Studi Islam 15 Syahrul PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRANATA SOSIAL TENTANG MULTIKULTURAL DAN KESETARAAN GENDER Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Yunasril Ali, M.A. Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A.



Disusun oleh: Muchammad Syahrul Hidayat 11200430000090



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020



1



KATA PENGANTAR Alhamdulilah, kami panjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberkahi kami, sehingga makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa kami ucapkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberi jalan yang terang dan mengentas kita dari kebodohan. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Yunasril, M.A.dan Kamal F. Musa, Lc. yang setia membimbing kami selama masa perkuliahan serta proses penyelesaian makalah studi islam . Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kita dalam penyelasian laporan ini, terutama kepada orang tua kami yang selalu mendoakan kami dimana pun berada. Dan tak lupa kami ucapkan maaf atas segala khilaf atas penulisan makalah ini. Karena kami jua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Semoga apa yang kami sajikan ini berguna bagi kita semua dan dapat membantu dalam segala hal



2



DAFTAR IS KATA PENGANTAR……………………………………………….. DAFTAR ISI…………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN……………………………………………. A. Latar Belakang………………………………………………... B. Rumusan Masalah…………………………………………….. C. Tujuan………………………………………………………… BAB II PEMBAHASAN………………………………………... A. Pengertian …………………………………………… B. Ruang Lingkup .……………………………………… C. Para pakar muslim di ………………………………..



BAB III PENUTUP Kesimpulan ............................................................................................... Salam dan terimakasih................................................................................



B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Multikulturalisme dan kesetaraan gender ? 2. Apa saja ruang multikulturalisme dan kesetaraan gender? 3. Siapa saja pakar pakar muslim dalam bidang multikulturalisme dan kesetaraan gender?



C. Tujuan 1. Mengetahui arti Multikulturalisme dan kesetaraan gender 2. Menjelaskan Multikulturalisme dan kesetaraan gender 3. Menjelaskan Siapa saja pakar muslim Multikulturalisme dan kesetaraan gender?



3



A. Pengertian Multikulturalisme dan Kesetaraan Gender Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Pendidikan yang dianggap wahana paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme. Sebab, dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bias berperan sebagai “juru bicara” bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Masyarakat majemuk (plural society) belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multikultural (multicultural society), karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antar kekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi. Kesetaraan Gender dalam Fikih Kesetaraan belum tentu berarti keadilan gender bagi perempuan, Dalam Islam, posisi perempuan sangat dimuliakan, meski tidak perlu dipahami sebagai setara dengan laki-laki. Ada banyak dalil dalam Alquran yang menjadikan kedudukan perempuan sangat istimewa dan mulia. Kesetaraan gender sebagaimana yang kerap diagungkan kaum modern cenderung menyisakan bias tersendiri. Kesetaraan belum tentu berarti keadilan gender bagi perempuan. Sedangkan dalam Islam, keadilan—terutama bagi perempuan— sangatlah dijunjung tinggi. 4



Allah SWT berfiman dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97 berbunyi, "Man amala shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukminun falanuhyiyannahu hayatan thayyibatan". Yang artinya, "Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." Dalam kitab Shahih Muslim, pada konteks tertentu, perempuan justru memiliki posisi isti mewa dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Al-jannatu tahta aqdamil-ummahati." Yang artinya, "Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu." Namun, meski posisi perempuan sangatlah dimuliakan, perbedaan fisik antara laki-laki dengan perempuan jelas berbeda jauh. Kemampuan fisik perempuan dengan lakilaki pada umumnya memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Secara hormonal laki-laki lebih berotot dan memiliki tulang serta kulit yang lebih keras dibandingkan perempuan. Perempuan memiliki hormon yang berbeda. Kaum Hawa dapat mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Hal ini disebut sebagai perbedaaan kodrati. Secara sosial, peran serta kedudukan perempuang dengan laki-laki pun berbeda dalam keadilan yang diatur dalam agama. Untuk urusan rumah tangga, aktivitas, seperti menyapu, mengepel, hingga memasak kerap diidentikkan merupakan kewajiban kaum perempuan. Padahal, sejatinya hal itu merupakan kewajiban laki-laki. Dalam kitab Hasyiyatul Jamal karya Sulaiman al-Jamal disebutkan, wajib bagi suami untuk memberitahukan istrinya pekerjaan-pekerjaan rumahan seperti itu merupakan kewajiban suami. Wajib diberitahu karena apabila istri menyangka kewajiban itu adalah tugasnya, jika tidak ia lakukan, dirinya merasa tidak berhak mendapatkan nafkah. Sedangkan dalam lingkup sosial, seperti pekerjaan, para ulama sepakat, nafkah merupakan kewajiban suami kepada istri dengan syarat-syarat yang tidak dilanggar istri. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Alquran. Allah berfiman dalam surah alBaqarah ayat 233 berbunyi, "Wal-walidatu yurdhi'na hawlaini liman arada an yutimma arrhada'atu wa alal-mawaludilahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma'rufi la tukallifu nafsun illa wus'aha." Yang artinya, "Kaum ibu hendaklah menyusuai anak-anak mereka selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada kaum ibu (istrinya) dengan cara yang baik dan benar. (Allah) 5



