Skripsi Yudha Ade Kusuma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DISTRIBUSI KEPADATAN EKTOPARASIT PADA PERMUKAAN TUBUH AYAM KAMPUNG LOKAL (Gallus gallus domesticus) VARIETAS AYAM PELUNG DAN AYAM TOLAKI DI DESA TANGGOBU KECAMATAN LAMBUYA KABUPATEN KONAWE



Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana



Oleh:



YUDHA ADE KUSUMA F1D1 15 095



PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2021



HALAMAN PENGESAHAN Skripsi DISTRIBUSI KEPADATAN EKTOPARASIT PADA PERMUKAAN TUBUH AYAM KAMPUNG LOKAL (Gallus gallus domesticus) VARIETAS AYAM PELUNG DAN AYAM TOLAKI DI DESA TANGGOBU KECAMATAN LAMBUYA KABUPATEN KONAWE



Diajukan oleh:



YUDHA ADE KUSUMA F1D1 15 095



Telah disetujui oleh: Pembimbing I



Pembimbing II



Dr. Amirullah, M.Si NIP. 19640109 1988031001



Drs. Nasaruddin, M.Si NIP. 196712311993031020



Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi



Muhsin, S.Pd., M.Si NIP. 196603081994031001



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) B. Ciri-Ciri Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) C. Ayam Ulu (Gallus gallus) D. Ektoparasit III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Jenis Penelitian C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian 2. Bahan Penelitian D. Variabel Penelitian E. Definisi Operasional F. Indikator Penelitian G. Kriteria Objektif H. Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel Ektoparasit 2. Pengamatan Ektoparasit I. Analisis Data J. Diagram Alir Penelitian DAFTAR PUSTAKA



i ii iii iv v vi 1 5 5 6 7 9 10 11 20 20 20 20 21 21 21 22 22 23 23 24 25 26 27



DAFTAR TABEL No. 3.1 3.2



Teks



Halaman



Alat dan Kegunaan Bahan dan Kegunaan



20 21



iii



DAFTAR GAMBAR No 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2



Teks



Halaman



Ayam Kampung Ayam Ulu Bulu Ayam yang Terinfeksi Telur Kutu Menopon gallinae Kaki ayam yang terinfeksi tungau, Ornithonyssus bursa dan Knemidocoptes mutans Caplak Pinjal Bagian-bagian Tubuh Ayam Kampung Diagram Alir Penelitian



v



8 10 13 16 18 19 24 26



DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN Lambang/singkatan % °C dkk et al kg



Arti dan Keterangan Persen Derajat celcius Dan kawan-kawan et alii / et alia /dan lain-lain Kilogram



vi



I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Industri unggas menempati posisi penting dalam penyediaan protein hewani (daging dan telur) dan secara umum memegang peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai penyedia pendapatan bagi manusia (Nnadi & George, 2010). Jenis unggas yang dapat memenuhi sumber protein hewani, baik daging maupun telur salah satunya adalah ayam. Menurut Putra (2012) nilai gizi dari setiap 100 g daging ayam mengandung 74% air, 22% protein, 13% kalium, 190 mg fosfor, dan 1,5 mg besi. Di Indonesia selain jenis ayam pedaging dan ayam petelur yang banyak dikonsumsi, terdapat juga jenis ayam lokal atau biasanya disebut ayam kampung yang dijadikan sumber gizi tinggi bagi masyarakat. Ayam kampung merupakan hasil domestikasi ayam hutan (Gallus gallus) dan dapat dikelompokkan menjadi tipe pedaging, petelur, dwiguna, atau sebagai ayam hias (Nataamijaya, 2010). Ayam kampung merupakan plasma nutfah Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan. Peluang usaha ternak ayam Kampung sangat luas ditinjau dari agroekosistem dan lingkungan hidup, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kuantitas dan kualitas bahan pangan yang bergizi dan aman dikonsumsi (Elizabeth & Rusdiana, 2012). Ayam kampung memiliki beberapa varietas dimana Indonesia dilaporkan terdapat 32 varietas ayam kampung dan masing-masing jenis memiliki keunggulan tersendiri, seperti Pelung, Sentul, Wareng, Lamba, Ciparage, Banten, 1



2



Nagrak, Rintit/Walik, Siem, Kedu Hitam, Kedu Putih, Cemani, Sedayu, Olagan, Nusa Penida, Merawang/ Merawas, Sumatera, Balenggek, Melayu, Nunukan, Tolaki,



Maleo,



Jepun,



Ayunai,



Tukung,



Bangkok,



Burgo,



Bekisar,



Cangehgar/Cukir/Alas, dan Kasintu (Sartika, 2012; Mariandayani et al., 2013). Berdasarkan data BPS Tahun 2019, populasi ayam lokal secara nasional sekitar 312 juta ekor sedangkan untuk wilayah Sulawesi Tenggara terdapat sekitar 10,189 juta ekor yang tersebar di 17 kabupaten/kota dimana jumlah peningkatan ini masih rendah (Dirjen PKH, 2019). Ayam kampung memiliki kelebihan dibandingkan dengan ayam ras, yaitu pemeliharaan ayam kampung lebih mudah atau sederhana dan biaya yang dikeluarkan sedikit serta memiliki daya adaptasi yang baik terhadap penyakit dan daya tahan terhadap panas Namun sisi lain ayam kampung atau ayam lokal memiliki banyak kelemahan antara lain adalah sulitnya memperoleh bibit yang baik untuk dibudidayakan, produktifitasnya yang rendah, serta mudah terserang berbagai macam penyakit salah satunya adalah penyakit musiman (Subekti dan Arlina, 2011). Sistem pemeliharaan ayam kampung yang masih dipelihara secara tradisional dimana kandang yang digunakan biasanya terbuat dari bambu dan kayu yang dirakit sedemikian rupa dan tidak dikelola secara baik memiliki dampak negatif pada kesehatan ayam terutama terjangkit penyakit yang ditimbulkan oleh parasit, lebih khususnya gangguan ektoparasit (Selfiannisa et al., 2018). Infestasi ektoparasit merupakan permasalahan yang merugikan. Gigitan ektoparasit menjadi peran yang penting dalam penularan penyakit, dampak dari gigitan ektoparasit yang menginfestasi ayam buras dapat berakibat langsung dan



3



tidak langsung. Dampak secara langsung bisa disebabkan karena kehilangan darah dan mengakibatkan anemia, sedangkan dampak tidak langsung mengakibatkan iritasi, dermatosis dan rasa gatal pada kulit (Yadav et al., 2017). Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari permukaan tubuh inangnya terutama pada bagian luar kulit inangnya. Ektoparasit memakan darah, bulu, kulit, dan sisiknya. Ektoprasit dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk ketidaknyamanan, iritasi, kehilangan bulu, pertumbuhan terhambat, anemia, peningkatan biaya pakan, peningkatan kematian, kerusakan jaringan, kehilangan darah, toksikosis, alergi dan dermatitis yang pada gilirannya menurunkan kualitas dan kuantitas produksi daging dan telur, serta kerentanan terhadap infeksi lain karena ektoprasit dapat bertindak sebagai vektor mekanis atau biologis yang mentransmisikan sejumlah patogen (Tamiru et al., 2014; Mirzaei et al., 2016; Ikpeze et al., 2017). Studi mengungkapkan bahwa serangan ektoparasit merupakan hambatan utama bagi kesehatan hewan di seluruh dunia yang dapat menyebabkan kerugian langsung dan tidak langsung (Jilo et al., 2016; Dabasa et al., 2017a,b). Ilyes et al. (2013) menemukan bahwa serangan ektoparasit dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada ayam dengan cara merusak jaringan dan menyebabkan kehilangan darah dan dermatitis toksikosis. Selain gejala tersebut, Aleya dan Sabrina (2011) dan Nik-Hasan et al. (2015) beberapa jenis ektoparasit juga dapat menyebabkan atau bertindak sebagai vektor berbagai patogen, yang pada serangan parah akan melemahkan ayam dan menyebabkan kematian. Menurut Gunya et al. (2020),



4



parasit eksternal yang paling banyak ditemukan pada ayam pemulung adalah tungau, diikuti oleh kutu. Kutu dan tungau dapat menyebabkan kematian. Berkaitan dengan masalah ektoparasit, juga telah dilakukan penelitian oleh Balaira et al. (2019) mengenai investasi kutu pada ayam kampung di Desa Tolok Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bahwa tidak semua ayam kampung di Desa Tolok terinfestasi ektoparasit. Jenis ektoparasit yang ditemukan hanya Menopon gallinae, dengan prevalensi infestasi kutu 87,5% dari 40 ekor ayam kampung dan preferensi investasi berdasarkan bagian tubuh menunjukkan pada bagian punggung merupakan daerah tertinggi yang terinfestasi kutu, sedangkan untuk preferensi infestasi kutu menurut jenis kelamin ternak betina lebih banyak dari ternak jantan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Desa Tonggobu, Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara terdapat beberapa peternakan ayam kampung lokal yang memelihara variatas jenis ayam pelung dan aya tolaki. Peternakan yang terdapat di Desa Tonggubu masih merupakan peternakan dengan sistem peternakan tradisonal. Kebanyakan peternakan ayam yang ditemukan di desa Tonggubu ini masih menggunakan kayu dan bambu sebagai kandang. Selain itu, perhatian terhadap kebersihan kandang seperti pembersihan kotoran ayam dan kelembaban yang tinggi pada kandang memungkinkan hidupnya ektoparasit pada tubuh ayam. Berdasarkan hasil observasi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Distribusi Kepadatan Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Kampung Lokal



5



(Gallus gallus domesticus) Varietas Ayam Pelung dan Ayam Tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1.



Bagaimana keragaman jenis ektoparasit yang terdapat pada ayam kampung lokal (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara?



2.



Bagaimana distribusi ektoparasit di permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara?



C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka tujuan pada penelitian ini adalah : 1.



Untuk mengetahui keragaman jenis ektoparasit pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.



2.



Untuk mengetahui distribusi ektoparasit pada permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara



6



D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis 1. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat mengenai keragaman jenis ektoparasit dan distribusi pada permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tonggobu Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. 2. Sebagai sumber informasi ilmiah dalam bidang sains dan mampu memberikan pengetahuan keragaman jenis ektoparasit dan distribusi pada permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki serta sebagai pengembangan penelitian lebih lanjut. b. Manfaat Praktis 1. Bagi masyarakat sebagai informasi keragaman jenis ektoparasit dan distribusi pada permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki. 2. Bagi Pemerintah adalah sebagai bahan masukan mengenai keragaman jenis ektoparasit dan distribusi pada permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki. 3. Bagi Universitas Halu Oleo, hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah literasi dan informasi guna pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya terutama berkaitan dengan keragaman jenis ektoparasit dan



7



distribusi pada permukaan tubuh ayam kampung ((Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki.



