalakan Illegal” sebagai sinonim dari “illegal logging”. Pembalakan kayu adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sementara menurut Drs. IGM. Nurdjana Illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfatan dan pengelolaan hasil hutan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak hutan. Sedangkan Riza Suarga megatakan bahwa illegal logging adalah sebuah praktek eksploitasi hasil hutan berupa kyu dari kawasan hutan negara melalui aktifitas penebangan pohon atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil tebanagn yang tidak sah. 16 Esensi yang penting dalam praktek Illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui perencanaan secara komprehensif, maka illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada pengrusakan lingkungan. Terkait



dengan pengrusakan



lingkungan hidup adalah tindakan



yang



menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang



16



Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, Wana Aksara, Jakarta, 2005,hal 7



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



mengakibatkan



lingkungan



hidup



tidak



berfungsi



lagi dalam menunjang



Pembangunan berkelanjutan. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1) yaitu bahwa “Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”. Dari pengertian illegal logging di atas maka dapat dilihat bahwa kejahatan illegal logging tersebut bukan hanya sebatas menebang kayu secara illegal tetapi lebih luas lagi. Selain penebangan kayu, mengangkut kayu, pengelolaan kayu penjualan kayu, pembelian kayu yang tidak dilengkapi dengan surat izin dari pihak yag berwenang adalah merupakan bagian dari kejahatn illegal logging. G.



Metode Penelitian



1. Jenis penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adlah metode penelitian yuridis empiris (sosiologis yang deskriptif. Dalam hal penelitian hukum yang sosiologis menggunakan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan judul skripsi ini yang berjudul “ PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING” dan juga melekukan penelitian mengenai kendala-kendala apa saja yang di hadapi PPNS dalam Penanggulangan tindak pidana Illegal logging. 2. Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitian yang akan Penulis laksanakan adlah di Dina Kehutanan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 3. Sumber data Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Data yang didapat dalam penulisan ini adalah bersumber dari : a.



Data Primer, yang merupakan data pokok yang bersumber dari responden yang ada terkait dengan permasalahn dalam penulisan skripsi ini.



b.



Data Sekunder, data yang diperileh dari bahan baku pennjang yang



mencakup



bahan yang



memberi petunjuk



maupun



penjelasan terhadap data Primer dan data yang diperoleh dari Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku. Yang berkaitan dengan Permasalahan dalam skripsi ini. 4. Metode Pengumpulan data Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adlah a. Studi Kepustakaan, yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai literatur yang berhubengan dengan judul skripsi ini. b. Wawancara Langsung, melakukan penelitian langsung ke lapangan dalam hal ini Penulis langsung mengadakan penelitian ke Kantor Dinas Kehutanan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan teknik wawancra secara lisan. 5. Analisis Data Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambatan yang jelas dan menyeluruh mengenai Peranan Penyidik PNS dalam menanggulangi tindak pidana Illegal logging.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



H.



Sistematika Penulisan Dalam rangka memberukan gambaran yang jelas dari maksud dan tujuan



serta hubungan antara bagian yang terpenting dalam tuisan ini, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam Bab-Bab dan masing-masing Bab dibagi ke dalam Sub Bab yabg secara garis besar terdi dari: 1. BAB I :



Pendahuluan



Yang menjadi sub Bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. 2. BAB II:



Perspektif Hukum Indonesia Tentang Illegal logging



tang terdiri dari sub bab : Peraturan menegenai tindak pidana Illegal logging di Indonesia, Proses Penyidikan Tindak Pidana ILLegal Logging, Faktor-faktor yang mempengaruhi illegal logging. 3. BAB III :



Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal



Logging yang terdiri dari sub bab, Peran PPNS Dalam Tindak Pidana Illegal Logging, Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri, Pelaku dan Modus Operandi Tindak Pidana Illegal Logging 4. BAB IV :



Kendala-Kendala Yang dihadapi PPNS



yang terdiri dari sub bab, Kendala Yang Dihadapi PPNS Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging, Upaya- upaya yang dilakukan. 5. BAB V :



Penutup



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dalam bab ini penulis membuat satu Kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



BAB II PERPEKTIF HUKUM INDONESIA TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING



A.



Peraturan mengenai tindak Pidana Illegal logging



A.1 ketentuan pidana di bidang kehutanan Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata Pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Pada saat diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, Pasal 83 mencabut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Semakin berkembang dan kompleksnya kejahatan di bidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk di pertahankan. Melihat keadaan ini maka Pemerintah (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU No. 5 tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan namun diatur dalam Peraturan Pelaksananya berdasarkan Pasal 15 UU No. 5 tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 41 Tahun 199 disebutkan bahwa: “ Semua peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan dikeluarkannya Peratuaran Pelaksana yang berdasarkan undang-undang ini”.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Untuk menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan kejahatan Illegal logging pada khususnya maka ketentuan pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan illegal logging antara lain pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Dalam penjelasan umum paragraf ke 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikatakan, diberikannya sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang Kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan akan tetapi juga kepada orang lain, yang mempunyai kegiatan di dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat. Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu; 1.



Pidana Penjara



2.



Pidana denda



3.



Pidana Perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.



Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. jenis



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yangmelakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi: “ Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”



Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak Menguasai dari Negara ini dalam tingkatan tertinggi : a.



mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya.



b.



Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas (bagian dari) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.



c.



Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 17



Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku di Indonesiayang mengatur mengenai Illegal logging, yang akan di uraikan satu persatu di bawah ini: 1.



Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pada dasarnya undang-undang ini tidak secara tegas mengatur secara khusus



tentang Kehutanan, tetapi yang diatur hanyalah hubungan-hubungan hukum yang 17



Ap. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 43



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum dalam Pasal 46 UUPA, yang berbunyi: 1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah 2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang memenuhi syarat ) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2.



Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal.



Hal-hal yang ditur dalam UUPK, adalah : (1) pengertian hutan, hasil hutan,kehutanan, hutan menurut pemilikannya, dan fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan hutan; (4) pengusahaan hutan ; (5) perlindungan hutan; dan (6) ketentuan pidana dan penutup. UUPK dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, seperti : a. PP Nomor 22 Thun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan b. PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. c. PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



d. PP Nomor 18 Tahun !975 tentang Perubahan Pasal 9 PP No. 21 tahun 1970 tentang hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan. e. PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan f.



PP Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri



g. Kepres Nomor 66 tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan h. Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan i.



Kepres Nomor 19 Tahun 1974 Tentang berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI.



j.



Kepres Nomor 48 tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.



k. Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. l.



Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang Perubahan atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu



m. Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda. n. Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang Perubahan Kepres Nomor 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen. o. Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



p. Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentangt Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung q. Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri. 3.



Undang-Undang Nomor 41 Thun 1999 sebagai Pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.



Ada empat pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang ini yaitu: a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah dari Tuahan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; b. Bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaanya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profsional, serta bertanggung-gugat; c. Bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional; d. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8)sudah tidak Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti; hal-hal yang ditur dalam Undang-Undang ini, yaitu ; a. Ketentuan Umum b. Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9) c. Pengurusan Hutan (Pasal 10) d. Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20) e. Pengelolaan Hutan ( Pasal 21 s/d Pasal 51) f. Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52 s/d Pasal 65) g. Penyerahan wewenang ( Pasal 66) h. Masyrakat hukum adat ( Pasal 67) i.



Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69)



j.



Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73)



k. Penyelesaian sengketa Kehutanan ( Pasal 74 s/d Pasal 76) l.



Penyidikan (Pasal 77)



m. Ketentuan Pidana ( Pasal 78 s/d Pasal 79) n. Ganti rugi dan sanksi adaministratif ( Pasl 80) o. Ketentuan Peralihan ( Pasal 81 s/d Pasal 82) p. Ketentuan Penutup ( Pasal 83 s/d Pasal 84) UU No 41 tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action), yaitu gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupn masyarakat; penyelesaian sengketa Kehutanan; ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi administratif. UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundangan lainnya. Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti : a.



Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan



b.



Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota



c.



Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan



d.



Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan



e.



Instruksi Presiden No. 4 Athun 2005 tentang Pemberantasan Penebanagn Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.



f.



Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting.



4.



Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup



Ada lima pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang ini, yaitu; a.



Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan Nusantara.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



b.



Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.



c.



Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi,



selaras,



dan



seimbang



guna



menunjang



terlaksananya



pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. d.



Penyelenggaraan



pengelolaan



lingkungan



hidup



dalam



rangka



pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunagn hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan hidup. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini, yaitu; a.



Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2)



b.



Azas, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d Pasal 4)



c.



Hak, Kewajiban dan Peran serta masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7)



d.



Wewenang Pengelolaan lingkungan hidup (Pasl 8 s/d Pasal 13)



e.



Pelestarian fungsi lingkungan hidup ( Pasal 14 s/d Pasal 17)



f.



Persyaratan penataan lingkungan hidup (Pasal 18 s/d Pasal 29)



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



5.



g.



Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup (Pasal 30 s/d 39)



h.



Penyidikan (Pasal 40)



i.



Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48)



j.



Ketentuan Peralihan (Pasal 49)



k.



