Laporan Pendahuluan Subdural Hematoma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN SUBDURAL HEMATOMA



Disusun Oleh : Nurul Mukaromah 203202055



PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XV UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA 2021



A. Konsep Subdural Hematoma 1. Anatomi Fisiologi Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan



internal



dan stimulus



eksternal dipantau dan diatur. Kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitivitas terhadap stimulus, dan konduktivitas, atau kemampuan untuk menstransmisi suatu responsterhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama: a. input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal (reseptor viseral) b. aktivitas integratif. reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medula spinalis, yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga respons terhadap informasi bisa terjadi. c. output motorik. impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2002). Gunadarma (2011) mengatakan, bahwa anatomi pusat kehidupan manusia terletak pada otak dan sumsum tulang belakang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. 1. Jaringan Pelindung Sistem saraf pusat (central nervous system/CNS) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf kepala, saraf tulang belakang, dan ganglia perifer. CNS dilindungi oleh sumsum tulang belakang, yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang dan otak dilindungi oleh tengkorak.



Sebagian besar otak terdiri dari neurons, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak merupakan bagian tubuh yang sangat penting oleh karena itu selain dilindungi oleh tulang tengkorak yang keras, juga dilindungi oleh jaringan dan cairan-cairan di dalam tengkorak. Dua macam jaringan pelindung utama dalam sistem saraf adalah meninges dan sistem ventrikular (Sloane, 2002). a) Meninges Jaringan pelindung di sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) adalah meninges. Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1) Duramater (berasal dari kata dura=hard=keras dan mater=mother=ibu), merupakan lapisan paling luar yang tebal,



keras



dan



fleksibel



tetapi



tidak



dapat



direnggangkan. 2) Arachnoid Membrane (berasal dari kata arakhe=spider), merupakan jaringan bagian tengah yang bentuknya seperti jaring laba-Iaba. Sifatnya lembut, beronggarongga dan terletak di bawah lapisan durameter. 3) Piamater



(berasal



dari



kata



pious=small=kecil



dan



mater=mother=ibu), merupakan jaringan pelindung yang terletak pada lapisan paling bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi jaringanjaringan saraf yang lain). Lapisan ini mengandung



pembuluh darah yang mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Antara pia mater dan membran arachnoid terdapat bagian yang disebut subarachnoid space yang dipenuhi oleh cairan cerebrospinal fluid (CSF) (Sloane, 2002). a. Sistem Ventrikulus Otak sangat lembut dan kenyal. Karena sifat fisiknya tersebut otak sangat mudah rusak, oleh kerena itu perlu dilindungi dengan sempurna. Otak manusia dilindungi oleh cairan cerebrospinal di dalam subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga beratnya yang sekitar 1400 gram dapat berkurang menjadi 80 gram dan kondisi ini sekaligus mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi oleh gravitasi. Cairan cerebrospinal ini selain mengurangi berat otak juga melindungi otak dari goncangan yang mungkin terjadi. Cairan cerebrospinal ini terletak dalam ruang-ruang yang saling berhubungan satu sarna lain. Ruang-ruang ini disebut



dengan



ventricles



(ventrikel).



Ventrikel



berhubungan dengan bagian subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung pada canal pusat dari tulang belakang. Ruang terbesar yang berisi cairan terutama ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle). Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle) yang terletak di otak bagian tengah



(midbrain). Ventrikel ketiga dihubungkan ke ventrikel ke empat oleh cerebral aqueduct yang menghubungkan ujung caudal ventrikel keempat dengan central canal. Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan ventrikel kedua, tetapi fungsi kedua ventrikel tersebut tidak terlalu dibicarakan pada buku ini karena akan melibatkan sistem yang jauh lebih kompleks (Pearce, 2004). Cairan cerebrospinal merupakan konsentrasi dari darah dan plasma darah. Diproduksi oleh choroid plexus yang terdapat dalam keempat ventrikel tersebut. Sirkulasi CSF dimulai dalam ventrikel lateral ke ventrikel ketiga, kemudian mengalir ke cerebral aqueduct ke ventrikel keempat. Dari ventrikel keempat mengalir ke lubang- Iubang subarachnoid



yang



melindungi



keseluruhan



CNS.



