Skripsi Nurfitriyana (061711087) - A17'1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERBANDINGAN PEWARNAAN PREPARAT BASAH PADA TELUR CACING SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) MENGGUNAKAN PEWARNA EOSIN DAN PEWARNA ALAMI DAUN PACAR AIR



PROPOSAL PENELITIAN Diajukan sebagai salah satu syarat Meraih gelar sarjana terapan Kesehatan (S.Tr.Kes)



Disusun oleh : Nurfitriyana 061711087



FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS UNIVERSITAS BINAWAN 2021



i



LEMBAR PENGESAHAN



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis berupa nikmat sehat serta segala karunianya yang diberikan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini yang berjudul “Perbandingan Pewarnaan Preparat Basah Pada Telur Cacing Soil Transmitted Helminths (STH) Menggunakan Pewarna Alami Daun Pacar Air”. Proposal ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kelulusan program studi D-IV Teknologi Laboratorium Medis, Fakultas Sains dan Teknologi, di Universitas



Binawan.



Pada



kesempatan



ini



saya



menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Proposal ini, baik dengan doa, bimbingan serta supportnya. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan kontribusi kepada :



1. Bapak Muhammad Rizki Kurniawan, S.Si., M.Si Selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Binawan. 2. Ibu



Septiani



Pembimbing1



S.Pt.,



Si,



M.PKim



Proposal



yang



Selaku telah



Dosen



berkenan



membimbing, memberikan tambahan ilmu dan solusi pada setiap permasalahan dan kesulitan dalam penulisan Proposal ini. 3. Ibu



Sabarina



Pembimbing



Elfrida,SKM.,M.Pd Proposal



II



yang



selaku telah



dosen bersedia



membimbing dan mengarahkan penulisan selama iii



menyusun Proposal dan memberikan banyak ilmu serta solusi pada setiap permasalahan atas kesulitan dalam penulisan Proposal ini.. 4. Kedua orangtua saya yang telah memberikan dukungan kepada penulis, baik dukungan moril maupun materil serta kasih saying dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis sampai pada tahap ini. 5. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Binawan yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan. 6. Teman seperjuangan yang telah berjuang bersama dari awal perkuliahan hingga Proposal selalu ada di samping penulis dikala susah maupun senang. 7.



Seluruh membantu



responden dan



yang



telah



meluangkan



waktu



bersedia dalam



penelitian ini. Semoga Proposal ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun pembaca. Saya menyadari bahwa dalam Proposal ini masih banyak kekurangan atau jauh dari kata sempurna, tetapi saya berharap Proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kritik saran yang membangun sangat saya harapkan. Terima kasih. Jakarta, Juli 2021 Penulis



Nurfitriyana



iv



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii KATA PENGANTAR..........................................................................................iii DAFTAR ISI...........................................................................................................v DAFTAR TABEL................................................................................................vii DAFTAR GAMBAR..........................................................................................viii BAB I.......................................................................................................................1 PENDAHULUAN...................................................................................................1 1.1.



Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH)..............................1



1.2.



Rumusan Masalah...................................................................................3



1.3.



Tujuan Penelitian....................................................................................3



1.4.



Manfaat Penelitian..................................................................................4



BAB II.....................................................................................................................5 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................5 2.1.



Soil Transmitted Helminths (STH)........................................................5



2.2.



Pencegahan.............................................................................................14



2.3.



Metode Pemeriksaan Telur Cacing.....................................................14



2.4.



Jenis Pewarnaan Eosin.........................................................................15



2.5.



Jenis Pewarnaan Daun Pacar Air........................................................15



2.6.



Kerangka Teori......................................................................................17



2.7.



Hipotesis.................................................................................................17



BAB III..................................................................................................................18



v



METODE PENELITIAN....................................................................................18 3.1.



Jenis dan Desain Penelitian..................................................................18



3.2.



Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................18



3.3.



Populasi dan Sampel.............................................................................18



3.4.



Variabel Penelitian dan Kerangka Konsep.........................................19



3.5.



Definisi Operasional..............................................................................20



3.6.



Instrumen Penelitian dan Prosedur Penelitian...................................23



3.7.



Metode Analisis Data............................................................................25



DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27



vi



DAFTAR TABEL



vii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1 Telur A. lumbricoides Fertil dan A. lumbricoides Unfertil................16 Gambar 2.2 Siklus Hidup A. lumbricoides............................................................17 Gambar 2.3 Telur Trichuris Trichiura....................................................................19 Gambar 2.4 siklus hidup cacing Trichuris trichiura...............................................19 Gambar 2.5 Telur cacing tambang.........................................................................22 Gambar 2.6 siklus hidup cacing tambang..............................................................22



viii



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) Pravalensi infeksi kecacingan mencatat data dari World Health Organization (WHO) lebih dari 1,5 milyar penduduk atau 24% dari populasi dunia terinfeksi STH (Soil Transmitted Helminths). Distribusi terbanyak infeksi STH (Soil Transmitted Helminths)adalah negara dengan iklim tropis dan subtropis terutama di China, Asia Timur, dan sub-Saharan Afrika.1 Pravalensi terjadinya kecacingan pada manusia didunia yaitu sebanyak 1300 terinfeksi telur cacing Ascaris lumbricoides 500 juta orang terinfeksi Trichuris trichiura, 400 – 800 juta orang terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), dan 80 juta orang terinfeksi Strongyloides stercoralis.2 Berdasarkan data dari Dirjen P2L pravalensi kecacingan di Indonesia pada tahun 2014 yaitu 20 – 86% dengan rata – rata 30%. Sedangkan menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pravalensi kecacingan di Indonesia bervariasi antara 2,5% - 60 %. 3 Penyakit yang disebabkan oleh masalah infeksi masih menjadi masalah besar bagi kesehatan di dunia, contohnya seperti di Indonesia yang teinfeksi cacing usus. Penduduk yang terjangkit infeksi yang ditularkan melalui tanah dikenal sebagai istilah STH (Soil Transmitted Helminths). Penyakit ini termasuk dalam golongan Neglacted Tropical Deseases (NTD). Penyakit Neglacted Tropical Deseases merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah Indonesia namun hal ini kurang mendapatkan perhatian kalangan masyarakat. Spesies utama cacing usus yang dapat menyebabkan kecacingan pada manusia yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan americanus dan Ancylostoma duodenale).4



