Surat DPS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

OPINI SYARIAH DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS) RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG NOMOR : 01/OS/DPS-RSISA/I/2018



Pada hari ini, Selasa, tanggal dua puluh bulan Pebruari tahun dua ribu delapan belas, telah diadakan rapat penetapan opini syariah atas akad sewa ruangan dan fasilitas milik Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang kepada penyewa OPTIK SALWA berkedudukan di Demak. Rapat dipimpin oleh ketua ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) RSISA Semarang, Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, dan dihadiri oleh anggota DPS RSISA Semarang, Dr. H. Abu rokhmad, MA, komite syariah Drs. H. Samsuddin Salim, M.Ag dan bagian hukum RSISA Semarang. Rapat diawali dengan bacaan basmalah dilanjutkan dengan paparan dari komite syariah dan bagian legal RSISA Semarang terkait dengan akad sewa ruangan dan fasilitas milik RSISA kepada Optik Salwa Demak. Dalam draft akad disebutkan bahwa akad ini merupakan akad ijarah (sewa-menyewa ruangan dan fasilitas) di mana ketentuan dalam pasal 2 disebutkan bahwa “sistem kerjasama lahan optik berupa sewa lahan dan bagi hasil 70 % untuk pihak kedua dan 30 % untuk pihak pertama.”Di dalam pasal ini, problem yang muncul adalah apakah boleh akad ijarah (sewa lahan) digabungkan dengan akad bagi hasil? Setelah paparan dari komite syariah dan bagian legal RSISA, ketua DPS dan anggota DPS memberikan pandangan. Ketua DPS memberikan pendapat bahwa akad ijarah berupa “sewa lahan (tepatnya sewa ruangan dan fasilitas didalamnya)” sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI nomor: 09/DSN-MUI/IV. 2000 tentang pembiayaan ijarah. Di dalam fatwa itu disebutkan bahwa ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dalam konteks akad pembicaraan ini adalah RSI-SA sebagai pemberi sewa, menyewakan ruangan dan fasilitas didalamnya untuk disewa oleh SALWA OPTIK sebagai tempat usaha dengan membayar biaya sewa yang telah disepakati.



Sedangkan sambungan klausul “bagi hasil 70 % untuk pihak kedua dan 30 % untuk pihak pertama” belum jelas akadnya. Dalam ekonomi syariah, akad itu boleh-boleh saja (berdasarkan kaidah fikih: al-ashl fi al-mu’amalat al-ibahah illa an yadulla d-dalil ‘ala tahrimiha)namun harus jelas bentuk akad dan cara penyebutannya. Istilah bagi hasil dapat digunakan untuk akad musyarakah atau mudharabah. Namun akad yang dikehendaki dan dilakukan oleh pihak RSI-SA adalah ijarah (sewa-menyewa). Oleh karena itu, ketua DPS mengusulkan untuk menggunakan satu akad saja yaitu akad ijarah murni dengan mempertimbangkan biaya sewa yang kompetitif. Anggota DPS menguatkan bahwa apabila menggunakan akad ijarah dan bagi hasil, berarti ada dua akad dalam satu transaksi. Akad ijarah jelas ketentuan dan fatwanya, sedangkan bagi hasil belum jelas akadnya. Pertimbangannya, pertama, akadnya jelas dan simpel. Kedua, memudahkan para pihak melaksanakan kewajibannya. Ketiga, menghindari terjadinya potensi perselisihan dalam penentuan bagi hasil antara kedua belah pihak. Kesimpulan: DPS memberikan opini dan merekomendasikan agardigunakan akad ijarah, yaitu RSI-SA menyewakan ruangan dan fasilitas didalamnya untuk digunakan sebagai tempat usaha oleh OPTIK SALWA dengan membayar sewa yang disepakati bersama. Hadir Rapat:



Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA



Dr. H. Abu Rokhmad, MA



Pimpinan Rapat/ Ketua DPS



Anggota DPS



H. Samsuddin Salim, S.Ag.,M.Ag



……………………….



