Subdural HEMATOMA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Subdural Hematoma



Ridha Dharmajaya



2018



USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id  USUpress 2018 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 978 602 465 022 3 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dharmajaya, Ridha Subdural Hematoma / Ridha Dharmajaya – Medan: USU Press 2018. vii, 70 p.; ilus.; 24 cm Bibliografi ISBN: 978-602-465-022-3



Dicetak di Medan, Indonesia



KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohiiim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya maka buku ini dapat diselesaikan. Cidera Kepala sebagai kasus operasi terbanyak dalam bidang Bedah Saraf, memiliki beberapa jenis perdarahan yang memiliki kekhususan pada gejala dan tanda klinis hingga gambaran radiologisnya. Ini adalah buku monograf bagian dari Cidera Kepala yang khusus berisikan tentang Subdural Hematoma. Buku ini mengupas seluruh aspek dari Subdural Hematoma, mulai dari anatomi dari selaput dan pembuluh darah otak, sumber perdarahannya hingga gejala klinis dan radiologis, yang berujung pada tatalaksana komprehensif. Selain itu, pada buku ini turut disajikan hasil penelitian tentang kasus Subdural Hematoma, yang bertujuan melihat pengaruh kondisi awal klinis pasien terhadap luaran tatalaksana operatif. Buku ini disusun secara ringkas dan sistematis agar mudah dipelajari dan dipahami. Penulis menyadari ada beberapa topik yang belum dibahas sesuai dengan perkembangan terkini dunia kedokteran terutama dalam bidang Ilmu Bedah Saraf. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada para guru dan pembimbing, dan tak lupa penghargaan kepada seluruh subjek penelitian yang telah memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi dunia kedokteran. Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia akademik dan menjadi ladang pahala bagi penulis.



Medan,



Januari 2018 Penulis,



Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS



iii



DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................. iii Daftar Isi........................................................................................ Daftar Tabel ................................................................................... Daftar Gambar ............................................................................... Bab I Anatomi............................................................................



iv v vi 1



1.1 SCALP ...................................................................... 1.2 Tengkorak ................................................................. 1.3 Pembuluh darah dan Innervasi .................................. 1.4 Intrakranial ................................................................ Referensi ........................................................................ Meningens dan Vaskularisasi ........................................



1 2 5 8 13 15



2.1 Meningens ............................................................... 2.2 Vaskularisasi Duramater ......................................... Referensi ........................................................................ Bab III Subdural Hematoma.......................................................



15 22 24 25



3.1 Definisi dan Epidemiologi ...................................... 3.2 Klasifikasi ............................................................... 3.3 Mekanisme Cidera .................................................. 3.4 Pemeriksaan Umum ................................................ 3.5 Subdural Hematoma Akut ...................................... 3.6 Subdural Hematoma Kronik ................................... 3.7 Perawatan Pasca Bedah .......................................... 3.8 Komplikasi dan Prognosis ...................................... 3.9 Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik ................. Referensi ........................................................................



25 26 28 30 34 48 62 63 65 69



Bab II



iv



DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Glasgow Coma Scale..........................................................32 Tabel 3.2 Tatalaksana bedah pada pasien dengan subdural hematoma akut......................................................................45 Tabel 3.3 Jumlah Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2013-2017..........................................................65



v



DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 1.5 Gambar 1.6 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 3.1 Gambar 3.2



Gambar 3.3



Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8



Lapisan kulit kepala dan tulang....................................2 Tulang-tulang penyusun kranium................................3 Fontanel dan Sutura..........................................................4 Otot yang menyelimuti kranium...................................5 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala......................7 Bagian otak.......................................................................10 Lapisan Meningens........................................................17 Lapisan kulit dan meningens.......................................17 Meningens.........................................................................20 Epidural space dan subdural space............................21 Vaskularisasi Duramater...............................................22 Sinus Venosus Dura.......................................................23 Roentgen Schedel dan Waters.....................................33 Gambar skema terjadi ruptur bridging vein (BV). VL = Venous Lacunae, SSS = sinus sagitalis superior, EV = Emisary Veinm, CC = Cerebral kortex, P = Piamater, F = Falx, AT = Arachnoid Trabeculae 36 Skema terjadi SDH. BV = bridging vein, CC = Cerebral kortex, AT = Arachnoid Trabeculae, DBC = Dural Border Cells, ABC = Arachnoid Barier Cell Layer, D = Dura 37 Gambar SDH karena tekanan vena meningkat......37 Skema SDH bertambah besar karena tekanan intrakranial meningkat 38 Gambar beda SDH dengan EDH...............................39 Gambar CT Scan SDH akut dengan herniasi subfalcine (A) dan herniasi uncal (B) 40 Gambar SDH akut sepanjang tentorium (*) dan pada temporal (



vi







)