1



cacing tambang (Necator



Infeksi cacing usus ini dapat membuat penderitanya mengalami kerugian , sebab secara perlahan adanya infestasi cacing didalam tubuh penderita akan menyebabkan gangguan kesehatan, mulai dari gejala yang sangat ringan sampai gejala yang sangat berat yang ditunjukan sebagai manifestasi klinis. Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya melalui kaki, tangan atau kuku yang mengadung telur cacing. Apabila



jumlahnya



lebih



banyak



dapat



menyebabkan



gangguan



penyerapan, anemia, ganguan pertumbuhan, menurunkan kecerdasan pada anak, dan penurunan produktivitas pada orang dewasa. Infeksi kecacingan ini sering terjadi tanpa gejala, sehingga penyakit ini kurang mendapatkan perhatian secara khusus dan perlu dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis.4 Diagnosa penyakit cacing ditegakan dengan menemukan telur, larva, dan cacing dewasanya. Ukuran telur dan larva sangat kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop, sehingga diagnosis sangat bergantung



pada



peralatan



serta



kemampuan



dan



kecermatan



pemeriksaannya. Parasit dan stadium-stadium tersebut dapat dijumpai pada tinja, darah ataupun jaringan-jaringan organ tubuh.5 Infeksi



yang



disebabkan



oleh



cacing



dapat



didiagnosa



menggunakan beberapa cara salah satunya pemeriksaan sediaan langsung dengan pewarnaan Eosin 2%, Pewarnaan telur cacing bertujuan untuk me mudahkan dan mempelajari bentuk telur cacing, dan memperjelas telur cac ing, serta kontras pada preparat telur cacing dengan menggunakan mikrosk op. Pewarnaan menggunakan Eosin 2% membuat lapang pandang terlalu k ontras sehingga sulit membedakan kotoran dengan telur cacing, sehingga p eneliti mencoba menggunakan bahan alami yang bertujuan membuat lapan g pandang tidak terlalu kontras sehingga telur cacing terlihat dengan jelas dan dapat di bedakan dengan kotoran disekitarnya. Pewarnaan Eosin 2% memiliki kelebihan yaitu penyerapan telur cacing lebih optimal dan juga memiliki kekurangan yaitu mudah membuat mata lelah dan memerlukan banyak reagen.6



2



Komposisi reagen ini bersifat asam dan berwarna merah. Pada penelitian ini dikembangkan pemanfaatan salah satu flora yang dapat di gunakan sebagai bahan pewarna karna mengandung antosianin penghasil zat warna.6 Zat warna yang dihasilkan pada ekstrak daun pacar air berwarna merah diharapkan dapat menggantikan Eosin 2% karena Daun pacar air mengandung senyawa lawsone yang dapat menimbulkan warna yang menghasilkan pigmen warna merah yang mirip dengan pewarnaan Eosin.7 Kelebihan pewarnaan Daun pacar air adalah lebih aman, ramah lingkungan, harganya relatif lebih murah. dan mudah di dapat disekitar pe neliti dari pada bahan percobaan sebelumnya. Kekurangan pewarnaan pacar air adalah tidak diketahui masa kadaluarsanya dalam bentuk larutan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan penelitian tentang perbandingan pewarnaan preparat basah dari Eosin dan daun pacar air. Oleh karna itu, penulis melakukan penelitian tentang “Perbandingan Preparat Basah Pada Telur Cacing STH (Soil Transmitted Helminths) Menggunakan Pewarnaan Eosin Dan Pewarnaan Alami Daun Pacar Air. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana perbandingan hasil antara pewarnaan telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan eosin dan pewarnaan alami daun pacar air? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbandingan hasil preparat basah telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) dengan pewarnaan eosin. 1.3.2



Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi pewarnaan preparat basah telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan pewarnaan eosin.



3



2. Mengidentifikasi pewarnaan preparat basah telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan pewarnaan alami daun pacar air. 3. Menganalisis perbandingan hasil pewarnaan preparat



basah



telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan pewarnaan eosin dan pewarnaan alami daun pacar air. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Akademi Dapat menambah refrensi tentang pengecatan preparat basah telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan pewarna alami daun pacar air. 1.4.2. Manfaat Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hasil pewarnaan preparat telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan bahan alami daun pacar air. 1.4.3. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil pemeriksaan diharapkan dapat memberi ilmu pegetahuan yang baru dalam bidang kesehatan, terutama bidang Teknologi Laboratorium Medik, mengenai hasil pewarna alami daun pacar air sebagai pengecatan preparat basah telur cacing. 1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti Sebagai informasi dan pengetahuan mengenai pengecatan preparat basah telur cacing STH (Soil Transmitted Helminths) menggunakan bahan alami pacar air dan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan bekerja di laboratorium kesehatan.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) Infeksi STH (Soil Transmitted Helminths) merupakan infeksi yang disebebkan oleh nematoda usus yang dalam penularannya memerlukan media tanah. Cacing yang tergolong STH (Soil Transmitted Helminths) yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Infeksi STH (Soil Transmitted Helminths) banyak ditemukan pada daerah yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia Tenggara, karena telur dan larvanya lebih dapat berkembang di tanah yang hangat dan basah. STH (Soil Transmitted Helminths) adalah sekelompok cacing parasit golongan Nematoda (cacing usus) yang membutuhkan media tanah dalam penyebarannya. Di Indonesia golongan cacing yang paling sering menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan penyakitnya yang disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan penyakitnya



yang disebut



Trichuriasis, cacing



tambang



(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang masing masing penyakitnya disebut Ankilostomiasis dan Nekatoriasis. Dan terdapat satu lagi jenis cacing yang jarang ditemukan yaitu Strongiloide stercoralis dengan penyakitnya yang disebut Strongiloidiasis.8 Siklus hidup cacing STH secara umum dengan manusia sebagai hospesnya. Telur cacing yang keluar bersama feses orang yang terinfeksi dan membutuhkan media tanah yang lembab agar dapat berkembang menjadi telur yang matang. Telur yang matang bersifat infeksius apabila



5



tertelan oleh manusia maka akan berubah menjadi larva yang kemudian akan menetap sesuai dengan predileksi dari masing-masing spesies. Larva kemudian akan berkembang menjadi dewasa dan cacing betina akan mengeluarkan telur setiap hari dengan jumlah yang banyak. Kemudian telur akan keluar Bersama tinja (feses) dan siklusnya akan berputar seterusnya jika tidak ada pencegahan atau penanggulangan.8 2.1.1.



Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)



Kingdom



: Animalia



Filum



: Nemathelminthes



Kelas



: Nematoda



Sub Kelas



: Rhabditia



Ordo



: Ascarida



Sub- Ordo



: Accaridata



Famili



: Ascaridoidae



Genus



: Ascaris



Spesies



: Ascaris lumbricoides.9 Cacing Ascaris lumbricoides berbentuk bulat atau silinder



yang menjadi parasite pada usus kecil manusia. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides jantan lebih kecil dari cacing betina. Ascaris lumbricoides jantan memiliki ukuran panjang 15-20 cm, lebarnya 2 – 6 mm, dan memiliki ekor (ujung belakang) yang bengkok atau melengkung kebagian perut sedangkan cacing dewasa Ascaris lumbricoides betina 35 – 40 cm, lebarnya 2 – 6 mm, dan memiliki ekor (ujung belakang) yang lurus.10 Predileksi cacing berada pada lipatan mukosa usus halus yang mana dapat menyebabkan iritasi, iritasi juga dapat menimbulkan mual, sensasi tidak nyaman diperut serta sakit perut yang tidak jelas dimana letaknya. Iritasi didalam mukosa usus dapat berkembang sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing dewasa dalam jumlah yang banyak dapat memasuki rongga mulut



6



dikarenakan adanya regurgitasi, sehingga cacing dewasa ini dapat keluar melalui rongga mulut dan hidung. Cacing dewasa juga dapat memasuki ke dalam tuba eustachii. Jika cacing dewasa bertambah banyak dapat menimbulkan obstruksi usus (ileus) dan dapat menyebabkan manifestasi seperti edema pada wajah, urtikaria dan penurunan nafsu makan dikarenan toksin yang dikeluarkan.8 Manifestasi yang ditimbulkan dari Ascaris lumbricoides adalah Sindroma loeffler, diakibatkan dari larva cacing yang bermigrasi kedalam paru-paru sehingga menimbulkan sindrom seperti batuk, demam, eosinophilia dan pendarahan kecil pada dinding alveolus yang akan terlihat seperti infiltrat paru ketika dilakukan rontgen toraks dan akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Larva akan bermigrasi ke organ lain sehingga dapat menimbulkan meningitis, encephalitis dan endophthalmitis.8



Gambar 2.1 Telur A. lumbricoides Fertil dan A. lumbricoides Unfertil



Telur yang sudah dibuahi ketika keluar bersama tinja manusia bersifat tidak infertil. Tetapi apabila telur terdapat dalam lingkungan yang sesuai yang memiliki 20-30% dalam waktu kurang lebih 3 minggu telur akan menjadi matang yang disebut telur infektif yang berisi larva, bila telur infertik tersebut tertelan oleh manusia maka akan menetas di usus halus dan menjadi larva, larva akan menembus dinding usus halus menuju pembulu darah atau saluran limfa, lalu dialirkan ke jantung, mengikuti aliran darah ke paru, bronkus, dan trakea, tertelan masuk ke dalam esofagus, kemudian rongga usus halus dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan.10



7



Gambar 2.2 Siklus Hidup A. lumbricoides



Siklus hidup Ascaris Lumbicoides sebagai berikut, cacing dewasa betina dapat menghasilkan telur sebanyak 200.000 telur perhari kemudian tumbuh menjadi bentuk infektif selama 18 hari setelah bertelur. Telur cacing yang telah matang jika tertelan oleh manusia menetas dan menjadi larva di duodenum dan akan masuk malalui sirkulasi dan menyebar melaui sirkulasi portal ke sirkulasi paru. Setelah 2 minggu sejak pemaparan awal, larva akan memasuki ruang udara paru-paru yang kemudian akan bermigrasi melalui saluran udara untuk mencapai trakea dan epliglotis. Larva akan tertelan kembali dan masuk kembali kedalam saluran usus yang akan berubah menjadi tahap dewasa dan berdiferensial secara seksual. Cacing dewasa bertahan hidup dengan mempertahankan kedekatan dengan dinding usus dan mengambil makanan dengan mengurangi nutrisi dari chymus usus.11 Cacing akan berkembang menjadi cacing jantan atau betina dalam kurung waktu 14 – 20 hari, cacing betina akan melepaskan jutaan telur dalam kurung waktu sekitar 70 hari setelah menelan telur infektif. Telur yang dilepaskan atau keluar bersama tinja dapat memliki kemampuan bertahan hidup terhadap berbagai kondisi lingkungan dan dapat bertahan hidup selama 6 tahun di dalam tanah.12 2.1.2.



Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)



Kingdom



: Animalia



Filum



: Nemathelminthes



Kelas



: Nematoda



Sub-kelas



: Aphasmide



Ordo



: Enoplida



Super famili



: Trichuroidea



8



Famili



: Trichuridae



Genus



: Trichuris



Spesies



: Trichuris trichiura.13 Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di



daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia. Trichuris trichiura tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Indonesia merupakan daerah endemik parasit ini dan seringkali infeksinya ditemukan bersama dengan infeksi Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Entamoeba hystolitica. Nematoda dewasa berbentuk seperti cambuk. Cacing jantan yang agak lebih kecil dari pada betina, panjang cacing betina berukuran kira-kira 30 – 50 mm, dan cacing jantan berukuran kira-kira 30 – 45 mm. Bagian anterior langsing seperti cambuk sedangkan bagian posterior bentuknya lebih gemuk. Organ kelamin tidak berpasangan dan berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.14 Seekor cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 4000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutubnya. Telur ini memiliki dua lapisan lapisan luar berwarna kekuning-kuningan sedangkan lapisan bagian dalam telur jernih.14



Gambar 2.3 Telur Trichuris Trichiura



Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, pematangan



telur



memerlukan



waktu



3-6



minggu



dalam



lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah lembab dan teduh. Telur yang sudah matang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.