II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) pada umumnya merupakan jenis unggas yang memiliki varietas yang tersebar di seluruh dunia, ayam kampung yang ada di Indonesia berasal dari ayam hutan merah (Gallus gallus). Keanekaragaman ayam asli di Indonesia tersebar di seluruh wilayah kepulauan yang memiliki beberapa rumpun dengan karakteristik morfologis berbeda dan khas (Nataamijaya, 2010). Ayam-ayam tersebut telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang sederhana (Susanto dan Suliswanto, 2013). Ayam k ampung merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (red jungle Jowl/Gallus gallus) dari subspesies Gallus gallus bankiva yang berasal dari Lampung, Jawa dan Bali (Pramual et al., 2013). Indonesia mempunyai rumpun ayam kampung sangat banyak terdapat kurang lebih 32 rumpun ayam lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan 7 rumpun yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Dirjen PKH, 2017). Penampilan ayam kampung sangat beragam karena sifat genetiknya. Ayam kampung memiliki bentuk tubuh yang kompak dan susunan otot yang baik, bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tajam namun kuat dan ramping untuk mengais tanah. Ayam kampung mempunyai kelebihan, pada penyebaran populasi sangat luas dari desa hingga perkotaan dan mempunyai keterikatan dengan budaya (Eriko et al., 2016). Upaya peningkatan produktivitas tidak cukup hanya dengan perbaikan pakan dan manajemen pemeliharaan, tetapi perlu dilakukan peningkatan mutu genetiknya dengan mempertahankan sifat-sifat khas ternak tersebut (Eriko et al., 7



8



2016). Klasifikasi taksonomi ayam kampung di Indonesia menurut Suprijatno et al. (2005) sebagai berikut: Kingdom Phylum Subphylum Class Subclass Ordo Family Genus Spesies



: : : : : : : : :



Animalia Chordata Vertebrata Aves Neornithes Galliformes Phasianidae Gallus Gallus gallus



B. Ciri-Ciri Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) Ayam kampung merupakan hewan haemotermia, artinya memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap stabil, walaupun suhu lingkungan berubah-ubah, asalkan perubahan suhu tersebut tidak ekstrim. Suhu lingkungan yang dibutuhkan ayam adalah sekitar 18-23°C (Bell dan Weaver, 2002). Ayam kampung memiliki keragaman fenotip dan genotip yang cukup tinggi. Umumnya, ayam kampung memiliki tubuh yang ramping, kaki panjang dan warna bulu beragam. Ayam kampung memiliki keragaman yang cukup tinggi. Berdasarkan bobot ayam lokal digolongkan menjadi ayam lokal tipe ringan dan ayam lokal tipe medium. Ayam kampung tipe ringan adalah ayam yang memiliki bobot badan sekitar 1,5 kg pada saat dewasa (umur di atas 24 minggu) dan ayam tipe medium memiliki bobot badan sekitar 2,5 kg saat mencapai dewasa (Suprijatna, 2010). Bobot badan ayam kampung rata-rata 324,75 dan 651 gram pada umur 4 dan 8 minggu, sedangkan pada ayam kampung dewasa memiliki bobot badan



9



sebesar 1,404 kg (Rahayu et al., 2010). Ciri-ciri kualitatif pada warna bulu ayam kampung yang sangat bervariasi. Ayam jantan memiliki warna lurik kuning, warna hitam yang terdapat pada bulu punggung dan dada serta warna hitam kehijauan pada bulu ekor. Pada ayam kampung betina memiliki warna lurik abuabu pada leher punggung dan sayap, bulu dada dan bulu ekor yang memiliki warna putih. Ayam kampung jantan lebih jelas dari segi bentuk, memiliki tubuh yang gagah; sedangkan pada betina, bulu ekor lebih pendek dari panjang tubuh, memiliki ukuran badan dan kepala yang lebih kecil (Rasyaf, 2011). Sifat kuantitatif ayam kampung dapat dilihat melalui pengukuran dalam bentuk morfometrik seperti panjang shank, tibia, femur, sternum dan panjang sayap (Sadarman et al., 2013). Ukuran morfometrik ayam dapat dimanfaatkan untuk proses perkawinan silang antar bangsa dan seleksi ayam (Ashifudin et al., 2017). Ciri khas dari ayam, sebagaimana ternak unggas lain diantaranya adalah memiliki tulang-tulang yang ringan, mudah terkejut, susunan syaraf sempurna dan penglihatan tajam (Sugito et al., 2007). Hampir di seluruh permukaan kulit ayam kampung ditumbuhi bulu. Fungsi bulu adalah melindungi tubuh terhadap benturan dan membantu memelihara panas tubuh (Ensminger et al., 2004). Ayam kampung memiliki warna bulu yang bervariasi. Warna bulu ayam kampung jantan dan betina yaitu bulu leher, punggung dan sayap jantan berwarna lurik kuning, dada berwarna lurik hitam dan bulu ekor berwarna hitam kehijauan, sedangkan pada betina yaitu bulu leher, punggung dan sayap berwarna lurik abu-abu, bulu dada berwarna putih dan bulu ekor berwarna hitam keabuan. Sifat kualitatif lainnya yaitu shank/warna kulit kaki



10



pada jantan dan betina berwarna kuning, jengger berwarna merah dan bentuk jengger tunggal (single). Ciri yang lebih jelas dari segi bentuk tubuh dan bulu, yaitu jantan memiliki bulu ekor sama panjang dengan panjang tubuh, berpenampilan gagah, sedangkan betina bulu ekor lebih pendek dari panjang tubuh, memiliki ukuran badan dan kepala yang lebih kecil (Candrawati, 2007). Berikut adalah Gambar ayam kampung jantan dan ayam kampung betina. 8 6



6



5



1



8



6



5



1



2 2



(a) Jantan



3



3



4



4



7



7



9



9



(b)



Betina Gambar 2.1.



Ayam Kampung (a) Jantan (b) Betina: (1) Pial/jengger; (2) Mata; (3) Paruh; (4) Gelambir; (5) Bulu leher; (6) Bulu punggung; (7) Bulu sayap; (8) Bulu ekor; dan (9) Shank. (Candrawati, 2007)



Ayam kampung memiliki keragaman fenotip dan genotip yang cukup tinggi. Umumnya, ayam kampung memiliki tubuh yang ramping, kaki panjang dan warna bulu beragam. Bobot badan ayam kampung dewasa adalah 1,5 - 1,8 kg pada jantan dan 1,0-1,4 kg pada betina (Sulandari et al., 2007). Ciri khas dari ayam, sebagaimana ternak unggas lain diantaranya adalah memiliki tulang-tulang



11



yang ringan, mudah terkejut, susunan syaraf sempurna dan penglihatan tajam (Sugito et al., 2007). Ayam kampung merupakan hewan haemotermia, artinya memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap stabil, walaupun suhu lingkungan berubah-ubah, asalkan perubahan suhu tersebut tidak ekstrim. Suhu lingkungan yang dibutuhkan ayam adalah sekitar 18-23°C (Bell dan Weaver, 2002). Hampir di seluruh permukaan kulit ayam ditumbuhi bulu. Fungsi bulu adalah melindungi tubuh terhadap benturan dan membantu memelihara panas tubuh (Ensminger et al., 2004). Ayam kampung atau yang lebih dikenal dengan ayam buras (bukan ras) merupakan salah satu plasma nutfah yang mempunyai potensi penggerak ekonomi pedesaan (Wibowo dan Amanu, 2010). Secara tradisional ayam kampung dipelihara dengan cara dibiarkan lepas, tanpa memperhatikan aspek teknis dan perhitungan ekonomi usahanya (Darmawi et al., 2015). Peranan peternakan unggas dalam pembangunan nasional sangat strategis, karena perunggasan di Indonesia merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan akan konsumsi hewani, saat ini ayam memberikan kontribusi terbesar yaitu 60,73% kemudian disusul daging sapi sebesar 21,94%. Jumlah ternak unggas tersebut sekitar 67% disediakan oleh ayam ras dan hanya sekitar 23 % disediakan oleh ayam lokal (Statistik Peternakan, 2007). Produksi daging Nasional pada tahun 2013 mencapai 2,65 juta ton, dengan kontributor daging utama adalah ayam ras pedaging (52,76%), diikuti oleh ternak sapi (19,17%), ayam lokal (10,10%) dan sisanya (17,97%) dari daging lainnya (Ditjen PKH, 2014).



12



C. Ektoparasit Ektoparasit adalah parasit hidup dibagian luar dari tempatnya tergantung pada permukaan tubuh inangnya, sebagian terbesar dari kelompok ektoparasit yaitu golongan serangga (kelas insecta) dan lainnya adalah kelompok (kelas Arachnida) seperti caplak atau segenit, tungau, laba-laba dan kalajengking, kelas Chilipada (kelabang), kelas diplopada (keluwang). Ektoparasit yang tinggal di permukaan kulit dan diantara rambut/bulu dapat menimbulkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis atau belatung sering terjadi karena alegi dan sejenisnya. Miasis atau belatung sering terjadi karena infestasi larva lalat diptera pada jaringan kulit hewan. Rasa tersebut mengakibatkan gejala-gejala yang tidak nyaman dan kegelisana yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari (Hadi dan Soviana, 2010). Ektoparasit yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah berbagai jenis nyamuk (Culicadae), lalat (Muscidae), kecoa (Dyctioptera), kutu busuk (Hemipetara),



tungau



(Parasitiformes),



caplak



(Aceriformest),



kutu



(Phithiraptera) dan pinjal (Siphonaptera) (Hadi dan Soviana, 2010). Menurut Tabbu (2006) ada 4 jenis ektoparasit yang yang sering ditemukan pada ayam yaitu: 1.



Kutu (Lice) Kutu adalah ektoparasit yang menyerang unggas. Kutu merupakan



ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya berada pada dan bergantung di tubuh



13



inangnya. Secara morfologi, kutu sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, dan bentuk tubuh yang pipih dorsoventral. Adapula bagian mulut disesuaikan untuk menusuk,mengisap atau untuk mengunyah dan memiliki enam tungkai atau kaki yang kokoh dengan kuku berukuran besar pada ujung tarsus. Kuku tersebut bersama dengan tonjolan tibia berfungsi untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. Kutu mengalami metamorfosis sederhana (paurometabola) dengan hanya tiga instar nimfa (Hadi dan Soviana, 2010). Ada 5 spesies kutu yang biasa menginfestasi ayam (terutama ayam petelur) yaitu: Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, Lipeurus caponis, Goniocotes dissimilis, dan Cuclotogaster heterographa. Menopon gallinae sering ditemukan di bagian tangkai bulu ayam. Lipeurus caponis cenderung banyak ditemukan di bagian sayap. Sedangkan Menacanthus stramineus, Cuclotogaster heterographa dan Goniocotes dissimilis menginfestasi tubuh dan kepala ayam. Kutu jarang menimbulkan kematian, namun pada infestasi yang parah dapat menurunkan total produksi telur hingga 25-30% (Arifin, 1982). Menurut Borror et al. (1996) kutu dan pinjal termasuk dalam kelas Insekta (serangga) namun berbeda bangsa. Kutu seringkali dibagi menjadi dua bangsa yang terpisah yaitu Mallophaga (kutu penggigit) dan Anoplura (kutu penghisap). Kutu penghisap sering pula disebut “tuma” oleh masyarakat. Menopon gallinae dan Menacanthus stramineus merupakan salah satu contoh spesies yang dapat menghisap darah ayam dengan cara menusuk tangkai bulu yang baru tumbuh atau



14



melukai kulit yang mengalami iritasi (Tabbu, 2006). Berikut ini gambar Menopon gallinae pada ayam.



Gambar 2.3. Bulu Ayam yang Terinfeksi Telur Kutu Menopon gallinae (Teresa, 2005). 2.



Tungau / Gurem (Mite) Tungau merupakan ektoparasit yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil



dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai ektoparasit. Tubuh tungau terbagi atas 2 bagian utama yaitu gnathosoma (kepala dan thoraks) dan idiosoma (abdomen). Pada bagian gnathosoma memiliki sepasang pedipalpus dan chelicerae. Pedipalpus terdiri atas tiga atau empat ruas yang berfungsi sebagai alat sensoris sederhana untuk membantu proses makam tungau. Chelicerae terdiri atas dua ruas dan ujungnya dilengkapi dengan dua atau lebih kait yang dapat digerak-gerakan. Idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal dan terbagi menjadi 2



15



bagian yaitu podosoma terdapat empat pasang kaki opisthosoma terdapat alat kelamin, pernafasan dan anus (Hadi dan Soviana, 2010). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi dan Soviana, 2010). Tungau hidup sebagai parasit dengan cara menghisap darah ayam, yang dapat menyebabkan anemia. Tungau memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah, baik di tubuh ayam maupun di lingkungan sekitar ayam (dicelah dinding, langitlangit, dan lantai kandang, feses, sarang / tempat mengeram, dan lain-lain) dan menyerang ayam pada siang atau malam hari. Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan dewasa. Tungau yang telah dewasa akan bereproduksi dan meletakkan telurnya pada bulu-bulu ayam dan sebagian besar diletakkan di sarang / kandang ayam. Betina dapat hidup sampai 30-40 hari dan bertelur 5 butir tiap hari dengan jumlah total 90 atau lebih (Hadi dan Soviana, 2010). Sebagian besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Ada 4 spesies tungau yang hidup menumpang (parasit) pada unggas,



16



diantaranya



Dermanyssus



gallinae,



Ornithonyssus



bursa,



Ornithonyssus



sylviarum, dan Knemidocoptes mutans (Wana, 2001). Namun dari keempat spesies tersebut, tungau yang banyak menyerang ayam kampung di Indonesia adalah Ornithonyssus bursa. Sedangkan yang kadang ditemukan menyerang ayam petelur komersial adalah spesies Knemidocoptes mutans. Tungau dapat menimbulkan luka pada kaki yang bersisik dan kadang-kadang pada kulit di sekitar paruh serta pial. Tungau membuat lubang di bawah sisik pada kaki bagian bawah dan jari, sehingga menimbulkan rasa gatal dan iritasi, yang akan meradang dan terbentuklah sisik yang terbuka. Apabila infestasi tungau ini parah, maka ayam dapat mengalami kelumpuhan (Dwibadra, 2008).