Selanjutnya cairan itu (yang sudah digunakan) diabsorpsi ke superior saggital sinus dan mengalir ke durameter yang kemudian akan dikeringkan oleh pembuluhjugular di bagian leher. Volume total CSF sekitar 125 milimeter dan waktu yang dibutuhkan oleh sebagian CSF untuk berada pada sistem ventrikel agar diganti oleh cairan yang baru sekitar 3 jam. Kadang-kadang aliran CSF ini terganggu, misalnya karena cerebral aqueduct diblokir oleh tumor. Hambatan ini menyebabkan tekanan pada ventrikel karena ia dipaksa untuk mengurangi cairan yang terus menerus diproduksi oleh choroid plexus semen tara alirannya untuk keluar terhambat. Dalam kondisi



ini,



dinding-



dinding



ventrikel



ini



akan



mengembang dan menyebabkan kondisi hydrocephalus. Bila kondisi ini berlangsung terus menerus, pembuluh darah juga akan mengalami penyempitan dan dapat menyebabkan kerusakan otak. Kondisi ini dapat ditolong melalui operasi dengan memasang tabung saluran ke salah satu ventrikel



kemudian tabung tersebut diletakkan dibawah kulit dan dihubungkan dengan katup pengurang



tekanan yang



dipasang pada rongga perut. Bila tekanan pada ventrikel meningkat, katup akan bekerja dan mengalirkan CSF ke perut sehingga dapat direabsorbsi ke dalam peredaran darah (Pearce, 2006). 2. Definisi SDH (Subdural Hematoma) Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat.



Gambar 1. Subdural hematoma (boards.medscape.com dan stonybrookphysician.adam.com) Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom



sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang



kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya



perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.



3. Etiologi Keadaan



ini



timbul



setelah cedera/trauma



kepala



hebat,



seperti



perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada: a) Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak-anak. b) Non trauma Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural. Gangguan



pembekuan



darah



biasanya



berhubungan



dengan



perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan. 4. Patofisiologi Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat



bergerak, sedangkan



sinus



venosus



dalam



keadaan



terfiksir,



berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Kebanyakan



perdarahan



subdural



terjadi



pada



konveksitas



otak



daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau tengkorak.



diantara



lobus



temporal



dan



dasar



Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah



dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena- vena yang berjalan diantara hemisfer bagian medial dan falks ; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik



dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan



subdural interhemisferik akan memberikan



gejala klasik



monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak- anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome). Walaupun perdarahan subdural jenis ini tidak patognomonis akibat penyiksaan kejam (child abused) terhadap anak, kemungkinannya tetap harus dicurigai. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.



Gambar 3. Lapisan subdural Perdarahan



subdural



kronik



umumnya



berasosiasi



dengan



atrofi



cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering



menyebabkan terbentuknya



hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul



berlangsung



perlahan,



maka



lucid interval juga lebih lama



dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan



dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relat if perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat



2 teori yang



menjelaskan terjadinya perdarahan subdural



kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat



di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan



peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang



mengakibatkan



pembesaran



dari



perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat



mengakibatkan



angiogenesis



terjadinya



juga ditemukan dapat



perdarahan



subdural



kronik,



faktor



meningkatkan terjadinya perdarahan



subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan



secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga membuat skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali.



Waktu



yang diperlukan



untuk



penyembuhan



pada



perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri. Prinsipnya



kalau



Terbentuk granulation akan



pindah



berdarah, tissue



pada



pasti ada membrane



suatu luar.



proses



penyembuhan.