9



Infeksi Trichuris trichiura (Trichuriasis) disebabkan oleh makanan atau jari terkontaminasi telur infektif yang masuk ke dalam mulut Selanjutnya telur menetas dibagian proksimal usus halus, keluar larva, menetap membutuhkan waktu 3-10 hari, cacing dewasa berada di usus besar dan menetap dalam beberapa tahun, larva tidak mengalami migrasi dalam siklus darah ke paru-paru.14



Gambar 2.4 Siklus Hidup Cacing Trichuris trichiura



Manusia mendapatkan infeksi Trichuris trichiura karena tertelan telur cacing infektif yang mengkontaminasi makanan. Telur-telur menetas di usus halus, larva akan keluar, berkembang di mukosa usus kecil dan menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar Cacing betina menjadi dewasa dalam kurang lebih 30 – 90 hari dan akan mulai bertelur dalam 60 – 70 hari setelah menginfeksi manusia dan dapat hidup selama 5 tahun lebih. Telur dikeluarkan dalam stadium belum membelah dan membutuhkan 10 – 14 hari untuk menjadi matang pada tanah yang lembab.14 Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar diseluruh bagian kolom dan rektum. Cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga mengakibatkan trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus biasanya



10



juga dapat mengakibatkan pendarahan ditempat pelekatannya, cacing juga menghisap darah hospes sehingga dapat menyebabkan anemia. Infeksi berat sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa, infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini sering ditemukan pada pemeriksaan tinja secara rutin. Spesimen yang digunakan dalam penentuan diagnosis infeksi kecacingan biasanya berasal dari feses, bilasan lambung dan apusan rektal atau swab anus,untuk pemeriksaan feses rutin dibutuhkan sampel sebanyak 2 – 3 gram, yang perlu diperhatikan adalah feses harus bebas minyak dan bahan-bahan kimia seperti barium.15 2.1.3.



Cacing



Tambang



(Ancylostoma



duodenale



dan



Ancylostoma Americanus) Infeksi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale merupakan penyebab anemia defisiensi besi, beri-beri, dermatitis, asma bronkiale tuberculosis dan penyakit gangguan perut lainnya, selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinema yang terjadi akibat kehilangan albumin. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinema dapat menghambat proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah.14 Kingdom



: Animalia



Filum



: Nemathelminthes



Kelas



: Nematoda



Sub-kelas



: Secernentea



Ordo



: Strongilid



Super famili



: Ancylostomatoidea



Famili



: Strongyloidea



Genus



: Necator / Ancylostoma



Spesies



: Necator americsnus / Ancylostoma duodenal.13



11



Cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan Afrika. Cacing hookworm dewasa ini memiliki bentuk silindris berwarna keabuabuan dengan ukuran panjang cacing betina sampai 9 – 13 mm, sedangkan cacing jantan berukuran antara 5 – 11 mm. Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa kopulatris yang merupakan suatu alat bantu kopulasi. Cacing hookworm dapat dibedakan morfologinya berdasarkan bentuk tubuh, rongga mulut (buccal capsule)



dan



bursa



kopulatriksnya.



Necator



americanus



menyerupai bentuk ‘S’ sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai bentuk ‘C’. Necator americanus memiliki buccal capsule sempit, pada dinding ventral terdapat sepasang benda pemotong berbentuk bulan sabit (semilunar cutting plate) sedangkan sepasang lagi kurang nyata berada di dinding dorsal. Ancylostoma duodenale memiliki buccal capsule yang lebih besar dibandingkan Necator americanus, memiliki dua pasang gigi ventral yang runcing (triangular cutting plate) dan sepasang gigi dorsal rudimenter.14 Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop bentuk telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lain, telur berbentuk oval atau ellips dengan ukuran 40 – 60 mm, tidak berwarna, berdinding tipis dan di dalamnya terdapat lebih dari satu sel telur. Necator Americanus dapat menghasilkan 9.000 – 10.000 telur setiap harinya, sedangkan Ancylostoma Duodenale 10.000 – 20.000 telur per hari. Cacing hookworm mempunyai dua stadium larva yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif.14



12



Gambar 2.5 Telur cacing tambang



Cacing tambang memerlukan tanah pasir yang gembur, tarcampur humas dan terlindungi dari sinar matahari langsung dengan suhu optimal bagi Necator americanus 28-32℃ sedangkan Ancylostoma duodeanale sedikit lebih rendah yaitu 23-25℃. Telur cacing tambang memerlukan waktu untuk menetas menjadi larva rabditifrom dalam waktu 24-36 jam kemudian pada hari ke 5-8 berubah menjadi bentuk filarifrom yang bersifat infektif yang dapat menembus kulit dan terbawa ke pembulu darah menuju jantung, paru-paru, naik ke bagian faring dan tertelan bermigrasi ke usus halus, di usus halus larva ini berkembang menjadi dewasa dan bertahan hidup 1-2 tahun.14



Gambar 2.6 Siklus Hidup Cacing Tambang Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan



berkembang di tanah, telur akan menetas dalam 1 – 2 hari dengan suhu optimal 23-33°C. Telur mengeluar larva rhabditiform berukuran (250-300) x 17 m dan melepaskan larva rhabditiform, kemudian berubah menjadi larva filarifrom dalam waktu 5-10 hari, Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai ke alveoli. Setelah 13



itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkhus, trakea, faring, kemudian tertelan, turunke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum cacing ini melekatkan diri pada membran mukosa usus dengan menggunakan gigi-gigi kitin atau gigi pemotongnya dan mengisap darah yang keluar dari luka gigigtan.14 2.2. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya infeksi telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH), yaitu dengan : 



Memperbaiki sanitasi lingkungan dan tidak buang air besar di tanah







Tidak menggunakan tinja untuk pupuk







Untuk mencegah kontak dengan larva yakni menggunakan alas kaki dan menggunakan sarung tangan bila berkebun







Pendidikan masyarakat tentang kesehatan.9



2.3. Metode Pemeriksaan Telur Cacing Cara langsung (sediaan basah) adalah metode yang digunakan bertujuan untuk mengetahui telur cacing pada feses secara langsung dengan penggunaan larutan Eosin 2% ( dengan penggunaan kaca penutup). pemeriksaan feses dengan metode langsung dengan bantuan mikroskop untuk mengetahui feses yang positif mengandung telur cacing. Pemeriksaan feses secara langgung dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan kaca penutup dan tanpa menggunakan kaca penutup. Pembuatan preparat sediaan langsung dengan kaca penutup adalah sebagai berikut. Satu tetes cairan diletakan di atas kaca objek kemudian feses di ambil dengan lidi (1-2 mm 3) dan di ratakan sampai homogen. Apabila terdapat bahan yang kasar maka dikeluarkan menggunakan lidi, kemudian preparat ditutup menggunakan kaca penutup. Usahana cairan