17



b



a Gambar 2.4.



3.



c



a. Kaki Ayam yang Terinfeksi Tungau; b. Ornithonyssus bursa; c. Knemidocoptes mutans (Sumber: Hadi et al., 2013)



Caplak (Tick) Caplak adalah nama umum bagi hewan kecil berkaki delapan anggota



Ixodoidea, yang bersama-sama dengan tungau dimasukkan ke dalam anak kelas Acarina, ordo Arachnoidea (laba-laba dan kerabatnya). Caplak dikenal sebagai parasit luar (eksoparasit) yang hidup dari darah hewan vertebrata yang ditumpanginya, dan caplak menjadi vektor bagi sejumlah penyakit menular. Secara morfologi parasit ini dibedakan menjadi dua kclompok yaitu caplak keras (hard ticks) dan caplak lunak (soft ticks). Perbedaan antara keduanya terletak pada



18



hard plate atau biasa disebut pelindung/perisai (scutum) bagian dorsal yang hanya dimiliki oleh caplak keras (hard ticks) (Yermia, 2011). Secara umum, caplak terdiri dari 2 jenis yaitu caplak keras dan lunak, dari kedua jenis tersebut, caplak yang paling banyak menyerang ayam yaitu caplak lunak. Contoh spesiesnya antara lain Argas persicus dan Argas robertsi. Caplak lunak ini bertelur di celah-celah kandang ayam, liang-liang tanah, retakan bangunan atau di bawah celah-celah pohon yang terlindung. Caplak bersifat penghisap darah, maka pada infestasi caplak yang tinggi, ayam dapat mengalami anemia dan penurunan produksi telur hingga 30%. Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat membengkak sampai 20-30 kali ukuran semula. Gejala klinis yang nampak pada ternak adalah gatal, kerusakan pada kulit, penurunan kondisi umum dan produksi, berat badan yang menurun (Seddon, 1976). Secara umum siklus hidup caplak, baik caplak keras maupun caplak lunak meliputi empat fase perkembangan yaitu: telur, larva berkaki enam, nimfa berkaki delapan dan kemudian dewasa. Siklus hidup diawali dari caplak betina yang meletakkan telur dalam jumlah banyak. Seekor caplak betina mampu bertelur 100 butir sehari (Widiastuti, 2008). Keberadaan caplak ini biasanya terjadi sepanjang tahun dan dimanifestasikan dengan penyakit kronis yang mengakibatkan menurunnya berat badan, terhambatnya pertumbuhan, rusaknya kulit, dan ketidaknyamanan ternak yang terserang dan apabila berlanjut dapat menyebabkan kematian. di samping sebagai penyebab penyakit, caplak berfungsi sebagai vektor biologis dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh parasit darah seperti babesiosis, dan anaplasmosis (Fahrimal et al., 2010).



19



a



b



Gambar 2.5. (a) Caplak Keras (Ixodidae); (b) Caplak Lunak (Argasidae) 4.



Pinjal (Fleas) Pinjal adalah serangga dari ordo siphonaptera berukuran kecil (antara 1,5-



4 mm), berbentuk pipih dibagian samping (dorsal lateral). Kepala-dada-perut terpisah secara jelas. Pinjal tidak bersayap, berkaki panjag terutama kaki belakang, bergerak aktif di antara rambut inang dan dapat meloncat. Serangga ini berwarna coklat muda atau tua, ditemukan hampir diseluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal dewasa bersifat parasitik sedang pradewasanya hidup di sarang tempat berlindung atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus (Komariah, dkk, 2010). Pinjal berbentuk tubuh menyerupai biji lamtoro pipih ke samping; berukuran ±3 mm; seluruh tubuh tertutup bulu-bulu, mulut berupa mulut penusuk dan penghisap. Pinjal merupakan ektoparasit yang bersifat semiobligat karena tidak seluruh siklus hidupnya berada pada tubuh ayam. Parasit ini hanya hidup di tubuh ayam ketika dewasa untuk menghisap darah, namun ketika masih stadium larva, tinggal di lingkungan luar. Pinjal betina juga diketahui hidup lebih lama di tubuh ayam dibandingkan pinjal jantan. Pinjal sering juga disebut sebagai kutu loncat (Kadarsan et al., 1983).



20



Parasit ini dapat menginfestasi banyak hewan seperti kuda, sapi, babi, anjing, kucing, dan unggas bahkan juga manusia. Gigitan pinjal menimbulkan rasa gatal menyebabkan eritema dan keropeng, hewan gelisah hingga hewan mengalami anemia. Pinjal melangsungkan daur hidupnya diluar hospes meletakkan telurnya pada badan hospes, kemudian jatuh ketanah, 1-2 hari minggu telur menetas pada suhu optimum, larva menjadi kepompong setelah 7-10 hari, kemudian kepompong terbuka dan menjadi pinjal dewasa dan cangkang kepompong segera diisi oleh larva baru. Sesekali bertelur pinjal dewasa sebanyak 3-15 butir bahkan sampai 500 butir (Amirullah, 2018). Beberapa spesies pinjal yang



ditemukan



pada



unggas



diantaranya



Echidnophaga



gallinacea,



Ceratophyllus niger (pinjal ayam Barat), dan Ceratophyllus gallinae (pinjal ayam Eropa). Pinjal Echidnophaga gallinacea diketahui sering menyerang ayam di Indonesia. Selain anemia, efek lain yang dapat ditimbulkan oleh serangan pinjal yaitu iritasi dan kebengkakan pada kulit ayam (Krantz, 1978).



Gambar 2.6. Pinjal (Hadi dan Soviana, 2010)



III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian



ini



telah



dilaksanakan



pada



bulan



Maret-Juni



2021,



pengambilan sampel dilakukan di Desa Tanggobu Kec. Lambuya Kab. Konawe, selanjutnya sampel tersebut diidentifikasi di Laboratorium Biologi Unit Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo Kendari. B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk melihat distribusi serta jenis jenis ektoparasit yang ditemukan pada bagian permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki. C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam penelitian No 1 2 3 4



Alat Botol koleksi Cawan petri Pinset Kapas



5 6 7 8 9



Sarung tangan Kertas label Mikroskop Kain putih Kamera



Kegunaan Sebagai wadah ektoparasit Sebagai wadah ektoparasit Untuk mengambil dan memindahkan ektoparasit Untuk mengoleskan larutan alkohol 70% pada bagian tubuh ayam Untuk melindungi tangan Untuk memberikan label Untuk mengamati ektoparasit Sebagai pengalas saat melakukan pengamatan Untuk mendokumentasi hasil pengamatan



20



21



2. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Bahan yang digunakan pada penelitian No 1 1 2 3 4



Bahan 2 Alkohol 70% Ektoparasit Buku identifikasi Ayam kampung (Gallus gallus domestica)



Kegunaan 3 Untuk mengawetkan ektoparasit Sebagai objek pengamatan Untuk mengidentifikasi ektoparasit Sebagai objek pengamatan



D. Variabel Penelitian Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut. a. Variabel bebas : Bagian-bagian permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki meliputi bagian kepala, leher, dada, sayap permukaan atas, sayap permukaan bawah, dada, dan punggung. b. Variabel terikat : Jenis dan jumlah individu serta distribusi ektoparasit pada bagian-bagian tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki di Desa Tanggobu Kec. Lambuya Kab. Konawe. E. Definisi Operasional Untuk



menghindari



adanya



kekeliruan



maka



dijelaskan



definisi



operasional seperti berikut: 1. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung yang memiliki warna bulu pada jantan yaitu bulu leher dan sayap berwarna lurik kuning, bulu punggung dan dada berwarna lurik hitam dan bulu ekor berwarna hitam kehijauan, sedangkan pada betina yaitu bulu leher, punggung dan sayap 21



22



berwarna lurik abu-abu, bulu dada berwarna putih dan bulu ekor berwarna hitam keabuan. 2. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam tolaki yang mempunyai ciri spesifik bentuk tubuh tampak langsing, kekar dan berotot, punggung agak panjang, sayap menempel rapat disisi badan. Bentuk kepala kecil, bulat berparuh pendek, kuat. Mata berukuran sedang dan tajam dengan ekspresi berani. Bulu ekor panjang melengkung dan cukup lebat. Bentuk kaki langsing, panjang dan kokoh dengan telapak kaki seimbang, warna bulu bervariasi, ayam jantan didominasi warna Merah kecuali pada bagian dada, perut dan ekor berwarna hita, sedangkan pada ayam betina bervariasi mulai warna coklat dengan kombinasi kuning, hitam, serta campuran berbagai macam warna. 3. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari permukaan tubuh ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki. 4. Distribusi ektoparasit pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus) varietas ayam pelung dan ayam tolaki merupakan pemencaran yang dilakukan ektoparasit dalam mempertahankan dan mendapatkan tempat hidup pada bagian tubuh ayam. F. Indikator Penelitian Indikator yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jenis-jenis dan distribusi ektoparasit yang terdapat pada bagian tubuh ayam yaitu, dibagian kepala, leher, punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan



23



permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas dan sayap kiri permukaan bawah di Desa Tanggobu Kec. Lambuya Kab. Konawe. G. Kriteria Objektif Kriteria objektif pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu kriteria objektif kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut: 1. Secara kualitatif, meliputi jenis ektoparasit yang terdapat pada bagian tubuh ayam kampung varietas ayam pelung dan ayam tolaki. 2. Secara kuantitatif, meliputi jumlah dan distribusi ektoparasit yang terdapat pada bagian tubuh ayam kampung varietas ayam pelung dan ayam tolaki. H. Prosedur Kerja 1. Pengambilan Sampel Ektoparasit Sampel ektoparasit diambil dari 4 ekor ayam kampung (Gallus gallus domesticus) yaitu, 2 ekor ayam varietas ayam pelung dan 2 ekor ayam varietas ayam tolaki, dimana sampel berpasangan antara jantan dan betina. Pengambilan sampel ektoparasit dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel ektoparasit secara manual menurut Upik dan Susi (2010). Pengambilan ektoparasit pada ayam dimulai dengan menangkap ayam yang terinfestasi ektoparasit, kemudian ektoparasit dari berbagai bagian tubuh diambil, dan diindentifikasi. Bagian-bagiaan tubuh yang dijadikan area sampling adalah bagian kepala, leher, dada, punggung, sayap permukaan atas, dan sayap permukaan bawah . Ektopaasit yang diambil ditampung dalam wadah kain planel putih.



24



Khusus



untuk



ektoparasit



yang



berukuran



kecil



pengambilan



ektoparasit dilakukan dengan cara menggunakan kapas yang dibasahi alkohol 70% dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol 70% kemudian dioleskan ke bagian tubuh ayam jika terlihat ada ektoparasit di daerah tersebut langsung diambil. Sampel yang di dapatkan kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi larutan alkohol 70% dan diberi label.



2



1



3



a 6



5



4



b 7



8



25



c



d Gambar 3.1. Bagian-bagian Tubuh Ayam Kampung (tempat pengambilan ektoparasit) (a) kepala (1), leher (2) (b) sayap kiri (3), punggung (4) sayap kanan (5), dan (c) sayap permukaan atas (6), sayap permukaan bawah (7) (d) dada (8). 2. Pengamatan Ektoparasit Sampel yang sudah diperoleh dibawa ke Laboratorium Optik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo Kendari, sampel diidentifikasi dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x untuk diamati ciri morfologinya dengan menggunakan buku panduan parasitologi Hidajati, et al. (2009) dan Noble and Noble (1989). Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar. I. Analisis Data Hasil identifikasi yang diperoleh di foto, selanjutnya di deskripsikan untuk mengetahui prevalensi dari ektoparasit dan dilakukan perhitungan dan intensitas.



