Steroid Induced Cataract [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2.3. STEROID INDUCED CATARACT Penelitian mengenai terapi kortikosteroid dengan katarak dilaporkan pertama kali pada tahun 1960 oleh Black, katarak subkapsular posterior dilaporkan terjadi pada penggunaan terapi kortikosteroid jangka panjang dibandingkan kelompok kontrol tanpa kortikosteroid. Penelitian ini menunjukkan katarak terjadi karena adanya pengaruh dari dosis terapi kortikosteroid. Namun, hubungan dosis dan katarak ini masih kontroversial. Insiden katarak sebesar 4 % terlihat pada pemberian kortikosteroid selama 2 bulan dengan minimal pemberian 5 mg prednison per hari. (Sobling & Augusteyn, 2002). Prednison merupakan sintetik kortikosteroid yang memiliki rantai 11-keto harus direduksi secara enzimatis menjadi 11beta-hidroksi agar menjadi aktif. Proses ini dikatalisis oleh 11beta-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 di hati dan tempat khusus seperti jaringan lemak, tulang, mata, dan kulit. Apabila proses di atas mengalami gangguan, penggunaan prednisolon dapat diberikan karena tidak memerlukan aktivasi enzimatik misalnya pada pasien dengan kegagalan hati atau kekurangan kortison reduktase yang tidak dapat mengaktifkan 11- ketosteroid (Goodman & Gilman, 2006). Menurut Cotlier, terbentuknya katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena reaksi spesifik dengan asam amino dari lensa sehingga menyebabkan agregasi protein dan kekeruhan lensa. Aktivasi reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa berakibat proliferasi sel, penurunan apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel (Sobling & Augusteyn, 2002). Menurut beberapa penelitian, pemberian lebih dari 15 mg per hari merupakan pemakaian dosis tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi awal pada pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid jangka panjang dan dalam dosis tinggi (James, 2007) 2.3.1. Definisi Steroid-induced cataract adalah kekeruhan pada lensa akibat penggunaan obat kotikosteroid baik sistemik maupun topikal dengan dosis sedang-tinggi dalam jangka panjang. Steroid-induced cataract terkenal merupakan komplikasi dari pemakaian kortikosteroid sistemik (Suh dkk, 2013). 2.3.2. Etiologi



Steroid-induced cataract disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik. Peningkatan risiko untuk terjadinya katarak subkapsular posterior telah lama diketahui pada pengobatan kortikosteroid sistemik. Pada pemakaian kortikosteroid sistemik, telah dilaporkan terjadinya katarak ada setelah pemakaian selama minimal 2 bulan. Biasanya membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan penggunaan kotrikosteroid sistemik untuk terjadinya katarak (Poetker & Reh, 2010). Pada penelitian Black dkk (1960), terdapat kasus steroid-induced cataract subkapsular posterior (PSC) pada 17 pasien yang diterapi secara sistemik dengan kortikosteroid dan mengalami PSC bilateral. Kasus katarak tersebut muncul setelah sekitar 1 tahun terapi dan ditemukan pada 29% penggunaan regimen kortikosteroid moderate (50-99 mg/hari kortisol) dan 75% pada pengguna regimen steroid dosis tinggi (>100 mg/hari kortisol atau >3mg/hari dexamethasone) (James, 2007). 2.3.3. Patofisiologi Mekanisme terjadinya steroid-induced cataract masih belum jelas. Namun ada beberapa teori yang mungkin merupakan mekanisme terjadinya steroid-induced cataract, yaitu aktivasi reseptor glukokortikoid, penghambatan proliferasi dan diferensiasi normal sel epitel lensa, dan ikatan langsung steroid dengan protein lensa (James, 2007). Menurut bahasan Jobling dan Augusteyn, beberapa bukti telah mengindikasikan sel epitel lensa menunjukkan aktivitas konsisten dengan kehadiran reseptor glukokortikoid. Dickerson dkk telah mencatat bahwa reduksi kadar glutathione lensa (GSH) yang mengikuti terapi glukokortikoid dihambat oleh antagonis glukokortikoid (RU486), yang mengisyaratkan kehadiran dari reseptor glukokortikoid fungsional di sel epitel lensa. Studi yang lebih baru telah mendemonstrasikan bahwa lensa mempunyai reseptor glukokortikoid yang fungsional, yang mampu menginduksi atau menekan transkripsi gen yang diketahui berhubungan dengan aktivasi reseptor glukokortikoid di tipe sel lain (James, 2007). Sel epitel lensa mendasari kapsul lensa bagian anterior ke ekuator, tetapi normalnya tidak ada dari subkapsular posterior antara ekuator lensa dan kutub posterior lensa. Lensa tumbuh lambat selama kehidupan. Serat lensa baru ditambahkan ke korteks lensa oleh proliferasi pita sempit dari sel epitel di zona germinal dan transisional di ekuator lensa dan berdiferensiasi menjadi sel serat (fiber).