14



tersebar merata tanpa ada gelembung udara. Sediaan dapat diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x atau 40x. Pembuatan preparat sediaan secara langsung tanpa kaca penutup yaitu satu tetes cairan di letakan di atas kaca objek tambahkan feses diambil menggunakan lidi (2 – 3 mm3) preparat diratakan hingga homogen menggunakan lidi sehingga terbentuk lapisan tipis tetapi tetap basah, kemudian di priksa di bawah mikroskop menggunakan perbesaran 10x atau 40x.9 2.4. Jenis Pewarnaan Eosin Eosin



merupakan



larutan



yang



sering



digunakan



dalam



pemeriksaan mikroskopik sebagai usaha mencari protozoa dan telur cacing serta digunakan sebagai bahan untuk pengencer feses, telur cacing akan tampak jelas apabila di beri pewarnaan dengan menggunakan Eosin 2%,Eosin 2% diperoleh dengan mencampurkan 2 gr Eosin blush dalam 100 ml aquades.9 2.5. Jenis Pewarnaan Daun Pacar Air Klasifikasi: Kingdom



: Plantae



Divisi



: Magnoliophyta



Sub-divisi



: Spermatophhyta



Kelas



: Magnoliopsida



Ordo



: Geraniales



Famili



: Balsaminaceae



Genus



: Impatiens



Spesies



: Impatiens balsamina Linn.16



15



Gambar 2.7 Daun Pacar Air



Tumbuhan daun pacar air biasa atau inai dikenal dengan nama latin Lawsonia inermis L. Tumbuhan ini penggunaannya diketahui sebagai pewarna kuku pada wanita terutama pada acara-acara khusus seperti pernikahan, khususnya di kawasan Sumatera. Namun oleh masyarakat pedesaan tertentu di Indonesia daun inai atau pacar digunakan juga sebagai obat penyembuh luka, yaitu dengan cara dilumatkan kemudian ditempelkan di daerah luka. Daun pacar (Lawsonia inermis L) memiliki substansi zat warna yang bervariasi mulai dari merah, burgundy, kuning tua, coklat kemerahan sampai coklat, selain itu juga mengandung hennotannic acid yaitu suatu bahan penyamak. Daun pacar air dapat menjadi alternatif bahan pewarna telur cacing karena mengandung kromofor gugus yang dapat menimbulkan pigmen warna merah. Tumbuhan pacar menghasilkan molekul berwarna kuning kemerahan yang disebut Lawsone. Molekul ini memiliki kemampuan mengikat protein, sehingga dapat digunakan untuk mewarnai kulit, rambut, kuku, kain sutera, dan wol, ternyata memiliki khasiat sebagai antibakteri, anti-iritan, antioksidan, antikarsinogenik, anti-inflamasi, analgetik, dan antipiretik melalui pengujian secara in vitro dan invivo. Didalam daun pacar terdapat senyawa 2-hydroxy-1:4-napthoquinone (lawsone), asam p-coumaric, 2methoxy-3-methyl-1,4-naphthoquinone, apiin, apigenin, luteolin, dan cosmosiin. Selain itu daun pacar juga mengandung golongan senyawa aktif, seperti alkaloid, glikosida, flavonoid, fenol, saponin, tanin, dan minyak atsiri. Fenol dan flavonoid merupakan senyawa aktif yang paling banyak ditemukan.7 2.6. Kerangka Teori 2.1 Kerangka T



16



Metode pemeriksaan:



Eosin 2%



Kelebihan: Penyerapan warna telur cacing lebih Optimal



Kekurangan: Mudang membuat mata lelah dan membutuhkan banyak reagen



langsung



Pewarnaan telur cacing STH



Sampel: feses



Daun pacar air



Kelebihan: Lebih aman bagi kesehatan, ramah lingkungan, dan harganya relatif lebih murah



Kekurangan: Tidak dapat diketahui masa kadaluarsanya dalam bentuk larutan



2.7. Hipotesis H0 : Tidak terdapat perbedaan perbandingan pewarnaan telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH) dengan pewarnaan eosin2% dan pewarnaan daun pacar air. Ha : Terdapat perbedaan perbandingan pewarnaan telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH) dengan pewarnaan eosin 2% dan pewarnaan daun pacar air. BAB III METODE PENELITIAN



3.1. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian komparatif dengan menggunakan desain Cross sectional. Pada penelitian komperatif ini dilakukan dengan percobaan untuk membandingkan eosin dengan daun pacar air sebagai pewarna preparat basah telur cacing Soil Transmited Helmint (STH). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat penelitian Tempat penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Klinik Medilab, Jakarta Pusat. 17



3.2.2 Waktu penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April - Juni 2021. 3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1



Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah sampel suspensi telur cacing yang telah terkonfirmasi positif telur cacing Soil Transmittes Helmiths (STH).



3.3.2



Sampel Sampel pada penelitian ini dilakukan menggunakan sampel



suspensi yang telah terkonfirmasi positif telur cacing Soil Transmittes



Helmiths



(STH).



melakukan



pengulangan



pada



Pada penelitian sammpel



ini peneliti



sebanyak



3



kali



pengulangan untuk kelompok eksperimen dan masing – masing pengulangan dilakukan sebanyak 10 kali dengan pewarnaan eosin 2% dan pewarnaan daun pancar air 5%, pewarnaan daun pancar air 10%, pewarnaan daun pancar air 30%. 



Kriteria Inklusi Sampel yang terkonfirmasi positif telur cacing Soil Transmittes Helmiths (STH)







Kriteria Eksklusi Sampel yang tidak mengandung telur cacing Soil Transmittes Helmiths (STH)



3.4. Variabel Penelitian dan Kerangka Konsep 3.4.1. Variabel Kerangka konsep pada penlitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.



18







Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode langsung pewarnaan Eosin dan pewarnaan alami Daun Pacar Air







Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perbandingan pewarnaan telur cacing Soil Transmited Helminths (STH).



3.4.2. Kerangka konsep



Telur cacing pada pewarnaan eosin. Telur cacing pada pewarnaan daun pacar air.