26



Data yang diperoleh disajikan dalam foto dan selanjutnya dideskripsikan masingmasing jenisnya. Hasil yang diperoleh dihitung berdasarkan sebarannya pada setiap bagian tubuh ayam dan untuk mengetahui tingkat serangan ektoparasit (intensitas) dan prevalensi menurut Cameron (2002). Prevalensi dan intensitas dihitung dengan menggunakan rumus : a. Prevalensi = b. intensitas =



Jumlah sampel terinfeksi parasit x 100% Jumlah sampel yang diperiksa



Jumlah parasit yang ditemukan x 100% Jumlah sampel yang terinfeksi



Sedangkan sebaran ektoparasit tiap-tiap bagian tubuh ayam (%) dan indeks keanekaragaman (H’) yaitu: a. Sebaran = ∑



xj x 100% nj



Keterangan: xj : jumlah satu genus ektoparasit pada satu bagian tubuh ayam. nj : jumlah total ektoparasit dari seluruh genus ektoparasit pada bagian ayam. b. Indeks Keanekaragaman (H’) = - ΣPi ln Pi ; Pi= ni/N Keterangan: ni : jumlah satu genus ektoparasit N : jumlah total ektoparasit dari seluruh genus ektoparasit.



27



J. Diagram Alir Penelitian Skema tahapan kegiatan pada penelitian ini sebagai berikut : Menangkap ayam kampung



Pengamatan sampel ektoparasit



Mencari ektoparasit dibagian kepala, leher, dada, punggung, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas dan sayap kiri permukaan bawah



Sampel ektoparasit diambil menggunakan pinset



Ektoparasit berukuran besar



Ektoparasit berukuran kecil



Ektoparasit yang terlihat dioleskan menggunakan kapas yang dibasahi alkohol 70%



28



Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Ektoparasit pada Ayam Pelung dan Ayam Tolaki Hasil penelitian terhadap ektoparasit pada ayam pelung dan ayam pelung, di Desa Tanggobu, Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, secara total ditemukan 480 individu yang terdiri dari 222 individu ektoparasit pada ayam pelung jantan dan betina dan 258 individu ektoparasit pada ayam tolaki jantan dan betina. Ektoparasit yang ditemukan pada ayam pelung dan ayam tolaki terdiri dari 3 ordo yaitu ordo Mallophaga (kutu penggigit), ordo Acarina dan ordo Ixodida. Ordo Mallophaga terdiri dari 3 jenis yaitu; kutu Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, dan Lipeurus caponis, ordo Acarin (tungau) dan ordo Ixodida masingmasing hanya terdiri dari 1 jenis berturut-turut yaitu Dermanyssus gallinae, dan caplak Boophilus microplus. Persentase jumlah individu ektoparasit pada 2 jenis ayam dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.



26% 44%



Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae



8% 10%



Gambar 4.1.



Lipeurus caponis



12%



Boophilus microplus



Persentase Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Bagian Permukaan Tubuh Ayam Tolaki dan Ayam Pelung 28



29



Berdasarkan Gambar 4.1, menunjukkan bahwa ektoparasit Monopon gallinae merupakan jenis ektoparasit yang paling dominan baik pada ayam tolaki maupun ayam pelung, dengan persentase mencapai 44,17% (212 individu), Boophilus microplus dengan persentase mencapai 26,04% (125 individu), Menacanthus stramineus dengan persentase mencapai 11,88% (57 individu), Dermanyssus gallinae dengan persentase mencapai 10,21% (49 individu), sedangkan Lipeurus caponis merupakan jenis ektoparasit yang sedikit ditemukan dengan persentase mencapai 7,71% (37 individu). Komposisi jenis ektoparasit pada bagian permukaan tubuh masing-masing varietas ayam tolaki dan ayam pelung di Desa Tanggobu, disajikan dalam Tabel 4.1. berikut.



Tabel 4.1. Jenis dan Jumlah Individu Ektoparasit yang Ditemukan pada Bagian Permukaan Tubuh Ayam Tolaki dan Ayam Pelung. No



Jumlah individu Ektoparasit pada bagian permukaan tubuh Jenis Ayam



1



2



Jenis Kelamin



3



Jantan



1



Ayam pelung (Gallus gallus) Betina



Jantan



2



Ayam tolaki (Gallus gallus domesticus) Betina



∑ ekor



4



Jenis Ektoparasit



4 Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus Total Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus Total Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus Total Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus Total Total Rerata



8 5 11 1 1 0 18 10 0 2 1 3 16 23 0 4 2 2 31 9 1 0 2 2 14 79



Sayap Kanan Permukaa n Atas 9 16 0 0 2 0 18 8 1 1 0 0 10 5 1 0 4 1 11 5 1 0 1 0 7 46



Sayap Kanan Permukaa n Bawah 10 4 0 1 1 0 6 7 0 1 2 0 10 1 0 3 0 3 7 1 0 2 2 0 5 28



3,95



2,3



1,4



Kepala



Lehe r



Punggung



Dad a



5 10 2 2 0 17 31 1 4 0 2 9 16 11 1 5 1 24 42 0 4 3 0 29 36 125



6 1 4 2 0 9 16 0 8 2 2 1 13 10 0 0 0 8 18 1 6 1 0 8 16 63



7 12 1 1 5 2 21 12 3 4 0 1 20 18 6 2 3 0 29 11 2 1 1 2 17 87



6,25



3,15



4,35



Total Individu



30 Persentase (%)



14



Sayap Kiri Permukaa n atas



Sayap Kiri Permukaa n bawah



11 4 0 5 0 0 9 2 0 1 0 1 4 3 0 1 1 0 5 2 0 1 1 0 4 22



12 2 0 1 2 1 6 7 0 0 1 0 8 8 0 2 0 1 11 3 1 0 0 1 5 30



13 54 18 13 11 29 125 47 16 11 8 15 97 79 8 17 11 39 154 32 15 8 7 42 104 480



1,1



1,5



24



43,20 14,40 10,40 8,80 23,20 100 48,45 16,49 11,34 8,25 15,46 100 51,30 5,19 11,04 7,14 25,32 100 30,77 14,42 7,69 6,73 40,38 100 100 48



Tabel 4.1 menunjukkan bahwa ektoparasit Monopon gallinae merupakan jenis ektoparasit yang paling dominan baik pada ayam tolaki jantan maupun betina dan ayam pelung jantan maupun betina. Populasi ektoparasit ini mencapai 43,20% pada ayam pelung jantan dan 51,30% pada ayam tolaki jantan, sedangkan pada ayam pelung betina mencapai 48,45% dan 30,77% pada ayam tolaki betina. Ektoparasit Lipeurus caponis menunjukkan jenis yang paling sedikit ditemukan pada pada ayam pelung jantan sebesar 8,80% (11 individu), ayam pelung betina sebesar 8,25% (8 individu), dan ayam tolaki betina sebesar 6,73% (7 individu). Sedangkan pada ayam tolaki jantan populasi jenis ektoparasit paling sedikit yaitu jenis Menacanthus stramineus yang mencapai 5,19% (8 individu). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Ebrahimi et al. (2016) yang menunjukkan jenis ektoparasit yang menginfestasi ayam adalah kutu Monopon gallinae (65,4%), Menacanthus stramineus (37,2%), Dermanyssus gallinae (9,1%) dan Lipeurus caponis (10,9%). Lebih lanjut penelitian Mata et al. (2018) mendapatkan bahwa Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, dan Lipeurus caponis selain jenis Echidnophaga gallinacean, Cuclotogaster heterographus dan Cnemidocoptes mutans yang sering ditemukan menyerang unggas pada peternakan di Etiopia. Hal diduga karena faktor kondisi iklim tropis, kelembaban, dan manajemen kandang yang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektoparasit Monopon gallinae tersebar di seluruh regio tubuh ayam jantan dan ayam betina. Pola infestasi dari kutu tersebut menunjukkan kedekatan pada regio punggung. Hasil yang sama juga diketahui pada penelitian yang dilakukan Malan et al. (2016) yang mendapatkan



31



32



bahwa kutu Monopon gallinae tersebar pada regio tubuh ayam terutama regio punggung. Hasil penelitian ini, kutu Monopon gallinae ditemukan dalam jumlah yang besar pada ayam jantan dan betina dan menyebar hampir merata dapat dikaitkan yang mengindikasikan bahwa kutu ini mampu berkembang baik pada regio tubuh inang. 4.1.1. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Pelung Hasil pengamatan terhadap jenis dan jumlah individu ektoparasit pada ayam pelung menunjukkan bahwa hampir semua bagian pada permukaan tubuh ayam merupakan mikrohabitat ektoparasit, bagian tubuh ayam. Ektoparasit pada ayam pelung jantan secara total berjumlah 125 individu, terdiri dari 5 jenis yaitu Menopon gallinae, Boophilus microplus, Menacanthus stramineus, Dermanyssus gallinae dan Lipeurus caponis. Jumlah, jenis dan distribusi ektoparasit pada permukaan tubuh ayam pelung jantan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.



33



18



17



16



16 14 12 10



12 10



Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus



11



9



Ki ri



Ki ri



ba



at



0



wa h



as



0 00



2 1 1



ap Sa y



Sa y



ap Sa y



0



ap



n Ka na



Ka n ap Sa y



0



2



wa h



00 0



11



Ba



0



5



4



2



At as



11



an



0



2



4



a



11 g



la Ke pa



2



un



0



0



1



gg



22



er



2



5



Pu n



4



5



4



Da d



6



Le h



Jumlah



8



Gambar 4.2. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Pelung Jantan Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 4.2, ektoparasit yang ditemukan pada ayam pelung jantan berjumlah 125 individu (26,04%) terdiri dari 5 jenis yaitu, Menopon gallinae yang tersebar pada seluruh permukaan tubuh. Ektoparasit jenis Menopon gallinae paling banyak ditemukan menginfestasi bagian tubuh ayam jantan dengan total individu berjumlah 54 individu (43,2%) seperti pada bagian kepala (10 indv.), leher (1 indv.), punggung (7 indv.), dada (5 indv.), sayap kanan permukaan atas (16 indv.), sayap kanan permukaan bawah (4 indv.), sayap kiri permukaan atas (4 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (2 indv.). Selanjutnya Boophilus microplus dengan jumlah total 29 individu (23,2%) ditemukan pada bagian kepala (17 indv.), leher (9 indv.), punggung (2 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.).



34



Ektoparasit Menacanthus stramineus dengan jumlah total 18 individu (14,4%) ditemukan pada bagian kepala (2 indv.), leher (4 indv.), punggung (1 indv.), dan dada (11 indv.). Ektoparasit Dermanyssus gallinae dengan jumlah total 13 individu (10,4%) ditemukan pada bagian kepala (2 indv.), leher (2 indv.), punggung (1 indv.), dada (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (1 indv.), sayap kiri permukaan atas (5 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). Ektoparasit jenis Lipeurus caponis paling sedikit ditemukan dengan total individu berjumlah 11 individu (8,8%) seperti pada bagian punggung (5 indv.), dada (1 indv.), sayap kanan permukaan atas (2 indv.), sayap kanan permukaan bawah (1 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). Ektoparasit pada ayam pelung betina secara total berjumlah 97 individu, terdiri dari 5 jenis yaitu Menopon gallinae, Boophilus microplus, Menacanthus stramineus, Dermanyssus gallinae dan Lipeurus caponis. Jumlah, jenis dan distribusi ektoparasit pada permukaan tubuh ayam pelung jantan dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut.



35



Menopon gallinae



14



Menacanthus stramineus 12



12



Lipeurus caponis



10



10



Boophilus microplus



9 8



8



8 7



7



6



ap Sa y



as



ba



at



1 00 0 wa h



1 1 0 0



0



Ki ri ap



ap



n



Ka n ap Sa y



0



Ba wa h



00 At as



0



2



1



Ki ri



11



Ka na



g un



2 1



an



0 gg



a al Ke p



1



0 er



0



0



2 1



Sa y



22



1



Da da



2



3



Pu n



2



4 3



Sa y



4



4



Le h



Jumlah



Dermanyssus gallinae



Gambar 4.3. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Pelung Betina Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 4.3, ektoparasit yang ditemukan pada ayam pelung betina berjumlah 97 individu (20,21%) terdiri dari 5 jenis yaitu, Menopon gallinae yang tersebar pada seluruh permukaan tubuh dengan total individu berjumlah 47 individu (48,45%) yang tersebar pada bagian kepala (1 indv.), punggung (12 indv.), dada (10 indv.), sayap kanan permukaan atas (8 indv.), sayap kanan permukaan bawah (7 indv.), sayap kiri permukaan atas (2 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (7 indv.). Selanjutnya Menacanthus stramineus dengan jumlah total 16 individu (16,9%) ditemukan pada bagian kepala (4 indv.), leher (8 indv.), punggung (3 indv.), dan sayap kanan permukaan atas (1 indv.).