tidak akan memberikan kadar beban kepada hamba-Nya kecuali dengan kadar kesanggupan (hamba tersebut)." Istri pun diperkenankan mencari nafkah atas seizin suami baik untuk mengembangkan diri, membantu ekonomi keluarga, hingga mem be baskan keluarga dari jeratan utang. Da lam kitab Thabaqah karya Ibnu Sa'ad disebut kan mengenai seorang Muslimah di zaman Nabi bernama Rithah yang bekerja membantu suaminya. Rithah yang merupakan istri dari sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas'ud, bahkan berkonsultasi langsung dengan Rasulullah SAW perihal boleh atau tidaknya ia mencari nafkah. Rasulullah pun membolehkan langkah Rithah dalam mencari nafkah. Kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis belakangan ini tampaknya harus diiringi dengan keadilan gender. Baik itu keadilan untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Kedua jenis manusia ini diciptakan Allah dengan kapasitas yang berbeda, berhak mendapatkan keadilan dan hak yang diperlukan . Ruang lingkup Multikulturalisme dan Kesetaraan Gender Multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing. Konsep multikulturalisme di sini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi cirri masyarakat majemuk (plural society). Karena, multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari permasalahannya yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hokum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsipprinsip etika dan moral, juga tingkat dan mutu produktivitas. Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural. 6



Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai dengan penjelasan mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang seringkali salah diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai masyarakat multikultural. Uraian berikutnya adalah mengenai dengan penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme dan Kesederajatan Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenangwenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat



yang



dominan.



Program



penyebarluasan



dan



pemantapan



ideologi



multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis. Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan antidiskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah 7



perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi. Pakar Pakar Muslim dalam Bidang Multikulturalisme Istri pun diperkenankan mencari nafkah atas seizin suami baik untuk mengembangkan diri, membantu ekonomi keluarga, hingga mem be baskan keluarga dari jeratan utang. Da lam kitab Thabaqah karya Ibnu Sa'ad disebut kan mengenai seorang Muslimah di zaman Nabi bernama Rithah yang bekerja membantu suaminya. Rithah yang merupakan istri dari sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas'ud, bahkan berkonsultasi langsung dengan Rasulullah SAW perihal boleh atau tidaknya ia mencari nafkah. Rasulullah pun membolehkan langkah Rithah dalam mencari nafkah. Kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis belakangan ini tampaknya harus diiringi dengan keadilan gender. Baik itu keadilan untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Kedua jenis manusia ini diciptakan Allah dengan kapasitas yang berbeda, berhak mendapatkan keadilan dan hak yang diperlukan. Pendidikan multikultural adalah gerakan pembaharuan dan inovasi pendidikan dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan, dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, sehingga terjalin suatu relasi dan interdependensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan pendapat dalam pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik dan menciptakan perdamaian melalui kasih sayang antar sesama. Arifin Assegaf menyimpulkan bahwa jelas bagi kita semua bahwa Islam yang benar adalah agama yang tidak menutup diri, mengajak kepada keterbukaan, menganut prinsip kebebasan dengan penuh toleransi. Dengan kata lain, Islam berkewajiban tegasnya kaum muslimin berkewajiban untuk mempertahankan tradisi pluralisme.



8



BAB III KESIMPULAN Kemampuan Indonesia dalam menerapkan model multikulturalisme organik, memiliki keterikatan sejarah yang sangat dekat dengan proses islamisasi di masa lalu, dimana nilainilai ajaran Islam yang terbuka dan moderat, membuka jalan yang lebih luas terhadap suatu proses integrasi budaya, sosial, politik dalam masyarakatnya yang multi-etnik. Islam dalam banyak hal, memiliki kesesuaian dan keselarasan dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal, sehingga, sekalipun Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, namun tidak menuntut adanya homogenitas kultur atau penonjolan simbol-simbol keagamaannya secara dominan. Sekalipun integrasi sosial dan politik ini masih merupakan proses yang terus berjalan menuju suatu kematangan budaya politik masyarakatnya, Indonesia tetap mempertahankan cara-cara tradisionalnya dengan tidak mengimpor model Barat yang bermasalah dalam proses integrasi sosialnya. Islam menjadi agama penting dalam membentuk Indonesia yang khas, mampu memadukan secara harmonis aspek-aspek kulturalnya, berjalan beriring tanpa harus berbenturan antara apa yang dimaksud dengan wilayah agama yang sakral dan aspek sosial kemasyarakatan yang bernilai profan. Barangkali, sulit menemukan pengalaman dalam bentuk kekhasan multikulturalisme (priveleged multikulturalism) seperti di Indonesia dan Malaysia misalnya, sebab negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam proses integrasinya tidak memiliki kekhasan seperti mereka, kecuali kemampuannya secara alami dalam hal egalitarianmultikulturalisme, karena nilai-nilai sosial yang terbuka sebagai ciri khas budaya Asia. Islam, Multikulturalisme, dan Pancasila, seolah menjadi tiga serangkai yang terus hidup memberikan warna bagi Indonesia dalam proses mempertahankan nilai-nilai tradisionalismenya,



menjaga



dan



merawat



kenyataan



multikultural



masyarakatnya,



memberikan kesempatan politik secara sama kepada siapapun tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau kelompok tertentu. Pancasila dalam banyak hal, mampu menjadi titik temu semua, keragaman agama, budaya, dan etnis, dan memadukannya dalam keragaman sosial tanpa harus menonjolkan salah satu unsur dan menekan rendah unsur lainnya. Merawat multikulturalisme organik secara alami dan tradisional dengan menolak model multikulturalisme liberal jelas adalah tujuan Pancasila yang lebih menekankan aspek identitas nasional dari pada mengikuti identitas asing yang ternyata bermasalah. 9