Perbandingan telur cacing pada pewarnaan eosin dengan pewarna daun pacar air



3.5. Definisi Operasional Table 1. Definisi Oprasional No



Variabel



Devinisi



Cara Ukur



Oprasional



Skala Ukur



19



Hasil Ukur



1.



Pewarnaan



Pewarnaan



Eosin



Eosin



Eksperimental Nominal 2%



merupakan pewarnaan yang



sering



digunakan dalam pemeriksaan mikroskopik sebagai



usaha



mencari protozoa



dan



telur



cacing



serta digunakan sebagai



bahan



untuk pengencer feses, 2.



Pewarnaan



telur



cacing. Pewarnaan



Eksperimental Ordinal



1. 5%



Daun Pancar Daun pacar air



2. 10%



Air



3. 30%



dapat merupakan alternatif bahan pewarna cacing



telur karena



mengandung kromofor gugus



yang



dapat menimbulkan



20



pigmen warna 3.



Perbandingan



merah. Kriteria



pewarnaan



preparat basah



kontras



cacing dengan kualitas



lapang



telur



Eksperimental Ordinal



buruk



1. Sensitivitas



Soil



baik



pandang



Transmited



dilihat



Helminths



kekontrasan



warna



(STH).



lapang



telur cacing



dari



2. Penyerapan



pandang,



3. Kejelasan



penyerapan warna



bagian dan



cacing



kejelasan bagian



telur



cacing. Penilaian kualitas preparat menggunakan teknik skoring, dengan rentang skor sedang,



pada



baik, dan



buruk.



21



telur



NO Penilitian 1 Anita Oktari,



Judul Hasil Optimasi Air Perasan Pada penelitian ini sampel di



Ahmad



Buah



Merah priksa secara langsung dengan



Mu’tamir, 2017



(Pandanus sp.) Pada pewarnaan Pemeriksaan



eosin



2%



dan



Telur pewarna alami perasan buah



Cacing.



merah dan aquades (1,1:1, 1:2, 1:3,



1:4,



1:5



didapatkan



)



kemudian



hasil



bahwa



konsentrasi perbandingan air perasan



buah



merah



dan



aquades (1:2) dapat dijadikan alternatif



pengganti



reagen



Eosin 2% untuk mewarnai telur 2



cacing . Sampel diperiksa menggunakan



Veni



Perbandingan



Khimawati,



Pewarnaan



Universitas



Basah



Muhammadiyah



Cacing



Semarang, 2019



Menggunakan



Preparat eosin 2% dan bahan alami



Pada



Telur gambir 10%, 25%, dan 50%. STH dan didapatkan hasil bahwa gambir dengan konsentrasi 10%



Pewarnaan Eosin dan dapat Pewarnaan



dijadikan



alternatif



Alami penggunaan eosin 20% untuk



Gambir.



mewarnain telur cacing karena mampu



menghasilkan



25



preparat kualitas sedang dengan prosentase 83,3%. 3.6. Instrumen Penelitian dan Prosedur Penelitian 3.6.1. Instrumen Penelitian A. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mikroskop, tabung reaksi, erlenmeyer, beaker glass, timbangan, corong, penumbuk, kaca objek, kaca penutup, lidi, pot feses, pipet tetes. 22



B. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu samepel feses, larutan eosin, daun pacar air, aquades. 3.6.2. Prosedur Penelitian A. Prosedur pembuatan reagen eosin Eosin yang digunakan adalah Eosin 2% yaitu 2 gr Eosin bluish ditimbang kemudian diencerkan dalam 100 ml aquades. B.



Prosedur pembuatan reagen daun pacar air Daun Pacar Air utuh di tumbuk atau diblender untuk mendapatkan ampas, selanjutnya ampas di peras menggunakan saringan sehingga menjadi konsentrasi 100%, selanjutnya konsentrasi 100% daun pacar air di larutkan dengan aquades dengan konsentrasi 5%, 10% dan 30% : 1. Larutan daun pacar air 5% yaitu 5 ml daun pacar air dengan konsentrasi 100% yang di addkan hingga 100 ml menggunakan aquades. 2. Larutan daun pacar air 10% yaitu 10 ml daun pacar air dengan konsentrasi 100% yang di addkan hingga 100 ml menggunakan aquades. 3. Larutan daun pacar air 30% yaitu 30 ml daun pacar air dengan konsentrasi 100% yang di addkan hingga 100 ml menggunakan aquades. 4. Selanjutnya masing masing larutan disaring menggunakan kertas saring. Air hasil inilah yang digunakan sebagai penelitian.



C. Prosedur penelitian secara mikroskopis 1.



Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.



23



2.



Letakan



sampel



feses



sebanyak



2mg



di



atasnya,



tambahkan Eosin 2%, daun pacar air 5%, 10%, dan 30% pada masing-masing preparat. 3.



Kemudian homogenkan dan tutup menggunakan kaca penutup 20x20 mm hingga tidak ada gelembung, diamati dengan mikroskop.



D. Cara Penilaian 1. Lapang pandang tidak kontras, telur cacing tidak menyerap warna, bagian telur tidak jelas terlihat. 2. Lapang pandang kurang kontras, telur cacing kurang menyerap warna, bagian telur kurang jelas terlihat. 3. Lapang pandang kontras, telur cacing menyerap warna , bagian telur jelas terlihat. Rentang skor a. 1-3 = buruk b. 3-6 = sedang c. 7-9 = baik Pemeriksaan dilakukan membandingkan antara preparat telur cacing STH yang terwarnai dengan pewarna Eosin 2% dan pewarna alami daun pacar air 5%, 10%, dan 30% . Pewarnaan dilakukan pengulangan 3kali. Hasil pewarnaan yang diperoleh akan



dimasukan



kedalam



tabel



yang



kemudian



diolah



menggunakan data statistik. 3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Teknik Pengumpulan Data Data yang diambil merupakan data primer yang diperoleh dari data hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode langsung menggunakan pewarnaan Eosin dan alami menggunakan daun pacar air. Selanjutnya data yang diperoleh sesuai lapang pandang,