36



Ektoparasit Boophilus microplus dengan jumlah total 15 individu (15,46%) ditemukan pada bagian kepala (9 indv.), leher (1 indv.), punggung (1 indv.), dada (3 indv.), dan sayap kiri permukaan atas (1 indv.). Ektoparasit Dermanyssus gallinae dengan jumlah total 11 individu (11,34%) ditemukan pada bagian leher (2 indv.), punggung (4 indv.), dada (2 indv.), sayap kanan permukaan atas (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (1 indv.), dan sayap kiri permukaan atas (1 indv.). Ektoparasit jenis Lipeurus caponis paling sedikit ditemukan dengan total individu berjumlah 8 individu (8,25%) seperti pada bagian kepala (2 indv.), leher (2 indv.), dada (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (2 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). 4.1.2. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Tolaki Hasil pengamatan terhadap jenis dan jumlah individu ektoparasit pada ayam tolaki menunjukkan bahwa hampir semua bagian pada permukaan tubuh ayam merupakan mikrohabitat ektoparasit, bagian tubuh ayam. Ektoparasit pada ayam pelung jantan secara total berjumlah 154 individu, terdiri dari 5 jenis yaitu Menopon gallinae, Boophilus microplus, Menacanthus stramineus, Dermanyssus gallinae dan Lipeurus caponis. Jumlah, jenis dan distribusi ektoparasit pada permukaan tubuh ayam pelung jantan dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut.



37



30 Menopon gallinae



24



25



23



Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae



20



18



Lipeurus caponis Boophilus microplus



11



10



10



8



8



0



11



2 1 0 0



0 ba



at



wa h



as



0 0



Ki ri



Ki ri



ap



an Ka n



3



Sa y



1



Ba wa h



At a n Sa y



ap



ap Sa y



0



3 3 1



s



0 a



g un gg



1



Ka na



0



4



ap



22



Pu n



Ke pa



la



0



000 er



1 1



2



5



4



3



Da d



5



5



Sa y



6



Le h



Jumlah



15



Gambar 4.4. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Tolaki Jantan Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 4.4, ektoparasit yang ditemukan pada ayam tolaki jantan berjumlah 154 individu (32,08%) terdiri dari 5 jenis yaitu, Menopon gallinae yang tersebar pada seluruh permukaan tubuh total individu berjumlah 79 individu (51,3%) dengan ditemukan pada permukaan tubuh yaitu pada bagian kepala (11 indv.), leher (10 indv.), punggung (18 indv.), dada (23 indv.), sayap kanan permukaan atas (5 indv.), sayap kanan permukaan bawah (1 indv.), sayap kiri permukaan atas (3 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (8 indv.). Selanjutnya Boophilus microplus dengan jumlah total 39 individu (25,32%) ditemukan pada bagian kepala (24 indv.), leher (8 indv.), dada (2



38



indv.), sayap kanan permukaan atas (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (3 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). Ektoparasit Dermanyssus gallinae dengan jumlah total 17 individu (11,04%) ditemukan pada bagian kepala (5 indv.), punggung (2 indv.), dada (4 indv.), sayap kanan permukaan bawah (3 indv.), sayap kiri permukaan atas (1 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (2 indv.). Ektoparasit Lipeurus caponis dengan jumlah total 11 individu (7,14%) ditemukan pada bagian kepala (1 indv.), punggung (3 indv.), dada (2 indv.), sayap kanan permukaan atas (4 indv.), dan sayap kiri permukaan atas (1 indv.). Ektoparasit jenis Menacanthus stramineus paling sedikit ditemukan dengan total individu berjumlah 8 individu (5,19%) seperti pada bagian kepala (1 indv.), punggung (6 indv.), dan sayap kanan permukaan atas (1 indv.). Ektoparasit pada ayam tolaki betina secara total berjumlah 104 individu, terdiri dari 5 jenis yaitu Menopon gallinae, Boophilus microplus, Menacanthus stramineus, Dermanyssus gallinae dan Lipeurus caponis. Jumlah, jenis dan distribusi ektoparasit pada permukaan tubuh ayam pelung jantan dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.



39



35 29



Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus



25



15 11 10



0



11



0



1



00



1



Ki ri



Ki ri



ba



at



3



wa h



2



as



0



Sa y



ap



0



22



ap



ap



Ka n



an



Ka n ap Sa y



1



Sa y



1 1 0 0



Ba wa h



0



22



At as



1



an



2



a



g



11



Da d



0



un



al Ke p



2



gg



0



1 1



5



er



0 a



0



6 3



9



8



Pu n



4



5



Le h



Jumlah



20



Sa y



30



Gambar 4.5. Jumlah, Jenis dan Distribusi Ektoparasit pada Permukaan Tubuh Ayam Tolaki Betina Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 4.5, ektoparasit yang ditemukan pada ayam tolaki betina berjumlah 104 individu (21,67%) terdiri dari 5 jenis yaitu, Boophilus microplus dengan total individu terbanyak yang berjumlah 42 individu (40,38%) yang tersebar pada bagian kepala (29 indv.), leher (8 indv.), punggung (2 indv.), dada (2 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). Selanjutnya Menopon gallinae dengan jumlah total 32 individu (30,77%) ditemukan pada bagian leher (1 indv.), punggung (11 indv.), dada (9 indv.), sayap kanan permukaan atas (5 indv.), sayap kanan permukaan bawah (1 indv.), sayap kiri permukaan atas (2 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (3 indv.) Ektoparasit Menacanthus stramineus dengan jumlah total 15 individu (14,42%) ditemukan pada bagian kepala (4 indv.), leher (6 indv.),



40



punggung (2 indv.), dada (1 indv.), sayap kanan permukaan atas (1 indv.), dan sayap kiri permukaan bawah (1 indv.). Ektoparasit Dermanyssus gallinae dengan jumlah total 8 individu (7,69%) ditemukan pada bagian kepala (3 indv.), leher (1 indv.), punggung (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (2 indv.), dan sayap kiri permukaan atas (1 indv.). Ektoparasit jenis Lipeurus caponis paling sedikit ditemukan dengan total individu berjumlah 7 individu (6,73%) seperti pada bagian punggung (1 indv.), dada (2 indv.), sayap kanan permukaan atas (1 indv.), sayap kanan permukaan bawah (2 indv.), dan sayap kiri permukaan atas (1 indv.). Berdasarkan hasil penelitian Tabel 4.1, tentang preferensi infestasi kutu berdasarkan bagian tubuh menunjukkan semua bagian tubuh ayam kampung terintestasi kutu mulai pada bagian kepala, leher, punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas, dan sayap kiri permukaan bawah. Insfetasi yang paling banyak di terdapat pada bagian kepala dengan rata-rata 6,25 ekor dan terkecil pada bagian sayap kiri permukaan atas dengan rata-rata 1,1 ekor. Pola infestasi ini menyebar hampir merata pada ayam jantan dan betina baik ayam pelung maupun ayam tolaki. Hasil penelitian menunjukkan preferensi infestasi kutu pada bagian kepala, leher, punggung, dan dada lebih banyak bila dibandingkan pada bagian sayap. Hal ini diduga karena pada bagian-bagian tubuh ini terdapat banyak bulu Plumae yang rapat, sedangkan pada bagian-bagian sayap karena jumlah bulu tidak serapat pada bagian kepala, leher, punggung, dan dada serta pada bagian ini kutu tidak dapat bersembunyi dari predator dengan cara mematuk. Salah satu faktor yang



41



berpengaruh terhadap penyebaran kutu yaitu suhu tubuh inang, kondisi lingkungan, struktur bulu, morfologi kutu dan jumlah bulu pada inang. Selain itu, faktor tingginya prevalensi ektoparasit diduga dengan kondisi pemeliharaan ayam, seperti kurangnya kondisi kesehatan, kepadatan populasi yang tinggi, pemberian makan yang tidak terkontrol, kurangnya perhatian terhadap tindakan pengobatan dan pengendalian, dan akses bebas hewan ke lingkungan luar. Jenis kutu yang sering ditemukan pada unggas adalah Menopon gallinae dari genus Menopon yang berasal dari kelompok Amblycera. Kutu ini memiliki kemampuan berlari dengan cepat sehingga mudah menyebar di semua bagian tubuh. Kutu dapat hidup dan berkembang biak dalam waktu lama atau seluruh hidupnya di tubuh ayam. Kutu ini meletakkan telur di bagian dasar bulu dan akan menetas dalam waktu 2–3 minggu (Setiawati, 2014). Kutu ini merupakan jenis kutu yang umum ditemukan pada unggas. Kutu Menopon gallinae merupakan kutu yang berkembang secara optimal pada daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi dan kondisi yang lembab (Ardhani, 2013). Hasil penelitian ini tidak berbeda dari beberapa hasil penelitian seperti Selfiannisa (2018) menemukan pada ayam buras di Desa Kramat Kabupaten Bangkalan hasil menunjukkan pada area punggung merupakan area terbanyak untuk pola infestasi kutu Menopon galliane di bandingkan area tubuh lainnya. Penelitian Ardhani (2013) dan Setiawan (2013) yang menemukan M. gallinae di bagian dada ayam dalam jumlah besar. Bagian dada pada ayam merupakan bagian tubuh yang paling banyak ditumbuhi bulu. Bagian dada pada ayam juga sulit



42



dijangkau dan sulit untuk dipatuk sehingga ektoparasit yang berada pada bagian dada akan lebih mudah untuk hidup dan berakibat pada populasinya yang tinggi. Infestasi ektoparasit pada ayam dapat berlangsung melalui kontak dengan habitat dan dengan individu lain ataupun kontaminasi dengan kandang dan makanan. Proses infesstasi ektoparasit pada ayam dapat terjadi pada saat seekor ayam menjelajah mencari makan ke dalam habitat yang mengandung ektoparasit, selanjutnya ektoparasit merayap masuk baik melalui paruh saat makan ataupun melalui kaki, masuk dan menempel pada bagian tubuh ayam. Transport ektoparasit melalui kontak fisik dimulai pada saat ayam ayam melakukan perilaku grooming berkelompok merupakan perilaku yang bisa menyebabkan ektoparasit berpindah dari satu ayam ke ayam yang lain. Infestasi ektoparasit pada ayam dapat berlangsung pada saat ayam tersebut menggunakan kandang ayam yang telah terkontaminasi ektoparasit oleh ayam sebelumnya menggunakan kandang tersebut. Ektoparasit yang menempel pada bagian kandang, akan mengkontminasi dan menempel ke permukaan tubuh ayam. Ektoparasit yang melalui makanan, jatuh dan menempel pada makanan dan menginfestasi ayam lain pada saat memakan makanan yang mengandung ektoparasit. Pada ayam jantan lebih banyak ditemukan ektoparasit jika dibandingkan dengan ayam betina, dikarenakan adanya perilaku self dan social grooming. Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi ayam kampung jantan baik ayam pelung dan ayam tolaki dijadikan ayam petarung sedangkan ayam betina hanya dijadikan ayam bibit, dan terdapat beberapa ayam betina baru selesai mengeram.