41



Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11



Gambar 3.12



Gambar 3.13 Gambar 3.14 Gambar 3.15 Gambar 3.16 Gambar 3.17 Gambar 3.18 Gambar 3.19 Gambar 3.20 Gambar 3.21 Gambar 3.22 Gambar 3.23 Gambar 3.24 Gambar 3.25



A. dilakukan insisi bifrontal, B dilakukan burr hole, C ditemukan sinus dan duramater..................46 D ligasi anterior sinus sagitalis superior, E sinus dipotong.................................................................47 Gambar F identifikasi contusio dan subdural hematom, G evakuasi hematom dengan kombinasi suction dan bipolar....................................47 A inisisi question mark, B setelah duramater dibuka dapat mengevakuasi SDH dengan 1. Suction, 2 forcep, 3 dengan disektor........................48 CT Scan SDH kronis dan skema SDH Kronis.......49 Skema terbentuknya SDH kronis...............................50 SDH kronis (yang ditandai dengan *)......................57 Gambar SDH kronis bilateral......................................57 SDH kronis frontoparietal kiri dengan midline shift ke kanan...................................................................58 CT Scan SDH kronik dengan kalsifikasi.................58 MRI axial T1 SDH kronik...........................................59 MRI axial T2 SDH kronik...........................................60 Twist Burr hole................................................................61 Twist Burr hole dengan insisi terpisah.....................62 Presentase Jenis Kelamin Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik............................................................66 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik Berdasarkan Usia...............................................67 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik Berdasarkan onset kejadian............................68



vii



BAB I ANATOMI KEPALA



1.1 SCALP Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa 1



disebut dengan SCALP. S: Skin, berisi banyak kelenjar sebaeceous dan folikel rambut. C: Connective tissue, lapisan lemak dan serat fibrosa yang padat yang berada di bawah kulit, mengandung saraf dan pembuluh darah di kepala. A: Aponeurosis, yang disebut aponeurosis epikranial (atau galea aponeurotika) adalah lapisan berikutnya. Ini adalah lapisan kuat jaringan fibrosa padat yang membentang dari otot frontalis anterior ke oksipitalis posterior. L: Loose areolar connective tissue, lapisan jaringan ikat areolar longgar yang memberikan bidang pemisahan antara tiga lapisan atas dan perikranium. Dalam scalping, kulit kepala dibuka melalui lapisan ini. Cara ini juga menyediakan akses pada operasi kraniofasial dan bedah saraf. Lapisan ini kadangkadang disebut sebagai "zona berbahaya" karena mudahnya agen infeksius dapat menyebar melalui vena emmisari yang kemudian mengalir ke tengkorak. Jaringan areolar longgar di lapisan ini terdiri dari kumpulan kolagen I dan kolagen III. Lapisan ini juga kaya akan glikosaminoglikan (GAG) dan memiliki matriks yang lebih banyak daripada



1



serat. Lapisan ini memungkinkan lapisan kulit kepala yang lebih dangkal bergeser dalam kaitannya dengan perikranium. P: Pericranium, adalah periosteum tulang tengkorak yang memberi nutrisi dan memiliki kapasitas untuk perbaikan tulang tengkorak. Perikranium bisa diangkat dari tulang untuk memungkinkan pengangkatan tulang tengkorak (craniotomy).



Gambar 1.1 Lapisan kulit kepala dan tulang.



1.2 Tengkorak



2



4,5



Tengkorak (juga dikenal sebagai neurokranium), dibentuk oleh aspek superior tengkorak. Tengkorak membungkus dan melindungi otak, meninges dan pembuluh darah serebral.Secara anatomi, tengkorak dapat dibagi lagi ke dalam atap (dikenal sebagai calvarium), dan basis: a. Calvarium: Terdiri dari tulang frontal, oksipital dan dua tulang parietal. b. Dasar kranial: Terdiri dari enam segmen tulang, yaitu tulang frontal, sphenoid, ethmoid, oksipital, parietal dan 2



temporal. Tulang ini penting karena memberikan titik artikulasio untuk vertebra servikalis pertama (atlas), serta tulang wajah dan mandibula (tulang rahang).