Ketentuan Penutup (Pasal 50 s/d Pasal 52)



Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang



Ada tiga pertimbanagn Undang-Undang ini di tetapkan, yaitu ; a. Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang Undang tersebut; b. Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang di kawasan hutuan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi; c. Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



A.2.



Ketentuan pidana lain terkait dengan illegal logging Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus



yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan illegal logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan



18



Pada dasarnya kejahatn illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompkkan dalam beberapa bentuk kejahatansecara umum yaitu: 1.



Pengrusakan Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP



terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barangbarang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum. Unsur Pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawassan terhadap hutan, untuk tetap menjamin kelestarian fungsi huutan. Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai denagn Pasal 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling



banyak Rp.



4500 (empat ribu lima ratus rupiah) yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah(gedung) atau kapal. Hukuman itu di tambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama. 2. 18



Pencurian IGM Nurjana, Op Cit, hal 119



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a.



Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.



b.



Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.



c.



Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.



d.



Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebanagn kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 Tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun.



3.



Pemalsuan Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan materai dan



merk diatur dalam Pasal 253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering di gunakan oleh pelaku dalam melekukan kegiatannya adalah Pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan. Ancaman hukuman terhadap terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materai dan merk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun. 4.



Penggelapan Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377.



Dalam Penjelasan pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di dalam kekuasaannya untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada(over capasity). Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah). 5.



Penadahan Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain dari perbuatan persekongkolan



atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480 dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang ytang diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual , menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil illegal logging yang nyatanyata diketahui oleh para pelaku baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah)



B.



Penyidikan tindak Pidana Illegal logging



Untuk dimulainya suatu Penyidikan Polisi harus mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana yang terjadi. Pasl 106 KUHAP merumuskan sebagi berikut: “ Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konskoensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sutau tindak pidana adalah benar-benar merupakan tindak pidana. 19Dimulainya penyidikan secara formal prosedural dengan di keluarkannya suatu perintah penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu : (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2) pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media massa.



19



Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Penerbit Rineka Cipta 1991,hal 87 Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang berwenag untuk menindaknya menurut hukum. Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana perbedaan tersebut sebagai berikut: 1.



Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa, sedangkan pengaduan dilakukan terhadap tindak pidana aduan.



2.



Untuk melakukan penentutan suatu delik biasa atau tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat, artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan penentutan.



3.



Laporan dapat dilakukan atau diajuakn oleh siapa saja atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang yang dirugikan.



4.



Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu tetentu, sedangkan pengaduan hanya dapat disampaikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1 KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan pengaduan yaitu enam bulan setelah yang berkepentingan menegetahui tindak pidana itu apabila pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang yang berkepentingan



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



yang berdiam di luar Indonesia, jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana itu. 5.



laporan yang sudah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik tidak dapat dicabut kembali, sedangkan pengaduan yang telah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik dapat mencaabut kembali pengaduannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan pengaduan itu.



6.



Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.



Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebutu, karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka perlu diperhatiakn antara delik aduan absolut atau delik aduan relatif. Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang penentutannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika di kemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana di luar KUHAP tidak terdapat ketentuan yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau pengaduan dari seseorang atau warga masyarakat tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana. Laporan atau pengaduan dapat dilakukan secara lisan maupun secara tulisan oleh setiap orang yang mengalami atau yang menjadi korban tindak pidana atau mengetahui/melihat/menyaksikan terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana. Maka merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan bahkan dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang brtentangan dengan tugas dan kewajibannya apabila terjadi ada penyidik yang bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia menerima laporan atau pengaduan dengan berbagai macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak pidana atau perkara itu sudah kadaluwarsa atau nebis in idem. Penyidikan terhadap tindak pidana illegal logging, dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Wewenang pejabat Pegawai Negri sipil kehutanan sebagai penyidik diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yaitu: a.



melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



b. c. d.



e.



f.



g. h.



melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; membuat dan menandatangani berita acara; menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku tugas dan kewajiban



penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan adalah memberikan “ Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan” kepada orang yang menyampaikan laporan/ pengaduan penyidik yang bersangkutan wajib segera menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah: “Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau mebantu melakukan tindak pidana itu” Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap basah, dan menurut HIR meyebutkan kedapatan tengah berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana kedapatan sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera kedapatan sesudah itu ada orang diserukan oleh suara ramai sebagi orang yang melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang-barang, Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang melaksanakan atau membantu melakukannya. Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut ketentuan KUHAP kadangkadang diawali dengan tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun dalam tahap pertama sebelum penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum penyempurnaan berita acara pada tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan pendahuluan. Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan ini dihentikan atau tidak dilanjutkan karena suatu alasan. Pasal 102 ayat (2) KUHAP menetapkan alasanalasan penghentian penyidikan yaitu: 1.



Tidak terdapat cukup bukti



2.



Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana



3.



Penyidikan dihentikan demi hukum



Selanjutnya setelah penyidikan selesai dilakukan maka penyidik dalam hal ini wajib segera menyerahkan berkas-berkas kepada penuntut umum, dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS maka penyerahan berkas harus melalui Penyidik Polri. Dan penuntut umum juga berhak mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi. Hal inilah yang dikatakan penyidikan tambahan oleh Polisi dalam KUHAP. Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum maka menurut Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas tersebut, penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik atau sebelum 14



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



hari penuntut umum telah memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai, maka barulah penyidikan telah selesai. Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan dianggap selesai atau tuntas apabila segala berkas perkara yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum oleh penyidik beserta dengan



si tersangka dengan tidak mengandung kekurangan-



kekurangan lagi untuk selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang pengadilan oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barangbarang bukti kepada jaksa atau penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)



C.



Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana illegal logging Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar biasa, banjir longsor,



kebakaran, bahakan hingga kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging yang terjadi khususnya di kawasan hutan yang ada di Propinsi Sumatera Utara yang telah berlangsung cukup lama telah membawa hutan dalam kondisi yang rusak parah. Praktek illegal logging yang terjadi telah mengantarkan hutan dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut ada namun tidak lagi sesuai fungsinya seperti apa yang digunakan dan diamanatkan dalam UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Maraknya praktek illegal logging yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor: 1.



Lemahnya sisitem pengawasan hutan dan koordinasi antara aparat penegak hukum



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Pengelolaan hutan merupakan usaha yang meliputi beberapa aspek seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi, dimana setiap fungsi tersebut saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil hutan yang dapat dikelola. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa dalam melakukan pengelolaan hutan harus diperhatikan bahwa dalam melakukan pengelolaan hutan harus diperhatikan berbagai kehidupan ekosistem di dalam hutan yang saling ketergantungan. Untuk itu dalam aspek pengelolaan hutan ini diperlukan beberapa ilmu yang mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, perlindungan tanaman, sosial ekonomi, dan lingkungan bahkan pada perkembangan globalisasi ini juga diperlukan komputerisasi, dan ini sangat mendukung melihat pda keadaan semakin banyaknya tuntutan terhadap fungsi hutan dan memberikan informasi yang akurat. Mengingat luasnya wilayah hutan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah petugas jagawana yang secara khusus memang mempunyai tugas melekukan pengamanan



pengamanan



hutan,



sehingga



tidak



seluruh



hutan



dapat



dilakukanpengawasan secara maksimal sampai saat ini, jumlah polisi kehutanan (polhut) yang telah direkrutsebanyak 7555 personil dengan tugas untuk mengamankan hutan seluas 149.429.694 Ha. Yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Rasio jumlah polhut dengan luas kawasan hutan yang tidak seimbang ini menjadikan lemahnya pengamanan hutan. Terlebih lagi personil polisi hutan tersebut tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai,akibatnya pengamanan hutan semakin lemah, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh para pelaku



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



illegal logging untuk lebih berani melakukan penebangan liar. 20 Kondisi ini dipengaruhi keadaan dimana mereka mereka sangat gampang lolos dari pengawasan aparat kehutanan, karena dalam melakukan pengawasan terhadap hutan luas kawasan hutan dengan jumlah personil yang dibutuhkan masih belum memadai, sehingga aparat kehutanan sangat sulit untuk menjangkau setiap kawasan hutan. 21 Lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum yaitu polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan hakim sebagai eksekutor vonis juga menjadi pemicu semakin maraknya illegal logging. Fakta di lapangan menunjukkan koordinasi antara aparat penegak hukum belum berjalan dengan optimal padahal koordinasi yang optimal akan memberikan pengaruh tegaknya hukum di negara ini. Bahkan sering kali terjadi perbedaan interprestasi antara penyidik dan penuntut mengenai pasal-pasal yang ada dalam UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga seringkali berkas yang sudah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan dikembalikan lagi kepada penyidik dengan alasan berkas belum lengkap dan sempurna. Kenyataan ini memperlambat terungkapnya kasus tindak pidana illegal logging yang terjadi. Organisasi penaggulangan illegallogging sekarang ini dinilai kurang berjalan efektif dalam melakkan koordinasi lintas sektoral, ketidakefektifan ini karena Departemen Kehutanan merasa merasa bekerja sendirian. Ditinjau dari beberapa kasus illegal logging yang berhasil diungkap, di daerah hukum Sumatera Utara belum menyentuh aktor intelektual (dalang utama) pelaku tindak pidana illegal logging. Yang terjaring hanya sebatas penebang kayu, pengangkut kayu sedangkan dalang utamanya tidak tersentuh . 20



Hasil Wawancara dengan Puja ( Penyidik PNS Dinas Kehutanan Provinsi SUMUT), 13 Agustus 2007 21 ibid Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dengan tidak tersentuhnya dalang utama yang kebanyakan adalah pemodal besar yang dekat dengan tampuk kekuasaan mengakibatkan praktek illegal logging tidak dapat dihentikan bahkan semakin merajalela merusak hutan. Hakim sebagai eksekutor juga ikut membawa pengaruh semakin maraknya tindak pidana illegal logging. Karena seringkali kita lihat bahwa vonis yang dijatuhkan hakim tidak sesuai denagn beratnya pengaruh yang akan dirasakan masyarakat akibat perbuatan tindak pidana illegal logging. Vonis yang ringan ini tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Bila sanksi yang dijatuhkan berat maka dengan sendirinya akan membawa efek jera bagi pelaku sendiri sehingga praktek illegal logging dapat dihentikan. 2.