Komite Syariah RSI-SA



Bagian Legal RSI-SA



BEBERAPA PERMASALAHAN YANG MEMBUTUHKAN DISKUSI LANJUT



1. Permintaan opini dari bagian marketing melalui komite syariah tentang boleh tidaknya RSI memberikan ujrah/ imbalan berupa uang atau bentuk lainnya kepada mitra RS (misalnya bidan/ dokter) yang telah merujuk pasien berobat ke RSI dan pasien tersebut memang benar dirawat di RSI. Pemberian ini sebagai bentuk menjaga kemitraan dan kerja sama yang saling menguntungkan. Opini DPS: DPS berpendapat bahwa RSI boleh memberikan ujrah/ imbalan secara tunai kepada mitra RSI-SA yang telah merujuk pasien agar dirawat di RSI dan pasien tersebut memang benar telah mendapatkan perawatan di RS tersebut. Akad yang digunakan



adalah



akad



ju’alah,berdasarkan



fatwa



DSN-MUI



No.



62/DSN-



MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah, bahwa akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/ iwadh/ ju’i) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Persoalannya: konsensus di RS pada umumnya menetapkan bahwa pemberian berupa uang dipandang TIDAK ETIS dan dapat menimbulkan persaingan tidak sehat di antara RS-RS.



2. Proses pembayaran klaim biaya pengobatan yang dilakukan oleh RS kepada BPJS, di mana RS dibolehkan meminta tambahan biaya kepada pasien BPJS maksimal 75 % dari seluruh biaya pengobatan (misalnya, obat dan tindakan medis yang tidak dicover oleh BPJS). Beberapa permasalahan yang muncul: a. Klaim pembayaran biaya pengobatan pasien BPJS yang dilakukan oleh



RS



dibayar oleh BPJS dan pasien sesuai dengan jumlah yang ditagihkan (diagnosis, perawatan dan tindakan RS telah sesuai dengan ketentuan BPJS dan tambahan biaya yang seharusnya dibayar pasien). Tidak ada masalah. b. Klaim pembayaran biaya pengobatan pasien BPJS yang dilakukan oleh



RS



dibayar oleh BPJS dan pasien lebih kecil dibanding tagihan RS (diagnosis, perawatan dan tindakan RS, setelah diverifikasi tidak sesuai dengan ketentuan BPJS).RS harus nombok biaya(RS rugi) yang sudah dikeluarkan, sementara



pasien BPJS sudah selesai perawatan/ sudah pulang/ sudah sembuh.Praktik tersebut dianggap RS sebagai bagian dari resiko kerja sama dengan BPJS. c. Klaim pembayaran biaya pengobatan pasien BPJS yang dilakukan oleh



RS



dibayar oleh BPJS dan pasien lebih besar dibanding tagihan RS (diagnosis, perawatan dan tindakan RS, setelah diverifikasi tidak sesuai dengan ketentuan BPJS). RS menerima pembayaran lebih banyak (RS untung) dari pasien dibandingkan dengan biaya yang seharusnya dikeluarkan RS, sementara pasien BPJS sudah selesai perawatan/ sudah pulang/ sudah sembuh. Pertanyaannya: bolehkah kelebihan bayar tersebut dijadikan sebagai dana tabarru’ yang penggunaannya untuk menambal point b (di mana RS rugi karena dibayar lebih kecil dari yang seharusnya).Dengan asumsi, akad dana tabarru’ ini telah dimasukkan ke dalam akad ijarah antara pasien dan RS.



3. Penggunaan mesin ATM bank konvensional di lingkungan RS berprinsip syariah. DPS berpandangan bahwa RSI syariah wajib menggunakan bank syariah, termasuk ATM nya juga harus dari bank syariah. Sementara pihak manajemen/ yayasan berpandangan bahwa mesin ATM adalah alat, yang prinsipnya tidak ada perbedaan antara ATM bank konvensional dan ATM bank syariah.Pertanyaannya: bagaimana status hukum penggunaan ATM konvensional bagi RS yang berprinsip syariah.