43



Hal ini bisa menambah jumlah ektoparasit pada tubuh ayam karena adanya interaksi, kemudian mengurangi jumlah ektoparasit pada ayam bisa dilakukan dengan cara ayam tersebut membenamkan tubuhnya ke dalam tanah yang sudah dibuatnya. Perilaku ini sering dilakukan pada ayam betina dibandingkan pada ayam jantan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Mirzaei et al. (2016) yang mendapatkan prevalensi infestasi ektoparasit lebih banyak pada ayam jantan (93,94%) dibandingkan dengan ayam betina (76,19%). Prevalensi infestasi ektoparasit secara statistik lebih tinggi secara signifikan di musim hujan dan lembab (musim gugur, musim semi dan musim dingin), dengan prevalensi keseluruhan sebesar 22 ± 4,21% Secara umum hasil penelitian penelitian di atas sesuai dengan hasil beberapa seperti penelitian Febrananti, (2014), di Desa Mulyoagung Kecamatan Dau Kabupaten Malang, yang menemukan bahwa pada ayam pelung ditemukan 3 spesies kelompok kutu (Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, Lipeurus caponis) dan 1 spesies kelompok agas (Culicoides sp). Selanjutnya Setiawati (2014) dari hasil penelitiannya pada ayam pelung (buras) menjelaskan bahwa prevalensi ayam yang berkutu di beberapa pasar Kota Bogor mencapai 50%. Jenis kutu yang ditemukan terdiri dari tiga jenis, yaitu Menopon gallinae (77.14%), Lipeurus caponis (20.57%), dan Goniodes dissimilis (2.29%)Jenis kutu yang mendominasi adalah Menopon gallinae pada regio dada–kaki (97.39%). Penelitian yang dilakukan Malann et al. (2016) bahwa kutu Menopon gallinae tersebar pada regio tubuh ayam terutama regio punggung. Hasil penelitian ini, kutu M. gallinae ditemukan dalam jumlah yang besar pada ayam buras jantan dan



44



betina dan menyebar hampir merata yang mengindikasikan bahwa kutu ini mampu berkembang baik pada regio tubuh inang. 4.2. Komposisi Ektoparasit pada Ayam Pelung dan Ayam Tolaki Hasil penelitian terhadap indeks keanekaragaman ektoparasit pada ayam pelung dan ayam tolaki, di Desa Tanggobu, Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, pada 480 individu yang terdiri dari lima spesies ektoparasit dapat dilihat pada Tabel 4.2. berikut. Tabel 4.2. No. 1



Ayam Pelung



Ayam Tolaki



Indeks Keanekaragaman Ektoparasit yang Ditemukan pada Ayam Tolaki dan Ayam Pelung Spesies 2 Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus



Jumlah 3 101



pi 4 0,455



Ln pi 5 -0,788



-pi ln pi 6 0,36



34 24 19 44



0,153 0,108 0,086 0,198



-1,876 -2,225 -2,458 -1,618



0,29 0,24 0,21 0,32



111



0,430



-0,843



0,36



23 25 18 81



0,089 0,097 0,070 0,314



-2,417 -2,334 -2,663 -1,159



0,22 0,23 0,19 0,36



Total H' Total



keanekaragaman



hasil



1,42



222



Total Menopon gallinae Menacanthus stramineus Dermanyssus gallinae Lipeurus caponis Boophilus microplus



Berdasarkan



H' 7



1,35



258 1,39



penelitian



ektoparasit



pada



pada



Tabel



4.2,



terhadap



indeks



ayam



yaitu



1,39



dimana



indeks



keanekaragaman ektoparasit pada ayam pelung sebesar 1,42 dan ayam tolaki sebesar 1,35. Hasil indeks keanekaragaman ektoparasit tergolong pada kategori rendah “H' < 2”. Sriwidodo et al. (2013) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya



45



nilai indeks keanekaragaman tergantung oleh variasi jumlah individu tiap spesies. Semakin besar jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies maka tingkat keanekaragaman akan semakin besar, demikian juga sebaliknya. Rendahnya indeks keanekaragaman pada penelitian ini disebabkan karena variasi dalam prevalensi dan jenis ektoparasit yang ditemui yang dapat disebabkan oleh variasi kondisi agroklimat dan topografi, kemampuan beradaptasi spesies, sistem manajemen dan praktik peternakan. Selain itu, durasi dan musim pada penelitian ini diduga dapat menyebabkan pola prevalensi musiman ektoparasit dimana penelitian ini dilakukan pada musim penghujan. Umumnya, musim hujan terdiri dari kondisi iklim yang menguntungkan untuk perkembangbiakan parasit. Suhu dan kelembaban lingkungan sedang hingga tinggi selama musim ini sangat penting untuk penetasan telur dan tahap perkembangan larva. Firaol et al. (2014) menjelaskan bahwa karakteristik iklim pada daerah tropis dapat menyebabkan parasit eksternal unggas banyak ditemukan khususnya dalam hal jumlah individu suatu spesies. Lebih lanjut Putranto et al. (2021) menjelaskan bawa Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi diperkirakan juga menjadi faktor lingkungan yang mendorong tumbuh dan berkembangnya ektoparasit pada unggas. Pengumpulan ektoparasit dalam waktu yang relatif singkat diduga dapat menyebabkan kesalahan terhadap jumlah dan jenis ektoparasit karena ektoparasit memiliki biologi dan populasinya sendiri yang dapat bervariasi dengan cepat baik dalam ruang dan waktu. Faktor kelimpahan ektoparasit juga dapat mempengaruhi keanekaragaman dimana kelimpahan ektoparasit dipengaruhi oleh habitat. Bahtiar et al. (2014)



46



menjelaskan bahwa kondisi habitat atau lingkungan yang berbeda di setiap kandang ayam yang menjadi inang ektoparasit menjadi salah satu faktor penting terhadap tingginya kelimpahan ektoparasit. Pada penelitiannya diketahui bahwa inang



ayam



kampung



paling



banyak



terserang



ektoparasit.



Peneliti



memperkirakan hal ini disebabkan karena kandang ayam kampung lebih lembab, lebih kotor, serta ukuran kandang yang lebih kecil. Selain itu, ditunjang juga oleh lokasi kandang yang ditumbuhi banyak pohon di sekitar kandang sehingga mempengaruhi intensitas cahaya matahari. Peneliti juga menemukan fakta bahwa pemelihara ayam ternyata menggabungkan ayam baru dan ayam lama dalam satu kandang. Hal ini dapat memicu terjadinya perpindahan kutu antar ayam. Perpindahan kutu antar ayam dapat terjadi melalui kontak langsung sehingga dengan menggabungkan ayam dalam satu kandang memperbesar peluang perpindahan kutu. 4.3. Ciri dan Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Permukaan Tubuh Ayam pelung dan Ayam Tolaki. Hasil pengamatan ektoparasit yang ditemukan bagian tubuh ayam pe;ung dan tolaki adalah sebagai berikut: 1. Menopon gallinae Menopon gallinae (kutu tangkai bulu) termasuk dalam golongan kutu penggigit, dengan ciri-ciri yaitu memiliki bentuk badan kecil, kutu jantan memiliki panjang tubuh sekitar 1,71 mm, sedangkan kutu betina 2,04 mm. Tubuh berwarna kuning pucat sampai dengan kuning cerah. Bentuk kepala segitiga yang lebar dengan ujung arterior tumpul, mata majemuk, dan sepasang



47



antena dibagian kepala. Bagian kaki mempunyai rambut yang berwarna coklat (Hadi & Soviana, 2013). Pada ruas-ruas dada dan perut terdapat sebaris bulu dorsal. Kutu ini juga menyerang unggas lain seperti itik dan merpati. Perkembangannya relatif cepat, telur-telurnya diletakkan bergerombol pada bulu ayam (Ardhani, 2013). Kutu ini meletakkan telur di bagian dasar bulu dan menetas dalam waktu 2–3 minggu. Kutu dewasa dapat hidup selama 9 bulan dan jenis ini tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu yang relatif sedikit (Setiawati, 2014). Menopon gallinae masuk dalam kelas Insecta, ordo Phthiraptera, famili Menoponidae dan genus Menopon. Menopon gallinae sering ditemukan dalam jumlah banyak pada ayam dewasa daripada ayam muda. Infestasi pada ayam muda dalam jumlah besar dapat berakibat fatal. Ayam yang terinfestasi parah oleh kutu ini dapat mengalami anemia hiperkromik dan penurunan bobot badan hingga kematian. Habitat kutu penggigit adalah permukaan kulit di antara bulu. Hal tersebut sesuai dengan kebutuhan makanannya yang berupa kerak kulit dan eksudat kering. Spesies ini juga dapat menginfestasi kalkun dan bebek (Taylor et al., 2013; Bria, 2018).



a



b



48



Gambar 4.6.



Ektoparasit Menopon gallinae tampak; (a) dorsal; (b) ventral (perbesaran objek 4x10)



2. Menacanthus stramineus Menacanthus stramineus termasuk dalam ordo Mallophaga. dengan tubuh berwarna kuning, ukuran tubuh lebih pendek. Menacanthus stramineus dapat berjalan dengan cepat dan sembunyi ke bagian telinga dan dibalik batang bulu. Kutu ini memakan sisik epidermis, remukan bulu, eksudat dan sebagainya. Pada ayam, kutu ini merupakan kutu yang ditemukan dalam jumlah besar. Kutu akan mengiritasi ayam dan menyebabkan hewan tidak tidur dan kehilangan berat badan sehingga produksinya berkurang, selain itu Menacanthus stramineus juga aktif memakan darah hospesnya. Apabila ini terjadi terus menerus maka unggas akan mengalami anemia (Rohmawati, 2016). Menacanthus stramineus terdapat pada kulit bagian-bagian badan yang tidak lebat ditumbuhi bulu, seperti pada dada, paha dan sekitar dubur ayam. Kutu jantan memiliki panjang tubuh 2,8 mm, sedangkan kutu betina 3,3 mm. Pada ruas-ruas dibagian perut masing-masing mempunyai 2 baris rambut. Telur-telurnya memiliki serabut yang melekat separuh bagian depan kulit telur dan eperculumya. Telur-telur tersebut diletakkan secara bergerombol pada bulu-bulu dekat kulit (Murtidjo, 1992).



49



Gambar 4.7.



b a Ektoparasit Menacanthus stramineus tampak; (a) dorsal; (b) ventral (perbesaran objek 4x10)



3. Lipeurus caponis Lipeurus caponis (Kutu sayap) diklasifikasikan ke dalam classis Insecta, ordo Phthiraptera, familia Philopteridae dan genus Lipeurus. Bentuk morfologi kutu L. caponis yaitu memiliki bentuk tubuh panjang dengan sepasang antena yang terletak di samping kepala, antena tersusun atas lima segmen, antena filiformis pada sisi kapitulum, memiliki kapitulum kecil, bagian frontalis kapitulum menonjol setelah antena. Kepala memiliki tepi luar yang membulat dan terdiri dari lobus temporal. Kutu ini mempunyai kepala yang panjang dan bulat di bagian depan dan terdiri dari lobus temporal. Antena Lipeurus caponis terlihat jelas dan berbentuk filiform yang terdiri atas lima segmen. Umumnya antena pada kutu berfungsi sebagai organ sensoris, namun antena pada Lipeurus caponis juga berfungsi sebagai pembeda jenis kelamin kutu atau disebut antena seksual dimorfik. Antena pada kutu jantan tampak mengalami perpanjangan scape, sedangkan perpanjangan scape tidak terjadi pada kutu betina (Setiawati, 2014). Toraks terlihat dengan jelas yang terdiri atas protoraks dan pterotoraks. Abdomen dari Lipeurus caponis terdiri atas delapan segmen dan terdapat



50



rambut seta. Kutu ini memiliki kaki yang panjang dan kecil dengan karakteristik kaki belakang dua kali lebih panjang daripada kaki depan. Kutu betina menempelkan telur pada bulu dan menetas dalam waktu 4–7 hari. Nimfa kutu ini akan melewati tiga tahap selama 20–40 hari. Lipeurus caponis dewasa relatif tidak aktif dan dapat bertahap hidup sampai 35 hari (Setiawati, 2014). L. caponis atau sering disebut sebagai kutu sayap ayam (wing louse) dan tubuhnya berwarna abu-abu adalah kutu yang memiliki ciri khas bentuk tubuh panjang dan langsing, panjang tubuh sekitar 3 mm dan lebar 0,3 mm. L. caponis hidup di sela-sela bulu dan ditemukan pada bulu sayap, ekor atau leher (Rama et al., 2017). Lipeurus caponis memakan partikel bulu dan kadangkadang memakan runtuhan kulit. Infestasi kutu ini dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kegelisahan dan iritasi kulit pada ayam. Ayam muda rentan terhadap infestasi yang berat, khususnya ketika mengalami penyakit atau malnutrisi (Setiawati, 2014).



a Gambar 4.8.



b Ektoparasit Lipeurus caponis tampak; (a). dorsal, (b). ventral (perbesaran objek -4x10)



4. Dermanyssus gallinae



51



Dermanyssus gallinae (tungau merah) adalah jenis tungau yang tergolong famili Dermanyssidae adalah ektoparasit pengisap darah wajib pada unggas. Tungau ini endemik di banyak bagian dunia, menimbulkan masalah ekonomi di seluruh dunia. Di Eropa, D. gallinae dianggap sebagai hama paling serius di peternakan, dengan prevalensi terkait hingga 100% (Sparagano et al., 2014). Dermanyssus gallinae memiliki siklus hidup perkembangbiakan yang cepat, biasanya dalam waktu kira-kira dua minggu atau bahkan kurang, memungkinkan populasi tungau yang besar untuk berkembang dalam waktu singkat (Tucci et al., 2008). Dermanyssus gallinae dewasa memiliki panjang 0,7 hingga 1 mm dan lebar 0,4 hingga 0,5 mm. Tubuh berbentuk buah pir, dorsoventral rata, dan ditutupi dengan kulit transparan keabu-abuan. Dermanyssus gallinae memiliki empat pasang kaki, dengan dua cakar, dan alat mulut tipe menusuk dan mengisap. Dermanyssus gallinae adalah ektoparasit periodik yang mengisap darah inangnya selama 0,5-1,5 jam terutama di malam hari, ketika unggas kurang aktif. Dermanyssus gallinae lebih suka tempat-tempat yang tidak dapat diakses, terlindung dari cahaya, terutama retakan dan celah dalam kandang unggas, dimana Dermanyssus gallinae dapat berkembang biak. Siklus perkembangan Dermanyssus gallinae terdiri dari 5 tahap: telur, larva, protonymph, deutonymph dan dewasa (jantan atau betina). Protonymph, deutonymph dan betina dewasa harus menghisap darah sedangkan jantan menghisap darah sesekali (Koziatek & Sokół, 2015).



52



Tungau ini menyerang unggas dengan cara menghisap darah penderita. Tanda klinis pertama yang diamati pada hewan yang terinfestasi parasitisme D. gallinae adalah anemia sub-akut karena gigitan tungau berulang. Ayam petelur dapat kehilangan lebih dari 3% volume darahnya setiap malam (Emous, 2005) dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan ayam bisa mati karena anemia berat (Wojcik et al., 2000). Dermanyssus gallinae merupakan ektoparasit hematofag yang sering ditemukan pada unggas. Siklus perkembangbiakan D. gallinae sangat singkat (7-10 hari). Infestasi parasit ini menyebabkan anemia, iritasi, penurunan produksi telur dan pematuk bulu (Kilpinen et al., 2005; Kim et al., 2007). Unggas yang mengalami anemia akibat serangan Dermanyssus gallinae cenderung minum lebih banyak air dan meningkatkan asupan pakan untuk mengkompensasi kehilangan darah (Sparagano et al., 2014).



Gambar 4.9.



b a Ektoparasit Dermanyssus gallinae tampak; (a). dorsal, (b). ventral (perbesaran objek -4x10)



5. Boophilus microplus



53



Boophilus microplus atau biasa dikenal dengan sebutan Caplak termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut. Kingdom



: Animalia



Filum



: Arthropoda



Subfilum



: Chelicerata



Kelas



: Arachnida



Ordo



: Ixodida



Sub Ordo



: Metastigmata



Famili



: Ixodidae



Genus



: Boophilus



Spesies



: Boophilus microplus



Boophilus microplus memiliki tubuhn yang terdiri dari segmen abdomen dan segmen sefalotoraks yang telah menjadi satu, sehingga tubuhnya berbentuk mirip kantung. Tubuhnya mempunyai kulit yang tebal dan tidak tembus sinar. Mulutnya mudah dilihat dan mempunyai sejumlah gigi untuk melekat atau mengigit. Larva mempunyai 3 pasang kaki, sedangkan nimfa dan dewasa memiliki 4 pasang kaki. Bagian dorsal caplak ini mempunyai skutum atau perisai yang menutupi seluruh bidang dorsal tubuh pada caplak jantan, sedangkan pada yang betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian anterior tubuh. Oleh karena itu tubuh caplak betina dapat berkembang lebih besar dari



54



pada yang jantan setelah menghisap darah. Matanya baik pada yang jantan maupun betina terletak pada sisi lateral skutum (Suparmin, 2015). Boophilus microplus adalah ektoparasit pengisap darah sehingga menyebabkan anemia pada ternak tersebut. Selain itu, Boophilus microplus merupakan vektor berbagai penyakit parasit darah diantaranya penyakit Babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina), Anaplasmosis (Anaplasma marginale) serta Equinepiroplasmosis (Theileria equi). Luka bekas gigitan caplak dapat mengundang kehadiran lalat hijau (Chrysomia sp) untuk bertelur pada luka tersebut sehingga menyebabkan belatungan (miasis). Siklus hidup Boophilus microplus berupa telur-larva-nimfa-caplak dewasa. Caplak dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke tanah untuk bertelur. Larva yang baru menetas akan mencari inang dengan bantuan olfaktoriusnya. Bila tidak cepat mendapat induk semang yang baru larva dapat menahan lapar untuk berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan. Setelah berhasil mendapatkan induk semang dan menghisap darahnya, larva akan melepaskan diri dari induk semang untuk berganti kulit (molting) menjadi nimfa (Mulya, 2017).



1



2 a



Gambar 4.9.



3



4 b



Ektoparasit Boophilus microplus: (a) jantan tampak (1) dorsal (2) ventral (b) betina tampak (3) dorsal (4) ventral (perbesaran objek 4x10)



55



V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.



Jumlah individu dan jenis ektoparasit yang ditemukan pada permukaan tubuh ayam kampung secara total terdapat 480 individu yang terdiri 5 species yaitu, Menopon galline, Menacanthus stramineus, Dermanyssus gallinae, Lipeurus caponis, dan Boophilus microplus. Jumlah individu dan jenis ektoparasit yang ditemukan pada permukaan tubuh ayam kampung varietas ayam pelung jantan terdapat 125 individu sedangkan pada ayam pelung betina terdapat 97 individu. Jumlah individu dan jenis ektoparasit yang ditemukan pada permukaan tubuh ayam kampung varietas ayam tolaki jantan terdapat 154 individu sedangkan pada ayam tolaki betina terdapat 102 individu.



2.



Distribusi ektoparasit pada ayam kampung varietas ayam pelung jantan yaitu, ektoparasit Menopon gallinae ditemukan seluruh bagian tubuh. Boophilus microplus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dan sayap kiri permukaan bawah. Menacanthus stramineus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dan dada. Dermanyssus gallinae ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dada, sayap kanan permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas, dan sayap kiri permukaan bawah. Lipeurus caponis ditemukan pada bagian punggung , dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan bawah.



3.



Distribusi ektoparasit pada ayam kampung varietas ayam pelung betina yaitu, Menopon



gallinae



yang



tersebar



55



pada



seluruh



permukaan



tubuh.



56



Menacanthus stramineus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dan sayap kanan permukaan atas. Boophilus microplus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dada, dan sayap kiri permukaan atas. Dermanyssus gallinae ditemukan pada bagian leher, punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan atas. Lipeurus caponis ditemukan pada bagian kepala, leher, dada, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan bawah. 4.



Distribusi ektoparasit pada ayam kampung varietas ayam tolaki jantan yaitu, ektoparasit Menopon gallinae ditemukan seluruh bagian tubuh. Boophilus microplus ditemukan pada bagian kepala, leher, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan bawah. Dermanyssus gallinae ditemukan pada bagian kepala, punggung, dada, sayap kanan permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas , dan sayap kiri permukaan bawah. Lipeurus caponis ditemukan pada bagian kepala, punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, dan sayap kiri permukaan atas. Menacanthus stramineus ditemukan pada bagian kepala, punggung, dan sayap kanan permukaan atas.



5.



Distribusi ektoparasit pada ayam kampung varietas ayam tolaki betina yaitu, Boophilus microplus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, dada, dan sayap kiri permukaan bawah. Menopon gallinae ditemukan pada bagian leher, punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, sayap kiri permukaan atas, dan sayap kiri permukaan bawah. Menacanthus stramineus ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung,



57



dada, sayap kanan permukaan atas, dan sayap kiri permukaan bawah. Dermanyssus gallinae ditemukan pada bagian kepala, leher, punggung, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan atas. Lipeurus caponis ditemukan pada bagian punggung, dada, sayap kanan permukaan atas, sayap kanan permukaan bawah, dan sayap kiri permukaan atas. 5.2. Saran Saran yang dapat diajukan penulis melalui penelitian ini yaitu, Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ektoparasit pada Ayam Kampung (Gallus Domesticus).



DAFTAR PUSTAKA



Aleya, B., Sabrina, S. (2011). Prevalence and seasonal variation of ectoparasite in pigeon, Columba livia (Gmelin, 1979) of Dhaka, Bangladesh. Bangladesh J Zool, 39(2), 223-230. Amirullah. (2018). Ektoparasit dan Pengendaliannya, Balai Karantina Kelas I Mataram Badan Karantina Pertanian, Mataram. Ardhani, W.N. (2013). Efektivitas Aplikasi Insektisida Sipermetrin Terhadap Kutu Ayam Petelur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin,



C., dan Soedarmono. (1982). Parasit Ternak Penanggulangannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.



dan



Cara



Baktiar. D.H., Susanti, R., dan Rahayuningsih, M. (2014). Keanekaragaman jenis ektoparasit burung paruh bengko Famili Psittacidae di Taman Margasatwa Semarang. Unnes Jurnal Life Sci., 3(2),139-147. Balaira, H.S., Assa, G.V.J., Nangoy, F.J., Sarajar, C.L.K., & Nangoy, M. (2019). Infestasi kutu pada ayam kampung (Gallus gallus domestic) di Desa Tolok Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa, Zootec, 39(2), 451-458. Bell, D.D., and Weaver, D. (2002). Commercial Chicken Meal and Egg Production. Ed ke-5, Spinger Science Bussiness Media, New York. Borror, D.J., Triplehorn, C.A., & Jhonson, N.F. (1996). Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Bahasa Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Bria, R.R. (2018). Ektoparasit pada Ayam Kampung (Gallus domesticus) di Desa Lasaen, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. [Skripsi]. Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang. Cameron, A. (2002). Survey Toolbox Aquatic Animal Disease. A Practical Manual and Software Package, ACIAR Monograph No. 94. Candrawati, V.Y. (2007). Studi Ukuran dan Bentuk Tubuh Ayam Kampung, Ayam Sentul dan Ayam Wareng Tangerang Melalui Analisis Komponen Utama. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dabasa, G., Shanko, T., Zewdei, W., Jilo, K., Gurmesa, G., Abdela, N. (2017a). Prevalence of small ruminant gastrointestinal parasites infections and associated risk factors in selected districts of Bale zone, south eastern Ethiopia. Journal of Parasitology and Vector Biology, 9(6), 81-88.



58



59



Dabasa, G., Zewdei, W., Shanko, T., Jilo, K., Gurmesa, G., Lolo, G. (2017b). Composition, prevalence and abundance of Ixodid cattle ticks at EthioKenyan Border, Dillo district of Borana Zone, Southern Ethiopia. Journal of Veterinary Medicine and Animal Health, 9(8), 204-2012. Darwati, S., Sumantri, C., & Pratiwanggana, A.T. (2015). Performa Produksi F1 Antara Ras Pedaging× Kampung dan Kampung× Ras Pedaging pada Umur 0-12 Minggu. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 3(2), 72-78. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2014). Populasi Ayam Buras menurut Provinsi Tahun 2019. Kementan RI. Jakarta Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2019). Populasi Ayam Buras menurut Provinsi Tahun 2019. Kementan RI. Jakarta Dwibadra, D. (2008). Tungau, Caplak, Kutu, dan Pinjal.Majalah Ilmiah Populer, 8(2), 29-33. Ebrahimi, M., Samiei, K., Anousheh, D., & Razi Jalali, M.H. (2016). Identification of ectoparasites in indigenous poultry in southern areas of West Azerbaijan, Iran: A study on the prevalence and importance of these parasites. Archives of Razi Institute, 71(4), 253-258. Elizabeth, R., & Rusdiana, S. (2012). Perbaikan Manajemen Usaha Ayam Kampung Sebagai Salah Satu Sumber Pendapatan Keluarga Petani di Pedesaan. Workshop Nasional Unggas Lokal. Emous, R. V. (2005). Wage war against the red mite! Recommendations for a thorough and effective control programme for these irritating and harmful parasites. Poultry International, 44(11), 26-33. Ensminger, M.E., Scanes, C.G., & Brant, G. (2004). Poultry Scince. 4th Edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Eriko, Jatmiko, dan Nur, H. (2016). Pengaruh penggantian sebagian ransum komersial dengan dedak padi terhadap performa ayam kampung. Jurnal Peternakan Nusantara, 2(1), 2442-2541. Fahrimal, Y., Razali, D., Adi, C., Syauki, I., dan Roslizawaty. (2010). Penggunaan Tepung Biji Sirsak (Annona murricata) sebagai Akarisida pada Sapi dan Kambing. Jurnal Kedokteran Hewan, 4(1), 44-45 Febrananti, D.D.W. (2014). Identifikasi Ektoparasit Pada Ayam Kampung (Gallus Gallus) dan Ayam Arab (Gallus turulus) di Desa Mulyoagung Kecamatan Dau Kabupaten Malang Sebagai Sumber Belajar Biologi. [Skripsi]. Universiats Muhammadiah Malang, Malang.



60



Firaol, T., Dagmawit, A., Askale, G., Solomon, S., Morka, D., & Waktole, T. (2014). Prevalence of ectoparasite infestation in chicken in and around Ambo Town, Ethiopia. Journal of Veterinary Science and Technology, 5(4). Gunya, B., Muhenje, V., Gxasheka, M., Tyasi, L.T., Masika, P.J. (2020). Management practices and contribution of village chickens to livelihoods of communal farmers: The case of centane and Mount Frere in Eastern Cape, South Africa. Biodiversitas, 21(4): 1345-1351. Hadi, U.K., dan Soviana, S. (2010). Ektoparasit Pengenalan, identifikasi, dan pengendaliannya. IPB Press. Bogor. Hadi, U.K., Gunandini, D.J., & Soviana, S. (2013). Atlas Entomologi Veteriner. IPB Press. Bogor. Hidajati, S., Dachlan, Y.P., dan Yotopranoto, S. (2009). Atlas Parassitologi Kedokteran. EGC. Jakarta. Ikpeze, O.O., Amagba, I.C., Eneanya, C.I. (2017). Preliminary survey of ectoparasites of chicken in Awka, south-eastern Nigeria. Animal Research International, 5(2). Ilyes, M., Ahmed, B., Kheira, S., Hanene, D., Fouz, M. (2013). Prevalence and distribution of chewing lice (Phthiraptera) in free-range chickens from the traditional rearing system in the Algerian North East, Area of El-Tarf. Intl J Poult Sci, 12(12), 721-725. Jilo, K., Abdela, N., Adem, J. (2016). Insufficient Veterinary Service as a Major Constraints in Pastoral Area of Ethiopia: A Review. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 6(9), 94-101. Kadarsan, S., Saim, A., Purwaningsih, E., Munaf, H.B., Budiarti, I., dan Hartini, S. (1983). Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. Kilpinen, O., Roepstorff, A., Permin, A., Nørgaard-Nielsen, G., Lawson, L.G., & Simonsen, H.B. (2005). Influence of Dermanyssus gallinae and Ascaridia galli infections on behaviour and health of laying hens (Gallus gallus domesticus). British Poultry Science, 46(1), 26-34. Kim, S.I., Na, Y.E., Yi, J.H., Kim, B.S., & Ahn, Y.J. (2007). Contact and fumigant toxicity of oriental medicinal plant extracts against Dermanyssus gallinae (Acari: Dermanyssidae). Veterinary Parasitology, 145(3-4), 377382.



61



Komariah., Seftiani, P., dan Tan, M. (2010). Pengendalian Vektor. Jurnal Kesehatan Bina Husada, 6(1), 39 Koziatek, S., & Sokół, R. (2015). Dermanyssus gallinae still poses a serious threat for the rearing of laying hens. Polish Journal of Natural Sciences, 30(4), 451-463. Krantz, G.W. (1978). A Manual of Acarology. 2nded. Oregon State University Book Store, Inc.Corvalis. Malann, Y.D., Olatunji, B.O., & Usman, A.M. (2016). Ectoparasitic infestation on poultry birds raised in Gwagwalada area council, FCT-Abuja. International Journal of Innovative Research and Development, 5(13), 7477. Mariandayani, H.N., Solihin, D.D., Sulandari, S., & Sumantri, C. (2013). Keragaman Fenotipik dan Pendugaan Jarak Genetik pada Ayam Lokal dan Ayam Broiler menggunakan Analisis Morfologi. Jurnal Veteriner, 14(4),475-484. Mata, W., Galgalo, W., & Jilo, K. (2018). Prevalence of the major ectoparasites of poultry in extensive and intensive farms in Jimma, Southwestern Ethiopia. Journal of Parasitology and Vector Biology, 10(7), 87-96. Mirzaei, M., Ghashghaei, O., & Yakhchali, M. (2016). Prevalence of ectoparasites of indigenous chickens from Dalahu region, Kermanshah province, Iran. Türkiye Parazitolojii Dergisi, 40(1), 13-15. Mirzaei, M., Ghashghaei, O., & Yakhchali, M. (2016). Prevalence of ectoparasites of indigenous chickens from Dalahu region, Kermanshah province, Iran. Türkiye Parazitolojii Dergisi, 40(1), 13. Mulya, A.C. (2017) Aspek Reproduksi Caplak Sapi Indonesia Rhipicephalus (Boophilus) microplus. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murtidjo, B.A. (1992). Pengendalian hama dan penyakit ayam. Kanisius. Yogyakarta. Nataamijaya, A.G. (2010). Pengembangan Potensi Ayam Lokal Untuk Menunjang Peningkatan Kesejateraan Petani. Jurnal Litbang Pertanian, 29(4), 131138. Nik-Hassan, N.R.N., Awang, A., Rahman, A.M.D. (2015). Parasitic burden and its relation with the bodyweight of free-range chicken in oil palm dominated Sandakan District of Malaysian Borneo. Intl J Livestock Res. DOI: 10.5455/ijlr.20150909073638.



62



Nnadi, P.A., & George, S.O. (2010). A cross-sectional survey on parasites of chickens in selected villages in the subhumid zones of South-Eastern Nigeria. Journal of parasitology research, 2010. Noble, E.R., and Noble, G.A. (1989). Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Edisi kelima. UGM Press. Yogyakarta. Putra. (2012). Kandungan Gizi/Nutrisi pada Daging Ayam. [Online]. Tersedia http://gizinutrisi.com/2012/03/kandungan-gizinutrisi-pada-dagingayam.html. Diakses pada 23 Januari 2021. Putranto, H.D., Meriana, M., Brata, B., & Nurmeiliasari, N. (2021). Kelimpahan Relatif Ektoparasit pada Inang Ayam Buras Lokal. Buletin Peternakan Tropis, 2(1), 1-8. Rama, K.A., Hastutiek, P., Widodo, O.S., Suprihati, E., Sunarso, A. & Soeharsono. (2017). Pola Infestasi Kutu Pada Itik Petelur di Desa Kramat Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan. Journal of Parasite Science, 1(2), 51-54. Rohmawati. (2016). Prevalensi Ektoparasit dan Endoparasit pada Itik yang Dipelihara Secara Intensif dan Semi Intensif. [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, Semarang. Sartika T. (2012). Ketersediaan Sumber Daya Genetik Ayam Lokal dan Strategi Pengembangannya untuk Pembentukan Parent dan Grand Parent Stock (The Availability of Indonesian Native Chicken Genetic Resources and Its Development Strategy for Establishing Parent and Grand Parent Stock). Prosiding Workshop Nasional Unggas Lokal. Balai Penelitian Ternak, Jakarta, 5 Juli 2012. Sartika, T., Wati, D.K., Rahayu, H.I., & Iskandar, S. (2008). Perbandingan genetic eksternal ayam Wareng dan ayam Kampung yang dilihat dari laju introgresi dan variabilitas genetiknya. JITV, 13(4), 279-287. Seddon, H.R. (1976). Diseases of domestic animals in Australia parts 3. Arthropod Infestations (Ticks and mites). Service publications (Veterinary Hygiene), 7: 170. Selfiannisa, F., Susilowati, S., Hastiutiek, P., Suwanti, L.T., Kosumo, dan Sunarso, A. (2018). Infestasi ektoparasit kutu pada ayam buras di Desa Kramat Kecamatan bangkalan Kabupaten Bangkalan. Journal of Parasites Science, 2(2), 57-60.



63



Selfiannisa, F., Susilowati, S., Hastutiek, P., Suwanti, L.T., & Sunarso, A. (2018). Infestasi Ektoparasit pada Ayam Buras di Desa Kramat Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan. Journal Parasite of Science, 2(2), 5760. Setiawan, Y.Y. (2013). Efektivitas Sipermetrin Terhadap Kutu Menopon gallinae Dengan Metode Penyemprotan Pada Ayam Petelur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiawati, A.R.. (2014). Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sparagano, O.A.E., George, D.R., Harrington, D.W.J., & Giangaspero, A. (2014). Significance and control of the poultry red mite, Dermanyssus gallinae. Annual review of entomology, 59, 447-466. Sriwidodo, D.W.E., Budiharjo, A., dan Sugiyarto. (2013). Keanekaragaman Jenis Ikan di Kawasan Inlet dan Outlet Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Bioteknologi, 10(2), 43-50. Subekti, K., & Arlina, F. (2011). Karakteristik genetik eksternal ayam kampung di kecamatan sungai pagu kabupaten solok selatan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 14(2), 74-86. Sugito, W., Manalu, D.A., Astuti, E., Henharyani, & Chairul. (2007). Morfometrik usus dan performaayam broiler yang diberi cekaman panas dan ekstrak n-heksana kulit batang Jaloh (Salix tetrasperma Roxb). Med. Pet, 30(3), 198-206. Sulandari, S., Zein., Payanti, T., Sartika, M., Astuti, T., Widyastuti., Sujana., Darana., Setiawan, dan Garnida, D. (2007). Keanekaragaman 45 sumber daya hayati ayam lokal Indonesia. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Pengetahuan Ilmu Indonesia, Bogor. Suparmin, Y. (2015) Deteksi dan Identifikasi Faktor Penyebab Timbulnya Infestasi Caplak Boophilus Sp pada Sapi Bali Di Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. [Skripsi]. Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, Makassar. Suprijatno, E., Atmomarsono, U., dan Kartosudjono, R. (2005). Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta. Susanto, E. dan Suliswanto. (2013). Pengaruh berat telur terhadap daya tetas telur ayam kampung. Jurnal Ternak, 4(2), 27-30. Tabbu, C.R. (2006). Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume 2. Cetakan Kelima. Penerbit Kaninus. Yogyakarta.



64



Tamiru, F., Dagmawit, A., Askale, G., Solomon, S., Morka., Waktole, T. (2014). Prevalence of ectoparasite infestation in chicken in and around Ambo Town, Ethiopia. Veterinary Science and Technology, 5(4),1. Taylor, M.A., Coop, R.L., & Wall, R.L. (2013). Veterinary Parasitology. Ed3. Blackwell Science, London. Teresa Y.M. (2005). Common Eksternal Parasites in Poultry: Lice and Mites. Penerbit Kaninus. Yogyakarta. Tucci, E.C., Prado, A.P., & Araújo, R.P. (2008). Development of Dermanyssus gallinae (Acari: Dermanyssidae) at different temperatures. Veterinary Parasitology, 155(1-2), 127-132. Upik, K., dan Susi. (2010). Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. IPB Press. Bogor. Wibowo, M.H., & Amanu, S. (2010). Perbandingan beberapa program vaksinasi penyakit Newcastle pada ayam buras. Jurnal Sain Veteriner, 28(1). Widiastuti, D., 2008. Caplak, Tidak Hanya Membuat Gatal. Jurnal Balaba, 6(1) : 18-19 Wojcik, A.R., Grygon-Franckiewicz, B., Zbikowska, E., & Wasielewski, L. (2000). Invasion of Dermanyssus gallinae (De Geer, 1778) in poultry farms in the Toruń region. Wiadomosci parazytologiczne, 46(4), 511-515. Yadav, P.K, Rafiqi, S.I., Panigrahi, P.N., Kumar, D., Kumar, R., and Kumar, S. (2017). Recent trends in Control of Ectoparasit: A Review. J of Entomol and Zoology Studies, 5(2), 808-81. Yermia, S.M. (2011). Entomologi Kesehatan Lalat Tungau dan Caplak Sebagai Vektor. Laboratorium Bioaktivitas dan Biologi Molekuler FMIPA UNIMA. Bandung.