Fibroblas



kemudian



ke membrane yang lebih dalam untuk mengisi daerah yang



mengalami hematom. Untuk sisanya, ada dua kemungkinan (1) direabsorbsi ulang, tapi menyisakan hemosiderofag dengan heme di dalamnya, dan (2) tetap demikian dan berpotensi untuk terjadi kalsifikasi.



5. Manifestasi Klinis Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH. Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada



saat



terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan



ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya.



Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid interval. Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH atau karena



terjadi



kompresi pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma



menyebabkan



dilatasi



pupil



kontralateral



terhadap



trauma.



Perubahan diamater pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH. Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit



neurologis



lainnya,



kadang kala



dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak. a) Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak



berat.



Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan



pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.



b) Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda- tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan- lahan dalam



beberapa



jam.



Dengan



meningkatnya



tekanan intrakranial



seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. c) Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut



dengan



merobek



membran



atau



pembuluh



darah



di



sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, minggu



gejalanya



sehingga selama



beberapa



tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan



MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil



pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,



yang menyebabkan



gejala-gejala



neurologis



biasanya



dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. 6.



Pemeriksaan Penunjang Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan. a. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi. b. Foto tengkorak Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH. c. CT-Scan Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma,



karena prosesnya cepat,



mampu



melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial (1) Perdarahan Subdural Akut Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling



banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral. (2) Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus



dicurigai adanya edema serebral yang



mendasarinya.



Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused. (3) Perdarahan Subdural Subakut Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48- 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa kontras. (4) Perdarahan Subdural Kronik Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural



hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).



Gambar . CT SCAN Subdural hematoma d. MRI (Magnetic resonance imaging) Magnetic



resonance



mengidentifikasi



imaging



perdarahan



(MRI)



ekstraserebral.



sangat Akan



berguna tetapi



untuk CT-scan



mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan. 7. Komplikasi Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat



meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih



terdapat



sisa



hematom



yang



mungkin



memperlukan



tindakan



pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial. Pada kronik



yang



pasien



dengan



subdural



hematom



menjalani operasi drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami



komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus. Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk



reakumulasi



hematom dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca



operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan. 8.



Prognosis Tidak



semua



perdarahan



subdural



bersifat



letal.



Pada



beberapa



kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak. Tindakan



operasi



pada



hematoma



subdural



kronik



memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %. Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)



mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan



sempurna. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%. Perdarahan yang



kompleks



(complicated



SDH)



subdural



akut



biasanya mengenai parenkim otak,



misalnya kontusio



atau



laserasi dari serebral hemisfer disertai



dengan



volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan jauhnya



midline



shift.



Akan tetapi,



hal



yang



paling



penting



untuk



meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak. Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian. Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan



kerusakan



parenkim



otak merupakan



faktor



yang



lebih



menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural. Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi



mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita SDH akut yang



tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil,



bilateral



midriasis



berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar 10%. 9. PENATALAKSANAAN Konservatif: a. Bedrest total b. Pemberian obat-obatan c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran) Prioritas Perawatan a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak b. Mencegah komplikasi c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga



e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi f.



Maksimalkan perfusi / fungsi otak



g. Mencegah komplikasi h. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal i. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga j. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi. B. PENGKAJIAN 1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab. 2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. 3. Pemeriksaan fisik a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK c. Sistem saraf : 1) Kesadaran  GCS. 2) Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. 3) Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Skala Koma Glasgow No



RESPON



NILAI



1



Membuka Mata :



 



-Spontan



4



-Terhadap rangsangan suara



3



2



3



-Terhadap nyeri



2



-Tidak ada



1



Verbal :



 



-Orientasi baik



5



-Orientasi terganggu



4



-Kata-kata tidak jelas



3



-Suara tidak jelas



2



-Tidak ada respon



1



Motorik :



 



- Mampu bergerak



6



-Melokalisasi nyeri



5



-Fleksi menarik



4



-Fleksi abnormal



3



-Ekstensi



2



-Tidak ada respon



1



Total



3-15



d. Sistem pencernaan 1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola makan? 2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. 3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia. e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.



g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga. C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. 2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum. 3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma). 5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. 6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. 7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien. 8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. 9. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. 10. Risiko



injuri



berhubungan



dengan



menurunnya



kesadaran



atau



meningkatnya tekanan intrakranial. 11. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. D. INTERVENSI KEPERAWATAN 1.



Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tandatanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal. Rencana tindakan : a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa CO respiratorik.



2



dan menyebabkan asidosis



b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume. c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas. d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi. e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator. 2.



Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum. Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada. Rencana tindakan : a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube. b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia. d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.



3.



Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik. Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial. Rencana tindakan : a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran. Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata. b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan. c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial. d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial. e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.



f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Dapat menurunkan hipoksia otak. g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak. 4.



Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma) Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat. Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat. Rencana Tindakan : a.



Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.



b.



Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.



c.



Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.



d.



Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.



Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan. e.



Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan. Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.



5.



Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi Rencana tindakan : a.Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit. b.Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan. c.Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol. d.Ganti posisi pasien setiap 2 jam e.Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit. f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali. g.Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang. h.Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam. i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.



6.



Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi: a.



Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.



b.



Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.



7.



c.



Kurangi rangsangan.



d.



Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.



e.



Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.



f.



Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.



Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang Kriteri evaluasi : Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat. Rencana tindakan : a. Bina hubungan saling percaya. Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga. b. Dengarkan



dengan



aktif



dan



empati,



keluarga



akan



merasa



diperhatikan. c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan. d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga. e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis. 8.



Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu. Intervensi:



a.



Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.



b.



Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.



c.



Perawatan kateter bila terpasang.



d.



Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.



e.



Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan seharihari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.



9.



Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah. Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a.



Kaji intake dan out put.



b.



Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.



c. 10.



Berikan cairan intra vena sesuai program. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau



meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan: Anak terbebas dari injuri: Intervensi: a.



Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.



b.



Kaji tingkat kesadaran dengan GCS



c.



Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.



11.



d.



Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.



e.



Berikan analgetik sesuai program. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.



Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal. Intervensi: a. Kaji adanya drainage pada area luka. b. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh. c. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati. d. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang. E. EVALUASI 1. Penggunaan otot bantu napas tidak ada 2. Suara napas bersih 3. Tidak ada peningkatan intrakranial. 4. Tanda-tanda vital stabil 5. Kebersihan terjaga 6. wajah tidak menunjang adanya kecemasan 7. Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien 8. Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.



DAFTAR PUSTAKA



A.Price,Sylvia, Lorraine M. Wilson.2006. PATOFISIOLOGI Jilid 1.Jakarta:EGC. Brunicardi, Charles. 2004. Principles of Surgery Ninth Edition. Bulechek, GM. Butcher, H.K. Dochterman, J.M., dan Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Edition. Indonesia: Mocomedia Bullock, Ross. 2006. Surgical Management of Subdural hematom. Engelhard, H. H., dkk, 2011. Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference, Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven, Heller, L Jacob. 2012. Subdural hematoma. Medline Plus. Medical Encyclopedia Herdman, T Heather. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 20182020.Jakarta: EGC. Huda Nurarif, Amin, Hardi Kusuma.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnose medis dan NANDA NIC-NOC Jilid 1&2.Yogyakarta:Mediaction. Juall Carpenito-Moyet, Lynda.2007.Buku Saku Diagnosa Keperawtan.Jakarta:EGC. Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma. Medscape. Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L., dan Swanson, E. 2016. Nursing OucomeClassification (NOC) 5th Edition. Indonesia: Mocomedi Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta : Salemba Medika Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia. Jakarta:Erlangga. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU: Medan. Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua hal 818, Jong W.D. Jakarta : EGC. Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2005. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner & Suddarth, vol:1. Jakarta: EGC. Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. Tom, S., dkk, 2011. Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC. Wim de jong; Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC