Studi Kasus Dengan Teori Konstruktivisme [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Studi Kasus dengan Teori Konstruktivisme Agresi Amerika terhadap Irak dalam Operasi Pembebasan Dalam studi kasus ini penulis menganalisis kasus menggunakan Teori Konstruktivisme. Konstruktivisme memiliki pandangan bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (penciuman, perabaan, pendengaran, dan seterusnya) sebagaimana asumsi kaum realis pada umumnya.



Sama seperti saat Amerika



meluncurkan perang melawan Irak meskipun belum ada penjelasan yang meyakinkan tentang mengapa perang dibutuhkan serta ketidaksetujuan masyarakat internasional terhadap serangan AS ke Irak. Perang terhadap Irak akan mengisolasi AS dari seluruh dunia, merusak upaya melawan terorisme, dan membunuh puluhan ribu warga sipil. Amerika Serikat menganggap tindakan invasi ke Irak sebagai preemptive war yang didasarkan pada serangan balasan kepada Irak atas dugaan keterlibatan dalam serangan 9/11. Dugaan Amerika Serikat bahwa Irak mensponsori terorisme tidak terbukti dan tidak ada bukti pula bahwa Saddam Hussein terlibat dengan peristiwa 9/11 sehingga pemerintah AS berusaha menciptakan sebuah kasus untuk memanipulasi opini publik agar agresi militer terhadap Irak dianggap legal sebagai respon terhadap ancaman yang dirasakan. Oleh karena itu, tindakan AS termasuk dalam preventive war atau perang pencegahan. Tindakan AS terhadap Irak menunjukkan munculnya pemikiran sendiri oleh Amerika bahwa Irak diduga ikut peristiwa 9/11, padahal tidak terbukti apa yang dipikirkan oleh pihak Amerika (Wulandari, 2015). Selain itu, keagresifan AS dalam memerangi negara negara yang tidak mendukung kepentingan AS juga dapat dilihat dari perubahan paradigma yang dikembangkan dalam sistem pertahanan, yakni menyangkut paradigma pertahanan pre-emptive selfdefense sebagaimana telah disinggung di awal tulisan. Paradigma ini memberi landasan para pemimpin yang berada di Gedung Putih untuk menyerang negara-negara yang dianggap menjadi ancaman bagi AS. Jika pada masa Perang Dingin AS akan bersifat menunggu (defensive) terhadap ancaman dari luar, maka berdasarkan paradigma ini, sistem pertahanan AS akan lebih bersifat ofensif terhadap ancaman militer dari luar. Di samping juga perlu dipahami kondisi psikologis masyarakat AS pasca tragedi World Trade Center. Bagaimanapun peristiwa ini merupakan pukulan berat bagi AS sebagai negara adidaya. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk memerangi



jaringan terorisme internasional. Combating international terrorism menjadi agenda para pejabat gedung putih di Washigton DC (Wulandari, 2015). Salah satu cara untuk mengorganisasikan pandangan-pandangan konstruktivis adalah berbicara tentang tiga bentuk konstruktivisme yaitu konstruktivisme psikologis, social dan dialektual.



Konstruktivis



psikologis



memfokuskan



pada



bagaimana



individu-individu



menggunakan informasi, sumber daya, dan bantuan orang lain untuk membangun dan meningkatkan model mental dan starategi problem solving-nya. Sebaliknya, konstruktivisme social melihat kemampuan untuk berpartisipasi bersama orang lain dan dialektial merupakan gabungan antara psikologis/individual dengan social. Dalam studi kasus yang dianalisis, bahwa Amerika meminta bantuan negara lain untuk membantu invasi ke Irak. Pada 19 Maret 2003, koalisi pesawat Amerika Serikat dan Inggris meluncurkan invasi militer penuh terhadap Irak. Setelah menaklukkan Irak, lebih dari 150.000 pasukan Amerika Serikat menduduki Irak secara paksa Tindakan tersebut mengalami perdebatan di dalam rapat umum Dewan Keamanan PBB apakah masuk ke dalam agresi atau tidak berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB untuk menetapkan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 dan Pasal 42 demi memelihara serta memulihkan perdamaian dan keamanan internasional (Wulandari, 2015). Selain itu untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan yang kerap tidak stabil itu, Amerika Serikat membutuhkan teman, yang dalam hal ini diidentikkan dengan Israel, yang juga punya kepentingan sama. Oleh karena itu, Amerika Serikat selalu berupaya melindungi Israel dari ancaman negara-negara lain di Timur Tengah, khususnya Irak. Selama Perang Teluk berlangsung, setidaknya Israel telah beberapa kali menjadi sasaran dari rudal-rudal yang diluncurkan oleh Saddam, dan dalam konteks ini Amerika Serikat



telah menjadi “dewa”



penyelamat yang baik bagi Israel dengan menempatkan rudal-rudal Patriot di kawasan negara tersebut. Oleh karena itu, jika kekuatan Saddam dibiarkan terus berkembang, maka di masa yang akan datang akan membahayakan Israel, dan tentunya juga Amerika Serikat (Francis, 2016). Dalam studi kasus ini, penulis menggunakan Teori Konstruktivisme sebagai penyebab utama agresi AS ke Irak pada tahun 2003. Faktor pertama adalah senjata pemusnah massal atau “Weapons of Mass Destruction” (WMD) yang menjadi alasan AS menyerang Irak bahkan ebelum perang dimulai. Alasan ini diidentifikasi sebagai alasan utama untuk invasi Irak oleh



pemerintahan Bush. Tindakan AS tersebut terkait dengan interpretasi penilaian intelijen bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Inspektur senjata PBB tidak menemukan bukti adanya senjata pemusnah massal di Irak, karena setelah Gulf War I inpektur senjata PBB telah pembongkar seluruh fasilitas pengembangan senjata nuklir, kimia, dan biologi di Irak. Kepemilikan senjata pemusnah massal menjadi alasan agar negara lain setuju pada rencana penyerangan Irak. Faktor penyebab kedua adalah perang Irak dilihat sebagai proses kebebasan, bukan invasi karena rezim Saddam digambarkan sebagai salah satu diktator jahat di dunia. Pemerintah AS dan intervensi militer koalisi sekutu setuju untuk memulai apa yang dikenal di Amerika Serikat sebagai “Operation Iraqi Freedom”. Pembebasan dan promosi demokrasi memiliki peran penting dalam perubahan rezim Irak. Operasi pembebasan dijadikan alasan untuk Amerika melakukan invasi terhadap Irak. Factor ketiga, Amerika merasa terancam oleh Saddam Husein. Bagi pemerintahan Bush, invasi ke Irak dianggap sebagai perpanjangan dari perang melawan teror. Serangan teroris 11 September menyebabkan pergeseran paradigma sehingga muncul fase baru dalam strategi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Segera setelah peristiwa 11 September, mayoritas pembuat kebijakan AS menyerukan invasi ke Irak. Salah satunya, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld yang menganjurkan menggunakan kekuatan militer terhadap Saddam Hussein. Oleh karena itu, pemerintahan Bush menyatakan penggunaan kekuatan militer, pertama, melawan Afghanistan dan kemudian melawan Irak sebagai reaksi terhadap serangan 11 September (Wulandari, 2015). Alasan terakhir adalah faktor ekonomi berupa penguasaan ladang minyak. Hubungan antara minyak dan kekuatan militer kembali muncul di tahun-tahun awal abad kedua puluh. Dalam hal ini, kepentingan AS di sektor sumber daya minyak dan energi bukanlah subjek baru. Kebijakan Amerika telah didorong oleh dua tujuan yakni dukungan dari Israel dan kontrol tidak langsung dalam pasar minyak seluruh dunia mengamankan pasokan energi masa depan. Mendapatkan kontrol dari minyak Irak diperlukan agar Amerika Serikat bisa mengurangi ketergantungan dari negara-negara Eropa dan Asia Timur pada minyak Teluk Persia, dan tidak ada keraguan bahwa hegemoni AS tergantung pada minyak dan sumber daya energi. Alasan untuk menguasai lahan minyak di Irak sebagai tanda bahwa Amerika telah mengkonstruk (membangun) pemikiran sendiri, bahwa bagiamanpun caranya Amerika tidak boleh terlihat



bergantung dengan negara lain dalam penguasaan lading minyak, sehinggan pihak Amerika harus mengakuisisi ladang minyak yang terdapat di Irak (Wulandari, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat pula factor alternatif, yaitu ancaman keamanan terhadap posisi strategis Amerika Serikat di Timur Tengah. Doktrin Bush dimulai dengan asumsi bahwa Amerika Serikat di dalam era paska Perang Dingin merupakan satu-satunya negara adidaya di dunia dan salah satu negara yang berusaha untuk mempertahankan posisi hegemoni untuk masa depan yang tak terbatas. Kekuasaan adalah unsur utama dari pemerintahan Bush, sehingga invasi adalah tindakan rasional bagi Amerika Serikat dalam mencapai tujuan utamanya untuk menunjukkan kekuatannya kepada sekutu dan pesaing yang sama. Hal tersebut merupakan keinginan AS untuk kembali ke kebijakan sebelumnya mengenai peningkatan strategi untuk memenuhi tujuannya hegemoninya, dan langkah pertama dimulai dengan Perang Irak. Menurut pihak