Faktor Ekonomi Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia sejak tahun



1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan ekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap dapat bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas tersebut adalah dengan beralih profesi antara lain menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul maupun menjadi tangan kanan pemodal dalam praktek illegal logging. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan keahlian profesional hanya dengan mengandalkan tenaga yang kuat maka uang dapat diperoleh dengan cepat. Praktek illegal logging yang terjadi terus bertahan bahkan semakin luas jaringannya manakala praktek ini didukung oleh aparat pemerintah dan aparat keamanan. Para pemodal memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan kerjasama yang menguntungkan antara mereka. Kerjasama yang menguntungkan tersebut mengakibatkan praktek Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



illegal logging melenggang dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani melarang. 22 Dengan adanya dukungan dari aparat keamanan dan aparat pemerintahan semakin memuluskan aksi para pelaku tindak pidana illegal logging membalak hutan tanpa rasa takut terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu keuntungan Finansial atau uang yang dihasilkan cukup tinggi, harga kayu yang tinggi membuat sekelompok orang tergiur untuk melakuakan eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa terkendali sehingga memicu kerusakan hutan semakin cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha kayu (cukong/pemodal) untuk meningkatkan bisnis dan memperoleh peningkatan laba sekalipun harus memenuhi jalan illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi. Bahkan untuk melancarkan aksi dan misinya, para pengusaha kayu tidak segan-segan merayu pejabat lokal untuk memberikan izin penebangan secara besarbesaran sekalipun ini tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam hal pengeksploitasian hutan termasuk hasil hutan. Tetapi karena diberi imbalan yang cukup besar dari pengusaha kayu membuat sebagian pejabat lokal memberikan izin sesuai dengan permintaan pengusaha kayu tersebut.ini memang ironis namun inilah terjadi di negara kita pejabat yang seharusnya melindungi rakyat dan menjaga agar hukum dapat berjalan degan semestinya malah memberikan izin terjadinya pelanggaran bahkan kejahatan. 3.



Faktor sosial Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat yang



khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan di sebagian 22



Riza Suarga, Op Cit,hal 10



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan, dan tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, di kawasan hutan khususnya, hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan sosial masyrakat desa dimana setiap aktifitas masyarkat pedesaan banyak dilakukan di sekitar kawasan hutan seperti berburu dan juga masih dijumpai adanya hak ulayat hutan oleh masayrakat. Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan, masyarakat desa pada umumnya mengganggap bahwa hutan adalah milik mereka sehingga bebas untuk memanfaatkan hutan dalam melakukan aktifitas mereka. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa, sehingga keadaan tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat desa sehingga keadaan tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat di pedesaan tidak mengetahui keberadaan peraturan yang mengatur tentang hutan, dan hal ini disebabkan kurangnya informasi yang didapat msyarakat mengenai peraturan hutan dalam perundang-undangan. Dalam perturan perundang-undangan tentang hutan masih mengakui adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara liar. Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagi penyanggah dan juga sebagai sumber mata air bersih, akan tetapi karena sesuatu hal yang mendesak di dalam memenuhi Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapat penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan juga berburu hewan hutan yang dimanfaatkan untuk dijual. 4.



permintaan kayu yang tinggi Industri kayu yang berkembang pesat, mangakibatkan permintaan akan



pasokan kayu ikut meningkat. Sementara kemampuan pasokan kayu dan kemempuan penyediaan industri perkayuan yang legal tidak sebanding dengan permintaan pasokan kayu dari perindustri yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya.



Kurangnya



pasokan



kayu



membuat



para



pengusaha



kayu



(cukong/pemodal) menempuh jalan illegal dengan melakukan penebangan liar demi memenuhi permintaan industri kayu. Permintaan dan persediaan kayu yang tidak seimbang inilah yang menjadi pemicu semakin maraknya tindak pidana illegal logging di wilayah hukum Sumatera Utara. Permintaan akan kayu yang meningkat ini akan menimbulkan dampak permintaan akan tenaga kerja yang akan ikut meningkat, dan lapangan kerja ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tersebut. 23 Selain itu harga kayu illegal lebih murah bila dibandingkan dengan haraga kayu yang legal. Hal ini dikarenakan kayu ilegal tidak membayar pajak kepada negara misalnya Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). 24 Keadaan ini tentu tidak disiasiakan oleh industri kayu yaitu dapat menekan biaya produksi. Alasan ini membuat industri kayu lebih memilih kayu illegal dari pada kayu yang



23 24



IGM Nurajana, Op Cit, hal 97 Ibid, hal 14



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



legal karena selain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu juga harganya lebih murah. 5.



kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Pada umumnya pelaku illegal logging (penebang kayu) adalah masyarakat



yang tinggal di sekitar hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan yang rendah itu memberi dampak minimnya pengetahuan tentang fungsi hutan terhadap lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah merupakan Sumber Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan setiap saat. Pandangan ini tentu berbeda dengan tujuan pebangunan kehutanan di Provinsi Sumatera Utara yaitu untuk mewujudkan Sumber Daya Huatn yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggungjawab. Dengan persepsi masyrakat sepeti itu mengakibatkan masyrakat melakukan kegiatan illegal logging tanpa ada rasa beban. Persepsi masyarakat yang salah akan fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan begitu saja. Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh yang buruk bagi kondisi hutan kita karena mereka berada dekat dengan kawasan hutan dan mereka akan terus melakukan praktek illegal logging.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



BAB III PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING



A. Peran PPNS dalam penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging



Berdasarkan tujuan dari kodifikasi dan unifikasi, maka segala tata cara dari suatu proses pidana yang akan diperiksakan diadili oleh lingkungan peradilan umum harus berdasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangObrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



undang Hukum Acara Pidana. Walaupun pada dasarnya baik Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana mempunyai kedudukan yang sejajar, tetapi antara kedua UndangUndang tersebut mempunyai fungsi yang berbeda karena, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 adalah merupakan ketentuan hukum materil yang berfungsi mengatur dan menetapkan kewajiban, larangan atau sanksi pidanannya, sedangkan UndangUndang No. 8 Tahun 1981 adalah ketentuan hukum formil yang berfungsi mengatur cara-cara menetapkan sansi pidananya secara benar jika terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan UU No. 41 Tahun 1999. Pada Tahun 2000 Departemen kehutan melaporkan bahwa laju deforetasi sebesar 1,6 juta Ha, empat Tahun kemudian (2001-2004) meningkat menjadi sekitar 3,6 juta Ha per tahun sebagai maraknya penjarahan hutan dan penebangan liar. Sebuah laporan Pengelolaan Sumber daya Alam (PSDA) menemukan bahwa Illlegal logging menyumbang 67 juta Km3 kayu tiap tahunnya. Studi lainnya mengungkapkan bahwa Illegal logging telah mengakibatkan kerugian materil sebesar paling tidak Rp. 30 triliun per Tahun 25 Di dalam UU No. 41 tahun 1999, penyidikan di bidang Kehutanan adalah suatu proses yang ditangani oleh pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan dalam tindak pidana kehutanan. Dalam hal melakukan penyidikan, penyidik kehutanan sepenuhnya berpedoman kepada hukum acara pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP. 25



http://www.republika.co.id, Memberantas Illegal Logging, 20 Juni 2004



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dengan demikian penyidik Pegawai Negri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Kehutanan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana diamaksud dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku. Kewenangan Penyidik Pegawai Negri Sipil Kehutan dalam melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutan terdiri dari: i.



j. k. l.



m.



n.



o. p.



melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; membuat dan menandatangani berita acara; menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.