24



tidak kontras , telur cacing tidak menyerap warna, bagian telur tidak jelas terlihat, lapang pandang kurang kontras, telur cacing kurang menyerap warna, bgian telur kurang terlihat jelas, lapang pandang kontras, telur cacing menyerap warna, bagian telur terlihat jelas dari observer atau pengamat yang telah melakukang trining dimasukan kedalam tabel. Data yang terkumpul berupa angka yaitu hasil pemeriksaan telur yang terdapat pada feses. Selanjutnya, hasil dari preparat di amati dan diperoleh data yang kemudian dianalisis dengan menggunakan perhitungan stasistik. 3.7.2. Pengolahan Data Data yang diperoleh melalui beberapa tahap pengolahan yaitu editing, coding, entry data, dan cleaning data : 1. Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh untuk dikumpulkan. Dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. 2. Coding, adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang



terdiri atas beberapa kategori. Pada



penelitian ini pemberian kode numerik untuk variabel. 3. Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan. 4. Cleaning data adalah proses untuk meyakinkan bahwa data yang telah di entry atau dimasukan benar-benar tidak ada kesalahan. 3.7.3. Analisis Data Analisis data yaitu menggunakan : 1. Analisa Univariat yaitu bertujuan untuk pengelompokan data dengan katagorisasi. 2. Analisa Bivariate yaitu bertujuan untuk melihat hasil perbandingan variable yang akan di teliti.



25



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Klinik Laboratorium Medilab untuk dilakukannya pemeriksaan perbandingan pewarnaan telur cacing Soil Transmitted Helminths menggunakan biakan atau suspense sampel positif telur cacing. Klinik laboratorium Medilab adalah klinik yang berdiri pada tanggal 9 September 1986 di Jakarta dan dikelola langsung oleh Dokter Spesialis Patologi Klinik. Laoratorium ini terletak di Jl. Letjen No. 504 C, Jakarta Pusat. Laboratorium klinik ini berdiri selama 33 tahun hingga sekarang dengan laboratorium berstandarisasi nasional dan WHO yang membantu dalam percepatan proses screening. Laboratorium ini berkapasitas mengerjakan sampel sebanyak 5000 setiap hari. Laboratorium ini juga dilengkapi dengan perangkat metode Real time PCR yang sudah melalui rangkaian uji mutu dengan akurasi sebesar 99.9%. Laboratorium ini mengutamakan kualitas prima dengan dukungan tenaga professional dibidangnya yaitu : 



Dokter Spesialis Radiologi







Dokter Spesialis Patologi Anatomi







Dokter Spesialis Kardiologi







Tenaga Analis dan Penata Rontgen berpengalaman Laboratorium ini memiliki visi yaitu mewujudkan kesadaraan



masyarakat akan pentingnya pemeriksaan laboratorium praktis demi 26



menghindari kesalahan persepsi. Misi laboratorium ini adalah memberikan pelayanan laboratorium yang terbaik dan kualitas prima dengan dukungan tenaga professional dibidangnya.



4.2. Hasil Perbandingan Pewarnaan Telur Cacing Soil Transmitted Helminths pewarna Eosin dengan Daun Pancar Air Sampel diambil dari suspensi feses positif telur cacing STH. Suspensi feses langsung di buat preparat basah menggunakan penutup obje k. Tiap sempel di buat 3 kali pengulangan pada eosin 2%, daun pacar air 5 %, daun pacar air 10% dan daun pacar air 30%. Pengamatan sediaan denga n mengamati kekontrasan lapang pandang, penyerapan warna dan kejelasa n bagian telur cacing. 1. Sajian analis data dan deskriptis Sampel diambil dari suspensi positif telur cacing STH. Suspensi po sitif telur cacing STH langsung di buat preparat basah menggunakan p enutup objek. Tiap sempel di buat 3 kali pengulangan pada eosin 2%, d aun pacar air 5%, daun pacar air 10% dan daun pacar air 30%. Pengam atan sediaan dengan mengamati kekontrasan lapang pandang, penyerap an warna dan kejelasan bagian telur cacing. 1.



Sajian analis data dan deskriptis



Gambar 11. telur Ascaris lumbri coides pewarna Eosin 2%



27



Gambar 12. Telur Ascaris lumbricoides pewarna daun pacar air 5%



Gambar 13. Telur Ascaris lumb ricoides pewarna daun pacar air 10%



Gambar 14. Telur Ascaris lumb ricoides pewarna daun pacar air 30 %



Gambar 11 adalah hasil preparat basah Telur Ascaris lumbrico ides pewarna Eosin 2% dari sampel 1. Pada gambar 11 tampak lapa ng pandang kurang kontras, bagian telur cacing kurang jelas namun penyerapan warna baik. Gambar 12 adalah gambar hasil preparat b asah Telur cacing Ascaris lumbricoides Daun pacar air 5% dari sa mpel 1. Pada gambar 12 tampak lapang pandang kontras, bagian tel ur cacing lebih terlihat jelas namun penyerapan warna baik. Gamba r 13 adalah gambar hasil preparat basah Telur cacing Ascaris lumbr icoides Daun pacar air 10% dari sampel 1. Pada gambar 13 tampak lapang pandang kurang kontras, bagian telur cacing terlihat jelas, p enyerapan warna baik. Gambar 14 adalah gambar hasil preparat ba 28



sah Telur Ascaris lumbricoides Daun pacar air 30%. Pada gambar 14 lapang pandang tidak kontras, bagian telur cacing terlihat jelas n amum penyerapan warna baik. 2. Sajian analisis data dan statistic Analisis data yang digunakan adalah analisis bivariat, yaitu data yang diuji menggunakan distribusi tabel distribusi frekuensi. Tabel 4. Distribusi kualitas sediaan berdasarkan jenis pewarna Pewarna Eosin 2%



Hasil Buruk (%)



Sedang



(%)



Baik



(%)



Jumlah



0



0%



4



13,3%



26



86,6%



30



10%



5



16,6%



22



73,3%



30



13,3%



20



66,6%



6



20%



30



40%



16



53,3%



2



6,6%



30



63,3%



45



149,8% 56



186,5%



120



Daun pacar air 3 5% Daun pacar air 4 10% Daun pacar air 12 30% Jumlah



19



Berdasarkan tabel 4 hasil pewarnaan pada Eosin 2%, Daun pac ar air 5%, Daun pacar air 10%, Daun pacar air 30% terdapat pada t abel dengan kualitas buruk, sedang dan baik. Pada sampel Eosin 2 % 4 sampel yang dipriksa diperoleh hasil sedang dengan prosentas e 13,3% dan 26 sampel diperoleh hasil baik dengan prosentase 86,6 %. Pada daun pacar air 5% 3 sampel yang dipriksa diperoleh hasil buruk dengan prosentase 10%, 5 sampel diperoleh hasil sedang den gan prosentase 16,6% dan 22 sampel dipriksa diperoleh hasil baik dengan prosentase 73,3%. Pada sampel daun pacar air 10% 4 samp el yang dipriksa diperoleh hasil buruk dengan prosentase 13,3%, 2 0 sampel diperoleh hasil sedang dengan prosentase 66,6% dan 6 sa mpel dipriksa diperoleh hasil baik dengan prosentase 20%. Pada sa mpel daun pacar air 30% 12 sampel yang dipriksa diperoleh hasil b