Amerika, Irak dipandang sebagai lokasi strategis untuk mendirikan



pangkalan militer AS di wilayah Timur Tengah. Dimana dapat memberikan keuntungan bagi AS dan sekutu terdekatnya di Timur Tengah, yakni Israel. Selain itu, Irak memiliki cadangan minyak yang besar dan menguntungkan perusahaan minyak AS yang beroprasi di sana. Dengan kekuatan militer dan dukungan perekonomian yang kuat, AS dapat mencapai tujuan hegemoni globalnya di Timur Tengah. Invasi militer Irak, yang secara sepihak dilakukan oleh Pasukan AS-Inggris sebagai “coalition of willing” merupakan masalah bagi integritas dan otoritas PBB karena melanggar banyak ketentuan misalnya Pasal 2 (4), 39, 42 dan 51 dari Piagam PBB dan merusak sistem hukum dan keamanan internasional paska Perang Dunia II secara keseluruhan. Perang ini berhubungan dengan ambis AS sebagai negara terkuat di dunia yang tidak ingin setiap kepentingannya dihambat oleh siapapun, termasuk sebuah rezim berkuasa. Oleh karena itu, segala hal yang menurut persepsi Amerika Serikat mengandung potensi ancaman akan selalu di berangusnya (Unila et al., 2009).



Oleh karena pemikiran yang dibangun pihak Amerika terhadap Irak, banyak dampak yang terjadi di Irak. Hampir seluruh fasilitas dan infrastruktur Irak hancur. Puluhan ribu warga Irak yang tidak berdosa tewas sia-sia, jutaan orang kehilangan keluarga dan tempat tinggal.



Pusat-pusat peradaban Islam di Irak pun hancur akibat bombarder yang dilancarkan AS dan sekutunya atas wilayah Irak, serangan AS pada tahun 2003 ini berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein dan partai Baath-nya yang telah berkuasa selama 30 tahun. Sebagai dampak dari Invasi Amerika, Irak banyak mengalami perubahan di mulai dari perubahan sosial, ekonomi dan politik. Perubahan sosial yang muncul salah satunya adalah adanya kekhawatiran meletusnya perang saudara diantara penduduk Irak sendiri, khususnya antara pendukung setia Saddam dan kelompok yang kontra terhadapnya. Untuk kondisi ekonomi Irak pasca Invasi Amerika, minyak menjadi masalah utama. Oleh karena itu, Amerika pasca invasi, akan mengandalkan cadangan minyak negerinya dari Irak, dengan cara berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya di Irak dalam program rekonstruksi infrastuktur minyak di Irak. Dan di bidang politik secara umum, serangan AS yang bertujuan untuk menegakkan demokrasi di Irak telah berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein yang dianggap otoriter oleh AS (Winarno, 2014). Dari studi kasus agresi Amerika terhadap Irak dapat disimpulkan bahwa agresi Amerika Serikat terhadap Irak menurut pandangan konstruktivisme kebanyakan muncul karena dibangunnya pemikiran Amerika itu sendiri terhadap Irak setelah perang dingin terjadi. Munculnya perang tersebut dikarenakan kepentingan hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah. Amerika Serikat juga ingin menguasai lading minyak Irak agar Amerika tetap dipandangan menjadi negara terkuat di dunia. Selain itu juga akibat pemikirin yang dikonstrukstau dibangun oleh Amerika, menimbulkan dampak terhadap Irak itu sendiri, dari mulai factor social, ekonomi, dan politik.



DAFTAR PUSTAKA Francis, J. (2016). Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering di Balik Perang Irak. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 5(3), 63. Unila, F., Prof, J., Brojonegoro, S., & Bandar, N. (2009). Irak pasca invasi amerika serikat. Hubungan Internasional, 2(1). Winarno, B. (2014). Satu Dekade Pasca Invasi AS di Irak. Jurnal Hubungan Internasional, 3(2), 107–124. https://doi.org/10.18196/hi.2014.0053.107-124 Wulandari, D. A. (2015). Agresi Amerika Serikat Terhadap Irak Periode 2003-2010. Journal of International Relations, 1(2), 133–140.