Di dalam penjelasan Pasal 77 UU No. 41 dijelaskan bahwa dalam hal dimulainya Penyidikan Penyidik PNS harus memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penyidik POLRI dan hasil penyidikan diserahkan kepada Penuntut Umum melelui Pejabat Penyidik POLRI, hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikan telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Dan dalam Pasal 39



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dikatakan bahwa : “Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan Pejabat Pegawai Negri Sipil dalm hal tertentu dapat secara lengsung menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Polri”



Dalam



hal



dimulainya



Penyidikan



penyidik



PNS



menyampaikan



Surat



Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penyidik Polri. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan PPNS Kehutanan dalam menangani tindak pidana khusus bidang kehutanan antara lain : a. penyidik melakukan pemeriksaan ke TKP (Tempat Kejadian Perkara) b. Melacak dan menangkap pelaku dari tindak pidana tersebut. c. Pelaku tindak pidana diserahkan kepada Polri atau Polres setempat untuk pengusutan yang lebih lanjut. Dalam penenganan kasus tindak pidana khusus bidang kehutanan pada satu ekosistem hutan, ada beberapa tahap-tahap yang harus dilakukan oleh PPNS kehutanan dan Penyidik Polri yaitu : Tahap penenganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan: a.



Penangkapan tersangka pelaku tindak pidana Penangkapan tersebut dilakukan oleh PPNS Kehutanan di tempat kejadian perkara pada waktu pelaku tindak pidana tertangkap tangan dan ketika pelaku ditangkap pada saat hendak melarikan diri. Dalam hal ini penangkapan dilakukan pada pelaku tindak pidana yang sudah diketahui orangnya.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



b.



Penahanan sementara tersangka di kantor PPNS Kehutanan selama 1 (satu) hari atau 1 X 24 jam. Hal ini dilakukan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana, saksi dan mengumpulkan barang bukti yang diperoleh PPNS Kehutanan. Dan juga PPNS Kehutanan membuat keterangan tersebut.



c.



Pengumpulan barang bukti Pengumpulan



barang



bukti



dilakukan



PPNS



Kehutanan



untuk



mengetahui jenis tindak pidana yang dilakuakn oleh PPNS Kehutanan dan untuk mengetahui status dari pelaku tindak pidana. d.



PPNS Kehutanan melakuakan pemeriksaan terhadap :



1) Tersangka Sehubungan



dengan



pemeriksaan



tersangka,



undang-undang



telah



memberikan beberapa hak yang bersifat perlindungan terhadap hak azasi serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan pembenaran diri. 2) Saksi-saksi Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh PPNS kehutanan terhadap tersangka hampir sama dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap saksi yang langsung melihat peristiwa tindak pidana itu dilakukan. e. Pembuatan Berita Acra Pemeriksaan (BAP) Hal tersebut perlu dilakukan untuk dapat mengetahui serta membuat laporan kepada penyidik Polri yang merupakan suatu proses tindak lanjut yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



f. Penyerahan tersangka beserta surat pengantar dari PPNS kehutanan kepada Penyidik Polri Penyerahan tersangka kepada Penyidik Polri adalah untuk dapat melakukan tindak lanjut dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana. Setelah dilakukannya tahap-tahap penangkapan tindak pidana yang dilakukan PPNS Kehutanan yerhadap pelaku tindak pidana, maka dilakukan beberapa tahap-tahap yang dilakukan penyidik Polri sebagai tindak lanjut yang dilakukan, yaitu : 1.



setelah PPNS Kehutanan menyerahkan tersangka beserta surat pengantar kepada Penyidik Polri, maka penyidik Polri melakukan penyidikan lanjut terhadap : Tersangka, Saksi-saksi,dan Barang bukti yang cukup kuat.



2.



Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Setelah dilakukan proses pemeriksaan, maka penyidik Polri membuat Berita Acara Pemeriksaan yang berarti ada tindak pidana yang terjadi, serta merupakan berkas di Kepolisian agar dapat dilaporkan kepada Kapolda setempat.



3.



Pelimpahan ke kantor Pengadilan atau ke kantor kejaksaan Hal ini dilakukan untuk membela akan kepentingan dari tersangka agar dapat memperoleh perlindungan hukum hingga menjadi status terdakwa. Dalam melaksanakan tugas penyidik terhadap suatu tindak pidana khusus bidang Kehutanan (illegal logging) terdapat ciri-ciri yang khas dalam penanganannya, yaitu



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



1.



PPNS Kehutanan menerima laporan dan mengetahui sendiri telah terjadi suatu tindak pidana bidang kehutanan maka dengan segera PPNS Kehutanan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.



2.



PPNS Kehutanan kemudian melakukan penahanan selama-lamanya 1-2 hari, bila kemudian ditemukan cukup bukti-bukti yang kuat dari si pelaku (tersangka) untuk selanjutnya diperiksa untuk dibuat Berita Acara Pemeriksan(BAP).



3.



di dalam proses ini pihak Polri setempat harus diberitahu oleh PPNS Kehutanan bahwa telah terjadi tindak pidana Khusus bidang kehutanan dan si tersangka dalam proses pemeriksaan.



4.



Untuk kepentingan penyidikan, PPNS Kehutanan diberi petunjuk oleh Penyidik Polri mengenai proses penyidikan tindak pidana yang terjadi.



5.



bila proses pemeriksaan penyidikan dianggap telah cukup oleh PPNS Kehutanan maka si tersangka diserahkan kepada Penyidik Polri setempat yang disertai dengan BAP dan surat pelimpahan pemeriksaan. Bila proses pemeriksaan dianggap lenkap maka pihak Polri berkewajiban untuk melengkapinya.



6.



dalam hal proses penyidikan dianggap telah selesai oleh penyidik PPNS Kehutanan tersebut, maka PPNS kehutanan segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.



7.



dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan masih kurang lengkap, penentut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polri disertai petunjuk untuk dilengkapi.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



8.



dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan dengan petunjuk dari penuntut umum.



9.



penyidikan dianggap telah selesai dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik.



Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum yang mengatur tingkah laku manusia agar dapat tertib dalam berhubungan dengan sesamanya. UU 41 tahun 1999 merupakan landasan hukum untuk pembinaan dan pengembangan perlindungan hutan di Indonesia. Dengan adanya ketentuan Pidana di dalam UU 41 Tahun 1999 menanggulangi akibat dari lahirnya suatu tindak pidana di bidang kehutanan. Luasnya kawasan hutan yang ada di wilayah Hukum Sumatera utara memang menjadi satu kendala bagi aparat penegak hukum di dalam upaya penegakan hukum dan perlindungan hutan di Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Luas kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara sebesar 3.679.338,48 Ha. Yang terdiri dari : 1.



Hutan Konservasi







362.333,69 Ha



2.



Hutan Lindung



→ 1.481.737,69 Ha



3.



Hutan Produksi terbatas →



851.159,07 Ha



4.



Huatn Produksi tetap







936.861,12 Ha



5.



Hutan Konversi



→ 47.251,24 Ha



data ini berdasarkan rencana Tata Ruang Propinsi Sumatera Utara 2003-2018 yang dituangkan dalam Perda No. 7 Tahun 2003. Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Luasnya kawasan hutan yang ada di daerah sumatera Utara ini tidak sebanding dengan jumlah personil pengamanan hutan. Menurut data yang diperoleh jumlah Polisi Hutan yang ada di Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2006 berjumlah 150 orang. : 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.



Tapanuli Selatan Deli Serdang Serdang Bedagai Langkat Toba Samosir Kabupaten Asahan Labuhan Batu Mandailing Natal Kabupaten Nias Tapanuli Tengah Dairi Tapanuli Utara Dinas Kehutanan Provinsi SU Wilayah I Medan Wilayah II Siantar Wilayah III Kisaran Wilayah IV P. Sidempuan Wilayah V Kabanjahe



12 orang 1 orang 7 orang 15 orang 15 orang 15 orang 25 orang 11 orang 5 orang 3 orang 17 orang 24 orang 21 orang 30 orang 12 orang 36 orang 25 orang 26 orang



Itu artinya seorang polisi Hutan di Sumatera Utara menjaga + 24.548 Ha hutan. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi aparat untuk dapat menjaga hutan dan hasil hutan yang ada di Sumatera Utara. Selain itu juga kurangnya sarana dan prasarana turut menyulitkan aparat Polisi Kehutanan dalam melakukan perlindungan erhadap hutan. Sedangkan jumlah Penyidik Pegawai Negri Sipil yang ada di Sumatera Utara menurut data yang diperoleh, pada Tahun 2006 jumlah Penyidik Pegawai Negri Sipil 32 orang : 1. 2. 3. 4.



Dinas Kehutanan Provinsi SU Tapanuli Selatan Deli Serdang Dairi



13 orang 2 orang 1 orang 1 orang



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



5. 6. 7. 8. 9. 10.