29



uruk dengan prosentase 40%, 16 sampel diperoleh hasil sedang den gan prosentase 53,3% dan 2 sampel dipriksa diperoleh hasil baik d engan prosentase 6,6%. 4.3. Pembahasan



Perbandingan



Pewarnaan



Telur



Cacing



Soil



Transmitted Helminths pewarna Eosin dengan Daun Pancar Air Daun pacar air digunakan sebagai alternativ bahan pewarna telur ca cing pengganti Eosin karena mengandung Querstin yang menghasilkan pig men warna kuning kemerahan yang mirip dengan pewarna Eosin. Hasil penelitian preparat basah pada preparat Eosin 2% diperoleh 4 preparat kualitas sedang dengan prosentase 13,3% dan 26 preparat kualitas baik dengan prosentase 86,6%. Pada pewarnaan menggunakan Eosin 2% d idapatkan hasil warna latar belakang merah dan latar blakang kurang kontr as sehingga telur cacing susah dibedakan dengan latar belakang, Sedangka n menggunakan pewarna alami daun pacar air 5%, 10%, dan 30% didapatk an hasil warna latar belakang merah dan latar belakang kontras sehingga te lur cacing dapat terlihat jelas dan mudah dibedakan dengan latar belakang. Pengenceran Daun pacar air 5% paling optimal untuk menghasilkan latar b elakang kontras sehingga telur cacing dapat terlihat jelas dan mudah dibed akan dengan latar belakang. Namun karna Eosin adalah warna sintesis sehi ngga warna yang dihasilkan lebih terang dengan penyerapan warna telur c acing yang optimal. Berdasarkan hasil penelitian Maulida A (2016) pewar na menggunakan Eosin 2% diperoleh hasil latar belakang merah dan tidak dapat dibedakan latar blakang dengan warna telur cacing, serta pembacaan menggunakan Eosin 2% menyebabkan mata lebih cepat lelah. 4.4. .



30



DAFTAR PUSTAKA 1.



Wijaya RP. Prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah pada petani di Kelurahan Ranowangko Kecamatan Tondano Timur Kabupaten Minahasa. J Kedokt Komunitas Dan Trop. 2019;6(2):310–3.



2.



M.A Munir, I Putu A. R. Identifikasi Telur Cacing Pada Spesimen Feses Anak-Anak di Panti Asuhan Raudhatul Ummat Palu. Kesehat Tadulako. 2019;5(1):45–51.



3.



Rochmadina Suci Bestari, Aulia Nanda Safitri PAAP. Perbedaan Jumlah Telur Cacing Geohelminth Antara Sayuran di Pasar Tradisional dan Pasar Modern di Surakarta. J Biomedika. 2020;12(1):ISSN : 2085-8345.



4.



Annisa S, Dalilah D, Anwar C. Hubungan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 200 Kelurahan Kemasrindo Kecamatan Kertapati Kota Palembang. Maj Kedokt Sriwij. 2018;50(2):92–104.



5.



Kamila AD, Margawati A, Nuryanto N. Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Dan Prestasi Belajar Pada Anak Sekolah Dasar Kelas Iv Dan V Di Kelurahan Bandarharjo Semarang. J Nutr Coll. 2018;7(2):77.



6.



Oktari A, Mu’tamir A. Optimasi Air Perasan Buah Merah (Pandanus sp.) Pada Pemeriksaan Telur Cacing. J Teknol Lab. 2017;6(1):8.



7.



Fauznah W, Hasibuan YH, Nasution YSS, Batubara MS. Pemanfaatan Daun Pacar (Lawsonia Inermis L.) Sebagai Anti Jamur Pada Kuku. 31



Eksakta J Penelit dan Pembelajaran MIPA. 2019;4(2):110. 8.



Noviastuti AR. Infeksi Soil Transmitted Helminths. Majority. 2015;4(8):107–16.



9.



Maulida A. Perbedaan Kualitas Sediaan Telur Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides, Linnaeus 1758) Menggunakan Pewarnaan Eosin Dan Pewarnaan Giemsa. 2016;6–8.



10.



Supriyanto. Pengaruh Pemberian Albendazole Terhadap Helminthiasis Sapi Potong. Sekol Tinggi Penyul Pertan Magelang. 2017;8–19.



11.



Herbstein JA, Breglia GA, Rodrigues Paquete CA, Vega A. Death by asphyxiation caused by Ascaris lumbricoides case report. Forensic Sci Int Reports. 2020;2(April):100084. Available from: https://doi.org/10.1016/j.fsir.2020.100084



12.



Al-Tameemi K, Kabakli R. Ascaris Lumbricoides: Epidemiology, Diagnosis, Treatment, and Control. Asian J Pharm Clin Res. 2020;13(4):8– 11.



13.



Rizkiah N. Gambaran Telur Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Kuku, Penggunaan Alat Pelindung Diri dan Personal Hygiene pada Pendulang Intan Desa Pumpung Kelurahan Sungai Tiung Kota Banjarbaru. Vol37, No1/2,. 2017;37(1):1–27. Available from: https://ci.nii.ac.jp/naid/40021243259/



14.



Kasimo ER. Gambaran Basofil, TNF-α, dan IL-9 Pada Petani Terinfeksi STH di kabupaten Kediri. J Biosains Pascasarj. 2016;18(3):230.



15.



Fischer K, Gankpala A, Gankpala L, Bolay FK, Curtis KC, Weil GJ, et al. Trichuris trichiura Infection in Humans. Emerg Infect Dis CDC. 2018;24(8):1551–4.



16.



Herdiani FR. Potensi Ekstrak Etanol Batang Pacar Air (Impatiens Balsamina Linn) Sebagai Antibakteri Terhadap Streptococcus mutans. 32



2018.



LAMPIRAN



33