Gambar 1.2 Tulang-tulang penyusun kranium Sutura adalah sejenis sambungan berserat yang unik bagi tengkorak. Sutura tidak bergerak, dan menyatu sepenuhnya pada usia di atas 20 tahun. Sutura sangat penting secara klinis, karena bisa menjadi titik kelemahan potensial pada masa kanak-kanak dan dewasa. Sutura utama di masa dewasa adalah: a. Sutura koronal yang menyatukan tulang frontal dengan dua tulang parietal. b. Sutura sagital yang menyatukan kedua tulang parietal satu sama lain. c. Sutura lambdoid yang menyatukan tulang oksipital ke dua tulang parietal. Pada neonatus, penyatuan sambungan sutura yang tidak sempurna menimbulkan celah membran antara tulang-tulang, yang dikenal sebagai fontanel. Dua fontanel utama adalah fontanel frontal (terletak di pertemuan antara sutura koronal dan sagital) dan fontanel oksipital (terletak di pertemuan antara sutura sagital dan lambdoid).



3



Gambar 1.3 Fontanel dan Sutura 6



Otot Occipitofrontalis Otot occipitofrontalis terdiri dari 2 perut oksipital dan 2 perut depan. Perut oksipital timbul dari garis nuchal superior pada tulang oksipital. Perut frontal berasal dari kulit dan fasia superfisial kelopak mata bagian atas. Perut oksipital dan frontal masuk ke dalam aponeurosis epikranial.



4



Gambar 1.4 Otot yang menyelimuti kranium.



5



1.3 Pembuluh darah dan Innervasi a.



7



Vaskularisasi kulit Pasokan darah dari kulit kepala adalah melalui lima pasang arteri, tiga dari karotid eksternal dan dua dari karotid internal: Karotis internal



5







arteri supratrochlear yang memperdarahi dahi tengah. Arteri supratrochlear adalah cabang dari arteri oftalmika yang merupakan cabang arteri karotis interna.







arteri supraorbital memperdarahi dahi sisi lateral dan kulit kepala sejauh vertex. Arteri supraorbital adalah juga cabang arteri oftalmika yang berasal dari karotis interna.



Karotid eksternal 



arteri temporal superfisial mengeluarkan cabang frontal dan parietal untuk memasok sebagian besar kulit kepala







arteri oksipital yang membentang di posterior untuk memasok sebagian besar aspek posterior kulit kepala arteri aurikular posterior, cabang arteri karotis eksterna, naik ke belakang auricle untuk memasok kulit kepala di atas dan di belakang auricle.







Karena dinding pembuluh darah melekat kuat pada jaringan fibrosa dari lapisan fasial superfisial, ujung-ujung arteri di sini tidak mudah dikontrol; Bahkan luka kulit kepala kecil pun bisa berdarah deras. Pasokan saraf Innervasi dalam hal ini adalah koneksi saraf ke kulit kepala: saraf sensorik dan motor yang menginervasi kulit kepala. Kulit kepala diinervasi sebagai berikut:    6



Saraf supratrochlear dan saraf supraorbital dari divisi oftalmik saraf trigeminal Saraf oksipital lebih besar (C2) posterior sampai ke titik puncak Saraf oksipital lebih kecil (C2) di belakang telinga



 



Saraf zygomaticotemporal dari bagian maksilaris saraf trigeminal yang memasok tidak memiliki rambut Saraf Auriculotemporal dari bagian mandibular saraf trigeminal



Innervasi kulit kepala dapat diingat dengan menggunakan singkatan, "Z-GLASS" untuk, saraf Zygomaticotemporal, Greater nervus oksipital, nervus occipital Lesser, nervus Auriculotemporal, saraf Supratrochlear dan saraf Supraorbital.



Gambar 1.5 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala.



5



7



1.4 Intrakranial Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal berkisar antara 5 dan 15 mmHg (millimeter air raksa)



8



8,9



a.



Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang mengelilingi otak dan korda spinalis. CSS melindungi otak terhadap getaran fisik. Antara CSS dan jaringan saraf terjadi pertukaran zat-zat gizi dan produk sisa. Walaupun CSS dibentuk dari plasma yang mengalir melalui otak, konsentrasi elektrolit dan glukosanya berbeda dari plasma. CSS dibentuk sebagai hasil filtrasi, difusi, dan transport aktif melintasi kapiler-kapiler khusus kedalam ventrikel (rongga) otak, terutama ventrikel lateralis. Jaringan kapiler yang berperan dalam pembentukan CSS disebut pleksus koroideus. Setelah berada didalam ventrikel, CSS mengalir kebatang otak. Melalui lubang-lubang kecil dibatang otak, CSS beredar kepermukaan otak dan korda spinalis. Dipermukaan otak, CSS masuk ke sistem vena dan kembali ke jantung. Dengan demikian CSS terus-menerus mengalami resirkulasi melalui susunan saraf pusat. Apabila saluran CSS diventrikel mengalami sumbatan, maka dapat terjadi penimbunan cairan. Akibatnya akan terjadi peningkatan tekanan didalam atau dipermukaan otak.



b.