Tobasa Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah



I Medan II Siantar III Kisaran IV Padang Sidempuan V Kabanjahe



1 4 1 3 2 4



orang orang orang orang orang orang



Jumlah Penyidik Pegawai Negri Sipil ini dirasa masih sangat kurang mengingat banyaknya kasus-kasus Kehutanan khususnya Illegal logging di Sumatera Utara. Dalam hal di daerah tertentu tidak tersedia Penyidik Pegawai Negri Sipil maka daerah dapat meminta bantuan tenaga Penyidik dari Dinas Kehutanan Provinsi, atau dapat menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada penyidik dari Kepolisian. 26 Peran Penyidik PNS Kehutanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 dirasakan lebih efektif dalam melakukan Penyidikan di didang Kehutanan disebabkan. 1.



Karena ketrbatasan yang selalu dihadapi Penyidik Polri, khususnya keterbatasan dalam jumlah personil di bidang penyidikan.



2.



Keterbatasan pengetahuan di bidang tertentu menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi.



B Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri



Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.



26



Hasil Wawancara, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitui tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 pada Pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat Polisi menjadi penyidik atau sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi Pegawai Negri Sipil yang dibebani wewenag penyidikan adalah sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol II/b) atau yang disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah Penyidik. Penyidik Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenag tersebut kepada pejabat polisi lain. Penyidik Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Kehakiman atas usul departemen yang mebawahi pegawai tersebut. Wewenang kepangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Mentri Kehakiman. Sebelum kepangkatan, terlebih dahulu Mentri Kehakiman meminta pertimbangan jJaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 menentukan bahwa Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republikl Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil tertentu Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu. Kedua macam penyidik yang tersebut di atas diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau usul komandan atau pemimpin kesatuan masing-masing. Wewenang kepangkatan ini dapat juga dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian yang lain. Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu; 1.



2.



3.



untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b, segera ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huru a.



kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa: Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a. Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disertai dengan berita acara penyidikan yang dikirim kepada penuntut umum.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Penyidik Pegawai negri Sipil diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu Pegawai Negri Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada undangundang khusus, yang telah menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu Pasal. Jadi di samping penyidik Polri, dalam undang-undang khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat Pegawai negri sipil yang bersangkutan dalam melakukan penyidikan. Misalnya dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dalam Pasal 77 mengenai penyidikan dalam pasal 2, adapun wewenang dari Pejabat Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, berwenang untuk: a.



melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.



b.



Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.



c.



Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;



d.



Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



e.



Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;



f.



Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara republik Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;



g.



Membuat dan menandatangani berita acara;



h.



Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat cukup alat bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat Pegawai Negri Sipil hanya



terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan; a. b.



c.



d.



27



penyidik Pegawai Negri Sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah pengawasan Penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum. Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan kepad apenyidik Polri dan Penuntut umum. 27



M. Yahya Harahap, Op Cit, hal 113



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



C



Pelaku dan modus Operandi Tindak Pidana Illegal Logging Secara umum dalam suatu tindak pidana yang terjadi biasanya melibatkan



beberapa orang atau lebih dari satu orang. Dimana keterlibatan orang-orang tersebut dapat berupa: a.



beberapa orang bersama-sama melakukan delik



b.



mungkin saja seseorang yang mempunyai kehendak dan merencanakan delik, tapi delik tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi delik tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut



c.



dapat juga terjadi, hanya seseorang yang melakukan delik sedangkan orang lain membantu orang lain itu dalam melaksanakan delik. 28



Mengenai masalah pelaku diatur juga dalam KUHP, dalam KUHP mengenai siapa saja yang dapat dipidana sebagai pelaku dari suatu tindak pidana dimuat dalam Pasal 55 KUHP, yaitu : 1. Orang yang melakukan (Pleger) Dalam hal ini adalah seseorang yang secara sendiri melakukan perbuatan tindak pidana. Dimana pelakunya adalah tunggal terhadap pelaku tindak pidana yang tunggal dapat diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam rumusan delik. Misalnya seorang yang secara sengaja mencuri dan menebang kayu di dalam hutan. 2. Orang yang menyuruh melakukan (Doen Pleger) 28



A. Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM, 2004.edisi pertama, hal 115



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam hal ini harus ada setidaknya dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tidak melakukan tindak pidana akan tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan tindak pidana tersebut. Misalnya orang yang menyuruh orang lain untuk mencuri dan menebang kayu di dalam hutan. 3. Orang yang turut serta melakukan (Medepleger) Dalam hal ini harus ada dua orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, mereka ini secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Yang termasuk dalam kategori “turut melakukan adalah : apabila beberapa orang melakukan suatu perbuatan pidana secara bersamasama melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama. Jadi perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan kekuatan pelaku sendiri.; antara beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana tersebut harus ada kesadaran bahwa mereka bekerjasama pada waktu melakukan tindak pidana tersebut. Jadi dalam hal in sebelum melakukan tindak pidana terlebih dahulu melakukan peundingan /pemufakatan.



Misalnya seseorang yang



mengajak orang lain untuk bersama-sama mencuri dan menebang pohon di hutan. 4. Orang yang membujuk melakukan (Uitloker) Dalam hal ini membutuhkan setidaknya dua orang, yaitu orang yang membujuk, yang menggerakkan orang lain untuk melekukan suatu tindak pidana dan orang yang dibujuk atau digerakkan untuk melakukan tindak pidana. Misalnya, seoraang pimpinan perusahaan atau seorang lainnya yang mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut membujuk atau menggerakkan Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



karyawannya dengan janji akan memberikan upah atau kenaikan gaji, agar karyawannya tersebut dapat melakukan, misalnya mencuri dan menebang pohon di dalam hutan. Dengan demikian yang membujuk yaitu direktur dan yang dibujuk yaitu karyawan dianggap sebagai pelaku. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 55 KUHP dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana illegal logging adalah: 1. Penebang Kayu Biasanya yang menjadi penebang kayu adalah masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan namun terkadang ada yang sengaja didatangkan dari luar daerah untuk menjadi penebang kayu bayaran. Mereka melakukan penebangan secara langsung dengan tujuan untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk dijual pada pemilik modal. Kegiatan mereka ini tidak berdampak besar terhadap kerusakan hutan karena sarana atau alat yang mereka gunakan masih sederhana dan minim. 2. pengangkut Kayu Berdasarkan



Pasal 50 ayat (3) huruf h dinyatakan bahwa orang yang



mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dikategorikan segbagai pelaku tindak pidana. Kenyataanya dilapangan pengangkut kayu (supir) ini yang paling banyak tertangkap, 29 padahal bila diteliti lebih jauh mereka tidak tahu apa-apa karena mereka hanya mendapat perintah dari majikannya untuk mengangkut kayu tersebut ke suatu tempat tanpa tahu asal usul dari kayu yang diangkutnya, namun hukum tidak melihat apa profesi



29



Hasil Wawancara, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dari pelaku tetapi melihat akibat dari perbuatan pelaku yang dapat meresahkan masyarakat. 3. pemilik modal Dalam hal ini pelaku berperan sebagai fasilitator atau penadah kayu hasil kegiatan praktek illegal logging. Bahkan terkadang pemilik modal inilah yang menjadi dalang utama atau aktor intelektual dari prakti illegal logging itu sendiri 4.



pemilik industri kayu atau pemilik Hak Pengelolaan Hutan (HPH)



Di sini pelaku bisa berperan sebagai pelaku praktek illegal logging secara langsung ataupun bisa berperan sebagai penadah kayu hasil praktek illegal logging. 5. Nahkoda kapal Dalam praktek illegal logging nahkoda kapal berperan dalam usaha penyeludupan kayu baik keluar daerah maupun ke luar negri melalui laut karena seperti kita tahu bahwa kejahatan illegal logging telah menjadi kejahatan lintas negara. Nahkoda kapal di sini dapat dikategorikan sebagai “turut serta melakukan” dan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan “ turut serta melakukan” di kategorikan sebagai pelaku tindak pidana. 6. Oknum Pejabat pemerintah atau oknum aparat keamanan Dalam praktek illegal logging oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat kemanan turut ambil bagian yaitu melakukan kerjasama dengan pengusaha/pemilik modal atau tentunya kerjasama yang saling menguntungkan diantara mereka. Oknum pejabat pemerintah melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan tau memberikan konsesi penebangan yang melampaui batas izin eksploitasi hutan kepada pemilik modal untuk melancarkan aksinya dan aparat kemanan memberikan perlindungan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemilik modal Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dimana jelas-jelas kegiatan tersebut merupakan tindak pidana. Pelaku ini terdiri dari oknum TNI, Oknum POLRI, Jagawana/ Polisi Kehutanan, PNS Bea cukai, Oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, bahkan oknum politisi juga terkadang turut ambil bagian dalam praktek illegal logging yang marak terjadi. Inilah yang membuat dalang utama tindak pidana illegal logging sulit ditembus hukum karena mendapat perlindungan dari aparat pemerintah dan aparat keamanan. 7



Pengusaha Asing



Pengusaha asing ini berperan sebagai pembeli atau penadah dari kayu hasil praktik illegal logging untuk keperluan atau kepentingan perusahaan atau usaha mereka. Kerjasama yang baik antara pelaku pelaku tindak pidana illegal logging di atas akan membawa dampak semakin kuat dan luasnya jaringan praktek illegal logging yang terjadi tidak hanya dalam hutan produksi tetapi sudah merambat ke dalam kawasan hutan lindung



Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta penjelasannya tidak ada di menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan modus operandi. Sedangkan masalah ini adalah sangat penting dalam hal mengusut dan menumpas kejahatan, karena kejahatan itu tidak hanya ditumpas dengan peraturan perundang-undangan saja melainkan juga ditumpas dari sudut diri pelaku kejahatan. Menurut kamus hukum disebutkan bahwa modus operandi adalah “teknik, atau caracaranya beroperasi, atau jalannya perbuatan-perbuatan kejahatan.” Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa modus operandi itu adalah merupakan teknik atau cara ataupun metode-metode yang dipergunakan oleh pelaku Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



(subjek) tindak pidana itu. Jadi jelaslah bahwa modus operandi ini titik beratnya adalah terletak pada diri si pelaku dalam mempersiapkan suatu kejahatan. Adapun modus operandi yang senantiasa digunakan oleh kejahatan yang terorganisir ini adalah penyandang dana atau cukong melalui sistem sel yang melibatkan anggota masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Jaringan organisasi ini terdiri dari petugas/ pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI AD, TNI AL, Pemda Kejaksaan, Pengadilan, serta Politikus. Berbagai upaaya penanggulangan illegal logging dan pengamanan hutan, baik berupa operasi pengamanan fungsional, gabungan dan operasi khusus serta berbagai kerjasama kelihatannya belum optimal, bahkan cenderung berakibat pada merajalelanya penebangan liar baik di kawasan hutan lindung maupun kawasan konservasi. FFNN 30 Untuk lebih jelasnya modus operandi dalam kegiatan illegal logging ini dibedakan dalam dua (dua) bagian yaitu: a.



Modus operandi di daerah hulu adalah: 1.



melakukan penebangan tanpa izin untuk kepentingan pribadi, dimana biasanya dilakukan oleh masyarakat yang kemudian hasil tebangan illegal dijual kepada pengusaha kayu atau kepada industri pengelolaan kayu.



2.



melakukan penebangan diluar izin yang ditentukan konsesinya oleh pemerintah, biasanya ini dilakukan oleh pemilik Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan pemegang izin Penebangan kayu (IPK) yang sah dengan menggunakan tenaga kerja masyarakat setempat seabagai penebang kayu atau mendatangkan langsung dari luar daerah. Modus ini dilakukan



30



http://www.republika.co.id, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dengan tujuan untuk memenuhi pasokan kayu yang telah disepakati agar terhindar dari kerugian karena tidak dapat memenuhi permintaan industri kayu. Selain itu tujuan modus operandi ini adalah untuk mempercepat tercapainya target produksi perindustrian kayu. b.



Modus operandi di daerah hilir adalah : 1.



pengangkutan kayu tanpa dilengkapi Surat Ketrangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dalam modus operandi ini tidak hanya melibatkan pemilik kayu sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pemilik kayu sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pengangkut kayu ( supir) atau nahkoda kapal.



2.



pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu, dalam hal pemalsuan kayu ini ada tiga modus yang biasa dilakukan oleh para pelaku, yakni pemalsuan blanko dan isinya, blankonya asli tetapi isinya dipalsukan, dan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang digunakan berasal dari daerah lain. Dalam hal pengangkutan kayu dengan dokumen palsu selain pemilik kayu sebagai pelaku, aparat penerbit dokumen palsu stempel dan cap palsu juga adalah pelaku termasuk pengangkut kayu illegal tersebut. 31



3.



Volume kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam SKSHH, dalam modus operandi ini pemilik kayu bekerjasama dengan penerbit SKSHH. Jadi di sini pelakunya tidak hanya pemilik kayu dan pengantar kayu tetapi pejabat yang mengeluarkan SKSHH juga terlibat.



31



Hasil Wawancara, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam hal ketidaksesuaian volme kayu ini, aparat memberikan toleransi sebesar 5% dari data yang tercatat dalam dokumen. 32 4.



Adanya dokomen SKSHH yang digunakan lebih dari satu kali, dalam hal ini pelaku tidak memperbaharui SKSHH, dan mempergunakan SKSHH berulangkali.



5.



Menggunakan Dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat atau dilaut sebagai pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai penggantu SKSHH atau surat-surat lain.



BAB IV KENDALA-KENDALA DAN UPAYA YANG DILAKUKAN PPNS



A.



KENDALA-KENDALA Masalah illegal logging merupakan masalah utama sektor kehutanan.



Kejahatan ini dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban dan generasi yang akan datang. Maraknya praktek illegal logging yang terjadi berakibat, pada rusaknya kondisi hutan saat ini. Hutan yang sebenarnya memberikan manfaat yang dapat dirasakan lansung oleh msyarakat, dimana masyarakat dapat menggunakan atau memanfaatkan hasil yang didapat dari hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil utama dari hutan. Serta berbagai hasil hutan seperti, rotan, getah, buah-buahan dan lain-lain. 33 Selain manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, banyak lagi manfaat yang secara tidak langsung juga dapat 32 33



ibid Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,Sinar Grafika, Jakarta,2002, hal 46



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dirasakan oleh masyarakat seperti, hutan yang dapat mengatur tata air, dapat mencegah terjadinya erosi sebagi penyebab terjadinya banjir, dapat juga memberikan manfaat di sektor pariwisata dan lain-lain. Untuk itu perlu perlindungan yang maksimal terhadap hutan. Melihat keadaan hutan di Indonesia yang semakin buruk pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk menindak tegas semua pelaku tindak pidana illegal logging, keseriusan Pemerintah dalam usaha pemberantasan tindak pidana illegal loging dibuktikan dengan dikeluarkannya Inpres. No. 4 Tahun 2005. tentang pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan, dn Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Dimana dalam Inpres No. 4 Tahun 2005. Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada 18 instansi untuk memberantas praktek illegal loggingdi seluruh wilayah Republik Indonesia. Namun dalam pelaksanaanya di lapangan pemberantasan tindak pidana illegal logging selalu menemui hambatan-hambatan terutama dalam proses penyidikannya. Hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana illegal loggging ini antara lain: 1.



Lemahnya koordinasi antar penegak hukum Koordinasi antar penegak hukum memegang peranan penting dalam proses



penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging. Begitu pula halnya dengan proses penyidikan tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan POLRI sebagi penyidik tetapi juga melibatkan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Polisi Hutan (POLHUT) yang diberi kewenangan oleh UndangUndang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



khususnya illegal logging. Selain itu penyidik dari Perwira angkatan Laut juga dapat melakukan penyidikan dalam hal terjadinya penyeludupan kayu. Keadaan ini memungkinkan terjadinya tumpang tindih penyidikan terhadap satu tersangka dalam praktek illegal logging, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga penyidikan yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Bahkan terkadang muncul arogansi masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan kewenangan masingmasing yang diberikan oleh undang-undang. Seharusnya antar penyidik yang diberikan kewenangan masing-masing oleh undang-undang dapat saling bekerjasama. Misalnya dapat saling tukar menukar data dan informasi sehingga proses penyidikan dapat berjalan efektif sehingga kasus illegal logging dapat terungkapdengan tuntas. Ketidakharmonisan antar penyidik tindak pidana illegal logging dalam rangka penegakan hukum ini justru dimanfaatkan oleh para pelaku illegal logging untuk lepas dari jerat hukum. 2.



Pelaku utama (aktor intelektual) yang sulit ditembus oleh hukum.



Peredaran hasil hutan illegal dan penebangan liar di Indonesia merupakan tindak kejahatan yang terorganisasi karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan, baik di Departemen kehutanan, maupun instansi lainnya serta jaringan pasar di dalam negri dan di luar negri. Dalam prakteknya di lapangan sering kali ditemukan bahwa yang tertangkap hanyalah para pekerja lapangan yaitu, para penebang, pengangkut kayu atau, penadah kayu illegal. Sedangkan otak pelaku utama dari tindak pidana illegal logging sepertinya tidak dapat tertembus oleh hukum. Hal ini dikarenakan bisanya para pelaku utama adalah orang-orang yang Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



dekat dengan penguasa atau pejabat-pejabat daerah. Sehingga seolah-olah mendapat perlindungan selain itu sulitnya pelaku utama tertangkap karena pelaku utama telah mengetahui terlebih dahulu bahwa orang yang bekerja padanya telah tertangkap tangan dan ia mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri dan akhirnya dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan tidak tertangkapnya aktor intelektual dari pelaku illegal logging maka akan semakin menghambat terungkapnya tindak pidana illegal logging yang terjadi. 3.



Adanya otonomi daerah



Penebanagan liar ( illegal logging) mengakibatkan hutan menjadi semakin gundul. Dengan keluarnya pengaturan mengenai otonomi daerah maka kewenangan pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah kabupaten /kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Illegal logging dipicu otonomi daerah yang kebablasan, dimana timbul pemikiran bahwa sumber daya hutan diminta untuk dipilah-pilah sesuai dengan batasan wilayah administrasi utamanya pada tingkat kabupaten/kota. Pemikiran dan tuntutan muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan persepsi tentang hutan sebagai ekosistem yang tidak dapat dibagi menurut batasan administrasi. Dengan adanya kewenangan tersebut maka dalam penanganan kasus illegal logging yang terjadi di daerah kabupaten/kota menjadi kendala karena Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak dapat langsung menangani tindak pidana illegal logging yang terjadi tetapi harus melalui permintaan kabupaten/ kota tersebut. 34 Hal ini tentu akan menghambat proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang terjadi. 4. 34



Kurangnya sarana dan prasarana



Hasil Wawancara, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang cukup memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lainnya. Kalau hal hal tersebut diatas tidak dipenuhi, maka mustahil penegakan hukum dapat tercapai. 35 Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sarana dan prasarana yang dimiliki pelaku praktek illegal logging jauh lebih maju diabandingkan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktek illegal logging. 36 Keterbatasan sarana dan sarana yang dimiliki aparat penegak hukum menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana illegal logging. Dengan terhambatnya proses penyidikan tentu berimbas terhadap semakin maraknya tindak pidana illegal logging. 5.



keterbatasan dana



Minimnya dana yang juga menjadi slah satu penghambat dalam kelancaran proses penyidikan tindak pidana illegal logging. Dalam penanganan tindak pidana illegal logging tidak ada dana khusus, padahal dalam proses penenganan perkara tindak pidana illegal logging ini memerlukan biaya yang jauh lebih besar dari penyidikan tindak pidana biasa lainnya. Anggaran biaya penyidikan untuk satu perkara pidana illegal logging yang di tangani polisi, itu sebesar 2,5 juta, sedangkan



35 36



Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, hal 27 IGM Nurjana, Op Cit, hal 143



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



untuk perkara yang ditangani oleh PPNS, tidak ada nominal yang angka yang ditetapkan untuk menangani perkara tindak pidana illegal logging.37 Sebagai contoh apabila terjadi penyeludupan kayu ke daerah lain di luar propinsi Sumatera Utara maka membutuhkan biaya dalam hal penyidikannya, biaya bongkar barang bukti dan biaya-biaya lainnya. Dengan terbatasnya dana maka akan semakin memberikan kesempatan bagi pelaku illegal logging untuk melarikan diri.



B Upaya-upaya dalam penanggulangan illegal logging B.1.



Upaya preventif



Upaya preventif adalah ,merupakan suatu usaha penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada pencegahan/ penanganan atau pengendalian sebelum terjaddinya tindak pidana illegal logging. Dalam upaya penanggulangan ini, polisi memang lebih dominan dalam upaya represif sedangkan dalam upaya preventif lebih cenderung menjadi tanggungjawab dari Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak tertutup kemungkinan pihak Kepolisian ikut terlibat dalam usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya preventif dalam rangka pemberantasan tindak pidana illegal logging di wilayah hukum Sumatera Utara. Adapun langkah yang ditempuh pihak Dianas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sebagai upaya Preventif dalam rangka perlindunagn terhadap hutan: 1. Memberikan himbauan kepada masyarakat Himbauan- himbauan ini dapat dilakukan melalui media massa seperti media elektronik ataupun melalui media cetak seperti radio swasta dan surat kabar lokal. 37



Hasil Wawancara, Op Cit



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Himbauan-himbauan ini juga dapat dilakukan melelui spanduk-spanduk maupun pamflet-pamflet yang berisi tentang ajakan masyarakat ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan. Peran serta masyarakat dalam usaha perlindungan hutan adalah merupakan salah satu jalan yang efektif dalam usaha pencapaian pembangunan hutan di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah orang yang berhubungan langsung dan hampir setiap hari bersentuhan dengan kawasan sekitar hutan. 2. Mendirikan pos peredaran pengangkutan hasil hutan Selain dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana illegal logging usaha-usaha yang dilakukan oleh aparat hukum adalah dengan mendirikan pos-pos peredaran hasil hutan. Pos ini didirikan di daerah perbatasan dan jalan lintas Propinsi yang biasanya dilewati oleh para pelaku untuk mengangkut hasil hutan yang tidak sah. 38 3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas Polisi Hutan(Polhut) Pada saat sekarang ini tugas penjagaan, pengamanan dan perlindungan kawasan hutan serata peredaran hasil hutan ditumpukan kepada polisi hutan. Sementara gambaran keadaan Polisi Hutan saat ini menunjukkan gambaran yang ironis dan memprihatinkan bila dibandingkan denagan ratio luas kawasan hutan yang harus dijaga kemanannya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya praktik illegal logging karena sebagian kawasan hutan luput dari pengawasan Polhut. Selain itu kualitas dan kwantitas dari SDM Polhut serta persepsi yang kurang baik terhadap Polhut yang disebabkan tindakan sebagian oknum Polhut yang tidak terpuji dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berhubungan dengan 38



ibid



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



pengamanan dan pengawasan peredaran kayu termasuk menjadi penentu semakin maraknya praktik illegal logging. Melihat keadaan yang seperti ini pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan



mengambil



langkah-langkah



pembinaan



kemampuan



untuk



meningkatkan kuyalitas dan kuantitas SDM Polhut yaitu dengan mengadakan program pendidikan dan latihan ( diklat). Salah satu Program yang sedang dikembangkan adalah dengan dibentuknya Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC). Diklat pembentukan SPORC ini bertujuan untuk membentuk gugus Polhut yang memiliki karakteristik berpikir dan bertindak cepat di dalam melaksanakan tugas-tugas khusus di bidang Kehutanan. 39



Selain itu tujuan dari



pembentukan SPORC ini adalah untuk penugasan khusus terhadap adanya eskalasi ancaman/ gangguan kemanan hutan yang meningkat yaitu ganguan kemanan hutan yang tidak ditangani secara rutin oleh satuan Polhut. Dalam pelaksanaan diklat ini Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Mabes Polri karena tugas Polhut dalam hal ini SPORC terkait dengan tugas-tugas di bidang kehutanan. Program diklat ini dilaksanakan berdasarkan amanat dari Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegaldi Kawasan Hutan Dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Upaya-upaya preventif yang dilakukan Polhut dalam rangka penanggulangan terjadinya tindak pidana illegal logging antara lain adalah:



39



Majalah Kehutanan Indonesia, hal 10



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



a. berpatroli secara rutin, mendadak, periodik ataupun gabungan di dalam kawasan hutan atau dalam wilayah hukum Polhut yang telah ditentukan b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di kawasan atau di wilayah hukum polhut yang telah ditentukan c. melakukan koordinasi dengan mitra instansi/ lembaga yang terkait dalam operasi perlindungan dan pengamanan hutan. 4. Memberikan penyuluhan hukum Penyuluhan hukum dilakukan secara teratur dan terus menerus kepad masyarakat. Dimana dalam penyuluhan hukum ini diinformasikan kepada masyarakat tentang bahaya yang akan mengancam bila praktek illegal logging terus berjalan selain itu dalam penyuluhan hukum juga diberitahukan kepada masyarakat mengenai sanksi pidana yang akan diterima bila melakukan praktek illegal logging. Dalam penyuluhan hukum ini tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum lainnya yaitu pihak Kepolisisan, Kejaksaan, dan Pengadilan. Selain itu pimpinan atau tokoh masyarakat setempat yang disegani juga dilibatkan dalam program ini. Keikutsertaan



tokoh masyarakat ini sangat



membantu dan berpengaruh kepada masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat lebih percaya kepada pimpinan atau tokoh masyarakat dibandingkan dengan orang luar. Dengan keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat setempat diharapkan masyarakat menjadi ikut merasa memiliki hutan sehingga timbul keinginan untuk menjaga kelestarian hutan. Guna kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Dengan dilakukannya penyuluhan ini maka diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Dengan penyuluhan juga diharapkan masyarakat menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum bukan hanya tanggungjawab aparat penegak hukum, akan tetapi juga menjadi tanggungjawab kita bersama. B.2.



Upaya represif Kelestarian dan fungsi hutan adalah salah satu sumber kehidupan seluruh



masyarakat maka perlindungan untuk mencapai tujuan tersebut pada hakekatnya bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah aparat penegak hukum melainkan tanggungjawab



seluruh



aspek



kehidupan



masyarakat.