Di steroid-induced PSC, proliferasi dan diferensiasi dari sel epitel lensa terganggu. Terganggunya sel epitel ini menyebabkan sel epitel bermigrasi ke arah posterior, namun masih belum cukup bukti untuk menjawab mengapa migrasi sel mengarah ke kutub posterior. Lyu dkk memperkirakan migrasi sel menjauh dari zona ekuator pada eksplantasi lensa tikus yang terpapar glukokortikoid berhubungan dengan penurunan E-cadherin, protein yang terlibat di adhesi sel ke matriks ekstraseluler dan di jalur signal β-catenin seluler (James, 2007).



Gambar 2.5: Formasi katarak steroid: Jalur/potensial faktor yang berkontribusi dalam formasi steroid-induced posterior subcapsular cataract (James, 2007). Mekanisme kortikosteroid terhadap terjadinya katarak: 1.



Gangguan Metabolik Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme selular dengan mengubah aktivitas



enzim–enzim. Penelitian menunjukkan Adenosin Triphospate (ATP) dan level dinukleotid pada lensa menurun setelah 24 jam paparan deksametason. Hal ini menyebabkan gangguan dari penyediaan kebutuhan energi seperti sintesis protein, transpor ion, dan mekanisme pertahanan oleh antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompeks lainnya seperti glukosa meningkat. Kortikosteroid yang mempengaruhi sel normal sangat kompleks, kortikosteroid yang larut lemak menyebar secara pasif melalui membran sel ke target sel. Di dalam sel akan terikat oleh reseptor yang terdiri atas satu atau dua molekul protein spesifik dan protein lain yang penting agar kortikosteroid dapat terikat dengan reseptor dan Deoxiribonuclei Acid (DNA).



Kortikosteroid juga memiliki pengaruh pada pertumbuhan sel dan sintesis Deoxiribonuclei Acid (DNA) dan Ribonuclei Acid (RNA). Pengaruh tersebut diamati pada mata misalnya seperti pada pertumbuhan sel endotel retina mengalami hambatan, sedangkan sel lain mengalami rangsangan. Pengaruh kortikosteroid terhadap sel epitel lensa tidak begitu jelas karena banyaknya variasi penelitian observasi (Samadi, 2010). 2.



Kegagalan Osmotik Kegagalan osmotik karena adanya celah vakuol dan pembengkakan sel



diperkirakan menjadi penyebab adanya hidrasi lensa akibat kortikosteroid. Pada umumnya lensa mempertahankan keseimbangan ion yang berada di intrasel dan ekstrasel. Adanya Sodium potasium adenosin triphophatase dan Na+ K + ATP-ase memberikan keseimbangan ion dalam intrasel berupa kadar K+ yang tinggi dan rendah Na+, sedangkan dalam ekstrasel berupa kadar Na+ yang tinggi dan K+ rendah. Keseimbangan ion ini penting dalam memelihara kejernihan lensa, apabila terdapat gangguan pada keseimbangan ion akan mempengaruhi terbentuknya katarak. Keterangan umum lain mengenai terjadinya katarak adalah karena adanya stress baik berupa oksidatif, osmotik, dan metabolik menyebabkan rentan terhadap berbagai zat oksidatif (Samadi, 2010).



Gambar 2.6. Proses kegagalan osmotik pengaruh kortikosteroid (Samadi, 2010). 3.



Oksidasi



Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya ikatan disulfida, pigmentasi, dan perubahan oksidatif untuk menghasilkan agregasi protein yang tidak larut dan menghamburkan cahaya. Lensa sendiri memiliki mekanisme pertahanan terhadap stress oksidatif berupa glutation reduktase dan pembuangan radikal bebas. Beberapa penelitian menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan glutation, antioksidan, dan asam askorbat (Samadi, 2010). 4.



Pembentukan Molekul Protein Penambahan molekul protein pada lensa juga memiliki keterlibatan dalam



pembentukan katarak. Hal ini terkait pada beberapa penyakit seperti diabetes, gagal ginjal, dan degenerasi.



Tambahan protein pada lensa mempengaruhi kekeruhan



pada lensa yang disebabkan pengaruh kortikoteroid terhadap struktur normal protein. Pembentukan ikatan disulfid molekuler seperti interaksi hidrofobik non-spesifik menyebabkan pembentukan agregasi molekul ukuran besar yang tidak larut dan menghasilkan hamburan cahaya (Samadi, 2010). 5.



Efek Reseptor Kortikosteroid Terhadap Growth Factor Reseptor kortikosteroid berupa kompleks protein dalam sitosol yang mengikat



steroid dan mentranslokasikan ke nukleus. Menurut laporan Weinstein pada tahun 1970, reseptor kortikosteroid okular dapat ditemukan retina, iris, corpus siliaris, jalur humor aquous, dan sklera tetapi beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya reseptor kortikosteroid pada lensa. Pembentukan katarak terkait reseptor kortikosteroid diperkirakan karena pengaruhnya terhadap Growth Factors (GF). Growth factor yang terdapat pada humor aquous menginduksi proliferasi dan migrasi dari sel epitel anterior menuju ke arah ekuator dan berdiferensiasi menjadi serat lamelar terdesak oleh sel-sel baru. Perubahan



level



GF



pada



humour



aquous



akibat



kortikosteroid



menyebabkan gangguan diferensiasi sel epitel menjadi serat lamelar yang terus bermigrasi sepanjang kapsul lensa menuju ke posterior lensa dan membentuk kumpulan sel-sel yang tidak teratur sehingga menghamburkan cahaya. Salah satu gambaran katarak akibat kortikosteroid adalah terkumpulnya sel epitel tidak teratur di bawah kapsul posterior atau disebut subkapsular posterior. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan tingkah laku sel yang



berpengaruh terhadap terbentuknya katarak karena seharusnya sel-sel tersebut berada di anterior lensa. Menurut McAvoy dan Chamberlain, Fibroblast Growth Factor-2 (FGF) mempengaruhi pertumbuhan sel epitel lensa. Pada umumnya FGF kadarnya meningkat dari anterior lensa ke posterior. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada sel, pada anterior lensa yang memiliki kadar rendah merangsang proliferasi sel dan migrasi ke arah ekuator, sedangkan pada daerah ekuator lensa yang memiliki kadar tinggi merangsang diferensiasi menjadi serat (Samadi, 2010). 6.



Perubahan Sel Abnormal Perubahan tingkah laku sel terhadap terbentuknya katarak terjadi apabila pada



daerah ekuator, FGF tidak cukup tinggi untuk menyebabkan diferensiasi sel atau terjadi hambatan diferensiasi oleh sitokin. Sel yang tidak beraturan ini tetap migrasi melewati daerah ekuator menuju ke kutub posterior lensa menjadi katarak subkapsular posterior (Samadi, 2010).



Gambar 2.6. Opasitas subkapsular lensa akibat steroid



2.3.4. Diagnosis Penegakan diagnosis pada katarak dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan seperti penurunan tajam penglihatan, silau, penglihatan halo, penurunan sensitivitas kontras, dan lebih mudah melihat pada kondisi remang. Pada anamnesis juga dapat didapatkan riwayat penyakit yang berkaitan dengan sistem imun (misal reumatoid arthritis, SLE), riwayat penyakit atopik (misal dermatitis atopik, asma), dan riwayat



penggunaan obat kortikosteroid jangka lama baik topikal maupun sistemik. Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan visus dan lensa keruh. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan dengan slitlamp untuk melihat kejernihan lensa dan bagian lensa mana yang keruh (lokasi katarak) dan shadow test untuk menilai tingkat maturitas dari katarak tersebut. Gejala subjektif dari pasien dengan katarak : 



Penurunan tajam penglihatan dan silau serta gangguan fungsional akibat kehilangan penglihatan.







Silau pada malam hari.



Gejala objektif biasanya meliputi :







Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Penglihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan bertambah putih.



Gejala umum gangguan katarak meliputi :







Penglihatan kabur dan berkabut.







Merasa silau terhadap sinar matahari.







Kadang merasa seperti ada film didepan mata.







Seperti ada titik gelap didepan mata.







Penglihatan ganda.







Sukar melihat benda yang menyilaukan.







Halo, warna disekitar sumber sinar.







Warna manik mata berubah atau putih.







Sukar mengerjakan pekerjaan sehari-hari.







Penglihatan dimalam hari lebih berkurang.







Sukar mengendarai kendaraan dimalam hari.







Waktu membaca penerangan memerlukan sinar lebih cerah.







Sering berganti kacamata.







Penglihatan menguning.







Untuk sementara jelas melihat dekat (Ilyas, 2009).



Katarak yang terjadi akibat penggunaan steroid adalah katarak jenis subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di dekat kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkembangannya, katarak ini cenderung menimbulkan gangguan



penglihatan dekat karena adanya keterlibatan sumbu penglihatan. Gejala umum lain yang dapat ditemui adalah adanya “glare” dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan yang terang.



Tabel 2.2. Katarak dan Efeknya pada Tajam Penglihatan (Cantor dkk, 2014). Laju pertumbuhan



Kesilauan



Efek pada penglihatan jauh



Efek pada penglihatan dekat



Induksi miopia



Kortikal



Sedang



Sedang



Ringan



Ringan



Tidak ada



Nuklear



Lambat



Ringan



Sedang



Tidak ada



Sedang



Cepat



Jelas



Ringan



Jelas



Tidak ada



Subkapsular posterior



Pemeriksaan yang dapat dilakukan: Pemeriksaan dengan Slitlamp



Slitlamp adalah sebuah mikroskop binokular yang terpasang pada meja dengan sumber cahaya khusus yang dapat diatur. Seberkas cahaya-celah pijar yang lurus dijatuhkan pada bola mata dan menyinari potongan sagital optik mata. Karena berkas cahaya-celah menampakkan potongan sagital optik mata, dapata ditentukan lokasi anteroposterior yang tepat dari suatu kelainan dalam setiap struktur mata yang jernih (misal kornea, lensa, badan vitreous). Shadow Test Shadow test adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui tingkat maturitas dari katarak dengan melihat bayangan iris. Jika shadow test positif, katarak tersebut immatur. Sebaliknya, jika shadow test negatif, katarak tersebut matur. 2.3.5. Diagnosis Banding Diagnosis banding pada katarak akibat penggunaan steroid adalah katarak senilis yang biasanya terjadi pada usia tua, katarak traumatika dan katarak juvenil. Anamnesis serta pemeriksaan yang khas perlu dilakukan untuk memastikan katarak akibat penggunaan steroid.



2.3.6. Penatalaksanaan Katarak akibat Steroid Terapi yang dapat dilakukan untuk katarak akibat penggunaan steroid adalah dengan menghentikan penggunaan steroid untuk mencegah progresifitas dari katarak. Setelah penghentian penggunaan steroid dapat dilakukan pembedahan katarak berupa pembedahan intrakapsular, pembedahan ekstrakapsular dan fakoemulsi. Penanaman lensa intra okular dapat dipertimbangkan setelah dilakukan pembedahan katarak untuk memperbaiki visus pasien (James, 2007) 2.3.7. Penatalaksanaan Bedah Pengobatan untuk katarak adalah pembedahan yang dilakukan jika penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan kegiatannya sehari-hari. Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya dengan mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau menggunakan lensa pembesar. Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu dilakukan pembedahan. Adapun indikasi operasi : 1.



Indikasi Optik Merupakan indikasi terbanyak dari pembedahan katarak. Jika penurunan dari



tajam penglihatan pasien telah menurun hingga mengganggu kegiatan sehari-hari, maka operasi katarak bisa dilakukan. 2.



Indikasi Medis Pada beberapa keadaan di bawah ini, katarak perlu dioperasi segera, bahkan jika



prognosis kembalinya penglihatan kurang baik :



3.



-



Katarak hipermatur



-



Glaukoma sekunder



-



Uveitis sekunder



-



Dislokasi/Subluksasio lensa



-



Benda asing intra-lentikuler



-



Retinopati diabetika



-



Ablasio retina



Indikasi Kosmetik Jika penglihatan hilang sama sekali akibat kelainan retina atau nervus optikus,



namun kekeruhan katarak secara kosmetik tidak dapat diterima, misalnya pada pasien



muda, maka operasi katarak dapat dilakukan hanya untuk membuat pupil tampak hitam meskipun pengelihatan tidak akan kembali. Fakoemulsifikasi standar dapat dilakukan bila kapsul lensa intak dan dukungan zonular yang cukup. Ekstraksi katarak intrakapsular diperlukan pada kasus-kasus dislokasi anterior atau instabilitas zonular yang ekstrim. Dislokasi anterior lense ke bilik anterior merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilakukan tindakan (removal), karena dapat mengakibatkan terjadinya papillary block glaucoma. Lesentomi dan vitrektomi pars plana dapat menjadi pilihan terbaik pada kasus-kasus ruptur kapsul posterior, dislokasi posterior, atau instabilitas zonular yang ekstrim. 2.3.8. Teknik Operasi Katarak a.



Intracapsular Cataract Extraction ( ICCE) Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa besama kapsul. Dapat



dilakukan pada zonula Zinn telah rapuh atau bergenerasi dan mudah diputus. Pada katarak ekstraksi intrascapular tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer. Akan tetapi pada tehnik ini tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai segmen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedaha ini yaitu astigmat, glaucoma, uveitis, endoftalmitis dan perdarahan, sekarang jarang dilakukan (Khurana, 2007). b.



Extracapsular Cataract Extraction (ECCE) Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi



lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tesebut. Termasuk dalam golongan ini ekstraksi linear, aspirasi dan ligasi. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah glaucoma, mata dengan predisposisi untuk tejadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid macula edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder (Khurana, 2007).



c.



Small Incision Cataract Surgery (SICS) SICS adalah salah satu teknik operasi katarak yang pada umumnya digunakan di



Negara berkembang. Teknik ini biasanya menghasilkan hasil visus yang bagus dan sangat berguna untuk operasi katarak dengan volume yang tinggi. Teknik ini dilakukan dengan cara insisi 6 mm pada sclera (jarak 2 mm dari limbus), kemudian dibuat sclera tunnel sampai di bilik mata depan. Dilakukan CCC, hidrodiseksi, hidrideliniasi dan disini nucleus dikeluarkan dengan manual, korteks dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi kemudian dipasang IOL in the bag (Khurana, 2007). d.



Phacoemulsification Phacoemulsifikasi adalah teknik yang paling mutakhir. Hanya diperlukan irisan



yang sangat kecil saja. Dengan menggunakan getaran ultrasonic yang dapat menghancurkan nukleus lensa. Sebelum itu dengan pisau yang tajam, kapsul anterior lensa dikoyak. Lalu jarum ultrasonik ditusukkan ke dalam lensa, sekaligus menghancurkan dan menghisap massa lensa keluar. Cara ini dapat dilakukan sedemikian halus dan teliti sehingga kapsul posterior lensa dapat dibiarkan tanpa cacat. Dengan teknik ini maka luka sayatan dapat dibuat sekecil mungkin sehingga penyulit maupun iritasi pasca bedah sangat kecil. Irisan tersebut dapat pulih dengan sendirinya tanpa memerlukan jahitan sehingga memungkinkan pasien dapat melakukan aktivitas normal dengan segera. Teknik ini kurang efektif pada katarak yang padat (Khurana, 2007).



2.3.9. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi terkait katarak seperti phakolitik, phakomorpik, blok pupil, glaukoma sudut tertutup. Sedangkan komplikasi terkait operasi di antaranya : a.



Komplikasi Intraoperatif Selama ECCE atau phacoemulsification, ruangan anterior mungkin akan



menjadi dangkal karena pemasukan yang tidak adekuat dari keseimbangan solution garam kedalam ruangan anterior, kebocoran akibat insisi yang terlalu lebar, tekanan luar bola mata, tekanan positif pada vitreus, perdarahan pada suprachoroidal. b.



Komplikasi Postoperatif



Komplikasi selama postoperative dibagi dalam Early Complication Post Operation dan Late Complication Post Operation. 1.



Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel vitreous dapat masuk kedalam bilik anterior, yang merupakan resiko terjadinya glaucoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan dengan satu instrument yang mengaspirasi dan mengeksisi gel (vitrektomi).



2.



Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode pasca operasi dini. Terlihat sebagai faerah berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan pembedahan.



3.



Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi. Pasien datang dengan :



-



Mata merah yang terasa nyeri.



-



Penurunan tajam penglihatan, biasanya dalam beberapa hari setelah pembedahan.



-



Pengumpulan sel darah putih di bilik anterior (hipopion).



4.



Astigmatisme pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea untuk mengurangi astigmatisme kornea. Ini dilakukan sebelum pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh.



5.



Ablasio



retina.



dihubungkan



Tehnik-tehnik



dengan



rendahnya



modern tingkat



dalam



ekstraksi



komplikasi



katarak



ini. Tingkat



komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous. 6.



Edema macular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila disertai hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring waktu namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat.



7.



Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel



residu bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi



kabur dan mungkin didapatkan rasa silau. 2.3.10. Prognosis Operasi katarak kontemporer memiliki tingkat keberhasilan yang sangat baik, baik meningkatkan tajam penglihatan maupun meingkatkan fungsi visual subjektif.



Lebih dari 90% mencapai ketajaman visual sebesar 6/12 atau lebih baik. Tingkat pencapaian ketajaman pascaoperasi dari 6/12 atau lebih baik untuk semua mata adalah 85% dan telah dilaporkan tingkat pencapaian 89% pada mata dengan kondisi komorbid, seperti retinopati diabetikum, glaukoma, dan degenerasi makula terkait usia (Cantor dkk, 2014). Tidak adanya penyakit okular lain yang menyertai pada saat dilakukannya operasi yang dapat mempengaruhi hasil dari operasi, seperti degenerasi makula atau atropi nervus optikus memberikan hasil yang baik dengan operasi standar yang sering dilakukan yaitu ECCE dan Phacoemulsifikasi.