Sawar Darah Otak Sawar darah otak mengacu kepada kemampuan sistem vaskular otak untuk memanipulasi komposisi cairan intersisium serebrum sehingga berbeda dibandingkan dengan cairan intersisium dibagian tubuh lainnya. Sawar darah otak terbentuk dari sel-sel endotel yang saling berkaitan erat dikapiler otak, dan dari sel-sel yang melapisi



8,9



ventrikel yang membatasi filtrasi dan difusi. Fungsi transport khusus mengatur cairan apa yang keluar dari sirkulasi umum untuk membasahi sel-sel otak. Sawar darah otak melindungi sel-sel otak yang halus dari pajanan bahan-bahan yang pontensial berbahaya. Banyak obat dan zat kimia tidak dapat menembus sawar darah otak. Otak menerima aliran darah otak 15% dari curah jantung. Tingginya tingkat aliran darah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan otak yang terus-menerus akan glukosa dan oksigen. c.



10



Otak. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan akan kebutuhan oksigen dan glukosa, kebutuhan ini diterima melalui aliran darah yang konstan, metabolisme otak, merupakan suatu proses yang tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat. Aktivitas otak yang tak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang kritis sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ sensorik dan system efektor perifer tubuh, serta berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku. Otak terdiri dari batang otak, serebelum, diensefalon, sistim limbik dan serebrum. Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikan tekanan intrakranial.



9



Gambar 1.6 Bagian otak 1.



10



12



10



Otak besar (cerebrum) Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx cerebri. Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada bagian korteks serebral dan zat putih yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai



pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya. 13



Otak kecil (cerebellum) Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak. 3. Batang Otak (Trunkus serebri/ brainstem) Batang otak terdiri dari : - Diensefalon Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke arah lateral. Diensefalon ini berfungsi sebagai vasokonstrik (memperkecil pembuluh darah), respiratorik (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung. - Mesensefalon Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpuskuadrigeminusinferior. 2.



11



-



-



12



Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata. Pons Pons merupakan bagian tengah batang otak dan area ini memiliki jalur lintas naik dan turun seperti mesencephalon. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri. Medulla oblongata Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.



Referensi 1. Satyanegara. Anatomi Susunan Saraf. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia. 2010. Hal. 11-76. 2. Ellis, H, Clinical Anatomy: A revision of applied anatomy for clinical students, 10th edition. Oxford : Blackwell Publishing. 2002 3.



Harris CM. Scalp Anatomy. Diakses dari



https://emedicine.medscape.com/article/834808overview#a3. Diakses tanggal 28 Desember 2017. 4. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta: EGC. 2010. Hal. 192-236. 5. Slater BJ, Lenton KA, Kwan MD, Gupta DM, Wan DC, Longaker MT. Cranial sutures: a brief review. Plast. Reonstr. Surg. 2008. 121 (4): 170e–8e. doi:10.1097/01.prs.0000304441.99483.97.



PMID 18349596. 6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. 7. Drake, Richard L, Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M.. Gray ´s Anatomy for Students. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier. 2010. Hal. 862. 8. Baehr M dan Frotscher M. Covering of the Brain and Spinal Cord: Cerebrospinal Fluid and Ventricular System. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005. Hal 402-15.



9. Snell RS. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinalis, serta Sawar Darah Otak dan Sawar Darah Cairan Serebrospinalis. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta: EGC. 2010. Hal. 456-85. 10. Mayfield Brain and Spine. Anatomy of The Brain. Dapat diakses https://www.mayfieldclinic.com/PEAnatBrain.htm. Diakses tanggal 28 Desember 2017.



13



14



BAB II MENINGENS DAN VASKULARISASI



2.1 Meningens 2.1.1 Duramater Selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lamina eksterna dan lamina interna. Lamina eksterna merupakan jaringan fibrosa padat yang melekat erat pada periosteum kalvaria dan banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Lamina interna tersusun atas lapisan sel pipih yang membentuk sekat-sekat otak (falks serebri, tentorium serebeli, falks serebeli, diafragma sela, dan kavum trigeminal Meckeli). Pada cranium, duramater melekat kuat pada linea mediana, diatas sinus sagitalis superior, sutura, dan pada beberapa percabangan arteri meningea media. Selain tempat diatas, perlekatannya tidak erat sehingga membentuk ruang yang disebut sebagai rongga epidural. Sedangkan pada basis kranii, duramater melekat erat pada krista Gali, lamina kribosa, foramen optikum, fisura orbitalis superior, foramen rotundum, foramen ovale, foramen jugulare, dan meatus akustikus internus.



1,2,3



15



Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Oleh karena duramater tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana pada ruang dapat dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).



16



1,2,3



Gambar 2.1 Lapisan Meningens Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. Reseptor – reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, untuk selanjutnya mengirimkan rasa nyeri kepala pada kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher.



1,2,3



Gambar 2.2 Lapisan kulit dan meningens 17



Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Pada segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian berjalan antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan ke lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas sutura squamosa bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os parietale. Posisinya berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater. Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.



1,2,3



Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan- lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramater akhirnya mengalir kedalam vena – vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena 18



kulit kepala. Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus transverses yang 1,2,3 berlawanan dan menerima sinus occipitalis. Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena – vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan melanjutkan 19



diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis.



1,2,3



Gambar 2.3 Meningens Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna.



20



1,2,3



2.1.2 Arakhnoid Lapisan avascular yang berada di bawah lapisan duramater. Di bawah lapisan arachnoid terdapat rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula, pembuluh darah, nervus kranialis, dan dialiri oleh cairan serebrospinal. 2.1.3 Piamater Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan dihubungkan dengan jaringan ikat tipis. Lapisan ini terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesoderm yang mirip endothelium. Perlekatan piamater dengan korteks otak melalui astrosit marginal, yang membuatnya menempel mengikuti lekukan korteks dalam sulkus. 1,2,3



Gambar 2.4 Epidural space dan subdural space



21



2.2 Vaskularisasi Duramater Arteri dura yang terbesar adalah arteri meningea media yang cabangnya terdistribusi sepanjang lekukan lateral tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri maxilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna; arteri ini masuk ke tengkorak melalui foramen spinosum. Arteri meningea anterior relatif kecil dan menyuplai bagian media duramater frontal dan bagian anterior falks serebri. Arteri ini masuk ke tengkorak melalui bagian anterior lempeng cribriform. Arteri ini merupakan cabang arteri etmoidal anterior, yang merupakan cabang dari arteri oftalmika; dengan demikian, arteri ini menghantarkan darah dari arteri karotis interna. Arteri meningea posterior masuk ke tengkorak melalui foramen jugular untuk menyuplai duramater pada fossa cranial posterior.



1,2,3



Gambar 2.5 Vaskularisasi Duramater



22



Darah vena dari parenkim otak akan melewati ruang subarachnoid dan subdural melalui vena-vena superfisial dan profunda otak menuju sinus sagitalis superior, yang berada pada garis tengah perlekatan falx cerebri. Pada bagian belakang kepala, dimana falks serebri bergabung dengan tentorium, sinus sagitalis superior akan bergabung dengan sinus rektus. Darah vena dari kedua sinus ini akan berjalan menuju sinus transversus, dan selanjutnya ke sinus sigmoideus. Setelah itu, darah akan mengalir ke vena jugularis interna, keluar melalui otak pada foramen jugularis.



1,2,3



Gambar 2.6 Sinus Venosus Dura



23



Referensi 1. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 310-343 2. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 292-303 3. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical Physiology (9thed.). Setiawan, Irawati et al. 1997 (alih bahasa), EGC: Jakarta.



24



BAB III SUBDURAL HEMATOMA



3.1 Definisi dan Epidemiologi Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang 1



terjadi antara bagian dalam duramater dengan arachnoid. Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala berat bergeser 30%. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik. Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya 2,3,4



menurun hingga 39%. Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden secara keseluruhan. Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi pada hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telah dilaporkan berkisar 2:1. Insiden subdural hematoma kronis meningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56%



25



kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79tahun.



3,5,6



3.2 Klasifikasi Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut, subakut, dan kronis. Ketiganya dibedakan berdasarkan lamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi selama 4872 jam setelah cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah cedera, dan subdural hematom kronis terjadi dari 2



tiga minggu sampai beberapa bulan setelah cedera. Subdural hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 % pasien mengalami koma. Jika sudah terjadi koma maka angka 3



kematian meningkat menjadi 60%. Perdarahan akut dimana gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Terjadi pada cedera dentura kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk cekung. 3,4,5



Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 26



3,4,5



Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan 4,5,6



sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan 2,4,5,6



perdarahan baru yang menyebabkan hematom. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi hipodens berbentuk cekung.



27



3.3 Mekanisme Cidera Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur . 3,4,7



vena yang terjadi dalam ruangan subdural Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: • Trauma kapitis • Trauma di tempat lain yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. • Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak anak. • Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural. • Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. • Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting) • Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.



28



3,4,7



Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf kranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah ven dari otak dan meningen ke vena . 3,4,8



jugularis interna dileher Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertikal antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam 3,5,7,8



kranium. Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk ke bagian yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang 3,4,5



mengenai kepala. Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut sebagai leptomeninges



3,4,7



29



3.4 Pemeriksaan Umum 3.4.1 Anamnesis Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau tidak. Jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika diketahui pasien pingsan atau memiliki riwayat pingsan sebelumnya, apakah penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula? Selanjutnya apakah pasien tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadaran pasien? perhatikanlah lamanya periode sadar atau lucid interval pada pasien tersebut. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar, apakah karena aspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, demikian pula obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, serta apakah pasien dalam pengaruh alkohol.



30



4,5,7



3.4.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), tekanan darah atau nadi (circulation), derajat kesadaran (disability) dalam skala koma glasgow (SKG) serta apakah adakah jejas atau luka yang mengancam jiwa (eksposure). Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.4,6,7 Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di intrakranial dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis. 5,7,8



31



Tabel 3.1 Glasgow Coma Scale Response Eye Opening  Opens eyes spontaneously  Opens eyes in response to speech  Open eyes in response to panful stimulation (eg. endotracheal suctioning)  Does not open eyes in reponse to any stimulation Motor Response  Follows commands  Makes localized movement in response to painful stimulation  Makes nonpurposeful movement in response to noxious stimulations  Flexes upper extrimities/extends lower extrimities in response to pain  Extends all extrimities in response to pain  Makes no response to noxious stimuli Verbal Response  Is oriented to person, place and time  ……, may be confused  Replies with inappropriate words  Makes incomprehensible sounds  Makes no response



Score 4 3 2 1



6 5 4 3 2 1



5 4 3 2 1



3.4.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.



32



Pemeriksaan foto tengkorak schedel tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.



4,5,7,8



Gambar 3.1 Roentgen Schedel dan Waters



33



3.5 Subdural Hematoma Akut 3.5.1 Patofisiologi SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat akselerasi otak dalam kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras, menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika akselerasi ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan otak dan pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika akselerasi dalam jangka waktu lama, regangan dapat masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang konveksitas cerebral. Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan subdural hematom adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan cerebral konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan permukaan medial hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine subdural hematom yang dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah 2 dibanding ekstremitas atas (falx syndrome). Autopsi yang dilakukan Maixner menyatakan dua pertiga kasus SDH akut disebabkan oleh kontusio dan sepertiga disebabkan oleh ruptur bridging vein. Bridging vein yang berasal dari permukaan superolateral posterior lobus frontal, parietal dan oksipital berjalan ke depan menuju sinus sagitalis 0 0 superior dengan sudut kemiringan 10 -85 . SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan arteriovenous malformation. Namun 34



mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein. Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal yang mengalir ke sinus sagitalis superior. Vena ini mengalirkan bagian medial, lateral dan superior 6



cerebral. Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1-6 vena), area rolandic (1-3 vena), dan retrorolandic (1-3 vena). Kebanyakan satu atau vena bergabung menjadi satu, mengalirkan area yang luas, ada juga vena yang 7



berdekatan mengalirkan area yang kecil. Leary dan Edward menyatakan lapisan dura bagian dalam berupa sel datar yang sama dengan fibroblas dikenal sebagai dural border cells. Jika ada robekan bridging vein maka darah akan masuk ke lapisan dural border cells sehingga terjadi SDH. Ada juga yang membuat SDH bertambah besar, yaitu tekanan vena cerebral yang berjalan sama dengan tekanan intrakranial, hanya ada 4



perbedaan sedikit diantaranya. Jika tekanan vena cerebral meningkat maka darah dari vena kortikal sulit masuk ke dalam sinus sagitalis superior menyebabkan darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDH akan bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali.



8



35



Gambar 3.2 Gambar skema terjadi ruptur bridging vein (BV). VL = Venous Lacunae, SSS = sinus sagitalis superior, EV = Emisary Veinm, CC = Cerebral kortex, P = Piamater, F = Falx, AT = Arachnoid Trabeculae



36



Gambar 3.3 Skema terjadi SDH. BV = bridging vein, CC = Cerebral kortex, AT = Arachnoid Trabeculae, DBC = Dural Border Cells, ABC = Arachnoid Barier Cell Layer, D = Dura.



Gambar 3.4 Gambar SDH karena tekanan vena meningkat



37



Gambar 3.5 Skema SDH bertambah besar karena tekanan intrakranial meningkat 3.5.2 Gejala Klinis SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan. Pasien dengan SDH akut mengalami benturan benda tumpul di kepala baik sedang maupun berat. Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien dengan SDH akut biasanya berusia lebih tua dibanding cedera 9



tanpa SDH akut. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.



38



3,5,6



Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan tekanan intrakranial dan keparahan cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahan perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala klinis dan tanda pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese, kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu, ditemukannya dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahan motorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s notch dimana kelemahan motorik ipsilateral dan dilatasi pupil kontralateral



2



3.5.3 Diagnosis10 Subdural hematom berlokasi diantara arachnoid dan bagian dalam duramater. Oleh karena dura dan arachnoid tidak menempel secara ketat maka SDH sering terlihat lapisan mengikuti konveksitas hemisfer dari falx anterior ke falx posterior



Gambar 3.6 Gambar beda SDH dengan EDH



39



Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk cembung seperti epidural hematom.



4,5,7,8



Gambar 3.7 Gambar CT Scan SDH akut dengan herniasi subfalcine (A) dan herniasi uncal (B)



40



Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. SDH akut dapat terjadi juga sepanjang falx atau tentorium seperti gambar di bawah ini :



Gambar 3.8 Gambar SDH akut sepanjang tentorium (*) dan pada temporal (







)



41



Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi kounterkoup. Karena SDH berkaitan dengan cedera parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat dibanding ukuran SDH. Dibandingkan otak normal 20-30 HU, densitas SDH akut 50-60 HU lebih tinggi karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan berkurang secara progresif karena degradasi protein. Ini mungkin sulit dibedakan dengan subarachnoid pada cerebri yang atrofi. Pada kondisi subakut, biasanya antara 1-3 minggu bergantung pada tingkat hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau tidaknya perdarahan berulang, terjadilah fase isodens. Selama fase akut ke kronis, lapisan tipis konveksitas isodens SDH sulit diidentifikasi Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan. Gambaran ini terjadi pada beberapa kasus berhubungan dengan child abused.



42



4,5,7,8



3.5.4 Tatalaksana Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya. Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 5,6,7,8



mg intravena dan hiperventilasi. Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) edema otak yang minimal dan midline shift kurang dari 5 mm dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat 5,6,7,8



mengalami pengapuran. Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH. Penderita yang berada dalam keadaan koma tetapi pada CT scan tidak menunjukkan gambaran lesi otak kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi



43



Strategi tanpa pembedahan terfokus pada pencegahan secondary injury setelah cedera kepala. Intervensi medis ditargetkan pada tekanan intrakranial yang terkontrol, memastikan aliran darah dan oksigen, meminimalkan edema cerebri. Dua pertiga pasien dengan cedera kepala berat, tidak ditemukan gambaran CT Scan lesi massa yang signifikan. Terdapat 25% pasien dengan lesi massa akan mengalami perubahan kondisi klinis dalam 2-3 hari setelah cedera. Paling sulit manajemen pada pasien neurotrauma dengan GCS 8-14 dan memiliki lesi massa ukuran sedang. Pertimbangan apakah harus operasi atau tidak berdasarkan tekanan intrakranial, jika tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg, segera lakukan operasi dekompresi sebab walaupun lesi massa kecil, tapi pembengkakan otak yang hebat dapat ditemukan.



44



Tabel 3.2 Tatalaksana bedah pada pasien dengan subdural hematoma akut Indikasi pembedahan  Suatu subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih besar dari 10 mm atau dengan pergeseran garis tengah otak lebih besar dari 5 mm pada gambaran CT Scan, harus dilakukan tindakan operasi, tanpa melihat derajat kesadaran pasien (GCS).  Semua pasien dengan subdural hematoma akut dalam keadaan koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) harus menjalani pemantauan tekanan intrakranial.  Pasien koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) dengan ketebalan SDH kurang dari 10 mm dan pergeseran garis tengah otak kurang dari 5 mm, harus menjalani tindakan operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai GCS menurun 2 angka atau lebih pada waktu antara masa trauma dan ketika masuk rumah sakit. Demikian pula bila pada pasien ditemukan pupil yang asimetris atau dilatasi dan atau tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg. 



Pasien dengan subdural hematoma akut yang terindikasi untuk operasi, harus menjalani tindakan operasi evakuasi hematoma segera secepatnya.







Pada pasien koma (GCS40)



Gambar 3.24 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik Berdasarkan Usia Dalam gambar grafik 3.24 persentase kasus berdasarkan usia, dapat dilihat SDH terjadi pada usia produktif.



67



Bila ditelaah berdasarkan onset kejadian maka kasus kronik hanya berkisar 31% dibandingkan kasus akut sebanyak 69%. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa angka mortalitas pada kasus akut lebih besar daripada kasus kronik.



Persentase Bedasarkan Onset



31 % Akut Kronik 69 %



Gambar 3.25 Presentase Kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik Berdasarkan onset kejadian Analisa deskriptif diatas dapat digambarkan penurunan angka kasus SDH di RSUP Haji Adam Malik yang sangat mungkin disebabkan semakin berkembangnya rumah sakit di daerah yang mampu melaksanakan tatalaksana sederhana khususnya bagi pasien trauma kepala. Hasil telaah diatas turut menggambarkan bahwa penderita SDH laki-laki lebih banyak perempuan, dengan angka kejadian yang tinggi pada usia produktif dan berusia lanjut. Subdural hematoma akut mempunyai angka yang jauh dari tinggi dibandingkan subdural hematoma kronik.



68



Referensi 1. Goodman JC. Neuropathology of Traumatic Brain Injury. Youmans and Wins Neurological Surgery. Philadelphia: Elsevier. Edisi ketujuh. 2017; hal: 2265-77. 2. Miller JD dan Nader R.Acute Subdural Hematoma from Bridging Vein Rupture: a Potential Mechanism for Growth. Journal Neurosurg. 2014. 120; hal 1378-84. 3. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical Physiology (9thed.). Setiawan, Irawati et al. 1997 (alih bahasa), EGC: Jakarta 4. Guidelines for the management of severe head injury. Brain Trauma Foundation, American Association of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734. 5. Koc RK, Akdemir H, Oktem IS, Meral M, Menku A. Acute subdural hematoma: Outcome and outcome prediction. Neurosurg Rev 1977;20:239–44 6. Kamal R. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. Hal 158-168. 7. Megher RJ. Subdural Hematoma. Dapat diakses di https://emedicine.medscape.com/article/1137207overview. Diakses tanggal 18 Januari 2017. 8. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 310-343 9. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 292-303 10. Depreitere B, dkk.. Mechanics of Acute Subdural Hematomas Resulting from Bridging Vein Rupture. Journal Neursurg. 2006. 104; hal 950-56. 11. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU: Medan 69



12. Kiliç T, Akakin A: Anatomy of cerebral veins and sinuses. Front Neurol Neurosci. 2008; 23:4–15. 13. Vignes JR, Dagain A, Guérin J, Liguoro D: A hypothesis of cerebral venous system regulation based on a study of the junction between the cortical bridging veins and the superior sagittal sinus. Laboratory investigation. J Neurosurg. 2007; 107:1205–10. 14. Nemoto EM: Dynamics of cerebral venous and intracranial pressures. Acta Neurochir Suppl. 2006; 96:435–37. 15. Meagher RJ. Subdural Hematoma Clinical Presentation. Dapat dijumpai di https://emedicine.medscape.com/article/1137207-clinical. Diakses tanggal 20 Januari 2018. 16. Le TH dan Gean AD. Radiology of Traumatic Brain Injury. Neurological Surgery. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier. 2011. Hal 3342-61. 17. Zacko JC, Harris L, dan Bullock MR. Surgical Management of Traumatic Brain Injury. Neurological Surgery. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier. 2011. Hal 3424-52. 18. Al Jefri AYA, Sabbagh AJ. Acute Subdural Hematoma. Neurosurgery Trick of The Trade Cranial. 2014. New York: Thieme. Hal 486-89. 19. Edlmann E, Coll SG, Whitfield PC, Carpenter KLH, dan Hutchinson PJ. Pathophysiology of Chronical Subdural Hematoma: Inflammation, Angiogenesis, and Implications for Pharmacotherapy. Journal of Neuroinflammation. 2017. 14; 108: hal 1-13. 20. Kamal R dan Mahapatra AK. Chronic Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. Hal 197201.



70



21. Lad SP dan Jung H. Chronic Subdural Hematoma. Neurosurgery Trick of The Trade Cranial. 2014. New York: Thieme. Hal 490-93. 22. Kaye, A. 2006. Textbook of Surgery Third edition hal 417425. USA: Blackwell Publishing. 23. Markwalder TM, Steinsiepe KF, Rohner M, et al. The course of chronic subdural hematomas after burr-hole craniostomy and closed-system drainage. J Neurosurg 1981;55:390–6. 24. Bender MB, Christoff N. Nonsurgical treatment of subdural hematomas. Arch Neurol 1974;31:73–9. 11 Jennett B, Bond M. Ass 25. Ohaegbulam SC. Surgically treated traumatic subacute and chronic subdural haematomas: a review of 132 cases. Injury 1981;13:23–6. 37 Patrick D, Gates PC. Chronic subdural haematoma in the elderly. Age Ageing 1984;13:367–9 26. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gorgon D, Harti R, Newell DW, et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery 2006;58(Suppl 2):16–24. 27. Dent DL, Croce MA, Menke PG, Menke PG, Young BH, Hinson MS, et al. Prognostic factors after acute subdural hematoma. J Trauma 1995;39:36–42



71



9 786024



650223