Khususnya



yang



berkepentingan langsung dengan hutan. Oleh karena itu masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Dan untuk itu pemerintah dan aparat penegak hukum juga mengusahakan perlindungan terhadap kelestarian fungsi hutan tersebut yang salah satunya dilakukan dengan usaha represif. Usaha



represif



merupakan



suatu



usaha



yang



lebih



bersifat



pada



penindasan/pemberantasan atau penumpasan setelah tindak pidana illegal logging terjadi. Usaha yang bersifat represif ini lebih dominan dilakukan oleh pihak kepolisian. Dalam terjaddi suatu peristiwa hukum yaitu laporan, pengaduan atau tertangkap tangan yang mengarah kepada dugaan telah terjadi tindak pidana illegal logging, yang kemudian oleh pihak yang berwenang akan dilakukan penyidikan terhadap orang yang diketahui sedang atau telah melakukan tindak pidana illegal



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



logging, bila nantinya terbukti melakukan tindak pidana illegal logging pelaku ditangkap untuk diproses lebih lanjut. Dengan ditangkapnya pelaku illegal logging tersebut diharapkan memberikan efek jera khususnya bagi pelaku sendiri dan dan memberikan rasa takut bagi masyarakat agar tidak mau lagi melakukan praktek



illegal logging namun yang terjadi di



lapangan dalam pemeberantasan tidak pidana illegal logging ini seringkali pihak aparat menemui kendala dalam mengangkap pelaku yaitu ada kalanya yang ditemui kayu truk beserta dengan kayu yang diduga adalah hasil praktik illegal logging, namun yang membawa kayu tersebut ( supir truk) tidak ada karena telah lari terlebih dahulu. 40 Selain itu pelaku yang menjadi otak pelaku dari praktek illegal logging ini masih banyak yang belum tersentuh hukum hal ini dikarenakan pelaku yang adalah orang-orang yang dekat dengan tampuk kekuasaan, dan mempunyai modal besar untuk bisa lari dan lolos dari hukum. 41 Inilah yang merupakan kendala sehingga pelaku illegal logging lolos darri jerat hukum. Selain dengan melakukan penangkapan dengan melakukan operasi secara rutin. Operasi yang dilakukan bekerjasama dengan aparat kepolisian. Operasi yaang pernah dilakukan di Dinas Kehutanan Sumatera Utara: 1. Operasi Wanalaga III 2. Operasi Hutan Lestari I Dengan dilakukannya operasi ini maka diharapkan pelanggaran hukum dalam bentuk pencurian dan penyeludupan kayu dapat ditumpas.



40 41



Hasil Wawancara, Op Cit ibid



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Dalam rangka pengamanan hutan khususnya pemeberantasan praktek illegal logging pemerintahan propinsi Sumatera Utara juga mengambil kebijakan-kebijakan, hal ini didasarkan pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah otonom, diamana kewenanagn pelaksanaan penagamanan hutan yang terdapat dalam suatu wilayah kabupaten atau kota. Kebijakan pemerintah provinsi Sumatera Utara dalam upaya melaksanakan pengamanan hutan khususnya untuk menangani kegiaan illegal logging telah menetapkan : a.



Pembentukan Tim Operasi Gabungan Hutan dan Hasil Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522.05/073 K/2001 tanggal 23 Maret 2001 dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522.5/1821/K/2003 tanggal 25 September 2003.



b.



Penunjukan lokasi Pos Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Provinsi Sumatera Utara ddengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522/.816.K/2002 tanggal 25 Juli 2002.



c.



Operasi Wanalaga yang dilaksanakan oleh Polda Sumatera Utara dan Operasi Wanabahari yang dilaksanakan oleh jajaran Angkatan Laut.



d.



Melaksanakan operasi fungsional oleh aparat Kehutanan, dan Operasi gabungan dengan aparat Keamanan dan unsur trerkait lainnya. 42



42



Dinas Kehutanan Propinsai SUMUT, Penebangan Kayu dan Illegal Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, Medan,2005, hal 4 Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



A.



KESIMPULAN



Di akhir penulisan ini, penulis akan merangkum seluruh hasil penbahasan menjadi kesimpulan. Adapun kesimpulan penulis adalah: 1. Dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal logging harus tunduk pada UndangUndang No. 41 Tahun 1999 yang juga tidak terlepas dari pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang penyidikan kemudian menerapkan hukum acara yang berpedoman kepada KUHAP. Penyidik Pegawai Negri Sipil berperan lebih aktif dalam melakukan penyidikan terhadp tindak pidana illegal logging hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang selalu dihadapi oleh penyidik Polri, khususnya keterbatasan personil di



bidang



penyidik.



Selain



itu



keterbatasan



pengetahuan di bidang tertentu menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi. 2. Dalam menangani semakin maraknya tindak pidana illegal logging khususnya di Sumatera Utara aparat penegak hukum selalu berusaha, terutama dalam dalam hal penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana illegal logging. Dimana dalam melakukan penyidikan penyidik memulai tugasnya melalui salah satu proses hukum yaitu dengan adanya laporan atau aduan maupun tertangkap tangan, namun dalam melakukan



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



penyidikan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) sering menemui hambatanhambatan yaitu antara lain: a. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum Kewenangan melakukan penyidikan dalam tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan Polri sebagai penyidik tetapi juga PPNS Kehutanan dan polhut yang diberi kewenanagn oleh undang-undang, hal ini yang sering menyebabkan seringnya terjadi tumpang tindih kewenangan. b. Pelaku utama yang sulit tertembus hukum Pelaku utama atau aktor intelektual dari tindak pidana illegal logging adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa, sehingga sulit tertembus oleh aparat penegak hukum. c. Adanya otonomi daerah Dimana dalam penanganan illegal logging sudah menjadi hak dari kabupaten/kota, sehingga Dinas Kehutanan tidak dapat langsung menangani perkara tanpa adanya permintaan dari daerah. d. Keterbatasan sarana dan prasarana Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum menjadi faktor penghambat dari pemberantasan tindak pidana illegal logging. e. Keterbatasan dana Minimnya dana juga merupakan salah satu penghambat dalam kelancaran proses penyidikan tindak pidana illegal logging. 3. Pemerintah dan aparat hukum juga telah melakukan upaya-upaya dalam melakukan pencegahan dan penaggulangan terhadap tindak pidana illegal logging yang terjadi. Upaya-upaya yang dilakukan: Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



a. Memberikan himbauan kepada masyarakat Himbauan ini dilakukan melalui media massa seperti media elektronik ataupun media cetak. Bisa juga melalui spanduk dan pamflet yang berisi ajakan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan. b. Mendirikan pos peredaran pengangkutan hasil hutan Pos ini didirikan di daerah perbatasan dan jalan lintas yang biasa dilewati dalam mengangkut hasil hutan yang tidak sah. c. Meningkatkan kualitas dan kuantutas Polisi Hutan hal ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia dan Polhut itu sendiri. d. Memberikan penyuluhan hukum Penyuluhan hukum ini tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum yang lain yaitu kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan, serta mengikut sertakan tokoh-tokoh masyarakat. B.



SARAN



Saran-saran yang dapat penulis berikan : 1. Ketentuan peraturan per undang-undangan terhadap tindak pidana illegal logging di Indonesia belum dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk itu pemerintah pusat harus memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparatur pemerintah daerah dengan harapan agar setiap pemerintah daerah dapat mempersiapkan aparatur (kualitas dan kuantitas) guna menangani terjadinya tindak pidana illegal



loging.



Dengan adanya aparatur



yang



baik



(kualitas dan



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



kuantitas)maka diaharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging akan semakin meningkat. 2.



Dalam menangani tindak pidana illegal logging diperlukan peran aktif masyarakat sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu diharapkan kepada masyarakat lebih berperan aktif untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan di sekitarnya dan melaporkan kepada pihak yang berwajib setiap kejadian yang mencurigakan. Pemerintah juga diharapkan untuk lebih memperhatikan keadaan ekonomi masyarakat terutama yang yang tinggal di sekitar daerah hutan yang umumnya tergantung pada hasil hutan. Sehingga tidak terdorong untuk melakukan praktek illegal logging baik untuk kepentingan sendiri maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar. Selain itu juga pemerintah harus m,eningkatkan kegiatan penyuluhan hukum sehingga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hutan.



3.



Agar penyidik di bidang Kehutanan dapat lebih menunjukkan eksistensinya maka harus diberikan otoritas dan wewenang yang lebih besar lagi. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa penyidik PNS khususnya di bidang Kehutanan sebagai penyidik Pegawai Negri Sipil yang mempunyai kewenangan yang relatif sempit.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta Echols, M, Jhon, dan Shandly, Hasan,1996, An English-Indnesian Dictionary, Cetakan XXIII, Gramedia, Jakarta H. SAlim ,S, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika,Jakarta,2002 Harahap, M, Yahya 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta Husin, M, Harun, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta K, Satochid, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa Marpaung, Leden, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga, Jakarta Nurjana, IGM, dkk, 2005, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Jakarta Parlindungan, AP 1998, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, Prakoso, Djoko, 1985,Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Ghalia Remelink, Jan, 2003 Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-



Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam



Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Suarga, Riza, 2005, Pemberantasan Illegal Logging, Ctakan I, WWana Aksara, Jakarta Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009



Soekamto,Sojono,2002,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan IV,Grafindo, Jakarta Usfa, Fuad, A, & Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Edisi Pertama, Universitas Muhamadiyah Malang Press, Malang Zain, S, A, 1996, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta, Jakarta Indonesia, Jakarta Timur



Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, 2004,Eko Jaya,Jakarta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentar lengkap Pasal demi Pasal, 1994, Politeia Bogor Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 1997, Departemen Kehakiman RI, Jakarta Praturan Pemrintah Nomor 45 Tahun 2204 tentang Perlindungan Hutan. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Wilayah Republik Indonesia.



Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009